(Bagian dari Hello, Kitty! Universe)
Ketika rasa bingung, aneh, penasaran dan excited bercampur jadi satu.
mengwinnie!universe
tags: implicit sex, first time!sex, blow-job, cum in mouth, hand-job, a little bit praise!kink.
total words: 8.204 words.
“Kalau dari yang gue baca-baca di internet ya semacam... manusia hewan, eh, gimana sih nyebutnya? Bener nggak tuh manusia hewan? Siluman?”
Mengambil nafas sebentar di sela rasa bingung dan penasaran yang membuncah, seseorang di sisi lain ruangan menyahut, “iya bener, manusia setengah hewan gitu. Hewan, tapi manusia.” dia adalah seorang pemuda berperawakan tangguh bak seorang atlet tersohor, cita-citanya dulu katanya adalah seorang penyanyi atau pemusik terkenal, tapi nasib berkata lain sehingga ia kali ini harus berakhir duduk di bangku karyawan sebuah perusahaan swasta yang cukup terkenal di kawasan Sudirman.
Seorang pemuda lain, dengan balutan busana formală…ˇ celana bahan berwarna hitam dan kemeja panjang biru langit yang sengaja ia gulung sampai ke batas siku, yang kebetulan sudah duduk manis di sebuah sofa empuk di sudut ruangan sejak dua jam lalu hanya bisa tertawa pelan.
Diliriknya sosok sang sahabat yang tak henti-hentinya bergumam sambil memainkan ponselnya dari balik meja kerja, terdengar bingung namun juga penasaran.
“Just make it simple, mereka itu hybrid.”
Salah satu pemuda yang ada di ruangan itu meletakkan ponselnya dengan cepat. Ia membalas tatapan Off Jumpolă…ˇ kakak sepupunya, yang juga merangkap menjadi sahabat sekaligus rekan kerjanya di kantor, dengan sejuta tanda tanya penuh keraguan yang tersirat di sepasang bola matanya.
Jumpol terkekeh, “nggak usah lo ambil pusing begitu, kali? Tinggal lo urus, lo kasih makan secukupnya, lo mandiin, loㅡ”
“Mandiin gimana sih, bangsat?! Dia manusia dan kayaknya dia seumuran sama gue. And that's mean, dia udah gede? Yang bener aja lo, ya kali gue harus mandiin dia?”
Lagi, Jumpol dibuat terkekeh oleh jawaban adik sepupunya itu. Melihat ekspresi tak puas di wajah sang lawan bicara, Jumpol pun beralih mengotak-atik ponselnya, tampak mencari sesuatu sebelum ia beranjak mendekat dan berakhir duduk di sudut meja kerja sang adik sepupu yang kala itu terlihat begitu tampan dengan setelan formală…ˇ celana bahan berwarna hitam, yang disempurnakan dengan kemeja biru dongker yang juga digulung sampai ke batas siku itu.
“Bright, you never heard of hybrid, yes or yes?”
Yang dipanggil dengan nama Bright pun menggeleng ribut, tanda tak terima dengan ucapan Jumpol barusan.
“Pernah!”
“Dimana?”
Dengan gerakan cepat, Bright mengambil kembali ponselnya dan memperlihatkan isi ponselnya pada Jumpol secara gamblang, “Di sini. Tuh baca, ada penjelasan tentang hybrid, kan?!” balasnya, merasa menang selama beberapa detik karena Jumpol tak kunjung membalas ucapannya.
Selang satu menit kemudian, tawa renyah kembali menggelar di ruangan tersebut. Bright, dengan hembusan kasar nafasnya, kembali meletakkan ponsel miliknya di atas meja dengan sedikit bantingan.
Jumpol berusaha meredakan tawanya, lalu setelah itu ia perbaiki posisi duduknya agar menghadap langsung ke arah Bright yang tingkat keberuntungannya jauh berada di atasă…ˇ jika dibandingkan dengan dirinya, karena posisi Bright di kantor, well, adalah atasan Jumpol.
“Oke, oke, sekarang kita ngobrol serius.”
Ngana pikir gue daritadi lagi stand up comedy?!! kata Bright sedikit ngegas, di dalam hati.
“Lo dapet si Ninieㅡ sorry, siapa namanya?”
“Namanya Metawin, tapi gue lebih seneng manggil dia dengan panggilan Winnie.”
Ketukan keras yang lebih cocok disebut sebagai gebrakan, menyapa permukaan meja yang menjadi batas bagi kedua pemuda mapan itu, “Oke, Winnie,”
Bright menghela nafas cepat pasca dibuat kaget, dan kalau tidak ingat Jumpol berusia tiga tahun lebih tua darinya, mungkin sudah Bright dorong pemuda itu sampai jatuh ke lantai.
Satu kali lagi Jumpol terkekeh, “lo dapet si Win darimana? Karna sepengalaman gue, orang-orang yang melihara hybrid ya rata-rata karna emang mereka mau. Oh, bukan. Karna emang mereka ini, mhh, how to explain it,” Jumpol menjeda sebentar ucapannya, tampak menimbang-nimbang kosa kata yang tepat untuk mendeskripsikan maksud ucapannya sejelas mungkin.
“...Well, kind of needs?” sambung Jumpol, yang justru membuat Bright menautkan salah satu alisnya. Bingung.
“How can having a hybrid be the part of something people needs to do in their life, kayak, ayolah, di dunia ini ada yang namanya kucing beneran, anjing beneran, kelinci beneran, beruang beneran, ya itu sih kalau emang mereka berani melihara beruang yeee, terus harimau beneranㅡ eh anjir, serem juga melihara harimau,”
“ㅡ uhuk,”
Bright pun memberi tanda titik di ujung kalimatnya meskipun belum selesai. Jumpol terbatuk kecil tiba-tiba dan Bright kembali dibuat clueless dengan salah satu alis yang memicing.
“Bro you okay?”
Jumpol menganggukă…ˇ santai, gue nggak apa-apa. Salah satu kakinya bergerak berusaha menggapai lantai, lalu tubuhnya yang tak bisa dibilang kecil itu beranjak turun dari meja dan mengambil posisi duduk tepat di bangku yang membuatnya kini duduk berhadapan dengan Bright, yang masih memasang ekspresi bingung di wajah.
“Kaget aja,”
Bright menyandarkan punggung tegaknya di sandaran bangku, “gue nggak ngagetin lo???” tanya Bright.
“Kaget karna ternyata situs yang lo baca ngebahas juga soal hybrid harimau. Gue kira situs-situs online kayak gitu cuma ngebahas hybrid yang umum, semacam anjing, kucing atau paling yang agak jarang jadi inceran kebanyakan orang ya… kelinci.”
Jawaban Jumpol kembali menjadi magnet yang berhasil membuat tubuh Bright bergerak maju, sedikit menunduk mendekat pada sisi sang kakak sepupu.
Sepasang matanya membulat tak percaya, kedua alisnya saling bertaut. “Hybrid harimau beneran ada?”
Dengan mantap, Jumpol mengangguk, “yep, ada. Hybrid serigala juga ada.”
“Anjir, yang bener aja lo,” dengan posisi tubuh yang kembali bersandar, kedua mata yang kembali berkedip tak percaya, belah bibir yang terbuka sedikit lebar, membuat Bright benar-benar terlihat seperti anak kecil saat ini.
Lagi dan lagi, Jumpol tertawa kecil. “Lo clueless banget cuy, soal beginian. Jujur aja deh, beli dimana?” tanya Jumpol sambil mengembalikan arah pembicaraan mereka pada alasan darimana Bright mendapatkan sosok Winnie.
Bright langsung jaw drops seketika, “sumpah, bukan gue yang beli. Gue nggak tau kenapa tiba-tiba bisa ada dia di apartemen gue.” balas Bright, dan kali ini, Jumpol berhasil dibuat kaget oleh jawaban adik sepupunya itu.
“Oke, jadi begini ceritanya, lo inget seminggu lalu kita ada rapat gede-gedean sama pak direktur?”
Pikiran Jumpol melambung pada situasi seminggu lalu dimana perusahaan tempat mereka bekerja mengadakan rapat besar-besaran dengan direktur utama dalam rangka evaluasi sistem kerja. Rapat yang memakan waktu enam jam itu cukup membuat dirinya menahan lapar karena kebetulan tak sempat sarapan sebelum berangkat ke kantor.
Jumpol mengangguk, ia ingat momen tersebut, “terus?”
“Selesai rapat, gue balik ke ruangan dan lo cabut ke ratu plaza buat ngisi perut, kita nggak sengaja papasan pas mau masuk lift.”
Lagi, Jumpol mengangguk.
“Gue langsung cek hp pas gue baru aja masuk ruangan. Dan nggak lama gue duduk di sini, hp gue geter. Ada chat dari June.”
Bright kembali mengambil ponselnya. Tampak memasukan passcode terlebih dulu, lalu ibu jarinya mulai bergerak lincah di atas layar datar ponsel canggihnya seraya mencari sesuatu.
“Nih, lo baca sendiri.”
Jumpol memajukan tubuhnya sedikit sampai ia bisa membaca isi dari chat yang dikirim oleh Juneă…ˇ adik Bright satu-satunya.
Lalu salah satu alis Jumpol memicing, “bisa nyasar gitu ya...” sambil mengusap pangkal hidungnya yang tidak gatal, sambil kembali memposisikan tubuhnya untuk duduk bersandar di bangku.
Bright mengangguk pelan, “kata June sih, si Win ini udah duduk meringkuk di samping pintu unit gue nggak tau dari jam berapa. Belum makan, kusut banget mukanya dan dia cuma bawa selimut ukuran sedang plua satu pakaian yang dia pakai hari itu.”
“June udah tanya, kenapa si Win Win itu bisa nyasar ke unit lo?”
Lagi dan lagi, Bright mengangguk, “kayaknya dia tuh pesenan orang lain, tapi nggak ngerti juga bisa nyampenya ke unit gue. Dan udah semingguan ini nggak ada yang nyariin. Jadi, dia pikir gue emang owner-nya.” balas Bright, yang hanya dibalas anggukan pelan dari Jumpol.
Jumpol tampak ingin menyampaikan sesuatu, tapi ia tak tau harus mulai darimana. Ia hanya tidak ingin, penjelasan darinya semakin membuat sang adik sepupu bingung dan berujung meminta bantuan padanya untuk mencarikan owner baru bagi hybrid kucing tersebut.
“Mmhh, Bright,”
Dua pasang mata berbeda warna netra itu kembali bertukar pandang, “tapi sejauh ini, lo sendiri gimㅡ”
Drrrrttt
“Bentar, Bang,”
Jumpol mengangguk, membiarkan Bright meraih kembali ponselnya dan mulai sibuk dengan benda pipih nan canggih miliknya itu.
Satu mata Jumpol memicing, ketika Bright tersenyum kecil dengan rona merah yang kini hinggap di kedua pipinya.
“Lanjut, Bang, sampai mana tadi?”
“Siapa?” bukannya membalas pertanyaan Bright dengan jawaban yang semestinya, Jumpol malah balik bertanya perihal siapa atau apa yang baru saja membuat Bright tersipu malu.
Pemuda berkemeja biru dongker itu berdehem, membalas tatapan penasaran Jumpol dalam diam.
“Bukan siapa-siapa, Bang.”
“Bukan siapa-siapa tapi bikin lo senyum-senyum sendiri, hm? Nggak mungkin si June ini mah, kalau itu anak ngechat, yang ada lo malah darah tinggi mendadak.” jawab Jumpol, yang dibalas Bright dengan seuntai senyum tipis.
Bright menyimpan kembali ponselnya ke kantong celana, helaan nafas cepat lolos dari belah bibirnya sesaat sebelum ia menjawab ucapan Jumpol barusan.
“Kucing manis gue. Si Win.”
Mendengar nama Win alias hybrid kucing yang secara tidak sengaja kini menjadi tanggungan hidup Bright, ternyata mampu membuat Jumpol mengulas senyum lebar.
“Bisa akur juga sama Win, hm?”
Bright terkekeh pelan, “ya gitu deh, Bang. Nggak aneh-aneh sih anaknya, tapi kadang nyebelin aja. Lucu.”
“Lucu?”
Bright memberikan anggukan atas pertanyaan Jumpol, tidak mau menampik atau mengeles seperti biasanya, “nempel banget sama gue. Tapi alergi sama June. Berantem melulu kerjaannya mereka berdua. Tuh barusan, abis ngadu anaknya,” ujar Bright dengan senyum lebar yang singgah di wajahnya, yang entah sadar atau tidak, Bright terlihat jauh lebih rileks sesaat setelah ia bertukar pesan dengan si hybrid manis.
“Ngadu gimana?”
“Ya, ngadu. Gimana sih, kayak lo waktu masih SD terus baru beli penghapus gambar naruto eh penghapusnya malah diambil sama temen lo, bakalan ngadu kan lo ke nyokap?”
Keduanya tertawa, perumpamaannya... Kenapa harus penghapus gambar naruto, sih?!
Tawa Jumpol perlahan namun pasti mulai mereda, “ngadu tentang apa kucing lo?”
“Katanya pas dia lagi enak-enak nonton spongebob di ruang tengah, si June dateng. Baru balik sekolah kayaknya, sih. Terus dia dipakein topi-topi alay karakter gitu, aduh nggak paham gue namanya apa, tapi kata dia sih yang gambarnya pokemon gitu. Terus katanya, nggak boleh dilepas, kalo dilepas nanti dia nggak dibagi es krim stroberi sama June, dia suka banget makanan atau minuman apa aja yang rasa stroberi, ya udah ngambek anaknya, ngunci diri di kamar.”
Bright membubuhi tanda titik di akhir kalimat yang ia ucapkan, masih dengan senyum lebar yang terukir di wajahnya, membuat Jumpol mau tak mau ikut tersenyum seolah dapat merasakan pancaran bahagia yang dirasakan Bright.
“Kayak punya adek lagi ya, Bright?”
Bright mengangguk cepat, lalu menggeleng pelan setelahnya. Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum mengajak Jumpol bicara perihal hybrid jauh lebih serius dari sebelumnya.
“Gue masih adaptasi banget sama eksistensi dia sebenernya. Kayak, ya, buat gue aneh aja gitu tiba-tiba kedatengan tamu nggak diundang dan mau nggak mau, ikhlas nggak ikhlas gue juga harus nanggung segala kebutuhan hidup dia. Syukur-syukur belum banyak maunya ini Bang, nggak tau lagi deh gue kalau nanti-nanti udah minta ini itu,”
Bright menjeda sesaat ucapannya, “dan gue masih berusaha nerima sama kondisi dia, i mean, gue nggak familiar sama hal-hal kayak gini dan gue sempet ngerasa dia lagi bikin konten prank buat gue, nyamar jadi manusia setengah hewan biar gue kaget but it turned out to the fact, that yes… he is a real hybrid, tapi gue udah mulai sedikit terbiasa, sih. Cuma suka nggak sengaja kebangun tengah malem karna dia tidurnya agak berisik, jadi kuping kucingnya kadang suka nggak sengaja kena muka gue.”
Jumpol tampak mengangguk-angguk ketika Bright mulai terbuka bercerita tentang hybrid yang nyasar di unit apartemennya itu.
Pemuda berkemeja biru langit itu mengubah posisi duduknya. Ia membawa tubuhnya yang tak bisa dibilang kecil itu untuk bersandar pada meja kerja Bright. Diletakkannya kedua tangan di sana, untuk dijadikan penopang bagi wajah yang kini berjarak tak terlalu jauh dari si adik sepupu.
“Mereka itu spesial, they can be human and animal at the same time, dan lo harus bersyukur karna dikasih kesempatan untuk seenggaknya punya salah satu dari mereka.”
Salah satu alis Bright bertaut, “mereka?”
Jumpol mengangguk cepat, “exactly, gimana ya cara jelasinnya, kalau ibarat vampir, mereka itu juga punya klan. Kayak yang lo baca di situs online tadi. Hybrid kucing, hybrid anjing, hybrid kelinci, hybrid beruang, hybrid harimau, hybrid serigala dan lain-lain, itu klan mereka, hm, lebih enak disebut ras kali, ya. Eksistensi mereka banyak di dunia ini, tapi nggak begitu terekspos aja karna mungkin jatuhnya ini mereka bisa dibilang ya tetep, hewan peliharaan.”
“Gue nggak paham konsep mereka sebenernya, Bang. Mereka kan manusia juga, sama kayak kita, kalau dipelihara mah bisa kena pasal eksploitasi manusia, dong?”
Jumpol menghirup oksigen banyak-banyak sebelum menghembuskannya sepelan mungkin, sambil berusaha menyusun kata demi kata untuk meneruskan penjelasannya agar bisa tersampaikan pada Bright dengan baik, sehingga pemuda itu bisa paham konsep hybrid alias human animals yang sebenarnya.
“Nggak gitu, Bright. Mereka itu human animals yang cuma punya beberapa persen kesamaan sama kita, nggak semuanya sama, enggak. Wujud mereka emang sama kayak kita, cuma bedanya mereka punya telinga sebagai identitas diri mereka berasal dari ras yang mana, dan beberapa hybrid juga ada yang punya ekor yang secara nggak langsung nunjukin kalau mereka itu animals. Gue nggak begitu paham-paham banget soal konsep hidup hybrid karna sumber informasi tentang mereka juga nggak begitu banyak, cuma yang pasti, mereka itu ada ya untuk ngasih kepuasan buat hidup tuannya. Singkatnya, they are our pets, lo bisa lakuin apa aja ke mereka and they would gladly thanking you at the end, sampai di sini paham, nggak?”
Jari-jari Bright bergerak menciptakan ketukan tak beraturan di atas meja. Penjelasan Jumpol cukup membuatnya sedikit banyak mulai memahami maksud dari eksistensi hybrid itu sendiri. Tapi yang jadi permasalahan adalah, bagaimana bisa seorang manusia diperlakukan sama bak hewan peliharaan?
Bright menarik nafas panjang selama beberapa detik. Ekspresi wajahnya sangat menunjukkan kalau ia amat sangat tertarik dengan pembahasan ini. Terlebih, tampaknya Jumpol mengetahui banyak hal tentang dunia hybrid, yang mana Bright sendiri agak sedikit kaget karena sepupunya itu familiar dengan hal-hal semacam itu.
“Lo banyak tau soal beginian ya, Bang?”
Oke, skakmat. Sepertinya lebih baik ia jujur pada adik sepupunya ini.
Jumpol kembali membawa punggungnya untuk bersandar di sandaran bangku, masih dengan sepasang matanya yang tak putus kontak dengan sorot mata Bright.
“Oke, so i do have one.”
Bright membulatkan matanya, “the fuck, bro?!!”
“Iya, gue punya satu. Udah dua tahunan sama gue, ras-nya felidae, hybrid harimau.” jawab Jumpol, santai.
“PANTESAN LO BATUK-BATUK PAS GUE NYEBUT HYBRID HARIMAU.”
Tak ada hal lain yang bisa Jumpol lakukan selain tersenyum kecil. Sejujurnya, ia ragu untuk jujur pada Bright. Tapi berhubungan adik sepupunya itu lebih dulu terbuka tentang hybrid yang (terpaksa) diasuhnya, Jumpol pun akhirnya jujur juga.
“Ya, tadi otak lo belum nyampe sama konsep hybrid. Gue nggak berani jujur jadinya.”
Bright mendengus, “bold of you to assume i GOT it already,”
“Emangnya belum ngerti juga?!!”
Berdecak sebentar, lalu Bright kembali menjawab, “udah. Cuma nggak nyangka aja kalau lo juga punya, pantesan ya lo banyak tau soal hybrid.”
“Gue juga tau dari temen gue, sih. Panjang lah ceritanya, pokoknya gue dibantu temen gue ini untuk adopsi langsung hybrid yang gue mau. Dan ya, sampai akhirnya ada Gunnie di rumah gue.” balas Jumpol, seketika teringat dengan tingkah konyol Gunnie yang selalu mewarnai hari-harinya.
“Oh iya, ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau perihal hybrid ke lo. Mungkin ini nggak ada di situs online yang lo baca, mungkin juga lo nya aja yang nggak ngeh siapa tau udah dibahas di situs itu,” Jumpol meneruskan ucapannya dan kembali membuat seluruh atensi Bright kini berpusat padanya.
“They have their own estrus period,”
Salah satu mata Bright memicing sempurna, “estrus?”
Jumpol mengangguk mantap, “susah kalau dijelasin pakai bahasa yang sopan, intinya, masa estrus itu adalah masa dimana kaum mereka butuh berkembang biak, mmh, bahasa gampangnya ya butuh diberi kepuasan secara seksual.”
Bright langsung jaw drops lagi. Masalahnya, ia belum pernah mendengar fakta yang satu itu, “kalau lagi estrus, harus digimanain?” tanya Bright, yangㅡ asli, mulai menjadikan pembahasan soal hybrid ini sebagai beban pikiran.
“Gue harus cariin hybrid kucing yang lain? Biar mereka bisa, ya, lo tau lah ya maksud gue,” sambung Bright, dan Jumpol tertawa lebar setelahnya.
“Aduh... lo bloon banget, asli, kasian kucing lo bisa nyasarnya ke tempat lo yang nggak tau apa-apa soal beginian sama sekali.”
Bright berdecak kesal, “nggak usah membuat diri gue semakin keliatan goblok deh, Off Jumpol. Kasih tau aja, gue harus gimana kalau Win lagi masa estrus?” tanya Bright.
Jumpol berusaha meredakan sisa-sisa tawa lebarnya, “go ask him.”
Satu mata Bright memicing, “ya, gue harus nanya apa???”
“Tanya dia butuh apa kalau lagi di masa estrus. Dan satu hal yang pasti, lo harus turutin permintaan dia. Biasanya, hybrid kalau lagi masa estrus tapi kemauannya nggak dipenuhin, mereka bisa sakit. Sakit yang sakit banget, apalagi kalau mereka dateng ke tempat owner barunya tanpa dibekelin obat-obatan. No one can help them other than their own owner.”
Jumpol sudah mengakhiri ucapannya, namun tampaknya Bright belum juga menemukan titik terang. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang kurang puas, juga kerutan halus di dahi yang menjadi pertanda bahwa tanda tanya besar masih bersemayam di balik wajah penuh kebingungan itu.
Jumpol berdiri dari duduknya, hendak beranjak namun menyempatkan diri untuk menjatuhkan beberapa kali tepukan di bahu kiri adik sepupunya itu.
“Lo baru seminggu sama dia. Masih ada banyak waktu buat lo belajar kenal dan paham tentang hybrid kucing lo itu. Lama-lama juga lo ngerti dan terbiasa. Feel free to ask me, kalau emang lo butuh bantuan soal hybrid. Atau, kalau lo mau ketemu hybrid yang udah terlatih kayak Gunnie, lo bisa dateng ke kondo gue.”
Jumpol memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan. Dilemparkannya seulas senyum hangat pada Bright, sebelum ia beranjak meninggalkan ruangan kerja sang adik sepupu karena memang waktu sudah memasuki pukul tujuh malam.
“Gue balik duluan, ya? Drive home safely, dude.”
Dan tinggal lah Bright seorang diri bersama ribuan tanda tanya yang masih mengelilingi pikirannya.
Drrrrrtt
Atensi Bright kini beralih pada ponselnya yang bergetar beberapa kali dari dalam saku celana. Bright berusaha untuk meraihnya, dan salah satu alisnya kembali memicing untuk kesekian kalinya hari ini, ketika ia dapati kontak kucing manisnya muncul di bar notifikasi.
from: kucing siapa?
Mmmmaaaas bie kapan pulang? Badan Winnie demam…
Lantas tanpa berpikir panjang, Bright langsung beranjak dari kursi yang sejak tadi ia duduki dan mulai melangkah meninggalkan ruang kerja setelah ia pastikan semua barang-barang pribadinya sudah masuk ke dalam tas ransel hitam yang kini tersampir di bahu kirinya.
.
.
.
Ceklek,
Seusai berhasil memasukkan kode rahasia unit apartemennya, Bright langsung bergegas masuk ke dalam untuk mencari keberadaan kucing manisnya.
Gelap. Hanya satu kata itu yang dapat mendeskripsikan keadaan unit ketika Bright tiba di sana.
Biasanya, di hari-hari kemarin, kepulangan Bright akan disambut dengan sapaan riang Win yang berlari bak anak kecil dari sofa ruang tengah menuju pintu utama. Kucing manisnya itu sama sekali tidak menyesal meninggalkan serial drama korea atau film kartun yang sedang ia tonton hanya untuk melompat ke punggung tegap Bright sebagai sambutan selamat datang.
Namun kali ini, suasana tampak berbeda. Terlebih, Bright sama sekali tak bisa menghubungi Win sesaat setelah ia membalas pesan singkat kucingnya itu dengan berkata bahwa ia sudah dalam perjalanan pulang.
Bright menekan saklar yang ada di sisi dinding sebelah kiri, membuat seisi unitnya kini mulai diterangi oleh cahaya lampu.
“Winnie,” panggil Bright sedikit keras, sambil pemuda itu melepas sepatu pantofel dan juga kaos kaki hitamnya, lalu ia edarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Siapa tahu, kucing manisnya itu akan muncul tiba-tiba dengan senyum lebar yang mampu membuat Bright ikut tersenyum.
Tapi sudah beberapa menit berlalu dan tetap tidak ada tanda-tanda Win di sana. Bahkan sampai pada panggilan ketiga pun, hanya keheningan unit yang menjadi jawaban.
Bright memutuskan untuk langsung melangkah menuju kamar mereka. Ya, mereka. Karena sejak hari pertama Win tinggal di sini, kucing manis itu langsung meminta untuk tidur di satu tempat yang sama dengan tuannya.
“Dulu, selalu seperti itu. Winnie selalu tidur bersama M-master.”
Bahkan sampai detik ini pun, Bright belum mengerti maksud dari panggilan 'Master' yang diucapkan Win tempo hari.
Bright kini sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mereka. Telapak tangannya bahkan sudah mendarat pada daun pintu, bersiap untuk menariknya turun ke bawah, namun sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya berhasil membuat Bright menghentikan aksinya.
“Winnie,”
Pelukan di pinggangnya jadi semakin kuat, “uhmm???”
“Winnie demam?”
Win tidak langsung menjawab. Kucing manisnya itu kini sibuk mengusak-ngusak wajahnya di punggung lebar sang tuan.
“Winnie,”
“Tidak, mas Bie.”
Ah, akhirnya kucing manis itu menjawab. Win menghirup dalam aroma tubuh Bright selama beberapa detik, sebelum ia melepas pelukannya dan menunggu sang tuan untuk berbalik menghadap ke arahnya.
“Tapi tadi Winnie bilang, Winnie demam?” tanya Bright, dengan satu tangan yang kini bergerak memberikan usapan lembut di pipi kanan Win.
Win menggeleng pelan, “Winnie sudah minum obat.”
“Jadi benar, Winnie tadi demam?”
Tidak berniat untuk kembali mengelak, Win pun mengangguk, “tidak lama, obatnya bekerja cepat.”
Win meraih tangan Bright yang tengah mengusap pipinya, lalu ia hadiahkan sebuah kecupan singkat di telapak tangan itu.
“Mas Bie wangi sekali… Winnie suka.”
Salah satu mata Bright memicing. Ia menatap Win dalam-dalam, mencari keanehan yang tampak pada kucing manisnya itu, karena entahlah apakah ini hanya perasaan Bright atauă…ˇ Win memang benar-benar bersikap sedikit aneh dan manja malam ini.
Tak berhasil menemukan keanehan lain, Bright pun menghela nafas pelan sebelum kembali meraih tangan Win untuk digenggam.
“Winnie sudah makan?”
Win mengangguk lucu, dengan sepasang mata bulatnya yang berbinar. “Sudaaah! Makan es krim stroberi punya June sebelum June pamit pulang ke rumah.” jawab Win penuh antusias.
Bright terkekeh kecil, Win benar-benar terlihat menggemaskan kali ini.
“Winnie makan berapa banyak cup es krim tadi?”
Kucing manisnya itu tampak berpikir. Sepasang bola mata berwarna coklat itu bergerak ke atas, berusaha mengingat-ingat berapa banyak cup es krim yang ia habiskan hari ini bersama June, adik perempuan dari Bright.
Seolah sudah ingat, Win pun menunjukkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya sebagai simbol dari jumlah cup es krim yang ia habiskan hari ini, “Winnie makan tujuh cup es krim!!!” lagi, Win menjawab dengan seulas senyum lebarnya.
Bright terkekeh pelan. Diletakkannya tas ransel hitam yang sedari tadi masih tersampir di bahu kirinya, di sisi nakas yang ada di dekatnya. Lalu, ia meraih kedua tangan Win dan membantu kucing manisnya itu untuk membentuk angka 7 dengan lima jari tangan kiri dan 2 jari tangan kanan yang dibiarkan berdiri.
Win sendiri tampak bingung meskipun matanya turut menatap kedua tangannya yang ada di depan wajah Bright secara bergantian.
“Kalau tujuh, berarti Winnie butuh lima jari di satu tangan, dan dua jari di tangan yang lain. Coba sekarang Winnie hitung dari tangan yang punya lebih banyak jari berdiri, oke?”
Win dengan bibir bawahnya yang mencebik lucu kembali menatap kedua tangannya secara bergantian. Ia tampak bingung, tangan yang mana yang memiliki lebih banyak jari berdiri.
Bright tidak bisa menahan tawanya, raut bingung yang tergambar jelas di wajah Win benar-benar membuat kucing manisnya itu terlihat seperti seorang anak kelas 2 SD yang tengah diinterogasi oleh orang tuanya.
“Bingung?” tanya Bright.
Dan dengan polos, Win mengangguk.
“Mau mas bantu atau Winnie coba sendiri dulu?”
Win beralih menatap Bright. Kedua matanya berkedip beberapa kali, “mas Bie mau bantu Winnie?” ucap Win.
Kemudian Bright mengangguk dan kembali menyentuh kedua tangan Win. “Coba Winnie lihat, dari kedua tangan Winnie, yang mana menurut Winnie terlihat lebih penuh?”
Bright mengangkat tangan kiri Win, dan Win mulai terfokus pada tangan kirinya. “Yang ini dengan lima jari atauㅡ”
Lalu Bright mengangkat tangan kanan Win, “yang ini dengan dua jari?”
Win tampak terdiam. Sepasang matanya masih terfokus pada tangan kanannya, lalu tanpa bantuan Bright ia mengangkat tangan kirinya, turut memperhatikan kelima jarinya yang berdiri di sana.
Pada detik berikutnya ia beralih pada tangan kanan, dan beberapa detik setelahnya kembali menatap pada tangan kirinya.
Dua menit sudah berlalu, lalu dengan takut-takut Win mulai membawa seluruh atensinya untuk bertukar tatap dengan Bright yang ternyata sedang menatap ke arahnya.
“Winnie sudah boleh jawab belum, mas Bie?”
Bright tersenyum, lalu mengangguk.
Dengan tingkat keyakinan yang tak sampai pada persentase ke 50, Win pun mengangkat tangan kirinya, kelopak matanya kembali berkedip beberapa kali.
“Tangan kiri dengan lima jari?” tanya Win.
“Betul!!! Sekarang coba angkat kedua tangan Winnie,” ucap Bright lembut, dan Win pun menurut dengan anggukan sebagai jawaban, juga sambil mengangkat kedua tangannya sesuai perintah Bright.
Sorot mata bulat Win sama sekali tak lepas dari kedua tangannya, dalam diam pun ia menunggu perintah selanjutnya dari Bright.
“Sekarang Winnie hitung, dari kedua tangan ini, ada berapa banyak jari yang berdiri?”
Win pun mulai memusatkan pandangannya pada tangan kiri dengan lima jari yang berdiri di sana. Win menghela napas sesaat, sebelum ia mulai menurunkan jari kelingkingnya, “satu,”
Lalu jari manisnya ikut ia turunkan, “dua, tiga, empat, lima,”
Pandangannya kini beralih pada tangan kanannya. Win mulai menurunkan ibu jarinya, “enam,” dan ditutup dengan jari telunjuknya yang ikut ia turunkan, “tujuh.”
Win mengakhiri ucapannya dengan senyum lebar juga masih dengan sepasang mata yang berbinar lucu, “Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup hari ini, yay!!!”
Energi semangat dan bahagia yang menguar dari sosok Win tampaknya berhasil menular pada Bright yang kini juga masih mengulas senyum di wajahnya sambil terus menatap kucing manisnya itu.
Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup... Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup... Winnie makan es krim sebanyak tujuh cup…
Tunggu, Bright baru sadar akan sesuatu.
“Tujuh cup? Semua Winnie makan sendiri?” tanya Bright.
Dengan polos, Win mengangguk, “June membujuk Winnie agar tidak mengurung diri di kamar, dan June bilang, Winnie boleh makan semua es krim stroberi yang June simpan di kulkas.”
Bright menghela nafasnya dengan berat. Mungkin, penyebab Win demam adalah ia makan terlalu banyak es krim dalam jangka waktu yang berdekatan.
Tak kuasa menasihati Win yang kembali memasang wajah sayunya, Bright pun menghembuskan nafas panjang satu kali lagi, sebelum kedua tangannya menangkup sisi kanan dan kiri wajah Win, sambil ia selipkan beberapa kali usapan lembut di sana.
“Lain kali, Winnie hanya boleh makan es krim paling banyak dua cup untuk satu hari, oke?”
Win mengedipkan kelopak matanya berulang kali, “hanya boleh dua?”
Bright mengangguk, “kalau Winnie tidak mau sakit lagi seperti tadi, Winnie tidak boleh melanggar perintah mas, hm?”
“Oke, Winnie hanya boleh makan dua cup es krim dalam satu hari.”
Ah, apa semua hybrid memang penurut seperti ini? Meski terkadang Win suka keras kepala dan bertindak semaunya, tapi sejauh ini Win tidak pernah membangkang. Jika untuk seterusnya Win akan selalu berperilaku manis, tampaknya Bright akan menyukai aktivitas barunya sebagai tuan dari kucing manis ini.
“Mas sudah makan malam?” tanya Win, memecah keheningan.
Bright menggeleng pelan, “mas langsung pulang begitu Winnie bilang Winnie demam.”
“Tapi mas bersyukur, Winnie sudah sembuh,”
Win hanya tersenyum kecil merespon ucapan Bright yang berpikir bahwa dirinya sudah sembuh sepenuhnya. Padahal, obat yang ia konsumsi sebelum Bright pulang, hanyalah obat penurun panas biasa, yang jelas tidak memiliki fungsi untuk membantu hormonnya yang bisa saja membuncah dalam beberapa jam.
Ini adalah fase pertama dimana Win bisa mengalami masa estrus. Ketika masih tinggal bersama pemilik sebelumnya, Win hanyalah sesosok hybrid kucing yang diadopsi memang hanya untuk membuat ramai situasi rumah. Pemiliknya yang lalu adalah seorang pria berusia 45 tahun, seorang workaholic yang terpaksa membuat dirinya tak bisa menikah dan memiliki keturunan.
Ia terlalu sibuk bekerja, sampai akhirnya ia mengadopsi Win dari sebuah panti hybrid, hanya untuk dijadikan sosok teman yang bisa diajak bersenda gurau selama di rumah.
Dan juga, hanya berlangsung selama dua bulan karena pria itu harus pergi ke luar negeri dan tak mungkin membawa Win ikut bersamanya, alhasil Win kembali dipulangkan ke panti.
Tapi kali ini, ibarat manusia yang sudah memasuki masa pubertas, Win jelas tau bahwa dirinya sedang berada pada masa estrus, dan Win tidak tahu bagaimana caranya untuk memberi penjelasan pada Brightă…ˇ sang tuan.
Win takut, jika ia jujur perihal masalah hormon yang pasti akan dialami oleh semua ras hybrid, alias masa estrus pada sang tuan, maka pemuda tampan itu justru akan menatap aneh pada dirinya.
Tidak, Win tidak mau Bright takut padanya.
Menarik nafas dalam-dalam, Win beralih menggenggam satu tangan Bright, “Mas mau makan sup? June membeli beberapa saset sup krim bubuk di kulkas, biar Winnie buatkan.”
Tak mau menampik kalau cacing-cacing di perutnya memang sudah meronta meminta asupan, Bright pun mengangguk dan pasrah saja saat Win mulai membawanya melangkah berdampingan menuju dapur.
Win mempersilakan Bright untuk duduk di salah satu kursi meja makan, lalu Win sendiri beranjak untuk membuka kulkas dan meraih dua saset sup krim bubuk dari sana, beserta satu bungkus sosis sapi dan dua lembar roti tawar.
Bright hanya bisa menatap seluruh pergerakan Win dengan antusias, meski dalam diam. Dari belakang, Bright dapat melihat betapa telatennya kucing manis itu mengolah sup krim instan di atas kompor.
Tubuh mungilnya bergerak ke sana kemari, mengambil mangkuk, sendok, sehingga telinganya yang tak begitu besar ikut bergerak lucu.
Tak membutuhkan waktu lama, dua mangkuk berisi sup krim dan dua cangkir berisi teh hangat pun sudah tersaji di atas meja. Win mengambil posisi duduk berseberangan dengan Bright.
“Selamat makan, mas Bie.”
Bright menerima mangkuk pemberian Win, lalu satu tangannya beralih mengambil salah satu gelas berisi teh hangat buatan Win.
Menikmati dengan lahap menu sederhana makan malam mereka, Bright sampai tidak sadar kalau Win belum juga menyentuh sendoknya sendiri.
Bright meletakkan sendoknya, sesaat setelah ia menelan suapan terakhir yang tersisa dari mangkuknya.
“Winnie belum makan?”
Win tersenyum kecil, meskipun dengan susah payah ia berusaha mengalihkan perhatian Bright agar tak melihat bahwa rambutnya mulai basah karena keringat dingin.
Mengangguk kecil, Win pun mulai menyentuh sendok makannya.
Malam ini Win mengenakan sweater panjang, oversized, berwarna pink muda. Membuat Bright khawatir kalau ujung sweaternya akan menyentuh cairan sup jika dibiarkan terjuntai tanpa digulung.
Bright berdehem pelan, saat satu suapan sudah berhasil masuk ke dalam mulut Win.
Win menatap Bright dengan bingung bercampur takut, ia tak siap jika Bright akhirnya sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang aneh.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Bright meraih salah satu tangan Win, dan mulai menggulung lengan sweater itu sampai ke batas siku. Begitu juga dengan tangan yang satunya, membuat Win terenyuh hanya dengan tindakan-tindakan kecil seperti ini.
Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca.
Tepukan pelan Win rasakan di kedua lengannya. Pandangannya sengaja ia naikkan hanya untuk bertemu dengan sepasang netra hitam milik sang tuan.
“Selamat makan, Winnie.”
Singkat, padat, namun Win nyaris dibuat menangis hanya dengan perlakuan manis yang dilakukan Bright padanya.
Tidak, ini pasti karena dirinya sedang berada pada masa puncak birahi, sehingga hatinya mudah sekali tersentuh dengan hal-hal kecil seperti itu.
Tanpa membalas ucapan Bright, Win pun kembali melanjutkan makan malamnya. Ia harus segera tidur setelah ini, ia tidak boleh terlibat interaksi yang intim dengan Bright malam ini, atauă…ˇ
“Arghhh,”
Sial.
Perutnya terasa sakit, dan kepalanya menjadi pusing mendadak. Keringat dingin mulai mengalir membasahi seluruh bagian wajahnya, mengalir jatuh sampai ke permukaan meja makan.
Bright yang melihat Win seperti menahan sakit pun langsung berdiri dari bangku yang ia duduki, dan beranjak mendekat pada Win yang sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja.
Berulang kali Win membanting dahinya di sana, berusaha mencari pelampiasan rasa sakit saat dirasa tak ada yang mampu menyembuhkannya kali ini.
“Winnie, Winnie kenapa?”
Bright berusaha menarik bahu Win, namun kucing manis itu tidak perduli dan semakin cepat menjatuhkan kepalanya berulang kali di meja.
Tubuh Win mendadak mengalami demam tinggi, dan tak lama Bright dapat mendengar isak tangis yang terpendam dari balik lipatan tangan kucing manis itu di atas meja.
“Winnie,”
“Mas Bie jangan deket-deket Winnie dulu,”
Bright membelalakkan matanya, merasa tak terima dengan ucapan Win barusan, “Winnie, liat mas,”
Isak tangis Win semakin keras, “b-biarin W-Winnie sendiri, m-mas,”
Keadaan Win yang seolah menahan sakit ini membuat Bright teringat akan ucapan Jumpol di kantor.
“Tanya dia butuh apa kalau lagi masa estrus. Dan satu hal yang pasti, lo harus turutin permintaan dia. Biasanya, hybrid kalau lagi masa estrus tapi kemauannya nggak dipenuhin, mereka bisa sakit.”
Oh, shit.
Bright mengambil nafas dalam-dalam, sebelum ia membungkuk untuk menyamakan posisi wajahnya dengan posisi wajah Win yang terbenam di atas meja.
Hati Bright sedikit teriris ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa Win kesakitan.
Win baru saja akan kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja, namun telapak tangan Bright lebih dulu mendarat di sana, sehingga dahi Win yang mulai memerah bertemu dengan telapak tangan lembut milik sang tuan.
Win masih belum bergerak, ia terlalu takut untuk bicara.
Dapat Win rasakan hembusan nafas Bright di sekitar wajahnya, perlahan namun pasti, Win berusaha mengangkat wajahnya seiring dengan usapan tangan Bright yang ia rasakan di puncak kepalanya.
“Winnie liat mas,”
Takut-takut, Win pun mulai memberanikan diri untuk membalas tatapan penuh rasa khawatir yang tergambar jelas di wajah Bright.
Hati Bright seperti disentil, ketika ia dapati sepasang mata Win memerah, bulu mata lentiknya yang basah, juga nafasnya yang terhembus tidak sesuai irama.
Bright mengusap lembut kedua pipi Win, “Win bilang sama mas, Win butuh apa...” ucap Bright, yang dibalas gelengan ribut oleh Win.
“W-Winnie bisa sendiri,”
“Win sekarang sudah jadi tanggung jawab mas, oke? Apapun itu, apapun yang Win rasain sekarang, Win bilang sama mas. Mas berhak tau, dan mas punya kewajiban untuk penuhi semua kebutuhan Win.”
Ibu jari Bright bergerak menyeka air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk mata Win, “m-mas pasti j-jijik sama W-Winnie,” ucap Win terbata-bata.
Bright menggeleng, ia memang belum tahu harus berbuat apa demi menolong Win agar terlepas dari rasa sakitnya. Tapi, setidaknya ia akan berusaha, ia tak suka melihat kucing manisnya ini menderita seperti ini.
“Apapun itu, Winnie bilang sama mas.”
Mengambil nafas panjang dengan susah payah, Win pun mulai membuka belahan bibirnya, “beri Winnie kepuasan, mas.”
Bright kaget, tentu, tapi ia bisa apa? Ingin rasanya bertanya, apa tidak ada obat lain? Namun raut wajah yang sangat menahan sakit itu mampu membuat Bright kehilangan akal sehatnya.
Apapun… apapun itu, selama itu bisa membuat Winnie-nya tenang, Bright bersedia untuk melakukannya.
Bright mengangguk, satu tangannya ia lingkarkan di pinggang Win, bermaksud untuk membawa kucing manis itu naik ke dalam gendongannya.
Win yang juga sudah pasrah dengan keadaan, dan tak punya energi lebih untuk melawan rasa sakitnya pun langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Bright, membiarkan tuannya yang tampan itu mulai menggendongnya menuju kamar.
Win masih memejam menahan sakit saat Bright dengan lembut menjatuhkan tubuh semampainya di atas ranjang. Bright membawa tubuh Win untuk berbaring dengan nyaman di sana, lalu pemuda itu ikut berbaring di samping Win.
Pandangan Bright sama sekali tak lepas dari sosok manis yang masih enggan membuka sepasang kelopak matanya itu. Bright membawa tubuhnya lebih dekat lagi pada Win, memposisikan tubuhnya untuk berbaring dengan posisi menyamping, dengan satu tangan yang ia alih fungsikan untuk menjadi tiang penopang bagi kepalanya sendiri.
Bright menyingkirkan helaian poni Win yang sudah basah di dahi sosok manis itu, lalu telunjuknya beralih memberikan usapan-usapan lembut di sana.
Win membuka pejaman matanya, tampak sayu, dan Bright benar-benar dibuat tak tega.
“M-mas B-bie,”
Bright mengangguk mengerti. Ia tahu, Winnie-nya ini tak bisa merangkai kata-kata yang sempurna tentang bagaimana ia harus meminta pada Bright untuk memulai semuanya, begitu juga dengan Bright yang tak memiliki pengalaman apapun pada kasus-kasus penuh keintiman seperti ini, sehingga Bright tidak paham bagaimana caranya untuk mengajak Win masuk ke langkah berikutnya.
Namun sepertinya, mengandalkan insting bisa dijadikan jalan ninja untuk sekarang.
Bright menunduk dan membawa wajahnya mendekat pada Win yang kembali memejam. Dengan yakin, Bright mempertemukan bibir keduanya.
Bermain-main sebentar dengan kecupan ringan, Bright berhasil menciptakan bunyi berisik ketika permukaan bibir mereka saling mengecup satu sama lain.
Cup,
Cup,
Cup,
Bright menghujani bibir merah muda Win dengan kecupan manis.
Tiga menit berlalu, tapi tampaknya Bright belum ingin menaikkan tempo permainan, ia masih asik menghujani bibir tipis Win dengan kecupan, sampai sosok manis itu melirih, dan mengalihkan wajahnya ke arah kanan.
Membuat bibir Bright jatuh tepat di perpotongan leher jenjangnya.
“M-mas,”
Bright hanya bergumam. Ia mulai membawa bibir tebalnya untuk memberi jejak di setiap jengkal tubuh Win yang bisa ia jamah. Perpotongan leher, bagian belakang telinga, pelipis, lalu turun ke pipi, sudut bibir, dan dagu lancip si kucing manis.
Bright dapat merasakan kalau Win mulai bergerak gusar, mencari pelampiasan saat bukan lagi sekedar kecupan yang Bright hadiahkan pada seluruh permukaan wajahnya, tapi lidah pemuda itu mulai ikut bermain-main di sana, memberikan sensasi baru bagi Win yang terasa begitu menyenangkan.
Win pasrah.
Benar-benar pasrah apalagi ketika Bright mengangkat sedikit punggungnya untuk melepas sweater pink muda yang seharian ini ia kenakan.
Pun Win pasrah, dengan segala rasa malu yang ada ketika Bright juga turut melepas celana pendek yang sedari tadi tertutup oleh balutan sweater oversized yang dipakainya.
Win benar-benar dibuat pasrah, dan mendesah saat bibir Bright mulai menjamah ujung kaki, tumit, betis, lutut, paha bagian dalam dan berhenti tepat di selangkangannya.
Mau tidak mau, Win membuka pejaman matanya hanya untuk mendapati kedua kakinya yang sudah terbuka lebar dengan wajah Bright yang berada di tengah sana, sedang mengendus sambil sesekali mencium paha bagian dalam Win berulang kali.
Pandangan keduanya bertemu saat Bright sedang mengambil ancang-ancang untuk memberi sedikit sentuhan di ujung kemaluan Win yang mulai memerah. Benda mungil itu mengacung tegak, dengan cairan precum yang membasahi daerah sekitarnya, yang tanpa sadar berhasil membuat Bright terjebak pada nafsu birahinya sendiri.
Tanpa pikir panjang, Bright mulai memasukkan ujung kemaluan Win ke dalam mulutnya. Memberikan isapan kuat di sana, sampai dirasa pemuda manis di atasnya itu mulai kehilangan kontrol.
“Mmmhh, m-mas...”
Bright terus memajukan wajahnya, membuat kemaluan cantik itu kini tenggelam seutuhnya di dalam mulutnya.
Rasanya aneh, karena baru pertama kali, namun melihat Win yang mulai tenang dan menikmati, rasanya Bright enggan untuk berhenti.
“Ahhh, m-mas, mmhh, aaaaah… P-pelan, m-mas,”
Bright terus memaju-mundurkan wajahnya, memberi kepuasan di sepanjang kemaluan Win sambil kedua tangannya mulai bergerak memberikan usapan pelan di sepanjang paha mulus itu.
Sesekali Bright bahkan membuat pola dengan gerakan tangannya, sesekali Bright harus berhenti menghisap kala tangan Win tak kuasa menarik surai hitamnya dengan kasar, dan sesekali pula Bright harus menahan degup jantungnya yang berdetak di atas ambang normal ketika ia dapati Win mendesah dengan nama Bright yang terselip di dalamnya.
Merasa kemaluan Win semakin membesar di dalam mulutnya, Bright pun beranjak melepas benda cantik itu, membuat lubang yang terpampang menantang di puncaknya berkedut menahan pilu pasca tak jadi mendapatkan orgasme.
Bright mulai merangkak naik ke atas tubuh Win, satu tangannya ia selipkan di balik punggung kucing manis itu, lalu kembali ia jamah bibir yang beberapa menit lalu itu mendesahkan namanya.
“Mmmh, W-winnie, my pretty W-winnie,”
Bukan lagi sekedar kecupan berisik yang terjadi di antara dua belah bibir itu, namun ciuman yang diselingi lumatan, yang berhasil membuat Win lagi dan lagi meneteskan air mata menahan nikmat.
Win mengangkat satu tangannya untuk memeluk tengkuk Bright, menarik tuannya itu untuk menyatu dengannya jauh lebih dalam lagi. Memberikan usapan penuh sayang di bagian belakang kepalanya, menarik sedikită…ˇ sesekali, beberapa helai rambut tebal Bright, sebagai tanda terima kasih karena sudah diberi afeksi seperti ini.
Sedangkan satu tangannya yang lain, Win bawa untuk mengusap lembut pipi kanan Bright. Mengusapnya dengan penuh irama, sehingga ciuman dalam keduanya yang semula terjalin tanpa ketukan, kini mulai tenang seiring dengan gerakan tangan halus Win di wajah Bright.
Gerakan kedua tangan Win terpaksa terhenti saat Bright memutuskan kontak bibir mereka, beralih menjalari dagu, jakun, dan leher Win dengan lidahnya, membuat beberapa titik di tubuh Win basah, dan Bright mengakhiri laju lidahnya tepat di puting sebelah kanan Win.
Win hanya bisa diam saat Bright mulai mengecup puting yang sudah memerah itu dengan lembut. Tak ada yang bisa Win lakukan selain kembali menjatuhkan satu tangannya di puncak kepala Bright. Mengusapnya lembut di sana, penuh sayang, seiring dengan bibir Bright yang mulai menghisap putingnya bak seorang bayi yang tengah menyusu pada ibunya.
Lagi dan lagi Win memejam saat Bright menghisap putingnya begitu kuat, “m-mas, mmhhh, mas B-Bie, ahhhh...”
Ketika namanya lagi dan lagi terselip dalam desahan merdu itu, Bright pun memultifungsikan dua tangannya secara bersamaan. Tentu masih dengan bibir yang menghisap dan mengecup puting kanan Win dengan telaten.
Tangan kanan Bright beralih untuk bermain sebentar dengan puting kiri Win. Memberikan cubitan gemas di sana, lalu mengusapnya penuh sayang.
Tangan kiri Bright mulai bergerak memberikan pijatan pelan di kemaluan milik Win. Memijatnya dengan teratur, lalu mengocoknya secara asal tanpa perhitungan.
Win menggeleng ribut menahan nikmat duniawi yang Bright suguhkan padanya. Air matanya kembali menetes, seiring dengan jari-jarinya yang kini mulai menjambak rambut Bright dengan kuat.
“M-mas, mau cium...”
Bright terkekeh sebentar. Dengan terpaksa ia meninggalkan puting Win yang masih menegang dengan baluran air liur miliknya yang membasahi titik tersebut. Pun kedua tangannya yang semula bermultitasking kini beralih menangkup wajah si kucing manis dan membawa bibir tipis itu kembali hanyut dalam ciuman panjang.
Bright menghisap dan melumat bibir atas dan bawah Win bergantian, membuat sosok manis itu membuka belah bibirnya dan membiarkan lidah Bright masuk untuk bermain sebentar dengan seisi mulutnya.
Lidah Bright bergerak menyapu apa saja yang ada di dalam sana. Menyapa gigi gerahamnya, lalu langit-langit mulutnya, dan berakhir memanggil lidah Win untuk menyanggupi ajakannya beradu sebentar.
Win pasrah, saat bibir Bright masuk untuk meraih lidahnya. Desahan tak lagi mampu terhindarkan saat lidah Win kini masuk ke dalam mulut Bright untuk dihisap.
Win berusaha mencari pelampiasan, namun tak satupun bisa ia temui, selain telapak tangan Bright yang kini menyatu dengan telapak tangannya.
Win menggenggam tangan Bright kuat-kuat, menyelipkan jari-jari panjangnya di sela jari-jari Bright seiring dengan lumatan Bright yang semakin menjadi pada lidahnya.
Ini luar biasa, Win tak pernah menyangka kalau pengalaman pertama masa estrus-nya akan ia lalui bersama seorang yang luar biasa seperti Bright, tuan-nya.
Merasa sudah sangat membutuhkan pasokan oksigen, Win pun mencengkram tangan Bright yang digenggamnya, mengirimkan sinyal pada pemuda itu bahwa ia sudah tak tahan.
Alhasil, Bright pun lagi dan lagi terpaksa menyudahi aksinya. Membiarkan Win menghirup napas dalam-dalam, sedikit rakus seolah hanya dia yang boleh menikmati udara di sekitarnya.
Bright pun memberikan Win waktu sejenak untuk meredakan nafasnya yang tersengal-sengal. Sambil menunggu, Bright pun beranjak turun dari ranjang untuk melepas seluruh busana kantor yang masih melekat di tubuhnya.
Berawal dari ikat pinggang. Bright melepas ikat pinggangnya dengan gerakan lambat, saat tak sengaja ia dapati Win ternyata tengah menatap ke arahnya.
Lalu disusul dengan kemeja yang ia keluarkan dari dalam celana bahan. Bright melepas satu persatu kancing kemejanya, lalu melempar asal kemeja itu sehingga menyisakan kaos oblong berwarna putih sebagai dalaman.
Masih dengan dua pasang mata yang saling terkunci di satu titik, Bright melepas kaos putih itu, juga melemparnya secara asal.
Win merasa rona merah mulai memenuhi wajahnya ketika matanya tak sengaja melihat otot perut Bright yang kencang, juga beberapa bagian perut yang terbentuk apik dengan sedikit rambut halus di bagian bawah pusarnya.
Masih dengan celana bahan yang melekat di bagian bawah tubuhnya, Bright melangkah menuju sisi ranjang.
“Winnie mau bantu mas?”
Win mengangguk, dengan mata sayunya.
“Bantu mas membuka celana yang mas pakai ini, mau?”
Gila, ini gila. Tampaknya Bright adalah sosok yang senang bermain-main sedikit saat melakukan hubungan seks seperti sekarang.
Bright menepuk pelan pahanya, sebagai isyarat bahwa Win harus segera merangkak menghampiri.
Win menurut. Ia membawa tubuhnya yang sudah polos tanpa balutan benang sedikitpun untuk merangkak menuju sisi ranjang.
Win berhenti tepat di hadapan perut Bright. Harus bersusah payah menelan ludah saat pemandangan di depannya terlihat begitu menggiurkan.
Bright merentangkan kedua tangannya, memberikan kebebasan pada Win dengan caranya sendiri untuk membuat celana itu terlepas dari tubuhnya.
Dengan pelan, Win menunduk, mendekatkan wajahnya pada bagian pusat tubuh Bright yang sudah terlihat besar meskipun Win belum bisa melihatnya dengan jelas.
Win mengecup bagian selatan tubuh Bright. Mengecupnya beberapa kali, memberikan sensasi yang baru pada diri Bright.
Lalu, bibir Win beralih untuk menggigit resleting celana bahan yang dikenakan sang tuan. Win menarik resleting itu ke bawah, lalu bibirnya kembali naik ke atas untuk melepas kancing pengait yang masih menyatu di bagian atas.
Oke, sudah terlepas. Win hampir menyelesaikan tugasnya dengan baik, diliriknya Bright dari bawah, lagi dan lagi Win dibuat tersipu saat sosok Bright ternyata sama sekali tak melepaskan pandangan darinya satu inci pun.
“Boleh dibuka?”
Bright mengangguk, “lakukan semua yang Winnie mau.”
Merasa dipersilakan dan diberi kebebasan, Win pun mencuri satu ciuman di pusar Bright, lalu bibirnya kembali bekerja untuk menarik salah satu sisi celana bahan itu untuk ia turunkan secara perlahan.
Meskipun susah dan membutuhkan usaha lebih, namun pada menit ke-2, Win sudah berhasil membuat celana itu terjuntai di lantai.
Kini tersisa celana dalam Bright yang berwarna putih dengan motif garis hitam yang menambah kesan maskulin pada model celana berbentuk segitiga itu.
Masih dengan mengandalkan mulut dan giginya, Win kini meraih salah satu sisi celana dalam Bright dengan giginya. Perlahan namun pasti, Win mulai menurunkan satu-satunya helaian kain terakhir yang menjadi alat perlindungan diri bagi Bright.
Dan ya, Win berhasil menyelesaikan seluruh tugasnya dengan sempurna. Celana dalam milik Bright kini sudah jatuh ke lantai, menyisakan sebuah benda di bagian selatan yang mengacung tegak meminta afeksi lebih.
Win menatap Bright satu kali lagi, meminta izin dan tersenyum kala Bright mengangguk mengiyakan permintaannya.
“Mas Bie punya Winnie, lakukan apapun yang Winnie mau, kemari, sayang...”
Lalu Win dengan cepat mengocok pelan kejantanan Bright, membuat Bright memejam sambil menahan desah.
Win tidak mampu berkata-kata. Terlalu nikmat, takut merusak suasana jika ia kebanyakan mendesah.
Dengan tatapan sayunya, Win menunduk dan memasukkan seluruh kejantanan Bright ke dalam mulutnya dalam sekali gerak.
“Mmhhh, good boy, Winnie, mhhh, terus, ahhh...”
Dipuji sedemikian rupa oleh sang tuan, Win pun semakin bersemangat memaju-mundurkan wajahnya, berusaha untuk menelan dalam-dalam kejantanan besar itu.
Bright memberikan usapan halus pada puncak kepala Win, terus membiarkan kucing manisnya itu bermain dengan benda yang mungkin untuk kemudian hari akan menjadi mainan favoritnya.
Win turut memberikan afeksi berusaha pijatan pada bagian penis Bright yang tak bisa masuk ke dalam mulutnya. Menghisap kuat-kuat benda itu, sampai dirasa Bright mulai membesar di dalam mulutnya.
Bright menangkup wajah Win, mengangkatnya sedikit sehingga membuat sebagian sisi kejantanannya keluar dari mulut Win.
“Mas mau keluar, Winnie mau mas keluar di mulut Winnie, atauㅡ”
Tak membiarkan Bright menyelesaikan ucapannya, Win pun kembali bergerak menghisap kejantanan Bright dengan cepat. Win menyedot kuat-kuat ujung kejantanan sang tuan, berusaha memancing agar cairan putih itu cepat keluar dari sana.
Lagi dan lagi, tampaknya Bright senang bermain-main dan kali ini pemuda itu seolah menahan orgasmenya sampai Win lelah karena terlalu bersemangat memompa kejantanan Bright agar segera merilis cairannya.
Alhasil, Win pun melepas kejantanan Bright, matanya masih terus terpusat pada lubang yang berkedut dengan setitik cairan putih kental yang mulai mengalir dari dalam sana.
Win mengocok kuat kejantanan Bright, membuat Bright tak kuasa menahan desahan dan ketika dirasa akan meledak, Win pun kembali memasukkan ujung penis Bright ke dalam mulutnya.
Ujung penis Bright tepat mengenai ujung lidah Win. Dan dalam hitungan detik, Bright berhasil menjemput titik putih pertamanya. Ia keluar, untuk yang pertama kali, di dalam mulut Win.
Win menelan habis sperma Bright tanpa terkecuali. Bahkan lidahnya bergerak sensual untuk menjilat lubang kelamin Bright, agar tak tersisa sedikitpun cairan yang terasa begitu manis bagi Win.
Seulas senyum tipis terbit di wajah Win, “thankyou, mas Bie...”
Win yang sayu, terengah-engah dengan sedikit noda sperma yang sengaja ia biarkan mengering di sudut bibirnya, membuat Win terlihat seribu kali lebih manis dari sebelumnya.
Bright tidak kuat lagi, ia berjanji akan menjadikan malam ini sebuah malam panjang yang tak akan dilupakan oleh keduanya.
Dengan posisi tubuh Bright yang kini sudah mengukung tubuh Win, Bright pun bersiap untuk kembali menyatukan tubuh mereka pada tahap yang lebih tinggi lagi.
Bright membawa kedua kaki Win untuk bertumpu di pundaknya. Sedangkan Bright mulai bersiap untuk mengarahkan kejantanannya yang masih tegang itu pada lubang Win yang sudah berkedut sejak tadi.
Satu tangan Bright bergerak mengusap sesaat pinggang ramping Win, membuat kucing manis itu mendesah seiring dengan ujung kejantanan Bright yang mulai masuk ke dalam lubangnya.
“M-mas, mmmhh… Ahhh,”
Win memejam, dan Bright masih terus mengusap pinggangnya sambil terus berusaha untuk menenggelamkan penisnya di dalam lubang Win.
“Ahhh, Winnie, mmhh, fuck,”
Win menggeleng ribut, mendengar Bright mengumpat sembari terus menekan kejantanannya untuk masuk adalah hal paling seksi yang pernah ia alami semasa hidupnya.
“Mmhhh, you are so so so beautiful, aaahh, yes.... and pretty, and,”
“Fuck, Winnie,”
Bright pun mulai memaju mundurkan tubuhnya dengan gerakan kasar. Mencari titik kenikmatan Win di dalam sana adalah misinya yang harus ia tuntaskan.
Bright berusaha mengalihkan rasa sakit yang dirasakan Win dengan memberikan hadiah berupa kecupan di sepanjang kaki telanjangnya.
Bright terus bergerak menumbuk, memompa, dan Win tak bisa melakukan apapun selain mendesah sepelan mungkin.
Ia malu, jika harus mendesah dengan keras karena ia sudah kehilangan self-control nya saat ini.
Bright masih terus bergerak dengan kasar dan cepat, lalu ia menunduk untuk membawa Win ke dalam ciuman panjang mereka yang kesekian kalinya malam itu.
Kedua kaki Win memeluk punggung Bright, bibir keduanya mulai beradu saling menukar kenikmatan, dan Win rasa ia akan bertemu titik putihnya sebentar lagi.
“M-mas, Winnie mau keluar, mhhh...”
“Ahhh, mas, e-enak sekali... Mmmhh, m-mas Bie, Winnie boleh keluar sekarang?”
Bright mengangguk, dengan gerakan pinggulnya yang semakin cepat, Bright membantu tubuh Win untuk bergerak berlawanan arah, “boleh, Winnie boleh keluar sekarang, sayang.”
Dan dalam hitungan detik, Win dan Bright sama-sama menjemput titik putih mereka.
Bright ambruk di atas tubuh Win. Ia sengaja meletakkan wajahnya di atas bahu telanjang si manis, dengan hidung yang bersentuhan langsung dengan perpotongan leher Win yang mulai menghasilkan sebuah aroma yang memabukkan.
Bright berusaha mengendus aroma itu lebih dalam lagi, dan tanpa sadar, Win kembali bergerak di bawahnya, membuat penis Bright kembali membesar.
Bright terkekeh, ternyata Win tidak puas hanya dengan satu sesi.
Jika sudah begini, apa Bright bisa menolak?
Ini adalah pengalaman pertama bagi Win, pun juga merupakan pengalaman pertama bagi Bright. Keduanya sama-sama baru merasakan sesuatu yang ternyata mampu membawa mereka terbang ke langit ke-7 bersama.
Win terlihat begitu cantik di matanya.
Dengan ini, Bright berjanji untuk menjadikan Win sosok yang spesial. Meskipun belum terbiasa, tapi Bright ingin mencoba.
Tampaknya, Win dengan tatapan sayunya yang diiringi dengan helaan nafas terbata-bata, juga wajah yang dibanjiri oleh keringat akan menjadi salah satu hal yang akan Bright nobatkan sebagai pemandangan favoritnya.
Ah, sial. Tampaknya Bright akan mengukir sejarah baru dalam hidupnya malam ini bersama Win, kucing manisnya.
.
.
.
JEYI // 210310.