Kucing Manis.
Kucing manis, katanya… lalu, apakah masih dibilang manis kalau ternyata Win malah memperkeruh kondisi Mas Bie yang sedang sakit?
tags: FLUFFㅡ romance, clingy!bright, confused!win, budak korporat!bright x cathybrid!win. total words: 3.268 words commisioned by: @cheesepawn
“Hah elah, Mas… Ada-ada aja elo mah.”
Pergerakan lidah yang sedang asik melenggang ke kanan dan kiriㅡ membasahi bibir atasnya, sambil sesekali cekikikan ketika Squidward merasa kesal pada Patrick si bintang laut di televisi besar, terpaksa harus berhenti saat suara June yang baru saja keluar dari kamar berhasil merebut perhatian si kucing manisㅡ Winnie.
Sendok nyam-nyam merah yang sejak tadi ia genggam kuat kini ia letakkan di atas meja. Win menolehkan kepala, melirik June yang melangkah menuju dapur.
Terdengar seuntai decakan dari gadis cantik yang merupakan adik dari tuan baru Winㅡ Mas Bie. Secara nggak langsung, alis Win mengernyit. Sepasang mata bulatnya mengerjap lucu.
“Lucky you i didn't have class this morning,” June membuka lemari atas yang menempel pada dinding dapur, tampak sedang mencari sesuatu.
Berkali-kali gadis itu berjinjit, masih dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya juga dengan decakan-decakan pelan yang kerap kali terucap. “Iya, kelas gue nanti siang, gue nggak bisa ngurusin lo ah, Mas!”
“Ini mana sih kotak obatnya? Kok nggak ada di lemari atas?”
Mendengar June menyebut-nyebut kotak obat, Win dengan inisiatif sendiri langsung bangkit berdiri dan berlari kecil menuju kamar. Kamarnya dengan Mas Bie.
Tidak butuh waktu lama, Win kembali keluar dari kamar dengan sebuah kotak obat dalam dekapan. Pemuda manis itu melangkah menuju dapur, dan berhenti tepat di belakang June yang masih sibuk mengobrak-abrik bilik lemari yang lain.
“Ssttt… June,”
June menoleh, alis kanannya bertaut, “Winnie, aku lagi nggak bisa kamu ajak main dulu, oke? Aku lagi nyari kotak obat yang biasa ada di sini, kamu pernah liat nggak, dek? Mas mu ini lho… darah rendahnya kumat.”
Sepasang mata bulat Win kembali mengerjap lucu. Entah disadari atau tidak, bibir bawah si kucing manis kini mengerucut.
“Darah rendah itu apa, June?”
June menutup bilik ke-4 setelah ia pastikan tidak ada barang yang dicarinya di sana. Gadis itu baru saja akan membuka bilik ke-5, ketika ia tidak sengaja menoleh ke arah meja makan tempat dimana Win sekarang bersandar penuh rasa penasaran.
Didekatinya si Manis, “Winnie, itu kotak obat kamu nemu dimana?”
Belum sempat Win menjawab, seuntai decakan (kali ini lebih keras) kembali terucap dari bibir June. Gadis itu tampak memutar jengah dua bola matanya, “dia tuh dari tadi lagi nonton tv, Mas. Nggak bakalan dilirik handphone nya. Lagian kenapa nggak telfon langsung aja, sih? Kalau ditelfon, dia pasti angkat.”
June membuka kotak obat yang dibawa oleh Win. Jari-jemarinya yang cantik bergerak lincah mencari obat herbal yang tadi sempat disebutkan oleh sang kakak.
“Lo ada migrain juga nggak, Mas?”
Lagi lagi June berdecak sesaat setelah ia mendengar jawaban Bright. Gadis itu menutup kotak obat dengan sedikit tekananㅡ sengaja agar Bright dengar, lalu berujar, “gue lagi ngurusin obat-obatan lo, eh lo nya sendiri malah sibuk nanyain Winnie. Bisa darah tinggi gue kalau kebanyakan ngomong sama lo, Mas.”
“Hehehe...” Ya, sekiranya itulah jawaban Bright setelah diomeli oleh sang adik.
June menghela panjang nafasnya, lalu tanpa aba-aba ia serahkan ponsel miliknya pada Win yang sejak tadi hanya diam sambil memerhatikan percakapan antara dirinya dan juga Bright. Malu-malu, Win meraihnya kemudian ia seret salah satu bangku di meja makan untuk ia duduki.
Ponsel milik June masih digenggam di tangan kanan, Win menatap June dengan pandangan lugunya, “ini Mas Bie?”
June mengangguk, mengiyakan. “Temenin Mas mu dulu ya, Dek… Aku mau mandi, mau jemput Mas.”
Mau tidak mau, Win menuruti kata-kata June. Gadis cantik yang sehari-hari selalu menemaninya itu sudah beranjak ke kamarnya sendiri yang berseberangan dengan kamar Win dan juga Bright.
Meninggalkan Win sendirian di meja makan. Duduk manis, dengan tangan kanan menggenggam ponsel June yang masih menyala sedangkan tangan kiri meremat halus jari-jemarinyaㅡ untuk mengusir rasa gugup, katanya.
“H-halo, Mas B-bie…”
Entah sadar atau tidak, Win malah menggigit kecil bibir bawahnya. Pandangannya gusar, memandang meja makan penuh rasa tak tenang. Win juga sepertinya tidak sadar, kalau deru nafasnya berpacu seakan sedang mengikuti lomba lari.
Kata-kata yang diucapkan June pada Bright beberapa menit lalu ternyata masih berlari-larian di dalam benak si kucing manis. Lagi nonton tv, nggak bakalan dilirik handphone nya, ughhh, apa mas Bie marah ya…
Tapi sahutan lembut yang dilakukan Bright justru membuat Win mengangkat pandangannya. Samar-samar ia dengar Mas Bie-nya terkekeh di seberang sana. Hati Win seketika menjadi hangat.
“Sayangnya Mas Bie lagi asik nonton tv ya, hm?”
Bright memang paling bisa membuat anak manis itu tersenyum. Win seolah sudah lupa ketakutannya yang sempat singgah beberapa waktu lalu. Kucing manis itu menyunggingkan senyum lebar di wajahnya, giginya yang seperti kelinci malu-malu menunjukkan eksistensinya.
“Mas Bie, what are you doing now?”
Lagi, Bright terkekeh pelan. Mendengar Mas Bie-nya mengalunkan tawa kecil seperti itu, Win jadi merasa bahagia. Entah lah, Win tidak mengerti. Yang pasti anak manis itu perlahan-lahan mulai mengubah posisi duduknya.
Bangku yang ia duduki bergeser sedikit ke belakang. Win menundukkan tubuhnya yang terbilang tinggi, lalu menidurkan kepalanya di atas meja makan.
Matanya berbinar penuh antusias. Bibir penuhnya sesekali menekan ke bawahㅡ mengulum senyum.
“Such a good boy, my pretty little Winnie, bahasa inggrisnya semakin lancar ya, good boy deserve a reward, tell me, anak manis.”
Ditanya seperti itu, Win jelas memicingkan mata. Pikirannya melanglang buana menimbang-nimbang hadiah apa yang bisa ia minta sekarang pada Mas Bie. Jari-jari tangan kiri Win bergerak aktif di atas meja, ada bunyi tuk… tuk… tuk… yang berasal dari pertemuan antara ujung jari si Manis dengan permukaan meja.
Masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya, Win menjawab, “malam ini boleh Winnie menemani Mas Bie bekerja? Winnie janji tidak akan nakal… Winnie hanya akan duduk diam di sofa yang ada di ruang kerja Mas Bie…”
Bright tidak langsung menjawab, membuat Win mencebikkan bibirnya karena rasa takut yang tiba-tiba kembali datang.
Maka sebelum Bright menolak permintaannya, Win yang sudah banyak diajari banyak hal termasuk sopan santun oleh Bright dan June pun langsung berujar, “tidak apa kalau tidak boleh, Mas Bie. Winnie akan tidur cepat seperti biasa.” lebih baik mencegah daripada mengobati, 'kan?
Ya… walaupun sepasang mata bulat Win mulai berkaca-kaca, sih.
“Mas bukannya nggak mau ditemenin sama kamu, cuma nanti kamu bosen… kamu capek nungguin Mas sampai pagi. Tidur di sofa nggak enak tau...”
Ugh, benar-benar tidak boleh, ya?
Roh-roh jahat dalam diri Win rasanya belum mau langsung menyerah. Alhasil kucing manis itu kembali mengucapkan kalimat yang ternyata berhasil membuat Mas Bie-nya terbatuk di seberang sana.
“Winnie bisa duduk di pangkuan Mas Bie,”
Ceklek,
“Dek, hapeku mana…?”
Belum sempat mendengar jawaban Bright, June lebih dulu datang setelah berlari kecil dari kamarnya. Gadis cantik itu masih sibuk menyisir rambut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan tampak sedang menarik resleting tas yang tersampir di bahunya.
Dengan spontan Win menyerahkan ponsel yang ada di genggamannya pada June, belum sempat memutuskan sambungan telepon.
June melempar asal tas selempangnya ke atas meja, lalu ia duduk di bangku yang ada di samping Win.
June juga kembali menempelkan ponselnya di telinga, “Mas, gue udah mau jalan nih.”
Sambil mendengarkan sang kakak berbicara, June menyempatkan waktu untuk memeriksa kembali obat-obatan yang disebut oleh Bright di dalam tasnya. Ia juga sempat-sempatnya mengelus surai kehitaman Win yang tebal dan halus, sesekali telinga kucing yang ada di kepala Win pun tak luput dari jangkauannya.
Diperlakukan seperti itu, Win memejamkan mata. Rasa kantuk mulai datang mengambil alih sadar yang semakin lama semakin menipis.
Win sudah benar-benar mengantuk. Kepalanya perlahan-lahan jatuh di atas meja, dan ia siap untuk mengarungi mimpi. Tapi tepukan pelan yang hadir di pipi kirinya menjadi tanda bahwa ia harus menjemput sadarnya kembali.
Oh, June sudah selesai bicara dengan Mas Bie?
“Dek, sayang,”
Win menganggukkan kepalanya ringan, kelopak matanya kini terbuka secara utuh. “Ya, June?” jawabnya.
“Winnie mau jaga rumah atau ikut June jemput Mas Bie?”
Ditanya seperti itu, Win jelas menautkan kedua alis, bingung.
“Mas Bie pulang dijemput June? Mas Bie lupa bawa mobil punya Mas Bie?”
Tapi June menggeleng. Win memiringkan kepalanya, pusing. “Mas Bie tidak ingat caranya mengemudi ya, June? Sampai June harus jemput Mas Bie?”
Lagi, June menggeleng pelan, “enggak, dek. Mas mu itu bawa mobil tadi pas berangkat kerja. Mas mu juga nggak mungkin lupa bawa mobil, orang dia setiap hari kerjaannya nyetir.” sahut June, Win semakin tidak mengerti.
“Kalau Mas Bie bawa mobil dan tidak lupa caranya mengemudi, lalu June kenapa harus menjemput Mas Bie? Memangnya Mas Bie masih kecil… seperti Sinchan dijemput ibunya di sekolah, hehehe.”
Aduh, gemas… June yang tidak tahan dengan kegemasan Win pun dengan nekat menangkap wajah si kucing manis lalu menggigit pipi kirinya yang gembul seperti buah persik.
Win mengaduh, gigitan June adalah yang terburuk, katanya. Tapi sebuah kecupan penutup yang diberikan gadis itu di tempat yang sama membuat Win mengulas senyum lebar.
June's kisses are one of the bestest things Win ever had.
June lantas mengelus sayang surai kehitaman Win, “June mau jemput Mas Bie ke kantor karna katanya Mas mu itu sakit, dek. Nggak yakin kalau bawa mobil sendiri, takut kenapa-kenapa di jalan. Got it, anak manis?”
Dengan semangat Win mengangguk. Mengerti akan apa yang baru saja June ucapkan. Tapi… tidak lama sorot matanya menggelap, begitu ia sadar kalau ternyata Mas Bie-nya jatuh sakit.
Win mendekatkan wajahnya pada June. Matanya memicing, alisnya bertaut salah satu. June pun ikut-ikutan memicingkan matanya, “hayo… kenapa ngeliatin aku kayak gitu?”
Tangan kiri June menangkup pipi kanan Win, sedangkan tangan kanannya perlahan-lahan mulai menghapus garis-garis halus di sepanjang dahi si Manis.
“Nggak usah pakai kerut-kerutan di dahi dong, cantik.”
Win hanya tertawa, tapi tidak bertahan lama. “Mas Bie sakit, June?” tanya nya.
June mengangguk, “makanya tadi aku nyariin kotak obat, eh nggak taunya ada sama kamu, dek. Kalau habis dibawa ke kamar, jangan lupa dikembalikan ke lemari atas ya, dek, ya?”
“Okie, June,” Win menghela nafas pelan, “Mas Bie sakit apa, June?”
“Darah rendahnya kumat, sama ada migrain sedikit katanya. Jadi mau pulang aja, istirahat di rumah.”
Kepala Win mengangguk kecil. Seolah mengerti dengan kata-kata June padahal nyatanya, “darah rendah itu apa, June? Apa itu migrain…”
Adik dari Bright itu tertawa pelan, sebelum akhirnya ia menyentuh tangan Win dan memijat lengannya dengan lembut, “darah rendah itu suatu penyakit yang dialami manusia karna memiliki tekanan darah yang berada di bawah normal kebanyakan orang,” June menggerakkan tangannya untuk mengusap lengan Win.
“Di dalam sini,” June menyentuh beberapa spot di tangan Win, “ada yang namanya darah, makanya Winnie, June dan Mas Bie bisa bertahan hidup karna kita punya darah, dek. Dan Mas Bie punya kondisi dimana tekanan darahnya kecil, jadi Mas Bie suka lemes tiba-tiba kalau kecapekan.”
Kedua tangan June kini beranjak menuju kepala si Manis. Dengan penuh sayang, ia usap sisi kanan dan kiri kepala Win, “kalau migrain ada di sini,”
June mengetuk pelan sisi kiri kepala Win, membuat anak manis itu memejamkan mata karena kaget.
“Migrain itu sakit kepala, tapi cuma di salah satu sisi aja. Kalau nggak di sini,” June mengetuk sekali lagi kepala bagian kiri Win, lalu beralih mengetuk pelan kepala bagian kanan si Manis, “ya di sini. Rasanya tuh kepala kita pusing dan berat, Mas Bie juga sering kena migrain kalau kerjaannya lagi banyak.”
Mendengar penuturan June, Win jadi sedih. Dalam hatinya ia memanggil-manggil Mas Bie dan bertanya; Mas Bie sakit sekali ya? Mas Bie cepat sembuh…
Win kembali menatap June dengan raut sedihnya. “June, apa boleh Winnie tidak usah ikut menjemput Mas Bie? Winnie ingin merapikan kamar dan menyiapkan air hangat untuk Mas Bie.”
Melihat Win yang tampak khawatir, June akhirnya hanya bisa pasrah. Ia mengelus pipi gembul Win satu kali lagi, sebelum bangkit berdiri dan pamit untuk segera pergi.
Win mengantarkan June sampai ke pintu depan. Sambil memerhatikan June yang sedang memakai sepatunya, Win kembali berucap, “June hati-hati di jalan ya, okie?”
June mengangguk, ibu jarinya teracung tegak.
“Iya, dek… udah sana kamu masuk, nanti aku telfon kalau udah deket rumah ya. Biar kamu bisa jemput Mas Bie ke bawah.”
“Baiklah, okie dokie, June.”
. . .
“Jangan bergerak terus, sayang...”
Huh, gagal sudah segala usahanya. Win mau tidak mau cuma bisa pasrah ketika Bright mengencangkan lingkaran tangannya di perutnya. Win menunduk, menatap tangan Bright yang sesekali mengusap pelan perutnya.
Decakan pelan keluar dari ranum merah muda si kucing manis. Pandangan yang awalnya terfokus pada langit-langit kamar kini beranjak menuju satu objek yang masih setia menutup mata. Nafasnya terdengar teratur, begitu juga tempo degup jantungnya yang terasa di telapak tangan Win, seolah-olah sang tuan sedang tidur dengan nyenyak.
Win menatap Mas Bie-nya dalam-dalam. Meski harus dalam kesunyian dan secara diam-diam, Win bersyukur karena Bright tidak demam. Sesampainya di rumah, June langsung tancap gas ke kampus tanpa mau repot-repot memboyong sang kakak naik ke atas, ke kamarnya.
Alhasil, Win lah yang harus membantu Bright untuk melangkah pelan, menaiki anak tangga satu persatu sampai mereka tiba di kamar.
Dengan telaten Win membantu Bright untuk bersiap-siap mandi, menuntun langkah kaki sang tuan menuju kamar kecil di kamar mereka karena Win terlalu khawatir Bright akan merasa pusing.
Dengan telaten pula Win menyiapkan segala keperluan mandi Bright seperti, sikat gigi, pasta gigi, sabun cuci muka, sabun cair, shampoo dan juga cologne di atas sebuah meja kecil yang sengaja ia taruh di samping bathtub.
Win juga sudah menyiapkan pakaian tidur untuk Bright.
Win juga sudah menyiapkan hidangan hangat seperti sup ayam dan juga teh panas di meja makan, untuk disantap oleh Bright seusai mandi.
Dan berakhir lah mereka di sini, di atas ranjang keduanya. Dengan posisi Win terkunci di dalam pelukan si yang lebih tua, tangan kanannya yang bertumpu di atas tubuh lelaki itu membuat Win bisa dengan mudah mengajak jari-jemarinya untuk menari di dada bidang si pemilik.
Seperti sekarang ini, Win mulai menggambar pola-pola abstrak di dada Bright yang ia jadikan kanvas dadakan.
Pola pertama; lingkaran.
Win sudah pandai menggambar lingkaran tanpa cetakan, lho!
Pola kedua; bentuk awan.
Belakangan ini kalau ditinggal di rumah sendiri, Win sering menggambar pemandangan di kertas putih berukuran A3. Lumayan untuk mengisi waktu, katanya.
Pola ketiga; bentuk hati.
Win baru saja menarik jarinya agar pola berbentuk hati yang ia buat jadi tertutup sempurna, tapi wajahnya kepalang merona, jantungnya berdetak dengan kencang.
Win menengadahkan kepala, memandang Bright tiba-tiba berdecak sambil mengerutkan dahi.
Perlahan namun pasti, Bright membuka pejaman matanya, “kamu nggak denger tadi Mas bilang apa? Mas suruh kamu buat diem 'kan, Win?”
Win tergagu. Sorot mata sang tuan berubah jadi gelap, jantung Win semakin berdetak tak beraturan.
“Kenapa malah gangguin Mas, sih? Kamu bikin kepala Mas tambah sakit tau, nggak?!” Bright bahkan meninggikan intonasi suaranya.
Win tercengang. Ia sama sekali tidak ada maksud untuk mengganggu tidur Bright, tapi sepertinya Bright marah sekali…
Anak manis itu tidak berani membuka mulut. Lalu tanpa kata, Bright berbalik dan kembali tidur dengan posisi membelakangi.
Win yang takut setiap gerak-geriknya akan membangunkan Bright pun memilih bangun dan meninggalkan ranjang. Ditatapnya satu kali lagi sang tuan, sebelum akhirnya ia beranjak menuju pintu dan keluar dari sana.
Win merasa deg-degan bukan main. Terakhir kali Bright marah padanya adalah ketika ia dengan lancang masuk ke ruang kerja Bright dengan alasan konyol; ingin menatap foto Bright yang terpajang di meja kerja.
Foto kesukaan, begitu kata si kucing manis.
Itupun Bright hanya berdecak sambil menghukumnya seperti anak SD yang sedang disetrap. Tidak pun sampai satu jam, Bright sudah menyuruh Win untuk berbaring di sofa sambil berbincang-bincang sekaligus menemani sang tuan bekerja.
Tidak seperti sekarang, Bright seolah marah besar padanya.
Win melangkah menuju ruang tengah dengan perasaan gusar. Berulang kali ia berhenti melangkah seraya menoleh ke arah belakang, tepatnya pada pintu kamar mereka.
Helaan nafas panjang terhembus dari belah bibirnya. Lambat laun ia meneruskan langkah, kemudian melempar tubuhnya ke atas sofa.
Win berbaring setengah duduk di sana. Matanya menelisik ke arah jam dinding, oh sudah jam 6 sore ternyata. Satu kali lagi Win menghela nafas, wajahnya ia usap agak sedikit kasar lalu berdiri dan beranjak menuju dapur.
Win ingin menghangatkan sup ayam yang tadi siang ia buat. Siapa tahu Bright merasa lapar saat terbangun nanti, dan juga untuk June kalau sudah pulang dari kampusnya.
Win juga memasak air untuk disimpan di termosㅡ sebagai persediaan untuk ditempatkan di meja yang ada di kamar mereka, takut-takut Bright terbangun saat tengah malam dan butuh minum air yang hangat.
Win juga sudah menyiapkan nasi, sudah menata piring dan gelas sebanyak dua buah di atas meja. Sendok dan garpu ya pun sudah ia letakkan di samping masing-masing piring.
Win juga sudah membuat susu hangat untuknya sendiri. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit sampai Win menyelesaikan semua pekerjaannya.
Lantas sambil meminum sedikit-sedikit susunya dari sebuah mug berwarna oranye gelap, Win membawa langkah kakinya menuju ruang tengah.
Ia kembali duduk di sofa, lalu menghidupkan televisi. Di jam-jam menjelang malam seperti ini, biasanya June akan mengajak Win nonton film-film barat entah itu film bertema keluarga, action maupun horror.
Win memindahkan channel TV berulang kali, mencari acara yang pas untuk ditonton. Atensi yang beralih ke sana sini membuat Win tidak fokus dan tidak sadar ketika seseorang kini sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya.
Win terlalu pusing mencari acara yang seru di televisi pun juga terlalu kepikiran dengan Bright yang marah besar padanya. Dirinya kembali menghela nafas dengan berat, lalu meletakkan mug berisi susu cokelat miliknya di atas meja.
“Pusing… pusing… pusing...”
DUGGGㅡ ACKKK, tabrakan antara punggung dan juga tulang hidung membuat Win terlonjak kaget dan meloncat dari posisi duduknya.
“M-mas B-bie,”
Win bahkan tidak bisa menebak, kapan Bright keluar dari kamar? Kapan Bright sudah berpindah tempat tidur dari ranjang ke sofa di ruang tengah?
Bright yang mengaduh sambil mengusap-usap hidungnya pun membuat Win tidak tega. Win kembali duduk di sisi sofa, di depan Bright. Tangan kiri si Manis bertumpu di pinggiran sofa, sedangkan tangan kanannya perlahan-lahan menyentuh hidung sang tuan, lalu mengelusnya lembut.
“Me is sorry, Mas Bie…”
Bright mengangguk pelan lalu memeluk tubuh Win. Keduanya jatuh berbaring di sofa, dengan posisi Bright yang memeluk Win dari belakang.
Dengan sengaja, Bright menaruh sebagian sisi wajahnya di atas pipi kiri Win. Menyatukan kedua wajah itu dalam sebuah gesekan lembut yang membuat Win tertawa kecil.
Bright mengelus pinggang Win, lalu berujar, “maafin Mas ya, sayang… i didn't mean to scream at you, Mas salah, Mas nggak bisa nahan sakit kepala tadi jadinya Mas malah marah ke kamu.”
Win terdiam sebentar. Bayang-bayang saat Bright memarahinya tadi kembali melintas dalam benaknya. Tapi elusan yang Bright berikan di pinggangnya mampu membuat Win mengangguk. Mata si manis memejam menikmati pergerakan wajah Bright di atas pipinya.
“Mas Bie, masih sakit kah kepalanya?”
Bright mengangguk, mengeratkan pelukannya.
“Masih, tapi nggak apa-apa, besok juga sembuh. Kan Mas lagi dirawat sama dokter Winnie.”
Diam-diam Win tersenyum, pipinya ikut merona. Dokter Winnie, dokter Winnie, dokter Winnie… lucu, hihihi.
“Mas Bie, sudah lapar atau masih kenyang? Winnie sudah siapkan untuk makan malam, Mas Bie harus minum obat lagi supaya cepat sembuh, okie...”
Bright bergumam pelan, “iya, sepuluh menit lagi, boleh?” lalu mencuri satu kecupan di pipi gembil Win, “Mas masih mau sayang-sayangin kamu kayak gini… sayangnya Mas… manisnya Mas… cantiknya Mas…”
“Winnie punya siapa, hm?”
Rona di wajah Win semakin jelas, jantungnya bergemuruh tidak karuan. Lantas dengan malu-malu, ia menjawab, “punya Mas Bie.”
“Punya siapa? Mas nggak denger...” sengaja diulang, ingin menggoda si kucing manis.
Win mengerucutkan bibirnya sesaat, lalu tidak lama ia kembali berucap, “punya Mas Bie. Winnie punyanya Mas Bie.”
Bright terkekeh mendengar jawaban Win. Diam-diam, hatinya merasa hangat juga penuh. Sepersekian detik berikutnya ia bawa tubuhnya untuk mengukung Win dari atas.
Bright menurunkan wajahnya sedikit demi sedikit. Ia hendak meraih bibir penuh Win dengan bibirnya, Win yang sudah paham akan kemana aktivitas ini berlabuh cuma bisa memejamkan mata sambil menunggu.
Semakin dekat,
Semakin tipis jarak di antara keduanya,
Semakin habis inci yang menengahi,
Dan,
“WOY MAS… AMPUN DEH KAN LO LAGI SAKIT??? JANGAN BAWA PENYAKIT KE WINNIE, WOY?!!”
June… datang di waktu yang amat sangat tidak tepat.
. . .
ㅡ written by : JEYI.