𝙅𝙀𝙔⋆

•|| Bright for my Win ♡

Karena terkadang, berpisah dan menjadi orang asing adalah keputusan terbaik.

total words: 3.374 words.


Bright kembali ke tempat yang sama. Bangku usang satu-satunya yang ada di rooftop kembali ia duduki dengan perasaan… tenang? Well, jika dibandingkan dengan hari kemarin, kali ini Bright memang jauh lebih santai. Langit biru berhiaskan awan lagi dan lagi jadi objek mahal yang menemani kesendiriannya di ruang terbuka itu.

Bright kembali ke tempat yang sama, tapi tidak dengan rasa yang juga sama. Ada sebuncah harapan yang ia simpan dalam hatinya, semoga saja setelah urusan dengan Nana selesai ia benar-benar bisa kembali menjemput indahnya bahagia.

Meskipun apa yang kemarin sempat terjadiă…ˇ memergoki Win pulang bersama Luke di saat hubungan mereka masih berantakan, menjadi korban serempet lari oleh pajero sport putih tak bertanggung jawab, lima tangkai mawar merah yang dibelinya menjadi rusak dan tidak layak lalu mendapat perlakuan dingin dari sang kekasih, rasa-rasanya masih melekat jelas dalam benak seorang Bright.

Setelah semalaman tidak tidură…ˇ terlalu pusing memikirkan tentang banyak hal, terlalu larut menatap wajah tenang Win ketika tidur, terlalu takut akan hari esok, akhirnya Bright berhasil mengambil sebuah keputusan mutlak.

Semua ketidakpastian antara dirinya dan juga Nana harus berakhir, bagaimanapun caranya. Bright tidak mau lagi mempertaruhkan hubungannya hanya karena kebodohan yang tidak seharusnya ia lakukan.

Bright tidak mau lagi mengorbankan apapun,

Perasaannya sendiri,

Apalagi perasaan kekasih hatinya, Win.

Ada seberkas rasa penyesalan yang bertumbuh dalam hati Bright. Keputusan awal untuk menunda-nunda jujur kepada Nana tampaknya sudah jadi bumerang, telak. Bright pikir, waktu dimana ia bisa membawa dan memperkenalkan Win sebagai pacarnya pada Nana akan datang dengan segera. Tapi apa? Kehancuran yang justru didapat.

Bright terlalu larut dalam asa, sehingga suara pintu kayu yang didorong dari arah dalam membuatnya sedikit terkejut. Kepalanya menoleh ke belakang, Nana sudah datang.

Gadis itu tersenyum lebar, wajahnya penuh binar bahagia. Perlahan-lahan langkah kakinya semakin berpijak di area rooftop, lalu dengan santai ia mendudukkan tubuh rampingnya tepat di samping Bright.

“Hai, Kak Bright.” sapa si gadis cantik.

Bright cuma mengangguk seadanya, “gue boleh langsung to the point aja nggak, Na?”

“Okay, boleh,” gadis itu masih tersenyum, “kenapa sih, Kak? Kok kayaknya Kakak serius banget?”

“Oh… atau Kakak udah mau jawab perasaan aku sekarang ya? Ya ampun, deg-degan.”

Sebuah deheman pelan lolos dari belah bibir Bright. Berbeda dengan Nana, raut bahagia dan antusias sama sekali tidak tergambar di wajahnya. Pemuda itu benar-benar sedang dalam mode yang serius.

“Gue nggak bisa, Na.”

Duh, bagaikan ada bongkahan batu yang baru saja jatuh menimpa kepalanya, Nana tidak lagi mengulas senyum lebar.

Nana menatap Bright dengan satu mata yang memicing, “aku bisa nunggu sampai Kak Bright siap buat ngejalanin semuanya sama aku.”

Lalu Bright menggeleng telak, “gue nggak bisa, Nana.” tangkasnya cepat.

“Kenapa?”

“Sebelum gue jawab kenapa, boleh gue nanya tentang suatu hal dulu sama lo?” sahut Bright penuh dominasi, dan Nana langsung mengangguk, mengiyakan.

Hening. Bright tidak langsung mengutarakan kata-katanya. Pemuda itu kembali memandang langit, berusaha mengais keyakinan dan kekuatan.

Lantas tanpa menoleh pada Nana yang duduk di sampingnya, Bright berujar, “dari mana lo dapetin surat yang lo bangga-banggain pas perayaan hari Valentine kemarin?”

Deg. Nana seolah dibuat skakmat.

Bola matanya bergerak gusar menelisik ke arah lain, mencari kata yang sekiranya tepat untuk ia sampaikan pada yang lebih tua.

“Lho, bukannya surat itu emang dari Kak Bright?”

Bright masih diam, ia tahu Nana belum selesai dengan ucapannya.

“Itu balesan dari Kakak buat aku, 'kan? Kak Bright udah baca surat yang aku taro di loker Kakak, 'kan?”

Surat pemberian dari Nana, ya? Hm, bahkan perekat pada amplopnya pun belum Bright sentuh sama sekali. Mengingat ekspresi masam pacar manisnya saat mengetahui ada surat untuknyaă…ˇ dari Nana, Bright otomatis tidak mau berurusan dengan itu.

Tapi… bagaimana caranya untuk menjelaskan pada gadis ini kalau Bright sama sekali tidak tahu menahu perihal surat itu? Bagaimana caranya untuk bilang 'tidak' tanpa meninggalkan kesan buruk apalagi menyakitkan?

Bright terlalu asik larut dalam pemikirannya yang berkelit, sampai-sampai ia tidak sadar kalau Nana semakin mempersempit jarak keduanya.

“Kenapa tiba-tiba Kak Bright berubah pikiran? Di surat itu ada tanda tangan Kakak lho, dan di surat itu jelas-jelas Kak Bright bilang kalau Kak Bright suka sama aku dan mau aku jadi pacar Kakak?”

“Kak Bright juga bilang kalau kak Bright selama ini nyaman sama aku, that's why you're always welcome setiap aku ngerepotin Kakak, setiap aku minta Kak Bright temenin aku ke toko sederhana, setiap ngobrol sama aku, setiapㅡ,”

Kepala Bright menoleh cepat ke arah Nana, “how did you know?” ia bahkan tidak memberi kesempatan pada Nana untuk menuntaskan kata-katanya.

Duh, pertanyaan Bright barusan sukses membuat Nana menarik tubuhnya menjauh. Perubahan raut di wajah gadis itu jelas membuat Bright mengernyitkan dahinya, bingung.

Karena seingat Bright, ia tidak membaca full surat tersebut. Ia hanya tahu kalau di kertas itu ada tanda tangannya, dan pernyataan soal dirinya yang menyatakan cinta pada Nana juga hanya ia dengar sekelebat dari mulut gadis itu saat mereka bertemu sebentar setelah acara selesai.

Masalahnya adalah, mengapa Nana seolah-olah tahu secara detail isi dari surat yang bahkan Bright ragukan keasliannya itu.

Karena demi Tuhan… ia tidak pernah membuat surat itu.

Nana memilih jalan pintas, terdiam. Benaknya seakan-akan tidak lagi bisa memproses kosa kata apa yang bisa ia suguhkan sebagai jawaban. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pelipisnya yang tertutupi anak-anak rambut.

Bright menemukan kejanggalan.

Lantas tanpa berusaha menyakiti adik kelasnya itu, Bright akhirnya buka suara, “jawab jujur, Na. Lo yang sabotase surat itu?”

Ditanya seperti itu, akhirnya Nana menyerah. Kepalanya mengangguk ragu, ia tampak sibuk meremat jari-jemarinya sendiri.

“Karna aku pikir, kalau aku nggak mulai duluan, Kak Bright nggak akan bergerak dan kita cuma bakalan jalan di tempat, Kak.”

Bright tidak mengerti arah pembicaraan Nana. Lebih tepatnya, he refuse to understand. Helaan nafas berat terhembus dari belah ranumnya yang berwarna merah muda.

“Kapan lo sabotase surat itu? Dan gimana caranya lo bisa tau bentuk tanda tangan gue?” Masih sabar, masih bisa ditanya baik-baik.

Nana menggigit kecil bibir bawahnya, ia gugup bukan main. “Pas Kakak nemenin aku ke toko sederhana tempo hari. Pas aku minta tolong Kak Bright buat bikin tanda tangan di kertas dengan alasan aku mau milih warna pulpen yang mana yang harus aku beli.”

“Jadi, kertas yang lo kasihin ke gue itu bukan kertas coret-coretan? Itu kertas surat akal-akalan lo, Na?” Sabarnya mulai terkikis, ada rasa marah yang menyelip.

Sudah tertangkap basah, Nana cuma bisa mengangguk pasrah.

“Aku kira dengan aku bikin surat itu, Kak Bright bakalan lebih terbuka sama perasaan Kakak sendiri. Aku udah terlalu nyaman, Kak. Aku mau lebih.”

Kali ini Bright berdecak. Kata-kata yang Racha sampaikan padanya beberapa hari lalu ternyata sekarang terbukti kebenarannya.

Bukan, bukan soal dirinya yang sudah berpaling dari rasa yang ia punya untuk Win. Tapi soal celah yang tanpa sadar ia berikan pada adik kelasnya itu. Soal sinyal yang salah ketika ditangkap. Soal perasaan yang semakin bertumbuh tanpa ia sadari.

Bright sekarang sadar, ia sudah terlalu jauh mempermainkan perasaan Nana. Sekalipun tujuannya hanya untuk berteman, tapi ada batas yang tak sengaja ia lewati dengan cuma-cuma.

Bright menarik panjang nafasnya. Dirinya adalah pelaku utama dari semua kejadian yang terjadi belakangan ini, dirinya juga lah yang harus mengakhiri.

“Na, sebelumnya makasih udah jujur dan makasih untuk semua perasaan yang lo punya buat gue. Gue sangat menghargai itu semua tapi maaf, gue nggak bisa bales dengan cara yang sama,”

Bright menjeda ucapannya. Ia melirik Nana yang kini duduk menunduk.

Lalu melanjutkan kata-katanya yang belum selesai, “mungkin selama ini gue salah udah ngasih jalan yang terlalu jelas dan terbuka buat lo, sampai-sampai lo salah nangkep sinyal dari gue.”

“Gue buka hati buat lo bukan untuk lo masuk sebagai orang yang gue sayang or let's call it pacar. Nggak, Na, bukan itu maksud gue. Gue cuma mau kita berteman baik. Dengan posisi lo suka sama gue, gue nggak membatasi ruang lo untuk bisa deket sama gue, that's why gue selalu mau-mau aja setiap lo minta temenin kemana-mana, karna gue menganggap lo sebagai temen gue.”

Bright sudah tidak perduli jika kata-katanya ternyata terlalu menyakitkan bagi gadis itu. Ia harus jujur, harus meluruskan semua kesalahpahaman ini.

“Maaf, kalau gue jadi bikin lo sakit hati. Setelah ini lo berhak untuk menjauh. Gue nggak akan maksa lo buat tetep stay sebagai temen gue. Gue sekali lagi minta maaf kalau title temen ternyata nggak cukup buat lo.” Bright menyambung ucapannya.

Nana yang sedari tadi hanya diam dan menyimak akhirnya memberanikan diri untuk melirik Bright, lagi.

“Apa gue harus nunggu sampai gue naik kelas sebelas, Kak? Atau mungkin kelas dua belas? Kesannya gue masih kecil ya, karna gue masih kelas sepuluh?”

Sebuah gelengan ringan Bright berikan sebagai jawaban, “perasaan gue bukan buat lo, Na. Itu jawaban gue.”

“Atau… Kak Bright udah punya pacar, ya? Astaga… Maaf kalau ternyata selama ini aku jadi benalu di hubungan Kakak… Aku nggak tau...”

Ah, sudah ketebak, bukan? Bright pun akhirnya sekalian memilih untuk jujur pada si adik kelas.

Kepalanya mengangguk, “yes, and i love him so much.”

“Is it Kak Win?”

Satu alis Bright bertaut, bertanya-tanya. “Kenapa tiba-tiba kepikiran Win?”

“Nggak apa-apa, cuma nebak aja. Sebenernya dari pas kita ketemu Kak Win di parkiran motor waktu itu, aku langsung ada feeling. Tapi karna aku nggak pernah liat Kak Bright sama Kak Win interaksi, dugaanku jadi nggak berkelanjutan, and bold of me assumed that you're single,* maaf ya, Kak.”

“Bener, Win pacar gue,” kalau boleh jujur, hati Bright jauh lebih lega sekarang. Urusannya dengan Nana sepertinya akan menemukan titik terang. “Dan kita udah jalan mau empat tahun, tapi sekarang kami lagi sama-sama di ambang putus.”

“Kak, aku harus ketemu sama Kak Win, aku harus minta maaf langsung ke Kak Win. Aduh, pasti gara-gara aku, ya?”

Bright berdehem pelan lalu bergumam, “niat hati gue buat ngejaga perasaan kalian berdua, tapi tanpa gue sadari, gue justru jadi satu-satunya orang yang ngehancurin perasaan kalian di waktu yang sama. Jadi ini bukan salah lo, Na. Ini murni kesalahan dan kebodohan gue.”

“Lo nggak perlu ketemu Win. Biar gue yang selesain semuanya sama dia nanti. Oh iya, Na,”

Yang lebih muda menganggukkan kepalanya. Kemudian Bright kembali berbicara, “gue harap setelah ini nggak ada kesalahpahaman antara kita lagi, ya? Masalah ini clear ya, Na?”

“Iya, Kak Bright, sekali lagi aku minta maaf ya...”

Bright tersenyum tipis lalu mengacungkan ibu jarinya, “oke, sekarang lo bisa balik ke kelas. Udah mau masuk.”

“Kak Bright?”

“Ini jadwal gue cabut dari kelas, hehe. Udah sana, hati-hati turun tangganya.”

Mau nggak mau, Nana akhirnya berdiri sambil membersihkan rok seragamnya. Satu kali lagi ia lirik Bright, lalu gadis itu melambaikan tangannya pada yang lebih tua.

“Dadah, Kak Bright!”

Bright mengangguk, membalas lambaian tangan si adik kelas, “thanks, Na.”

Dan dengan itu, Nana beranjak meninggalkan rooftop. Bright memilih untuk menghabiskan waktunya di sana, lagi dan lagi bolos tampaknya sudah jadi hobby baru pemuda itu.

Bright merogoh saku kemeja seragamnya, ponselnya bergetar beberapa kali.

Oh, ada chat masuk dari Nanon.

Bri, kayaknya anak-anak kagak bisa ikut ke warkop dah. Evaluasi dirinya kapan-kapan aja gimana? Si Racha harus balik cepet, Guns mau badminton di Wadas, Mike mau nganterin bokapnya ke RS.

Lu bolos lagi? Hoki lu, kali ini sos 2 jamkos. Tapi gue mager nyusul ke rooftop, panas…

Oke, sepertinya semesta belum berpihak pada Bright untuk urusan berdamai dengan sahabat-sahabatnya. Nggak apa-apa, lagian semua hal juga butuh proses dan usaha, 'kan?

. . .

Di sinilah Bright sekarang. Di sofa usang warkop yang biasa dijadikan tempat nongkrong oleh barudaks. Bright memutuskan untuk langsung ngacir ke tempat ini seorang diri, setelah ia pastikan kalau Win akan stay di sekolah untuk beberapa waktu ke depan karena harus mengikuti rapat OSIS dadakan.

Chimon yang ngasih informasi, keduanya tidak sengaja papasan di tangga saat pulang sekolah beberapa menit lalu. Bright hendak menuju parkiran, dan sepupu dari Racha itu hendak menuju ruang OSIS yang letaknya ada di lantai 2 gedung SMA.

Bright menyesap sigaret miliknya. Sudah hisapan ke-5, dan bayang-bayang Win yang mendiami dirinya masih terus memenuhi kepala. Berulang kali ia menggeleng, berusaha mengusir rentetan memori yang membludak datang tanpa diundang.

Bright, duduk sendirian.

Rasa-rasanya, pemuda itu sudah berteman dengan yang namanya sepi, and he's okay with that. Di rumah, kesepian. Menginap di rumah Win, kesepian. Lalu di sekolah, juga kesepian.

Hidupnya sedikit banyak mengalami perubahan, apalagi ketika Bright sadar sekarang ada dinding tembus pandang yang diam-diam tumbuh di dalam dirinya. Dinding yang menjadi batas antara dirinya dan Ayah Bunda, karena kedua orang tuanya lebih sering melakukan perjalanan bisnis belakangan ini. Lalu, dinding antara dirinya dan Win, yang entah ia sendiri sangsi bisa meruntuhkannya.

Dan yang terakhir, dinding antara dirinya dan barudaks. Sejak insiden pertengkaran hebat mereka berenam beberapa waktu lalu, Bright memilih untuk menarik diri. Ada rasa takut untuk menyakiti, ada rasa segan untuk sekedar kembali ke sana.

Awalnya memang terasa sulit. Tapi lama-lama, ia terbiasa.

Bright menghela panjang nafasnya. Pemuda itu menjentikkan ujung sigaret pada sebuah asbak sehingga abu mulai rontok memenuhi area berbahan dasar kaca itu. Baru saja dirinya hendak menyesap kembali batang sigaret miliknya, segerombolan anak berseragam dengan rompi merah marun datang menghampirinya.

Komplotan dari SMA Harapan Bangsa,

Dan Bright mengenali beberapa di antaranya. Mereka pernah bertemu ketika melakukan tawuran beberapa hari lalu.

Bright sendirian,

Dan menjadi korban sendirian.

Sigaret miliknya jatuh. Orang-orang yang berada di dekat warkop dan steam motor bahkan tak bisa membantu. Terlalu takut, senjata tajam turut terlibat.

Bright tidak sempat bersiap.

Ia, sendirian.

Jatuh, sendirian.

Terluka, menjadi kotor dan berdarah, sendirian.

. . .

TW // blood ⚠️

“Sori, gue nggak bisa nolongin tadi ya, Bright. Nanti kalau elu diproses sama pihak sekolah, gue bakal kasih keterangan kalau lo diserang tiba-tiba.”

“Aduh, mana berdarahnya banyak banget lagi, elu bonyok gini Bright, gue anterin ke puskesmas dah, yuk!”

Bright menoleh pada Bang Abdul yang kelihatan gemas dan khawatir secara bersamaan. Pemilik warkop yang secara tidak langsung sudah jadi markas bagi barudaks itu mengenal Bright dengan baik, termasuk pada lima anak lainnya.

Band Abdul sibuk menyeka darah yang masih mengalir di pelipis dan sudut bibir Bright menggunakan tissue. Sedangkan si korban pengeroyokan cuma bisa terkekeh pelan, “Bang, gue bisa sendiri...”

“Kagak ada, kagak ada,” Bang Abdul mendadak punya peran jadi orang tua asuh dadakan bagi Bright. Lelaki itu tampak telaten membersihkan wajah babak belur si anak kelas 12. “Ancur banget muke lu, tong. Sakit, kagak?”

“Ya, sakit, Bang…” hehehe.

Bang Abdul kembali meringis sembari terus menyeka darah yang masih mengalir di beberapa bagian tubuh Bright, sedangkan pemuda itu cuma bisa diam, pasrah dan menurut.

Masih bersyukur, ada yang mau nolongin dia kayak gini.

“Gojek gue standby di depan Alfamart, jadi gue nyamperin aja ke sana.”

Bright tidak sengaja mendengar suara Puimek dari arah gerbang sekolah. Tanpa aba-aba ia langsung beranjakă…ˇ tidak memperdulikan kondisinya sendiri, untuk melangkah sampai ke depan steam motor.

Waktu semakin beranjak sore, dan Bright berhasil melihat sosok Puimek yang sedang menyebrang jalan. Gadis itu sempat melirik ke arahnya dengan tatapan aneh, bahkan mungkin sedikit kaget karena kondisi fisiknya yang tidak bisa dibilang bersih dan baik. Tapi seolah tidak mau ambil pusing, Puimek berjalan melewati Bright untuk segera tiba ke Alfamart. Menghampiri driver ojek online yang sudah menunggunya.

Puimek ternyata tidak sendirian. Bright mendapati Janhae yang ternyata tadi sedang bercakap-cakap dengan Puimek, sekarang duduk di pos satpam.

Itu artinya… rapat dadakan OSIS sudah selesai.

Lantas tanpa berpikir panjang, Bright menyebrangi jalan dan melangkah cepat memasuki area sekolah. Ia mengabaikan tatapan kaget beberapa satpam, juga Janhae yang mungkin saja berhasil melihat wajahnya yang terluka cukup parah.

Bright sama sekali nggak perduli. Yang ia perdulikan sekarang adalah Win. Ya, ia harus menemui Win sekarang juga.

Bright terus melangkah terseok-seok. Beberapa kali tubuhnya nyaris jatuh karena rasa pusing yang mendera. Tidak, dirinya tidak mau ambruk sekarang. Bright harus menemui Win, harus memperjuangkan kekasihnya, satu kali lagi.

Ya, ini akan jadi kali terakhirnya.

Kalau Win tetap tidak mau, maka mereka selesai. Hanya sampai di situ, waktu yang tercipta bagi mereka berdua.

Bright berusaha meneruskan langkahnya sampai kedua tungkainya berhenti. Win, ada di sana. Di depannya. Masih lengkap dengan seragam putih abu-abu, juga dengan dasi yang melingkari lehernya. Ada Luke yang berdiri di sisi kiri pacarnya itu, lalu Dew dan Chimon di sisi kanan Win.

Bright tidak perduli. Bahkan ketika ketiga pemuda itu menatapnya, Bright kembali melanjutkan langkah.

Dan berhenti tepat di hadapan Win.

Tanpa kata,

Hanya ada asa yang menguasai hati dan pikirannya.

Tapi ini adalah kali terakhir,

Lalu Bright dengan susah payah membuka mulutnya, dengan gemetar ia berkata, “Win,”

Namun tidak ada balasan. Bright belum menyerah, ia meneruskan ucapannya, “maaf… gue tawuran lagi.”

Pemuda itu memilih jalan buntu. Bohong, untuk kesekian kalinya ia berbohong. Bright tidak tawuran, ia dipukuli, dikeroyoki.

Tapi ini adalah jalan terbaik. Bright tahu Win sudah berada di puncak kemarahan dan kecewanya. Jadi lebih baik diakhiri dengan cara yang salah. Agar Win setelah ini tidak pergi dengan rasa bersalah.

Bright mengharapkan bentakan. Ia bahkan berharap Win akan memukulnya, melampiaskan rasa marahnya. Tapi yang Win lakukan justru membuat Bright nyaris menitikkan air mata.

Win meraih tangan kanan Bright, dan menggenggamnya kuat. Win menarik Bright mendekat, lalu ia lirik ketiga temannya, “kalian pulang duluan aja.”

Dan tanpa menunggu balasan dari Luke, Dew dan juga Chimon, Win menarik tangan Bright untuk melangkah bersamanya. Menjauh, menghindari keramaian.

Meninggalkan tanda tanya besar bagi dua pemuda di sana. Luke cuma bisa mengangguk paham, Win sudah bercerita semuanya.

Win membawa Bright menuju sebuah taman kecil di belakang gedung SMP. Bright dipersilakan duduk di atas sebuah bangku usang, di samping pohon ketapang yang menjulang tinggi.

Lalu tanpa suara Win duduk di sampingnya. Pemuda manis itu membuka tas ransel yang tersampir di bahunya, mengambil sebuah kotak kecil berisi kain kasa yang diam-diam ia simpan di tasnya.

Masih tanpa suara, Win mulai membersihkan noda darah yang mengotori wajah Bright. Tatapan matanya terkesan datar, tapi berkaca-kaca. Di detik itu Bright sadar, ia sudah tidak layak untuk Win.

He deserves better.

Dengan susah payah Bright usahakan seulas senyum kecil hadir di bibirnya. Bright membiarkan sang kekasih untuk terus membersihkan luka-lukanya, sambil tangannya sendiri terangkat menuju pipi Win yang tampak tirus. Mengusapnya pelan, penuh sayang.

“Maaf...” katanya.

Tapi Win belum mau memberikan jawaban apa-apa. Bright mengerti, kesalahannya kali ini sudah sangat tidak bisa diberi toleransi.

Lalu untuk yang terakhir kali Bright membawa kepalanya untuk bersandar di bahu Win. Membuat Win tertegun dengan pergerakan yang tiba-tiba.

Pemuda manis itu tidak protes. Bahkan ketika Bright mengusalkan wajahnya di sana, Win tetap mempersilakan. Mungkin kemeja seragamnya sudah ikut-ikutan kotor dengan noda darah.

Nggak apa-apa, nggak apa-apa, Win…

“Bright,”

Yang dipanggil bergumam pelan, “hm?”

“Mau sampai kapan lo kayak gini? Lo nggak sayang sama diri lo sendiri?”

Bright terdiam. Cukup lama, sampai akhirnya kepalanya mengangguk, “rasa sayang gue udah habis buat lo.”

“Bright, g-gueㅡ,”

“Kalau kita berhenti sampai di sini, gimana, Win? Gue nggak bisa nyakitin lo lebih dari ini. Maaf…”

Gue nggak suka ngeliat lo luka-luka kayak gini, Bright… cuma di dalam hati, Win bisa meneruskan kata-katanya.

Lalu… apakah Bright baru saja mengajukan akhir bagi hubungan keduanya?

“Will you have a better life without me?”

Enggak, Bright… please, stop.

“Gue minta maaf untuk semuanya. Gue salah, gue sangat salah di sini dan gue ikhlas,”

Bright menghela pelan nafasnya yang terasa sesak, “buat ngelepas lo.”

Bright, udah capek, ya…?

“Janji sama gue, lo akan hidup dengan baik setelah ini,” akhirnya Win membuka mulutnya, ia bersuara, ia membalas. “jangan tawuran lagi, jangan bawa diri lo sendiri ke dalam masalah, sekolah yang bener, jadi anak yang baik buat Bunda, buat Ayah.”

Bright mengangguk, ia tahu, mereka sudah menuju akhir.

“Bright,”

Satu kali lagi Bright bergumam, “iya, Win?”

“Makasih buat semuanya. Janji sama gue lo akan bahagia sekalipun tanpa gue.”

Bright tidak tahu, Win sudah berurai air mata. Pemuda itu sebisa mungkin menjaga nada bicaranya, agar tidak terdengar sedang menangis.

Lalu Win bisa merasakan Bright mengangguk di bahunya.

Untuk kali terakhir, Win mengusap lembut punggung tangan Bright yang terluka.

Win menyeka air matanya cepat-cepat. Bright bangun dari posisi bersandarnya.

Pemuda yang babak belur itu menggerakkan kepala, memberi kode kalau Win bisa meninggalkannya seorang diri di sana.

Dan Win berdiri. Menatap Bright dalam satu kali lagi, untuk yang terakhir kalinya.

Lalu tanpa kata Win berbalik, lambat laun melangkah menjauh, benar-benar pergi.

Dari posisinya Bright bisa melihat, bagaimana setiap langkah yang diambil Win untuk meninggalkan dirinya. Meninggalkan 3 tahun perjalanan mereka. Meninggalkan rasa yang sejujurnya masih ingin Bright perjuangkan.

Tapi semuanya sudah selesai.

Bright tidak mau egois kali ini.

Win butuh ruang untuk lepas darinya, dan Bright memberikannya secara ikhlas.

Win pergi,

Bersama harapan yang perlahan-lahan pupus lalu tak bersisa…

Sedangkan Bright masih tetap di sana,

Menertawakan kisah hidupnya,

Yang gagal,

Untuk kesekian kali.

. . .

JEYI // 210402.

ă…ˇ Bright's side of life after the second times break with Win.

Inikah definisi dari kata 'gagal' yang sesungguhnya?

Bahkan ketika kesempatan dirasa masih ada, atau nyatanya memang tak pernah ada?

Bright pikir, setelah memperbaiki semuanya, Win akan kembali ke dalam pelukan… atau setidaknya, satu hal yang Bright percaya; rasa-nya masih sama, masih ada.

Atau malah… selama ini Bright salah menafsirkan rasa?

total words: 5.498 words.


Langit biru nan cerah yang dihiasi oleh kepulan-kepulan awan nyatanya belum mampu jadi sesuatu yang menghibur bagi Bright. Siang itu, lagi dan lagi ia putuskan untuk mengasingkan diri ke rooftop sekolah, mencari ruangă…ˇ juga rasa tenang.

Lalu, apakah Bright sudah mendapatkan itu semua?

Ruang dimana ia bisa bernafas dengan benar…

Rasa tenang dimana ia bisa mengulas senyum tipis…

Seminggu. Sudah seminggu lebih empat hari, nyaris dua minggu, hubungannya dengan Win… berantakan. Hari dimana Bright mengantar Win pulang sampai ke depan gerbang rumahnya, hari dimana perayaan valentine diselenggarakan di sekolah, menjadi hari terakhir bagi pemuda itu bisa melihat sang kekasih.

Kekasih, ya?

Entahlah… Bright bahkan nggak cukup yakin kalau Win masih pantas disebut sebagai kekasihnya. Tepat di hari mereka memutuskan untuk kembali beristirahat, semuanya seakan-akan… sudah selesai.

Tidak ada kebiasaan bertukar pesan. Tidak ada basa-basi untuk menanyakan kabar. Tidak ada momen dimana keduanya berpapasan selama di sekolah.

Sudah semingguan ini hujan turun mengguyur kota Depok, membuat sepasang anak adam itu semakin jauh dengan jarak yang tanpa sadar tercipta dengan sendirinya. Semesta seolah mendukung keduanya untuk berpisah, lucu bukan?

Nggak tau…

Sumpah nggak tau…

Istirahat-nya mereka untuk kali kedua ini terasa jauh lebih aneh. Jika dulu Bright masih punya nyali untuk memantau Win dari jauh, maka sekarang nyali itu seolah hilang. Jika dulu Bright masih bisa mengirimkan pesan juga ayat harian untuk saat teduh pada Win, maka kali ini tidak ada lagi Bright yang seperti itu.

Mereka sama-sama memutuskan kontak secara sepihak. Sama-sama menutup diri dan berkamuflase menjadi orang asing.

Tidak ada ucapan selamat pagi, apalagi nyanyian pengiring tidur ketika malam.

Tidak ada aksi curi-curi pandang di sekolah, terutama ketika baris di lapangan untuk apel pagi.

Tidak ada waktu yang dihabiskan di rooftop saat jam istirahat, tidak lagi ada canda tawa dan cerita yang bisa dibagi, semuanya seakan-akan lenyap termakan kecewa dan ego untuk sembuh.

Untuk sembuh, katanya.

Ya, cuma sebatas katanya…

Siang itu, untuk kali pertama setelah seminggu lebih Depok diguyur hujan deras, akhirnya Bright bisa menguasai sebuah bangku usang yang ada di sana. Duduk sendirian, dengan sebatang sigaret yang terjepit antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Pandangan pemuda itu lurus ke depan, entah apa yang sedang jadi objek utama bagi sepasang obsidian hitamnya. Kepulan asap berkali-kali terbentukă…ˇ kadang besar kadang juga kecil, lalu hilang terbawa arus angin.

Matanya beberapa kali mengerjap samar. Baik ketika asap tanpa permisi masuk menelisik, atau ketika bayang-bayang kehancuran kembali melintas dalam benaknya.

Hancur. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan bagaimana keadaan Bright seminggu lebih ini.

Luka-luka di wajahnya pasca tawuran sudah mulai mengering, tapi tidak dengan luka di hatinya.

Perasaan bingung,

Marah,

Kecewa,

Putus asa,

Juga bersalah, semua bercampur jadi satu.

Bright bahkan sudah tidak bisa memilih apalagi mengatur 'rasa' mana yang boleh menguasai hati, pikiran dan dirinya. Semuanya datang silih berganti, tanpa meninggalkan bunyi tok… tok… tok… alias tanpa ketukan, tanpa aba-aba.

Bright sudah seminggu lebih menarik diri, bukan hanya dari Win, bukan hanya dari teman-temannya, tapi juga dari Bunda dan Ayah.

Bright selalu mengurung diri di kamar untuk merenung ketika pulang sekolah. Mangkir dari jadwal futsal rutin, tidak hadir ketika latihan musik, absen dari kebiasaan untuk menjemput sore di warkop seberang sekolah.

Waktunya habis untuk mengulik semua kesalahan yang ia lakukan. Detik demi detik yang dilalui setiap hari mulai terkikis dengan kesibukan untuk menyalahkan diri sendiri.

Satu hal yang Bright sesali; dirinya gagal.

Dalam segala halㅡ hubungannya dengan Win, hubungannya dengan anak-anak sekelas apalagi anak-anak tongkrongan, hubungannya yang mendadak kaku dengan Bunda dan Ayah, bahkan pada dirinya sendiri… Bright tidak mau terbuka, seolah tidak kenal.

“Heh bodat,”

Sudut bibir Bright terangkat kecil, membentuk seringai. Lagi dan lagi ia berhalusinasi. Seolah-olah Nanon ada di sana, memanggilnya dengan julukan konyol yang dahulu selalu membuatnya tertawa jengah. Bright menghembuskan kepulan asap sigaret dari mulutnya, kepalanya menunduk,

ketika tersadar… ia sekarang sendirian.

Semilir angin sepoi-sepoi menyapa halus permukaan wajah Bright yang tampak kusut. Susah payah pemuda itu menelan salivanya, lalu ujung dari sigaret yang digenggamnya kembali masuk ke dalam mulutnya. Untuk disesap.

“Bright anjing.”

Bright masih diam. Kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengusir sumber halusinasi yang terasa amat mengganggu. Kepulan asap kembali keluar dari belah bibirnya, dibarengi dengan sebuah deheman ringan.

Satu kali lagi, Bright hendak menyesap ujung batang sigaretnya yang sudah semakin mengecil. Tapi naas, belum sempat permukaan bibirnya menyentuh batang tembakau itu, seseorang lebih cepat menepis tangannya sehingga sisa sigaret itu jatuh, tepat di depan sepatunya.

Bright mendongak, dua alisnya bertaut bingung begitu ia lihat Nanon berdiri di hadapannya.

Diam, Bright cuma bisa diam sambil mencerna apakah kali ini ia berhalusinasiă…ˇ lagi, atau Nanon benar-benar ada di sana.

Pemuda yang sudah seperti pinang dibelah dua dengan dirinya itu berdecak pelan, tangannya bersila di depan dada.

“Mau sampai kapan lo kabur-kaburan gini dari kelas?” tembak Nanon, to the point.

Lantas ketika ia sadari kalau yang ada di hadapannya sekarang benar-benar Nanonㅡ bukan hanya sebatas angan seperti hari-hari sebelumnya, Bright menghembuskan nafas panjang. Lega… rasanya benar-benar lega karena ternyata Nanon masih mau menghampirinya. Setelah satu minggu berlalu.

“Ehm,” Bright memancing tenggorokannya agar mengeluarkan suara, “gue masih mau di sini, Non.”

“Tapi lima menit lagi bel masuk? Lo mau abis diomelin lagi sama Pak Eko kayak kemarin? Sama Bu Susan? Sama Bu Kristin?”

Nanon ngomel, Bright lagi lagi cuma bisa diam. Kangen diomelin begini…

Decakan keras lolos dari mulut Nanon, seiring dengan langkah kaki si pemuda berlesung pipi yang membawa tubuhnya bersandar di pagar dinding. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana abu-abu yang ia kenakan, matanya lurus menatap pada Bright yang cuma bisa menunduk menatap sepatu.

“Lo mau orang tua lo dipanggil lagi ke sekolah?”

Bright menggeleng. Tentu saja, memangnya siapa yang mau orangtuanya dipanggil berkali-kali ke sekolah karena anaknya selalu buat onar?!

“Ya udah, kalau nggak mau ya sekarang lo ikut gue turun, kita balik ke kelas. Bangku lo lama-lama bisa berdebu tau nggak sih karna kelamaan ditinggal sama pemiliknya,” sambung Nanon.

Bright tidak menjawab, lagi. Kepalanya bahkan tidak memberikan gelengan ataupun anggukan. Nanon diam-diam menyayangkan kondisi sahabatnya yang mendadak terasa seperti orang asing… bukan Bright yang selama ini ia kenal.

Waktu terus berjalan, tapi Nanon enggan beranjak. Pemuda itu masih terus memandang Bright yang belum mau buka suara. Kepalanya bahkan senantiasa menunduk, menyadarkan Nanon kalau sang sahabat benar-benar berubah.

“Bright,”

Yang dipanggil cuma berdengung tanpa membalas tatapan Nanon.

“Bright, liat gue,”

Perlahan-lahan Bright mengangkat pandangannya. Kedua pasang mata itu akhirnya bertemu, tapi bukannya euforia bahagia yang Nanon temukan kala itu, melainkan tatapan kosong Bright… yang selama ini tidak pernah terlihat.

Bright memang membalas tatapannya, tapi tanpa adanya rasa… hanya hampa yang tersisa.

Dari situ Nanon tahu, Brightㅡ sahabatnya… berantakan.

Nanon baru saja akan mengucapkan sesuatu, tapi pergerakan gusar yang terlihat di bola mata dan juga bibir Bright membuat Nanon menelan kembali seluruh kata di lidahnya bulat-bulat. Siapa tahu, Bright mau bicara. Jadi Nanon memilih untuk menunggu.

“Nanon,”

Nanon menggerakkan kepalanya, tanda ia menyahut.

Bright mengulum sebentar bibir bawahnya. Ragu dengan apa yang ingin ia sampaikan. Diam-diam Nanon meringis dalam hati… seorang Bright yang biasa melayangkan tatapan nyalang, konyol, mengejek, kini menatapnya dengan sorot penuh kekalahan.

Nanon tidak tahu pasti apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu. Ya, mau gimana lagi… seminggu yang lalu ia kepalang emosi. Jadi keputusan untuk menghukum Bright dengan cara left group chat dan menjauh selama berhari-hari dipikir sudah jadi pilihan terbaik.

Tapi melihat Bright hari ini, rasanya mau menyesal pun sudah terlambat.

Bright belum juga melanjutkan kalimatnya. Kepalanya kembali menunduk.

Bukan, bukan Bright yang seperti ini yang ia kenal.

Ini bukan Bright, bukan si bodat kesayangannya.

“Ngomong aja, gue dengerin.” kata Nanon, yang berhasil membuat Bright kembali mendongak.

Tatapan mata yang semula kosong berangsur-angsur terisi berubah jadi sendu. Tapi Bright tidak langsung menyampaikan kata-katanya, Nanon jadi harus menunggu lagi.

“Nanon,”

Nanon mengulangi jawabannya, dengan gerakan kepala. Bright tampak mengambil nafas dalam sebelum bibirnya kembali terbelah dan seuntai kalimat berhasil terucap dengan begitu lantang.

Namun terdengar menyedihkan.

“Maafin gue, tolong maafin semua kesalahan dan kebodohan gue kemarin, maaf...”

Bright yang biasanya terlihat keren dan seperti jagoan ketika turun ke jalan, yang tangannya handal menguasai gir ataupun rantai motor untuk menyerang, yang matanya selalu menatap tajam pada orang-orang yang tidak disukai, yang selalu membuat banyak orang tertawa jengah karena tingkah dan lelucon yang dibuatnya… kini meminta maaf.

Bohong kalau Nanon bilang dia nggak mau nangis. Cengeng memang untuk ukuran anak laki-laki menangis, apalagi sudah 18 tahun. Tapi apa yang sekarang terjadi pada mereka, pada Bright terutama, nyatanya mampu menyentil hati kecil Nanon.

Karena ia sadar, perubahan yang terjadi bukannya membawa kebaikan. Tapi justru menciptakan luka dan jarak.

Nanon bergeming. Ia tahu, Bright belum selesai.

Dan benar saja, sepersekian detik berikutnya Bright kembali bersuara. “Gue nyesel, gue bener-bener minta maaf, Non… sama lo, sama Mike, Racha, Pawat, Guns, First, gue nyesel udah bertindak bodoh kayak waktu itu.”

“Gue sama anak-anak sama sekali nggak benci sama lo, Bright. Kita cuma kesel karna lo susah banget dibilangin. Gue sama Mike cuma mau lo sadar dengan kesalahan lo, biar lo bisa perbaiki itu semua bukannya malah kabur-kaburan kayak beberapa hari ini. Lo laki bukan, sih?”

Bright mengangguk menerima, “gue tau gue salah, maaf.”

“Udah, santai,” Nanon mengedarkan pandangannya ke arah lain, berusaha mencari ketenangan. Setelah dirasa cukup, ia kembali melirik Bright yang ternyata sudah menelungkupkan wajahnya di balik telapak tangan. “Win gimana?”

Sebenarnya, dari awal yang mengganjal di hati Nanon cuma perkara Win. Bright ini, udah tau pacarnya kayak gimana, masih aja ngebandel. Itu yang bikin Nanon kesal bukan main.

Apalagi ada perkara orang ketiga yang tiba-tiba masuk ke dalam hubungan sahabatnya itu. Eh, nggak tiba-tiba deh, kan dikasih celah, ups. Sifat lembek Bright yang baru kelihatan saat itu sukses membuat Nanon geleng-geleng kepala. Pusing memikirkan, kok ada ya orang nggak tegas macam Bright ini?!!

Selagi ada waktunya untuk bertanya, alhasil Nanon pun mengucapkannya.

Bright semakin menunduk, jari-jemarinya mulai menjambak kecil rambutnya sendiri.

Nanon yang melihat nggak bisa berbuat banyak, merasa belum porsinya untuk menyela. Lalu Bright tampak mengusap kasar wajahnya, mereka kembali bertukar pandang, kali ini mata Bright berkaca-kaca.

Sahabatnya itu menggeleng pelan, sorot matanya kembali kosong.

“Gue diambang putus sama Win.”

Satu mata Nanon memicing, antara kaget dan tidak kaget. “Win tau lo tawuran lagi? Win tau lo ketemuan sama adek kelas kesayangan lo itu?” tanya Nanon.

Tidak ada jawaban berupa kata, tidak juga ada balasan berupa anggukan atau gelengan. Bright malah kembali menundukkan wajahnya yang memerah.

Rasa sesak yang berhari-hari ini datang, lagi.

“Win tau semuanya, Win udah liat keadaan gue dan dia nangis,” dalam hatinya Nanon menyahut, ya iyalah goblok!!!

Bright kembali menarik kecil surai hitamnya, “gue bikin dia nangis lagi, Non. Dia nangis terus dan semua gara-gara gue.”

“Lo udah minta maaf ke Win?”

Kali ini Bright mengangguk, meski sesekali masih terlihat menjambak rambutnya sendiri.

“Terus kata Win apa?” sambung Nanon.

“Dia minta kita break lagi,” mengusap sebentar wajah kusutnya, lalu Bright menengadahkan kepala, menatap sang sahabat, “tapi gue malah ngerasa kalau kami berdua kayak udah putus.”

Kedua alis Nanon bertaut bingung, “emang ada yang bilang putus? Terus sekarang gimana?”

“Dulu waktu gue sama dia break untuk yang pertama kali, gue masih punya nyali buat ngawasin dia dari jauh, gue masih punya nyali buat nanyain kabar dia ke adeknya, gue juga masih punya nyali untuk sesekali ngechat dia atau bahkan nelfon dia kalau gue udah bener-bener kangen,” Bright menjeda ucapannya selama beberapa detik, “tapi sekarang, enggak. Bahkan cuma untuk nyebut nama dia dalam doa gue aja, gue nggak berani, Non.”

Nanon tercengang. Separah itu, kah?!

Lantas pemuda berlesung pipi itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya dengan cepat. Nanon beranjak meninggalkan dinding yang sejak tadi ia jadikan sandaran. Kakinya melangkah mendekati bangku usang dimana Bright sedang duduk di atasnya, lalu ikut mendaratkan tubuhnya di sana.

Nanon mengikuti arah pandang Bright; menatap langit biru yang cerah. Sangat bertolak belakang dengan suasana hati keduanya.

Enggan mengulik lebih dalam luka yang dialami Bright, Nanon pun melayangkan satu pertanyaan lain, “kapan terakhir lo kontak sama Win? Gue juga jarang liat dia di kantin, kalau ke toilet juga nggak pernah papasan.”

“Pas perayaan valentine. Itu terakhir kali gue ngeliat dia, gue antar dia pulang sampai ke depan rumah.” jawab Bright.

Oh, lama juga… Nanon dapat menarik kesimpulan kalau Bright dan Win sama-sama menarik diri dari segala pertemuan dan bentuk komunikasi antara keduanya.

Terlalu lama diam, Bright menolehkan kepala ke arah Nanon. Menatap sang sahabat yang tampak sibuk menatap acuh langit di atas sana.

“Nanon,” panggil Bright.

Nanon mengangguk, “ngomong aja.” sahutnya.

“Mendingan lo balik ke kelas, kayaknya udah bel masuk.”

Nanon tertawa agak keras, nyaris terbahak-bahak. Hal itu jelas membuat Bright bingung, ya karena… ia tidak sedang melucu?

Namun tidak butuh waktu lama sampai Nanon menyudahi tawanya. Pemuda itu balik menoleh pada Bright, raut wajahnya terkesan datar.

“Dan ninggalin lo sendirian di sini?” tanya nya.

“Ehm,” kepala Bright mengangguk kecil, “gue udah biasa di sini sendirian. Kemarin-kemarin pas hujan juga gue standby di ambang pintu rooftop, santai aja.”

Nanon berdecak jengah, “dan ninggalin lo sendirian, iya, Bright?”

Oke, sepertinya Bright harus menggaris bawahi kata 'sendirian' because it hits differently? Seperti ada maksud di baliknya, yang lambat laun Bright pahami… Nanon tahu, Bright benar-benar sendirian.

Sebisa mungkin Bright mengulas senyum tipis di wajahnya, “nggak apa-apa, jangan ngeribetin diri lo sendiri cuma gara-gara gue.”

Nanon tidak lagi menjawab. Keduanya kini terdiam, sama-sama bergelung dengan jalan pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya Nanon terkekeh, “gue pikir kita temen yang sama-sama seneng ngebolos di rooftop sambil nyebat?” diraihnya sebungkus rokok yang syukur-syukur aman bersemayam di saku celana seragamnya seharian ini.

Nanon mengambil satu batang dari sana dan memberikannya pada Bright. Terlanjur bingung tapi tidak mau banyak tanya, Bright pun pasrah menerima. Nanon juga mengeluarkan sebuah korek api gas dari saku yang sama, lalu membakar ujung sigaret yang dipegang Bright sampai menyala.

Bright mulai menyesap sigaret ke-2 nya siang itu. Nanon juga melakukan hal yang sama, ia mulai sibuk menyesap sigaret miliknya dengan taktik sok keren yang biasa ia lakukan ketika anak-anak nongkrong di warkop depan.

Keduanya kini sama-sama asik dengan sigaret masing-masing, sampai akhirnya Nanon kembali jadi pihak yang memecah keheningan.

“Heh goblok,”

Kali ini Bright menanggapinya dengan tawa renyah. Kepalanya mengangguk ringan, menyahuti panggilan Nanon.

“Mau sampai kapan lo nyebat tiap hari gini?”

Dia yang nawarin nyebat, dia juga yang marah-marah… tapi nggak apa-apa, nyatanya Bright bisa tersenyum atas omelan barusan.

Bright kembali menyesap sigaret miliknya. Kepulan-kepulan asap mulai menghiasi rooftop outdoor yang letaknya ada di atas perpustakaan lantai 2 sekolah, membiarkan keheningan kembali mendominasi.

Lima menit berlalu, Bright masih asik dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya, tanpa menyadari kalau ternyata Nanon masih memerhatikannya dalam diam.

“Tadi lo nanya 'kan, mau sampai kapan gue nyebat setiap hari kayak gini?” Bright bertanya tiba-tiba. Tapi Nanon menyahuti dengan deheman singkat.

“Sampai hati gue bisa lega, atau seenggaknya sampai gue bisa bernafas dengan bener.”

Puntung sigaret yang baru saja akan masuk ke dalam mulut itu kini jatuh ke bawah. Nanon, pelakunya. Namun si pemilik sigaret tak berkutik apa-apa.

“Lo nggak bisa nafas dengan bener tapi lo milih buat ngerokok? Lo mau mati, ya?!”

Sebuah teguran keras, memang. Bright sampai tak mampu mengelak apalagi untuk membela diri.

Si pemilik sigaret yang sudah jatuhă…ˇ Bright, menunduk. Ada kekehan pedih yang lolos dari belah bibirnya.

Kepalanya mengangguk asal, seolah setuju dengan kalimat yang barusan diucap.

“Kalau dengan mati bisa nyelesain semuanya dan nebus kesalahan gue, gue ikhlas, gue mau mati.”

PLAKKKă…ˇ Ackkk,

Bright meringis kesakitan begitu Nanon memukul kepalanya. Tangannya berkali-kali mengelus bagian yang terasa sakit, sedangkan Nanon dengan acuh malah melanjutkan acara menyesap sigaret miliknya sendiri.

Nanon menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. Mata Bright sedikit menyipit ketika asap dengan jahil meringsek masuk ke dalam matanya.

“Orang patah hati tuh emang verified tolol ya,” lalu tertawa pelan, penuh ejekan, “sia-sia Tuhan mati di kayu salib buat nebus manusia nggak tau untung udah dikasih hidup kayak elo gini modelannya.”

Nanon kembali menyesap sigaretnya. “Dan apa lo pikir dengan lo mati semuanya bakal selesai? Bukan cuma Win yang bakalan nangisin kegoblokan lo tapi juga nyokap lo, bokap lo, keluarga besar lo, temen-temen lo, sahabat-sahabat lo.”

“At least when you're having a bad thoughts, think of people that adores you sebagai pribadi, sebagai lo yang kayak begini, yang sayang sama lo banyak, Bright...” sambung Nanon, sedikit banyak berhasil menyentil akal sehat Bright yang sempat hilang arah.

Nanon melirik Bright yang ternyata sedang fokus menatap langit lepas. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sayang orang ini… sebagai sahabatnya.

“Gue bukan mau menggurui lo atau gimana, tapi gue cukup ngerti orang putus asa kayak lo gini emang kadang harus ditemenin, so that's why i am here now.”

Bright mau berterima kasih, tapi momennya belum pas. Nanon masih galak, lebih baik Bright berterima kasih nanti saja…

Nanon menyesap ujung sigaret yang ia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu membuang asap secara asal dengan bentuk kepulan yang cukup besar.

“How's your feeling?”

Bright melirik Nanon, lalu tersenyum tipis, “i am getting better, thank you.”

Tentu saja he's getting better, satu bebannya seolah luruh begitu saja, karena sekarang Nanon sudah memberikan maaf untuknya.

It's getting better,

Everything will be better…

“Urusan bocah nanti biar gue yang handle. Sekarang gue mau nanya,” Bright lagi lagi dibuat sedikit jantungan dengan kata demi kata yang terucap dari mulut Nanon. Entah, rasanya masih ada rasa segan yang mengganjal di hatinya. Lantas seolah mengerti kalau Nanon menunggu respon darinya, Bright pun mengangguk memberi kesempatan.

“Lo kapan mau ngebenerin hubungan lo sama Win? Mumpung belum beneran putus, masih ada waktu buat ngejar dia.”

Hm, sejujurnya bingung harus jawab apa. Tapi pertanyaannya Nanon bisa ia jadikan acuan untuk berbenah diri, bukan?

“Win beberapa hari lalu ulang tahun. Tapi karna gue sama dia lagi ada di *bad condition, gue skip hari ulang tahun dia. Jujur, i feel bad and really sorry for him, tapi ya gimana… gue nggak punya nyali untuk sekedar muncul di depan dia saat itu,”

Bright menghela panjang nafasnya sebelum melanjutkan ucapan, “jadi kayaknya nanti pas pulang sekolah gue mau nyamperin ke rumah dia, mau minta maaf sekali lagi dan ucapin ulang tahun walaupun telat buat dia.”

Nanon manggut-manggut saja mendengar jawaban Bright barusan. Tapi rasanya, there's one thing left that doesn't sit right with him. Lantas Nanon melirik Bright satu kali lagi, beruntung pemuda itu juga sedang menatap ke arahnya.

“Kapan lo mau nyelesain semua masalah ini sama Nana?”

Bright diam sebentar, berpikir. Nanon agak kesal juga melihat Bright yang bisa-bisanya masih mikir begitu ditembak dengan pertanyaan barusan. Sudah nangis-nangis, sudah jatuh terpuruk dan dilanda penyesalan, tapi masih selfless dengan cara yang nggak banget?!

Gila, emang dasar anak goblok.

Tidak lama dari itu, Bright berujar, “besok. Gue mau perjuangin Win dulu hari ini, biar besok gue selesain semuanya sama Nana.”

Nah, gitu 'kan enak. Asap yang keluar dari mulut barusan pun rasanya jadi manis kayak habis menyesap vape rasa blackcurrant.

Nanon menepuk pelan bahu kanan Bright tiga kali. Hati Bright mencelos, karena ia tahu… itu adalah tepukan persahabatan.

“Go on, get your man back.”

Pasti, Bright tidak akan melepaskan Win lagi, apapun alasannya.

. . .

Baru kali ini Bright berdiri di depan gerbang rumah Win dengan perasaan gusar. Tubuhnya masih bersandar di jok motor Scoopy berstiker 'Harta, Tahta, Ayang' yang sudah jadi sticker legend di mata anak-anak tongkrongan.

Kalau diingat-ingat, panjang juga perjalanan kisahnya dengan si pujaan hati. Berawal dari teman SD yang sama-sama bersekolah minggu di bawah bimbingan kakak layan yang sama, lalu masuk ke satu SMP yang memang berada di bawah yayasan dimana mereka menempuh pendidikan saat di bangku sekolah dasar.

Masa-masa SMP adalah penggambaran labil dimana keduanya sok-sokan memutuskan untuk PDKT dan berakhir menjalin hubungan di kelas 9. Bermodalkan janji akan setia satu sama lain, nyatanya tak menjamin hubungan keduanya akan bertahan lama.

Kelas 7, masih gencar-gencarnya ngedeketin, apalagi dengan modal bakso gerobakan yang suka mangkal di taman komplek.

Kelas 8, masih bocah, sering cemburu nggak jelas cuma karena Win masuk MPK dan sering jalan bareng dengan anak-anak kelas 9 dari organisasi yang sama.

Kelas 9, menggebu-gebu, nggak ada angin nggak ada hujan mendeklarasikan kalau mereka adalah kepunyaan satu sama lain. Win yang kala itu cuma bisa ketawa melihat kelakuan Bright dan kebetulan ia sendiri juga sudah nyaman dan terbiasa dengan eksistensi si anak bar-bar di dekatnya, langsung mengiyakan ajakan Bright untuk melakukan Jakarta Dateă…ˇ kencan pertama mereka setelah jadian (katanya), dan pulang ke rumah pada jam 11 malam.

Di hari yang sama, keduanya membuat pengakuan ke orang tua masing-masing kalau mereka sudah resmi berpacaran.

Oke, restu sudah ditangan karena jika anak bahagia kenapa harus dilarang, 'kan?

Kelas 10, masuk ke sekolah baru dan terpaksa dipisah oleh kelas yang berbeda. Bright agak sulky saat itu, tapi Win selalu punya cara untuk menjinakkan pacar nakalnya.

Masih aman, belum ada penjurusan, jadi beberapa kali memang suka nggak sengaja nongkrong di kantin di jarak yang berdekatan.

Kelas 11, perang dingin dimulai. Bukan mereka yang berperang, tapi jurusan dan doktrin angkatan-angkatan tua yang katanya anak IPA dilarang keras berhubungan baik sama anak IPS. Merusak moral penjurusan dan muka jurusan, katanya.

Alhasil, terbentuklah kubu-kubu antara SOS 1 dan SOS 2 melawan IPA.

Yah, ya sudah… mau nggak mau harus backstreet. Daripada dilabrak senior, 'kan?!

Kelas 12, baru terasa betapa nggak enaknya main kucing-kucingan kayak gini. Bright bahkan baru terpikirkan, yang banyak gaya angkatan-angkatan senior, kenapa harus dia sama Win yang repot nutupin hubungan?

Tapi apa mau dikata, ibarat nasi sudah jadi bubur. Bright dan Win pun cuma bisa menjalani hari-hari di sekolah dengan pintar biar nggak ketahuan publik kalau mereka (saat itu) sudah jalan 3 tahun berpacaran.

Bright menundukkan kepalanya, ternyata untuk tiba di hari ini butuh perjalanan yang tidak sebentar. Ia pikir, ia sudah mencintai Win sebesar itu… tapi kenyataannya? Mereka gagal, berulang kali.

Hati Bright serasa dicabik-cabik begitu ia sadari bahwa rasa sayang saja tidak akan pernah cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan.

Dan Bright, melewatkan banyak poin-poin penting yang membawa hubungan keduanya pada ujung jurang yang curam.

Pilihannya cuma 2;

Berbalik, dan cari jalan keluar meski butuh pengorbanan dan waktu, atau…

Jatuh, mengakhiri perjalanan saat itu juga.

Bright menghela panjang nafasnya. Pemuda itu baru saja akan mengusap wajahnya ketika suara pintu utama rumah Win terbuka.

Matanya mengerjap beberapa kali, Mick ada di sana. Membawa dua kantong plastik besar di tangan kanan dan kirinya.

Refleks, Bright bangun dari posisi duduknya. Mick sempat bingung melihat keberadaan si Abang yang tumben-tumbenan nggak langsung masuk ke dalam, tapi malah berdiam diri di depan gerbang.

Mick membuka pagar dengan kaki kanannya, lalu berhenti melangkah tepat di samping motor Bright.

“Abang cari Kakak?”

Tepat sasaran, Bright langsung mengangguk. Mick belum sempat menjawab lagi, pemuda itu beranjak menuju sebuah tong sampah besar di depan rumah, lalu membuang dua kantong plastik yang dibawanya ke dalam sana.

Sambil menepuk-nepuk telapak tangan, Mick kembali menghampiri Bright.

“Abang masuk aja dulu, Kakak belum pulang.”

Satu alis Bright memicing. Dengan spontan ia melirik jam berwarna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, “tumben? Kayaknya tadi OSIS nggak ada rapat.” balas Bright.

“Adek kira Abang lagi jalan-jalan sama Kakak? Soalnya tadi Kakak sempet telfon bilang pulang agak telat, mau ke Gramedia. Adek kira perginya sama Abang?”

Tidak mau membuat Mick kepikiran yang enggak-enggak, Bright pun dengan cepat mengubah ekspresi di wajahnya.

“Oh iya, sama temen-temen kelasnya kali ya, mau nyari bahan buat ujian.”

Mick mengangkat kedua bahunya, ingin bertanya lebih banyak tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Anak bungsu dengan nama tengah Yesaya itu akhirnya memberi kode pada Bright untuk memarkirkan motornya di garasi, “masuk dulu, Abang. Mamah nyariin Abang terus tau… Abang udah nggak pernah main ke rumah lagi.”

Bright hanya bisa tersenyum menimpali. Lagi dan lagi ia dibuat sadar, kalau yang sedih atas gagalnya hubungan mereka bukan cuma diri mereka sendiri tapi juga keluarga yang selama ini mendukung.

Dan karena itu, Bright sedih, lagi.

Rasa bersalah kembali mencuat dan menggebu-gebu dalam hatinya. Seolah menyalahkan dirinya atas semua yang telanjur terjadi.

Tapi Bright belum mau menyabet gelar pengecut kali ini. Ia, tidak mau kalah. Lalu seulas senyum hadir di sudut bibir sintalnya.

“Adek masuk duluan aja, Abang mau cari martabak dulu. Adek mau nitip yang lain?”

Mick menggeleng, “nggak usah, Bang. Tapi Abang janji ya bakal balik ke sini lagi? Abang nginep ya, ya, ya? Tidur sama Adek, kita udah lama nggak main PS.”

Kalau Mick sudah punya kemauan, lalu Bright bisa apa? Alhasil kepalanya mengangguk, “iya, Abang nanti nginep. Sekarang Adek masuk, ayo Abang tungguin.”

Lantas sambil merengut kecil, Mick mulai berjalan mundur memasuki halaman rumah. Pemuda itu menutup rapat gerbang utama, lalu melambaikan tangan kepada si calon kakak ipar, hehehe.

Sepersekian detik berikutnya, Mick sudah masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Bright yang masih berdiri dengan perasaan gundah di depan gerbang.

Win kemana?

Kenapa belum pulang jam segini?

Tidak mau terlarut dalam pikirannya, Bright pun memutuskan untuk kembali naik ke atas motor Scoopy-nya dan bersiap untuk segera pergi menuju tukang martabak yang biasa ia beli.

Tapi ketika motornya baru saja melewati rumah ke-3 dari rumah Win, tidak sengaja Bright mendapati sebuah mobil keluar dari belokan dan berhenti tepat di depan rumah Win.

Bright terus meliriknya lewat spion, lalu nafasnya seolah tercekat ketika ia lihat Win keluar dari sana, lalu disusul Luke yang membawa beberapa kantong belanjaan yang entah Bright tidak bisa menebak apa isinya.

Tidak hanya itu, perasaan Bright seolah baru saja diinjak-injak begitu ia lihat Win melepas tawa saat Luke bersusah payah membuka gerbang dengan tangan yang penuh dengan kantong plastik. Win bahkan beberapa kali terlihat mengelus gemas surai hitam Luke yang malam itu masih mengenakan seragam putih abu-abu yang dibalut hoodie berwarna putih.

Win terlihat bahagia, tanpa dirinya.

Bright menarik gas dengan kuat, segera meninggalkan sektor rumah Win sebelum pacarnya itu, eh… masih bisa disebut pacar, kah… melihat eksistensinya.

Bright marah, tapi ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama.

Hope martabak would save him from the anger inside,

Ya, Bright akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju tukang martabak langganan Wină…ˇ pacar manisnya.

. . .

Sambil menunggu martabak manis dan telur yang dipesannya matang, Bright memilih untuk memandang jalan raya yang cukup ramai di depannya sambil duduk di atas jok motor. Jarinya sesekali berputar memainkan kunci motor yang dihias dengan gantungan one piece yang mulai kusam karena dibeli saat karyawisata ke museum Fatahillah di kota Tua.

Saat sedang asik melamun, seorang anak kecil datang menghampiri. Di dalam dekapannya ada banyak sekali bunga mawar merah yang sudah dibungkus dengan apik.

Anak kecil itu menatap Bright dengan senang, wajahnya sumringah seraya tangannya mengulur tiga tangkai mawar merah ke hadapan Bright.

“Kakak, aku jual bunga ini satunya sepuluh ribu.”

Bright tidak langsung menjawab. Benaknya berputar mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia memanjakan Win dengan bunga?

Dan jawabannya adalah; tidak pernah.

Bright belum pernah memberikannya bunga, bahkan di perayaan hari jadi mereka pun, Bright lebih memilih mengajak Win nonton bioskop dan makan sepuasnya di mall atau bermain ke Timezone sampai malam menjelang.

Jadi sepertinya, memberikan bunga sebagai permintaan maaf dan simbol ucapan ulang tahun adalah ide yang cukup bagus.

“Bunga yang kamu bawa semuanya ada berapa, dek?” tanya Bright.

“Yang aku peluk ada lima, dan di dalam tas masih sisa tiga. Kakak mau beli berapa?”

Bright tersenyum, “semuanya, kakak beli semuanya ya, dek.”

Dengan senang hati anak kecil itu memberikan lima tangkai mawar merah dalam pelukannya pada Bright, lalu mengambil tiga tangkai lagi dari dalam tas. Bright menerimanya dengan sukacita, lalu memberikan selembar uang merah muda pada anak itu.

“Ambil aja semuanya, kamu hati-hati ya pulangnya...”

“Terima kasih banyak, kakak! Semoga kakak sehat dan bahagia selalu! Dadah, kakak!”

Lalu anak kecil itu pergi sambil berlari kecil di pinggir jalan. Bright menatap 8 tangkai mawar merah di tangannya, di dalam hati ia merapalkan doa, semoga Win akan suka dengan hadiah yang ia bawa malam ini.

“Mas, martabaknya sudah jadi.”

Cepat-cepat Bright beranjak dari motor. Pemuda itu bahkan nyaris jatuh karena tersangkut kakinya sendiri. Bright melangkah menuju si penjual, menerima kantong plastik berisi dua kotak martabak manis dan satu kotak martabak telur. Lalu membayar pesanannya.

Dan setelah mengucapkan terima kasih, Bright bergegas menggantung plastik berisi martabak di pengait kecil yang ada di bagian bawah – tengah motor. Bright menggantung helm-nya di siku kiri, tidak perlu melewati jalan besar yang terlalu jauh untuk sampai ke rumah Win.

Karena terbakar semangat untuk segera tiba di rumah sang kekasih, Bright menambah kecepatan motornya. Menembus malam dengan senyum yang terus terpatri di wajah, seolah lupa dengan fakta kalau tadi ia baru saja memergoki Win pulang bersama Luke.

Terlalu bersemangat, terlalu menggebu-gebu sampai Bright tidak memerhatikan sekitar.

Bright hendak membelokkan setir ke arah kiri, tapi sayang…

BUMB!!! BRAKKKă…ˇ

Bright jatuh, motornya ikut jatuh, tapi mobil Pajero sport putih yang baru saja menyerempet parah motornya melarikan diri ke luar perumahan.

Brightă…ˇ ngeblank total.

8 tangkai mawar yang dibelinya berserakan di jalan, basah dan beberapa masuk ke dalam kubangan air.

3 kotak martabak yang dibelinya juga jatuh, tapi untungnya tidak sampai tumpah keluar.

Tidak lama, di sela kebingungan yang melanda, seorang security datang membantu.

Dan Bright, dengan pikiran kosongnya, kembali melaju. Ia punya tujuan malam itu,

Dan ia harus pulang,

Pada Win,

Kekasihnya.

. . .

“Astaga nak Bri…”

Bukan Win yang menyambut kedatangannya, melainkan Baifern yang kebetulan baru saja melambaikan tangan pada seorang driver ojek online.

Bright melirik tangan Baifern yang memegang sebuah kantong plastik besar, ada harum yang menguar, Bright tahu plastik itu berisi makanan.

Tapi bagaikan tidak punya malu, Bright tetap memberikan plastik berisi 3 kotak martabak yang berhasil ia selamatkan dari kecelakaan kecil barusan pada ibu dari Win.

Dan dengan perasaan gusar, Baifern menerimanya.

“Nak Bri masuk ya, Mamah obatin.”

Bright cuma bisa mengangguk, lagi dan lagi tanpa bisa mengucap sepatah dua patah kata. Bright juga tidak mengerti, kenapa ia seakan-akan mendadak lumpuh baik dari segi verbal maupun perasaan.

Saat jatuh dari motor tadi, Bright ingin berteriak. Ingin marah. Ingin menangis.

Tapi ia sadar, ia tidak bisa. Menangisi kesalahannya sendiri adalah sebuah tindakan bodoh dan Bright akan menyimpan kesempatan itu untuk dipergunakan nanti, di waktu yang tepat.

Masih dengan pikiran yang kosong, Bright membawa masuk motornya ke garasi rumah Win. Dibantu oleh Baifern, Bright perlahan-lahan melangkah menaiki anak tangga menuju teras utama rumah sang kekasih.

Rasanya… seperti pulang ke rumah.

Bright baru saja akan membuka sepatunya yang kotor karena jatuh tadi, tapi suara lembut yang begitu ia rindukan berhasil membuat Bright kembali berdiri tegak.

“Bright,”

Win.

Win ada di sana, di depannya, meski raut wajahnya seperti tidak suka.

Bright ingin menyapa, tapi lidahnya seolah tercekat secara tiba-tiba.

Sampai akhirnya suara Baifern menginterupsi keduanya, “Kak, kayaknya Bri habis jatuh dari motor. Kamu tolong bawa ke kamar terus obatin, ya? Mamah mau nyimpen martabak yang Bri beli dulu. Makanan yang tadi gofood disimpend di kulkas dulu, ya?”

Win mengangguk, “iya, Mah,”

“Ayo ke kamar.”

. . .

“Sayang, maaf gue cuma bisa nyelametin tiga tangkai. Lima lainnya kotor, gue nggak mau lo nerima bunga yang nggak layak.”

“Maaf, gue masih brengsek pas ulang tahun lo kemarin. Kadonya dicicil dulu ya, selamat ulang tahun, Win.”

Win tertegun begitu Bright mengambil tiga tangkai mawar merah dari dalam tasnya. Pergerakan Win yang sedang menyiapkan beberapa alat medis untuk mengobati luka di pelipis, pipi, rahang dan siku Bright harus terhenti seketika.

Bright dengan sorot kosong di matanya mulai melangkah mendekat, meski tergopoh-gopoh, ia berjuang untuk menyampaikan tiga tangkai mawar itu untuk Win.

Win memilih acuh. Pemuda manis itu berbalik, mengumpulkan beberapa kapas, perban, obat merah dan alkohol. Mengabaikan Bright yang kini berdiri di belakangnya, dengan tangan terjulur.

“Duduk.” perintahnya telak.

Bright lalu duduk di sisi ranjang Win, dengan jantung yang degupnya tidak lagi bisa ia rasakan.

Win tidak memperdulikan bunga yang masih digenggam oleh Bright. Ia beralih membersihkan beberapa luka di tubuh Bright dengan kapas dan alkohol.

Mengabaikan tatapan Bright yang semakin lama semakin menemukan teduhnya.

Bright tidak lagi mampu berucap, Win sudah tidak bisa melihat ke arahnya.

Bright diam. Ia hanya diam sepanjang Win mengobatinya. Win bahkan tidak menanyakan bagaimana perasaannya, adakah bagian tubuh lain yang terasa sakit atau sekedar basa-basi lainnya.

Win hanya menjalankan perintah Mama untuk mengobati Bright. Entah ikhlas atau tidak, Bright tidak tahu.

Sampai tiba waktunya Win meminta Bright untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.

Win berbaring lebih dulu di atas ranjang, menyembunyikan diri di balik selimut tebal berwarna putih.

Setengah jam kemudian Bright keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah terbalut dengan piyama berwarna biru tua, lalu Win bangun dari posisi tidurnya.

Pemuda manis itu meminta Bright duduk di tepi ranjang (lagi), lalu memasangkan perban pada bagian-bagian yang terluka di tubuh sang kekasih.

Selesai.

Tanpa kata, Win kembali masuk ke dalam selimut.

Meninggalkan Bright yang semakin dilanda bingung.

Kemudian Bright ikut berbaring di atas ranjang, masuk ke dalam selimut yang sama.

Bright memeluk Win dari belakang. Menaruh kepalanya tepat di atas kepala Win.

Ia rindu rumahnya, ia rindu kekasih hatinya.

Bright baru saja akan mencium pelipis Win sebagai ucapan terima kasih dan selamat tidur,

Tapi naas, Win menjauh.

Menghindari Bright dan juga ciumannya.

Bright terpaku,

Satu tetes air matanya jatuh tanpa sepengetahuan Win.

Diam-diam ia berbaring memunggungi yang disayang. Menangis dalam hening. Mempertanyakan kelayakannya.

Satu hal yang Bright tahu;

Rasa-nya sudah tidak lagi tinggal, apalagi menetap.

. . .

JEYI // 210331.

Kucing manis, katanya… lalu, apakah masih dibilang manis kalau ternyata Win malah memperkeruh kondisi Mas Bie yang sedang sakit?

tags: FLUFFă…ˇ romance, clingy!bright, confused!win, budak korporat!bright x cathybrid!win. total words: 3.268 words commisioned by: @cheesepawn


“Hah elah, Mas… Ada-ada aja elo mah.”

Pergerakan lidah yang sedang asik melenggang ke kanan dan kiriă…ˇ membasahi bibir atasnya, sambil sesekali cekikikan ketika Squidward merasa kesal pada Patrick si bintang laut di televisi besar, terpaksa harus berhenti saat suara June yang baru saja keluar dari kamar berhasil merebut perhatian si kucing manisă…ˇ Winnie.

Sendok nyam-nyam merah yang sejak tadi ia genggam kuat kini ia letakkan di atas meja. Win menolehkan kepala, melirik June yang melangkah menuju dapur.

Terdengar seuntai decakan dari gadis cantik yang merupakan adik dari tuan baru Wină…ˇ Mas Bie. Secara nggak langsung, alis Win mengernyit. Sepasang mata bulatnya mengerjap lucu.

“Lucky you i didn't have class this morning,” June membuka lemari atas yang menempel pada dinding dapur, tampak sedang mencari sesuatu.

Berkali-kali gadis itu berjinjit, masih dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya juga dengan decakan-decakan pelan yang kerap kali terucap. “Iya, kelas gue nanti siang, gue nggak bisa ngurusin lo ah, Mas!”

“Ini mana sih kotak obatnya? Kok nggak ada di lemari atas?”

Mendengar June menyebut-nyebut kotak obat, Win dengan inisiatif sendiri langsung bangkit berdiri dan berlari kecil menuju kamar. Kamarnya dengan Mas Bie.

Tidak butuh waktu lama, Win kembali keluar dari kamar dengan sebuah kotak obat dalam dekapan. Pemuda manis itu melangkah menuju dapur, dan berhenti tepat di belakang June yang masih sibuk mengobrak-abrik bilik lemari yang lain.

“Ssttt… June,”

June menoleh, alis kanannya bertaut, “Winnie, aku lagi nggak bisa kamu ajak main dulu, oke? Aku lagi nyari kotak obat yang biasa ada di sini, kamu pernah liat nggak, dek? Mas mu ini lho… darah rendahnya kumat.”

Sepasang mata bulat Win kembali mengerjap lucu. Entah disadari atau tidak, bibir bawah si kucing manis kini mengerucut.

“Darah rendah itu apa, June?”

June menutup bilik ke-4 setelah ia pastikan tidak ada barang yang dicarinya di sana. Gadis itu baru saja akan membuka bilik ke-5, ketika ia tidak sengaja menoleh ke arah meja makan tempat dimana Win sekarang bersandar penuh rasa penasaran.

Didekatinya si Manis, “Winnie, itu kotak obat kamu nemu dimana?”

Belum sempat Win menjawab, seuntai decakan (kali ini lebih keras) kembali terucap dari bibir June. Gadis itu tampak memutar jengah dua bola matanya, “dia tuh dari tadi lagi nonton tv, Mas. Nggak bakalan dilirik handphone nya. Lagian kenapa nggak telfon langsung aja, sih? Kalau ditelfon, dia pasti angkat.”

June membuka kotak obat yang dibawa oleh Win. Jari-jemarinya yang cantik bergerak lincah mencari obat herbal yang tadi sempat disebutkan oleh sang kakak.

“Lo ada migrain juga nggak, Mas?”

Lagi lagi June berdecak sesaat setelah ia mendengar jawaban Bright. Gadis itu menutup kotak obat dengan sedikit tekananㅡ sengaja agar Bright dengar, lalu berujar, “gue lagi ngurusin obat-obatan lo, eh lo nya sendiri malah sibuk nanyain Winnie. Bisa darah tinggi gue kalau kebanyakan ngomong sama lo, Mas.”

“Hehehe...” Ya, sekiranya itulah jawaban Bright setelah diomeli oleh sang adik.

June menghela panjang nafasnya, lalu tanpa aba-aba ia serahkan ponsel miliknya pada Win yang sejak tadi hanya diam sambil memerhatikan percakapan antara dirinya dan juga Bright. Malu-malu, Win meraihnya kemudian ia seret salah satu bangku di meja makan untuk ia duduki.

Ponsel milik June masih digenggam di tangan kanan, Win menatap June dengan pandangan lugunya, “ini Mas Bie?”

June mengangguk, mengiyakan. “Temenin Mas mu dulu ya, Dek… Aku mau mandi, mau jemput Mas.”

Mau tidak mau, Win menuruti kata-kata June. Gadis cantik yang sehari-hari selalu menemaninya itu sudah beranjak ke kamarnya sendiri yang berseberangan dengan kamar Win dan juga Bright.

Meninggalkan Win sendirian di meja makan. Duduk manis, dengan tangan kanan menggenggam ponsel June yang masih menyala sedangkan tangan kiri meremat halus jari-jemarinyaă…ˇ untuk mengusir rasa gugup, katanya.

“H-halo, Mas B-bie…”

Entah sadar atau tidak, Win malah menggigit kecil bibir bawahnya. Pandangannya gusar, memandang meja makan penuh rasa tak tenang. Win juga sepertinya tidak sadar, kalau deru nafasnya berpacu seakan sedang mengikuti lomba lari.

Kata-kata yang diucapkan June pada Bright beberapa menit lalu ternyata masih berlari-larian di dalam benak si kucing manis. Lagi nonton tv, nggak bakalan dilirik handphone nya, ughhh, apa mas Bie marah ya…

Tapi sahutan lembut yang dilakukan Bright justru membuat Win mengangkat pandangannya. Samar-samar ia dengar Mas Bie-nya terkekeh di seberang sana. Hati Win seketika menjadi hangat.

“Sayangnya Mas Bie lagi asik nonton tv ya, hm?”

Bright memang paling bisa membuat anak manis itu tersenyum. Win seolah sudah lupa ketakutannya yang sempat singgah beberapa waktu lalu. Kucing manis itu menyunggingkan senyum lebar di wajahnya, giginya yang seperti kelinci malu-malu menunjukkan eksistensinya.

“Mas Bie, what are you doing now?”

Lagi, Bright terkekeh pelan. Mendengar Mas Bie-nya mengalunkan tawa kecil seperti itu, Win jadi merasa bahagia. Entah lah, Win tidak mengerti. Yang pasti anak manis itu perlahan-lahan mulai mengubah posisi duduknya.

Bangku yang ia duduki bergeser sedikit ke belakang. Win menundukkan tubuhnya yang terbilang tinggi, lalu menidurkan kepalanya di atas meja makan.

Matanya berbinar penuh antusias. Bibir penuhnya sesekali menekan ke bawahă…ˇ mengulum senyum.

“Such a good boy, my pretty little Winnie, bahasa inggrisnya semakin lancar ya, good boy deserve a reward, tell me, anak manis.”

Ditanya seperti itu, Win jelas memicingkan mata. Pikirannya melanglang buana menimbang-nimbang hadiah apa yang bisa ia minta sekarang pada Mas Bie. Jari-jari tangan kiri Win bergerak aktif di atas meja, ada bunyi tuk… tuk… tuk… yang berasal dari pertemuan antara ujung jari si Manis dengan permukaan meja.

Masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Win menjawab, “malam ini boleh Winnie menemani Mas Bie bekerja? Winnie janji tidak akan nakal… Winnie hanya akan duduk diam di sofa yang ada di ruang kerja Mas Bie…”

Bright tidak langsung menjawab, membuat Win mencebikkan bibirnya karena rasa takut yang tiba-tiba kembali datang.

Maka sebelum Bright menolak permintaannya, Win yang sudah banyak diajari banyak hal termasuk sopan santun oleh Bright dan June pun langsung berujar, “tidak apa kalau tidak boleh, Mas Bie. Winnie akan tidur cepat seperti biasa.” lebih baik mencegah daripada mengobati, 'kan?

Ya… walaupun sepasang mata bulat Win mulai berkaca-kaca, sih.

“Mas bukannya nggak mau ditemenin sama kamu, cuma nanti kamu bosen… kamu capek nungguin Mas sampai pagi. Tidur di sofa nggak enak tau...”

Ugh, benar-benar tidak boleh, ya?

Roh-roh jahat dalam diri Win rasanya belum mau langsung menyerah. Alhasil kucing manis itu kembali mengucapkan kalimat yang ternyata berhasil membuat Mas Bie-nya terbatuk di seberang sana.

“Winnie bisa duduk di pangkuan Mas Bie,”

Ceklek,

“Dek, hapeku mana…?”

Belum sempat mendengar jawaban Bright, June lebih dulu datang setelah berlari kecil dari kamarnya. Gadis cantik itu masih sibuk menyisir rambut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan tampak sedang menarik resleting tas yang tersampir di bahunya.

Dengan spontan Win menyerahkan ponsel yang ada di genggamannya pada June, belum sempat memutuskan sambungan telepon.

June melempar asal tas selempangnya ke atas meja, lalu ia duduk di bangku yang ada di samping Win.

June juga kembali menempelkan ponselnya di telinga, “Mas, gue udah mau jalan nih.”

Sambil mendengarkan sang kakak berbicara, June menyempatkan waktu untuk memeriksa kembali obat-obatan yang disebut oleh Bright di dalam tasnya. Ia juga sempat-sempatnya mengelus surai kehitaman Win yang tebal dan halus, sesekali telinga kucing yang ada di kepala Win pun tak luput dari jangkauannya.

Diperlakukan seperti itu, Win memejamkan mata. Rasa kantuk mulai datang mengambil alih sadar yang semakin lama semakin menipis.

Win sudah benar-benar mengantuk. Kepalanya perlahan-lahan jatuh di atas meja, dan ia siap untuk mengarungi mimpi. Tapi tepukan pelan yang hadir di pipi kirinya menjadi tanda bahwa ia harus menjemput sadarnya kembali.

Oh, June sudah selesai bicara dengan Mas Bie?

“Dek, sayang,”

Win menganggukkan kepalanya ringan, kelopak matanya kini terbuka secara utuh. “Ya, June?” jawabnya.

“Winnie mau jaga rumah atau ikut June jemput Mas Bie?”

Ditanya seperti itu, Win jelas menautkan kedua alis, bingung.

“Mas Bie pulang dijemput June? Mas Bie lupa bawa mobil punya Mas Bie?”

Tapi June menggeleng. Win memiringkan kepalanya, pusing. “Mas Bie tidak ingat caranya mengemudi ya, June? Sampai June harus jemput Mas Bie?”

Lagi, June menggeleng pelan, “enggak, dek. Mas mu itu bawa mobil tadi pas berangkat kerja. Mas mu juga nggak mungkin lupa bawa mobil, orang dia setiap hari kerjaannya nyetir.” sahut June, Win semakin tidak mengerti.

“Kalau Mas Bie bawa mobil dan tidak lupa caranya mengemudi, lalu June kenapa harus menjemput Mas Bie? Memangnya Mas Bie masih kecil… seperti Sinchan dijemput ibunya di sekolah, hehehe.”

Aduh, gemas… June yang tidak tahan dengan kegemasan Win pun dengan nekat menangkap wajah si kucing manis lalu menggigit pipi kirinya yang gembul seperti buah persik.

Win mengaduh, gigitan June adalah yang terburuk, katanya. Tapi sebuah kecupan penutup yang diberikan gadis itu di tempat yang sama membuat Win mengulas senyum lebar.

June's kisses are one of the bestest things Win ever had.

June lantas mengelus sayang surai kehitaman Win, “June mau jemput Mas Bie ke kantor karna katanya Mas mu itu sakit, dek. Nggak yakin kalau bawa mobil sendiri, takut kenapa-kenapa di jalan. Got it, anak manis?”

Dengan semangat Win mengangguk. Mengerti akan apa yang baru saja June ucapkan. Tapi… tidak lama sorot matanya menggelap, begitu ia sadar kalau ternyata Mas Bie-nya jatuh sakit.

Win mendekatkan wajahnya pada June. Matanya memicing, alisnya bertaut salah satu. June pun ikut-ikutan memicingkan matanya, “hayo… kenapa ngeliatin aku kayak gitu?”

Tangan kiri June menangkup pipi kanan Win, sedangkan tangan kanannya perlahan-lahan mulai menghapus garis-garis halus di sepanjang dahi si Manis.

“Nggak usah pakai kerut-kerutan di dahi dong, cantik.”

Win hanya tertawa, tapi tidak bertahan lama. “Mas Bie sakit, June?” tanya nya.

June mengangguk, “makanya tadi aku nyariin kotak obat, eh nggak taunya ada sama kamu, dek. Kalau habis dibawa ke kamar, jangan lupa dikembalikan ke lemari atas ya, dek, ya?”

“Okie, June,” Win menghela nafas pelan, “Mas Bie sakit apa, June?”

“Darah rendahnya kumat, sama ada migrain sedikit katanya. Jadi mau pulang aja, istirahat di rumah.”

Kepala Win mengangguk kecil. Seolah mengerti dengan kata-kata June padahal nyatanya, “darah rendah itu apa, June? Apa itu migrain…”

Adik dari Bright itu tertawa pelan, sebelum akhirnya ia menyentuh tangan Win dan memijat lengannya dengan lembut, “darah rendah itu suatu penyakit yang dialami manusia karna memiliki tekanan darah yang berada di bawah normal kebanyakan orang,” June menggerakkan tangannya untuk mengusap lengan Win.

“Di dalam sini,” June menyentuh beberapa spot di tangan Win, “ada yang namanya darah, makanya Winnie, June dan Mas Bie bisa bertahan hidup karna kita punya darah, dek. Dan Mas Bie punya kondisi dimana tekanan darahnya kecil, jadi Mas Bie suka lemes tiba-tiba kalau kecapekan.”

Kedua tangan June kini beranjak menuju kepala si Manis. Dengan penuh sayang, ia usap sisi kanan dan kiri kepala Win, “kalau migrain ada di sini,”

June mengetuk pelan sisi kiri kepala Win, membuat anak manis itu memejamkan mata karena kaget.

“Migrain itu sakit kepala, tapi cuma di salah satu sisi aja. Kalau nggak di sini,” June mengetuk sekali lagi kepala bagian kiri Win, lalu beralih mengetuk pelan kepala bagian kanan si Manis, “ya di sini. Rasanya tuh kepala kita pusing dan berat, Mas Bie juga sering kena migrain kalau kerjaannya lagi banyak.”

Mendengar penuturan June, Win jadi sedih. Dalam hatinya ia memanggil-manggil Mas Bie dan bertanya; Mas Bie sakit sekali ya? Mas Bie cepat sembuh…

Win kembali menatap June dengan raut sedihnya. “June, apa boleh Winnie tidak usah ikut menjemput Mas Bie? Winnie ingin merapikan kamar dan menyiapkan air hangat untuk Mas Bie.”

Melihat Win yang tampak khawatir, June akhirnya hanya bisa pasrah. Ia mengelus pipi gembul Win satu kali lagi, sebelum bangkit berdiri dan pamit untuk segera pergi.

Win mengantarkan June sampai ke pintu depan. Sambil memerhatikan June yang sedang memakai sepatunya, Win kembali berucap, “June hati-hati di jalan ya, okie?”

June mengangguk, ibu jarinya teracung tegak.

“Iya, dek… udah sana kamu masuk, nanti aku telfon kalau udah deket rumah ya. Biar kamu bisa jemput Mas Bie ke bawah.”

“Baiklah, okie dokie, June.”

. . .

“Jangan bergerak terus, sayang...”

Huh, gagal sudah segala usahanya. Win mau tidak mau cuma bisa pasrah ketika Bright mengencangkan lingkaran tangannya di perutnya. Win menunduk, menatap tangan Bright yang sesekali mengusap pelan perutnya.

Decakan pelan keluar dari ranum merah muda si kucing manis. Pandangan yang awalnya terfokus pada langit-langit kamar kini beranjak menuju satu objek yang masih setia menutup mata. Nafasnya terdengar teratur, begitu juga tempo degup jantungnya yang terasa di telapak tangan Win, seolah-olah sang tuan sedang tidur dengan nyenyak.

Win menatap Mas Bie-nya dalam-dalam. Meski harus dalam kesunyian dan secara diam-diam, Win bersyukur karena Bright tidak demam. Sesampainya di rumah, June langsung tancap gas ke kampus tanpa mau repot-repot memboyong sang kakak naik ke atas, ke kamarnya.

Alhasil, Win lah yang harus membantu Bright untuk melangkah pelan, menaiki anak tangga satu persatu sampai mereka tiba di kamar.

Dengan telaten Win membantu Bright untuk bersiap-siap mandi, menuntun langkah kaki sang tuan menuju kamar kecil di kamar mereka karena Win terlalu khawatir Bright akan merasa pusing.

Dengan telaten pula Win menyiapkan segala keperluan mandi Bright seperti, sikat gigi, pasta gigi, sabun cuci muka, sabun cair, shampoo dan juga cologne di atas sebuah meja kecil yang sengaja ia taruh di samping bathtub.

Win juga sudah menyiapkan pakaian tidur untuk Bright.

Win juga sudah menyiapkan hidangan hangat seperti sup ayam dan juga teh panas di meja makan, untuk disantap oleh Bright seusai mandi.

Dan berakhir lah mereka di sini, di atas ranjang keduanya. Dengan posisi Win terkunci di dalam pelukan si yang lebih tua, tangan kanannya yang bertumpu di atas tubuh lelaki itu membuat Win bisa dengan mudah mengajak jari-jemarinya untuk menari di dada bidang si pemilik.

Seperti sekarang ini, Win mulai menggambar pola-pola abstrak di dada Bright yang ia jadikan kanvas dadakan.

Pola pertama; lingkaran.

Win sudah pandai menggambar lingkaran tanpa cetakan, lho!

Pola kedua; bentuk awan.

Belakangan ini kalau ditinggal di rumah sendiri, Win sering menggambar pemandangan di kertas putih berukuran A3. Lumayan untuk mengisi waktu, katanya.

Pola ketiga; bentuk hati.

Win baru saja menarik jarinya agar pola berbentuk hati yang ia buat jadi tertutup sempurna, tapi wajahnya kepalang merona, jantungnya berdetak dengan kencang.

Win menengadahkan kepala, memandang Bright tiba-tiba berdecak sambil mengerutkan dahi.

Perlahan namun pasti, Bright membuka pejaman matanya, “kamu nggak denger tadi Mas bilang apa? Mas suruh kamu buat diem 'kan, Win?”

Win tergagu. Sorot mata sang tuan berubah jadi gelap, jantung Win semakin berdetak tak beraturan.

“Kenapa malah gangguin Mas, sih? Kamu bikin kepala Mas tambah sakit tau, nggak?!” Bright bahkan meninggikan intonasi suaranya.

Win tercengang. Ia sama sekali tidak ada maksud untuk mengganggu tidur Bright, tapi sepertinya Bright marah sekali…

Anak manis itu tidak berani membuka mulut. Lalu tanpa kata, Bright berbalik dan kembali tidur dengan posisi membelakangi.

Win yang takut setiap gerak-geriknya akan membangunkan Bright pun memilih bangun dan meninggalkan ranjang. Ditatapnya satu kali lagi sang tuan, sebelum akhirnya ia beranjak menuju pintu dan keluar dari sana.

Win merasa deg-degan bukan main. Terakhir kali Bright marah padanya adalah ketika ia dengan lancang masuk ke ruang kerja Bright dengan alasan konyol; ingin menatap foto Bright yang terpajang di meja kerja.

Foto kesukaan, begitu kata si kucing manis.

Itupun Bright hanya berdecak sambil menghukumnya seperti anak SD yang sedang disetrap. Tidak pun sampai satu jam, Bright sudah menyuruh Win untuk berbaring di sofa sambil berbincang-bincang sekaligus menemani sang tuan bekerja.

Tidak seperti sekarang, Bright seolah marah besar padanya.

Win melangkah menuju ruang tengah dengan perasaan gusar. Berulang kali ia berhenti melangkah seraya menoleh ke arah belakang, tepatnya pada pintu kamar mereka.

Helaan nafas panjang terhembus dari belah bibirnya. Lambat laun ia meneruskan langkah, kemudian melempar tubuhnya ke atas sofa.

Win berbaring setengah duduk di sana. Matanya menelisik ke arah jam dinding, oh sudah jam 6 sore ternyata. Satu kali lagi Win menghela nafas, wajahnya ia usap agak sedikit kasar lalu berdiri dan beranjak menuju dapur.

Win ingin menghangatkan sup ayam yang tadi siang ia buat. Siapa tahu Bright merasa lapar saat terbangun nanti, dan juga untuk June kalau sudah pulang dari kampusnya.

Win juga memasak air untuk disimpan di termosă…ˇ sebagai persediaan untuk ditempatkan di meja yang ada di kamar mereka, takut-takut Bright terbangun saat tengah malam dan butuh minum air yang hangat.

Win juga sudah menyiapkan nasi, sudah menata piring dan gelas sebanyak dua buah di atas meja. Sendok dan garpu ya pun sudah ia letakkan di samping masing-masing piring.

Win juga sudah membuat susu hangat untuknya sendiri. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit sampai Win menyelesaikan semua pekerjaannya.

Lantas sambil meminum sedikit-sedikit susunya dari sebuah mug berwarna oranye gelap, Win membawa langkah kakinya menuju ruang tengah.

Ia kembali duduk di sofa, lalu menghidupkan televisi. Di jam-jam menjelang malam seperti ini, biasanya June akan mengajak Win nonton film-film barat entah itu film bertema keluarga, action maupun horror.

Win memindahkan channel TV berulang kali, mencari acara yang pas untuk ditonton. Atensi yang beralih ke sana sini membuat Win tidak fokus dan tidak sadar ketika seseorang kini sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya.

Win terlalu pusing mencari acara yang seru di televisi pun juga terlalu kepikiran dengan Bright yang marah besar padanya. Dirinya kembali menghela nafas dengan berat, lalu meletakkan mug berisi susu cokelat miliknya di atas meja.

“Pusing… pusing… pusing...”

DUGGGă…ˇ ACKKK, tabrakan antara punggung dan juga tulang hidung membuat Win terlonjak kaget dan meloncat dari posisi duduknya.

“M-mas B-bie,”

Win bahkan tidak bisa menebak, kapan Bright keluar dari kamar? Kapan Bright sudah berpindah tempat tidur dari ranjang ke sofa di ruang tengah?

Bright yang mengaduh sambil mengusap-usap hidungnya pun membuat Win tidak tega. Win kembali duduk di sisi sofa, di depan Bright. Tangan kiri si Manis bertumpu di pinggiran sofa, sedangkan tangan kanannya perlahan-lahan menyentuh hidung sang tuan, lalu mengelusnya lembut.

“Me is sorry, Mas Bie…”

Bright mengangguk pelan lalu memeluk tubuh Win. Keduanya jatuh berbaring di sofa, dengan posisi Bright yang memeluk Win dari belakang.

Dengan sengaja, Bright menaruh sebagian sisi wajahnya di atas pipi kiri Win. Menyatukan kedua wajah itu dalam sebuah gesekan lembut yang membuat Win tertawa kecil.

Bright mengelus pinggang Win, lalu berujar, “maafin Mas ya, sayang… i didn't mean to scream at you, Mas salah, Mas nggak bisa nahan sakit kepala tadi jadinya Mas malah marah ke kamu.”

Win terdiam sebentar. Bayang-bayang saat Bright memarahinya tadi kembali melintas dalam benaknya. Tapi elusan yang Bright berikan di pinggangnya mampu membuat Win mengangguk. Mata si manis memejam menikmati pergerakan wajah Bright di atas pipinya.

“Mas Bie, masih sakit kah kepalanya?”

Bright mengangguk, mengeratkan pelukannya.

“Masih, tapi nggak apa-apa, besok juga sembuh. Kan Mas lagi dirawat sama dokter Winnie.”

Diam-diam Win tersenyum, pipinya ikut merona. Dokter Winnie, dokter Winnie, dokter Winnie… lucu, hihihi.

“Mas Bie, sudah lapar atau masih kenyang? Winnie sudah siapkan untuk makan malam, Mas Bie harus minum obat lagi supaya cepat sembuh, okie...”

Bright bergumam pelan, “iya, sepuluh menit lagi, boleh?” lalu mencuri satu kecupan di pipi gembil Win, “Mas masih mau sayang-sayangin kamu kayak gini… sayangnya Mas… manisnya Mas… cantiknya Mas…”

“Winnie punya siapa, hm?”

Rona di wajah Win semakin jelas, jantungnya bergemuruh tidak karuan. Lantas dengan malu-malu, ia menjawab, “punya Mas Bie.”

“Punya siapa? Mas nggak denger...” sengaja diulang, ingin menggoda si kucing manis.

Win mengerucutkan bibirnya sesaat, lalu tidak lama ia kembali berucap, “punya Mas Bie. Winnie punyanya Mas Bie.”

Bright terkekeh mendengar jawaban Win. Diam-diam, hatinya merasa hangat juga penuh. Sepersekian detik berikutnya ia bawa tubuhnya untuk mengukung Win dari atas.

Bright menurunkan wajahnya sedikit demi sedikit. Ia hendak meraih bibir penuh Win dengan bibirnya, Win yang sudah paham akan kemana aktivitas ini berlabuh cuma bisa memejamkan mata sambil menunggu.

Semakin dekat,

Semakin tipis jarak di antara keduanya,

Semakin habis inci yang menengahi,

Dan,

“WOY MAS… AMPUN DEH KAN LO LAGI SAKIT??? JANGAN BAWA PENYAKIT KE WINNIE, WOY?!!”

June… datang di waktu yang amat sangat tidak tepat.

. . .

ă…ˇ written by : JEYI.

“Let's make our first time wonderful… wanna top me?” Bright memelankan laju tangannya yang bergerak naik turun di bawah sana, membuat Winㅡ sang pacar, melenguh pelan sambil menggeleng.

Satu kecupan berhasil Win curi di bibir Bright yang semakin merah dan sedikit membengkak, “enam sembilan, yuk?!”

tags : EXPLICIT CONTENTSă…ˇ first time!ayangpacar, handjob, chest play, grinding, dirty vocabulary (such a k/n/t/l, t/ti/t, n/g/w/e etc), over-stimulation, face cumming, mentioned of 69. total words : 4.787 words commissioned by : @brightest_bun


notes: ini versi lanjutan dari narasi berjudul “Our Special Day” (first time bright & win di universe LDR Jurusan) okie dokie!

ENJOY!


“Oke… so,”

Win menarik pelan surai hitam Bright sampai pemuda itu terpaksa harus menyudahi acara menyusu-nya. Kabut nafsu sudah memenuhi sepasang mata pemuda 18 tahun itu, dan pergerakan jari-jari panjang tangan Win di tengkuknya semakin membuat Bright terbakar oleh gairah.

“Gue mau blowjob lo, Bii… I wanna taste your kontol...”

Bright mematung. Ekspresi seduktif yang terpasang di wajah sang pacar tampaknya tak bisa membantu dirinya untuk menelan saliva yang seolah terjebak di pangkal tenggorokan. Sadar tak sadar, kedua telapak tangan Bright yang bertumpu di sisi kasur mulai mengepal. Damn, ada sensasi aneh yang menggerayangi tubuhnya mulai dari ujung kepala sampai ke ujung ke kaki.

Tidak adanya pergerakan dari sang pihak dominan membuat Win yang terbaring pasrah di bawah mulai mengerjapkan mata, bingung. Win belum melakukan apa-apa, tapi Bright sudah kalang kabut dalam diamnya.

Win mengusap pelan pipi kiri Bright, “kok diem? Nggak mau ya tititnya gue isep-isep?”

ANJINGGGGGGㅡ ya tuhan, Bright mau nangis…

Lantas dengan cepat Bright menggelengkan kepalanya. Pemuda yang hari ini genap berusia 18 tahun itu menggulingkan tubuhnya ke samping, berbaring terlentang di sisi kasur yang kosong. Win yang bingung dengan keadaan dan sikap sang pacar pun kini beringsut mendekat, berbaring menyamping sambil menatap sendu Bright yang kini fokus menatap langit-langit kamar.

Ujung jari telunjuk tangan kanan Win bermain di dahi Bright. Membentuk pola abstrak di sanaă…ˇ halus, hampir membuat si empunya dahi memejamkan mata.

“Kenapa?” tanya Win, seraya membawa tangannya untuk menangkup pipi kiri Bright dan mengelusnya penuh sayang, “kok malah tiduran? Nggak mau lanjut ngewenya?”

Bright mencelos, lalu berbalik menatap Win yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya lengkap dengan binar sendu yang terpancar dari kedua matanya.

Satu kali lagi, Bright menghela ringan nafasnya, “belajar dari mana, sih? Mulut lo serem banget, yang...”

“Serem apanya? 'Kan cuma dipakai buat ngomong kontol, titit sama ngewe?”

Lagi dan lagi, Bright menghela kasar nafasnya. Dua kelopak matanya memejam sesaat, lalu pemuda itu berdecak, “anjing, Win… Gue merinding sebadan-badan denger lo ngomong jorok kayak gitu.” sahut Bright.

Ya ampun, gemesnya… Tanpa sadar Win menarik sudut bibir kiri dan kanannyaㅡ membentuk senyuman, tidak tahan karena Bright terlihat grogi akibat kosa kata kotor yang terucap dari bibirnya.

Win tertawa pelan, ditangkupnya kedua pipi Bright lalu ia hujani ranum merah muda sang pacar dengan kecupan bertubi-tubi. Cup, cup, cup, tiga kali kecupan nakal Bright terima. Membuat pemuda yang terbaring pasrah di bawahnya itu terkekeh pelan, “kecup doang, ngelumat kagak.” ucap Bright, di sela-sela aktivitas bibir sang pacar yang enggan berhenti menciumnya.

Ditantang seperti itu, malah membuat Win semakin ingin mengerjai pacar nakalnya. Lambat laun ia mulai mengubah posisi, beranjak naik ke atas tubuh Brightă…ˇ duduk tepat di atas perut pemuda itu, dengan kedua lutut yang bertumpu di atas kasur.

Win masih terus menghujani bibir Bright dengan kecupan, lalu ketika dirasa posisinya sudah nyaman, Win membawa kepalanya miring ke kanan dan meraup bibir sang pacar dengan lapar.

Dilumatnya bibir atas dan bawah Bright bergantian, agak sedikit kewalahan tapi si Manis tidak mau berhenti. Gigitan-gigitan kecil ikut serta meramaikan, membuat Bright gagal menahan lenguhan apalagi ketika lidah Win mulai masuk ke dalam rongga mulutnya. Bermain-main jahil di sana, berusaha menggapai ujung lidah Bright yang sengaja ia sembunyikan dari jangkauan Win.

“Mana lidahnya...” merasa putus asa, Win pun menarik sedikit wajahnya sehingga ciuman panas keduanya harus berakhir. Sebuah decakan pelan lolos dari bilah bibir si pemuda manis, “coba keluarin lidahnya sekarang.” sambungnya.

Bright tertawa sebentar melihat Win yang mulai frustrasi. Tidak mau langsung menuruti permintaan si Manis begitu saja, Bright pun menggeleng pelan sambil bergumam, “ngapain sih main lidah? Kayak bisa aja.” Okay… sepertinya Bright lupa, semakin ditantang maka Win akan semakin menjadi-jadi.

Satu tangan Win beranjak meraih beberapa helai surai hitam Bright, digenggamnya erat lalu ditarik ke belakang sampai membuat pemuda itu mendongak dengan posisi dagunya yang berada tepat di bawah bibir Win.

Dengan senang hati, juga dengan seringai kecil yang mampir di wajahnya, Win menunduk… menempelkan bibirnya pada dagu sang pacar yang seiring waktu berjalan semakin turun menuju rahang dan berakhir di daun telinga kirinya.

Win menarik surai hitam Bright satu kali lagi. Bibirnya terbuka seduktif, ada desahan berat yang terselip di setiap geraknya. Perlahan-lahan, ia raup daun telinga Bright lalu dikulumnya penuh godaan.

“Mmmhhh, nggak mau lidahnya dikulum kayak gini?” Win membasahi daun telinga Bright dengan kulumannya, “hm, nggak mau, Bii?” satu gigitan kecil Win berikan di sana, Bright mendesah menahan nikmat.

“Ahhhh, sayangㅡ,”

Win menjilat singkat sisi telinga kiri Bright, lalu menyahut, “kenapa? Udah nyerah? Udah tegang belum kamu?”

Tuhanku… Sempet-sempetnya Win pakai aku-kamu pas lagi menjemput klimaks begini…

Tidak mau takluk begitu saja di bawah dominasi si kekasih hati, Bright dengan cepat melingkarkan satu tangannya di punggung Win dan membalik posisi mereka. Kini, Win terkulai di bawah. Kedua tangannya merengkuh leher Bright untuk dipeluk erat.

Kondisi wajah yang terlalu dekat antara satu sama lain membuat deru nafas Bright menyapu dengan bebas permukaan wajah Win. Sepasang obsidian hitam legamnya terkunci dengan sepasang obsidian kecokelatan milik Wină…ˇ saling menyelami perasaan masing-masing.

Tangan kiri Bright bertumpu di sisi kanan tubuh setengah telanjang Win, sedangkan tangan kanannya mulai bergerak memberi rangsangan berupa elusan sensual di sepanjang pinggang polos sang kekasih hati.

“I am not lying when i said i got goosebumps every time those dirty words coming from your pretty lips,” hidung keduanya bersentuhan, perlahan namun pasti Bright bawa bibirnya untuk kembali bertemu dengan bibir Win. Dua kali kecupan mereka lalui, kini Win tanpa sadar membiarkan belah bibirnya terbuka seolah meminta lebih. Bright mengulas senyum tipis di wajahnya, “kayak bukan lo banget, but that's so sexy of you...”

Bibir keduanya kembali bertemu. Dengan penuh perasaan, Bright melumat bibir atas Win dengan irama lambat. Ia juga membiarkan si Manis mulai mengeksplorasi bibir bawahnya, bahkan ketika Win tidak sengaja menggigitnya, Bright hanya terkekeh kecilă…ˇ tidak apa-apa, kemudian menyambung kembali ciuman panjang mereka.

Seolah tidak ada hari esok, seolah tidak ada kesempatan lain.

Kedua tangan Win tentu tidak tinggal diam. Jari-jarinya yang panjang mulai menemukan jalannya ke surai hitam nan tebal milik Bright. Win tidak kuasa untuk tidak memainkan tangannya di sana; mengusap, meremas, mengusap lagi dan disusul dengan dengan sebuah jambakan pelan.

“Mmhhh, Bii...” Win bergumam, Bright semakin meliar.

Bibirnya tidak lagi memberikan lumatan panas, tapi perlahan-lahan turun mengecupi sudut bibir, dagu, sampai ke perpotongan leher. Bright sengaja meninggalkan jejak saliva di setiap titik yang berhasil ia kecup, membuat beberapa bagian di wajah Win terlihat mengkilap, basahă…ˇ Win terlihat amat sangat sempurna dengan penampilan seperti itu.

Bright mengecup salah satu titik yang sudah ia ketahui sebagai titik paling sensitif di leher lelaki manisnya itu. Sesekali lidahnya ikut bekerjaă…ˇ menjilat halus, lagi dan lagi Win dibuat mendesah pasrah.

“J-jangan tinggalin bekas, Bii… Nanti ketahuan M-mamah… ahhhhhㅡ,” lain di mulut, lain juga di tindakan. Mau seberapa kalipun bibirnya meminta berhenti, tapi nyatanya tangan Win berlaku sebaliknya. Ia mendekap erat kepala Bright, mengusap-usap rambut pemuda itu penuh kelembutan, bermaksud meminta lebih.

Masih sambil menghisap kulit di perpotongan leher Win, Bright bergumam sesaat, “mau udahan aja, nih?” yang jelas langsung dibalas gelengan ribut oleh si Manis.

“Nggak, nggak mau,” sahutnya. Satu tangan Win beranjak menyentuh punggung bidang Bright dan mengelusnya pelan, “y-yaudah nggak apa-apa, s-sedikit aja tapi, nanti Papah marah kalau bekasnya terlalu kelihatan...”

“Sekecil ini?” tanpa aba-aba, Bright menggigit agak keras kulit leher Win, lalu menghisapnya kuat sampai menimbulkan bunyi.

Win melenguh tertahan, decakan kesal lolos dari belah bibirnya, “hhhhh, bangsat.”

Bright tidak bisa menyembunyikan tawanya. Setelah puas meninggalkan jejak kecil kemerahan di perpotongan leher si kekasih hati, Bright kembali membawa tubuhnya pada posisi yang lebih tinggi. Mengukung Win satu kali lagi, di bawah dominasinya.

Bright menatap dalam kedua mata Win, “yakin mau ngasih first time lo ke gue?”

“Uhm,” kepala si Manis mengangguk ringan, “gue yakin, yakin banget.”

“Lagian nggak pakai acara masuk-masuk, 'kan?”

Pertanyaan polos Win berhasil membuat Bright terkekeh. Kemudian kepalanya mengangguk, mengiyakan. “Iya, sayang… Nggak pakai acara masuk-masuk, tapi gesek-gesek doangㅡ”

Belum sempat Win memberikan respon, Bright lebih dulu mencuri start untuk menggesekkan kejantanannya yang masih terbalut celana dengan kejantanan Win yang juga masih dilindungi oleh kain sleep robe merah marun yang ia kenakan.

“... kayak gini.” Bright semakin menjadi, gesekan yang dilakukannya bertambah cepat.

Win melirih, bibir bawahnya ia gigit dengan kuat agar desahannya tidak lolos begitu saja. Dua tangannya mencengkeram bahu bidang Bright, berusaha mencari waras yang mulai menguap lenyap entah kemana.

Bright terus bergerak di bawah sana. Meski masih terhalang fabrik, tapi gesekan-gesekan itu mampu membuat birahinya semakin meningkat pesat, menuju puncak. Kejantanan Win semakin mengeras, sesekali Bright tekan kuat-kuat miliknya di atas milik Win, mencari nikmat, menjemput kata puas.

“Aaaahhh, mau, mau… Mmhh,,, ya Tuhan enak banget… Bii,”

Tanpa sadar Win ikut bergerak mengikuti arus yang diciptakan oleh Bright. Tubuhnya maju dan mundur berlawanan arah dengan sang pacar, friksi yang hebat… memabukkan. Win bahkan merasa kalau dirinya bisa saja mencapai klimaks hanya karena gesekan seperti ini.

Bibir Bright terbuka, desahan berat keluar dari mulutnya dan hal itu mampu membuat Win gemetaran.

Brightă…ˇ di atasnya, dengan mulut sedikit terbuka sambil mendesah, juga matanya yang sama sekali tak lepas dari jangkauan netranya, adalah salah satu hal kesukaan Win mulai sekarang.

Bright dengan kabut nafsu yang mendominasi obsidian hitamnya, juga dengan binar senduă…ˇ sayu, yang terpampang di sana terlihat begitu indah di mata Win.

Lantas tanpa berpikir panjang, Win menarik tengkuk Bright dan kembali mempertemukan bibir mereka dalam sebuah penyatuan dalam. Suara derit kasur yang bergerak mulai memenuhi kamar. Tidak hanya itu, erangan-erangan tertahan juga mulai terdengar. Keduanya saling melumat, sama-sama menjulurkan lidah untuk dihisap dan diberi afeksi.

Gerakan Bright semakin menggebu-gebu, lumatan dan kuluman bibir Bright pada lidah Win juga semakin kehilangan tempo, berantakan.

Sebentar lagi, hanya butuh beberapa kali hitungan maju sampai putih itu datang menghampiri keduanya.

Bright menjadi pihak pertama yang mengakhiri ciuman mereka. Kemudian ia bawa bibirnya mendekat pada telinga kanan Win, Bright mendesah memanggil nama Win di sana.

“Win, ahhh… Win, sayang… Pinter, iya sayang kayak gitu geraknya… Mmhhh, pacar gue udah pinter gesek-gesek ya sekarang, terakhir kali kita gesek-gesek gini di toilet sekolah ya, Win… Masih berantakan, but look at you now, ahhh, hhhhh… Bright keluar sebentar lagi boleh, sayang?”

Dipuji sekaligus ditanya dengan nada seduktif seperti itu jelas membuat Win kian mengerang. Pegangannya pada bahu Bright yang masih tertutup kaos semakin kuat, cengkramannya di surai hitam sang pujaan hati juga bertambah erat.

Bright sengaja mendesah sesaat setelah mengakhiri ucapannya. Ada erangan berat terselip di sana, membuat Win secara spontan menekan kejantanannya agar semakin menyentuh kejantanan Bright.

“Mmmhh, Bii,” rasa-rasanya Win sudah tidak sanggup mencari kata. Yang bisa ia lakukan hanya mendesah, mendesah dan mendesah meminta lebih.

Lidahnya kelu. Kakinya mulai kehilangan kekuatan untuk sekedar bertopang di sisi kasur. Jantungnya bertalu-talu dengan ribut, lambat laun Win menganggukkan kepalanya ringan, sebagai jawaban; iya, kalau Bright boleh mengeluarkan cairan cintanya sebentar lagi.

Bright mengecup pelan daun telinga Win, lalu membawa mundur tubuhnya untuk kembali berhadapan dengan si Manis yang masih sibuk menghentak-hentakkan tubuhnya berlawanan arah.

Si yang sedang berulang tahun tertawa kecil, membuat Win memutar matanya jengah tanpa mau ambil pusing.

Perlahan-lahan Bright menghentikan gerakan pinggulnya. Pemuda itu beringsut menjauh dari atas tubuh Win, menjatuhkan kakinya satu persatu di lantai untuk berdiri.

Win melenguh pelan ketika pusat rangsangannya pergi begitu saja. Ia melirik bagian bawah tubuhnya, sial… sudah berdiri, tegak.

Kepalanya menoleh ke arah kanan, memerhatikan Bright yang tengah melucuti pakaiannya satu persatu. Diam-diam Win mengagumi pacarnya ituă…ˇ wajah agak memerah penuh nafsu, mata yang terlihat tajam penuh dominasi tapi masih menyimpan kelembutan juga bibir bawah yang sengaja digigit sensual entah apa gunanya.

Win terkekeh, “seksi kali lo gigit-gigit bibir kayak gitu?” tanya nya, meledek. Pemuda itu sendiri juga mulai membuka tali sleep robe yang masih terikat sedikit. Menariknya turun, lalu melempar kain tidur itu ke lantai.

Win, sudah benar-benar telanjang bulat sekarang.

Butuh usaha sedikit lagi sampai Bright berhasil menarik celana dari kaki kirinya. Sama halnya dengan si Manis alias pujaan hati kesayangannya, Bright melempar jauh-jauh celana dan bajunya ke lantaiă…ˇ termasuk pakain dalam pemuda itu.

Bright, juga sudah membuat tubuhnya sendiri polos tanpa sehelai benang pun yang tertinggal.

“Bangun, sayang. Nungging,”

Win yang masih bingung dengan permintaan Bright, cuma bisa mengangkat satu alisnya. Ada garis-garis halus di dahinya, tidak seinci pun pemuda manis itu bergerak.

Bright yang seolah paham arti tanda tanya tak kasat mata yang terpajang di wajah lelakinya itu berdeham sebentar. Jujur, ia sendiri bingung bagaimana harus mengatakannya, bagaimana harus meminta apalagi menjelaskan tentang posisi yang ia inginkan saat ini.

Takut jika terlalu vulgar, takut jika nyatanya Win tidak mau menyanggupi permintaannya.

Seakan mengerti akan raut gusar wajah Bright, Win pun buka suara, mengajukan pilihan. “Nunggingnya ke arah mana? Muka gue di depan titit lo, atau pantat gue yang di depan titit lo?”

Dang it, ucapan Win barusan berhasil mengantarkan sengat listrik di seluruh tubuh Brightă…ˇ tepat dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Kejantanannya semakin mengeras, bahkan sesekali ujung kepalanya bergerak seolah sedang menari penuh antusias ke kanan juga ke kiri.

Lantas Bright menggeram pasca digodai seperti itu, “Yang, nggak bisa deh gue diajakin ngomong jorok kayak gitu...” ucapnya penuh lirih.

Win tertawa, melihat Bright frustrasi akan rasa high-nya adalah kesenangan baru bagi pemuda itu. Yang mungkin, akan dengan sengaja ia lakukan nanti-nanti.

“Tuh kan malah ngetawain gue,”

Dengan cepat Win menelan bulat-bulat tawanya. Bibir penuhnya mengatup cepat, “emangnya kenapa sih? Seru tau ngomong jorok gitu. Abisnya gue nggak pernah dirty talk gitu kalau di sekolah.” sahut Win.

“YA GILA AJA, HEH LU MAU DIRTY TALK SAMA SIAPA KALAU DI SEKOLAH? SAMA PAPAN TULIS?”

Ampun… Win sudah tidak sanggup lagi untuk menahan tawa. “Dih, sama papan tulis aja cemburu. Jelek banget pacarku ini kalau lagi cemburu.”

Sedangkan yang diledek cuma bisa menghela nafas jengah.

Win bangkit dari posisinya. Perlahan-lahan ia beringsut mendekat ke arah Bright yang berdiri di samping kasur. Kakinya menekuk, Win berlutut tepat di hadapan Bright.

“Biasanya kalo pacar aku ngambek harus dicium dulu biar ngambeknya hilang. Sini nunduk,” that's it, Win dengan sejuta cara jitunya untuk meluluhkan hati Bright.

Tidak mampu menahan diri terlalu lama, akhirnya Bright pun pasrah dan menunduk. Ia bawa tubuh bagian atasnya masuk ke dalam pelukan hangat Win, pun ia biarkan kedua tangan si Manis kembali melingkar di lehernya. Bright memiring ke arah kiri dan Win ke arah kanană…ˇ bibir mereka kembali bertemu, dalam suatu tautan dalam.

Kali ini Bright membiarkan Win mendominasi ciuman mereka. Ia hanya akan balas menghisap sesekali ketika lidah Win mengetuk-ngetuk jahil bibir bawahnya.

Terlalu sering saling menyalurkan afeksi lewat ciuman, Win tampaknya sudah bisa disebut handal. Pergerakan bibirnya yang membasahi bibir atas dan bawah Bright bergantian dengan lumatan, skill dasarnya untuk mengulum lidah Bright yang tanpa sadar beberapa kali terjulur meminta diberi perhatian, lalu kecupan jahilnya yang mendarat di sudut bibir Bright begitu ia mengakhiri ciuman panjang mereka.

Win tersenyum, begitu juga Bright. Satu tangannya terangkat mengelus sayang pipi kiri Bright, “udah pergi ngambeknya, bayi besar?” tanya nya.

“Udah,” ada jeda di akhir satu kata itu, “ngambeknya pergi, klimaksnya juga pergi.”

AMSYONGGGG, niat hati buka baju buka celana untuk menjemput klimaks karena terlanjur sesak, justru putih itu ikut menghilang karena keduanya terlalu sibuk bermain-main.

Win melirik kejantanan Bright yang setengah melemas, menyisakan sedikit cairan pre-cum di sana.

Dengan senang hati, Win menyentuh ujung kejantanan lelakinya ituă…ˇ mengusapnya pelan dengan ibu jari.

Sambil terus memberikan sentuhan di kepala penis Bright, Win mendongak, hendak mengajak pacarnya itu untuk kembali berkonversasi.

“Bii,”

Sebuah erangan keluar dari belah bibir Bright, sepasang mata pemuda itu turut menatap Win dalam-dalam, “diem, Win. Jangan banyak ngomong. Nanti gue nggak keluar-keluar.”

Oke, oke. Win mengatupkan kembali bibirnya dan memilih fokus untuk memanjakan penis Bright yang sudah mulai menegang.

Win menggerakkan ujung ibu jarinya tepat di lubang penis Bright yang tampak berkedut. Lalu empat jarinya yang lain turun menangkup batang yang sudah keras, meremasnya pelan tapi penuh dengan penekanan.

“Bii, maaf tapi gue mau ngomong mumpung waktunya tepat,”

Bright hanya mengangguk, memberi kesempatan pada Win untuk melanjutkan kata-katanya.

Dalam hitungan detik Win mulai mengajak telapak tangan kanannya bergerak naik dan turun. Diawali dengan gerakan lambat, ia mengocok penis tegang sang kekasih.

“... i like it when you keep this handsome baby clean.” lalu diremasnya penis sang kekasih, kuat.

Bright menggeram, “sayang, f-fuck… enak banget, coba remes kayak gitu lagi.”

Sorot mata Bright semakin gelap. Puncak, sepertinya sudah berhasil dijemput setelah sempat sempat menghilang tanpa aba-aba.

Win menganggukkan kepalanya bagai anak kecil. Tangannya semakin bergerak dengan cepat, mengocok penis tegang Bright sambil sesekali meremasnya kuat. Membuat Bright tidak lagi mampu menahan desahannya.

“Ahhhㅡ,” Satu tangan Bright naik menjangkau surai berantakan Win. Dielusnya penuh perhatian surai hitam sang kekasih, “sejak kapan lo pinter remes-remes kayak gini, yang?”

“Sejak lo ngajak gue berbuat mesum di toilet sekolah, untung nggak jadi.” Bright tertawa, teringat akan memori beberapa minggu lalu dimana dirinya dan Win bersembunyi di bilik ke-3 toilet pria lantai dua untuk saling mengejar nikmat walau hanya sebentar.

Tidak mau hanya dirinya yang dipuaskan, Bright turut membawa satu tangannya yang bebas untuk menyentuh bagian dada Win. Kocokan Win di penisnya sempat terhenti tepat ketika Bright dengan jahil mencubit noktahnya sebelah kiri.

“Gue oke oke aja kalau lo ajakin beginian sering-sering, asal jangan di sekolah lagi ya, Bii. Nggak boleh ah, nggak sopan.”

Lalu bagaikan penurut ulung, Bright menganggukă…ˇ menyanggupi.

Sambil mulai meremas dada kiri Win (yang memang cukup besar untuk ukuran laki-laki), Bright pun berujar, “iya, iya… Janji deh nggak ngulangin lagi.”

“Good boy,” sahut Win. Masih sambil menjaga temponya untuk mengocok dan meremas penis Bright yang kian membesar, satu tangan Win kembali merengkuh tengkuk Bright dan mempertemukan bibir mereka entah untuk yang ke berapa kalinya malam itu.

Bright baru saja akan melumat bibir atas Win ketika telapak tangan si Manis turun menjamah kedua bola kembarnya. Win begitu handal, Bright semakin pusing dibuatnya.

“Ssshh, u-udah,” kata Bright, lalu memutus ciuman mereka.

Bright meletakkan kedua tangannya di atas bahu Win, “sayang, udah, coba tangan lo diem.”

Kedua alis Win jelas bertaut tidak mengerti, “ngocoknya udahan? Lo belum keluar gitu.”

Bright menggeleng, “udah, nurut aja. Tangan lo tetep di situ, dan jangan bergerak.” Ya sudah, oke. Win akhirnya menurut. Lalu tiba-tiba Bright bergerak dengan sendirinyaㅡ tubuhnya menggenjot maju dan mundur, membawa penisnya untuk bergerak lambat di dalam telungkupan telapak tangan Win.

Win tidak pernah menduga kalau kegiatan seperti ini mampu mengundang birahinya untuk ikut melayang tinggi. Melihat penis Bright yang naik – turun – lalu naik lagi – turun lagi, bagian kepala yang sudah memerah dan mengeluarkan banyak pre-cum itu sesekali hilang tenggelam di dalam telungkupan tangannya… membuat Win menelan ludahnya susah payah.

“Ahhhh, enak… enak nggak, Win tangannya digenjot gini?”

Tidak mencoba untuk mengelak, Win pun mengangguk. Tanpa sadar, ia mulai membasahi bibir bawahnya dengan lidah.

“Sekarang tangannya dulu ya Win yang digenjot gini, nanti kalau kita udah kuliah, kita pelan-pelan belajar yang lebih enak lagi, ya?”

Dijanjikan 'yang lebih enak' di masa depan tentu membuat Win kembali mengangguk, kali ini jauh lebih bersemangat.

Bright semakin mencengkram bahu si Manis begitu ia hentakkan tubuhnya lebih kuat lagi. Dapat Bright rasakan, tangan Win yang sesekali ikut meremas mencari nikmat.

Satu hentakan,

Dua hentakan,

Tiga hentakan yang lebih kuat,

Lalu di hentakan keempat, Bright mendesah berat, “mau keluar… gue mau keluar sekarang, Win… ahhhㅡ,”

Bright tidak lagi memaju mundurkan penisnya. Dan diamnya Bright, menjadi alasan tersendiri bagi Win untuk bergerak secara mandiri. Tangannya kembali mengocok penis sang pacar, berniat membantu Bright untuk menjemput klimaksnya.

“Kocok terus Win, mmhhh, ya tuhan, enak… enak banget, sayang...”

Win semakin mengocok penis Bright dengan cepat, dan sepersekian detik kemudian cairan putih mulai keluar dari lubang penis Bright.

“Tiduran Win, cepet,”

Enggan repot-repot untuk bertanya, Win pun menurut dan langsung membaringkan tubuhnya di kasur dengan posisi terlentang. Matanya mengerjap gusar begitu ia sadari Bright kini naik ke atas tubuhnya, dan berhenti dengan posisi pemuda itu berjongkokă…ˇ mengangkang, tepat di atas dadanya.

Penis tegang Bright kini berada tepat di atas wajahnya. Win tidak tahu apa yang hendak Bright lakukan, tapi diam-diam ia menelan ludahnya susah payah. Win ingin sekali menyentuh ujung penis Bright dengan lidahnya;

Ingin menjilat, ingin menghisap, ingin menenggak cairan putih yang masih terus mengalir itu dengan mulutnya.

Perasaan gugup mulai melingkupi diri Win ketika cairan sperma milik Bright jatuh menetes di pipi kirinya.

Win menatap Bright dari bawah. Tanpa sadar bibirnya terbuka, meminta diberi sperma.

Tapi Bright menggeleng, “nggak, nggak boleh. Sperma rasanya nggak enak.” yang mana kata-kata itu berhasil membuat Win mengerucutkan bibirnya.

Di pengalaman pertama mereka, Win justru dilarang untuk mencicipi sperma sang kekasih. Cih, nyebelin.

“Terus lo ngapain naro titit lo di atas muka gue?”

Bright tertawa, sedangkan Win merasa kesal.

Lantas sambil mengocok penisnya sendiri, Bright membawa batang kejantanannya itu mendekati dahi Wină…ˇ membiarkan cairan spermanya perlahan-lahan tumpah membasahi bagian tersebut.

“Mau kayak gini,” ujarnya, lalu ia bawa batang kejantanannya menuju pipi kiri Win. Sambil terus mengocok, Bright kembali membiarkan bagian wajah sang kekasih mulai dipenuhi dengan sperma.

Dalam hati Win mengumpat, “anjrit, anjrit,” walau sebenarnya ia mulai menyukai rencana Bright. Wajahnya yang semakin dipenuhi sperma, terasa lengketㅡ dan menyenangkan.

Berlanjut ke pipi kanan, lalu ke hidung dan Win secara spontan mengangkat kepalanya, memberi celah pada Bright untuk semakin mengotori wajahnya dengan sperma.

Bright tersenyum, satu tangannya yang bebas mengelus surai berantakan Win penuh kasih sayang.

“Cantik,”

Kini leher Win juga disinggahi oleh cairan putih itu.

“Win cantik banget kalau dibanjirin sama sperma kayak gini.”

Win tertegun. Nggak bisa, nggak bisa nih, my own dick is twitching.

Lalu Bright mengakhiri pertumpahan spermanya di atas dada Win. Tepat di tengah puting kiri dan kanannya.

“Bii,”

Bright yang semula sibuk meratakan cairan sperma di atas dada Win dengan jarinya, kini mendongak. Kedua pasang mata yang dipenuhi kabut gairah itu saling bertukar pandang.

Kepala Bright mengangguk kecil, “ya, sayang?”

Win turut menangkup wajah sang kekasih, mengelus kedua pipinya lembut. Sorot matanya kian melembut, kini terlihat seperti seekor anak anjingă…ˇ pomeranian putih.

“Do i look pretty?” tanya nya.

Bright tertegun. Ada nada sensual yang terselip di setiap penggalan kata yang diucap Win.

Belum sempat Bright menjawab, Win kembali mengeluarkan kalimat yang berhasil membuat Bright nyaris tersedak ludahnya sendiri.

“Hm? Do i look pretty with your cum all over my face?”

Ya Tuhan, Bright tau ini dosa… Tapi kalau boleh jujur, Win bener-bener terlihat sempurna dengan keadaan serampangan seperti ini. Dengan cairan spermanya yang memenuhi hampir seluruh bagian di wajah manisnya… Ya Tuhan, Bright harus apa…

Tentu mengangguk, Bright. Memangnya apa lagi?

Jawaban penuh validasi itu lah yang diharapkan Win. Alhasil, Bright mengangguk.

“Cantik. Pacarku cantik, yet sexy at the same time.” balas Bright, sambil turut meratakan cairan sperma miliknya di wajah Win dengan ibu jari.

“Skincare lo diganti sama cairan gue aja mau nggak, Win?”

Win tertawa, Bright dengan nafsu birahinya memanglah kombinasi yang… seksi.

“Iya, iya, mau. Tapi nggak setiap hari, ya...” jawab Win.

“Oke.”

Lalu Bright melanjutkan aksinya untuk meratakan wajah, leher dan dada Win dengan sperma. Sampai dirasa cairan miliknya itu mulai mengering, Bright menundukă…ˇ menghadiahi ciuman di bibir Win sebanyak tiga kali.

Bibirnya masih menyentuh permukaan bibir Win, Bright berujar dengan nada lembut, “makasih banyak, sayang...”

“Sama-sama, gantengku.”

Bright terkekeh, lalu menggulingkan tubuhnya ke sisi kasur yang kosong. Pemuda itu berbaring terlentang, menatap langit-langit kamar sambil mengatur deru nafasnya.

Tidak mau berbohong, foreplay seperti ini saja cukup membuatnya lelah. It was their first time, but it's tiring him up already.

Win yang sadar kalau Bright mendadak hening pun kini membawa tubuhnya untuk berbaring menyamping, menghadap sang kekasih. Win mengelus sayang pipi kanan Bright, lalu memainkan jari-jari panjangnya di surai hitam sang kekasih.

“Capek, ya?” tanya Win.

Yang ditanya menganggukkan kepala, “lumayan, rasanya beda sama kalau gue main sendiri. Biasanya nggak secapek ini.” sahut Bright.

“I see, namanya juga pertama kali, ganteng...”

Walau belum mencapai klimaksnya, sedikit banyak Win tahu kalau Bright benar-benar kelelahan sekarang. Meski tidak terlalu sering memuaskan dirinya sendiriă…ˇ solo, tapi Win cukup paham kalau untuk menjemput klimaks secara mandiri rasanya tidak selelah ini.

Tiba-tiba Win mendapat pencerahan. Karena malam masih panjang dan kondom yang ia jadikan hadiah untuk Bright belum dipakai, Win ingin memancing nafsu Bright, lagi.

Lalu tanpa aba-aba, ia bawa tangannya untuk mengelus seduktif dada telanjang Bright. Bermula dari tulang selangka… dan berhenti tepat di puting kanan Bright.

Win memutari noktah kecokelatan itu dengan ibu jarinya, membuat Bright menggeram berat.

Bright lantas mengangkat pandangannya, dan begitu kepalanya mendongakă…ˇ ia kaget bukan main, karena tiba-tiba Win menunduk dan memasukkan puting kanannya ke mulut Bright.

Perlahan-lahan Win naik ke atas tubuh Bright, memeluk tengkuk sang kekasih agar putingnya semakin masuk ke dalam.

Bright mengubah posisinya menjadi duduk, direngkuhnya punggung polos Win agar tidak jatuh ke belakang. Win sudah duduk dengan manis di atas pangkuan Bright, sedangkan si birthday boy kini mulai mengulum puting kanan Win, seakan-akan sedang mencari air susu di sana.

Win meremas rambut Bright, “sshhh, enak… e-enak banget, isep terus, Biiㅡ”

Bright melumat, mengulum, menghisap puting kanan Win penuh nafsu. Tangan kirinya bergerak memberikan usapan di sepanjang paha Win yang mengangkang melingkari pinggangnya. Sedangkan tangan kanannya mulai meremas puting kiri sang kekasih, memberi kenikmatan hingga Win lagi dan lagi meloloskan desahannya.

“Deeper,” rambut bagian belakang Bright semakin dicengkram kuat, “more deeper, please...”

Dan entah sadar atau tidak, Win mulai bergerak di atas pangkuan Bright. Pinggulnya memompa maju dan mundur, bahkan sesekali ia memutar. Penis keduanya kali ini bertemu tanpa penghalang, saling melepas rindu seolah sudah lama tak bertemu.

Bright mengalihkan kuluman bibirnya pada puting kiri Win, memperlakukan setitik kecil itu penuh perhatian hingga Win menggeram nikmat.

Win memeluk bahu Bright erat, masih sambil terus bergerak menggesek di bawah sana, Win berbisik di telinga kanan Bright, “let me get my own pleasure,”

Satu kecupan Bright berikan di dada atas Win, “sure, keluar aja sayang, kapan pun lo mau.”

Gerakan Win di atas pangkuan Bright semakin menggila. Pemuda manis itu menengadahkan kepalanya, menahan nikmat. Lehernya terekspos bebas, dadanya membusung terlihat menantang.

Bright menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Win, mengecupnya jahil, lalu menjilatnya sampai ke dada.

Satu tangan Bright menangkup penis mereka berdua dalam satu genggaman. Bright mengocok mereka, kuat, tegas, penuh dominasi. Bright turut meremas kedua penis itu, “i am close too,”

Lalu di kocokan ke-5, keduanya sama-sama menjemput putih.

Bright, dengan klimaksnya yang ke-2.

Dan Win, dengan klimaksnya yang pertama.

“Istirahat dulu, sayang...”

Bright mengajak Win untuk bersandar di kepala ranjang. Win mengangguk, lelah… Begitu Bright menyamankan posisinya, Win masuk ke dalam pelukan Brightㅡ menaruh kepalanya di bahu bidang sang lelaki.

Bright mengusap punggung polos Win penuh sayang, “how was it?”

Malu-malu Win tersipu sambil mengulum senyuman, “it was great, gue nggak kaget sih lo jago kayak gitu...” Win mendongak menatap Bright dari bawah, lalu telunjuknya menyentuh dahi Bright dan bergerak pelan di sana, “it was written there, that you're good at sex.”

“That's so sexy of me,” balas Bright, yang langsung dibalas tawa oleh Win.

Win memeluk Bright lebih erat lagi, ia menghirup aroma tubuh Bright sebanyak yang ia bisa.

“Tapi untuk next-nya, boleh nggak… if i get your cum inside my mouth?” tanya Win agak hati-hati, karena tadi Bright bahkan melarangnya untuk mencicipi sperma pemuda itu.

Bright tampak berpikir sesaat, “gue takut lo nggak suka sama rasa sperma, terus lo trauma...” ujarnya.

Tapi Win malah menggeleng, “kan belum dicoba… ya, ya boleh ya?”

“Ya udah, ya udah, liat nanti.”

Yeay! His name is Win for a reason, right?!

“Soalnya gue penasaran banget mau coba ngasih lo blowjob.”

Bright menatap Win penuh keraguan, “yakin, mau?”

Win mengangguk, penuh keyakinan.

“Kita kayak gini dulu aja lah,” Tanpa aba-aba, Bright kembali menangkup penis Win, “lo bisa lakuin ini kapan pun lo mau, kontol gue selalu siap sedia, anyway...”

Win tertegun, are we going back to use some dirty words???!

Win menggigit kecil bibir bawahnya, “Bii,”

Masih sambil mengocok pelan penis Win, Bright menjawab, “ya, sayangku?”

“Kalau kontol lo gue panggil si ganteng, lo marah, nggak?”

Astaga… Si ganteng, katanya.

Bright terkekeh pelan, “emangnya kontol gue lebih ganteng daripada muka gue, hm?”

“Nggak gituuu,” kini tangan Win ikut meraih penis Bright, dan mengocoknya dengan tempo lambat.

“Boleh, yaaa?!”

Pasrah, deh, pasrah. “Ya udah, boleh.”

Keduanya mendadak hening, namun masih saling mengocok dan meremas penis satu sama lain, seakan-akan sedang sama-sama berusaha menjemput birahi agar segera datang kembali.

“Win,”

“Let's make our first time wonderful… wanna top me?” Bright memelankan laju tangannya yang bergerak naik turun di bawah sana, membuat Winㅡ sang pacar, melenguh pelan sambil menggeleng.

“Bright,”

Satu kecupan berhasil Win curi di bibir Bright yang semakin merah dan sedikit membengkak, “enam sembilan, yuk?!”

ANJINGGGGGG LURRRRR!!!

. . .

ă…ˇ written by : JEYI (210321).

🔞 EXPLICIT CONTENTS; not-so-quickie and car sex, sex toys, a little bit drunk!sex, grinding, multiple-orgasm, blowjob, handjob, over-stimulation, dirty vocabs (using some of local porn words such a k/n/t/l, ng/w/e etc), contains male pregnancy (M-PREG) issue, baby blues cases and all. code pair: brightwin. words : 8.376 words.

Please, be a wise reader. If you're under 18 and not comfortable with explicit contents, do not read this whole oneshot. Thank you.


There's a single word that Win ever put in one of his famous script, right on the last page of his well-written story,

Metanoia…

(n.) the journey of changing one's mind, heart, self or way of life.


“Let's get a lot of awards this year, especially for Metanoia and for our highest paid actor… Bright Vachirawit, uhmㅡ”

Soju, vodka, whisky, dan beberapa makanan ringan berserakan asal di atas meja berbentuk persegi panjang yang sudah berjam-jam dihuni oleh orang-orang yang cukup berperan penting dalam dunia perfilman Indonesia. Terhitung sudah ada enam botol soju yang kosong tak bersisa di sana, juga di waktu yang sama menampilkan enam botol minuman beralkohol lainnya yang masih tersegel apik.

Satu botol Smirnoff vodkaă…ˇ no. 21 berukuran besar sudah kosong, tetapi masih menyisakan dua botol lainnya yang ternyata masih utuh, penuh. Serta empat botol whisky dengan merk yang berbeda masih terpajang manis di tengah meja, tiga sudah dibukaă…ˇ nyaris habis, dan satu botol lagi masih dalam keadaan terkunci rapat.

Chaos, hanya satu kata itu yang mampu menggambarkan keadaan, dimana Bright sekarang duduk di salah satu bangku yang ada di ujung meja sebuah resto dan bar mewah di kawasan Kemang.

Ah, ternyata waktu semakin beranjak malam dan sudah memasuki pukul sebelas, ketika tak sengaja Bright edarkan pandangannya untuk melirik beberapa kru film dan produksi, serta orang-orang penting di balik layar yang memiliki peran penting untuk film layar lebar yang kali ini ia bintangi bersama seorang aktris rookie, dengan usia cukup jauh di bawahnya.

“Hey, y-you o-okay?” Bright sebenarnya canggung untuk menyampaikan kuriositasnya, tapi seseorang yang kini duduk di hadapannya tampak harus diberi sengatan agar tidak hilang kesadarannya.

Seorang lelaki dengan balutan sweater oversized berwarna hitam melirik Bright dengan cepat, kemudian ia sedikit oleng saat mendengar suara sang aktor papan atas kesayangan seluruh warga negara samar-samar mengetuk gendang telinganya dengan sopan. Kepalanya mengayun kecil ke bawah, alis sebelah kirinya memicing, bibir bawahnya yang penuh itu mencebik bak seorang anak kecil yang kehilangan permen manisnya.

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Bright, karena jujur ia sendiri bingung apakah masih berada di ambang sadar atau tidak.

Sepasang kelopak matanya yang sedikit tertutup, terbuka, lalu tertutup lagi dan terbuka setelahnya, cukup memberi penjelasan bahwa lelaki itu sudah nyaris seratus persen kehilangan kesadaran.

Bright terkekeh kecil, melihat sosok tersebut seolah berusaha untuk menjawab pertanyaannya, namun rasa high-nya yang masih mendominasi justru menahan laju ucapnya di ujung lidah.

Ekspresi wajah lelaki itu berubah dalam hitungan detik. Kali ini, ia buat raut menggemaskan bak anak kucing kehausan mencari susu. Oh, jangan lupakan jari telunjuknya yang panjang kini bergerak lucu naik dan turun menunjuk tepat pada bagian dadanya.

Bertanya melalui gestur singkat, apakah Bright sedang bicara kepadanya atau justru bertanya pada orang lain. Atau mungkin… ia hanya terlanjur halusinasi semata.

“Iya, bener, saya ngomong sama kamu.” ujar Bright, yang dibalas anggukan paham oleh sosok yang masih menatapnya dengan tatapan khas anak kucing.

Lucu, Bright bergumam dalam hatinya. Sengaja ia tatap si lelaki manis yang berperan sebagai penulis naskah film yang dibintanginya itu se-lama yang ia bisa. Lelaki dengan sweater hitam itu masih mengangguk-angguk kecil, namun temponya sudah sedikit melambat, lalu mengaduh keras sambil memejam saat kepala bagian belakangnya tidak sengaja bertabrakan dengan dinding yang ada di belakang.

“Aiiiishhh... Ughh, sakiiiit...”

Bright spontan beranjak dari bangku yang ia duduki. Langkahnya sedikit sempoyongană…ˇ pengaruh alkohol, tapi ia tetap berusaha untuk menahan bobot tubuhnya sendiri lalu segera mengambil posisi duduk di samping si penulis naskah yang masih mengaduh sambil mencebikkan bibir.

Bright tertawa sebentar sambil terus memandang lelaki itu, lalu tangannya bergerak untuk meraih tangan halus yang semula masih sibuk mengusap-usap kepalanya sendiri yang mungkin masih terasa sakit.

Tangan Bright kini bertugas memberi usapan lembut di sana, di bagian yang baru saja membentur dinding, membuat si penulis naskah kembali menatapnya dengan sepasang mata yang mengerjap lucu.

“Sakit, kah?” tanya nya.

Lelaki manis itu mengangguk pasrah, memiringkan kepalanya sedikit untuk merasakan lebih dalam usapan tangan Bright di kepalanya, “sakiiiiit...” sahutnya lirih, “tapi kalau diusap-usap sama kamu, kayak gini... sakitnya hilang… wooosshhh… hilang, kan?!”

Demi Tuhan, Bright tidak pernah tahu jika efek samping mabuk seseorang bisa... membuatnya jadi selucu ini. Se-menggemaskan ini.

Si penulis naskah tersenyum kecil sambil sesekali menduselkan sisi wajahnya di telapak tangan Bright yang kini sudah menempel di pipinya, “tangan kamu wangi.”

“Bright, limit sewa bar kita tinggal satu jam lagi. Beberapa kru sudah mau pamit, kamu masih mau di sini atau mau ikut di mobil saya? Kamu mabuk, anyway.”

Bright yang masih asik memberikan usapan kecil di wajah si penulis naskah dengan ibu jarinya, langsung menoleh saat suara sutradara film menginterupsi. Matanya mengerjap beberapa kali saat tak sengaja ia dapati sang sutradara sedang melirik dirinya dan juga si penulis naskah secara bergantian.

“Nggak begitu mabuk, Mas. Saya masih kuat bawa mobil sendiri.”

Lalu pandangannya beredar melirik beberapa kru yang sudah hilang kesadaran dan menjadikan meja sebagai bantal darurat bagi mereka, juga beberapa kru yang tidak minum tampak sedang bicara satu sama lain, lalu yang lain juga sedang bersiap-siap untuk segera meninggalkan bar.

Ah, ya, benar juga. Rupanya Bright baru sadar kalau tim produksi film memang hanya menyewa bar untuk durasi 6 jam, dan akan berakhir tepat pada pukul 12 malam. Bar ini adalah milik sahabat dari sutradara film, yang kebetulan juga menjadi tempat pertemuan pertama antara sutradara, dua pemeran utamaă…ˇ Bright salah satunya, juga satu orang penulis naskah yang memang sudah jadi kebanggaan tersendiri bagi rumah produksi yang mengambil alih proyek film layar lebar ini.

“Win mabuk banget, ya?”

Bright kembali melirik Winㅡ si penulis naskah, sesaat, “iya, Mas. Mas Win bawa mobil nggak, ya?” balas Bright yang langsung dibalas gelengan oleh sang sutradara.

“Tadi berangkat ke sini nya barengan sama saya. Tapi kayaknya, saya nggak bisa ngedrop Win ke unit apartemennya. Mobil saya penuh, nih.”

Bright baru saja akan membalas ucapan sang sutradara saat gerakan Win yang terkesan tiba-tiba membuat jantungnya seolah loncat dari tempatnya.

Bright bahkan harus memundurkan sedikit wajahnya hanya untuk memberi ruang bagi si penulis naskah nan manis itu agar bisa bersandar dengan nyaman di bahu kirinya. Tingkat kesadaran Bright yang sebelumnya bahkan tidak mencapai 65%, kini seolah kembali pulih dan membuatnya tersadar pada level persentase tertinggi.

“Kamu wangi huhuhu... Aku suka... Mau cium cium cium... Mwaaah... Mmhh wangi huuuueee!!!”

Berguling di lantai tampaknya bukan pilihan yang buruk, tapi Bright jelas tidak bisa melakukannya sekarang walaupun sosok yang sejak awal pertemuan mereka beberapa bulan lalu itu sibuk memasang ekspresi datar di wajahnya, kini malah beringsut melingkarkan kedua tangan di pinggang Bright sambil sesekali mencium bahu dan rahangnya.

Ya, Win yang beberapa bulan lalu ditemuinya secara eksklusif adalah sosok lelaki muda yang enggan memasang ekspresi di wajahnya.

Tapi Win yang sekarang…

Ciuman pertama di bahu, cukup membuat mata Bright mengerjap kaget.

Ciuman kedua masih tetap di bahu, cukup membuat Bright harus menahan hembusan nafasnya selama beberapa detik.

Ciuman ketiga di rahang atasă…ˇ dekat telinga, mulai membuat Bright kesulitan untuk menelan ludah.

Dan yang terakhir… ciuman di rahang bawahㅡ dekat dengan ujung bibir, ternyata mampu membuat aktor kesayangan semua orang itu kehilangan akal sehat dan mencuri satu kecupan lebih dulu di bibir penuh yang kini mengerucut bingung.

Satu mata Win yang tengah terpejam memicing, merasa linglung untuk sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum lebar sambil memajukan wajahnya, “mau dicium lagiiii ya, ya, ya....!!!”

Diberi kesempatan, mana bisa menolak? Bright pun bersiap untuk memajukan kembali wajahnya, sambil otaknya bekerja menyusun sebuah strategi tentang bagaimana caranya untuk menikmati bibir ranum itu lebih dalam dari sekedar kecupan biasa, namun lagi dan lagi suara sang sutradara film harus membuatnya mundur beberapa sentimeter. Kemudian dahi Win jatuh tepat di bawah dagunya.

“Hm, Bright, saya titip Win sama kamu, boleh? Alamat unitnya nanti saya kirim lewat chat. Mabuk banget dia, biasanya toleransi alkoholnya tinggi, tapi tumben banget ini dia udah ngawang...”

Bright melirik Win yang mulai bernafas dengan teratur dalam dekapannya, lalu kembali memusatkan seluruh atensi pada sang sutradara, “boleh, Mas. Sekalian saya mau pamit sekarang aja deh, mumpung kesadaran saya juga udah full.”

“Oh boleh, boleh, sebentar,” pria dengan busana kasual yang dilengkapi snapback putih di atas kepalanya itu tampak mulai sibuk mengotak-atik ponselnya. Hingga satu menit berlalu, ia kembali menatap si aktor papan atas, “udah saya share loc, ya? Unitnya ada di Gardenia Building tower H, nanti minta bantuan security aja pas kamu udah sampai. Win terkenal di kawasan apartemennya, hahaha.”

Bright mengangguk pelan saat ia merasa ada getaran di saku celananya.

Diliriknya satu kali lagi sosok manis yang tampaknya sudah benar-benar kehilangan kesadaran itu. Deru nafasnya terdengar beraturan, tenang, membuat Bright tidak tega untuk membangunkannya.

Oke, beri waktu sekitar sepuluh menit sampai setidaknya lelaki yang sedang mabuk itu bergerak sedikit untuk mengubah posisi tidurnya. Ya, menunggu bukanlah hal yang sulit bagi Bright. He can manage.

Drrrrrtt,

Perhatian Bright teralihkan pada sebuah ponsel yang tergeletak pasrah di samping botol soju yang sudah kosong. Pikiran Bright kembali mundur pada apa yang terjadi sekitar satu jam setelah semua pesanan datang ke meja reservasi mereka. Win yang sudah amat sangat akrab dengan tim produksi filmă…ˇ karena beberapa kali terlibat di dalam project film dan drama yang sama, langsung mengambil dua botol soju tanpa izin dan meminumnya bagaikan seseorang yang sudah berpuasa tanpa berbuka selama satu minggu lamanya, dan tak ada satu orang pun yang melayangkan protes akan tindakan tersebut.

Sudah menghabiskan nyaris dua botol sendiri, Win bahkan masih sempat meminta satu gelas whisky yang sudah dicampur dengan beberapa tetes air pada salah seorang kru film yang duduk di sampingnya.

Di balik wajahnya yang manis, ternyata Win merupakan seorang peminum alkohol yang... ya, cukup payah. Setidaknya itu yang ada di pikiran Bright, karena nyatanya lelaki yang ia ketahui lebih dewasa di atasnya beberapa tahun itu sudah hilang sadar padahal botol sojunya yang kedua belum habis sepenuhnya.

Bright melirik sedikit layar ponsel Win yang masih menyala, dan salah satu matanya memicing kala ia mendapati nama Joss Way-Ar, seorang sutradara papan atas, terpampang jelas di sana.

Joss pernah mengajaknya bekerja sama untuk sebuah project web drama beberapa tahun lalu, dan ya, as expected bukan jika sebuah drama berhasil meraih kesuksesan besar saat terjadi kolaborasi antara sutradara papan atas sekelas Joss Way-Ar dan juga aktor mapan, berbakat sekelas Bright Vachirawit?

Bright yang kepalang penasaran pun mulai menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel milik Win, namun gerakannya terpaksa berhenti saat Win tiba-tiba mengubah posisinya menjadi duduk, masih dengan wajah yang terayun ke kiri dan kanan, juga sepasang matanya yang masih menutup rapat.

Atensi Bright tentu berpaling pada sosok yang tiba-tiba terbangun itu. Bibir ranumnya mulai mencebik lucu seraya tangan putihnya yang terbalut sweater hitam turut bergerak menepuk-nepuk seolah sedang mencari sesuatu di atas meja.

Bright bergerak mendekat, menjitak pelan dahi lebar yang tertutup helai rambut sehingga membuat sang korban melirih keras, “kenapa aku ditonjoooook!!!”

Astaga… ditonjok, katanya?!

Bright terkekeh pelan sebelum menjawab racauan si penulis naskah, “kamu ngapain gebuk-gebuk meja, hm? Mejanya ngapain emangnya?”

Win terdiam, bibirnya tak lagi mencebik, namun terlukis beberapa guratan di dahinya. Sosok manis ini tampak sedang berpikir keras.

Lalu, kepalanya menoleh ke arah meja. Dua kelopak matanya sudah terbuka, dan kepalanya bergerak miring ke arah kiri.

Bright sengaja tidak mengajak Win bicara lagi. Tingkah Win saat sedang mabuk ternyata sudah menempati posisi teratas dalam list 'hal-hal gemas yang ingin dilihat setiap hari', miliknya. Sedangkan Win di sampingnya mulai mengalihkan pandangan kembali pada Bright.

Bibir si Manis lagi dan lagi mengerucut, sepasang matanya mulai berkaca-kaca, “Mejanya nakaaaaal...”

That's it, tidak lagi ada kekuatan yang tersisa untuk menahan tawa. Bright tertawa dengan lebar, dan tentu racauan Win yang cukup keras disadari oleh beberapa kru dan artis yang belum beranjak dari posisi duduk mereka. Suasana yang sebelumnya tidak begitu ramai pun berhasil dibuat ricuh hanya karena racauan Win barusan. Semuanya tertawa, termasuk Bright, kecuali Win yang terlihat bingung sambil menggaruk pelan kepalanya.

Win menoleh ke arah lain hanya untuk bertemu pandang dengan beberapa pasang mata yang masih sibuk tertawa dengan lepas. Bibir ranumnya digigit pelan, seiring dengan atensinya yang perlahan kembali ia fokuskan pada sosok Bright.

Satu tangan Win meraih lengan hoodie hitam yang dipakai Bright, kedua alisnya saling bertautan, “aku lagi diketawain, yaaa?!” suaranya yang lembut bak anak kecil, membuat tawa Bright mereda dan berujung senyum kecil terlukis manis di wajahnya.

Bright mengusak pelan surai hitam Win, “mereka ngetawain aku.” jawab Bright, lembut.

“Mau pulang?”

“Eum???”

Bright menghela pelan nafasnya, usapan tangannya di rambut Win masih terus berlanjut, “pulang, yuk?”

Kini, giliran Win yang menghela nafas. Sosok manis itu terdiam sebentar, sebelum akhirnya ia menggeleng ringan, “ke rumah kamu, ya?” tanya nya, tentu dengan sepasang mata bulatnya yang mengerjap lucu.

Tidak ingin berargumen lebih jauh, dan Bright juga sudah cukup mengantuk karena hari semakin larut pun akhirnya mengangguk pasrah seraya beranjak dari posisi duduknya.

“Oke. Kita pulang ke rumahku.”

Yang langsung dibalas dengan tepukan meriah oleh Win, juga disertai dengan kekehan kecil pertanda ia sedang bahagia. Sangat bahagia.

Bright membantu Win untuk mengemas barang bawaannya, termasuk ponsel yang tadinya tergeletak pasrah di tengah meja. Lagi dan lagi Bright harus menahan nafas saat Win yang kini sudah berdiri di sampingnya langsung menggandeng tangannya dengan semangat.

Ditambah, lelaki manis itu melirik ke arah kru dan artis yang masih duduk di tempat mereka sambil menjulurkan lidah seolah-olah sedang meledek.

Tak ada yang bisa Bright lakukan selain menggeleng saat Win dengan kebiasaan mabuknya mulai memasuki fase kacau yang berhasil membuat semua orang di sana tertawa puas.

Bright pun pamit, lalu mulai membawa Win melangkah sehati-hati mungkin menuju parkiran.

Hah.., Bright tidak pernah menyangka, kalau pesta perayaan berakhirnya periode syuting film layar lebar yang ia bintangi akan berujung dengan pemandangan sosok manis penulis naskah yang sudah ia lirik sejak kali pertama mereka bertemu, kini duduk pasrah di bangku penumpang, di sampingnya.

. . .

“Arghhh... Deeper, please?”

Dengan terpaksa, Bright harus menghela nafas kasar berulang kali hanya untuk menghadapi sosok Win yang kini tengah bergerak gusar di bangku penumpang.

Sejak detik pertama Win duduk di sampingnya, Bright sudah merasa ada yang tidak beres dengan lelaki tersebut, karena beberapa kali ia dapati keringat dingin mengalir membasahi wajahnya.

AC mobil dalam keadaan menyala, bahkan Bright harus beberapa kali menghembuskan nafas lewat mulut hanya untuk merasakan sensasi hangat dari sana. Dan juga, racauan-racauan sensual yang entah, bagaimana bisa kata-kata tersebut terucap begitu saja dari bibir manis Win mulai mendominasi keheningan di dalam mobil.

Di lampu merah ketiga, Bright mau tidak mau melirik Wină…ˇ untuk yang kesekian kali, yang ternyata sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak dapat Bright jabarkan dengan kata-kata.

Wajahnya tampak memerah, meski Bright tak begitu bisa melihatnya. Sepasang mata bulat itu juga tampak berkaca-kaca, sambil sesekali tangan cantik miliknya bergerak meremas ujung sweater yang ia kenakan.

“Deeper, please...”

Meracau lagi, dan Bright mulai bingung harus merespon seperti apa.

Suara klakson dari arah belakang mulai terdengar, pertanda lampu hijau sudah menyala dan Bright harus segera tancap gas. Bangunan apartemen tempatnya tinggal masih cukup jauh, membuat Bright mulai dilanda rasa tak nyaman saat Win yang duduk di sampingnya terus menerus meracau dengan kalimat yang berhasil membuat Bright ikut-ikutan berkeringat dingin.

Ia terus berusaha fokus dengan jalanan, namun Win yang mulai mengubah posisi duduknyaă…ˇ menjadi sedikit mengangkang dengan kedua kaki yang sengaja dibuat naik ke bangku, berhasil membuat Bright berdecak kecil.

Lantas dipelankan laju mobilnya, lalu ia bawa tangannya untuk mengusap surai hitam Win dengan lembut, “is everything okay there?”

Win menggeleng pelan, “my vibrator is now lowbat. I feel really… really… really empty.”

Wait, what the fuck?!

Bright nyaris menginjak pedal rem secara mendadak saat kalimat yang tak pernah ia sangka-sangka akan terucap begitu lancar dari mulut Win.

Masih berusaha untuk fokus mengemudi, Bright pun membalas ucapan Win tanpa menengok ke arahnya sama sekali.

Helaan nafas berat terhembus dari bibir sintalnya, “pardon me, your what?”

Win mendengus pelan, “vibrator,” lalu melirih setelahnya. “Mainanku lowbat, huuuueeee...”

Win yang sedang mabuk lalu disandingkan dengan Win bersama mainan-nya, adalah dua hal yang ternyata tak bisa Bright handle sebegitu mudah.

Melanjutkan percakapan yang sejatinya not safe for himself tampaknya bukanlah pilihan yang tepat, alhasil Bright memilih untuk tetap mengemudi dengan satu tangan, sedangkan tangan yang satunya masih terus memberikan usapan lembut di surai hitam Win yang terus melantunkan racauan-racauan delapan belas coret yang, zuzur aja, cukup membuat Bright pusing tujuh keliling.

“Kamuㅡ,”

Bright menoleh sebentar, “ya?”

“Lubangku rasanya nggak enak,”

Demi apapun yang ada dunia ini, bisa nggak sih satu kali aja, Win nggak bikin Bright berasa sport jantung terus-terusan? Not Safe For Bright, hey, ini tuh!

“Tolong keluarin ini dari lubangku, please?”

Sial, sial, beribu sial. Tatapan mata bak anak kucing itu lagi yang Win jadikan sebagai senjata agar Bright tak punya kuasa untuk mengelak.

Bright berdecak pelan, keringat dingin semakin membasahi sebagian sisi wajahnya, “tahan sebentar bisa, kah? Saya lagi nyetir.”

Win melirih lagi, “nggak mauuu... Sakit tauuuu kalau cuma dibiarin diem di dalam sini...” gerakan lelaki itu semakin terlihat tidak nyaman, gelisah.

“I wanna get the pleasure too...”

“Aku mau kamu,”

Oh, shit, here we go again. Bright enggan berdebat, tentu saja… memangnya apa yang bisa diharapkan dari berdebat dengan orang mabuk?! Si aktor kini mulai membawa tangan kirinya menuju resleting celana jeans biru muda yang dipakai Win.

Tetap hati-hati, walaupun hati kecilnya ingin menolak dan berhenti. Tapi Bright tahu, rasanya dibuat sesak ketika sedang tinggi-tingginya itu… menyebalkan, tidak enak.

Win yang menyadari bahwa Bright kesulitan menurunkan resletingnya hanya dengan satu tangan pun berinisiatif untuk kembali mengubah posisi duduknya menjadi berjongkok, di atas bangku penumpang. Tidak ada keinginan sama sekali untuk membuka celana jeansnya seorang diri, Win pun memilih untuk membantu tangan Bright menurunkan sedikit demi sedikit resletingnya sampai ke bawah.

“Aku buka celananya semua?”

Jika kebiasaan mabuk Win seperti ini, Bright bersumpah untuk tak akan pernah membiarkan lelaki manis ini untuk pergi minum seorang diri lain kali.

Bright memutar kemudinya ke arah kiri, mulai memasuki jalan utama yang akan membawa mereka ke kawasan gedung apartemen aktor muda itu berada.

Bright mendesah pasrah, “sampai ke batas lutut aja, oke?” jawabnya, yang langsung dibalas anggukan semangat oleh Win.

Dengan begitu, Win pun mulai menurunkan celananya sampai lutut, sesuai dengan apa yang diminta Bright. Sambil menunggu Win selesai melakukan pekerjaannya, Bright pun kembali membawa tangannya untuk memberikan usapan lembut di surai hitam Wină…ˇ menyalurkan ketenangan.

“Udaaaah!”

Bright tak langsung menjawab ucapan Win. Aktor tampan itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala sisi, hanya untuk memastikan keadaan cukup aman bagi mobilnya untuk menepi.

Tidak butuh waktu lama, Bright akhirnya berhasil memarkirkan mobilnya di sebuah pelataran komplek kosong yang belum selesai dibangun. Ia memundurkan sedikit bangkunya, disusul dengan bangku Win yang juga ia mundurkan sedikit.

Ditatapnya Win satu kali lagi. Lelaki manis itu tampak rileks dengan posisi tubuh berjongkok, agak mengangkang dengan bagian bawah tubuhnya yang sudah terekspos seutuhnya.

Bright menarik nafas panjang. Berpikir keras apakah ia harus melakukan ini atau tidak, karena Bright paham dengan dirinya sendiri, tentang dirinya yang lemah akan godaan, ia takut keadaan ini akan membawa keduanya berlabuh pada keadaan yang mungkin akan disesali kemudian hari.

Namun, raut wajah Win yang lagi dan lagi bagaikan anak kucing mengemis belas kasihan ternyata mampu mengambil alih seluruh akal sehat yang tertanam dalam otak Bright.

“Mau di posisi kamu begini, atau kita pindah ke bangku belakang?”

Win tampak mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna pertanyaan Bright, lalu pada detik berikutnya ia rengkuh leher sang aktor dengan cepat dan mempertemukan bilah bibir keduanya.

Bright cukup terkejut. Bukan lagi rahasia umum jika Bright adalah seorang pencium yang handal. Ada banyak sekali adegan ciumană…ˇ mulai dari kecupan kupu-kupu tanpa nafsu sampai gaya berciuman yang disertai desahan serta lelehan saliva yang jatuh menjuntai sampai ke leher. Dari ciuman yang biasa-biasa saja, sampai ke ciuman yang pernah membuat lawan mainnya turn on pun sudah Bright lakukan.

Tapi tak pernah satu kalipun Bright dibuat terkejut, seperti sekarang ini.

Bright, awalnya, tidak pernah melibatkan perasaan dalam setiap adegan ciuman yang dilakukannya karena ia tahu, ia harus profesional dan bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Tapi rasa ketertarikan yang sejak awal sudah bersemayam dalam diri Bright ketika bertemu secara perdana dengan Metawin Opas-iamkajorn si penulis naskah terkenal seantero negeri, berhasil membuat Bright untuk kali pertama merasa ada ribuan kupu-kupu imajiner berterbangan di balik perutnya apalagi saat Win semakin memperdalam ciuman mereka.

Satu tangan Win memeluk erat leher Bright, sedangkan tangan yang satunya lagi mulai bergerak naik meremas surai hitam sang aktor yang mulai berantakan.

Bright berulang kali membawa wajahnya ke kanan dan kiri, berusaha menikmati lumatan kasar Win di bibirnya dengan tetap menjaga tempo permainan mereka.

Bright memajukan tubuhnya, membuat punggung Win sedikit membentur pintu mobil. Satu tangan Bright memeluk pinggang si penulis naskah, “you are drunk,” yang 95% sadar di sini hanya Bright, jadi sebisa mungkin pemuda itu berusaha menekankan pada Win kalau ia dalam keadaan mabuk, saat ini.

Ucapan Bright yang bergetar tepat di depan permukaan bibir Win membuat lelaki manis itu terkekeh pelan. Ciuman Win beranjak membasahi pipi kiri Bright, lalu turun ke rahangnya, “drunk sex is awesome sometimes,” mabuk, tapi masih bisa menjawab.

Tensi seksual di dalam mobil semakin tinggi, Bright dan birahinya mulai terbawa arus yang diciptakan oleh Win.

Kepala Bright mengangguk pelan, membenarkan dan mengiyakan ucapan Win barusan, “vibrator kamu mau dikeluarin atau kamu mau double penetrasi?” sahut Bright, memancing.

Win yang awalnya sibuk menjilati rahang Bright pun mulai menghentikan aksinya. Gerakan lidahnya di kulit sang aktor tidak lagi terasa, Win membawa tubuhnya yang sedikit sempoyongan untuk berhadapan dengan Bright yang secara tidak langsung mendukungnya dari atas, tentu tanpa melepas pelukannya dari leher jenjang pemuda tampan itu.

Satu mata Win memicing, “kamu emangnya kuat ngedorong kalau double penetrasi?” lalu Bright tertawa setelahnya.

Bright mengusap seduktif pinggang polos si penulis naskah, “kamu terlalu banyak ngomong dan terlalu nyambung untuk ukuran orang mabuk.” katanya, sambil menunduk, mendekatkan wajahnya pada perpotongan leher Win.

“Mmmhhh,ㅡ kamu nggak mau ngasih tanda di leher aku?” Tidak ada jawaban, yang terdengar hanyalah decakan pelan yang disusul dengan kekehan senang dari mulut Win ketika Bright mulai menjamah lehernya dengan mulut, gigi dan lidah.

Bright mengecup salah satu titik di leher Win, mengecupnya sampai basah lalu dihisap kuat bagian tersebut. Kaki kiri Bright sudah jatuh ke bagian belakang, berusaha menopang berat tubuhnya sendiri sedangkan kaki kanannya kini berpangku di sisi kiri tubuh Win, di atas bangku penumpang.

Sambil menghisap dalam kulit leher Win, Bright diam-diam mempertemukan dua selatan di bawah sana. Dua kejantanan yang masih terlindungi oleh fabrik; Wină…ˇ dengan celana dalamnya dan Bright dengan celana jeansnya kini saling bertukar afeksi, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang lagi dan lagi membuat Win mendesah keras.

“I wanna taste your special little baby, ahhhㅡ”

Bright menaikkan wajahnya, meraup daun telinga Win untuk dikulum dalam mulutnya.

Masih sambil menggesekkan kejantanannya pada kejantanan Win di bawah sana, Bright bergumam pelanㅡ tepat di atas daun telinga Win, “he's not a little baby, he's kinda big, wanna touch?”

Perlahan-lahan Bright menurunkan celana dalam Win, membuangnya asal ke bangku belakang.

Win meremas surai hitam Bright kuat, “mau, tapi nantiㅡ” lalu menarik kepala Bright menjauh dari lehernya, membuat wajah keduanya kembali berhadapan dalam jarak yang begitu dekat.

“Aku mau ciuman lagi, boleh?”

Seulas senyum kecil terbit di wajah Bright yang mulai dipenuhi kabut gairah, pemuda itu mengangguk, “look, who is this beautiful man below me?” jari-jari tangan Bright bergerak halus mengusap pipi Win, “cantiknya, siapa laki-laki paling cantik yang ada di dunia ini?” tanya Bright, satu kali lagi.

Win tertawa kecil, ia memajukan sedikit tubuhnya kemudian mencuri satu kecupan kilat di bibir Bright, “Metawin. He's the prettiest human alive.” jawabnya.

Bright mengangguk menyetujui, “betul,” keduanya kembali berciuman singkat, “Metawin, laki-laki paling cantik yang ada di dunia ini.” Rasa-rasanya, Bright seolah kembali menjemput mabuknya.

Keduanya terdiam. Baik Win maupun Bright sama-sama tidak membuka suara, hanya sibuk memandangi eksistensi masing-masing. Sepersekian sekon berikutnya, Bright mengendus pipi kanan Win lalu menciumnya gemas.

“Win,”

Masih sambil terus menatap Bright dengan mata sayunya, Win bergumam pelan, menyahuti panggilan Bright barusan.

“Are you sober enough?”

Win tertawa. Tawanya semakin menggelegar, tatapan matanya bertambah sayu.

Kemudian Bright berdehem, “masih mabuk ternyata.”

“Aku sadar….” Pemuda manis itu meracau, “sedikit, segini,” lalu ia menyatukan ujung ibu jari dan jari telunjuknya.

Senyuman penuh ledekan nan terkesan sayu di waktu yang bersamaan ikut hadir menghiasi wajah si penulis naskah, ia bergumam pelan, “aku cukup sadar untuk melakukan ini sama kamu, Bright. Please don't think about anything unless you're planning something to make me go high tonight.”

Bright menggeleng pelan, lalu berusaha menjauh dan kembali duduk di bangku kemudi. “Saya nggak bisa kalau kamu dalam keadaan nggak sadar penuh kayak gini.” Sebisa mungkin, Bright tetap mengutamakan consent. Walaupun sudah terlanjur diajak meninggi, sang aktor tidak mau jika hanya dirinya yang menikmati.

Suara tawa mulai mengisi keheningan di dalam mobil. Kali ini Win tertawa, kepalanya bahkan sampai terantuk ke jendela beberapa kali.

“Dari tadi aku bisa jawab ucapan-ucapan kamu yet you still have the audacity to say that I am too drunk? How funny...”

Jawaban Win berhasil menarik perhatian Bright. Pemuda yang nyaris kehilangan akal sehatnya itu kembali melirik Win yang ternyata sedang menatap ke arahnya, “terus kenapa pas masih di bar tadi kayaknya kamu mabuk banget? Sutradara bilang, toleransi alkohol kamu tinggi.”

Win mengangguk ringan, “I am.”

“Tapi kamu tadi bener-bener kelihatan mabuk, Win.”

“Yes, i was drunk, tapi nggak separah itu, tipsy tipsy sedikit lah...” jawabnya sambil memejamkan mata. Win membawa kepalanya untuk bersandar di jok mobil, mengistirahatkan tubuhnya sebentar di sana.

“Kalau nggak begitu, aku nggak akan bisa pulang. Gini-gini aku juga bisa belajar akting, sedikit, biar mereka percaya.”

Well, so this script writer is not that drunk…

“Terus kamu ngapain pakai vibrator?”

Yang ditanya cuma bisa menggelengkan kepala, pejaman matanya kini terbuka. “My job sucks,” yang diam-diam diaminkan Bright sebagai alasan kalau lelaki itu butuh pelampiasan untuk merilis rasa stressnya karena pekerjaan.

“Now how about you suck on my dick? It's hurtssss...”

“And he wants you,”

Gila, Metawin memang gila.

Sekarang giliran Bright yang mabuk kepayang atas ucapan-ucapan seduktif pria itu.

Lantas tanpa sadar Bright melirik ke arah bawah, memerhatikan kejantanan Win yang sudah berdiri, dan sedikit bergerak pelan meminta perhatian.

Satu kali lagi Bright memandang Win yang sedang merintih pelan, tanpa sepengetahuan Bright ternyata lelaki itu mulai menjamah penisnya secara mandiri, mengocoknya pelan, menjemput rasa nikmat.

Bright berdecak, “kamu nyuruh saya buat ngisepin kamu tapi kamunya malah asik main sendiri.” Bright, gila…

Win terkekeh kencang, lalu ia menarik tangannya menjauh dari sana, dari penisnya yang sudah berdiri tegak. Win bahkan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, “i am not touching myself, Sir.”

“Wants me to help you?” tanya Bright.

Kepala Win mengangguk cepat, tanpa ragu, “isep sampai aku keluar di mulut kamu, ya?”

Gila, Metawin, gila…

Bright menghirup oksigen banyak-banyak sebelum menghembuskannya secara asal. Sudah terlanjur tinggi, Bright pun menunduk di atas tubuh Win, membuka lebih lebar lagi kedua kaki si penulis naskah yang berjongkok di atas bangku.

Bright masuk ke tengah-tengah, lalu menangkup kejantanan Win dengan tangan kanannya. Mengusapnya pelan, sambil sesekali memberi remasan di sana.

“Win, are you fine with dirty words?” ujung ibu jari tangan Bright berhasil menyentuh lubang di kejantanan Win, diusapnya pelan bagian tersebut.

Win yang sedang memejam menahan desahan kini melirik Bright di bawah sanaㅡ di tengah kedua pahanya yang sedang mengangkang lebar. Kepalanya lambat laun mengangguk, “kontol? Kamu kapan mau isep kontol aku? He's hurting, don't play too long...”

Gila.

Bright menurunkan tangkupan telapak tangannya menuju buah zakar si penulis naskah, lalu kepalanya semakin menunduk, Bright kini memasukkan ujung kejantanan Win ke dalam mulutnya.

Bermain-main sebentar di sana, membasahinya dengan saliva lalu Bright mulai mengulum penis yang mulai memerah itu. Kepala Bright tetap mendongak, keduanya masih terus bertukar pandang.

Win tersenyum kecil, senyum penuh nafsu. Kedua tangannya merengkuh kepala Bright, memberi usapan sayang di surai hitam pemuda itu, lalu mendorongnya lebih dalam lagi sampai ujung penis si penulis naskah kini masuk ke dalam tenggorokan si aktor.

“Ahhh… enak… mulut kamu enak banget, mmmhhh, yessshh...”

Win mengerang. Tubuhnya mulai gemetaran saat dirasa putih mulai mendekat. Win masih terus menatap sepasang mata Bright, sambil membiarkan pemuda itu terus bergerak naik dan turun di atas penisnya, bahkan sesekali lidahnya turut hadir mengisi absensi dalam kegiatan panas mereka malam itu.

“Jilat, suck on my dick,”

Bright menurut, ia membawa keluar penis Win dari mulutnya lalu menjilati batang kejantanan itu dari atas hingga ke bawah, tidak ada satu bagian pun yang terlewat.

“Enak, aaahh… ya Tuhan, enak banget… i am about to die, fuckㅡ”

Masih sambil mengulum kecil penis Win, Bright berujar, “saya masukin lagi, ya? Kamu mau keluar di mulut saya, 'kan?”

“Mmmhh,,, yessshㅡ” susah payah Win mengatur laju nafasnya, “yes, Sir, please,”

Dan dengan itu, Bright memasukkan kembali penis Win ke dalam mulutnya. Bright mengulum benda lunak itu dengan penuh perasaan, sebisa mungkin ia ingin Win merasakan kenikmatan yang takkan pernah bisa ia temui di mulut orang lain. Hanya mulut Bright, hanya mulutnya yang bisa membuat Win mendesah bahkan hampir menangis seperti sekarang ini.

Penis Win semakin membesar di dalam mulut Bright, ia semakin dekat.

“M-mau keluar...”

Bright bergumam pelan, menghantarkan sengatan di sepanjang penis Win yang berhasil membuat si empunya menggigit kuat bibir bawahnya.

Butuh sekitar lima kuluman lagi, Win finally got his orgasm inside Bright's mouth.

Tiga menit berlalu, Win mengusap pelan kedua pipi Bright lalu mendorong wajah si aktor agar penisnya bisa menjemput kata bebas. Pasca orgasme, Win membawa wajah Bright untuk mendekat, kemudian kembali mempertemukan bibir mereka.

Win mengulum bibir atas dan bawah Bright bergantian, berusaha memberi kenikmatan pada organ oral si aktor ternama.

Terbuai dengan arus ciuman yang seolah tak mau berhenti, Bright pun merengkuh pinggang Win dan membawanya pindah ke bangku belakang dengan hati-hati.

Bright membaringkan Win di bawahnya, keduanya masih terus berciuman, semakin kuat, semakin dalam.

“Ssshh, u-udah...”

Bright menurut, ia melepas tautan bibir keduanya dan membiarkan Win meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Sambil menunggu Win menetralkan laju pernafasannya, Brightă…ˇ dengan posisi berjongkok dan mengangkang di atas tubuh Win, pun dengan hati-hati melepas satu persatu fabrik yang masih melekat di tubuhnya.

Win, dalam keheningan, menatap minat Bright yang sedang melucuti pakaian tepat di atasnya. Pemuda itu sedang kesusahan, dengan posisi berjongkok seperti itu, ia harus segera menelanjangkan dirinya. Tapi Bright tidak sedikitpun memutus kontak mata mereka.

Dan Win, diam-diam menyukai posisi ini.

Brightă…ˇ mengangkang penuh dominasi di atasnya.

Dua menit. Butuh waktu selama dua menit sampai Bright benar-benar polos tanpa busana. Di atas Win, yang masih terus bertatapan dengannyaă…ˇ air liur mulai mengalir lewat sudut bibirnya.

Bright membawa ujung kejantanannya mendekat pada bibir Win, mengusap-usap permukaan ranum merah muda itu dengan ujung penisnya.

“I am only go down for you,”

Lalu dengan sedikit dorongan, Bright berusaha membuka belah bibir Win menggunakan penisnya. “Mau jilat? Mau isep-isep punya saya?”

Posisi ini… gila.

Perlahan-lahan Win membuka bibirnya. Ia menjulurkan lidahnya, berusaha mengecap kepala penis Bright yang berada tepat di depannya.

“But don't let your teeth touch mine, or else we're gonna stop.”

Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir Win. Lelaki itu mulai meraup penis Bright, membawanya masuk sedalam yang ia bisa.

Tidak ingin mempersulit pekerjaan si penulis naskah, Bright yang sedang berjongkokă…ˇ mengangkang di atas Win, kini mulai bergerak maju dan mundur. Membawa penisnya untuk menembus rongga hangat itu.

Kedua tangan Bright menangkup kepala Win, turut membantunya untuk bergerak mengikuti irama.

“Do you like it?” tanya Bright, lalu Win hanya bisa memberikan jawaban berupa gumaman yang berhasil membuat tubuh Bright bergetar hebat. “Penis saya keluar masuk mulut kamu kayak gini, yes… that's how you do it,”

“Selain pinter nulis naskah buat film, ternyata kamu juga pinter muasin punya saya kayak gini, ya… mmmmhhh, iya, enak… enak banget, ahhh,”

Win pasrah di bawah dominasi Bright. Tanpa sadar, ia sendiri juga sangat menikmatinya.

“Kamu jadi mau double penetrasi? Ngewe dengan metode kayak gitu, itu kesukaan kamu, iya?”

Bright semakin mempercepat gerakannya, penisnya semakin masuk, dalam, hampir menyentuh tenggorokan Win.

Butuh satu tusukan lagi untuk Bright menyentuh dasar tenggorokan si penulis naskah.

“Saya boleh diem dulu? Kamu jilat penis saya, ya? Nanti saya gerak lagi.”

Dan tentu saja Win menurut. Ia mulai menjilati batang penis Bright di dalam mulutnya. Nafsunya semakin meningkat pesat, apalagi ketika Bright menatapnya penuh minat, dikuasai kabut nafsu dari atas sana.

Bright mengusap sayang pipi Win, “boleh saya bergerak sekarang?”

Kepala Win mengangguk pelan, dan sepersekian sekon setelahnya, Bright kembali menghujam mulut Win dengan penisnya.

Tanpa ampun, tanpa kenal kata berhenti, dan tanpa sadar kalau Win baru saja menjemput putihnya yang ke-2, dan tidak butuh waktu lama… Bright mengeluarkan sebagian spermanya di dalam mulut Win, lalu sebagian yang lain disemburkan di wajah pria manis itu.

Membuat lelehan putih kental mulai turun membasahi pipi Win, menuju sudut bibirnya, dagunya, leher, dan berakhir di dada polosnya.

Bright diam-diam mengagumi Win yang tampak cantik dan seksi di bawahnya, dengan nafas yang agak terengah-engah juga dengan jejak cairan sperma yang meninggalkan rona mengkilap di beberapa bagian wajahnya.

Waktu semakin larut, keduanya belum mau berhenti. Menit demi menit berlalu, sampai posisi sudah beberapa kali berganti.

Bright sesekali memejamkan mata, tubuhnya sudah bisa rileks bersandar di bangku dengan Win yang berada di atasnya. Win sedang fokus mengendarainya, bergerak naik dan turun, membawa penisnya semakin dalam menembus lubang anusnya.

Bright mengelus lembut punggung telanjang Win, memberikan afeksi agar si Manis mau terus bergerak cepat, “terus, terussshhh, aaaahhh… enak, Win, you're really good at this, pinternya, cantiknya...”

Dipuji seperti itu, Win cepat-cepat menangkup wajah Bright dan kembali mempersatukan bibir keduanya. Saling bergantian melumat bibir bawah dan atas satu sama lain, sama-sama bertukar saliva, sama-sama bermain lidah.

Win yang sudah tidak kuat lagi, langsung melepas ciuman mereka. Kepalanya menengadah, pinggulnya terus bergerak menggenjot naik dan turun, “mau keluar… M-mau k-keluar lagi, Bright...”

Bright menghampiri ceruk leher Win, satu kali lagi mencium dan memberikan tanda di sana. Mengendusnya samar-samar, sambil menunggu Win menjemput putihnya yang ke-4, dan Bright dengan putihnya yang ke-3.

“Ahhhh, ya Tuhanku, enak… penuh… dalem… AHHHHHㅡ”

“Cantik, you're the prettiest tonight, cum for me.”

Bright pikir, mereka sudah selesai.

Nyatanya, Win kembali mengajaknya bertukar posisi sehingga Win kini berbaring (lagi) di bangku, dan Bright di atasnya.

Tanpa kata, hanya dengan seuntai seringai penuh makna, Win menggenggam batang kemaluan milik Brightă…ˇ memberikan pijatan lembut, bahkan sesekali meremasnya, lalu menuntunnya untuk perlahan-lahan masuk ke dalam lubang senggama Win yang masih berkedut haus akan sentuhan.

Win, meminta untuk diisi lagi.

Sakit sekali kepala Bright rasanya. Harus melihat posisi Win yang kini kembali berbaring terlentang pasrah, dengan kedua kaki yang mengangkang lebar menunggu Bright untuk kembali bergabung dalam pergulatan panas mereka.

Bright… masuk lagi.

Ya sudah, Bright bisa apa, selain membuat Win mendesah nikmat tanpa berniat untuk menarik keluar vibrator tetap dibiarkan bersemayam di dalam tubuhnya, membuat Win menjambak helai demi helai rambutnya saat ujung kejantanan Bright berhasil menembus pusat tubuhnya, juga membuat Win menangis menahan nikmat saat Bright berulang kali mengubah posisi dan bertanya “sudah mau keluar?”

Win, sosok penulis naskah yang tak mau menebar senyum padanya di kali pertama mereka berjumpa pun kini nyatanya bertekuk lutut memohon klimaks yang sampai dua jam lalu sudah ia dapatkan berulang kali. Win, ia mau lagi dan lagi.

Win, sosok penulis naskah yang jasanya sudah berhasil membuat beberapa judul film naik daun, berhasil meyakinkan Bright bahwa, having sex in a fucking car while drunk is beyond good, sexy and amazing.

. . .

“Saya hamil.”

Sepuluh menit lalu, Bright masih memejam, membiarkan sentuhan demi sentuhan make-up hinggap di seluruh sisi wajahnya. Lima menit lalu, Bright pun masih memejam bahkan nyaris tertidur saat seorang stylist mulai merapikan tatanan rambutnya.

Tiga menit lalu, Bright masih merasakan deru nafasnya yang teratur, berhembus dalam damai, sebelum suara dering ponselnya yang sengaja ia taruh di meja rias berdering tanda ada panggilan masuk.

Sang manajer yang memberikan ponsel itu padanya, setelah membisikkan perihal id caller yang ternyata Wină…ˇ sosok penulis naskah yang sudah tiga bulan ini menjalin hubungan tanpa status dengannya.

Bright izin pamit sebentar untuk mengangkat telepon, dan ketika izin sudah berhasil dikantongi, aktor tampan itu beranjak untuk melangkah meninggalkan restroom untuk mencari tempat teraman selama dirinya berkomunikasi dengan Win.

Namun, kalimat pertama Win yang menyambut di telinganya justru berhasil membuat Bright tertegun. Ujung sepatunya bahkan belum sampai pada petak lantai target destinasinya, tapi dengan terpaksa ia harus berhenti melangkah.

Bright mengatur sebentar nafasnya, “coba diulang.”

“Saya hamil.”

Win-nya… hamil? Tunggu, ia sedang tidak bermimpi, 'kan?!

Mereka memang tidak menjalin hubungan apapun, selain sama-sama sanggup untuk datang ke unit masing-masing demi menjemput rasa puas ketika butuh. Kejadian di mobil Bright beberapa bulan lalu nyatanya menjadi awal yang cukup baik bagi hubungan keduanya.

Ya, awalnya Win memang mengamuk karena ia terbangun di sebuah kamar besar dengan nuansa abu-abu yang sangat bukan tipenya, juga dengan balutan piyama putih yang menutupi banyak bekas keunguan yang tinggal di beberapa bagian tubuhnya. Padahal, Win sudah meminta untuk diantar pulang ke unit apartemen miliknya sendiri sesaat setelah mereka mengakhiri kegiatan bercinta di dalam mobil.

Ditambah, Win tidak begitu kenal siapa Brightㅡ saat itu, selain ia tahu kalau Bright adalah tokoh utama yang akan memainkan peran Gilang, dalam film berjudul “Metanoia; Unconscious Love” yang seluruh skenarionya adalah hasil pemikiran dan tulisannya, tanpa pula pernah bermimpi akan terbangun di atas sebuah ranjang plus di bawah selimut tebal yang sama dengan sosok aktor papan atas itu.

Namun, ya, namanya juga Bright. Tidak ada kata gagal dalam hidupnya, termasuk dalam strategi untuk mendekati sosok penulis naskah manis itu.

Dan sekarang, Win-nya hamil?!

Tak ada lagi yang bisa Bright lakukan selain tersenyum lebar. Sudut matanya sampai tertarik, sebagai tanda betapa besar dan tulusnya senyuman itu.

“Oh God, i am soㅡ”

“And do you think i want to keep this baby alive?”

Bright bahkan belum sempat melanjutkan kalimat, tapi Win sudah lebih dulu memutus luapan bahagianya.

Bright mengusap wajahnya dengan kasar, “Win,”

“Kamu dimana?”

“Lokasi pemotretan, Win,”

Terdengar desahan berat di seberang sana, “saya nggak bisa, Bright.”

Bright kembali menghela nafas dengan gusar, “kamu dimana?”

“Di rumah sakit. Saya mau cari cara untuk gugurㅡ”

“No. Tolong share loc kamu sekarang ada dimana, aku susul, oke? We need to talk.”

Win tidak lagi menjawab. Terjadi keheningan selama beberapa detik sampai akhirnya suara isakan berhasil membuat Bright panik bukan main.

“Kamu cari tempat duduk dulu di sana, oke? Aku harus minta izin dulu, baru aku bisa samperin ke rumah sakit. Aku janji nggak akan lama, jangan nangis, ya, Win, ya?”

“Jangan ngebut.”

Bahkan di sela isakan dan rasa kesalnya pun, Win masih sempat selipkan rasa khawatir. Bright tersenyum dibuatnya lalu mengangguk, meski Win tidak bisa lihat.

“See you, sayang.”

. . .

Maraknya berita yang beredar di portal berita dan sosial media membuat Win yang awalnya sudah dijadwalkan untuk cek kandungan pun harus membatalkan janjinya dengan sang dokter dan langsung bergegas menuju kantor agensi tempat Bright bernaung.

Begitu juga Bright, yang hari ini sudah dijadwalkan untuk menghadiri sebuah acara on-air di sebuah stasiun televisi pun harus memutar balik arah mobilnya untuk kembali ke kantor agensi.

Bright belum sempat membuka sosial media apapun, namun pesan singkat yang dikirim oleh sang manajer cukup membuat Bright paham akan keributan yang terjadi pagi ini.

Foto-foto kebersamaan dirinya dan juga Win di sebuah rumah sakit, beredar luas di internet tanpa bisa dihentikan. Serta spekulasi-spekulasi masyarakat yang menambah pamor berita tersebut menjadi trending.

Mungkin, ya, mungkin ini sudah saatnya semua orang tahu bahwa dirinya terlibat dalam sebuah hubungan dengan seorang penulis naskah, yang juga punya nama besar di kalangan masyarakat.

Tidak ada jalan untuk menghindar,

Tidak ada celah untuk melarikan diri.

. . .

Udara di hari pertama bulan Desember harusnya bisa dihirup dengan penuh sukacita oleh Bright, karena bulan Desember adalah bulan kelahirannya.

Jika tahun-tahun sebelumnya ia akan dihujani event menjelang dan after birthday oleh teman, keluarga dan penggemar justru tahun ini Bright harus nikmati dengan rasa cemas yang tak hilang sejak semalam.

Bright sama sekali belum beranjak dari posisi setengah berbaringnya, dengan satu tangan yang menopang kepala, serta tangannya yang lain terus bergerak memberi usapan lembut pada perut besar sang suami.

Bright turut mendaratkan beberapa kali ciuman hangat pada dahi Win yang menampilkan guratan di sana, pertanda bahwa si manis kesayangannya itu tidak tidur dengan tenang. Lalu, pandangannya beralih pada sebuah bingkai foto besar yang sengaja ia pasang di dindingă…ˇ foto pernikahannya dengan Win, yang diadakan secara sederhana, pada minggu ketiga di bulan April.

Win diprediksi akan melahirkan pada minggu terakhir bulan ini, dan, ya… mungkin inilah penyebab dari rasa cemas yang membludak dalam diri Bright.

Jika seumur hidupnya hanya ada beberapa hal yang membuat Bright panik sampai tak bisa tidur, seperti saat akan mengikuti ujian nasional, uji casting di agensi, dan gala premiere film perdananya beberapa tahun silam, maka kali ini Bright harus kembali mengalami hal serupa.

Bukan lagi tentang dirinya sendiri, tapi tentang sang pujaan hati yang dalam hitungan hari akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia.

Waktu baru saja melewati pukul empat pagi, dan Bright sama sekali belum bisa menjemput kantuknya. Pikirannya sibuk melanglang buana memikirkan kemungkinan buruk apa saja yang bisa menimpa Win pasca melahirkan nanti; apakah Win sanggup untuk bertaruh nyawa di ruang operasi, apakah Win dan bayi mereka akan selamat, apakah hanya salah satu saja yang bisa diselamatkan, apakahă…ˇ

“Hey,”

Lamunan Bright buyar seketika saat seuntai suara serak menyadarkannya. Ditatapnya wajah sang suami yang kini sedang berusaha menyesuaikan netra dengan cahaya lampu remang-remang di kamar mereka, juga bibirnya yang mengerucut lucu seperti anak kecil.

Bright tidak tahan untuk tidak menghujani bibir ranum itu dengan ciuman. Membuat Win turut tertawa dan pasrah ketika sang suami mulai memperdalam ciuman mereka.

Sampai beberapa menit berlalu dan keduanya belum ada niat untuk berhenti. Namun, Bright sempat mengubah posisinya untuk lebih mendekat pada sang pujaan hati, membuat Win harus membawa satu tangannya untuk melindungi perut besarnya saat Bright bergerak semakin dekat.

“Maaf, sayang,”

Win tersenyum kecil sambil mengangguk. Sebelum Bright kembali berbaring, Win menyempatkan diri untuk mengusap pipi lelakinya, membuat sang suami bertahan pada posisinya sambil memejam menikmati usapan lembut yang membuat rasa hangat menjalar di seluruh tubuh.

Sambil melindungi perut besarnya, Win memajukan sedikit tubuhnya untuk melumat bibir atas dan bibir bawah Bright bergantian, “Papi kenapa belum tidur, hm?” tanya Win selepas ciuman dalam mereka berakhir.

Bright tersenyum, belakangan ini Win memang sering memanggilnya 'Papi' dengan intonasi yang dibuat selucu mungkin, seolah-olah bukan Win yang tengah berbicara, melainkan si kecil yang juga sudah aktif menendang pelan ketika Bright mengajaknya bicara dari luar.

“Iya, sebentar lagi aku tidur.”

Win berdecak pelan, “ini udah pagi, ya.”

Bright tertawa, lalu kembali ia usap surai hitam Win sehingga membuat pria manis itu kembali memejamkan mata.

“Prediksi minggu terakhir, ya?” tanya Bright.

Tanpa membuka pejaman matanya, Win mengangguk, “tapi kata dokter bisa lebih cepat, bisa juga lebih lama dari waktu yang diprediksi.”

“Kalau lahiran tanggal dua puluh tujuh bisa, nggak?”

Win terkekeh, “maunya kamu itu mah, biar ulang tahunnya samaan sama si adek.”

Satu kecupan kembali Bright hadiahkan pada pangkal hidung mancung Win, “nggak apa-apa, kapan aja, sekuat kamu. Asal kamu sama si adek bisa selamat.”

Win kini membuka pejaman matanya. Pemandangan pertama yang ia dapat adalah sorot mata Bright yang tampak cemas. Win menghela pelan nafasnya, ia paham, bahwa sang suami mulai merasa takut dengan proses persalinan yang akan terjadi dalam hitungan hari.

Sebisa mungkin, Win ukir senyum di wajahnya, “takut, ya?” tanya nya, yang langsung dibalas anggukan pasrah oleh Bright.

“Jangan tinggalin aku.”

Win terkekeh, “biasanya kalau habis lahiran tuh bisa jadi gendut, tau. Emangnya kamu masih mau sama aku, kalau aku jadi gendut?”

Niat hati hanya bercanda dan menggoda, namun anggukan ribut yang Bright berikan sebagai respon justru semakin membuat Win yakin bahwa suaminya itu benar-benar sedang dilanda rasa takut yang luar biasa besar.

“Aku nggak akan kemana-mana, Bright.”

Bibir bawah Bright mencebik, “jangan buat janji sekarang, aku takut beneran lho ini.”

Win kembali terkekeh. Dikecupnya satu kali lagi bibir sintal Bright sebelum ia beringsut masuk ke dalam dekapan hangat sang suami, “i love you, thank you.”

. . .

Bright pikir, ucapan Win tempo hari soal dirinya yang tidak akan pergi kemana-mana bisa ditepati dengan benar oleh pria manis itu. Nyatanya, satu minggu setelah proses persalinan berjalan dengan lancar dan diperbolehkan untuk pulang ke rumah, Win malah langsung disibukkan dengan segudang aktivitas yang sempat tertunda sembilan bulan lamanya.

Bright hanya bisa geleng-geleng kepala saat lagi dan lagi Win tak berniat sama sekali untuk membuatkan susu saat Axelă…ˇ anak pertama mereka, laki-laki, menangis karena haus.

Juga pada saat Axel demam untuk pertama kalinya, Win juga bersikap seolah tidak peduli dan membiarkan Bright merawat Axel sendiri, meski sesekali ditemani oleh Ibu dari Bright.

Jika Bright tak salah hitung, ini sudah bulan keempat sejak Axel lahir, dan Bright yakin, Win bahkan tak tahu bagaimana rupa sang anak karena pria manis itu, satu kalipun, tidak pernah menjalankan tugasnya sebagaimana seorang ayah pada anaknya.

Win, dengan jati dirinya sebagai seorang penulis naskah, kembali dibebani oleh setumpuk ide dan permintaan yang secara khusus diberikan oleh beberapa sutradara besar, termasuk Joss Way-Ar yang dulu sempat membuat seorang Win stress, menangis setiap hari karena semua naskahnya dianggap gagal.

Namun sekarang, lihat, Joss justru sibuk menarik hati Win agar dapat bekerja sama dengannya untuk menggarap sebuah film layar lebar.

Axel baru bisa tidur setelah Bright bawa ke balkon apartemen, untuk menikmati hembusan angin malam di sana. Tidak baik memang untuk kesehatan sang anak, namun Bright rasa ia juga perlu menikmati udara segar setelah berbulan-bulan dilimpahi beban untuk mengurus dan merawat Axel seorang diri.

“Bright,”

Yang dipanggil namanya langsung menoleh, dan mendapati Win yang sudah berganti pakaian dengan piyama merah marun kesayangannya juga dengan laptop yang didekapnya begitu erat kini berdiri menghadap ke arahnya.

Sedang tidak ingin membahas masalah yang ada, Bright pun hanya diam menunggu Win melanjutkan ucapan.

“Aku manggil kamu kok nggak nyaut?”

Pria manis itu meletakkan laptopnya di atas meja, “aku ngomong sama manusia atau patung, sih?!”

Bukan hanya tidak mau mengurus anak mereka, sejak pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, Win juga berubah menjadi sosok yang tempramen dan keras kepala.

Tidak bisa dibantah, tidak suka diabaikan namun senang berlaku sesuka hati.

Mama bilang, Win mungkin saja mengalami baby blues. Karena menurut Mama, sejatinya, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Jika Bright amat sangat menyayangi Axel, maka Win juga pasti akan melakukan hal yang sama. Apalagi, Win lah yang melahirkan anak mereka ke dunia ini.

Bright menghela panjang nafasnya, “maaf.”

Win berdecak. Memandang kesal ke arah Bright selama beberapa detik sebelum ia bawa tubuh semampainya untuk duduk di atas sofa.

“Besok aku harus ke Bandung. Ada meeting penting sama klien untuk project film yang target rilis awal tahun depan.”

Apa? Bandung, katanya?!

Bright mulai melangkah masuk dan beranjak mendekati Win, “kamu mau ninggalin aku sama Axel?”

“Axel?”

Bahkan nama anak mereka sendiri pun, Win tak berniat untuk mengingatnya. Bright tidak tahu apa yang ada di benak Win, atau apa yang menyebabkan suaminya jadi seperti ini, tapi… empat bulan sudah berlalu dan tampaknya Bright tak bisa lagi menahan amarahnya.

“Win,”

Pria manis itu baru saja akan membuka laptop saat Bright kini berdiri tepat di sampingnya. Win mendongak, dengan salah satu alis yang memicing.

“Baru dua hari lalu Axel keluar dari rumah sakit karna keteledoran kamu yang nggak bisa cegah dia jatuh dari tempat tidur, dan sekarang kamu mau ninggalin anak kamu demi kerjaan?”

“Dia jatuh bukan karna aku!”

“Tapi kamu sama sekali nggak berusaha untuk nyelamatin Axel waktu dia jatuh di bawah kaki kamu, kan? Kamu malah diem, anak kamu udah nangis nahan sakit, dan kamu malah nyelonong pergi begitu liat aku masuk kamar. Itu yang kamu bilang Axel jatuh bukan karna kamu, iya?” balas Bright, yang disertai penekanan pada setiap ucapannya.

Kejadian Axel yang jatuh dari tempat tidur tempo hari benar-benar membuat Bright mempertanyakan kondisi rumah tangga mereka saat ini.

Bright berhenti sementara dari dunia keartisannya hanya untuk menjalani tugas sebagai orang tua tunggal, sedangkan Win dengan semangatnya yang menggebu kembali bekerja sebagai penulis naskah tanpa pernah mengingat bahwa ia punya anak yang masih bayi dan butuh perhatian lebih.

“Kamu nyalahin aku? Sekarang, kamu berani nyalahin aku setelah apa yang kamu lakukan ke aku? Iya, Bright?”

Bright terdiam, saat Win balas membentak.

“Aku hamil karna kecelakaan, aku hamil di luar nikah, aku nggak bisa kerja selama sembilan bulan karna mood yang berubah-ubah, aku nggak bisa nulis selama sembilan bulan, aku nggak bisa nyalurin ideku selama sembilan bulan, aku nanggung dia selama sembilan bulan di dalam perutku, sedangkan selama aku hamil, kamu masih bisa syuting dan tour ke sana sini, dan sekarang kamu limpahin semua kesalahan ke aku?!”

Yang Bright ingat, terakhir kali Win menangis, adalah saat Axel pertama kali menangis di dalam dekapannya. Setelah itu, Win tidak pernah menangis lagi karena terlalu sibuk bekerja, dan sekarang, sosok manis itu kembali menangis sesaat setelah ia mengakhiri kalimatnya.

Bersamaan dengan itu, Axel yang awalnya sedang tidur dalam gendongan Bright pun ikut menangis. Begitu keras sampai Bright sendiri kesulitan untuk menenangkan sang anak.

Bright berusaha mengayunkan tubuhnya untuk membuat Axel tenang, namun semakin waktu berlalu, Axel justru menangis semakin kencang.

Bright juga ikut menangis. Setelah ia tahan berbulan-bulan, akhirnya Bright menangis hari ini. Bersama sang buah hati yang belum mau menjemput tenang.

“Ssshh, ssshh, Axel sini sama Papa, nak.”

Suara lembut Win yang disertai isakan membuat Bright menoleh cepat dan mendapati sang suami sudah berdiri di sampingnya. Tanpa melirik Bright sama sekali, Win mengulurkan tangannya pada sang anak dan dengan cepat Axel turut merentangkan tangan untuk berpindah pelukan.

Untuk kali pertama, Win akhirnya membiarkan Axel berada di dalam pelukannya.

Tangisan pemuda kecil itu mulai berhenti seiring waktu berjalan, ditemani dengan bibir Win yang terus melantunkan sebuah lagu sambil sesekali mencium pelipis si jagoan kecil.

Win masih menangis, dengan Axel yang sudah kembali menjelajah alam mimpi dalam dekapnya.

Dan Bright bersumpah, tidak ada pemandangan yang bisa menandingi betapa indahnya ketika Win menimang Axel penuh rasa sayang.

Satu hal yang Bright percaya, semua hal bisa berubah.

Hati, dimana awalnya ia dan Win hanya terjebak pada situasi mabuk setelah pesta perayaan berakhirnya proses syuting film layar lebar mereka.

Pikiran, dimana awalnya ia hanya berpikir untuk selalu jadi seorang aktor papan atas yang mampu menyabet gelar juara di setiap acara penghargaan.

Serta pandangan akan hidup, dimana jika Win dan Axel tidak pernah datang dalam hidupnya, mungkin Bright tak pernah bermimpi untuk punya keluarga kecil yang dilimpahi cinta dan bahagia.

Namun nyatanya, semua berubah setelah Win masuk dalam hidupnya, juga setelah Axel hadir ke dunia.

Metanoia, ya, hidup Bright sudah mengalami perubahan itu. Dan Bright bersyukur film yang mempertemukan dirinya dengan Win juga memiliki judul yang serupaă…ˇ Metanoia; Unconscious Love, dimana Win adalah sosok yang menulis naskahnya.

Satu kali lagi Bright bersyukur,

Karena ia memiliki Win sebagai suaminya.

Thank you… My Dear Script Writer…

. . .

JEYI // 210319.

Kutukan hidup Metawin baru-baru ini adalah; terlalu banyak bercanda… jadi dibercandain sama hidup.

Karena Metawin tidak pernah menyangka, kalau ia akan terjebak permainannya sendiri lalu tersesat seolah tidak ada jalan keluar sama sekali,

Padahal…

Jalan keluar tepat ada di depan matanya.

total words: 5.850 words. tags: fluff, best friends to lovers with some dramas involved, trust issues, harsh words, college life, brightwin. commissioned by: @choclitmxlk


Suasana kelas yang awalnya riuh mendadak sepi begitu Janhaeă…ˇ si ketua kelas, mengangkat tangan kanan seolah-olah sedang meminta perhatian. Kepala gadis berambut sebahu itu menunduk, tangan kirinya sibuk menggulir layar ponsel dan membuat seisi kelas diam sambil menatap bingung ke arahnya.

Janhae yang kebetulan duduk di bangku paling depan di bagian pojok kiri, beranjak bangun dari posisi duduknya dan melangkah mendekati meja dosen. Gadis itu masih menatap serius gawai yang ada dalam genggamannya, lalu hap, ia melompat kecil untuk duduk di atas meja.

“Guys, guys, guys,”

Itu suara Janhae, yang semakin membuat 26 mahasiswa di dalam kelas tambah penasaran dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh si ketua kelas.

Out of nowhere, suasana hening mendadak riuh dan kelas menjadi penuh dengan umpatan begitu pintu kelas terbuka dan muncul Metawin dari sana. Bagaimana anak-anak sekelas tidak mengamuk, pasalnya Metawină…ˇ atau yang biasa disapa Win, masuk ke dalam kelas sambil menggebrak pintu dan cengengesan geli setelahnya.

“Kebiasaan banget si anjrit bikin orang kaget aja lu!” Kalau Win sudah bertingkah, jelas yang paling emosi adalah Pawat. Pemuda yang awalnya sedang khusyuk menantikan informasi penting dari Janhae itu kini kehilangan hasratnya dan bergegas merebut satu plastik berisi kentang goreng yang masih panas dari tangan Win.

Lantas Win duduk di bangku yang masih kosong di samping kanan Pawat, sambil menatap pemuda yang tengah mengunyah dua potong kentang goreng miliknya itu dengan tatapan tajam, “jangan dihabisin, baboyaaa! Gue cuma beli goceng!!!” Satu pukulan agak keras mendarat dengan begitu mulus di kepala Pawat, kemudian Win merebut kembali apa yang sudah seharusnya jadi haknya.

Pawat meringis, kepalanya menoleh ke arah kanan hanya untuk mendapati Win yang sedang nikmat-nikmatnya mengunyah kentang goreng. Masih sambil mengusap bagian yang dipukul oleh Win, Pawat bertanya, “apaan tuh baboya?!!”

Butuh sekitar tiga detik sampai Win menelan habis kentang gorengnya, “baboya itu artinya goblok alias lu goblok banget, Ohm Pawat.” kata Win, sambil memasukkan dua potong kentang goreng bumbu balado ke dalam mulutnya.

“Monyeeet!!!”

“Bahasa Korea itu, Paw. Keren, gue tau dari drakor yang semalem gue tonton.” sahut Win.

“Pantesan lu baru dateng jam segini, Malih… Pasti kesiangan kan lu karna bablas nonton drakor?”

Win cuma cengengesan, lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinyaㅡ membentuk huruf V. “Prinsip hidup gue kan 'YOLO' Jadi ya, gas aja lah selagi bisa.”

Lagi dan lagi, Metawin dengan sekumpulan kosa kata anehnya yang berhasil membuat Pawat geleng-geleng kepala. Melihat Win terlalu asik mengunyah kentang goreng sambil menutup mata, Pawat diam-diam berusaha untuk mengambil satu potong kentang goreng dari plastik yang tergeletak di atas meja Win. Naas, belum sempat ujung jarinya berhasil memasuki plastik, Win lebih dulu membuka mata dan menghadiahi sebuah jitakan pelan di puncak kepalanya.

“Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri!”

Pawat berdecak pelan, “koret banget lu.”

“Lu mah bukan Swiper, tapi Boots. HAHAHA!!!” Win meledak dalam tawanya, meledek Pawat adalah keahlian dan hobby pemuda itu, sehingga ia melupakan fakta kalau ada sepotong kentang goreng yang sedang dalam perjalanan menuju kerongkongan dan, “UHUKㅡ!!!” terjadilah acara tersedak yang membuat seisi kelas tertawa jengah.

Padahal, Win baru datang beberapa menit yang lalu, tapi sudah membuat kegaduhan.

Pawat sibuk tertawa, anak-anak lain juga sibuk tertawa sampai tidak ada yang menyadari kalau seseorang baru saja membantingă…ˇ agak keras, sebuah botol air mineral 600ml ke atas meja Win. Hanya Win yang sadar, hanya Win yang kini terjebak dalam dimensi aneh yang mengikatnya dengan sepasang obsidian hitam milik Bright, salah satu mahasiswa yang paling disegani karena kepribadiannya yang terkenal unreachable.

Bright berdecak risih lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak suka berinteraksi dengan Win, dan tampaknya Tuhan sedang bermain-main dengan takdirnya hari ini.

Win duduk di samping kiri Bright, padahal sejak percakapan terakhir mereka empat bulan lalu, keduanya seolah saling menjauhi satu sama lain dan pergi mengambil jalan masing-masing tanpa kata, tanpa pamită…ˇ Win kembali sibuk dengan dunianya dan Bright juga memilih untuk menyibukkan diri dengan dunianya sendiri.

They had bad memories together back then and it caused a 'break up' for their friendship, padahal keduanya sudah berteman baik sejak masih duduk di bangku SMA.

“Bisa nggak sih lo nggak pecicilan sekali aja?”

Uhuk, Win terbatuk satu kali lagi, namun kali ini jauh lebih pelan. Bright masih terus menatapnya, tajam, penuh rasa tidak suka.

“Eh, Bright, nggak usah…” Win menaruh kembali botol air mineral yang masih tersegel pemberian Bright ke atas meja pemuda itu, “udah nggak keselek lagi, kok, uhukㅡ”

Sosok yang dipanggil Bright kembali berdecak, lalu diletakkannya kembali botol air mineral itu di meja si yang baru saja menolak secara halus. Tanpa harus repot-repot menunggu dan menanggapi respon dari Win, cepat-cepat Bright menyampirkan tas ranselnya di bahu kanan.

“Bu Indira nggak masuk?” tanya Bright, yang langsung membuat seisi kelas kembali hening.

Janhae yang sempat terbuai dengan aksi konyol Win beberapa menit lalu, kini mengangguk ringan. Tangan kanan gadis itu terangkat, “oh iya, sampe lupa gue mau ngasih tau kalian. Iya, Bu Indira hari ini izin nggak masuk kelas dulu ya, guys. Pak Beni juga, ada akreditasi universitas jadinya mereka standby di kampus utama dan berhalangan hadir.” sahut Janhae sambil menggoyangkan pelan ponselnya.

Beberapa anak mulai ricuh kembali, tapi lagi dan lagi Bright berhasil menjemput hening dalam hitungan detik. Pemuda itu turut menyahut, “berarti hari ini kosong? Nggak ada kelas sama sekali?”

Janhae mengangguk, “betul banget. Hari ini kita kosong ya, guys. Buat yang nggak ada pengulangan kelas atau kerja kelompok, bisa cabut sekarang. Tapi buat yang ada pengulangan kelas, coba ditanya dulu dosen yang bersangkutan apakah tetep masuk atau ikut ke kampus utama, karna setau gue nggak semua dosen pengampu ikut akreditasi.”

Lalu tanpa basa-basi, Bright bangkit dari posisinya dan beranjak keluar kelas. Seisi kelas cuma bisa diam melihat sifat salah satu teman sejawat mereka yang satu itu, berbeda dengan Win, yang kini melempar asal plastik berisi kentang goreng miliknya yang hanya tersisa sedikit ke arah Pawat. Dengan sedikit terburu-buru, ia ambil botol air mineral pemberian Bright dan beranjak dari posisi duduknya.

“EH DORA, MAU KEMANA LO? INI KENTANG BUAT GUE?!!”

Tanpa menoleh ke belakang, Win mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya, “ABISIN AJA, BOOTS. GUE MAU MEMPERBAIKI MASA DEPAN, BYEEEE!!!”

BRAKKK, datang dengan gebrakan di pintu, lalu pergi dengan bantingan di pintu yang sama. Metawin oh Metawin…

. . .

“Lho, Cil? Ngapain di sini?”

Kedua bahu Win sontak mencelos saat yang melangkah keluar dari pintu ruang UKM Musik bukanlah sosok yang dinantikannya. Euforia di balik dada yang sempat singgah kini hilang menguap entah kemana, berganti dengan rasa jengah yang hampir dua bulan ini selalu menghantuinya.

Win berdiri dari bangku panjang di depan ruang UKM Musik yang sudah ia duduki lebih dari dua puluh menit. Susah payah ia tarik sudut bibir kiri dan kanan bibirnya, lalu suara kekehan pelan lolos dari ranum merah muda khas miliknya.

“Kak Gawin, hehehe, maaf, di dalem ada Bright nggak, ya?”

Sambil berusaha meraih sepatu converse kuning miliknya dengan kaki, Gawin bergumam pelan, “ada tuh, lagi nyetem gitar.”

Dijawab seperti itu, sebuncah harapan langsung muncul dalam benak Win. Pemuda itu refleks memajukan sedikit tubuhnya, berusaha mencuri pandang ke dalam ruang UKM Musik. Matanya yang bulat menyipit lucu, dan tingkah Win jelas tak luput dari pandangan Gawină…ˇ si kakak tingkat, yang juga bergelut di bidang yang sama seperti Bright; musik.

“Mau gua panggilin?” tanya Gawin.

“Eh, jangan, nggak usah, Kak,” Win pun tergagap dibuatnya, “nggak usah beneran, gue nunggu di sini aja.”

Gawin melirik Win dengan tatapan anehnya, lalu tanpa aba-aba pemuda yang terkenal sebagai salah satu gitaris dari band andalan UKM Musik Universitasă…ˇ SundayKnights, membuka pintu ruangan yang sudah diklaim menjadi markas utama bagi anak-anak UKM Musik lebar-lebar. Membuat beberapa orang yang ada di dalam pun spontan melirik ke arah pintu.

Win, cepat-cepat memundurkan langkahnya.

“Nggak mau masuk aja, Cil? Biasanya juga lo main nyelonong masuk tanpa izin.”

Yang ditanya cuma bisa menggeleng pasrah, lalu memberi kode pada Gawin untuk segera menutup pintu dari ruangan ber-AC itu.

“Things has changed, Kak.” Win mau nggak mau mengulik sedikit cerita yang sudah berbulan-bulan ini mengganjal di hatinya. Pemuda itu kembali duduk, diikuti Gawin yang juga mendaratkan tubuh semampainya di spot kosong yang ada di samping Win.

Satu alis Gawin bertaut, “pantesan lo nggak pernah maen ke sini lagi, Cil. Stock jajanan punya anak-anak jadinya aman, nggak ludes sebelum waktunya, hahaha.” Kebiasaan Win untuk bergabung dengan anak-anak UKM Musik sambil ikut menghabiskan jajanan yang tersedia di dalam ruangan tampaknya bukan lagi jadi rahasia umum. Gawin yang biasanya kurang memerhatikan lingkungan sekitar pun sampai dibuat hafal dengan tingkah Win yang satu itu.

Merasa Gawin layak untuk tahu, Win pun menganggukkan kepalanya. “Intinya, gue sama Bright udah nggak bisa kayak dulu lagi, Kak. Dan semua kesalahan ada di gue.”

“Oh ya? Kok bisa?”

“Iya, bisa, emang dasarnya gue aja yang goblok jadi ya gitu,” helaan nafas berat terhembus dari belah bibir Win, “gue ngecewain Bright, dan kita secara nggak langsung kayak mutusin pertemanan, dia juga kayaknya masih marah banget sama gue.

Gawin memandang Win dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sedangkan yang ditatap, kini memilih untuk melihat ke arah depan, menghindari tatapan si kakak tingkat. Gawin bergumam pelan, benaknya bekerja keras mengatur laju memori yang mendadak ingin masuk menembus portal waktu dalam otaknya. Kalau diingat-ingat, memang sudah lama sekali sejak terakhir Wină…ˇ sahabat sehidup semati Bright, itu melipir dan menghabiskan waktu di ruang UKM Musik.

Oh, Gawin juga teringat akan situasi dimana Bright mangkir dari jadwal latihan dan pernah satu kali absen dari acara pensi jurusan beberapa bulan lalu. Seketika Gawin berpikir, apakah semua perubahan sifat pada diri Bright ada sangkut pautnya dengan Win?

“Bright jadi makin jauh dari jangkauan anak-anak, Cil.” Cil, sebenarnya itu panggilan kesayangan dari Bright untuk Win, yang lama-kelamaan anak-anak UKM Musik pun terbiasa untuk ikut memanggil Win dengan sebutan tersebut.

Win kembali membawa fokusnya pada Gawin, pemuda yang lebih tua di atasnya satu tahun itu sedang bersandar di dinding sambil bersila dada.

“Serius lo, Kak?”

“Hmm,” Gawin melirik singkat Win kemudian ia terkekeh ringan, “awalnya gue pikir karna emang dia lagi banyak problem aja, sih. Tapi semakin ke sini gue malah sadar, itu anak emang makin dingin, susah dilembekin hatinya, makin nggak banyak ngomong.”

Hembusan nafas berat yang dibarengi dengan decakan keras lolos dari belah bibir penuh Win, “di ruang musik juga gitu, Kak? Nggak banyak ngomong? Dia biasanya paling berisik urusan aransemen lagu atau pemilihan lagu.”

“Jarang dateng anaknya. Ini lagi mau aja disuruh ke sini karna minggu depan SundayKnights ada jadwal manggung di acara anak ekonomi. Dan kita kebetulan lagi nggak punya cadangan kalau-kalau Bright mangkir lagi kayak dulu.”

Sepasang mata Win kian membulat, “sampai mangkir gitu??? Kak, gue minta maaf ya gara-gara gue semuanya malah jadi tambah runyam. I will try to talk to him sooner ya, Kak!” sahut Win, yang jujur… merasa tidak enak hati karena sedikit banyak ia ikut campur dalam transisi perubahan mood dan sifat seorang Bright beberapa bulan ke belakang.

“Sebenernya anak-anak juga nggak masalah sih, sama sifat Bright yang emang susah akrab sama orang lain begitu. Dia juga udah janji sama anak-anak UKM kalau dia nggak bakalan cabut-cabutan lagi tiap ada jadwal latihan atau manggung. Jadi lo nggak usah ngomong apa-apa ke dia kalau konteksnya cuma karna lo ngerasa nggak enak ke gue dan anak-anak musik. Kecualiㅡ” Gawin menjeda ucapannya, Win terlihat fokus seraya menanti kalimat apa yang akan keluar dari mulut Gawin selanjutnya.

“... lo emang mau memperbaiki keadaan lo sama dia. Nggak usah mikirin kita-kita lah, Cil. Pikirin aja dulu gimana lo sama Bright ke depannya.”

Hadeh, Kak… Kalau keinginan untuk memperbaiki keadaan di antara kita berdua mah udah ada sejak lama, tapi guenya aja yang nggak punya nyali…, begitu kata hati terdalam Win.

Keduanya sempat larut dalam pemikiran masing-masing sampai Gawin lagi dan lagi jadi pihak yang memecah keheningan lebih dulu. Pemuda itu berdeham pelan, berusaha menarik atensi si adik tingkat.

“Cil,” dan benar saja, Win kembali menoleh.

“Ngomong-ngomong, lo ada keperluan apa dateng ke sini kalau bukan buat ketemu Bright?”

Oh iya. Tuhkan, karena kebanyakan melamun dan bablas menceritakan soal kisah apes dalam hidupnya malah membuat Win lupa akan tujuan awalnya datang ke ruang UKM Musik. Cepat-cepat ia buka tas ranselnya, lalu mengambil sebuah botol air mineral dari dalam sana.

Win mengulurkan tangan kanannya pada Gawin, “mau minta tolong buat kasihin ini ke Bright,”

Sebuah botol air minum mineral berukuran 600ml. Win, jauh-jauh dari lantai 4 gedung 1 Universitas lalu harus naik-turun anak tangga manual menuju ruang UKM Musik yang letaknya ada di belakang gedung 4 Universitasă…ˇ dekat dengan sekretariat dosen dan parkiran motor, hanya untuk memberikan sebuah botol air minum mineral?

Gawin memandang botol tersebut dengan aneh, perlahan-lahan matanya kembali bertukar pandang dengan Win yang ternyata sedang menggigit kecil bibir bawahnya.

“Lo jauh-jauh dari kelas lo ke sini cuma buat ngasihin air minum?” tanya Gawin, yang masih tidak percaya.

Kepala Win bergerak, membentuk dua kali anggukan pasrah. “Ini sebenernya punya dia, lo tau sendiri 'kan, dia anaknya susah banget disuruh minum air putih, maunya minuman berasa terus, nah terus tadi dia ngasih ini ke gue pas di kelas, Kak. Gue nggak enak lah, dia pasti cuma bawa satu botol ini di tasnya.” mau tidak mau, akhirnya Win pun menjelaskan alasan yang sejujurnya.

Tidak ingin menyia-nyiakan effort yang sudah dilakukan oleh si adik tingkat, Gawin tertawa pelan sambil mengambil botol tersebut dari genggaman Win.

“Oke, nanti gue kasihin. Cuma ini aja, nih?”

Win mengangguk, “tapi jangan bilang kalau itu dari gue ya, Kak. Ngeles aja apaan kek gitu, bilang itu lo yang beli di warung belakang atau di lawson atau apapun itu asal jangan bilang dari gue.”

“Kenapa, Cil?”

Untuk kesekian kalinya, Win mendesah berat, “nanti yang ada dibuang ke tong sampah sama dia, Kak...”

Diam-diam dalam hatinya Gawin merasa kasihan melihat Win yang biasanya berisik, hiperaktif dan selalu membuat onar sekarang terlihat begitu clueless dan hopeless. Lantas Gawin menepuk pelan bahu bidang Win, “ngenes banget sih muka lo. Oke, oke, nanti gue kasih. Jangan kayak orang mau nangis gitu dong, Cil. Ntar disangka gue macem-macem lagi sama lo.”

“DIHHH MALES BANGET GUE JUGA DIMACEM-MACEMIN SAMA LO.”

Gawin tertawa lebar, “Canda macem-macem, hahaha. Ya udah sana, masih mau nungguin Bright di sini?”

“Enggak,” setelah memastikan tas ranselnya sudah tertutup rapi, Win segera berdiri dari posisi duduknya. “Kalau gitu gue pamit deh, kelas gue kebetulan kosong seharian ini, jadi bisa deh tuh lo monopoli si Bright buat latihan sampai malem.”

“Enak banget seharian kosong, tapi dia belum bilang apa-apa sih soal jadwal dia hari ini. Gampang lah, ntar gue tanya.”

Win cuma bisa mengangguki ucapan Gawin, lalu hendak melakukan tos akrab dengan si kakak tingkat tapi terhalang kenyataan kalau sekarang pintu ruang UKM Musik sudah terbuka lebar.

Ada Racha si gadis pemegang bass, Guns si pemain drum, Mike yang kadang-kadang dibutuhkan untuk memainkan keyboard lalu ada Bright yang menjadi orang terakhir yang keluar dari sana.

Semua pasang mata kini terpusat pada Gawin dan Win yang saling berhadapan. Tanpa kata, tanpa aba-aba, dua obsidian hazel milik Win terbawa oleh sebuah tarikan yang mengantarkannya pada sepasang obsidian gelap milik Bright. Tidak ada suara yang terucap, tapi Win bisa melihat dengan jelas kalau Bright kini sedang menatap botol minum di dalam genggaman Gawin dan dirinya sendiri secara bergantian.

Terlalu hening, Gawin kembali jadi pihak yang berinisiatif.

Pemuda itu berdiri dari posisi duduknya, “Udah pada laper banget emangnya?” tanya nya.

Semuanya lantas kompak mengangguk. Racha yang berdiri paling pinggir, di dekat Win pun menyahuti dengan kata-kata juga tawa, “Win!!! Udah lama banget gila lo nggak main-main ke sini!!! Apa kabar? Kok bisa di sini sama Gawin?”

“Tau nih, Gawin bukannya tadi mau ke toilet, ya?!” Mike pun ikut-ikutan menimpali.

Guns yang belum buka suara sama sekali akhirnya memilih untuk meramaikan suasana, “Gawin lo pacaran ya sama Win?!!” haduh, si goblok.

Satu kali lagi, Win dapat melihat dengan jelas kalau ada ekspresi yang tidak biasa di wajah Bright. Tapi pemuda itu tetap bungkam, tidak ada niat sedikitpun untuk menumpahkan ucapannya.

Gawin yang mendadak dihardik sedemikian rupa oleh anak-anak cuma bisa menggeleng sabar, sambil sesekali mengelus dada. Lalu tanpa menjawab kicauan Mike dan Guns, ia melangkah menghampiri Bright dan mengulurkan botol air mineral pemberian Win tadi sampai tepat mengenai perutnya.

“Buat lo, dari si bocil.”

Keheningan masih melanda diri Bright. Pemuda itu bergeming, mengabaikan Gawin dan si botol air mineral, lalu melirik Win dengan tatapan tak suka.

“Lo ngapain ke sini?” adalah kalimat pembuka yang Bright berikan untuk Win.

Win yang seolah baru saja mendapat tembakan dadakan cuma bisa mengerjapkan mata, bingung. Secara refleks, ia melirik Gawin memohon bantuan.

“Bright, ambil dulu anjir, tangan gue pegel.” kata Gawin, yang berhasil mengumpulkan kembali kewarasan Bright. Lagi, tanpa suara dan tanpa kata, Bright meraih botol air mineral tersebut dari tangan Gawin lalu menggenggamnya cuek.

“Win dateng ke sini tuh buat nganterin minum untuk temen lo lo pada yang satu ini,” Gawin merujuk ucapannya ke arah Bright, sedangkan yang ditunjuk hanya memilih diam seribu bahasa. “Ya udah, kalau udah pada laper mendingan sekarang kita cabut. Keburu jam istirahat makan siang, nanti rame dan kita nggak dapet meja.” sambung Gawin sambil mengambil langkah untuk berjalan di depan.

Ogah menjadi sumber tatapan dan tanda tanya dari Racha, Mike dan juga Guns, Bright akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih dulu dan mengikuti Gawin dari belakang. Masih sambil menggenggam botol air mineral, setidaknya Win bisa sedikit bersyukur karena Bright tidak membuangnya ke tempat sampah.

Mike dan Guns yang kepalang bingung dengan situasi yang terjadi pun juga memilih untuk bergegas melangkah menuruni anak tangga. Meninggalkan Racha yang tangannya mulai melingkar di lengan kiri Win, lalu menariknya pelan, “Win, ikut makan siang sama kita, yuk!”

Well, memangnya Win bisa menolak? Racha langsung menarik tangannya dan mengajaknya menuruni anak tangga, bahkan sebelum Win sempat membuat keputusan apa-apa.

. . .

Gawin itu bukan cenayang, tapi entah kenapa ucapan-ucapannya terlalu sering masuk ke dalam kategori akurat yang bahkan teman-temannya sendiri pun percaya nggak percaya.

Pasalnya, warung nasi ayam bakar Pak Slamet yang lokasinya ada di komplek belakang kampus, bersebelahan dengan kost-an campuran dan dekat dengan tempat laundry terkenal di kalangan anak-anak angkatan 2016 sampai sekarang itu kini sudah terpenuhi semua mejanya.

Win, Bright, Gawin, Racha, Mike dan Guns baru saja menempelkan bokong masing-masing di atas bangku plastik sekitar tujuh menit lalu, bahkan untuk memilih menu untuk disantap siang itu pun belum sempat. Suasana warung yang awalnya sepi, kosong melompong, tentram dan damai itu kini sudah agak sedikit ribut karena banyaknya mahasiswa yang datang ke sana.

Gawin sibuk memegang satu kertas menu, matanya bergulir ke atas ke bawah hanya untuk memilih makanan apa yang bisa ia nikmati kala itu. Racha sudah siap dengan buku kecil dan pulpen bertinta biru di tangannya, menunggu aba-aba untuk segera mencatat menu yang akan mereka makan. Mike juga sibuk, tubuhnya menunduk dan sesekali ia tertawa saat kucing oren yang ada di bawah kakinya mengeong kecil ketika diusap kepalanya. Sedangkan Guns sedang fokus mengibas-ngibaskan tangannya di atas meja guna mengusir lalat yang bisa datang kapan saja mengganggu mereka.

Win seketika merasa canggung, apalagi Gawin sengaja menyuruh Bright untuk duduk di sebelahnya. Sebenarnya, mereka sudah biasa makan bersama seperti ini, tapi dulu… ketika Win masih cukup bisa dibilang waras sebelum melakukan tindakan konyol yang merusak pertemanannya dengan Bright.

Dulu juga mereka selalu duduk bersebelahan, berbagi sambal yang disajikan dalam satu mangkuk kecil lalu Win akan dengan senang hati menghabiskan lalapan milik Bright, karena pemuda itu tidak menyukai sayur-sayuran.

Tapi sekarang semuanya terasa aneh, dan juga dingin. Tidak ada yang bisa Win lakukan selain mengulum bibirnya sendiri dalam keputusasaan. Kedua tangan yang tersembunyi di wajah meja justru sibuk meremat satu sama lain, mencari kesibukan, menjemput distraksi yang tak mempan.

Sampai akhirnya suara deheman Gawin berhasil mengusir rasa canggung di hati Win. Sosok tertua di antara mereka berenam itu tidak lagi memegang kertas menu, jari-jari tangan kirinya bergerak cepat di atas meja membentuk ketukan yang terkesan buru-buru.

“Selain gue, ada lagi yang mau pesen lele?” tanya nya.

Mendengar kata lele, Guns yang awalnya sibuk mengusir lalat kini tergiur untuk mengangkat tangan. Pemuda berambut sedikit gondrong itu tersenyum lebar, “gue mau, dong!!! Udah lama nggak makan lele, hahay.”

Di sisi lain, Racha mulai menuliskan pesanan Gawin dan Gunsă…ˇ pecel lele, di sebuah buku kecil.

“Yang lain berarti ayam goreng kayak biasa, nasinya nasi uduk, taburan bawang gorengnya banyak, lalapannya banyakin timun, kalau bisa ayamnya bagian dada. Fix, ye?” tanya Gawin satu kali lagi, berusaha memastikan.

Mike mengangguk-angguk, begitu juga Bright yang pasrah dengan apa saja yang akan dipesan oleh si kakak tingkat.

Lirikan mata Gawin beralih pada Win yang sedari tadi tidak buka suara sama sekali, “lo mau ayam goreng juga, Cil? Biasanya 'kan lo mesennya ayam bakar, bagian paha?”

Variasi olahan ayam kesukaan Win memanglah ayam bakar, tapi kali ini pemuda itu menggeleng dengan mantap, “samain aja, Kak. Ayam goreng, bagian dada.” sahut Win.

Oke, karena perut sudah terlanjur keroncongan dan cacing-cacing yang tinggal di sana sudah kepalang berdemo, akhirnya Gawin memantapkan final menu makan siang mereka dengan enam gelas es teh manis dan tiga gelas es jeruk (untuk siapa cepat, dia dapat).

Buku kecil yang sejak tadi dipegang Racha juga sudah diambil oleh istri dari Pak Slamet, dan masing-masing dari mereka berenam pun kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing sambil menunggu. Semua meja di warung Pak Slamet menciptakan keramaian tersendiri, hanya meja yang dikomandoi oleh Gawin lah yang hening tanpa ada guyonan dan semacamnya.

Racha sibuk dengan ponselnya, Mike kembali sibuk dengan kucing oren yang menempel di kaki kirinya lalu Guns juga sibuk mengusir lalat yang semakin lama semakin banyak datang mengerubungi. Ketika Gawin hendak mengalihkan atensi pada dua anak adam yang sedang dirundung gelisah, istri Pak Slamet lebih dulu membunuh keheningan dengan datang ke meja mereka sambil menaruh dua lilin menyala di atas sana.

Setelah mengucapkan terima kasih, istri Pak Slamet pun beranjak dari jarak pandang mereka. Kali ini, Gawin sungguh-sungguh dibuat tidak tenang dengan situasi dan tensi yang tercipta di antara dua adik tingkatnya itu.

Alhasil, mau tidak mau Gawin buka suara. Diawali dengan sebuah deheman pelan, bukan cuma Bright dan Win yang merasa terpanggil tapi juga Racha, Mike dan Guns yang sekarang kembali membawa fokus mereka pada si kakak tingkat.

Ya udah, gas aja lah, daripada gue makan dalam keadaan overthinking ye kan, begitu sekiranya Gawin bergumam di dalam hati.

Gawin menatap Bright dan Win bergantian. Bright, Win, Bright, Win, dan ketika Gawin hendak mengembalikan atensinya pada Bright, pemuda itu lebih dulu berdecak sambil menatap datar si kakak tingkat.

“Ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu?” tukas Bright, yang dibalas dengan senyum singkat oleh Gawin.

“Balikan, dong.”

Otomatis, kedua bola mata Win membulat sempurna. Gawin ini, memang tipikal kakak tingkat cenayang dan mak comblang gagal di waktu yang bersamaan. Beda dengan Bright, pemuda itu seolah tidak kaget apalagi terganggu dengan kalimat Gawin barusan. Alih-alih memasang ekspresi speechless, ia justru menarik kedua ujung bibir tipisnyaă…ˇ menghadirkan sebuah seringai di sana.

“Apaan balikan, ditembaknya aja cuma buat menuhin dare dia sama temen-temennya.”** begitu jawaban Bright, yang diam-diam mengundang perhatian Racha, Mike dan Guns.

Win, selaku pihak yang sedang dijadikan bahan sindiran pun cuma bisa menghela nafas pelan. After a long time, sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk meluruskan semuanya.

Lantas dengan kepercayaan diri penuh, eh nggak deh, dengan tingkat kepercayaan diri yang bahkan tidak menyentuh 60%, Win pun menoleh ke sisi kiri dimana Bright duduk di sana, di sampingnya. Pemuda yang baru saja menyindirnya itu masih menatap ke arah Gawin, seolah tidak perduli dengan sepasang obsidian sayu yang terpusat kepadanya.

Masih dengan meremat jari-jemarinya di bawah meja, Win menyuarakan kata-kata yang sudah lama terpendam di ujung lidah.

“Bright, yang waktu itu emang pure dare, tapi cuma sebatas buat nembak lo di depan umum doang. Kalau soal perasaan, lo tau sendiri jawabannya, lo tau gimana selama ini perasaan yang gue punya buat lo.”

Bukannya menatap balik apalagi menjawab, Bright justru mengukir seringai lain di wajahnya. Lebih gelap, lebih dalam.

Decakan pelan menerobos keluar dari ranum merah muda pemuda itu, “Bang, would you ever believe in someone who once broke your trust into pieces?” tanya Bright, telak, yang tanpa sadar membuat jantung Win semakin berdegup tidak karuan.

Gawină…ˇ si yang disodori pertanyaan, cuma bisa tersenyum sambil mengangguk maklum. Dalam hati ia mengamini, kalau ternyata permasalahan dua adik tingkatnya ini ternyata dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang rusak.

Secara tidak langsung, Gawin serasa ditarik ke masa lalu dimana ia pernah mendapatkan pertanyaan serupa. Apakah kamu bisa mempercayai seseorang yang dulu pernah menghancurkan kepercayaanmu? Dan kalau Gawin tidak salah ingat, jawabannya di kala itu adalah, tidak.

“Jadi lo pernah nembak Bright di depan umum, Cil?” tanya Gawin.

“Sekalian aji mumpung buat bikin gue malu juga, kali.” lagi lagi Bright menyahut, tampaknya pemuda itu sudah tiba di batas sabarnya.

Win yang semakin merasa terpojok cuma bisa mengangguk pasrah. Rasa penyesalan yang dulu sempat ia rasakană…ˇ empat bulan lalu, ketika Bright berbalik memunggunginya dan pergi menjauh, di saat yang sama juga Win menyesali segala perbuatannya kini datang memenuhi rongga dadanya.

Terlalu keras meremat tangannya di bawah meja, Win tidak sadar kalau buku-buku jarinya mulai ikut bekerja. Hingga ketika Pak Slamet datang ke meja mereka sambil membawa 9 gelas minuman, suara rintihan pun mengudara.

Spontan, Bright melirik ke sisi kanannya dan memutar jengah kedua bola mata begitu ia dapati Win sedang mengipas-ngipas tangan kanannya yang terluka. Sela-sela jari tengah dan jari telunjuk Win mengeluarkan darah, kemudian dengan cepat Bright meraih tangan Win, menggenggamnya.

Bright mengambil satu lembar tissue yang tersedia di atas meja, lalu menutupi jari-jari yang terluka itu agar cairan darah tidak menetes terlalu banyak. Guns yang agak phobia dengan darah cuma bisa memejam, Mike yang duduk di samping kiri Bright tanpa sadar ikut meniup-niup udara seolah sedang meniupi jari Win yang terluka. Racha terlihat sibuk mengacak-acak totebag-nya untuk mencari hansaplast, sedangkan Gawin sibuk menggeser satu persatu gelas es teh manis di atas meja.

Setelah dirasa darah tidak lagi menetes banyak, Bright mengantongi tissue itu di saku celana jeansnya dan mulai membawa kedua jari Win ke mulutnya. Tanpa rasa jijik sedikitpun, pemuda itu menghisap jari-jari Win, berusaha membersihkan sisa darah yang mungkin saja belum keluar seutuhnya.

Rasa logam dan bau yang sedikit anyir mulai mendominasi mulut Bright. Tidak lama setelah itu, ia berdiri dan mencari selokan terdekat untuk membuang saliva yang sudah bercampur dengan darah Win.

Win, terdiam di tempatnya.

“Win, ini, cepet dipakai hansaplast nya.” kata Racha, sambil memberikan satu lembar hansaplast pada Win.

Dengan senyum canggung di wajahnya, Win pun mengambil hansaplast tersebut dari jangkauan Racha, “makasih banyak ya, Cha.”

“Santai, sama-sama, Win...”

Hilangnya eksistensi Bright selama beberapa menit membuat Mike kini bisa melihat Win dengan jelas. Jari-jari Win masih merah, tapi tidak lagi mengeluarkan darah seperti sebelumnya. Tanpa sadar, Mike meringis pelan, “sakit nggak, Win?”

Belum sempat menjawab, kepala Mike lebih dulu dihadiahi jitakan keras oleh Bright yang entah sejak kapan sudah berdiri di balik bangkunya. Sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, Mike pun memberi ruang agar Bright bisa kembali duduk di tengah-tengah dirinya dan juga Win.

Jika Bright bisa bersikap gentleman, di lima menit yang lalu, maka sekarang Bright sudah kembali menjadi Bright yang dingin, tidak tersentuh, tidak terbaca.

Win diabaikan, lagi. Bright lebih memilih untuk menenggak es teh manisnya, tanpa perduli kalau sosok yang duduk di samping kanannya tengah memohon perhatiannya.

Gawin baru selesai menenggak es jeruknya, pemuda itu kembali melirik Bright dan Win bergantian. Dan ketika atensinya menelisik Win lebih lama, Gawin berujar, “he cares about you.”

Oh tentu saja Bright tidak terima, “nggak usah ngetwist aksi gue barusan. Gue cuma nggak suka sama orang yang ceroboh, apalagi orang itu ada di deket gue sekarang.” sahut Bright, penuh dengan penekanan.

Win? Bagaimana dengan anak itu? Bagaimana dengan hatinya?

Hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan suasana hati Win saat ini, and there's no words other thană…ˇ malu.

Bright seolah sedang mempertanyakan hatinya. Pemuda itu bahkan menginjak-injak perasaannya.

Susah payah Win menelan salivanya, “bisa nggak sih intonasi bicara lo nggak kasar kayak gitu ke gue?”

Suara Win agak sedikit meninggi, Bright akhirnya menoleh.

Keduanya bertatapan, canggung dan dingin.

Satu alis tebal Bright bertaut, hendak membalas ucapan Win barusan tapi lagi dan lagi pemuda manis itu mencuri start.

“Gue mau meluruskan semuanya. Gue mau minta maaf ke lo, Bright. Tapi lo malah kayak gini.”

Bukan cuma meja yang ditempati mereka berenam yang mendadak hening, tapi juga meja-meja lain serta Pak Slamet yang sedang menata beberapa piring di atas baki pun ikut menjemput hening.

Belasan pasang mata terarah pada keduanyaă…ˇ yang masih sama-sama saling menatap dari dua kutub yang berbeda, bertolak belakang.

Bright masih diam, ia tidak menyediakan waktu untuk meladeni segala kata yang terucap dari mulut Win.

“Sejak hari itu gue mau jujur ke lo, kalau dare-nya Pawat cuma sebatas nembak lo di depan umum. Dan setelah lo ngasih jawaban, gue harus langsung tegasin that it was a fucking dare, dan gue sama sekali nggak nyangka kalau lo akan nerima pernyataan cinta palsu gue saat itu. If i ever hurted you, i am sorry… I am deeply sorry, i didn't mean to hurt you that way.”

Win berusaha mengatur nafasnya, berusaha mengatur degup jantungnya yang bertalu-talu di atas ambang normal. Dan diamnya Bright, menjadi tamparan tersendiri bagi Win.

Bright, tidak perduli atas permintaan maafnya.

“Bright,”

Kali ini Bright berdecak, didominasi oleh rasa tidak suka.

“There's no way for me to give all my trust to you, dumbass.” diucapkan dalam satu kali tarikan nafas, Bright bersiap dengan kalimat keduanya, “all you do is lie and all the words coming from your mouthㅡ” Bright mengusap pelan bibir bawah Win, lalu menjauhkan ujung jarinya dengan cepat, “they're all lies.”

“Lagian, mana ada sih orang yang suka main-main kayak lo bisa serius? Kalau gue percaya sama lo, namanya gue orang gila.”

Kata-kata yang terlontar dari mulut Bright rasanya sudah keterlaluan. Gawin yang merasa situasi semakin tidak terkendali pun angkat suara, “Bright, udah, you're too much.”

Tapi, apa Bright perduli? Tidak, pemuda itu melebarkan senyumnya, senyuman penuh intimidasi.

Dihisapnya ujung sedotan dari gelas berisi es teh manis miliknya, kemudian tanpa mau repot-repot melirik ke sisi kanan, Bright kembali mengucapkan satu kalimat.

Satu kalimat, yang Win berjanji akan jadi kalimat terakhir dari mulut Bright yang akan ia dengar.

“Lo nggak dibutuhkan di sini, lo bukan bagian dari kita dan lo bukan siapa-siapa buat gue jadi gue mohon dengan sangat, lo pergi dari hadapan gue.”

. . .

Satu bulan.

Satu bulan sudah berlalu sejak terakhir kali Win berada di radius yang dekat dengan Bright. Selama itu pula mereka duduk berjauhan ketika di kelas, tidak saling bicara, bahkan mungkin saling tidak menganggap keberadaan satu sama lain.

Jika ada jam kosong dadakan atau saat jam istirahat tiba, Bright akan mengasingkan diri ke ruang UKM Musik. Sedangkan Win, pemuda itu akan berpura-pura tidur di bangkunya guna menghindari ajakan Pawat dan PP untuk melakukan eksplorasi makanan dan jajanan ringan di belakang kampus.

Sudah satu bulan lamanya kelas tidak diwarnai oleh guyonan dan aksi konyol Win. Sudah satu bulan Pawat gagal memancing sahabatnya itu untuk membuat keributan di kelas. Semuanya berubah, Win terlalu segan untuk buka suara apalagi jika harus di depan Bright.

Win, tidak penting.

Keberadaannya, tidak dibutuhkan.

Win, tidak penting.

Pertemanan antara dirinya dan Bright, tidak lagi punya makna berarti.

Kata-kata yang diucapkan Bright satu bulan lalu masih melekat erat dalam memorinya. Bagaimana Bright menegaskan rasa tidak sukanya pada Win, semuanya masih terasa begitu jelas, seolah baru kemarin terjadi.

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Win sudah kehabisan cara, bagaimana ia bisa mendapat maaf dari Bright?

Sudah satu bulan berlalu, dan Win tidak pernah tidur nyenyak sama sekali. Bright marah sekali, Bright semarah itu padanya. Win sudah tiba di jalannya yang buntu, bahkan untuk putar balik pun ia tidak bisa, ia tidak berani, ia tidak punya muka.

Dua minggu lalu Bright mengalami kecelakaan motor. Tidak begitu parah (begitu kata Janhae, si ketua kelas) tapi cukup membuat pemuda itu harus berjalan dengan kruk.

Setiap hari harus naik dan turun tangga dengan susah payah, tanpa adanya bantuană…ˇ semua orang terlalu segan, tidak mau membuat pemuda itu marah.

Sampai akhirnya mereka tiba di hari ini.

Kamis kelabu, langit di luar tampak gelap dan bunyi gemuruh mulai saling sahut menyahut dari balik awan. Hari ini tanggal delapan belas, waktu sudah menginjak jam lima sore ketika ruang kelas semakin lama semakin kosong.

Menyisakan Bright seorang diri, yang harus bersusah payah memposisikan diri di tengah kedua kruk di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Ketika dirasa sudah siap untuk melangkah, perlahan-lahan Bright berjuang untuk menggeser kruk-nya sedikit demi sedikit, sampai tiba di ambang pintu.

Lalu harus berusaha lagi, dengan lengannya Bright sebisa mungkin mendorong pintu kelas agar terbuka. Tetapi di luar dugaan Bright, pintu di depannya kini terbuka dan menampilkan Win dengan wajah tanpa ekspresinya di sana.

Win membuka pintu lebar-lebar, “watch your steps,” katanya.

Tapi Bright bergeming. Tidak mau bergerak seinci pun.

Pikiran Bright kian berantakan. Apakah Win menunggunya? Apakah Win benar-benar perduli padanya kali ini?

“Bright,”

Yang dipanggil hanya menoleh, jantungnya berdegup cepat.

Menyadari kalau Bright mungkin saja ragu padanya, Win pun melangkah mendekat. Dengan sepasang mata yang berkaca-kaca, ia berhenti beberapa sentimeter di hadapan Bright.

Menatap pemuda itu sungguh-sungguh, “i am sorry for what i have done back then, lo berhak kecewa sama gue, lo berhak marah sama gue, lo berhak nggak percaya sama semua kata-kata gue, tapi gue mohon satu kali ini aja, trust me, i will walk behind you and watch your steps, i won't let you fall again, let me help you,”

Bright masih diam, masih tidak percaya.

Win menghela panjang nafasnya, satu tetes air mata jatuh membasahi pipi.

Dengan mata yang mulai memerah, Win kembali berucap, “harus dengan cara apa lagi gue minta maaf, Bright? Harus kayak gimana lagi gueㅡ”

CUP,

Kalimat Win lagi dan lagi tertahan di ujung lidah. Mulutnya dibungkam oleh mulut Bright, seolah-olah pemuda itu tidak mau dengar kelanjutan dari kata-kata Win.

Bright tahu kalau Win menyayanginya. Tapi sejak insiden dare yang dilakukan pemuda itu, Bright jadi meragukan perasaan Win. Apalagi ketika Win tertawa lebar setelah kata *'mau, gue mau jadi pacar lo' terlontar dari bibir Bright, lalu Win menepisnya dengan kalimat yang berhasil menjatuhkan Bright ke dasar jurang;

“It was a dare, Bright...”

Yang malah membuat Bright menganggap semuanya adalah sebatas dare, termasuk perasaan yang selama ini secara blak-blakan Win tunjukkan padanya. Sejak saat itu, Bright tidak percaya pada siapapun lagi, terutama Win. Semua yang dilakukan oleh Win, adalah bohong. Semua kata-kata yang terucap dari bibir Win, adalah bohong.

Setidaknya itu yang Bright percayai sampai hari kemarin. Tapi tidak dengan hari ini.

Di hari Kamis ini Bright menghancurkan dindingnya sendiri, ia mau untuk belajar percaya pada Wină…ˇ si pemuda yang senang bermain-main.

Bright menjauhkan bibirnya dari bibir Win, keduanya kini bertatapan dalam.

Win tersenyum, ditangkupnya kedua pipi Bright yang tampak pucat. Win mengelusnya penuh sayang, membuat Bright hanyut dalam pergerakan tangan halus itu.

“Maafin gue, Win...”

Win mengangguk, “maafin gue juga, ya?”

Bright memiringkan wajahnya satu kali lagi, mencuri satu ciuman panjang di bibir Win, “from now on, would you keep my trust?” tanya Bright.

“And my whole heart?”

Win mengecup sudut bibir Bright, lalu tersenyum sambil mengangguk, “thank you for giving me a second chance,”

“I love you, galak,”

Bright terkekeh, lalu merengkuh tubuh Win meski dengan kehadiran dua kruk di tengah-tengah mereka, “i love you too, anak bar-bar.”

. . .

written by : JEYI (210318).

(Win's side of life, after the second times break with Bright).

Menjadi dewasa itu pilihan, dan Win harus mulai terbiasa dengan pilihan barunya. It's been a week since the last day he saw Bright, since the last time he talked to him. Yang namanya break itu nggak enak, tapi mengulangi kesalahan yang sama itu jauh lebih nggak enak, 'kan? Jadi, Win mau mulai belajar untuk menjalani hidup tanpa Bright.

Seminggu pertama… rasanya benar-benar kayak di neraka. Ya, walaupun Win belum pernah merasakan bagaimana tinggal di neraka, tapi perasaan takut, gelisah, kecewa, marah, gelap, hilang arah yang mengganggunya selama satu minggu ini, bukankah itu definisi dari neraka?

total words: 3.4k+ words.


“Kakak,”

Damn. Sentilan pelan di jantung pagi-pagi kayaknya akan jadi menu sarapan Win kali ini.

Suara pintu yang didorong perlahan mau nggak mau membuat Win harus mengalihkan fokusnya ke arah sumber suara.

Mickă…ˇ sang adik, ada di sana, kepalanya menyembul dari balik pintu.

“Papah barusan bilang, kalau Papah nggak bisa nganter kakak ke sekolah hari ini. Papah lagi packing buat ke Surabaya lagi, nanti siang berangkatnya.”

Win menaruh sebuah bingkai foto yang sudah sepuluh menit ini ia pandangi. Pemuda itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, kepalanya mengangguk-angguk pelan merespon ucapan sang adik.

“Mamah ikut nggak?” sahut Win, seraya melangkah ke arah pintu.

Lalu dibukanya pintu kamar lebar-lebar, memerhatikan sang adik yang sudah rapi dengan seragam putih – biru dongker, yang dibalut dengan hoodie abu-abu di bagian luar. Kaos kaki putih sepanjang betis juga sudah menghiasi kedua kakinya.

“Kok lo udah rapi? Masih jam setengah enam?”

Mick terkekeh kecil, tangan kanannya terangkat menggaruk-garuk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. “Adek minta Papah anterin adek ke sekolah dulu, soalnya adek hari ini piket, jadinya adek udah harus siap jam segini biar Papah kesampean nganter adek abis itu baru berangkat ke bandara.”

“Gaya bener, kan biasanya lo sama supir?” Mata Win memicing sebelah, “Mamah ikut ke Surabaya nggak, dek?”

Kepala Mick lantas menggeleng pelan, “nggak, kok. Mamah di rumah. Ya udah, adek cuma mau ngasih tau itu aja, adek sama Papah udah sarapan duluan, kakak turun sana… dicariin Mamah tau.”

“Iya, gampang,” Win berbalik, beranjak meninggalkan Mick dan melangkah menuju meja belajarnya yang terletak di sudut kamar. Win mematikan lampu penerangan yang biasa ia pakai untuk belajar setiap malam, tapi sayang seribu sayang, lagi dan lagi matanya seolah ditarik oleh magnet yang dimiliki oleh sebuah bingkai foto dimana ada potret dirinya dan juga Bright terpampang jelas di sana.

Win terdiam. Sudah seminggu ini, ia hanya bisa melihat Bright melalui bingkai foto tersebut. Selama di sekolah pun keduanya tidak bertemu, entah Bright yang jarang masuk kelas atau memang sedang menghindari keramaian, Win tidak tahu.

Atau juga mungkin karena Win yang hampir setiap hari menghabiskan jam istirahatnya di dalam kelas. Meminimalisir kebiasaannya yang suka bolak-balik ke toilet, dan memilih untuk menghabiskan bekal yang dibuat oleh Mama di dalam kelas, seorang diri, walau kadang Puimek, Dew dan Mix suka datang menemani.

Win kembali melirik Mick yang masih berdiri di ambang pintu, “bentar lagi gue turun, udah sana lo siap-siap deh mendingan, mau berangkat sekarang, 'kan?!”

Mick menghela nafas pendek, lalu kepalanya mengangguk menyahuti ucapan sang kakak.

“Jangan keseringan di kamar, kak. Sekali-kali temenin Mamah masak atau nonton tv di bawah.”

“Iya, bawel deh. Udah sana, gue mau siap-siap dulu.” jawab Win, sambil memakai sweater merah marunnya yang ia ambil dari sandaran kursi yang sepaket dengan meja belajar.

Mick sudah beranjak dari ambang pintu kamarnya. Tidak ada lagi keramaian yang tercipta, hanya hening… juga suara burung peliharaan Papa yang mulai berkicau sahut-sahutan dengan burung milik tetangga pertanda hari sudah pagi.

Win, untuk kesekian kali menghela panjang nafasnya. Hatinya berdegup dengan perasaan tidak nyaman yang sudah datang menghantui beberapa hari ini. Tanpa sadar, pemuda itu mengulum gusar bibir bawahnya. Kedua telapak tangannya turut menempel pada permukaan meja, bertopang di sana, kembali berhadapan dengan sebuah pigura kecil penuh kenangan.

Foto itu diambil pada tanggal 21 Februari tahun lalu. Tepat pada saat perayaan ulang tahun Win yang ke-18, dan tentunya Bright ada di sana. Keduanya mengenakan kostum matching, kemeja berkerah yang tidak terlalu formal berwarna biru dengan motif batik modern. Win tersenyum lebar di foto itu, ia bahagia, tahun lalu ia sangat bahagia.

Tapi kata bahagia sama sekali tak ia dapatkan di tanggal 21 Februari tahun ini.

Tidak ada Bright yang menemani, itu artinya tidak ada bahagia yang bisa dijumpai.

Ya, dua hari lalu Win baru saja memijak usia yang baru. 19 tahun, dan semuanya terasa hampa.

Tidak ada ucapan di jam 12 malam lebih satu detik yang biasanya sang kekasih berikan setiap tahunnya.

Tidak ada doa syafaat yang diucapkan Bright ketika mereka melakukan doa malam beberapa menit setelah Bright mengucapkan selamat ulang tahun.

Tidak ada suara petikan gitar yang bisa mengiringi tidurnya, seperti tahun-tahun kemarin.

Tidak ada Bright, dan semuanya terasa salah.

Rasa sesal seketika memenuhi dada Win, kenapa… kenapa ia harus mengambil keputusan ketika otak dan hatinya sedang berantakan? Kenapa… kenapa ia harus meminta waktu untuk beristirahat dari hubungannya dengan Bright yang sudah jauh dari kata sehat?

Kenapa… kenapa tidak menunggu saja sampai semua rasa sakit dan kecewanya hilang dengan sendirinya?

Kenapa… kenapa lagi dan lagi hubungannya mengalami kegagalan?

Mata Win terpejam sempurna begitu bayang-bayang pertengkaran mereka di toilet sekolah seminggu lalu kembali melintas dalam benaknya. Bayang-bayang Bright yang menangis ketakutan dan penuh penyesalan. Kenapa Win malah meminta jarak, padahal masih ada cara lain untuk memperbaiki keadaan?

Bersikap cuek dan menerima, mungkin?

Tapi Win di seminggu yang lalu, adalah Win yang berhasil mengutarakan perasaannya. Adalah Win yang sudah cukup lelah dan hampir menyerah. Adalah Win yang hanya berusaha untuk menjemput bahagia bagi dirinya sendiri.

Lantas dimana kebahagiaan itu? Apakah sudah ada?

Win menggeleng, belum. Dirinya justru makin tersiksa dengan hadirnya rasa rindu yang bercampur khawatir.

Win yang seminggu lalu berkata bahwa racun sudah mulai menguasai hubungan sehatnya dengan Bright, kini tersadar, bahwa kegagalan ke-2 mereka bukanlah karena racun. Tapi karena keegoisan diri mereka masing-masing untuk menunjukkan rasa sayang dan perduli.

Hanya caranya yang salah.

Juga hanya karena waktu yang belum berpihak, atau semesta yang belum mengizinkan.

Atau memang… racun itu memang ada?

Ah, nggak tau… pusing… Akhirnya Win menjatuhkan pigura tersebut. Membuat bagian depanㅡ dimana ada potret dirinya bersama Bright, kini menelungkup menatap permukaan meja.

Gelap, sama persis seperti hubungan keduanya… gelap, tidak lagi punya arah.

Win menggeleng-gelengkan kepalanya satu kali lagi, lalu ia mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya lewat mulut. Win menepuk dada kirinya agak keras, berharap rasa sakit itu akan hilang dalam hitungan detik.

“Nggak apa-apa, nggak apa-apa, Win.”

Nggak apa-apa… Keputusan lo udah bener, sekarang tinggal tunggu aja sampai waktunya tiba; lo bisa tetap lanjut sama Bright atau, kita akan sama-sama berhenti untuk berjuang.

Time will heal, time will answer your worries, so for now… make yourself on the top and be the happiest you're everyday, Win.

It's okay, Bright will heal too… on his own way.

. . .

“Mam,”

Tidak ada ucapan selamat pagi yang terucap, begitu melihat sang Mama sedang mencuci piring, Win langsung berhambur memeluk wanita itu dari belakang.

Pelukan yang erat, Win bahkan lupa kapan terakhir kali ia memperlakukan Mamanya seperti ini. Kesibukan di sekolah sebagai wakil ketua kelas sekaligus wakil ketua OSIS, lalu kegiatan di gereja dan organisasi kecil-kecilan di komplek perumahan tampaknya berhasil menyita waktu Win yang sedang beranjak menuju dewasa.

Terlalu bersosialisasi di luar rumah, termasuk menghabiskan waktu bersama Brightă…ˇ dulu, membuat Win sadar nggak sadar mulai kehilangan waktunya dengan sang Mama.

Kedua mata Win terpejam, bahkan ketika Mama mulai berdecak minta dilepas, pemuda itu sama sekali tak menggubris. Win, semakin memperkuat pelukannya.

“Kamu jangan kayak adek yang masih seneng melukin Mamah kayak gini deh, Kak...”

Win mengerucutkan bibirnya, mencuri satu kecupan kilat di pipi kiri Baifernㅡ sang Mama. “Kangen Mamah...”

Terlalu mengerti perasaan sang sulung, Baifern pun membiarkan Win memeluknya, “Mamah sambil nyuci piring lho, nanti kena sweater kamu bukan salah Mamah yo, Kak...”

Kepala Win mengangguk ringan bagai anak kecil. Sepasang mata Win tidak lagi terpejam, pemuda itu kini turut memerhatikan piring-piring yang dipenuhi busa sabună…ˇ mungkin bekas Papa dan Mick sarapan tadi.

“Kak,”

“Yaaa, Mam?”

“Papah sama adek udah jalan, kamu berangkat sekolah mau dianter supir atau mau bareng sama Bright?”

Bright.

Bright.

Bright…

Baifern terhenyak ketika ia rasakan pelukan Win di tubuhnya semakin erat. Si sulung kini menempelkan dahinya di bahu kiri, lalu dengan tangannya yang agak basah dihiasi busa ia coba untuk menyentuh lembut kepala bagian samping Win.

Win tidak memberikan respon apa-apa, Baifern pun akhirnya mematikan kran air lalu mengeringkan kedua tangannya pada sebuah handuk yang menggantung di dinding.

Ditepuknya pelan puncak kepala si sulung, “Kakak Win,”

Masih tidak ada jawaban. Win semakin larut dalam heningnya sendiri.

“Kakak kenapa sama Bright, hm?” Baifern menepuk sayang surai hitam Win, “lagi ada masalah, kah? Udah semingguan ini Bright nggak ke rumah, ulang tahun kakak kemarin juga, Bright nggak dateng, nggak ada kabar. Kenapa, nak? Kakak mau cerita ke Mamah, sambil sarapan… yuk?”

Kali ini Win menggeleng. Pemuda itu tidak lagi menyembunyikan wajahnya di bahu sang Mama, kepalanya menatap ke arah depan. Hati Baifern mencelos, begitu wanita itu dapati sepasang mata cantik Win memerah.

Baifern mengusap lembut pipi kiri Win, “hey, anak Mamah...”

Win menoleh ke arah kanan, membalas tatapan sang Mama tepat di sepasang matanya, “Win sama Bright lagi sama-sama berantakan, Mah...”

Sebisa mungkin Win tidak mau menangis. Ia sudah bertahan satu minggu ini tanpa air mata, ia sudah berusaha keras untuk memendam segala rasa kecewanya, tapi tampaknya Mama adalah pengecualian.

Win tidak bisa, jika harus berpura-pura kuat di depan Mama.

“Kalau Win sama Bright nggak bisa lanjut lagi, Mamah kecewa nggak? Win tau… Mamah sayang banget sama Bright.”

Baifern menghela pelan nafasnya. Wanita yang pagi itu masih mengenakan daster kini membalik posisi tubuhnya, berdiri berhadapan dengan sang anak. Diusapnya pelan dan penuh sayang kedua lengan Win, “Mamah juga tau kalau Kakak sayang banget sama Bright.”

Tidak mampu berbohong, Win pun mengangguk. Tetes lain air matanya kembali jatuh.

“Win sayang… Sayang b-banget sama Bright… T-tapi Win udah capek, Mah...”

Baifern mengelus lembut kedua pipi Win, menyeka air mata yang masih mengalir di sana. “Bright nyakitin Kakak, hm?”

Lagi, Win mengangguk, “dan Win udah capek, Mah,” isak tangis mulai terdengar, usahanya dalam seminggu berakhir sia-sia. “Win boleh berhenti, Mah?”

“Win kayak berjuang sendirian...”

Kalau boleh jujur, Baifern cukup dibuat kaget dengan pengakuan sang anak. Antara ragu dan percaya, apa Bright benar-benar menyakiti Win? Sebesar apa kesalahannya sampai Win menangis dan ingin menyerah seperti ini?

Bright adalah anak yang baik. Baifern tahu itu. Baifern sudah kenal Bright sejak pemuda itu masih kecil. Bright sudah ia anggap seperti anak sendiri.

Tapi Baifern sadar, dalam sebuah hubungan pasti banyak batu kerikilnya. Tidak hanya satu kali atau dua kali, bahtera yang mereka nahkodai pasti akan sering dilanda badai dan hujan deras. Apalagi, Win dan Bright masih sama-sama dalam proses menuju dewasaă…ˇ menyatukan dua kepala di usia 'egois' memang lah sulit.

Ada ego yang tidak bisa dilawan.

Ada dinding pertahanan yang tak bisa dibuat runtuh.

Ada emosi yang kadang masih menggebu-gebu lalu berubah melankolis di waktu yang tidak tepat.

Ada proses sulit yang harus dijalaniă…ˇ proses menuju dewasa.

Ada kemauan yang tak selalu bisa diucap.

Dan ada kepastian yang jauh dari gapaian.

Baifern tidak akan menyalahkan siapapun. Ia akan membiarkan anak-anaknya menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Diusapnya lagi kedua pipi Win penuh sayang, “Kakak, Mamah nggak mau ikut campur sama urusan pribadi Kakak sama Bright, karna Mamah tau Kakak sama Bright bisa sama-sama cari jalan keluar. Kalau Kakak bener-bener udah capek, Kakak bisa istirahat dulu, tapi kalau Kakak ngerasa bener-bener udah nggak bisa lanjut, nggak apa-apa… mungkin belum jodoh.”

“Win banyak kurangnya ya, Mah?”

Baifern menggeleng, “enggak, sayang,” tentu tidak, Win anak yang baik, “mungkin sekarang Kakak sama Bright lagi diuji sama Tuhan. Tuhan mau liat, Kakak sama Bright bisa atau enggak lewatin ujian ini...”

“Akan selalu ada pelangi sehabis hujan. Itu janji Tuhan. Kakak percaya, 'kan?”

Kepala Win mengangguk pelan, pemuda itu meraih satu tangan Baifern untuk digenggam, “tapi kalau di akhir nanti Win sama Bright kalah gimana, Mah?”

Bright lagi, lagi dan lagi… Dari sini Baifern tahu, Win masih sangat menyayangi dan membutuhkan Bright, hanya saja ini mungkin belum waktu-nya.

“Nggak apa-apa, sayang… Yang penting Kakak sama Bright udah melakukan yang terbaik. Oke? Kakak doain Bright nggak selama jauh-jauhan begini?”

Win mengusap wajahnya agak kasar, lalu menggeleng, “Win nggak berani nyebut nama Bright, Mah… Win takut sedih lagi...”

“Oke, nggak apa-apa, itu juga 'kan demi kenyamanan Kakak, ya? Tapi hari Minggu nanti Kakak jangan lupa berdoa ya, minta sama Tuhan biar Kakak sama Bright dikasih jalan terang. Oke, anak Mamah?”

Merasa lebih baik setelah menceritakan seperempat dari kesedihannya pada sang Ibu, Win akhirnya mengangguk, mengiyakan saran wanita cantik itu.

Win memejamkan matanya saat Baifern kembali mengusap pipinya, menyalurkan ketenangan.

“Sekarang Kakak pikirin diri Kakak sendiri dulu, ya, sayang? Kakak pulih sendiri dulu, Kakak maafin diri sendiri dulu, Kakak sayangi diri sendiri dulu, baru nanti Kakak pikiran Bright dan berusaha untuk maafin Bright, oke? Pelan-pelan aja ya, anak manis?”

Win mengangguk, “i-iya, Mah… Makasih… Win mau fokus sekolah aja dulu, minggu depan ada pelantikan OSIS baru, dua minggu lagi juga ujian akhir sekolah. Win mau lulus dengan nilai yang baik, doain Win ya, Mah?”

“Pasti, dong… Usaha nggak akan mengkhianati hasil, sayang… Tapi jangan lupa, semua usaha Kakak harus diawali dengan doa biar Tuhan berkati ya, sayang, ya?”

Seulas senyum manis dan penuh kelegaan terukir di wajah Win. Sudut bibir kiri dan kanan pemuda tertarik ke atas, cantik, sempurna.

“Papah berapa lama di Surabaya, Mah?”

Baifern melepas apron yang melekat di tubuhnya, menggantungkannya pada pengait yang menempel di dinding, lalu mendorong kuat punggung tegap Win untuk beranjak menuju ruang makan.

Sekarang Win sudah duduk di bangku yang memang secara tidak langsung sudah dianggap sebagai 'bangku'-nya. Pemuda itu pasrah ketika sang Ibu mengambil piring kaca, dan menuangkan banyak nasi ke atas sana.

“Cuma tiga hari dua malem, besok ketemu klien dari pagi sampai sore, terus malemnya ada makan malam sama klien penting dari Balikpapan, lusa pagi pulang ke Jakarta.”

Baifern meletakkan piring yang sudah berisi nasi goreng lengkap dengan irisan telur dadar dan acar di depan Win. Lalu wanita itu menuangkan teh hangat ke dalam cangkir kecil dan memberikannya pada si sulung untuk diminum terlebih dulu.

“Jangan lupa berdoa sebelum makan, Mamah mau ke kamar dulu, mau ganti baju.”

Win tersenyum sambil mengangguk, “oke, makasih banyak, Mamahkuuu!”

“Sama-sama, sayang. Ya udah, nanti Kakak berangkat sekolah Mamah yang anterin aja lah, ya? Biar Mamah sekalian mampir ke ruko di depan transmart Depok Lama buat ngambil pesenan daging babi. Kakak mau sup kacang merah apa babi rica-rica?”

Walaupun mulutnya penuh dengan nasi, Win pun menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan Mama, “kalau bisa dua-duanya, kenapa harus milih satu, Mah?” kedua matanya membulat, mengerjap lucu seperti sedang memohon.

Baifern cuma bisa tertawa, lalu mengacak gemas surai hitam si sulung, “iya deh iya, buat anak Mamah apapun pasti Mamah bikinin.”

“Hehehe, makasih Mamah cantik!”

Hehehe… Dua makanan itu; sup kacang merah dan babi rica-rica adalah makanan kesukaan Bright…

Bright mau nggak ya, kalau dibekelin itu besok?

. . .

Oke, terhitung sudah satu minggu lebih empat hari, dua anak remaja yang sedang gundah gulana itu tidak saling bertemu sapa. Tidak juga saling bertukar pesan, apalagi bercakap-cakap lewat sambungan telepon.

Win, tidak tahu bagaimana Bright melewati hari-harinya. Sejak memutuskan untuk beristirahat sejenak dari hubungan mereka, Win seolah membatasi diri, tidak hanya dari sang kekasih tapi juga dari barudaksă…ˇ alias teman baik Bright di kelas 12 SOS 2.

Jika dulu Racha biasanya akan memberikan updates atau sekedar basa-basi, kali ini gadis itu juga seolah menghilang entah kemana. Cuaca di kota Depok yang selalu berubah-ubah, apalagi belakangan ini selalu diguyur hujan ketika pagi, membuat mereka sama sekali tidak bisa bertemu.

Tidak ada apel pagi, doa dan nyanyian pagi dilakukan di kelas masing-masing yang dipimpin oleh salah seorang siswa.

Win tidak lagi pernah berdiam lama-lama di meja kantin, jarang ke toilet, membuat dirinya kini benar-benar ada di kubu yang berlawanan dengan kelas Bright.

The bad tension between those two classes are happening, again.

Padahal belum putus, tapi rasanya sudah jauh sekali.

Hari demi hari Win lalui dengan belajar. Kadang-kadang ia akan mengurung diri di ruang OSIS sambil mengisi buku detik-detik, atau hanya akan diam di kelas sambil membaca kamus saku pelajaran biologi.

Win memang senang belajar, tapi ketika ia melakukan hal-hal yang disukainya hanya untuk menghindari sesuatu, maka Win tidak jadi merasa senang.

Semuanya terasa kosong, begitu juga hatinya, apalagi matanya yang kini menatap papan tulis di depan kelas dengan kosong.

Lukeă…ˇ si ketua kelas, baru saja kembali dari ruang guru setelah menaruh tumpukan buku tugas milik anak-anak di meja Pak Iman, guru agama kristen.

Pemuda itu hendak berbelok ke mejanya sendiri, tapi pemandangan Win yang sedang melamun berhasil mengundang perhatiannya.

Lalu tanpa pikir panjang, Luke mengambil posisi duduk di depan Win, yang kebetulan adalah bangku milik View, tapi si empunya sepertinya sedang berada di luar kelas.

Well, bahkan kehadiran Luke tidak mampu merebut atensi Win.

Luke mengetuk-ngetuk pelan meja Win, dan di ketukan ke-3, si pemuda manis menoleh ke arahnya.

“Eh, Luke,”

Si ketua kelas kesayangan guru-guru tersenyum kecil, “kok ngelamun aja? Lagi mikirin sesuatu, ya?” tanya Luke, penasaran.

Win terdiam. Ketika Luke berada di jarak yang sedekat ini dengannya, justru wajah Bright lah yang datang menghantui pikirannya.

Wajah marah Bright.

Wajah kesal Bright.

Wajah merajuk Bright.

Semuanya datang secara mendadak ke dalam benak Win. Lantas Win mencelos, ditatapnya Luke dalam-dalam.

“Luke, gue mau ngomong, boleh?”

Yang ditanya langsung mengangguk. Seulas senyum manis terbesit di bibirnya, selalu seperti iniă…ˇ penuh antusias ketika dirinya berinteraksi dengan sang pujaan hati.

“Silakan, Win. I am all ears.”

Win bisa merasakan jantungnya yang berdegup sedikit lebih cepat. Tanpa sadar ia mengulum bibir bawahnya, berpikir keras apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Luke?

Win tidak mau mengumbar-umbar hubungannya pada orang lain, tapi jika ia tetap berada di ambang vague seperti ini, maka hubungannya dengan Bright tidak akan bisa berjalan dengan baik untuk di kemudian hari.

Akan selalu diselimuti rasa bersalah, akan selalu dihantui rasa tidak nyaman dan ketakutan.

Takut untuk ketahuan, takut untuk menciptakan masalah baru dan takut untuk kembali gagal.

Maka sepersekian detik setelahnya, Win menghela pendek nafasnya, lalu berucap,

“Luke, sebelumnya gue mau bilang makasih banyak karna lo selama ini udah mau jadi temen yang baik buat gue, entah itu karna lo emang mau temenan sama gue atau cuma strategi lo buat deketin gue, gue tetep berterima kasih sama lo. Makasih juga udah jujur di hari perayaan valentine kemarin, dan sekarang gue mau jawab pertanyaan lo. Boleh?”

Raut tenang dan senang di wajah Luke kini menghilang, “Win, nggak perlu dijawab sekarang, oke? Gue bisaㅡ”

“Gue yang nggak bisa, Luke. Gue nggak bisa kalau setiap hari harus dibayang-bayangin perasaan nggak nyaman. Jadi gue rasa, lebih baik gue jawab sekarang sebelum semua jadi terlalu jauh. Biar perasaan gue lega, perasaan lo juga lega.”

Baiklah, mau tidak mau Luke pun mengangguk.

“Gue nggak bisa, maaf, ya?”

Satu alis Luke bertaut, “gue kecepetan ya, Win?”

“Enggak, bukan karna itu,” kepala Win menggeleng ringan, “tapi karna sejak awal kita ketemu di kelas sepuluh pun, gue emang nggak bisa ngebales perasaan lo lebih dari sekedar temen.”

“Kenapa, Win? Gue pikir, selama ini kita nyaman, kita nyambung satu sama lain?”

Win mengangguk cepat, pembelaan Luke tidak ada yang salah. Hanya saja, “gue udah punya pacar, Luke. Gue sama pacar gue ini udah jalan mau empat tahun, dan gue sayang sama pacar gue.”

“Maaf, ya? Lo berhak marah dan kecewa kok sama gue, tapi gue bener-bener minta maaf karna nggak bisa bales perasaan lo kayak apa yang lo harapkan.”

Lalu Win menepuk pelan lengan Luke, menyadarkan pemuda itu dari keheningan yang mendera selama beberapa detik.

“Kita masih bisa jadi temen baik. Gue juga nggak bisa nyuruh lo buat berhenti suka sama gue atau gimana karna ya… it's your own feelings, and i have nothing to do with it, gue nggak bisa mencampuri urusan lo tapi seenggaknya dengan ini gue bisa ngejaga perasaan gue sendiri dan juga perasaan pacar gue. Gue nggak akan larang lo, tapi gue cuma mau lo tau, gue cuma mau jujur, kalau gue bahagia dengan pacar gue, maaf...”

Luke masih diam, berusaha mencerna semuanya. Setelah dirasa jantungnya bisa berdetak dengan normal kembali, Luke pun membuka mulut,

“Gue kenal orangnya, Win? Kalau kenal, gue mau nitipin lo ke dia,”

Win mengangguk, “iya, tapi gue nggak bisa kasih tau, nggak apa-apa, ya?” balas Win.

“Is it Bright? Bright anak dua belas SOS dua?”

Damn, gimana, nih?!!!!!!!

. . .

(SPOILER FOR BRIGHT's SIDE OF LIFE AFTER THE SECOND TIMES BREAK WITH WIN!)

“Heh, goblok! Mau sampai kapan lo nyebat setiap hari gini?!”

“Sampai hati gue bisa lega, atau seenggaknya sampai gue bisa bernafas dengan bener.”

Puntung sigaret yang baru saja akan masuk ke dalam mulut itu kini jatuh ke aspal rooftop sekolah.

Si pemilik sigaret menoleh, tapi tak berkutik apa-apa.

“Lo nggak bisa nafas dengan bener tapi lo milih buat ngerokok? Lo mau mati, ya?!”

Si empunya sigaretă…ˇ Bright, menunduk, ada kekehan pedih yang lolos dari belah bibirnya.

Kepalanya mengangguk asal, seolah setuju dengan kalimat yang barusan diucap.

“Kalau dengan mati bisa nyelesain semuanya dan nebus kesalahan gue, gue ikhlas, gue mau mati.”

. . .

JEYI // 210311.

(Bagian dari Hello, Kitty! Universe)

Ketika rasa bingung, aneh, penasaran dan excited bercampur jadi satu.

mengwinnie!universe tags: implicit sex, first time!sex, blow-job, cum in mouth, hand-job, a little bit praise!kink. total words: 8.204 words.


“Kalau dari yang gue baca-baca di internet ya semacam... manusia hewan, eh, gimana sih nyebutnya? Bener nggak tuh manusia hewan? Siluman?”

Mengambil nafas sebentar di sela rasa bingung dan penasaran yang membuncah, seseorang di sisi lain ruangan menyahut, “iya bener, manusia setengah hewan gitu. Hewan, tapi manusia.” dia adalah seorang pemuda berperawakan tangguh bak seorang atlet tersohor, cita-citanya dulu katanya adalah seorang penyanyi atau pemusik terkenal, tapi nasib berkata lain sehingga ia kali ini harus berakhir duduk di bangku karyawan sebuah perusahaan swasta yang cukup terkenal di kawasan Sudirman.

Seorang pemuda lain, dengan balutan busana formală…ˇ celana bahan berwarna hitam dan kemeja panjang biru langit yang sengaja ia gulung sampai ke batas siku, yang kebetulan sudah duduk manis di sebuah sofa empuk di sudut ruangan sejak dua jam lalu hanya bisa tertawa pelan.

Diliriknya sosok sang sahabat yang tak henti-hentinya bergumam sambil memainkan ponselnya dari balik meja kerja, terdengar bingung namun juga penasaran.

“Just make it simple, mereka itu hybrid.”

Salah satu pemuda yang ada di ruangan itu meletakkan ponselnya dengan cepat. Ia membalas tatapan Off Jumpolă…ˇ kakak sepupunya, yang juga merangkap menjadi sahabat sekaligus rekan kerjanya di kantor, dengan sejuta tanda tanya penuh keraguan yang tersirat di sepasang bola matanya.

Jumpol terkekeh, “nggak usah lo ambil pusing begitu, kali? Tinggal lo urus, lo kasih makan secukupnya, lo mandiin, loㅡ”

“Mandiin gimana sih, bangsat?! Dia manusia dan kayaknya dia seumuran sama gue. And that's mean, dia udah gede? Yang bener aja lo, ya kali gue harus mandiin dia?”

Lagi, Jumpol dibuat terkekeh oleh jawaban adik sepupunya itu. Melihat ekspresi tak puas di wajah sang lawan bicara, Jumpol pun beralih mengotak-atik ponselnya, tampak mencari sesuatu sebelum ia beranjak mendekat dan berakhir duduk di sudut meja kerja sang adik sepupu yang kala itu terlihat begitu tampan dengan setelan formală…ˇ celana bahan berwarna hitam, yang disempurnakan dengan kemeja biru dongker yang juga digulung sampai ke batas siku itu.

“Bright, you never heard of hybrid, yes or yes?”

Yang dipanggil dengan nama Bright pun menggeleng ribut, tanda tak terima dengan ucapan Jumpol barusan.

“Pernah!”

“Dimana?”

Dengan gerakan cepat, Bright mengambil kembali ponselnya dan memperlihatkan isi ponselnya pada Jumpol secara gamblang, “Di sini. Tuh baca, ada penjelasan tentang hybrid, kan?!” balasnya, merasa menang selama beberapa detik karena Jumpol tak kunjung membalas ucapannya.

Selang satu menit kemudian, tawa renyah kembali menggelar di ruangan tersebut. Bright, dengan hembusan kasar nafasnya, kembali meletakkan ponsel miliknya di atas meja dengan sedikit bantingan.

Jumpol berusaha meredakan tawanya, lalu setelah itu ia perbaiki posisi duduknya agar menghadap langsung ke arah Bright yang tingkat keberuntungannya jauh berada di atasă…ˇ jika dibandingkan dengan dirinya, karena posisi Bright di kantor, well, adalah atasan Jumpol.

“Oke, oke, sekarang kita ngobrol serius.”

Ngana pikir gue daritadi lagi stand up comedy?!! kata Bright sedikit ngegas, di dalam hati.

“Lo dapet si Ninieㅡ sorry, siapa namanya?”

“Namanya Metawin, tapi gue lebih seneng manggil dia dengan panggilan Winnie.”

Ketukan keras yang lebih cocok disebut sebagai gebrakan, menyapa permukaan meja yang menjadi batas bagi kedua pemuda mapan itu, “Oke, Winnie,”

Bright menghela nafas cepat pasca dibuat kaget, dan kalau tidak ingat Jumpol berusia tiga tahun lebih tua darinya, mungkin sudah Bright dorong pemuda itu sampai jatuh ke lantai.

Satu kali lagi Jumpol terkekeh, “lo dapet si Win darimana? Karna sepengalaman gue, orang-orang yang melihara hybrid ya rata-rata karna emang mereka mau. Oh, bukan. Karna emang mereka ini, mhh, how to explain it,” Jumpol menjeda sebentar ucapannya, tampak menimbang-nimbang kosa kata yang tepat untuk mendeskripsikan maksud ucapannya sejelas mungkin.

“...Well, kind of needs?” sambung Jumpol, yang justru membuat Bright menautkan salah satu alisnya. Bingung.

“How can having a hybrid be the part of something people needs to do in their life, kayak, ayolah, di dunia ini ada yang namanya kucing beneran, anjing beneran, kelinci beneran, beruang beneran, ya itu sih kalau emang mereka berani melihara beruang yeee, terus harimau beneranㅡ eh anjir, serem juga melihara harimau,”

“ㅡ uhuk,”

Bright pun memberi tanda titik di ujung kalimatnya meskipun belum selesai. Jumpol terbatuk kecil tiba-tiba dan Bright kembali dibuat clueless dengan salah satu alis yang memicing.

“Bro you okay?”

Jumpol menganggukă…ˇ santai, gue nggak apa-apa. Salah satu kakinya bergerak berusaha menggapai lantai, lalu tubuhnya yang tak bisa dibilang kecil itu beranjak turun dari meja dan mengambil posisi duduk tepat di bangku yang membuatnya kini duduk berhadapan dengan Bright, yang masih memasang ekspresi bingung di wajah.

“Kaget aja,”

Bright menyandarkan punggung tegaknya di sandaran bangku, “gue nggak ngagetin lo???” tanya Bright.

“Kaget karna ternyata situs yang lo baca ngebahas juga soal hybrid harimau. Gue kira situs-situs online kayak gitu cuma ngebahas hybrid yang umum, semacam anjing, kucing atau paling yang agak jarang jadi inceran kebanyakan orang ya… kelinci.”

Jawaban Jumpol kembali menjadi magnet yang berhasil membuat tubuh Bright bergerak maju, sedikit menunduk mendekat pada sisi sang kakak sepupu.

Sepasang matanya membulat tak percaya, kedua alisnya saling bertaut. “Hybrid harimau beneran ada?”

Dengan mantap, Jumpol mengangguk, “yep, ada. Hybrid serigala juga ada.”

“Anjir, yang bener aja lo,” dengan posisi tubuh yang kembali bersandar, kedua mata yang kembali berkedip tak percaya, belah bibir yang terbuka sedikit lebar, membuat Bright benar-benar terlihat seperti anak kecil saat ini.

Lagi dan lagi, Jumpol tertawa kecil. “Lo clueless banget cuy, soal beginian. Jujur aja deh, beli dimana?” tanya Jumpol sambil mengembalikan arah pembicaraan mereka pada alasan darimana Bright mendapatkan sosok Winnie.

Bright langsung jaw drops seketika, “sumpah, bukan gue yang beli. Gue nggak tau kenapa tiba-tiba bisa ada dia di apartemen gue.” balas Bright, dan kali ini, Jumpol berhasil dibuat kaget oleh jawaban adik sepupunya itu.

“Oke, jadi begini ceritanya, lo inget seminggu lalu kita ada rapat gede-gedean sama pak direktur?”

Pikiran Jumpol melambung pada situasi seminggu lalu dimana perusahaan tempat mereka bekerja mengadakan rapat besar-besaran dengan direktur utama dalam rangka evaluasi sistem kerja. Rapat yang memakan waktu enam jam itu cukup membuat dirinya menahan lapar karena kebetulan tak sempat sarapan sebelum berangkat ke kantor.

Jumpol mengangguk, ia ingat momen tersebut, “terus?”

“Selesai rapat, gue balik ke ruangan dan lo cabut ke ratu plaza buat ngisi perut, kita nggak sengaja papasan pas mau masuk lift.”

Lagi, Jumpol mengangguk.

“Gue langsung cek hp pas gue baru aja masuk ruangan. Dan nggak lama gue duduk di sini, hp gue geter. Ada chat dari June.”

Bright kembali mengambil ponselnya. Tampak memasukan passcode terlebih dulu, lalu ibu jarinya mulai bergerak lincah di atas layar datar ponsel canggihnya seraya mencari sesuatu.

“Nih, lo baca sendiri.”

Jumpol memajukan tubuhnya sedikit sampai ia bisa membaca isi dari chat yang dikirim oleh Juneă…ˇ adik Bright satu-satunya.

Lalu salah satu alis Jumpol memicing, “bisa nyasar gitu ya...” sambil mengusap pangkal hidungnya yang tidak gatal, sambil kembali memposisikan tubuhnya untuk duduk bersandar di bangku.

Bright mengangguk pelan, “kata June sih, si Win ini udah duduk meringkuk di samping pintu unit gue nggak tau dari jam berapa. Belum makan, kusut banget mukanya dan dia cuma bawa selimut ukuran sedang plua satu pakaian yang dia pakai hari itu.”

“June udah tanya, kenapa si Win Win itu bisa nyasar ke unit lo?”

Lagi dan lagi, Bright mengangguk, “kayaknya dia tuh pesenan orang lain, tapi nggak ngerti juga bisa nyampenya ke unit gue. Dan udah semingguan ini nggak ada yang nyariin. Jadi, dia pikir gue emang owner-nya.” balas Bright, yang hanya dibalas anggukan pelan dari Jumpol.

Jumpol tampak ingin menyampaikan sesuatu, tapi ia tak tau harus mulai darimana. Ia hanya tidak ingin, penjelasan darinya semakin membuat sang adik sepupu bingung dan berujung meminta bantuan padanya untuk mencarikan owner baru bagi hybrid kucing tersebut.

“Mmhh, Bright,”

Dua pasang mata berbeda warna netra itu kembali bertukar pandang, “tapi sejauh ini, lo sendiri gimㅡ”

Drrrrttt

“Bentar, Bang,”

Jumpol mengangguk, membiarkan Bright meraih kembali ponselnya dan mulai sibuk dengan benda pipih nan canggih miliknya itu.

Satu mata Jumpol memicing, ketika Bright tersenyum kecil dengan rona merah yang kini hinggap di kedua pipinya.

“Lanjut, Bang, sampai mana tadi?”

“Siapa?” bukannya membalas pertanyaan Bright dengan jawaban yang semestinya, Jumpol malah balik bertanya perihal siapa atau apa yang baru saja membuat Bright tersipu malu.

Pemuda berkemeja biru dongker itu berdehem, membalas tatapan penasaran Jumpol dalam diam.

“Bukan siapa-siapa, Bang.”

“Bukan siapa-siapa tapi bikin lo senyum-senyum sendiri, hm? Nggak mungkin si June ini mah, kalau itu anak ngechat, yang ada lo malah darah tinggi mendadak.” jawab Jumpol, yang dibalas Bright dengan seuntai senyum tipis.

Bright menyimpan kembali ponselnya ke kantong celana, helaan nafas cepat lolos dari belah bibirnya sesaat sebelum ia menjawab ucapan Jumpol barusan.

“Kucing manis gue. Si Win.”

Mendengar nama Win alias hybrid kucing yang secara tidak sengaja kini menjadi tanggungan hidup Bright, ternyata mampu membuat Jumpol mengulas senyum lebar.

“Bisa akur juga sama Win, hm?”

Bright terkekeh pelan, “ya gitu deh, Bang. Nggak aneh-aneh sih anaknya, tapi kadang nyebelin aja. Lucu.”

“Lucu?”

Bright memberikan anggukan atas pertanyaan Jumpol, tidak mau menampik atau mengeles seperti biasanya, “nempel banget sama gue. Tapi alergi sama June. Berantem melulu kerjaannya mereka berdua. Tuh barusan, abis ngadu anaknya,” ujar Bright dengan senyum lebar yang singgah di wajahnya, yang entah sadar atau tidak, Bright terlihat jauh lebih rileks sesaat setelah ia bertukar pesan dengan si hybrid manis.

“Ngadu gimana?”

“Ya, ngadu. Gimana sih, kayak lo waktu masih SD terus baru beli penghapus gambar naruto eh penghapusnya malah diambil sama temen lo, bakalan ngadu kan lo ke nyokap?”

Keduanya tertawa, perumpamaannya... Kenapa harus penghapus gambar naruto, sih?!

Tawa Jumpol perlahan namun pasti mulai mereda, “ngadu tentang apa kucing lo?”

“Katanya pas dia lagi enak-enak nonton spongebob di ruang tengah, si June dateng. Baru balik sekolah kayaknya, sih. Terus dia dipakein topi-topi alay karakter gitu, aduh nggak paham gue namanya apa, tapi kata dia sih yang gambarnya pokemon gitu. Terus katanya, nggak boleh dilepas, kalo dilepas nanti dia nggak dibagi es krim stroberi sama June, dia suka banget makanan atau minuman apa aja yang rasa stroberi, ya udah ngambek anaknya, ngunci diri di kamar.”

Bright membubuhi tanda titik di akhir kalimat yang ia ucapkan, masih dengan senyum lebar yang terukir di wajahnya, membuat Jumpol mau tak mau ikut tersenyum seolah dapat merasakan pancaran bahagia yang dirasakan Bright.

“Kayak punya adek lagi ya, Bright?”

Bright mengangguk cepat, lalu menggeleng pelan setelahnya. Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum mengajak Jumpol bicara perihal hybrid jauh lebih serius dari sebelumnya.

“Gue masih adaptasi banget sama eksistensi dia sebenernya. Kayak, ya, buat gue aneh aja gitu tiba-tiba kedatengan tamu nggak diundang dan mau nggak mau, ikhlas nggak ikhlas gue juga harus nanggung segala kebutuhan hidup dia. Syukur-syukur belum banyak maunya ini Bang, nggak tau lagi deh gue kalau nanti-nanti udah minta ini itu,”

Bright menjeda sesaat ucapannya, “dan gue masih berusaha nerima sama kondisi dia, i mean, gue nggak familiar sama hal-hal kayak gini dan gue sempet ngerasa dia lagi bikin konten prank buat gue, nyamar jadi manusia setengah hewan biar gue kaget but it turned out to the fact, that yes… he is a real hybrid, tapi gue udah mulai sedikit terbiasa, sih. Cuma suka nggak sengaja kebangun tengah malem karna dia tidurnya agak berisik, jadi kuping kucingnya kadang suka nggak sengaja kena muka gue.”

Jumpol tampak mengangguk-angguk ketika Bright mulai terbuka bercerita tentang hybrid yang nyasar di unit apartemennya itu.

Pemuda berkemeja biru langit itu mengubah posisi duduknya. Ia membawa tubuhnya yang tak bisa dibilang kecil itu untuk bersandar pada meja kerja Bright. Diletakkannya kedua tangan di sana, untuk dijadikan penopang bagi wajah yang kini berjarak tak terlalu jauh dari si adik sepupu.

“Mereka itu spesial, they can be human and animal at the same time, dan lo harus bersyukur karna dikasih kesempatan untuk seenggaknya punya salah satu dari mereka.”

Salah satu alis Bright bertaut, “mereka?”

Jumpol mengangguk cepat, “exactly, gimana ya cara jelasinnya, kalau ibarat vampir, mereka itu juga punya klan. Kayak yang lo baca di situs online tadi. Hybrid kucing, hybrid anjing, hybrid kelinci, hybrid beruang, hybrid harimau, hybrid serigala dan lain-lain, itu klan mereka, hm, lebih enak disebut ras kali, ya. Eksistensi mereka banyak di dunia ini, tapi nggak begitu terekspos aja karna mungkin jatuhnya ini mereka bisa dibilang ya tetep, hewan peliharaan.”

“Gue nggak paham konsep mereka sebenernya, Bang. Mereka kan manusia juga, sama kayak kita, kalau dipelihara mah bisa kena pasal eksploitasi manusia, dong?”

Jumpol menghirup oksigen banyak-banyak sebelum menghembuskannya sepelan mungkin, sambil berusaha menyusun kata demi kata untuk meneruskan penjelasannya agar bisa tersampaikan pada Bright dengan baik, sehingga pemuda itu bisa paham konsep hybrid alias human animals yang sebenarnya.

“Nggak gitu, Bright. Mereka itu human animals yang cuma punya beberapa persen kesamaan sama kita, nggak semuanya sama, enggak. Wujud mereka emang sama kayak kita, cuma bedanya mereka punya telinga sebagai identitas diri mereka berasal dari ras yang mana, dan beberapa hybrid juga ada yang punya ekor yang secara nggak langsung nunjukin kalau mereka itu animals. Gue nggak begitu paham-paham banget soal konsep hidup hybrid karna sumber informasi tentang mereka juga nggak begitu banyak, cuma yang pasti, mereka itu ada ya untuk ngasih kepuasan buat hidup tuannya. Singkatnya, they are our pets, lo bisa lakuin apa aja ke mereka and they would gladly thanking you at the end, sampai di sini paham, nggak?”

Jari-jari Bright bergerak menciptakan ketukan tak beraturan di atas meja. Penjelasan Jumpol cukup membuatnya sedikit banyak mulai memahami maksud dari eksistensi hybrid itu sendiri. Tapi yang jadi permasalahan adalah, bagaimana bisa seorang manusia diperlakukan sama bak hewan peliharaan?

Bright menarik nafas panjang selama beberapa detik. Ekspresi wajahnya sangat menunjukkan kalau ia amat sangat tertarik dengan pembahasan ini. Terlebih, tampaknya Jumpol mengetahui banyak hal tentang dunia hybrid, yang mana Bright sendiri agak sedikit kaget karena sepupunya itu familiar dengan hal-hal semacam itu.

“Lo banyak tau soal beginian ya, Bang?”

Oke, skakmat. Sepertinya lebih baik ia jujur pada adik sepupunya ini.

Jumpol kembali membawa punggungnya untuk bersandar di sandaran bangku, masih dengan sepasang matanya yang tak putus kontak dengan sorot mata Bright.

“Oke, so i do have one.”

Bright membulatkan matanya, “the fuck, bro?!!”

“Iya, gue punya satu. Udah dua tahunan sama gue, ras-nya felidae, hybrid harimau.” jawab Jumpol, santai.

“PANTESAN LO BATUK-BATUK PAS GUE NYEBUT HYBRID HARIMAU.”

Tak ada hal lain yang bisa Jumpol lakukan selain tersenyum kecil. Sejujurnya, ia ragu untuk jujur pada Bright. Tapi berhubungan adik sepupunya itu lebih dulu terbuka tentang hybrid yang (terpaksa) diasuhnya, Jumpol pun akhirnya jujur juga.

“Ya, tadi otak lo belum nyampe sama konsep hybrid. Gue nggak berani jujur jadinya.”

Bright mendengus, “bold of you to assume i GOT it already,”

“Emangnya belum ngerti juga?!!”

Berdecak sebentar, lalu Bright kembali menjawab, “udah. Cuma nggak nyangka aja kalau lo juga punya, pantesan ya lo banyak tau soal hybrid.”

“Gue juga tau dari temen gue, sih. Panjang lah ceritanya, pokoknya gue dibantu temen gue ini untuk adopsi langsung hybrid yang gue mau. Dan ya, sampai akhirnya ada Gunnie di rumah gue.” balas Jumpol, seketika teringat dengan tingkah konyol Gunnie yang selalu mewarnai hari-harinya.

“Oh iya, ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau perihal hybrid ke lo. Mungkin ini nggak ada di situs online yang lo baca, mungkin juga lo nya aja yang nggak ngeh siapa tau udah dibahas di situs itu,” Jumpol meneruskan ucapannya dan kembali membuat seluruh atensi Bright kini berpusat padanya.

“They have their own estrus period,”

Salah satu mata Bright memicing sempurna, “estrus?”

Jumpol mengangguk mantap, “susah kalau dijelasin pakai bahasa yang sopan, intinya, masa estrus itu adalah masa dimana kaum mereka butuh berkembang biak, mmh, bahasa gampangnya ya butuh diberi kepuasan secara seksual.”

Bright langsung jaw drops lagi. Masalahnya, ia belum pernah mendengar fakta yang satu itu, “kalau lagi estrus, harus digimanain?” tanya Bright, yangㅡ asli, mulai menjadikan pembahasan soal hybrid ini sebagai beban pikiran.

“Gue harus cariin hybrid kucing yang lain? Biar mereka bisa, ya, lo tau lah ya maksud gue,” sambung Bright, dan Jumpol tertawa lebar setelahnya.

“Aduh... lo bloon banget, asli, kasian kucing lo bisa nyasarnya ke tempat lo yang nggak tau apa-apa soal beginian sama sekali.”

Bright berdecak kesal, “nggak usah membuat diri gue semakin keliatan goblok deh, Off Jumpol. Kasih tau aja, gue harus gimana kalau Win lagi masa estrus?” tanya Bright.

Jumpol berusaha meredakan sisa-sisa tawa lebarnya, “go ask him.”

Satu mata Bright memicing, “ya, gue harus nanya apa???”

“Tanya dia butuh apa kalau lagi di masa estrus. Dan satu hal yang pasti, lo harus turutin permintaan dia. Biasanya, hybrid kalau lagi masa estrus tapi kemauannya nggak dipenuhin, mereka bisa sakit. Sakit yang sakit banget, apalagi kalau mereka dateng ke tempat owner barunya tanpa dibekelin obat-obatan. No one can help them other than their own owner.”

Jumpol sudah mengakhiri ucapannya, namun tampaknya Bright belum juga menemukan titik terang. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang kurang puas, juga kerutan halus di dahi yang menjadi pertanda bahwa tanda tanya besar masih bersemayam di balik wajah penuh kebingungan itu.

Jumpol berdiri dari duduknya, hendak beranjak namun menyempatkan diri untuk menjatuhkan beberapa kali tepukan di bahu kiri adik sepupunya itu.

“Lo baru seminggu sama dia. Masih ada banyak waktu buat lo belajar kenal dan paham tentang hybrid kucing lo itu. Lama-lama juga lo ngerti dan terbiasa. Feel free to ask me, kalau emang lo butuh bantuan soal hybrid. Atau, kalau lo mau ketemu hybrid yang udah terlatih kayak Gunnie, lo bisa dateng ke kondo gue.”

Jumpol memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan. Dilemparkannya seulas senyum hangat pada Bright, sebelum ia beranjak meninggalkan ruangan kerja sang adik sepupu karena memang waktu sudah memasuki pukul tujuh malam.

“Gue balik duluan, ya? Drive home safely, dude.”

Dan tinggal lah Bright seorang diri bersama ribuan tanda tanya yang masih mengelilingi pikirannya.

Drrrrrtt

Atensi Bright kini beralih pada ponselnya yang bergetar beberapa kali dari dalam saku celana. Bright berusaha untuk meraihnya, dan salah satu alisnya kembali memicing untuk kesekian kalinya hari ini, ketika ia dapati kontak kucing manisnya muncul di bar notifikasi.

from: kucing siapa?

Mmmmaaaas bie kapan pulang? Badan Winnie demam…

Lantas tanpa berpikir panjang, Bright langsung beranjak dari kursi yang sejak tadi ia duduki dan mulai melangkah meninggalkan ruang kerja setelah ia pastikan semua barang-barang pribadinya sudah masuk ke dalam tas ransel hitam yang kini tersampir di bahu kirinya.

. . .

Ceklek,

Seusai berhasil memasukkan kode rahasia unit apartemennya, Bright langsung bergegas masuk ke dalam untuk mencari keberadaan kucing manisnya.

Gelap. Hanya satu kata itu yang dapat mendeskripsikan keadaan unit ketika Bright tiba di sana.

Biasanya, di hari-hari kemarin, kepulangan Bright akan disambut dengan sapaan riang Win yang berlari bak anak kecil dari sofa ruang tengah menuju pintu utama. Kucing manisnya itu sama sekali tidak menyesal meninggalkan serial drama korea atau film kartun yang sedang ia tonton hanya untuk melompat ke punggung tegap Bright sebagai sambutan selamat datang.

Namun kali ini, suasana tampak berbeda. Terlebih, Bright sama sekali tak bisa menghubungi Win sesaat setelah ia membalas pesan singkat kucingnya itu dengan berkata bahwa ia sudah dalam perjalanan pulang.

Bright menekan saklar yang ada di sisi dinding sebelah kiri, membuat seisi unitnya kini mulai diterangi oleh cahaya lampu.

“Winnie,” panggil Bright sedikit keras, sambil pemuda itu melepas sepatu pantofel dan juga kaos kaki hitamnya, lalu ia edarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Siapa tahu, kucing manisnya itu akan muncul tiba-tiba dengan senyum lebar yang mampu membuat Bright ikut tersenyum.

Tapi sudah beberapa menit berlalu dan tetap tidak ada tanda-tanda Win di sana. Bahkan sampai pada panggilan ketiga pun, hanya keheningan unit yang menjadi jawaban.

Bright memutuskan untuk langsung melangkah menuju kamar mereka. Ya, mereka. Karena sejak hari pertama Win tinggal di sini, kucing manis itu langsung meminta untuk tidur di satu tempat yang sama dengan tuannya.

“Dulu, selalu seperti itu. Winnie selalu tidur bersama M-master.”

Bahkan sampai detik ini pun, Bright belum mengerti maksud dari panggilan 'Master' yang diucapkan Win tempo hari.

Bright kini sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mereka. Telapak tangannya bahkan sudah mendarat pada daun pintu, bersiap untuk menariknya turun ke bawah, namun sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya berhasil membuat Bright menghentikan aksinya.

“Winnie,”

Pelukan di pinggangnya jadi semakin kuat, “uhmm???”

“Winnie demam?”

Win tidak langsung menjawab. Kucing manisnya itu kini sibuk mengusak-ngusak wajahnya di punggung lebar sang tuan.

“Winnie,”

“Tidak, mas Bie.”

Ah, akhirnya kucing manis itu menjawab. Win menghirup dalam aroma tubuh Bright selama beberapa detik, sebelum ia melepas pelukannya dan menunggu sang tuan untuk berbalik menghadap ke arahnya.

“Tapi tadi Winnie bilang, Winnie demam?” tanya Bright, dengan satu tangan yang kini bergerak memberikan usapan lembut di pipi kanan Win.

Win menggeleng pelan, “Winnie sudah minum obat.”

“Jadi benar, Winnie tadi demam?”

Tidak berniat untuk kembali mengelak, Win pun mengangguk, “tidak lama, obatnya bekerja cepat.”

Win meraih tangan Bright yang tengah mengusap pipinya, lalu ia hadiahkan sebuah kecupan singkat di telapak tangan itu.

“Mas Bie wangi sekali… Winnie suka.”

Salah satu mata Bright memicing. Ia menatap Win dalam-dalam, mencari keanehan yang tampak pada kucing manisnya itu, karena entahlah apakah ini hanya perasaan Bright atauă…ˇ Win memang benar-benar bersikap sedikit aneh dan manja malam ini.

Tak berhasil menemukan keanehan lain, Bright pun menghela nafas pelan sebelum kembali meraih tangan Win untuk digenggam.

“Winnie sudah makan?”

Win mengangguk lucu, dengan sepasang mata bulatnya yang berbinar. “Sudaaah! Makan es krim stroberi punya June sebelum June pamit pulang ke rumah.” jawab Win penuh antusias.

Bright terkekeh kecil, Win benar-benar terlihat menggemaskan kali ini.

“Winnie makan berapa banyak cup es krim tadi?”

Kucing manisnya itu tampak berpikir. Sepasang bola mata berwarna coklat itu bergerak ke atas, berusaha mengingat-ingat berapa banyak cup es krim yang ia habiskan hari ini bersama June, adik perempuan dari Bright.

Seolah sudah ingat, Win pun menunjukkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya sebagai simbol dari jumlah cup es krim yang ia habiskan hari ini, “Winnie makan tujuh cup es krim!!!” lagi, Win menjawab dengan seulas senyum lebarnya.

Bright terkekeh pelan. Diletakkannya tas ransel hitam yang sedari tadi masih tersampir di bahu kirinya, di sisi nakas yang ada di dekatnya. Lalu, ia meraih kedua tangan Win dan membantu kucing manisnya itu untuk membentuk angka 7 dengan lima jari tangan kiri dan 2 jari tangan kanan yang dibiarkan berdiri.

Win sendiri tampak bingung meskipun matanya turut menatap kedua tangannya yang ada di depan wajah Bright secara bergantian.

“Kalau tujuh, berarti Winnie butuh lima jari di satu tangan, dan dua jari di tangan yang lain. Coba sekarang Winnie hitung dari tangan yang punya lebih banyak jari berdiri, oke?”

Win dengan bibir bawahnya yang mencebik lucu kembali menatap kedua tangannya secara bergantian. Ia tampak bingung, tangan yang mana yang memiliki lebih banyak jari berdiri.

Bright tidak bisa menahan tawanya, raut bingung yang tergambar jelas di wajah Win benar-benar membuat kucing manisnya itu terlihat seperti seorang anak kelas 2 SD yang tengah diinterogasi oleh orang tuanya.

“Bingung?” tanya Bright.

Dan dengan polos, Win mengangguk.

“Mau mas bantu atau Winnie coba sendiri dulu?”

Win beralih menatap Bright. Kedua matanya berkedip beberapa kali, “mas Bie mau bantu Winnie?” ucap Win.

Kemudian Bright mengangguk dan kembali menyentuh kedua tangan Win. “Coba Winnie lihat, dari kedua tangan Winnie, yang mana menurut Winnie terlihat lebih penuh?”

Bright mengangkat tangan kiri Win, dan Win mulai terfokus pada tangan kirinya. “Yang ini dengan lima jari atauㅡ”

Lalu Bright mengangkat tangan kanan Win, “yang ini dengan dua jari?”

Win tampak terdiam. Sepasang matanya masih terfokus pada tangan kanannya, lalu tanpa bantuan Bright ia mengangkat tangan kirinya, turut memperhatikan kelima jarinya yang berdiri di sana.

Pada detik berikutnya ia beralih pada tangan kanan, dan beberapa detik setelahnya kembali menatap pada tangan kirinya.

Dua menit sudah berlalu, lalu dengan takut-takut Win mulai membawa seluruh atensinya untuk bertukar tatap dengan Bright yang ternyata sedang menatap ke arahnya.

“Winnie sudah boleh jawab belum, mas Bie?”

Bright tersenyum, lalu mengangguk.

Dengan tingkat keyakinan yang tak sampai pada persentase ke 50, Win pun mengangkat tangan kirinya, kelopak matanya kembali berkedip beberapa kali.

“Tangan kiri dengan lima jari?” tanya Win.

“Betul!!! Sekarang coba angkat kedua tangan Winnie,” ucap Bright lembut, dan Win pun menurut dengan anggukan sebagai jawaban, juga sambil mengangkat kedua tangannya sesuai perintah Bright.

Sorot mata bulat Win sama sekali tak lepas dari kedua tangannya, dalam diam pun ia menunggu perintah selanjutnya dari Bright.

“Sekarang Winnie hitung, dari kedua tangan ini, ada berapa banyak jari yang berdiri?”

Win pun mulai memusatkan pandangannya pada tangan kiri dengan lima jari yang berdiri di sana. Win menghela napas sesaat, sebelum ia mulai menurunkan jari kelingkingnya, “satu,”

Lalu jari manisnya ikut ia turunkan, “dua, tiga, empat, lima,”

Pandangannya kini beralih pada tangan kanannya. Win mulai menurunkan ibu jarinya, “enam,” dan ditutup dengan jari telunjuknya yang ikut ia turunkan, “tujuh.”

Win mengakhiri ucapannya dengan senyum lebar juga masih dengan sepasang mata yang berbinar lucu, “Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup hari ini, yay!!!”

Energi semangat dan bahagia yang menguar dari sosok Win tampaknya berhasil menular pada Bright yang kini juga masih mengulas senyum di wajahnya sambil terus menatap kucing manisnya itu.

Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup... Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup... Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup…

Tunggu, Bright baru sadar akan sesuatu.

“Tujuh cup? Semua Winnie makan sendiri?” tanya Bright.

Dengan polos, Win mengangguk, “June membujuk Winnie agar tidak mengurung diri di kamar, dan June bilang, Winnie boleh makan semua es krim stroberi yang June simpan di kulkas.”

Bright menghela nafasnya dengan berat. Mungkin, penyebab Win demam adalah ia makan terlalu banyak es krim dalam jangka waktu yang berdekatan.

Tak kuasa menasihati Win yang kembali memasang wajah sayunya, Bright pun menghembuskan nafas panjang satu kali lagi, sebelum kedua tangannya menangkup sisi kanan dan kiri wajah Win, sambil ia selipkan beberapa kali usapan lembut di sana.

“Lain kali, Winnie hanya boleh makan es krim paling banyak dua cup untuk satu hari, oke?”

Win mengedipkan kelopak matanya berulang kali, “hanya boleh dua?”

Bright mengangguk, “kalau Winnie tidak mau sakit lagi seperti tadi, Winnie tidak boleh melanggar perintah mas, hm?”

“Oke, Winnie hanya boleh makan dua cup es krim dalam satu hari.”

Ah, apa semua hybrid memang penurut seperti ini? Meski terkadang Win suka keras kepala dan bertindak semaunya, tapi sejauh ini Win tidak pernah membangkang. Jika untuk seterusnya Win akan selalu berperilaku manis, tampaknya Bright akan menyukai aktivitas barunya sebagai tuan dari kucing manis ini.

“Mas sudah makan malam?” tanya Win, memecah keheningan.

Bright menggeleng pelan, “mas langsung pulang begitu Winnie bilang Winnie demam.”

“Tapi mas bersyukur, Winnie sudah sembuh,”

Win hanya tersenyum kecil merespon ucapan Bright yang berpikir bahwa dirinya sudah sembuh sepenuhnya. Padahal, obat yang ia konsumsi sebelum Bright pulang, hanyalah obat penurun panas biasa, yang jelas tidak memiliki fungsi untuk membantu hormonnya yang bisa saja membuncah dalam beberapa jam.

Ini adalah fase pertama dimana Win bisa mengalami masa estrus. Ketika masih tinggal bersama pemilik sebelumnya, Win hanyalah sesosok hybrid kucing yang diadopsi memang hanya untuk membuat ramai situasi rumah. Pemiliknya yang lalu adalah seorang pria berusia 45 tahun, seorang workaholic yang terpaksa membuat dirinya tak bisa menikah dan memiliki keturunan.

Ia terlalu sibuk bekerja, sampai akhirnya ia mengadopsi Win dari sebuah panti hybrid, hanya untuk dijadikan sosok teman yang bisa diajak bersenda gurau selama di rumah.

Dan juga, hanya berlangsung selama dua bulan karena pria itu harus pergi ke luar negeri dan tak mungkin membawa Win ikut bersamanya, alhasil Win kembali dipulangkan ke panti.

Tapi kali ini, ibarat manusia yang sudah memasuki masa pubertas, Win jelas tau bahwa dirinya sedang berada pada masa estrus, dan Win tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi penjelasan pada Brightă…ˇ sang tuan.

Win takut, jika ia jujur perihal masalah hormon yang pasti akan dialami oleh semua ras hybrid, alias masa estrus pada sang tuan, maka pemuda tampan itu justru akan menatap aneh pada dirinya.

Tidak, Win tidak mau Bright takut padanya.

Menarik nafas dalam-dalam, Win beralih menggenggam satu tangan Bright, “Mas mau makan sup? June membeli beberapa saset sup krim bubuk di kulkas, biar Winnie buatkan.”

Tak mau menampik kalau cacing-cacing di perutnya memang sudah meronta meminta asupan, Bright pun mengangguk dan pasrah saja saat Win mulai membawanya melangkah berdampingan menuju dapur.

Win mempersilakan Bright untuk duduk di salah satu kursi meja makan, lalu Win sendiri beranjak untuk membuka kulkas dan meraih dua saset sup krim bubuk dari sana, beserta satu bungkus sosis sapi dan dua lembar roti tawar.

Bright hanya bisa menatap seluruh pergerakan Win dengan antusias, meski dalam diam. Dari belakang, Bright dapat melihat betapa telatennya kucing manis itu mengolah sup krim instan di atas kompor.

Tubuh mungilnya bergerak ke sana kemari, mengambil mangkuk, sendok, sehingga telinganya yang tak begitu besar ikut bergerak lucu.

Tak membutuhkan waktu lama, dua mangkuk berisi sup krim dan dua cangkir berisi teh hangat pun sudah tersaji di atas meja. Win mengambil posisi duduk berseberangan dengan Bright.

“Selamat makan, mas Bie.”

Bright menerima mangkuk pemberian Win, lalu satu tangannya beralih mengambil salah satu gelas berisi teh hangat buatan Win.

Menikmati dengan lahap menu sederhana makan malam mereka, Bright sampai tidak sadar kalau Win belum juga menyentuh sendoknya sendiri.

Bright meletakkan sendoknya, sesaat setelah ia menelan suapan terakhir yang tersisa dari mangkuknya.

“Winnie belum makan?”

Win tersenyum kecil, meskipun dengan susah payah ia berusaha mengalihkan perhatian Bright agar tak melihat bahwa rambutnya mulai basah karena keringat dingin.

Mengangguk kecil, Win pun mulai menyentuh sendok makannya.

Malam ini Win mengenakan sweater panjang, oversized, berwarna pink muda. Membuat Bright khawatir kalau ujung sweaternya akan menyentuh cairan sup jika dibiarkan terjuntai tanpa digulung.

Bright berdehem pelan, saat satu suapan sudah berhasil masuk ke dalam mulut Win.

Win menatap Bright dengan bingung bercampur takut, ia tak siap jika Bright akhirnya sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang aneh.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Bright meraih salah satu tangan Win, dan mulai menggulung lengan sweater itu sampai ke batas siku. Begitu juga dengan tangan yang satunya, membuat Win terenyuh hanya dengan tindakan-tindakan kecil seperti ini.

Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca.

Tepukan pelan Win rasakan di kedua lengannya. Pandangannya sengaja ia naikkan hanya untuk bertemu dengan sepasang netra hitam milik sang tuan.

“Selamat makan, Winnie.”

Singkat, padat, namun Win nyaris dibuat menangis hanya dengan perlakuan manis yang dilakukan Bright padanya.

Tidak, ini pasti karena dirinya sedang berada pada masa puncak birahi, sehingga hatinya mudah sekali tersentuh dengan hal-hal kecil seperti itu.

Tanpa membalas ucapan Bright, Win pun kembali melanjutkan makan malamnya. Ia harus segera tidur setelah ini, ia tidak boleh terlibat interaksi yang intim dengan Bright malam ini, atauă…ˇ

“Arghhh,”

Sial.

Perutnya terasa sakit, dan kepalanya menjadi pusing mendadak. Keringat dingin mulai mengalir membasahi seluruh bagian wajahnya, mengalir jatuh sampai ke permukaan meja makan.

Bright yang melihat Win seperti menahan sakit pun langsung berdiri dari bangku yang ia duduki, dan beranjak mendekat pada Win yang sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja.

Berulang kali Win membanting dahinya di sana, berusaha mencari pelampiasan rasa sakit saat dirasa tak ada yang mampu menyembuhkannya kali ini.

“Winnie, Winnie kenapa?”

Bright berusaha menarik bahu Win, namun kucing manis itu tidak perduli dan semakin cepat menjatuhkan kepalanya berulang kali di meja.

Tubuh Win mendadak mengalami demam tinggi, dan tak lama Bright dapat mendengar isak tangis yang terpendam dari balik lipatan tangan kucing manis itu di atas meja.

“Winnie,”

“Mas Bie jangan deket-deket Winnie dulu,”

Bright membelalakkan matanya, merasa tak terima dengan ucapan Win barusan, “Winnie, liat mas,”

Isak tangis Win semakin keras, “b-biarin W-Winnie sendiri, m-mas,”

Keadaan Win yang seolah menahan sakit ini membuat Bright teringat akan ucapan Jumpol di kantor.

“Tanya dia butuh apa kalau lagi masa estrus. Dan satu hal yang pasti, lo harus turutin permintaan dia. Biasanya, hybrid kalau lagi masa estrus tapi kemauannya nggak dipenuhin, mereka bisa sakit.”

Oh, shit.

Bright mengambil nafas dalam-dalam, sebelum ia membungkuk untuk menyamakan posisi wajahnya dengan posisi wajah Win yang terbenam di atas meja.

Hati Bright sedikit teriris ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa Win kesakitan.

Win baru saja akan kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja, namun telapak tangan Bright lebih dulu mendarat di sana, sehingga dahi Win yang mulai memerah bertemu dengan telapak tangan lembut milik sang tuan.

Win masih belum bergerak, ia terlalu takut untuk bicara.

Dapat Win rasakan hembusan nafas Bright di sekitar wajahnya, perlahan namun pasti, Win berusaha mengangkat wajahnya seiring dengan usapan tangan Bright yang ia rasakan di puncak kepalanya.

“Winnie liat mas,”

Takut-takut, Win pun mulai memberanikan diri untuk membalas tatapan penuh rasa khawatir yang tergambar jelas di wajah Bright.

Hati Bright seperti disentil, ketika ia dapati sepasang mata Win memerah, bulu mata lentiknya yang basah, juga nafasnya yang terhembus tidak sesuai irama.

Bright mengusap lembut kedua pipi Win, “Win bilang sama mas, Win butuh apa...” ucap Bright, yang dibalas gelengan ribut oleh Win.

“W-Winnie bisa sendiri,”

“Win sekarang sudah jadi tanggung jawab mas, oke? Apapun itu, apapun yang Win rasain sekarang, Win bilang sama mas. Mas berhak tau, dan mas punya kewajiban untuk penuhi semua kebutuhan Win.”

Ibu jari Bright bergerak menyeka air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk mata Win, “m-mas pasti j-jijik sama W-Winnie,” ucap Win terbata-bata.

Bright menggeleng, ia memang belum tahu harus berbuat apa demi menolong Win agar terlepas dari rasa sakitnya. Tapi, setidaknya ia akan berusaha, ia tak suka melihat kucing manisnya ini menderita seperti ini.

“Apapun itu, Winnie bilang sama mas.”

Mengambil nafas panjang dengan susah payah, Win pun mulai membuka belahan bibirnya, “beri Winnie kepuasan, mas.”

Bright kaget, tentu, tapi ia bisa apa? Ingin rasanya bertanya, apa tidak ada obat lain? Namun raut wajah yang sangat menahan sakit itu mampu membuat Bright kehilangan akal sehatnya.

Apapun… apapun itu, selama itu bisa membuat Winnie-nya tenang, Bright bersedia untuk melakukannya.

Bright mengangguk, satu tangannya ia lingkarkan di pinggang Win, bermaksud untuk membawa kucing manis itu naik ke dalam gendongannya.

Win yang juga sudah pasrah dengan keadaan, dan tak punya energi lebih untuk melawan rasa sakitnya pun langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Bright, membiarkan tuannya yang tampan itu mulai menggendongnya menuju kamar.

Win masih memejam menahan sakit saat Bright dengan lembut menjatuhkan tubuh semampainya di atas ranjang. Bright membawa tubuh Win untuk berbaring dengan nyaman di sana, lalu pemuda itu ikut berbaring di samping Win.

Pandangan Bright sama sekali tak lepas dari sosok manis yang masih enggan membuka sepasang kelopak matanya itu. Bright membawa tubuhnya lebih dekat lagi pada Win, memposisikan tubuhnya untuk berbaring dengan posisi menyamping, dengan satu tangan yang ia alih fungsikan untuk menjadi tiang penopang bagi kepalanya sendiri.

Bright menyingkirkan helaian poni Win yang sudah basah di dahi sosok manis itu, lalu telunjuknya beralih memberikan usapan-usapan lembut di sana.

Win membuka pejaman matanya, tampak sayu, dan Bright benar-benar dibuat tak tega.

“M-mas B-bie,”

Bright mengangguk mengerti. Ia tahu, Winnie-nya ini tak bisa merangkai kata-kata yang sempurna tentang bagaimana ia harus meminta pada Bright untuk memulai semuanya, begitu juga dengan Bright yang tak memiliki pengalaman apapun pada kasus-kasus penuh keintiman seperti ini, sehingga Bright tidak paham bagaimana caranya untuk mengajak Win masuk ke langkah berikutnya.

Namun sepertinya, mengandalkan insting bisa dijadikan jalan ninja untuk sekarang.

Bright menunduk dan membawa wajahnya mendekat pada Win yang kembali memejam. Dengan yakin, Bright mempertemukan bibir keduanya.

Bermain-main sebentar dengan kecupan ringan, Bright berhasil menciptakan bunyi berisik ketika permukaan bibir mereka saling mengecup satu sama lain.

Cup,

Cup,

Cup,

Bright menghujani bibir merah muda Win dengan kecupan manis.

Tiga menit berlalu, tapi tampaknya Bright belum ingin menaikkan tempo permainan, ia masih asik menghujani bibir tipis Win dengan kecupan, sampai sosok manis itu melirih, dan mengalihkan wajahnya ke arah kanan.

Membuat bibir Bright jatuh tepat di perpotongan leher jenjangnya.

“M-mas,”

Bright hanya bergumam. Ia mulai membawa bibir tebalnya untuk memberi jejak di setiap jengkal tubuh Win yang bisa ia jamah. Perpotongan leher, bagian belakang telinga, pelipis, lalu turun ke pipi, sudut bibir, dan dagu lancip si kucing manis.

Bright dapat merasakan kalau Win mulai bergerak gusar, mencari pelampiasan saat bukan lagi sekedar kecupan yang Bright hadiahkan pada seluruh permukaan wajahnya, tapi lidah pemuda itu mulai ikut bermain-main di sana, memberikan sensasi baru bagi Win yang terasa begitu menyenangkan.

Win pasrah.

Benar-benar pasrah apalagi ketika Bright mengangkat sedikit punggungnya untuk melepas sweater pink muda yang seharian ini ia kenakan.

Pun Win pasrah, dengan segala rasa malu yang ada ketika Bright juga turut melepas celana pendek yang sedari tadi tertutup oleh balutan sweater oversized yang dipakainya.

Win benar-benar dibuat pasrah, dan mendesah saat bibir Bright mulai menjamah ujung kaki, tumit, betis, lutut, paha bagian dalam dan berhenti tepat di selangkangannya.

Mau tidak mau, Win membuka pejaman matanya hanya untuk mendapati kedua kakinya yang sudah terbuka lebar dengan wajah Bright yang berada di tengah sana, sedang mengendus sambil sesekali mencium paha bagian dalam Win berulang kali.

Pandangan keduanya bertemu saat Bright sedang mengambil ancang-ancang untuk memberi sedikit sentuhan di ujung kemaluan Win yang mulai memerah. Benda mungil itu mengacung tegak, dengan cairan precum yang membasahi daerah sekitarnya, yang tanpa sadar berhasil membuat Bright terjebak pada nafsu birahinya sendiri.

Tanpa pikir panjang, Bright mulai memasukkan ujung kemaluan Win ke dalam mulutnya. Memberikan isapan kuat di sana, sampai dirasa pemuda manis di atasnya itu mulai kehilangan kontrol.

“Mmmhh, m-mas...”

Bright terus memajukan wajahnya, membuat kemaluan cantik itu kini tenggelam seutuhnya di dalam mulutnya.

Rasanya aneh, karena baru pertama kali, namun melihat Win yang mulai tenang dan menikmati, rasanya Bright enggan untuk berhenti.

“Ahhh, m-mas, mmhh, aaaaah… P-pelan, m-mas,”

Bright terus memaju-mundurkan wajahnya, memberi kepuasan di sepanjang kemaluan Win sambil kedua tangannya mulai bergerak memberikan usapan pelan di sepanjang paha mulus itu.

Sesekali Bright bahkan membuat pola dengan gerakan tangannya, sesekali Bright harus berhenti menghisap kala tangan Win tak kuasa menarik surai hitamnya dengan kasar, dan sesekali pula Bright harus menahan degup jantungnya yang berdetak di atas ambang normal ketika ia dapati Win mendesah dengan nama Bright yang terselip di dalamnya.

Merasa kemaluan Win semakin membesar di dalam mulutnya, Bright pun beranjak melepas benda cantik itu, membuat lubang yang terpampang menantang di puncaknya berkedut menahan pilu pasca tak jadi mendapatkan orgasme.

Bright mulai merangkak naik ke atas tubuh Win, satu tangannya ia selipkan di balik punggung kucing manis itu, lalu kembali ia jamah bibir yang beberapa menit lalu itu mendesahkan namanya.

“Mmmh, W-winnie, my pretty W-winnie,”

Bukan lagi sekedar kecupan berisik yang terjadi di antara dua belah bibir itu, namun ciuman yang diselingi lumatan, yang berhasil membuat Win lagi dan lagi meneteskan air mata menahan nikmat.

Win mengangkat satu tangannya untuk memeluk tengkuk Bright, menarik tuannya itu untuk menyatu dengannya jauh lebih dalam lagi. Memberikan usapan penuh sayang di bagian belakang kepalanya, menarik sedikită…ˇ sesekali, beberapa helai rambut tebal Bright, sebagai tanda terima kasih karena sudah diberi afeksi seperti ini.

Sedangkan satu tangannya yang lain, Win bawa untuk mengusap lembut pipi kanan Bright. Mengusapnya dengan penuh irama, sehingga ciuman dalam keduanya yang semula terjalin tanpa ketukan, kini mulai tenang seiring dengan gerakan tangan halus Win di wajah Bright.

Gerakan kedua tangan Win terpaksa terhenti saat Bright memutuskan kontak bibir mereka, beralih menjalari dagu, jakun, dan leher Win dengan lidahnya, membuat beberapa titik di tubuh Win basah, dan Bright mengakhiri laju lidahnya tepat di puting sebelah kanan Win.

Win hanya bisa diam saat Bright mulai mengecup puting yang sudah memerah itu dengan lembut. Tak ada yang bisa Win lakukan selain kembali menjatuhkan satu tangannya di puncak kepala Bright. Mengusapnya lembut di sana, penuh sayang, seiring dengan bibir Bright yang mulai menghisap putingnya bak seorang bayi yang tengah menyusu pada ibunya.

Lagi dan lagi Win memejam saat Bright menghisap putingnya begitu kuat, “m-mas, mmhhh, mas B-Bie, ahhhh...”

Ketika namanya lagi dan lagi terselip dalam desahan merdu itu, Bright pun memultifungsikan dua tangannya secara bersamaan. Tentu masih dengan bibir yang menghisap dan mengecup puting kanan Win dengan telaten.

Tangan kanan Bright beralih untuk bermain sebentar dengan puting kiri Win. Memberikan cubitan gemas di sana, lalu mengusapnya penuh sayang.

Tangan kiri Bright mulai bergerak memberikan pijatan pelan di kemaluan milik Win. Memijatnya dengan teratur, lalu mengocoknya secara asal tanpa perhitungan.

Win menggeleng ribut menahan nikmat duniawi yang Bright suguhkan padanya. Air matanya kembali menetes, seiring dengan jari-jarinya yang kini mulai menjambak rambut Bright dengan kuat.

“M-mas, mau cium...”

Bright terkekeh sebentar. Dengan terpaksa ia meninggalkan puting Win yang masih menegang dengan baluran air liur miliknya yang membasahi titik tersebut. Pun kedua tangannya yang semula bermultitasking kini beralih menangkup wajah si kucing manis dan membawa bibir tipis itu kembali hanyut dalam ciuman panjang.

Bright menghisap dan melumat bibir atas dan bawah Win bergantian, membuat sosok manis itu membuka belah bibirnya dan membiarkan lidah Bright masuk untuk bermain sebentar dengan seisi mulutnya.

Lidah Bright bergerak menyapu apa saja yang ada di dalam sana. Menyapa gigi gerahamnya, lalu langit-langit mulutnya, dan berakhir memanggil lidah Win untuk menyanggupi ajakannya beradu sebentar.

Win pasrah, saat bibir Bright masuk untuk meraih lidahnya. Desahan tak lagi mampu terhindarkan saat lidah Win kini masuk ke dalam mulut Bright untuk dihisap.

Win berusaha mencari pelampiasan, namun tak satupun bisa ia temui, selain telapak tangan Bright yang kini menyatu dengan telapak tangannya.

Win menggenggam tangan Bright kuat-kuat, menyelipkan jari-jari panjangnya di sela jari-jari Bright seiring dengan lumatan Bright yang semakin menjadi pada lidahnya.

Ini luar biasa, Win tak pernah menyangka kalau pengalaman pertama masa estrus-nya akan ia lalui bersama seorang yang luar biasa seperti Bright, tuan-nya.

Merasa sudah sangat membutuhkan pasokan oksigen, Win pun mencengkram tangan Bright yang digenggamnya, mengirimkan sinyal pada pemuda itu bahwa ia sudah tak tahan.

Alhasil, Bright pun lagi dan lagi terpaksa menyudahi aksinya. Membiarkan Win menghirup napas dalam-dalam, sedikit rakus seolah hanya dia yang boleh menikmati udara di sekitarnya.

Bright pun memberikan Win waktu sejenak untuk meredakan nafasnya yang tersengal-sengal. Sambil menunggu, Bright pun beranjak turun dari ranjang untuk melepas seluruh busana kantor yang masih melekat di tubuhnya.

Berawal dari ikat pinggang. Bright melepas ikat pinggangnya dengan gerakan lambat, saat tak sengaja ia dapati Win ternyata tengah menatap ke arahnya.

Lalu disusul dengan kemeja yang ia keluarkan dari dalam celana bahan. Bright melepas satu persatu kancing kemejanya, lalu melempar asal kemeja itu sehingga menyisakan kaos oblong berwarna putih sebagai dalaman.

Masih dengan dua pasang mata yang saling terkunci di satu titik, Bright melepas kaos putih itu, juga melemparnya secara asal.

Win merasa rona merah mulai memenuhi wajahnya ketika matanya tak sengaja melihat otot perut Bright yang kencang, juga beberapa bagian perut yang terbentuk apik dengan sedikit rambut halus di bagian bawah pusarnya.

Masih dengan celana bahan yang melekat di bagian bawah tubuhnya, Bright melangkah menuju sisi ranjang.

“Winnie mau bantu mas?”

Win mengangguk, dengan mata sayunya.

“Bantu mas membuka celana yang mas pakai ini, mau?”

Gila, ini gila. Tampaknya Bright adalah sosok yang senang bermain-main sedikit saat melakukan hubungan seks seperti sekarang.

Bright menepuk pelan pahanya, sebagai isyarat bahwa Win harus segera merangkak menghampiri.

Win menurut. Ia membawa tubuhnya yang sudah polos tanpa balutan benang sedikitpun untuk merangkak menuju sisi ranjang.

Win berhenti tepat di hadapan perut Bright. Harus bersusah payah menelan ludah saat pemandangan di depannya terlihat begitu menggiurkan.

Bright merentangkan kedua tangannya, memberikan kebebasan pada Win dengan caranya sendiri untuk membuat celana itu terlepas dari tubuhnya.

Dengan pelan, Win menunduk, mendekatkan wajahnya pada bagian pusat tubuh Bright yang sudah terlihat besar meskipun Win belum bisa melihatnya dengan jelas.

Win mengecup bagian selatan tubuh Bright. Mengecupnya beberapa kali, memberikan sensasi yang baru pada diri Bright.

Lalu, bibir Win beralih untuk menggigit resleting celana bahan yang dikenakan sang tuan. Win menarik resleting itu ke bawah, lalu bibirnya kembali naik ke atas untuk melepas kancing pengait yang masih menyatu di bagian atas.

Oke, sudah terlepas. Win hampir menyelesaikan tugasnya dengan baik, diliriknya Bright dari bawah, lagi dan lagi Win dibuat tersipu saat sosok Bright ternyata sama sekali tak melepaskan pandangan darinya satu inci pun.

“Boleh dibuka?”

Bright mengangguk, “lakukan semua yang Winnie mau.”

Merasa dipersilakan dan diberi kebebasan, Win pun mencuri satu ciuman di pusar Bright, lalu bibirnya kembali bekerja untuk menarik salah satu sisi celana bahan itu untuk ia turunkan secara perlahan.

Meskipun susah dan membutuhkan usaha lebih, namun pada menit ke-2, Win sudah berhasil membuat celana itu terjuntai di lantai.

Kini tersisa celana dalam Bright yang berwarna putih dengan motif garis hitam yang menambah kesan maskulin pada model celana berbentuk segitiga itu.

Masih dengan mengandalkan mulut dan giginya, Win kini meraih salah satu sisi celana dalam Bright dengan giginya. Perlahan namun pasti, Win mulai menurunkan satu-satunya helaian kain terakhir yang menjadi alat perlindungan diri bagi Bright.

Dan ya, Win berhasil menyelesaikan seluruh tugasnya dengan sempurna. Celana dalam milik Bright kini sudah jatuh ke lantai, menyisakan sebuah benda di bagian selatan yang mengacung tegak meminta afeksi lebih.

Win menatap Bright satu kali lagi, meminta izin dan tersenyum kala Bright mengangguk mengiyakan permintaannya.

“Mas Bie punya Winnie, lakukan apapun yang Winnie mau, kemari, sayang...”

Lalu Win dengan cepat mengocok pelan kejantanan Bright, membuat Bright memejam sambil menahan desah.

Win tidak mampu berkata-kata. Terlalu nikmat, takut merusak suasana jika ia kebanyakan mendesah.

Dengan tatapan sayunya, Win menunduk dan memasukkan seluruh kejantanan Bright ke dalam mulutnya dalam sekali gerak.

“Mmhhh, good boy, Winnie, mhhh, terus, ahhh...”

Dipuji sedemikian rupa oleh sang tuan, Win pun semakin bersemangat memaju-mundurkan wajahnya, berusaha untuk menelan dalam-dalam kejantanan besar itu.

Bright memberikan usapan halus pada puncak kepala Win, terus membiarkan kucing manisnya itu bermain dengan benda yang mungkin untuk kemudian hari akan menjadi mainan favoritnya.

Win turut memberikan afeksi berusaha pijatan pada bagian penis Bright yang tak bisa masuk ke dalam mulutnya. Menghisap kuat-kuat benda itu, sampai dirasa Bright mulai membesar di dalam mulutnya.

Bright menangkup wajah Win, mengangkatnya sedikit sehingga membuat sebagian sisi kejantanannya keluar dari mulut Win.

“Mas mau keluar, Winnie mau mas keluar di mulut Winnie, atauㅡ”

Tak membiarkan Bright menyelesaikan ucapannya, Win pun kembali bergerak menghisap kejantanan Bright dengan cepat. Win menyedot kuat-kuat ujung kejantanan sang tuan, berusaha memancing agar cairan putih itu cepat keluar dari sana.

Lagi dan lagi, tampaknya Bright senang bermain-main dan kali ini pemuda itu seolah menahan orgasmenya sampai Win lelah karena terlalu bersemangat memompa kejantanan Bright agar segera merilis cairannya.

Alhasil, Win pun melepas kejantanan Bright, matanya masih terus terpusat pada lubang yang berkedut dengan setitik cairan putih kental yang mulai mengalir dari dalam sana.

Win mengocok kuat kejantanan Bright, membuat Bright tak kuasa menahan desahan dan ketika dirasa akan meledak, Win pun kembali memasukkan ujung penis Bright ke dalam mulutnya.

Ujung penis Bright tepat mengenai ujung lidah Win. Dan dalam hitungan detik, Bright berhasil menjemput titik putih pertamanya. Ia keluar, untuk yang pertama kali, di dalam mulut Win.

Win menelan habis sperma Bright tanpa terkecuali. Bahkan lidahnya bergerak sensual untuk menjilat lubang kelamin Bright, agar tak tersisa sedikitpun cairan yang terasa begitu manis bagi Win.

Seulas senyum tipis terbit di wajah Win, “thankyou, mas Bie...”

Win yang sayu, terengah-engah dengan sedikit noda sperma yang sengaja ia biarkan mengering di sudut bibirnya, membuat Win terlihat seribu kali lebih manis dari sebelumnya.

Bright tidak kuat lagi, ia berjanji akan menjadikan malam ini sebuah malam panjang yang tak akan dilupakan oleh keduanya.

Dengan posisi tubuh Bright yang kini sudah mengukung tubuh Win, Bright pun bersiap untuk kembali menyatukan tubuh mereka pada tahap yang lebih tinggi lagi.

Bright membawa kedua kaki Win untuk bertumpu di pundaknya. Sedangkan Bright mulai bersiap untuk mengarahkan kejantanannya yang masih tegang itu pada lubang Win yang sudah berkedut sejak tadi.

Satu tangan Bright bergerak mengusap sesaat pinggang ramping Win, membuat kucing manis itu mendesah seiring dengan ujung kejantanan Bright yang mulai masuk ke dalam lubangnya.

“M-mas, mmmhh… Ahhh,”

Win memejam, dan Bright masih terus mengusap pinggangnya sambil terus berusaha untuk menenggelamkan penisnya di dalam lubang Win.

“Ahhh, Winnie, mmhh, fuck,”

Win menggeleng ribut, mendengar Bright mengumpat sembari terus menekan kejantanannya untuk masuk adalah hal paling seksi yang pernah ia alami semasa hidupnya.

“Mmhhh, you are so so so beautiful, aaahh, yes.... and pretty, and,”

“Fuck, Winnie,”

Bright pun mulai memaju mundurkan tubuhnya dengan gerakan kasar. Mencari titik kenikmatan Win di dalam sana adalah misinya yang harus ia tuntaskan.

Bright berusaha mengalihkan rasa sakit yang dirasakan Win dengan memberikan hadiah berupa kecupan di sepanjang kaki telanjangnya.

Bright terus bergerak menumbuk, memompa, dan Win tak bisa melakukan apapun selain mendesah sepelan mungkin.

Ia malu, jika harus mendesah dengan keras karena ia sudah kehilangan self-control nya saat ini.

Bright masih terus bergerak dengan kasar dan cepat, lalu ia menunduk untuk membawa Win ke dalam ciuman panjang mereka yang kesekian kalinya malam itu.

Kedua kaki Win memeluk punggung Bright, bibir keduanya mulai beradu saling menukar kenikmatan, dan Win rasa ia akan bertemu titik putihnya sebentar lagi.

“M-mas, Winnie mau keluar, mhhh...”

“Ahhh, mas, e-enak sekali... Mmmhh, m-mas Bie, Winnie boleh keluar sekarang?”

Bright mengangguk, dengan gerakan pinggulnya yang semakin cepat, Bright membantu tubuh Win untuk bergerak berlawanan arah, “boleh, Winnie boleh keluar sekarang, sayang.”

Dan dalam hitungan detik, Win dan Bright sama-sama menjemput titik putih mereka.

Bright ambruk di atas tubuh Win. Ia sengaja meletakkan wajahnya di atas bahu telanjang si manis, dengan hidung yang bersentuhan langsung dengan perpotongan leher Win yang mulai menghasilkan sebuah aroma yang memabukkan.

Bright berusaha mengendus aroma itu lebih dalam lagi, dan tanpa sadar, Win kembali bergerak di bawahnya, membuat penis Bright kembali membesar.

Bright terkekeh, ternyata Win tidak puas hanya dengan satu sesi.

Jika sudah begini, apa Bright bisa menolak?

Ini adalah pengalaman pertama bagi Win, pun juga merupakan pengalaman pertama bagi Bright. Keduanya sama-sama baru merasakan sesuatu yang ternyata mampu membawa mereka terbang ke langit ke-7 bersama.

Win terlihat begitu cantik di matanya.

Dengan ini, Bright berjanji untuk menjadikan Win sosok yang spesial. Meskipun belum terbiasa, tapi Bright ingin mencoba.

Tampaknya, Win dengan tatapan sayunya yang diiringi dengan helaan nafas terbata-bata, juga wajah yang dibanjiri oleh keringat akan menjadi salah satu hal yang akan Bright nobatkan sebagai pemandangan favoritnya.

Ah, sial. Tampaknya Bright akan mengukir sejarah baru dalam hidupnya malam ini bersama Win, kucing manisnya.

. . .

JEYI // 210310.

If you love two people at the same time, choose the second one. Because if you really loved the first, you wouldn't have fallen for the second…

But there's no second option. It's always Win, Win, and Win. Tapi bagaimana caranya untuk membuktikan kalau Bright tidak pernah sekalipun mengurangi perasaannya untuk sang kekasih?

Until this one question happened…

“So… How about us, Bright?”

total words: 5.331 words.


“Nih, untung masih ada sisa di kantin. Kebetulan emang belum ngestock lagi katanya.” Pawat memberikan satu hansaplast pada Bright yang sedang berdiri di depan wastafel, menatap pantulan dirinya yang siang itu terlihat cukup menyedihkan.

Bright bergumam pelan, tidak terlalu jelas. Jari-jarinya berulang kali menyentuh luka gores di sudut bibirnya, lalu beralih pada sebuah plester yang sudah tidak terlalu merekat di pelipisnya. Pelan-pelan Bright melepas plester tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Gila, Bri??? Luka lo lebih parah daripada gue, anjrit...”

Pawat mendekatkan kepalanya pada sang sahabat, berusaha melihat luka-luka di wajah Bright yang masih cukup segar. Sedangkan yang ditatap hanya diam, masih sambil terus menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, Bright menengadahkan tangan; meminta hansaplast yang baru saja dibeli Pawat di kantin.

Dengan cepat, Pawat menaruhnya di atas telapak tangan Bright. “Ke UKS dulu aja lah, gue kasih obat merah dulu, yok Bri?”

Tapi yang Pawat dapat hanyalah sebuah gelengan, “udah mulai kering ini, gue nggak apa-apa kok, Wat.” ujar Bright, sambil berusaha mengatur posisi hansaplast agar bisa terpasang dengan rapi di pelipisnya.

“Besok juga udah sembuh, kecil ini mah.”

Pawat berdecak, “kecil apanya, anjing? Lo nggak liat itu bibir lo bonyok juga? Serius nggak sakit?”

“Kagak,” hansaplast pun sudah terpasang dengan sempurna di pelipis Bright, “nggak seberapa ini.”

Bright memang keras kepala. Pawat tahu itu. Alhasil pemuda yang hari Rabu ini mengenakan kostum simpelă…ˇ celana jeans skinny berwarna hitam yang dipadukan dengan atasan kemeja kotak-kotak berbahan dasar kain flanel, pun memilih untuk mengiyakan saja kata-kata sang sahabat dan beranjak duduk di tepi wastafel.

Pawat menyila kedua tangannya di depan dada, pandangannya masih terus terpusat pada Bright.

“Nyokap bokap lo gimana, Bri, setelah liat muka lo babak belur kayak gini?” tanya Pawat.

Kali ini Bright sibuk merapikan tatanan rambutnya. Kedua alis pemuda itu bertaut, tampak menimang-nimang bagaimana posisi yang baik bagi poninyaă…ˇ yang memang agak sedikit panjang, agar bisa menutupi bagian pelipis kirinya.

Bright melirik Pawat lewat cermin di depannya, “bunda sama ayah lagi perjalanan bisnis ke Bandung, sampai minggu depan.”

“Jadi mereka nggak tau kalau lo lagi bonyok-bonyok begini?”

Lagi dan lagi Bright menggeleng, “enggak, mereka jalan ke Bandung sehari sebelum kita turun ke jalan.” jawabnya.

“Oh gitu,” ada jeda, Pawat belum melanjutkan kalimatnya, entah kenapa… ia ragu untuk menanyakannya. Tapi, Pawat kepalang penasaran. Ya udah lah, gas aja. “Kalau Win? Gimana respon dia setelah liat muka lo kayak gini?”

Win.

Win.

Win.

Begitu nama Win disebut, ekspresi yang semula datar di wajah Bright seolah hilang berganti dengan raut yang tak bisa dijelaskan. Pemuda itu tidak lagi melirik sahabatnya lewat cermin, ia malah kembali memandang dirinya sendiri, sambil meletakkan telapak tangan kiri dan kanannya di sisi wastafel.

Sepersekian detik setelah Racha menceramahinya dua hari lalu, Bright banyak berpikir. Benang kusut dalam benaknya semakin bertambah kusut, berantakan, tidak punya arah.

Satu pertanyaan terbesit dalam otak Bright malam itu, gimana kalau Win bener-bener udah ngeliat ig story Nana? jika Win memang sudah melihatnya, kenapa Win tidak marah? Kenapa Win tidak menunjukkan tanda-tanda kecewa, padahal ia sudah membohongi sang pacar kala itu?

Izin: nganter Bunda ke Bogor.

Realita: tawuran.

Realita 2: makan malem sama Nana, diupload ke ig story.

Kenapa Win sangat pasif dengan perasaannya sendiri?

Kenapa Win tidak mau terbuka?

Bright mendesah berat, kepalanya turut menggeleng pelan, “gue belum ketemu Win lagi sejak dua hari lalu, Wat.”

“Kok bisa? Jadi dia nggak tau soal kondisi lo? Lo bilang nggak sama dia?”

Dengan susah payah, Bright menelan salivanya. “Enggak, gue nggak punya nyali buat jujur. Win nggak suka gue tawuran, dia selalu nangis kalau tau gue turun ke jalan, gue nggak mau bikin dia nangis lagi, Wat.” kata-kata Bright terdengar pilu. Inginnya, Pawat memaklumi. Tapi jika masalah ini sudah melibatkan banyak pihak, tampaknya Pawat tidak bisa membela siapapun.

Tepukan pelan hinggap di bahu kanan Bright. Pawat seolah sedang menyalurkan kekuatan untuk sahabatnya itu, apalagi ia tahu Bright sedang sendiri. Barudaks berantakan, Nanon yang biasanya selalu jadi sohib sehidup semati Bright justru sekarang sedang menjauh. Emosinya masih menggebu-gebu, lingkup persahabatan mereka pun sedang tidak baik-baik saja.

Pawat paham, Bright butuh dukungan.

“Gue tau maksud lo baik, Bri. Lo nggak mau bikin cowok lo khawatir, tapi menurut gue… cara lo salah.”

Bright tidak langsung menjawab. Diam-diam ia mengulum bibir bawahnya, rasa pusing mulai datang menghampiri.

“Gue nggak tau ya, lo izin kayak gimana ke Win soal dua hari lalu itu, dan gue yakin lo nggak mungkin jujur kalau lo tawuran. Bisa-bisa Win langsung lari dari kelas IPA ke SOS dua cuma buat ngamanin lo. Jadi sorry sorry nih ya, Bri, gue ambil kesimpulan kalau lo pasti ngeles. Itu satu, satu kesalahan lo.”

Pawat menarik pendek nafasnya, seraya terus menatap Bright sambil menepuk pelan bahu kanan sahabatnya itu.

“Yang kedua, lo luka-luka, Bri. Lo bonyok, lo mau nyembunyiin sampai kapan? Mau nggak mau, nanti pasti lo ketemu sama dia. Hari ini OSIS yang tugas mimpin ibadah, banyak-banyak berdoa deh lo biar Win nggak jadi PL atau dengan sendirinya dia bakalan bisa ngeliat kondisi lo dari depan. Itu kesalahan lo yang kedua ye, Bri.”

“Nah yang ketiga,”

Lagi dan lagi Pawat menjeda ucapannya. Tapi seolah tahu apa yang hendak diucapkan, Bright lebih dulu berdecak dan buka suara, “soal ig story Nana, ya, 'kan? Lo bener, itu kesalahan gue yang ketiga.”

Pawat menggigit kecil bibir bawahnya. Rasa sungkan seketika menyeruak di balik dada, pemuda bertubuh agak bongsor itu sadar kalau ia sudah terlalu campur dengan urusan pribadi sang sahabat.

“Sori, Bri. Gue nggak bermaksud nyalah-nyalahin lo kayak gini, cuma gue harap lo bisa mikirin resikonya nanti bakalan kayak gimana. Lo nggak bisa nutupin semuanya lama-lama, cepat atau lambat Win pasti tau. Dan usaha lo buat bikin dia nggak khawatir akan berujung sia-sia. Win bakalan tetep kecewa sama lo, apalagi ditambah fakta lo ngeles, lo bohongin dia dengan alasan yang gue pun nggak tau.”

Pawat turun dari tepi wastafel. Pemuda itu menatap dirinya sendiri di cermin, lalu merapikan penampilannya yang sedikit berantakan.

Ditatapnya Bright lewat cermin di depan, “gue cuma bisa doain lo yang baik-baik ye, Bri. Semoga semuanya cepet beres, lo sama Win dan lo sama anak-anak. Gue nggak tega ngeliat lo pusing dan sedih sendirian kayak gini, tapi gue nggak bisa ikut campur lebih jauh, Bri.”

Sudah 2 orang yang menegurnya. Sudah 2 orang yang menyadarkannya dari sederet kesalahan yang ia perbuat. Sudah 2 orang yang mengetuk pintu hatinya.

Dan rasa bersalah di dalam hati Bright semakin besar. Rasa takut pun mulai datang menghantui.

Bright sadar ia salah mengambil langkah, dan sekarang ia seolah terjebak, tidak bisa menemukan jalan untuk bebas, untuk keluar.

“Wat,”

Yang dipanggil menolehkan kepala, alisnya bertaut satu.

“Tapi gue nggak pernah sekalipun punya niat buat nyakitin cowok gue, Wat. Gue sayang banget sama Win, tapi kenapa semua orang nggak percaya sama gue?”

Sudah Pawat duga, Bright sedang hancur. Dan kali ini, Bright benar-benar sendiri dalam kekalutannya.

Pawat memang tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi ia bisa mengusap pelan punggung Bright sambil berucap, “gue percaya sama lo. Nggak apa-apa kalau yang lain nggak percaya sama lo, lo punya gue, Bri.”

There Pawat said it all.

Selepas kalimat itu usai diucap, Bright mencelos. Beban di bahunya seakan-akan meluruh sedikit demi sedikit. Setidaknya, ia tidak lagi sendiri. Ada Pawat yang mau mendengarkan cerita dari sisinya.

“Thanks a lot, Wat. Maaf, udah bikin lo sama anak-anak khawatir dan emosi sama gue dua hari lalu.”

Pawat mengangguk, “santai, kalau anak-anak nggak khawatir itu artinya mereka nggak perduli sama lo. Kalau mereka masih emosi sekarang, nggak apa-apa, itu bukti kalau sebenernya mereka sayang banget sama lo, cuma lo nya aja yang goblok.”

“Ya udah, sekarang mending kita turun. Kebaktian mau mulai bentar lagi.”

. . .

Sial seribu sial.

Doa-doa yang dirapalkan Bright sejak pagi tampaknya tidak didengar oleh Tuhan. Bulir-bulir keringat dingin kini turun mengalir di wajahnya, seiring dengan musik dari gitar, keyboard dan cajon drum yang mulai menggema sebagai tanda ibadah rutin setiap hari Rabu akan dimulai.

Win, ada di sana. Di depan ratusan siswa yang terdiri dari anak-anak kelas 10 sampai kelas 12 yang duduk di atas terpal biru, di lapangan.

Benar apa kata Pawat, anak-anak inti OSIS mengambil peran untuk memimpin kebaktian kali ini. Chimonă…ˇ sepupu Racha (anak kelas 11 SOS 1), berdiri di belakang keyboard sambil membiarkan jari-jarinya menari di atas tuts. Lukeă…ˇ si ketua OSIS sekaligus ketua kelas 12 IPA, duduk di atas speaker seraya memainkan gitar listrik dalam dekapannya. Puimekă…ˇ anak kelas 12 IPA sekaligus teman dekat Win, duduk di atas speaker di samping Luke sambil memetik gitar. Sedangkan Win, berdiri di depan dengan secarik kertas berukuran kecil di tangan kirinya, dan sebuah mic di tangan kanannya. Lagi dan lagi Tuhan lebih memilih mengabulkan ucapan asal Pawat dibanding doa-doanya; Win menjadi PL (pemimpin liturgi) pada ibadah Rabu itu.

Bright menundukkan kepalanya. Sebisa mungkin, ia tidak mau Win menyadari keberadaannya. Bright menekuk kedua kaki, lalu memeluknya. Kepalanya sesekali ia tubrukkan ke tempurung lutut, berusaha untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang menyeruak dalam hatinya.

“Teman-teman semuanya, sebelum kita mulai ibadah pada hari ini, saya akan mengajak teman-teman semua beserta bapak dan ibu guru untuk tunduk dan melakukan saat teduh sejenak. Saat teduh dimulai.”

Itu suara Win. Suara yang amat sangat Bright rindukan 2 hari ke belakang. Suara yang selalu bisa membuatnya tenang, tapi tidak dengan sekarang. Mendengar suara Win, rasa takut yang dipendam Bright justru semakin besar. Rasa bersalah itu datang lagi.

Kata-kata Racha di i-Mess, ucapan-ucapan Pawat beberapa saat lalu di toilet lantai dua, kembali terngiang dalam benak Bright.

Bagaimana jika Win tau…

Bagaimana jika Win kecewa lagi…

Bagaimana jika Win lelah dan memilih untuk menyerah…

Bagaimana jika kali ini, Win lah yang meminta mereka untuk berhenti?

Tidak, Bright tidak mau. Bright tahu dirinya sudah sangat bersalah, maka setelah ibadah, atau setelah acara perayaan hari valentine selesai nanti sore, Bright akan menemui Win dan membuat pengakuan dosa.

Ya, Bright akan meminta maaf di depan Win dan mengakui semua kesalahan dan kebohongan yang sudah terlanjur ia lakukan.

“Saat teduh selesai.” Itu suara Win, lagi. Dengan perlahan, Bright membuka matanya yang terpejam.

Win tampaknya belum menyadari posisi dimana Bright duduk. Pemuda manis kesayangannya itu masih sibuk memberi kode pada para pemain musik, lalu kembali membawa mic mendekat ke mulutnya.

“Untuk mengawali ibadah kita pada hari ini, sekarang kita akan menyanyikan lagu Lebih dari Pemenang!”

Suara cajon drum dan gitar mulai terdengar. Win mengangkat kepalanya, mengedarkan pandangan dan… damn, Win kini menatap tepat ke sepasang mata Bright, yang ternyata juga sedang menatap sendu ke arah Win.

Pemuda manis itu tertegun sesaat. Matanya yang bulat pun membesar, binar bahagia hilang entah kemana. Bright terlanjur membalas tatapan Win, sehingga wajahnya yang sedikit lesu, plester di pelipis, juga sudut bibir yang agak robek, semuanya mungkin tertangkap oleh sang kekasih.

Bright tidak bisa mengelak lagi. Tidak bisa bersembunyi lagi.

Win sudah tahu, Win sudah melihatnya.

Dan jantung Bright semakin berdegup kencang, ia… takut.

. . .

Suasana lapangan upacara yang semula tidak terlalu ramaiă…ˇ hanya diisi oleh anak-anak OSIS dan penghuni kelas 11 SOS 1, karena ditinggal untuk beristirahat, kini mulai dipenuhi kembali oleh siswa-siswi yang mengisi posisi kosong di atas terpal biru. Spot-spot yang sempat ditinggal selama 15 menit itu kini sudah kembali berpenghuni, dan Luke selaku ketua OSIS juga sudah memposisikan diri untuk berdiri di depan, dengan sebuah mic di tangan kanannya.

“Ayo buat yang masih ada di dalam kelas, koridor, toilet atau kantin, bisa langsung kembali ke lapangan ya...”

Luke memberikan aba-aba lewat mic, tubuh tingginya yang siang itu dibalut dengan celana jeans hitam serta atasan kemeja formal berwarna ungu yang lengannya sengaja digulung sampai ke batas siku, tampak bergerak pelan memantau beberapa spot di lantai satu gedung SMA yang mungkin masih disinggahi oleh beberapa siswa.

Satu kali lagi Luke mengulang aba-aba. Guru-guru yang sebelumnya juga masih berada di dalam ruangan pun mulai berhamburan keluar dan kembali duduk di bangku panjang yang tersedia di bagian belakang.

Terpal sudah 95% terisi, itu artinya acara perayaan valentine pun bisa segera dimulai.

Win cepat-cepat menghabiskan air mineral kemasan gelas yang ada di tangannya. Perhatian pemuda manis itu beralih pada setumpuk amplop warna-warni yang berserakan di atas bangku yang Puimek pinjam dari kelas 11 SOS 1. Kalau mengikuti rundown acara, maka kegiatan pertama yang akan dilakukan adalah pembacaan surat apresiasi dan surat cinta yang sudah dikumpulkan dari kelas 10-A sampai 12 SOS 2, lalu disaring kembali yang sekiranya menurut anggota OSIS memiliki kesan yang unik dan tidak terlupakan.

Luke selaku ketua OSIS sudah mengambil alih untuk memimpin acara, sedangkan Win dan anak-anak OSIS lain sibuk membagi-bagi amplop untuk dibacakan.

“Tahun ini yang ngirim surat cinta ke OSIS meningkat dua kali lipat dibanding tahun kemarin. Anak-anak jaman sekarang nyalinya gede juga ya, jaman gue kelas sepuluh sama kelas sebelas mah, nggak berani ngirim surat alias naksir diem-diem aja, hahaha.”

Kata-kata Luke barusan membuat banyak siswa dan beberapa guru tertawa. Kecuali dua orang, Bright yang masih kalut dengan pikirannya sendiri dan juga Win yang baru saja selesai mengklaim tiga amplop untuk ia bacakan nanti.

“Ohooo bapak ketua OSIS malu-malu kucingnya pas kelas sepuluh sama kelas sebelas doang tuh, tahun ini kayaknya mah udah berani… Ya nggak, Luke?” Bu Susanㅡ wali kelas 12 IPA, yang memang akrab dengan Luke pun ikut menimpali.

Suasana di lapangan pun semakin riuh, apalagi ketika Luke membalas ucapan Bu Susan dengan kekehan kecilnya, “ah, Ibu bisa aja… Saya belum pede, Bu, hahaha.”

“Oke, karna banyaknya surat dan besarnya antusias kalian untuk mengapresiasi gebetan atau orang-orang tersayang kalian, OSIS akhirnya berhasil menyaring puluhan surat menjadi sembilan surat yang paling berkesan.”

Wajah-wajah panik pun mulai terlihat. Seolah berharap bukan surat milik mereka yang akan dibaca di depan secara blak-blakan.

“Kita akan bacain surat-surat dari kalian apa adanya, sesuai dengan apa yang tertulis di surat yang kita pegang. Kalau ada nama pengirim yang nggak tertera alias anonim, tapi nama orang spesialnya disebutkan, gue harap orang yang disebut namanya bersedia untuk berdiri dan maju ke depan sini. Karna OSIS udah nyiapin hadiah buat orang-orang spesial yang terpilih siang ini.” sambung Luke, sambil memberi kode pada Puimek untuk maju lebih dulu.

Puimek mengambil alih mic dari Luke, “oke temen-temen, amplop pertama gue buka, ya?” amplop berwarna pink pastel dengan motif bunga-bunga kecil di bagian sudutnya kini mulai dibuka perlahan-lahan. Puimek menarik keluar secarik kertas binder bermotif dari dalam sana, lalu tersenyum begitu ia dapati siapa pengirim dari surat tersebut.

“Surat pertama ternyata dari Ssing Harit, kelas sebelas SOS dua, untuk Bu Susan yang punya kebiasaan ngusir anak-anak kalau kelamaan nongkrong di sekolah, hahaha… Ibu… Maaf ya Bu, ini saya cuma bacain surat dari Harit aja nih, Bu.”

Bu Susan terkekeh sambil bertepuk tangan. Guru yang merupakan wali kelas 12 IPA sekaligus staff kesiswaan itu bangkit dari duduknya.

“Harit mana Harit? Berdiri kau Harit...”

Suara tawa menggema di lapangan upacara. Si pemilik nama alias Ssing Harit pun akhirnya pasrah dan berdiri. Pemuda itu tepat berada di tengah-tengah barisan kelas 10 dan juga kelas 12, sehingga semua siswa bisa melihat ke arahnya.

Harit malu-malu menggaruk tengkuknya, lalu menatap Bu Susan sambil cengengesan, kedua telapak tangannya menyatu di depan dada. “Ampun, Bu… Abis saya nggak punya gebetan, jadi ya udah saya bikin surat buat guru kesayangan saya aja, hehehe.”

“Nanti pulang saya traktir batagor kau, nak.” balas Bu Susan.

Galak-galak begitu, walaupun sering disebut sebagai ibu kost-nya SMA GMM, Bu Susan tetaplah guru kesayangan anak-anak. Jadi tidak heran, kenapa Harit yang notabenenya adalah anak IPS pun bisa dekat dan akrab dengan guru mata pelajaran biologi tersebut.

“Oke, oke, saya bacain dulu isi suratnya Harit buat Bu Susan, ya?”

Puimek berdehem sebentar, sambil menghela nafas panjang. Gadis itu mengambil aba-aba untuk mulai membacakan surat apresiasi milik Ssing Harit.

“Bu Susan, Harit sebenernya punya love-hate relationship sama Bu Susan. Soalnya Bu Susan galak, lebih galak daripada mami di rumah, tapi Harit sayang sama Bu Susan. Bu Susan walaupun suka ngusirin anak-anak yang nongkrong sampe sore di sekolah, tapi Bu Susan selalu ayo-ayo aja kalau diajak turing sama sebelas SOS satu ke Puncak naik motor, hehehe. Akhir bulan kita turing lagi yuk, Bu? Nanti Bu Susan naik motor Harit aja, Harit nggak bakalan lupa bawa jas hujan, oke oke? Semoga Bu Susan sehat terus ya, terimakasih sudah jadi guru yang baik buat Harit dan anak-anak lain. Kiranya Tuhan memberkati Ibu selalu, Amin… Salam sayang, Ssing Harit dari sebelas SOS satu. Maaf Bu, Harit nggak bisa gambar lope-lope, pokoknya i lope yu pul Bu Susan!!!”

Lagi dan lagi tawa riuh meramaikan acara siang itu. Bu Susan berakting layaknya orang yang sedang menangis, lalu mengucapkan terima kasih kepada Harit. Harit pun dipersilakan untuk duduk kembali, dan Puimek meminta Bu Susan untuk maju ke depan, ada hadiah dari OSIS yang menunggu.

Surat ke-2, ke-3, ke-4 sampai surat ke-8 pun akhirnya sudah dibacakan. Ada delapan orangă…ˇ dua guru dan enam anak kelas 11, yang kini berdiri sejajar dengan Win di depan, yang kali ini sedang memegang mic di tangan kanannya. Tersisa satu amplop di tangan, Win akan membacakan surat terakhir itu.

Perlahan tapi pasti, Win menarik keluar secarik kertas putih dari dalam amplop berwarna biru pastel di tangannya. Lalu tanpa ragu dan percaya diri, Win membuka lipatan demi lipatan kertas surat tersebut.

Jika sebelumnya Win ingin cepat-cepat menyelesaikannya acara ini, maka sekarang Win tarik kata-katanya. Well, Win memang ingin mengakhiri hari ini dengan cepat, tapi tanpa harus membaca surat yang ada di tangannya, apa bisa?

Jantung Win berdegup cepat. Tanpa sadar, pemuda manis itu menggigit kecil bibir bawahnya dan kepalanya spontan mendongak mencari keberadaan Bright.

Kekasihnya ada di sana. Bright duduk di sayap kiri lapangan, di barisan kelas 12 SOS 2. Pemuda itu hanya diam, tatapannya bahkan terlihat kosong.

Tidak ada antusias.

Tidak ada rasa khawatir.

Win bingung, apa boleh ia menutup saja surat di tangannya lalu izin pulang lebih cepat dengan alasan sakit kepala? Apakah masuk akal? Yang jelas Win ragu, ia tidak mau mengeja kata demi kata yang tertulis di sana, tapi ia harus…

Lantas Win menghirup oksigen banyak-banyak, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia bawa kepala mic untuk kembali mendekat pada mulutnya, lalu dengan canggung Win berucap,

“This is for the special one that i've liked since two years ago, the only one… Metawin. I may not be able to put such beautiful words that can impress you, but i want to prove that when i said i like you, i really mean it,” Win menjeda ucapannya, pegangannya pada badan mic menjadi semakin kuat.

Win satu kali lagi menegakkan pandangan. Satu kali lagi, ia cari sang kekasih, yang ternyata kini sedang menatapnya dengan raut wajah tak terjabarkan.

Tapi satu yang pasti, ada luka di matanya.

Ragu-ragu, Win kembali melanjutkan ucapannya. “Gue juga masih terlalu cupu untuk ngungkapin semuanya ke lo, that's why i've been keeping this all alone by myself sampai sekiranya gue bisa nemu waktu yang tepat. Dan gue rasa, ini lah waktu yang tepat. W-win,” Win kembali memberikan jeda, lalu tanpa sadar ia mencengkeram surat yang sedang dipegang.

“If you're reading this letter, now please look towards the lower right of the side where you're standing right now,”

Dengan hati tak tenang, Win membawa atensinya pada sisi kanan bawah lapangan dimana ada sebuah mobil remote berwarna merah yang melaju ke arahnya. Mobil-mobilan itu berhenti tepat di ujung sepatu converse putih yang Win kenakan. Ada sebuah coklat di atasnya, lantas Win menunduk dan mengambil coklat tersebut.

Dan tepat saat Win kembali berdiri, ia dikejutkan oleh kehadiran Luke di samping kirinya.

Ada sebuket bunga mawar merah dalam peluknya.

Dengan sebuah mic lain yang ada di tangannya, Luke berujar, “Metawin, would you be my boyfriend?”

Salah satu ketakutan terbesar Win pun pada akhirnya terjadi. Bahkan kali ini jauh lebih menyeramkan dibanding apa yang dulu pernah terbesit dalam benaknya.

Luke menembaknya secara langsung, di depan banyak orang, dan juga di depan Bright.

Bukannya menjawab pertanyaan Luke, Win malah lagi dan lagi mengedarkan pandangannyaă…ˇ mencari Bright.

Pemuda itu masih duduk di tempat yang sama.

Masih diam dalam ekspresi sendunya.

Tetap bergeming, seolah mati rasa.

Tidak ada hal lain yang kini jadi pusat perhatian bagi Win, hanya Bright yang hening dalam kebisuannya.

“Nggak apa-apa, nggak usah jawab sekarang ya, Win,”

“But please accept this bouquet of flowers, this is for you.”

Seolah baru saja dibuat sadar oleh kenyataan, Win pun ragu-ragu menerima buket bunga mawar merah pemberian Luke.

Kali ini Win membawa pandangannya ke arah seseorang yang baru saja menyatakan perasaan untuknya. Win tidak tega untuk menjawab di depan banyak orang, tapi Win tidak mungkin juga melewati momen ini tanpa memberi tanggapan apa-apa.

Lalu dengan senyum tulusnya, Win mengangguk,

“Selesai acara gue jawab, ya? Talk to you later, makasih untuk bunga dan coklatnya.”

Luke cuma bisa pasrah. Kepalanya mengangguk ringan sambil bibirnya berusaha untuk tersenyum. Karena sadar bahwa yang akan menyatakan perasaan bukan cuma dirinya, lantas Luke merangkul pinggang Win dan mengajaknya untuk mundur beberapa langkah ke belakang.

Hingga kehadiran sosok lain yang terasa begitu cepat berhasil mengalihkan suasana dari prosesi penembakan ala anak IPA. Seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai kini berdiri di depan.

Win tahu, sosok itu adalah Nana.

Nana.

Nana.

Nana.

Laju pernafasan Win yang belum lancar sekarang justru terasa lebih sesak. Diliriknya Bright yang duduk di tengah-tengah sana. Tidak lagi ada ekspresi sendu di wajahnya, pemuda itu justru terlihat panik.

Dalam diamnya Win menunggu apa yang akan dilakukan Nana, sambil berusaha menepis pikiran-pikiran jelek dalam otaknya.

Puimek memberikan satu mic kepada Nana, dan disambut dengan gembira oleh gadis itu.

“Halo semuanya, aku di sini bukan untuk menyatakan perasaan kayak apa yang baru aja kak Luke lakuin buat kak Win. Tapi sekarang aku mau ngejawab perasaan seseorang, yang tanda tangannya tertera di surat ini,” Nana membuka lipatan demi lipatan surat yang ada di tangan kirinya, lalu mengarahkan surat tersebut ke arah semua orang.

Walau tidak terlihat jelas, tapi beberapa orang yang duduk di barisan depan termasuk Puimek yang curi-curi pandang dari arah samping bisa melihat tanda tangan siapa yang tertera di sana.

“Buat kak Bright dari kelas dua belas SOS dua,”

Nana menggoyangkan surat di tangannya, lalu tersenyum lebar, “Nana mau jadi pacarnya kak Bright.”

Damn, this is what we called tragedi lapangan upacara jilid 2.

. . .

“Maaf, maafin gue,”

Sudah berulang kali Bright mengucapkan maaf, sudah berulang kali pula Win tidak memberikan jawaban.

Pemuda manis itu hanya bisa diam, tubuhnya yang sudah tidak lagi punya banyak tenaga dibiarkan menyandar di sisi wastafel toilet pria lantai satu.

Acara perayaan valentine sudah berakhir dua jam yang lalu. Guru-guru sudah berhamburan pulang sejak tadi, begitu juga siswa-siswi yang bukan merupakan anggota OSIS.

OSIS dipercayakan untuk membersihkan semua dekorasi dan merapikan sisa-sisa bekas acara. Kegiatan bersih-bersih pun sudah berakhir setengah jam yang lalu, sehingga Bright dan Win bisa bertemu di toilet tanpa harus berpikir orang lain akan melihat.

Win sama sekali tidak meminta Bright untuk menunggu. Win juga tidak mengirimnya pesan apapun, apalagi untuk janjian bisa bertemu seperti sekarang ini.

Bright menyendiri di toilet sejak acara berakhir. Bright bahkan mengabaikan ajakan Pawat untuk pulang. Bright membawa tubuhnya untuk menikmati waktu sendiri, lalu berpikir tentang serangkaian kekacauan yang terjadi baru-baru ini.

Sampai akhirnya tanpa diduga, Win masuk ke toilet. Dengan wajahnya yang lusuh, juga matanya yang sedikit memerah.

Bright tahu, kalau anak-anak OSIS sudah pulang sejak setengah jam lalu. Yang Bright tidak tahu adalah, ternyata Win masih tinggal di sana, di lantai yang sama dengannya.

Sama-sama menghabiskan waktu di ruang yang berbeda, lalu bertemu tanpa sengaja di waktu yang tak bisa dikira.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bright selain maaf, maaf, dan maaf sejak Win membawa tubuhnya untuk mendekat.

Maaf atas kebohongan kemarin.

Maaf atas luka-luka di wajah dan tangannya.

Maaf atas apa yang terjadi di lapangan tadi.

Maaf untuk semuanya,

Maaf untuk air mata Win yang lagi dan lagi jatuh, tapi Bright tidak kuasa untuk menyentuhnya.

Bright yang kini berdiri setengah membungkukă…ˇ kedua sikunya bertumpu di sisi wastafel di samping Win, wajahnya ia sembunyikan di sana, di balik telapak tangannya, diam-diam Bright menangisi kekacauan yang masuk ke dalam hubungan mereka tanpa permisi.

Win menyeka air matanya, lalu melirik Bright yang masih terisak di sampingnya.

Win hanya bisa diam, hatinya hancur…

Lebih hancur dibandingkan saat terakhir Bright memutuskannya di taman komplek.

Win menghela panjang nafasnya, lalu berdehem serak, “ada kata-kata lain yang mau lo sampaikan ke gue selain kata maaf?”

Bright menjambak rambutnya sendiri, “jangan tinggalin gue… Lo boleh marah, lo boleh maki-maki gue, tapi gue mohon jangan tinggalin gue, Win...”

Tetes lain air mata kembali jatuh membasahi wajah Win. Bright terisak, nafasnya terasa sesak.

“G-gue bohong. Dua hari lalu g-gue bukan nemenin Bunda ke Bogor, tapi g-gue turun ke j-jalan. M-maaf,”

Lagi, Bright menarik kuat rambutnya sendiri. Sebuah usaha untuk mencari distraksi atas rasa sakit dan kalut di hatinya.

Win berdecak pelan, “padahal gue kira lo cuma bohong perkara nemenin Bunda ke Bogor yang mana kenyataannya lo malah jalan sama Nana. Tadinya gue mau cuek, gue cukup tau diri untuk nggak ngebatasin ruang gerak lo cuma karna lo pacar gue. Tapi ternyata lo bohong dua kali di hari yang sama, lo turun ke jalan, lo ngelanggar janji lo ke gue.”

Bright tidak menjawab, ia sibuk terisak, masih sambil menjambak rambutnya sendiri. Tidak bisa menyanggah pun, karena apa yang diucapkan Win benar adanya.

Helaan nafas berat kembali lolos dari belah bibir Win, lalu dengan lembut ia sentuh punggung tangan Bright, menariknya menjauh agar tidak lagi menjambak rambutnya sendiri.

Pergerakan itu mau tidak mau membuat Bright bangkit dari posisinya. Dengan pasrah ia kini berdiri berhadapan dengan Win. Tidak perduli meskipun wajahnya memerah, basah akan air mata.

Win menyentuh sudut bibir Bright, lalu beralih mengusap pelan plester yang menutupi luka di pelipisnya. Mereka saling bertukar tatap beberapa saat. Dua pasang mata yang dipenuhi kabut air mata itu bertemu pada satu titik poros, ada luka dan kecewa yang tergambar di sana.

“Did she help you?”

Pertanyaan yang pastinya hanya akan menuai luka baru. Tapi Win mau tahu, Win mau Bright jujur padanya.

Perlahan-lahan Bright menganggukkan kepalanya, “dia yang ngobatin gue. M-maaf,”

Win tidak pernah tahu, rasanya akan sesakit ini.

Bright membiarkan orang lain mengobatinya, dan orang itu adalah Nana, sosok yang punya perasaan lebih pada pemuda itu.

Masih sambil mengusap lembut sisi wajah Bright, juga masih sambil menatap mata sang terkasih, Win kembali berucap, “perasaan lo udah berubah ya, Bright? Lo udah nggak sayang lagi sama gue?”

“Enggak, enggak sama sekali, sayang. I love you so much, i love you,” Bright kembali menangis, hatinya hancur ketika kepercayaan Win untuknya lagi dan lagi seolah hilang.

“Lo percaya sama gue, 'kan? Gue s-sayang… Sayang b-banget sama lo, sayang, please hear me out,”

Bright ikut menangkup wajah Win, lalu mengusap air mata sang kekasih dengan lembut.

“Gue tau gue salah, dan gue sama sekali nggak membenarkan sikap gue kali ini. Lo berhak marah, lo berhak kecewa sama gue, gue akan dengan ikhlas nerima semuanya dan gue akan kasih kita waktu untuk sama-sama sembuh,”

Bright menjatuhkan air matanya lagi, “tapi jangan tinggalin gue, gue nggak bisa, Win...”

Win mengulum sebentar bibir bawahnya, lalu membalas ucapan Bright, “perasaan lo udah berubah.”

Kepala Bright menggeleng ribut, sangat ribut sampai rasa pusing kembali datang menyerang.

“Enggak! Sama sekali enggak, sayang.”

Tapi Win malah mengukir senyum kalah di wajahnya, “kalau perasaan lo buat gue masih sama, lo akan langsung ngasih tau ke Nana soal kita, itu janji lo, 'kan? Bukan malah ngasih dia harapan, sampai dia berani maju ke depan tadi, Bright.”

“Sekarang jawab gue, lo beneran nembak Nana tanpa sepengetahuan gue, iya?”

Lagi Bright menggeleng, “enggak, gue juga nggak tau kenapa bisa ada tanda tangan gue di surat cinta yang dia terima. Gue berani sumpah, Win.”

Kali ini Win tersenyum miris, “are you lying again?”

“Demi Tuhan, enggak, Win.”

“Kalau lo nggak ada rasa lebih sama dia, lo nggak akan ngasih celah lebih banyak buat dia, Bright… Dengan lo ngasih dia celah, lo udah nggak perduli lagi sama perasaan gue. Lama-lama rasa lo buat gue mati, terganti dengan hal baru, danㅡ”

“Kita harus ngeributin hal yang sama lagi, Win? Cuma segitu rasa percaya lo buat gue, iya?!!”

Bright berteriak. Tanpa sadar ia menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan Win.

Bright menunduk, tangannya lagi dan lagi menjambak rambutnya sendiri.

“Lo mau kita putus, Win?”

Bright kembali terisak, “tiga tahun kita sia-sia lagi?!!”

“BRIGHT!!!”

Dengan wajahnya yang memerah, mata yang berkabut, Bright kembali menatap Win, “maaf… maaf gue belum bisa perbaikin keadaan. Maaf gue belum bisa jujur ke Nana karna satu dan lain hal, maaf kalau lagi dan lagi rasa percaya lo buat gue harus hilang, maaf...”

Bright memilih untuk menunduk lagi, tidak bisa menatap wajah kecewa Win lebih lama dari batas sanggupnya.

Bright tidak lagi menjambak rambutnya. Pemuda itu hanya menunduk, telapak tangannya ia pakai untuk menumpu kedua matanya.

“Bright,”

“Lo mau tau apa jawaban gue buat Luke?”

Bright tidak menjawab, membiarkan Win melanjutkan ucapannya.

“Gue bilang ke dia, jalanin aja apa yang ada. I am not in the right state to start any relationship and he said yes,”

No, gue bohong… Gue bahkan nggak jawab apa-apa ke dia, gue jahat… gue mengabaikan perasaan dia demi lo, Bright… Tapi nggak apa-apa, hubungan kita udah terlanjur berantakan, at least seenggaknya itu jadi jawaban buat lo… Biar lo tau, gimana rasanya jadi gue yang harus nerima kenyataan kalau lo selalu ngasih harapan buat orang lain tanpa mikirin perasaan gue…

Maaf, cuma dengan cara ini gue bisa ngehukum lo, Bright…

“Kalau lo? Apa jawaban lo buat Nana?”

Masih enggan mengangkat wajahnya, Bright menjawab, “i asked her to wait. And she said yes.” Gue minta dia untuk nunggu, karna gue akan secepatnya ngasih tau yang sebenernya ke dia, tentang kita, tentang gue sama lo, Win…

“You asked her to wait? Lo beneran mau kita putus, Bright? Lo mikirin perasaan Nana sebegitunya, so how about us? How about us, Bright?!!”

“Gue minta dia untuk nunggu karna gue akan bawa lo untuk ketemu dia, gue akan jelasin semuanya tentang kita ke dia, bukan minta dia untuk nunggu kita putus dan gue berpaling ke dia!”

Win tertawa miris, alisnya bertaut satu, menantang, “oh ya? Dan lo pikir gue akan percaya? Setelah semua yang lo lakuin, lo kira gue masih bisa percaya sama lo?”

“Win,”

Bright jatuh.

Jatuh berlutut di bawah kaki Win.

Hatinya hancur…

Bright sebisa mungkin tidak meneteskan air mata. Kedua lututnya bertumpu di lantai, tubuhnya menunduk sedalam yang ia bisa. Nafas pemuda itu tersengal-sengal, penampilannya berantakan. Satu kali lagi Bright memohon pengampunan,

Tapi sebelum Bright berhasil meruntuhkan dinding di hati sang kekasih, Win lebih dulu menginterupsi.

“Berdiri, Bright. Jangan pernah berlutut lagi di depan gue.”

Itu permintaan mutlak Win. Jika Win sudah meminta, apa Bright punya kuasa untuk bilang tidak?

Bright belum mau berdiri, tapi Win menarik tangan pemuda itu untuk berdiri.

Keduanya kini kembali berhadapan. Dengan keadaan yang sama-sama jauh dari kata baik, mereka berantakan, mereka hancur.

“Jangan tinggalin gue,”

Win mengangguk, walau air matanya terus jatuh, Win tetap mengangguk, “nggak akan,”

“Tapi kali ini kita harus bener-bener sendiri dulu. Nggak apa-apa, ya? Kita nggak putus, enggak. Cuma kasih gue waktu buat maafin lo, boleh, Bright?”

Bright belum menjawab,

Lalu Win maju selangkah, membawa dirinya masuk ke dalam dekapan sang kekasih.

Win memeluk erat Bright, menaruh dagunya tepat di atas bahu kanan pemuda yang masih menitikkan air mata itu.

“Baik-baik tanpa gue, ya? Kita istirahat dulu, intropeksi diri masing-masing. Yang salah dalam hubungan ini bukan cuma lo, tapi gue juga. Gue mau belajar lagi, biar setelah ini gue bisa menyayangi lo dengan cara yang benar.”

Bright mulai membalas pelukan Win, “maaf,”

“We failed again, and that's okay...”

Win mengusap sayang punggung Bright yang bergetar, “jaga diri ya, Bright? Saat teduhnya jangan dilupain. Bright anak Tuhan, Bright anak baik...”

“Maaf, maaf, Win...”

Win mengangguk, untuk yang terakhir kali.

“Nggak apa-apa, Bright...”

Nggak apa-apa, nggak apa-apa, nggak apa-apa…

Mereka berpelukan cukup lama, sampai tangis keduanya reda. Lalu Bright melepas pelukan mereka, meraih tangan Win untuk ia genggam sekuat yang ia bisa.

“Ayo kita pulang.”

Rasanya masih sama, dan akan selalu sama…

“Ayo kita pulang, Bright.”

Ternyata rasa ini masih jadi rumah untuk berpulang, hope it will last forever…

. . .

JEYI // 210309.

“Pernah nggak sih… kalian terpaksa harus berhenti dari segala aktivitas yang sedang dijalani, termasuk berhenti mengejar satu-satunya orang yang dianggap tempat berpulang?”

Atau…

Pernah nggak sih, kalian ada di titik dimana… everything seems impossible and unreachable?

Karena kali ini, ada dua anak adam yang punya kisah untuk dibagi…

tags: lovers to exes, move on issues, one-sided love, ditinggal nikah. ă…ˇ COMMISSIONED.


“Bisa nggak sih satu kali aja, kamu dengerin aku?”

Suara itu. Suara itu datang lagi, untuk yang kesekian kali di malam hari Bright.

“Lagi dan lagi kita ngeributin hal kecil yang seharusnya nggak perlu dibesar-besarin, Mas!”

Lagi, suara lirih yang dibarengi isakan kecil itu melintas dalam relung memorinya. Mau tidak mau, Bright harus membuka pejaman mata. Samar-samar, netra kehitaman miliknya bertemu dengan cahaya lampu yang ternyata masih menyala sejak tadi.

Dadanya melengos. Kepalanya menggeleng pelan, sembari ia coba paksa tubuhnya untuk segera duduk. Meninggalkan meja kerja dan setumpuk berkas-berkas berserakan yang ketika Bright tidak sengaja melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sial, gue ketiduran lagi.

Bright berusaha mengumpulkan nyawa yang terasa masih mengambang di awang-awang. Begitu kesadarannya penuh, ia edarkan telapak tangannya di atas mejaă…ˇ mencari kacamata baca yang entah melipir kemana.

“Harus berapa malam lo ketiduran di sini, Bright?” lagi dan lagi, pertanyaan yang sama keluar dari bilah bibirnya.

Ya, untuk kesekian kali, Bright mempertanyakan dirinya sendiri.

Ah, dapat! Lantas dengan cepat Bright memasang kacamatanya, dan langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas tumpukan berkas data keuangan perusahaan.

Satu mata Bright memicing begitu ia dapati nama Mike muncul di bar notifikasi ponselnya. Cepat-cepat ia klik notifikasi tersebut, ruang obrolan antara dirinya dan juga sang sahabat yang sekaligus merupakan atasannya di kantor pun terbuka.

besok kita meeting santai jam 11 ya bri, dateng ke kantor gak usah pagi2 amat. schedule besok kita cuma meeting mau ngebahas soal perjalanan bisnis ke Semarang buat minggu depan

Pesan itu masuk ke ponselnya sekitar satu jam lalu. Dua ibu jari Bright bergerak gusar di atas layar, bimbang apakah etis jika ia mengirim pesan balasan di jam segini?

Bahkan terkadang Bright masih sulit memposisikan Mike sebagai sahabat atau atasannya. Terbiasa bicara formal saat di kantor nyatanya mau nggak mau mengajak Bright untuk menumbuhkan rasa segan dan dinding tipis antara dirinya dan juga Mike.

Alhasil, Bright kembali mengunci layar ponselnya. Mengabaikan niat untuk mengirim pesan balasan, lalu beranjak dari kursi kerja yang sudah berhari-hari menggantikan tugas kasur sebagai media yang Bright gunakan untuk bermalam.

Bright berhenti di ambang pintu. Kepalanya menoleh menelisik seluruh sisi ruang kerjanya; seolah mencari sesuatu yang sudah hilang, tapi masih meninggalkan memori yang tidak pupus ditelan usia.

Ruang kerjanya kosong, dan cukup berantakan. Bright tidak punya waktu untuk sekedar leha-leha untuk merapikan ruangan tersebut, pun juga tidak kuasa untuk tinggal terlalu lama di sana.

Tapi Bright tidak pernah bisa menghindar. Selalu ada kenangan yang memanggil untuk terus diingat-ingat. Ruangan ini, ruangan kesukaan Bright.

Pun juga ruangan yang meninggalkan luka di hati pria berusia 34 tahun itu.

Bright menghela panjang nafasnya, lalu mematikan lampu yang sudah berjam-jam dibiarkan menyala. Pintu kayu berwarna putih itu kini tertutup rapat.

Bright, memilih beranjak menuju kamarnya.

. . .

“Gue juga nggak paham, Mike. Suara-suara dia dateng lagi, hampir setiap malem.”

Ting,

Tak.

Sosok yang duduk tepat di seberang Bright meletakkan cangkir berisi kopi miliknya, di atas sebuah piring kecil di atas meja. Pria yang siang itu terbalut kemeja putih polos dan diperlengkapi jas biru dongker itu mengulum bibirnya sendiri sambil menyimak kata demi kata yang terucap dari bibir sang sahabat.

Bright sendiri mengedarkan pandangannya ke arah jendela pantry, memandang acuh gedung-gedung pencakar langit di luar sana. Slurppp… satu sesap lagi mampir di cangkirnya. Bright menikmati kopi instan yang lima belas menit lalu ia buat dalam diam.

Tuk, tuk, tuk,

Mike mengetuk-ngetuk meja pantry dengan ujung jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Mungkin nggak sih kalau sebenernya lo lagi kangen?”

Bright menoleh cepat ke arah Mike, satu matanya kini memicing, “i think no? Come on, Mike, it's been seven years since we broke up.” balasnya, tidak setuju dengan perkataan Mike barusan.

Mike berdecak pelan. Pria berperawakan bak seorang model itu memutar arah bangku yang ia duduki, menghadap ke arah Bright. Kaki kanannya sengaja ia pangku di atas paha kiri, dua jarinya masih asik membangun tempo tak, tuk, tak, tuk di atas meja.

“Ya karna it's been seven years, Bright, udah tujuh tahun lo pendam semuanya sendiri. Ini semua cuma masalah waktu, dan mungkin aja ini udah saatnya buat lo meledak? Stop being denial ass won't hurt your pride, toh it doesn't mean you would go straight to meet him today.” sahut Mikeㅡ pria itu kebetulan sedikit banyak paham soal kisah cinta Bright yang bisa dibilang… gagal.

Bright menyesap kopinya lagi. Masih sambil menatap kosong jendela kaca di depannya, ia berujar, “takdir gue nggak sebagus itu kalau berkaitan sama dia, Mike. Gue bahkan nggak yakin kalau gue punya kesempatan buat ketemu lagi sama dia.”

Kali ini, giliran Mike yang menghela panjang nafasnya. Pria itu tidak berpengalaman dengan hal-hal krusial seperti ini; singkatnya, kisah cinta Mike bisa dikatakan mulus bagai jalan tol. Jadi, ia tidak begitu bisa membantu Bright atas kisah cinta gagal sahabatnya itu.

“Kapan terakhir kalian saling kontakan? Oke, i won't ask about the phone calls between you two, so kapan terakhir kali kalian saling kirim chat?”

Lagi, Bright membawa pandangannya ke arah Mike. Pria yang siang itu sudah menanggalkan jasnyaă…ˇ hanya menyisakan kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai ke batas siku, mulai menggeser bangku yang ia duduki kembali mendekati meja pantry. Bright meletakkan cangkir berisi kopi yang sedari tadi dipegangnya ke atas sebuah piring kecil, di atas meja.

Bright menggaruk kecil pelipisnya yang sebenarnya tidak gatal, “di hari gue sama dia putus.”

“The day he moved out from your apartment? Oh, pasti lo nanya-nanya ya dia pindah kemana gitu, to make sure he found a better and comfortable place, since you guys were living together.”

Tapi Bright malah menggelengkan kepalanya, “perdebatan hebat kita hari itu, that was our last interaction.” jawabnya.

Keduanya terdiam. Baik Bright maupun Mike sama-sama memilih untuk tidak langsung mengumpan ucapan. Mike masih terus menatap pilu sang sahabat, sedangkan Bright meneguk sisa kopi di cangkirnya.

“Bright,”

“Hm?”

“Gue emang sedikit banyak tau soal percintaan lo yang gagal tujuh tahun lalu, dan gue cukup mengerti kenapa sampai detik ini lo belum mau memulai step yang sama lagi. Tapi lo belum pernah ceritain soal titik duduk kenapa lo sama dia memutuskan buat berpisah, and since it happened seven years ago, and i think you're in a stable state now to answer, gue boleh tau alasan pastinya, Bright?”

Yang ditanya masih terdiam. Atensinya perlahan-lahan berpusat pada Mike. Tapi Bright belum mau meloloskan sepatah katapun.

Mike mengangguk seolah memberi pemahaman, “gue nggak maksa. Kalau lo masih belum mau ngasih tau gue, nggak apa-apa. Take things easy, i know it's hard for you personally.”

Bright menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. Kedua tangannya berpangku di atas meja.

“Gue nggak tau apakah hal ini terjadi juga sama pasangan-pasangan lain, tapi saat itu, gue dan Win sama-sama di puncak kejenuhan kita. We were both tired mentally and physically at all aspects in our lives. Pekerjaan, finansial yang saat itu belum bisa dibilang stabil, kesibukan dan prioritas kita masing-masing,”

Bright menjeda ucapannya. Mike masih menyimak, tidak mau mendesak Bright untuk langsung bercerita secara lengkap.

“Win cuma cerita aja ke gue soal keluh kesah dia saat itu but damn the stupid me at my twenty seven, gue malah menuduh dia lelah dengan gue, dengan hidup gue dan dia, dengan cara kita untuk terus jalan sama-sama. And how dumb i was that time… I put all the blame on him, i asked him to leave if he's tired.” lanjut Bright.

Lalu dengan senyum kecil yang mampir di sudut bibirnya, Bright kembali berucap, “he cried, he asked me to stop too, then he left.”

Yah, masalah jenuh akan hidup yang salah tafsir jadi masalah jenuh akan hubungan yang dijalani. Sedang sama-sama jenuh dan tidak bisa berpikir jernih, lalu mengambil keputusan yang tidak diharapkan.

Mike tidak bisa menyalahkan Bright, tidak juga bisa menyalahkan mantan kekasih sang sahabat, Win. Pernah mengenal dan berteman dengan Win sejak lulus kuliah, mau nggak mau membuat Mike ikut mempelajari bagaimana pria manis itu bertingkah laku dan bertutur kata.

Win, adalah definisi sempurna paling mutlak dalam kamus hidup Bright. Mike tahu itu. Bright akan selalu mengutamakan Win di daftar prioritas hidupnya, Mike juga tahu itu. Dan Mike paham, dalam sebuah hubungan pasti ada yang namanya titik jenuh, yang Mike tidak mengerti adalah kenapa… kenapa Bright dan Win bisa sampai pada titik gelap yang menjadi pemisah bagi keduanya?

Dan kenapa, kenapa tidak ada yang berusaha untuk mempertahankan? Apakah 5 tahun hubungan mereka tidak pernah ada nilainya?

“Terus lo gimana sekarang, Bright?”

Kedua bahu Bright terangkat acuh tak acuh, “jujur, gue nggak tau. Usaha untuk ngehindarin segala topik yang berkaitan sama dia udah gue lakuin, Mike. And i think it worked, cuma gue nggak ngerti aja kenapa belakangan ini kepingan-kepingan pertengkaran gue sama Win selalu aja dateng. I am not asking for it, so why...”

Mike mengalihkan pandangannya dari Bright menuju cangkir kopinya yang ternyata masih sisa setengah. Situasi pantry kantor yang sepiă…ˇ hanya ada mereka berdua, membuat Mike lebih leluasa dan santai untuk bertanya-tanya. Mike kembali menyesap kopinya, lalu beberapa detik kemudian ia tatap lagi Bright yang kini tampak asik memainkan cangkir kopinya.

“Lo nggak mau coba nyari Win lagi, Bright?”

Satu alis Bright bertaut, “buat apa? Ngajak balikan? Nggak deh, Mike. Udah nggak punya muka gue rasanya di depan dia.”

Mike terkekeh pelan mendengar jawaban Bright. Pria berusia 35 tahun menggeser cangkir kopinya, lalu ikut menumpukan tangan di atas meja.

“Gue nggak segila itu untuk nyuruh lo balikan sama Win. Apa ya, mungkin lebih ke reunian mantan? Karna dari apa yang lo ceritain tadi, gue rasa perasaan kalian untuk satu sama lain ya belum selesai. Win pergi dengan keadaan capek, marah dan kecewa. Nggak ada salahnya kalau lo mau make things up sama dia.” jawab Mike sekenanya, yang kurang lebih Bright setujui walau dalam hati.

Bright kembali menghela pelan nafasnya yang entah, tiba-tiba terasa jauh lebih berat.

“Gue pernah melakukan hal gila. Gue ngecek apakah nomornya masih sama dan masih aktif, terus gue coba lacak gps-nya, just to find out he's now leaving in his old condominium.”

BRAKKK

Tanpa aba-aba Mike menggebrak meja yang jadi pembatas bagi keduanya. Membuat Bright harus mengatur nafas karena terkejut.

“Bisa nggak sih, Mike, nggak usah gebrak-gebrak meja kayak gitu?”

Tapi yang ditanya malah menggeleng ribut. Mike bahkan bertepuk tangan seadanya seolah baru saja menemukan ide cemerlang.

“Nggak, nggak, kali ini gue nggak bisa santai. Bright,”

Aduh, nggak enak nih perasaan gue… “Lo datengin aja kondonya? Go tell him the truth kalau lo sebenernya masih sayang sama dia!”

Kan, aneh-aneh aja, kan?!

Bright berdecak pelan lalu menggeleng, “i would rather not showing up again after what i've done seven years ago, Mike.”

“His feelings matters. Gue nggak bisa tiba-tiba dateng ke dia dengan alasan apapun. Gue sama dia bener-bener lost contact setelah hari itu. I don't even sure if he still saved my number or not.” sambung Bright.

Kali ini, giliran Mike yang berdecak ketika Bright membubuhi tanda titik di akhir kalimatnya.

“Your feelings matters too, Bright. Oke lah, lo nggak perlu ujug-ujug ngajak dia untuk mulai semuanya dari awal lagi, at least give him the closure he deserves. Kalau memang hubungan kalian udah seharusnya selesai hari itu, then say goodbye properly. Lima tahun kalian lewatin sama-sama lho, Bright. You both were there during the lowest phase of your lives, then you guys can leave each other in a proper way.”

“Cukup, Bright. It's been seven years you're battling with your own well-being.”

Fuck, sekarang gue kepikiran banget sama omongan Mike.

Kalau gue sama Win emang nggak bisa balik kayak dulu, seenggaknya kita sama-sama layak untuk berpisah secara baik-baik, 'kan?

. . .

Dan di sinilah Bright sekarang.

Tidak, bukan di tempat yang disarankan Mike, tapi di depan sebuah bangunan besar dimana dulu mereka biasa menghabiskan sore bersama setelah pulang kuliah, juga merupakan sebuah destinasi yang paling sering mereka kunjungi ketika hari Sabtu tiba untuk merilis seluruh rasa lelah pasca bekerja di kantor selama lima hari penuh.

Sebuah supermarket yang tidak mengalami banyak perubahan sejak terakhir kali Bright menginjakkan kaki di tempat ini, delapan tahun lalu.

Masih terasa sama,

Masih ramai,

Masih punya cerita yang tak terlupa.

Bright menghirup nafas banyak-banyak sebelum menghembuskannya secara perlahan. Ditatapnya sekeliling yang dipenuhi mobil terparkir. Semua masih sama, bahkan pos satpam yang ada di sudut parkiran yang dahulu selalu jadi tempat bagi dirinya dan juga Win untuk berteduh menunggu hujan pun masih ada.

Rasanya seperti nostalgia,

Seolah baru saja pulang ke rumah.

Bright membenarkan letak kacamata hitamnya, lalu memastikan mobil mercedes-benz keluaran terbaru miliknya sudah terkunci dan terparkir dengan sempurna.

Lalu pria itu melangkah membelah lapangan parkir. Memantapkan kedua kakinya untuk berpijak menuju lobby utama.

Bright tidak tahu harus melakukan apa di dalam sana. Tidak ada tujuan pasti yang tersemat di benaknya, hanya saja… ia ingin menjemput rasa yang masih tinggal.

Rasanya untuk Win,

Yang masih bertumbuh meski tidak lagi berbalas.

“Terima kasih, silakan masuk, selamat berbelanja.” Bright menyunggingkan senyum pada seorang petugas keamanan yang baru saja selesai memeriksa tubuh dan barang bawaannya.

Bright membalas ucapan terima kasih si petugas, lalu pamit untuk masuk ke dalam supermarket.

Jika di luar supermarket tidak banyak yang berubah, maka berbeda dengan apa yang sekarang Bright lihat. Bagian dalam supermarket mengalami banyak perubahan, termasuk sudah tidak adanya lemari lemari pendingin es krim yang biasa menjemput di ambang pintu masuk.

Banyak yang berubah di sini,

Tapi tidak dengan perasaan Bright.

Bright mengambil asal sebuah troli dari sisi kiri pintu masuk. Mendorong kereta itu perlahan-lahan, melewati rak demi rak yang menyajikan perlengkapan bayi.

Hati Bright mencelos. Dulu, ia dan Win pernah punya mimpi yang sama. Mereka ingin mengadopsi seorang bayi laki-laki di panti asuhan, lalu ketiganya akan menghabiskan sore di supermarket ini dengan berbelanja keperluan bayi. Kaos kaki warna-warni dengan berbagai karakter lucu, piyama bayi berlengan panjang dan pendek yang tampak cantik seolah mengejek Bright yang tengah mendorong troli seorang diri.

Bright melewati bagian itu. Ia beranjak menuju rak-rak yang menyajikan perlengkapan mandi seperti sabun, shampoo dan sikat gigi.

Dulu, lagi lagi harus bercerita tentang apa yang pernah terjadi di masa lalu, baik Bright maupun Win sama-sama sering bertengkar hanya karena pilihan pasta gigi. Bright ingin rasa mint, sedangkan Win ingin yang rasa original. Atau perkara shampoo, Bright ingin yang memiliki aroma kuat, sedangkan Win ingin yang memiliki aroma menenangkan.

Lagi-lagi seolah sedang menjemput nostalgia.

Bright kembali melewati bagian tersebut. Troli masih kosong, Bright tidak tahu harus mengisinya dengan apa.

Lalu pria itu berbelok menuju rak-rak yang menyajikan makanan-makanan ringan. Bright berhenti di ujung, enggan masuk lebih jauh ketika kenangan manis kembali menyeruak dalam benaknya.

Dulu, Win selalu menagih jatah makan cokelatnya yang hanya berjumlah 3 kali dalam satu bulan. Dan ketika si pria manis ingin menjemput kesempatannya untuk bisa makan cokelat, maka Bright akan selalu ditarik bagai orang tua yang dipaksa anaknya untuk mengintip hasil gambar yang baru saja mereka selesaikan.

Bedanya, kala itu Win sangat senang menarik-narik ujung hoodie hijau tua yang dipakai Bright. Mengajak lelakinya itu untuk memilih cokelat mana yang boleh ia ambil. Lalu dengan sepasang mata yang berbinar, Win memohon pada Bright untuk mengambil dua bungkus. Dengan alasan klasik; pasti nanti akan dimakan berdua.

Lantas Bright bisa apa?

Menolak?

Jangan harap.

Dan di sinilah Bright sekarang. Tanpa sadar ia sudah menghentikan langkah kaki tepat di depan rak yang menyajikan banyak sekali bungkus cokelat beda merk.

Bright lagi dan lagi terdiam. Dalam hati ia bergumul, mengapa kenangan harus membawanya ke sini?

Dan kali ini, tanpa seseorang yang menemani.

Bright menghela nafas panjang, sebelum tangan kanannya terulur untuk meraih satu bungkus cokelat kesukaan mereka berdua yang ada di bagian paling depan.

Namun naas, belum sempat Bright menyentuh bungkus cokelat itu, ada tangan lain yang ternyata juga ingin mengambil bungkus cokelat yang sama.

Refleks, Bright menoleh.

Dan jantung Bright rasanya seperti berhenti berdetak.

Nafasnya seolah tercekat di ujung tenggorokan.

He's here.

Win-nya kembali, Win-nya ada di sini.

Bright terkejut bukan main. Pria itu mendadak tidak bisa mengatur laju nafasnya. Kehilangan ritme detak jantungnya. Bright malfungsi.

Tapi tidak dengan Win.

Pria manis itu memang sempat terdiam, tapi beberapa detik kemudian ada seulas senyum di wajahnya.

Wajah yang begitu Bright rindukan, wajah yang tampak lebih bahagia jauuuuuuh dari kali terakhir Bright berhadapan dengan wajah itu.

Win beralih melirik bungkus cokelat yang nyaris mereka ambil secara bersamaan.

“Hm, mau ambil cokelat yang sama, ya?”

Lantas dengan canggung Bright mengangguk. Susah payah ia mengusahakan seulas senyum untuk hadir di sudut kiri dan kanan bibirnya.

“E-eh, i-iya, Win. Kamu mau ambil? Nggak apa-apa, d-duluan aja.”

Win terkekeh sesaat, lalu mengangguk. Tangan kanannya meraih bungkus cokelat tersebut lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang ia genggam di tangan kirinya.

“Thank you, Bright.”

Damn, it's a Bright now. Not a Mas Bright anymore.

Tidak mau ambil pusing, Bright pun membalas ucapan terima kasih Win dengan sebuah anggukană…ˇ lagi.

Bright tidak lagi buka suara. Pria itu sibuk membingkai wajah manis Win dalam memorinya.

Biarkan ini jadi kenangan yang baru, pikirnya.

Sedangkan Win spontan melirik bagian tubuh belakang Bright. Seolah mencari sesuatu sampai salah satu alis pria manis itu bertaut.

Mau tidak mau, Bright ikut melirik ke arah belakang.

“Nyari apa, Win?”

Yang ditanya bergumam pelan, “kamu sendirian, Bright?”

Deg.

Satu pertanyaan. Hanya satu pertanyaan dari Win tapi rasanya sudah mampu menjungkirbalikkan hati dan perasaan Bright.

Lantas dengan canggung, Bright menggaruk tengkuknya, “iya, aku sendirian. Kamu, Win?”

“Sayang,”

DEG!!!

Seorang wanita bertubuh mungil muncul dari belakang Win. Wanita berambut panjang itu merengkuh lengan kanan Win, lalu beralih melihat ke arah Bright.

“Aku udah milih beberapa yang lucu, sih. Nanti kamu liat sendiri deh, kaos kaki baby nya lucu-lucu.” secepat kilat wanita itu kembali memusatkan tatapannya pada Win.

Win mengangguk dengan senyumnya. Sebuah usapan lembut penuh sayang Win berikan di puncak kepala wanita itu, “ya udah nanti kita pilih bareng-bareng, ya?”

“Oh iya, Cinta, ini Bright.”

Wanita yang dipanggil Cinta itu kembali melirik Bright. Sepasang mata cantiknya membulat lucu, penuh rasa ingin tahu.

Win turut mengembalikan fokusnya pada Bright, “Bright,”

Ada jeda setelah panggilan itu. Bright terdiam, masih menunggu dengan perasaan berkecamuk.

“Ini Cinta, istri aku.”

Deg.

Deg.

Deg.

Nafas yang semula terasa tercekat di tenggorokan, kini rasanya seperti baru saja ditarik oleh malaikat pencabut nyawa.

Bright lagi dan lagi malfungsi.

Kepalanya terasa berat, sangat berat.

Win… Sudah menikah?

“Dan Cinta lagi hamil, udah delapan bulan. We are having a baby boy soon, bantu doa ya, Bright. Ini anak pertama gue sama Cinta.”

It's over, Bright. It's over for you.

Tapi sebisa mungkin, Bright mengerahkan segala kemampuan beraktingnya di depan Win dan juga sang istri.

Dengan lapang dada, Bright mengulurkan tangannya, “Bright.” mantan pacarnya Win…

Cinta membalas uluran tangan Bright dengan cepat. Senyum lebar terpatri di wajah cantik wanita itu, “hey, Bright. Aku Cinta.”

Cinta, cantik. Tutur katanya, lembut. Senyumnya, manis.

Kini Bright mengerti, Win sudah membangun hidupnya yang baru. Dan Bright jelas tidak ada di sana. Tidak termasuk ke dalam masa depan yang dirancang oleh Win.

Win, sudah bahagia. Pria manis itu tidak terjebak dengan masa lalu mereka yang nyatanya belum selesai.

Sedangkan Bright, harus menerima dengan ikhlas. Bukankah kebahagiaan Win adalah prioritas baginya? Sekalipun itu dengan orang lain, sekalipun itu tanpa dirinya, Bright harus menerima.

As long as he's happy.

A happy Win, also a happy Bright.

Lalu perhatian Bright beralih pada perut Cinta yang ternyata sudah membesar. Bagaimana bisa Bright tidak menyadarinya sejak tadi?

Bright dan Cinta sama-sama menyudahi perkenalan mereka. Demi mengurangi gelagat aneh dan rasa terkejutnya, Bright mengambil tiga bungkus cokelat dengan merk yang sama lalu memasukkannya ke dalam troli.

Bright ikhlas, demi Tuhan ia ikhlas.

Tapi tidak sekarang, Bright butuh ruang dan waktu untuk bernafas.

Bright menghirup oksigen banyak-banyak, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia kembali menghadapkan tubuhnya pada Win yang masih berdiri di sana, juga dengan Cinta yang tampak bingung dengan keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka bertiga.

Lagi, dengan seulas senyum yang dipaksakan, Bright berucap, “kalau gitu, can i leave first? Still have a lot of things to do, hehehe.”

Cinta mengangguk, tapi tidak dengan Win.

Pria manis itu malah menengadahkan tangannya pada Bright, seolah meminta sesuatu.

Bright menautkan satu alisnya.

“Aku ganti nomor.”

Oh. Lalu dengan cepat Bright merogoh saku celana jeansnya, dan mengambil ponsel dari sana.

Bright menyerahkan ponsel miliknya pada Win. Lalu dalam diam, Win memasukkan nomornya di sana. Dan tak butuh waktu lama, ponsel Bright sudah kembali kepada sang empunya.

“Aku sama Cinta juga masih mau lanjut belanja lagi. Talk to you later, Bright.”

Yeah, talk to you later too, Win…

. . .

Terhitung sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan perdana keduanya setelah tujuh tahun berlalu. Dan selama satu bulan itu, Bright beberapa kali menangis dalam diam. Menangisi kisahnya dengan Win yang ternyata sudah tak punya kesempatan sama sekali.

Hanya beberapa kali, karena setelah itu Bright berusaha keras untuk bangkit. Belajar menerima, belajar mengikhlaskan, belajar untuk tidak lagi berharap.

Dan terhitung sudah beberapa kali keduanya bertukar pesan. Bukan pesan-pesan penuh kalimat cinta yang dahulu selalu mereka kirimkan ke satu sama lain, hanya pesan berisi kata-kata seadanya.

Hanya bertukar kabar.

Hanya bertanya sedang sibuk apa,

Atau, apakah Cinta sedang menginginkan sesuatu? Karena Bright dengan tulus akan membantu.

Dan hari ini, tepat di tanggal 21 Februari, Win mengajak Bright untuk bertemu.

Di sebuah taman terbuka yang sudah banyak mengalami modifikasi. Tapi taman ini, adalah tempat dimana Bright pertama kali meminta Win untuk jadi kekasihnya.

Dan di sinilah mereka sekarang.

Duduk berdampingan di sebuah bangku kayu di tepi taman. Semilir angin sore malu-malu menyapa kedua insan yang dulu pernah saling menyimpan rasa.

Di situasi yang tak lagi sama, di halaman kisah yang kini saling membelakangi.

Bukan lagi untuk menjemput nostalgia,

Tapi untuk menutup lembaran yang tak lagi bisa dibalik sepuasnya.

“So yes, we decided to choose this month. Karna Cinta maunya anak pertama kita, ulang tahunnya deketan sama Papinya.”*

21 Februari kali ini, mereka duduk berdampingan, tanpa rasa.

Bright masih diam. Win sudah berkali-kali memulai percakapan, tapi Bright tetap diam.

Ada banyak kosa kata yang mengepung dalam otaknya. Bright susah payah menyusun, kalimat yang bagaimana yang pantas untuk ia ucapkan pada Win?

until this one sentence coming,

“Are you happy now, Win?”

Kali ini, Win yang terdiam. Pandangannya terpusat ke depan.

Tidak lama ia mengangguk, “yes, i am. After years i had to face my life all alone, i finally found someone who can love and understand me well, Bright. Dan aku sangat berterima kasih pada Tuhan untuk itu.”

He's happy now, Bright. So youă…ˇ

“You should be happy too, Bright.”

There, Win said it all.

Bright mengangguk pelan, pandangannya ikut mengarah ke depan.

“Tentu, i will try, thanks, Win.”

“Kalau kamu belum bisa bahagia karna aku, sekarang aku tekankan ke kamu, Bright, aku ikhlas. Aku udah maafin kamu, aku udah terima gagalnya hubungan kita tujuh tahun lalu dan aku bahagia dengan hidupku sekarang, and so do you, please be happy, too.”

Lagi, Bright mengangguk, “aku akan coba pelan-pelan. Seenggaknya sekarang aku bisa tenang, kamu hidup dengan baik.”

“Yes, i am. Aku juga mau minta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dulu pernah aku lakukan. Aku minta maaf karna aku tidak ada usaha untuk menyelamatkan hubungan kita saat itu, aku bener-bener minta maaf.” sahut Win.

Bright terdiam, ia seolah sudah habis tenaga untuk berkata-kata.

“Now can we close our page, Bright?” tanya Win, “kita hidup masing-masing, aku dengan hidupku yang sekarang, dan kamu dengan hidupmu yang sekarang.”

“I wish you a happy life and love, Mas.”

Bright mengangguk untuk yang terakhir kali. Kini ia bawa seluruh atensinya pada Win.

“Maafin aku atas kesalahan-kesalahan ku yang terdahulu, Win. I wish you happiness and all the good things, for your little family too,”

“So i am gonna be an uncle soon, yes?”

Win mengangguk dengan senyuman, “Uncle Bright,”

Keduanya tertawa, hambar.

Bright kembali terdiam, sampai akhirnya ia tiba di kalimat terakhirnya, “happy birthday, Win.”

Win baru saja akan menjawab, tapi dering ponsel di saku celana kerjanya membuat Win mau tak mau menggantungkan ucapan Bright dan mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari ibu mertuanya.

“Cinta dibawa ke rumah sakit, Win!”

So it's the time where their same page is gonna be closed,

It's the time, Cinta will give a birth,

It's the time, their last goodbye will be spoken…

“Aku harus ke rumah sakit sekarang, Cinta mau ngelahirin...”

Suaranya gugup, penuh rasa takut.

Lalu Bright mempersilakan, memberi jalan agar Win bisa segera pergi.

Meninggalkan dirinya,

Cintanya,

Segalanya.

It's really the end of them,

The last goodbye of Bright and Win.

. . .

written by: JEYI. this is work of fiction and commissioned by a kind-hearted commissioner.