Fell Out Of Love.

ㅡ Bright's side of life after the second times break with Win.

Inikah definisi dari kata 'gagal' yang sesungguhnya?

Bahkan ketika kesempatan dirasa masih ada, atau nyatanya memang tak pernah ada?

Bright pikir, setelah memperbaiki semuanya, Win akan kembali ke dalam pelukan… atau setidaknya, satu hal yang Bright percaya; rasa-nya masih sama, masih ada.

Atau malah… selama ini Bright salah menafsirkan rasa?

total words: 5.498 words.


Langit biru nan cerah yang dihiasi oleh kepulan-kepulan awan nyatanya belum mampu jadi sesuatu yang menghibur bagi Bright. Siang itu, lagi dan lagi ia putuskan untuk mengasingkan diri ke rooftop sekolah, mencari ruangㅡ juga rasa tenang.

Lalu, apakah Bright sudah mendapatkan itu semua?

Ruang dimana ia bisa bernafas dengan benar…

Rasa tenang dimana ia bisa mengulas senyum tipis…

Seminggu. Sudah seminggu lebih empat hari, nyaris dua minggu, hubungannya dengan Win… berantakan. Hari dimana Bright mengantar Win pulang sampai ke depan gerbang rumahnya, hari dimana perayaan valentine diselenggarakan di sekolah, menjadi hari terakhir bagi pemuda itu bisa melihat sang kekasih.

Kekasih, ya?

Entahlah… Bright bahkan nggak cukup yakin kalau Win masih pantas disebut sebagai kekasihnya. Tepat di hari mereka memutuskan untuk kembali beristirahat, semuanya seakan-akan… sudah selesai.

Tidak ada kebiasaan bertukar pesan. Tidak ada basa-basi untuk menanyakan kabar. Tidak ada momen dimana keduanya berpapasan selama di sekolah.

Sudah semingguan ini hujan turun mengguyur kota Depok, membuat sepasang anak adam itu semakin jauh dengan jarak yang tanpa sadar tercipta dengan sendirinya. Semesta seolah mendukung keduanya untuk berpisah, lucu bukan?

Nggak tau…

Sumpah nggak tau…

Istirahat-nya mereka untuk kali kedua ini terasa jauh lebih aneh. Jika dulu Bright masih punya nyali untuk memantau Win dari jauh, maka sekarang nyali itu seolah hilang. Jika dulu Bright masih bisa mengirimkan pesan juga ayat harian untuk saat teduh pada Win, maka kali ini tidak ada lagi Bright yang seperti itu.

Mereka sama-sama memutuskan kontak secara sepihak. Sama-sama menutup diri dan berkamuflase menjadi orang asing.

Tidak ada ucapan selamat pagi, apalagi nyanyian pengiring tidur ketika malam.

Tidak ada aksi curi-curi pandang di sekolah, terutama ketika baris di lapangan untuk apel pagi.

Tidak ada waktu yang dihabiskan di rooftop saat jam istirahat, tidak lagi ada canda tawa dan cerita yang bisa dibagi, semuanya seakan-akan lenyap termakan kecewa dan ego untuk sembuh.

Untuk sembuh, katanya.

Ya, cuma sebatas katanya…

Siang itu, untuk kali pertama setelah seminggu lebih Depok diguyur hujan deras, akhirnya Bright bisa menguasai sebuah bangku usang yang ada di sana. Duduk sendirian, dengan sebatang sigaret yang terjepit antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Pandangan pemuda itu lurus ke depan, entah apa yang sedang jadi objek utama bagi sepasang obsidian hitamnya. Kepulan asap berkali-kali terbentukㅡ kadang besar kadang juga kecil, lalu hilang terbawa arus angin.

Matanya beberapa kali mengerjap samar. Baik ketika asap tanpa permisi masuk menelisik, atau ketika bayang-bayang kehancuran kembali melintas dalam benaknya.

Hancur. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan bagaimana keadaan Bright seminggu lebih ini.

Luka-luka di wajahnya pasca tawuran sudah mulai mengering, tapi tidak dengan luka di hatinya.

Perasaan bingung,

Marah,

Kecewa,

Putus asa,

Juga bersalah, semua bercampur jadi satu.

Bright bahkan sudah tidak bisa memilih apalagi mengatur 'rasa' mana yang boleh menguasai hati, pikiran dan dirinya. Semuanya datang silih berganti, tanpa meninggalkan bunyi tok… tok… tok… alias tanpa ketukan, tanpa aba-aba.

Bright sudah seminggu lebih menarik diri, bukan hanya dari Win, bukan hanya dari teman-temannya, tapi juga dari Bunda dan Ayah.

Bright selalu mengurung diri di kamar untuk merenung ketika pulang sekolah. Mangkir dari jadwal futsal rutin, tidak hadir ketika latihan musik, absen dari kebiasaan untuk menjemput sore di warkop seberang sekolah.

Waktunya habis untuk mengulik semua kesalahan yang ia lakukan. Detik demi detik yang dilalui setiap hari mulai terkikis dengan kesibukan untuk menyalahkan diri sendiri.

Satu hal yang Bright sesali; dirinya gagal.

Dalam segala halㅡ hubungannya dengan Win, hubungannya dengan anak-anak sekelas apalagi anak-anak tongkrongan, hubungannya yang mendadak kaku dengan Bunda dan Ayah, bahkan pada dirinya sendiri… Bright tidak mau terbuka, seolah tidak kenal.

“Heh bodat,”

Sudut bibir Bright terangkat kecil, membentuk seringai. Lagi dan lagi ia berhalusinasi. Seolah-olah Nanon ada di sana, memanggilnya dengan julukan konyol yang dahulu selalu membuatnya tertawa jengah. Bright menghembuskan kepulan asap sigaret dari mulutnya, kepalanya menunduk,

ketika tersadar… ia sekarang sendirian.

Semilir angin sepoi-sepoi menyapa halus permukaan wajah Bright yang tampak kusut. Susah payah pemuda itu menelan salivanya, lalu ujung dari sigaret yang digenggamnya kembali masuk ke dalam mulutnya. Untuk disesap.

“Bright anjing.”

Bright masih diam. Kepalanya menggeleng pelan, berusaha mengusir sumber halusinasi yang terasa amat mengganggu. Kepulan asap kembali keluar dari belah bibirnya, dibarengi dengan sebuah deheman ringan.

Satu kali lagi, Bright hendak menyesap ujung batang sigaretnya yang sudah semakin mengecil. Tapi naas, belum sempat permukaan bibirnya menyentuh batang tembakau itu, seseorang lebih cepat menepis tangannya sehingga sisa sigaret itu jatuh, tepat di depan sepatunya.

Bright mendongak, dua alisnya bertaut bingung begitu ia lihat Nanon berdiri di hadapannya.

Diam, Bright cuma bisa diam sambil mencerna apakah kali ini ia berhalusinasiㅡ lagi, atau Nanon benar-benar ada di sana.

Pemuda yang sudah seperti pinang dibelah dua dengan dirinya itu berdecak pelan, tangannya bersila di depan dada.

“Mau sampai kapan lo kabur-kaburan gini dari kelas?” tembak Nanon, to the point.

Lantas ketika ia sadari kalau yang ada di hadapannya sekarang benar-benar Nanonㅡ bukan hanya sebatas angan seperti hari-hari sebelumnya, Bright menghembuskan nafas panjang. Lega… rasanya benar-benar lega karena ternyata Nanon masih mau menghampirinya. Setelah satu minggu berlalu.

“Ehm,” Bright memancing tenggorokannya agar mengeluarkan suara, “gue masih mau di sini, Non.”

“Tapi lima menit lagi bel masuk? Lo mau abis diomelin lagi sama Pak Eko kayak kemarin? Sama Bu Susan? Sama Bu Kristin?”

Nanon ngomel, Bright lagi lagi cuma bisa diam. Kangen diomelin begini…

Decakan keras lolos dari mulut Nanon, seiring dengan langkah kaki si pemuda berlesung pipi yang membawa tubuhnya bersandar di pagar dinding. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana abu-abu yang ia kenakan, matanya lurus menatap pada Bright yang cuma bisa menunduk menatap sepatu.

“Lo mau orang tua lo dipanggil lagi ke sekolah?”

Bright menggeleng. Tentu saja, memangnya siapa yang mau orangtuanya dipanggil berkali-kali ke sekolah karena anaknya selalu buat onar?!

“Ya udah, kalau nggak mau ya sekarang lo ikut gue turun, kita balik ke kelas. Bangku lo lama-lama bisa berdebu tau nggak sih karna kelamaan ditinggal sama pemiliknya,” sambung Nanon.

Bright tidak menjawab, lagi. Kepalanya bahkan tidak memberikan gelengan ataupun anggukan. Nanon diam-diam menyayangkan kondisi sahabatnya yang mendadak terasa seperti orang asing… bukan Bright yang selama ini ia kenal.

Waktu terus berjalan, tapi Nanon enggan beranjak. Pemuda itu masih terus memandang Bright yang belum mau buka suara. Kepalanya bahkan senantiasa menunduk, menyadarkan Nanon kalau sang sahabat benar-benar berubah.

“Bright,”

Yang dipanggil cuma berdengung tanpa membalas tatapan Nanon.

“Bright, liat gue,”

Perlahan-lahan Bright mengangkat pandangannya. Kedua pasang mata itu akhirnya bertemu, tapi bukannya euforia bahagia yang Nanon temukan kala itu, melainkan tatapan kosong Bright… yang selama ini tidak pernah terlihat.

Bright memang membalas tatapannya, tapi tanpa adanya rasa… hanya hampa yang tersisa.

Dari situ Nanon tahu, Brightㅡ sahabatnya… berantakan.

Nanon baru saja akan mengucapkan sesuatu, tapi pergerakan gusar yang terlihat di bola mata dan juga bibir Bright membuat Nanon menelan kembali seluruh kata di lidahnya bulat-bulat. Siapa tahu, Bright mau bicara. Jadi Nanon memilih untuk menunggu.

“Nanon,”

Nanon menggerakkan kepalanya, tanda ia menyahut.

Bright mengulum sebentar bibir bawahnya. Ragu dengan apa yang ingin ia sampaikan. Diam-diam Nanon meringis dalam hati… seorang Bright yang biasa melayangkan tatapan nyalang, konyol, mengejek, kini menatapnya dengan sorot penuh kekalahan.

Nanon tidak tahu pasti apa yang sudah terjadi pada sahabatnya itu. Ya, mau gimana lagi… seminggu yang lalu ia kepalang emosi. Jadi keputusan untuk menghukum Bright dengan cara left group chat dan menjauh selama berhari-hari dipikir sudah jadi pilihan terbaik.

Tapi melihat Bright hari ini, rasanya mau menyesal pun sudah terlambat.

Bright belum juga melanjutkan kalimatnya. Kepalanya kembali menunduk.

Bukan, bukan Bright yang seperti ini yang ia kenal.

Ini bukan Bright, bukan si bodat kesayangannya.

“Ngomong aja, gue dengerin.” kata Nanon, yang berhasil membuat Bright kembali mendongak.

Tatapan mata yang semula kosong berangsur-angsur terisi berubah jadi sendu. Tapi Bright tidak langsung menyampaikan kata-katanya, Nanon jadi harus menunggu lagi.

“Nanon,”

Nanon mengulangi jawabannya, dengan gerakan kepala. Bright tampak mengambil nafas dalam sebelum bibirnya kembali terbelah dan seuntai kalimat berhasil terucap dengan begitu lantang.

Namun terdengar menyedihkan.

“Maafin gue, tolong maafin semua kesalahan dan kebodohan gue kemarin, maaf...”

Bright yang biasanya terlihat keren dan seperti jagoan ketika turun ke jalan, yang tangannya handal menguasai gir ataupun rantai motor untuk menyerang, yang matanya selalu menatap tajam pada orang-orang yang tidak disukai, yang selalu membuat banyak orang tertawa jengah karena tingkah dan lelucon yang dibuatnya… kini meminta maaf.

Bohong kalau Nanon bilang dia nggak mau nangis. Cengeng memang untuk ukuran anak laki-laki menangis, apalagi sudah 18 tahun. Tapi apa yang sekarang terjadi pada mereka, pada Bright terutama, nyatanya mampu menyentil hati kecil Nanon.

Karena ia sadar, perubahan yang terjadi bukannya membawa kebaikan. Tapi justru menciptakan luka dan jarak.

Nanon bergeming. Ia tahu, Bright belum selesai.

Dan benar saja, sepersekian detik berikutnya Bright kembali bersuara. “Gue nyesel, gue bener-bener minta maaf, Non… sama lo, sama Mike, Racha, Pawat, Guns, First, gue nyesel udah bertindak bodoh kayak waktu itu.”

“Gue sama anak-anak sama sekali nggak benci sama lo, Bright. Kita cuma kesel karna lo susah banget dibilangin. Gue sama Mike cuma mau lo sadar dengan kesalahan lo, biar lo bisa perbaiki itu semua bukannya malah kabur-kaburan kayak beberapa hari ini. Lo laki bukan, sih?”

Bright mengangguk menerima, “gue tau gue salah, maaf.”

“Udah, santai,” Nanon mengedarkan pandangannya ke arah lain, berusaha mencari ketenangan. Setelah dirasa cukup, ia kembali melirik Bright yang ternyata sudah menelungkupkan wajahnya di balik telapak tangan. “Win gimana?”

Sebenarnya, dari awal yang mengganjal di hati Nanon cuma perkara Win. Bright ini, udah tau pacarnya kayak gimana, masih aja ngebandel. Itu yang bikin Nanon kesal bukan main.

Apalagi ada perkara orang ketiga yang tiba-tiba masuk ke dalam hubungan sahabatnya itu. Eh, nggak tiba-tiba deh, kan dikasih celah, ups. Sifat lembek Bright yang baru kelihatan saat itu sukses membuat Nanon geleng-geleng kepala. Pusing memikirkan, kok ada ya orang nggak tegas macam Bright ini?!!

Selagi ada waktunya untuk bertanya, alhasil Nanon pun mengucapkannya.

Bright semakin menunduk, jari-jemarinya mulai menjambak kecil rambutnya sendiri.

Nanon yang melihat nggak bisa berbuat banyak, merasa belum porsinya untuk menyela. Lalu Bright tampak mengusap kasar wajahnya, mereka kembali bertukar pandang, kali ini mata Bright berkaca-kaca.

Sahabatnya itu menggeleng pelan, sorot matanya kembali kosong.

“Gue diambang putus sama Win.”

Satu mata Nanon memicing, antara kaget dan tidak kaget. “Win tau lo tawuran lagi? Win tau lo ketemuan sama adek kelas kesayangan lo itu?” tanya Nanon.

Tidak ada jawaban berupa kata, tidak juga ada balasan berupa anggukan atau gelengan. Bright malah kembali menundukkan wajahnya yang memerah.

Rasa sesak yang berhari-hari ini datang, lagi.

“Win tau semuanya, Win udah liat keadaan gue dan dia nangis,” dalam hatinya Nanon menyahut, ya iyalah goblok!!!

Bright kembali menarik kecil surai hitamnya, “gue bikin dia nangis lagi, Non. Dia nangis terus dan semua gara-gara gue.”

“Lo udah minta maaf ke Win?”

Kali ini Bright mengangguk, meski sesekali masih terlihat menjambak rambutnya sendiri.

“Terus kata Win apa?” sambung Nanon.

“Dia minta kita break lagi,” mengusap sebentar wajah kusutnya, lalu Bright menengadahkan kepala, menatap sang sahabat, “tapi gue malah ngerasa kalau kami berdua kayak udah putus.”

Kedua alis Nanon bertaut bingung, “emang ada yang bilang putus? Terus sekarang gimana?”

“Dulu waktu gue sama dia break untuk yang pertama kali, gue masih punya nyali buat ngawasin dia dari jauh, gue masih punya nyali buat nanyain kabar dia ke adeknya, gue juga masih punya nyali untuk sesekali ngechat dia atau bahkan nelfon dia kalau gue udah bener-bener kangen,” Bright menjeda ucapannya selama beberapa detik, “tapi sekarang, enggak. Bahkan cuma untuk nyebut nama dia dalam doa gue aja, gue nggak berani, Non.”

Nanon tercengang. Separah itu, kah?!

Lantas pemuda berlesung pipi itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya dengan cepat. Nanon beranjak meninggalkan dinding yang sejak tadi ia jadikan sandaran. Kakinya melangkah mendekati bangku usang dimana Bright sedang duduk di atasnya, lalu ikut mendaratkan tubuhnya di sana.

Nanon mengikuti arah pandang Bright; menatap langit biru yang cerah. Sangat bertolak belakang dengan suasana hati keduanya.

Enggan mengulik lebih dalam luka yang dialami Bright, Nanon pun melayangkan satu pertanyaan lain, “kapan terakhir lo kontak sama Win? Gue juga jarang liat dia di kantin, kalau ke toilet juga nggak pernah papasan.”

“Pas perayaan valentine. Itu terakhir kali gue ngeliat dia, gue antar dia pulang sampai ke depan rumah.” jawab Bright.

Oh, lama juga… Nanon dapat menarik kesimpulan kalau Bright dan Win sama-sama menarik diri dari segala pertemuan dan bentuk komunikasi antara keduanya.

Terlalu lama diam, Bright menolehkan kepala ke arah Nanon. Menatap sang sahabat yang tampak sibuk menatap acuh langit di atas sana.

“Nanon,” panggil Bright.

Nanon mengangguk, “ngomong aja.” sahutnya.

“Mendingan lo balik ke kelas, kayaknya udah bel masuk.”

Nanon tertawa agak keras, nyaris terbahak-bahak. Hal itu jelas membuat Bright bingung, ya karena… ia tidak sedang melucu?

Namun tidak butuh waktu lama sampai Nanon menyudahi tawanya. Pemuda itu balik menoleh pada Bright, raut wajahnya terkesan datar.

“Dan ninggalin lo sendirian di sini?” tanya nya.

“Ehm,” kepala Bright mengangguk kecil, “gue udah biasa di sini sendirian. Kemarin-kemarin pas hujan juga gue standby di ambang pintu rooftop, santai aja.”

Nanon berdecak jengah, “dan ninggalin lo sendirian, iya, Bright?”

Oke, sepertinya Bright harus menggaris bawahi kata 'sendirian' because it hits differently? Seperti ada maksud di baliknya, yang lambat laun Bright pahami… Nanon tahu, Bright benar-benar sendirian.

Sebisa mungkin Bright mengulas senyum tipis di wajahnya, “nggak apa-apa, jangan ngeribetin diri lo sendiri cuma gara-gara gue.”

Nanon tidak lagi menjawab. Keduanya kini terdiam, sama-sama bergelung dengan jalan pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya Nanon terkekeh, “gue pikir kita temen yang sama-sama seneng ngebolos di rooftop sambil nyebat?” diraihnya sebungkus rokok yang syukur-syukur aman bersemayam di saku celana seragamnya seharian ini.

Nanon mengambil satu batang dari sana dan memberikannya pada Bright. Terlanjur bingung tapi tidak mau banyak tanya, Bright pun pasrah menerima. Nanon juga mengeluarkan sebuah korek api gas dari saku yang sama, lalu membakar ujung sigaret yang dipegang Bright sampai menyala.

Bright mulai menyesap sigaret ke-2 nya siang itu. Nanon juga melakukan hal yang sama, ia mulai sibuk menyesap sigaret miliknya dengan taktik sok keren yang biasa ia lakukan ketika anak-anak nongkrong di warkop depan.

Keduanya kini sama-sama asik dengan sigaret masing-masing, sampai akhirnya Nanon kembali jadi pihak yang memecah keheningan.

“Heh goblok,”

Kali ini Bright menanggapinya dengan tawa renyah. Kepalanya mengangguk ringan, menyahuti panggilan Nanon.

“Mau sampai kapan lo nyebat tiap hari gini?”

Dia yang nawarin nyebat, dia juga yang marah-marah… tapi nggak apa-apa, nyatanya Bright bisa tersenyum atas omelan barusan.

Bright kembali menyesap sigaret miliknya. Kepulan-kepulan asap mulai menghiasi rooftop outdoor yang letaknya ada di atas perpustakaan lantai 2 sekolah, membiarkan keheningan kembali mendominasi.

Lima menit berlalu, Bright masih asik dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya, tanpa menyadari kalau ternyata Nanon masih memerhatikannya dalam diam.

“Tadi lo nanya 'kan, mau sampai kapan gue nyebat setiap hari kayak gini?” Bright bertanya tiba-tiba. Tapi Nanon menyahuti dengan deheman singkat.

“Sampai hati gue bisa lega, atau seenggaknya sampai gue bisa bernafas dengan bener.”

Puntung sigaret yang baru saja akan masuk ke dalam mulut itu kini jatuh ke bawah. Nanon, pelakunya. Namun si pemilik sigaret tak berkutik apa-apa.

“Lo nggak bisa nafas dengan bener tapi lo milih buat ngerokok? Lo mau mati, ya?!”

Sebuah teguran keras, memang. Bright sampai tak mampu mengelak apalagi untuk membela diri.

Si pemilik sigaret yang sudah jatuhㅡ Bright, menunduk. Ada kekehan pedih yang lolos dari belah bibirnya.

Kepalanya mengangguk asal, seolah setuju dengan kalimat yang barusan diucap.

“Kalau dengan mati bisa nyelesain semuanya dan nebus kesalahan gue, gue ikhlas, gue mau mati.”

PLAKKKㅡ Ackkk,

Bright meringis kesakitan begitu Nanon memukul kepalanya. Tangannya berkali-kali mengelus bagian yang terasa sakit, sedangkan Nanon dengan acuh malah melanjutkan acara menyesap sigaret miliknya sendiri.

Nanon menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. Mata Bright sedikit menyipit ketika asap dengan jahil meringsek masuk ke dalam matanya.

“Orang patah hati tuh emang verified tolol ya,” lalu tertawa pelan, penuh ejekan, “sia-sia Tuhan mati di kayu salib buat nebus manusia nggak tau untung udah dikasih hidup kayak elo gini modelannya.”

Nanon kembali menyesap sigaretnya. “Dan apa lo pikir dengan lo mati semuanya bakal selesai? Bukan cuma Win yang bakalan nangisin kegoblokan lo tapi juga nyokap lo, bokap lo, keluarga besar lo, temen-temen lo, sahabat-sahabat lo.”

“At least when you're having a bad thoughts, think of people that adores you sebagai pribadi, sebagai lo yang kayak begini, yang sayang sama lo banyak, Bright...” sambung Nanon, sedikit banyak berhasil menyentil akal sehat Bright yang sempat hilang arah.

Nanon melirik Bright yang ternyata sedang fokus menatap langit lepas. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sayang orang ini… sebagai sahabatnya.

“Gue bukan mau menggurui lo atau gimana, tapi gue cukup ngerti orang putus asa kayak lo gini emang kadang harus ditemenin, so that's why i am here now.”

Bright mau berterima kasih, tapi momennya belum pas. Nanon masih galak, lebih baik Bright berterima kasih nanti saja…

Nanon menyesap ujung sigaret yang ia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu membuang asap secara asal dengan bentuk kepulan yang cukup besar.

“How's your feeling?”

Bright melirik Nanon, lalu tersenyum tipis, “i am getting better, thank you.”

Tentu saja he's getting better, satu bebannya seolah luruh begitu saja, karena sekarang Nanon sudah memberikan maaf untuknya.

It's getting better,

Everything will be better…

“Urusan bocah nanti biar gue yang handle. Sekarang gue mau nanya,” Bright lagi lagi dibuat sedikit jantungan dengan kata demi kata yang terucap dari mulut Nanon. Entah, rasanya masih ada rasa segan yang mengganjal di hatinya. Lantas seolah mengerti kalau Nanon menunggu respon darinya, Bright pun mengangguk memberi kesempatan.

“Lo kapan mau ngebenerin hubungan lo sama Win? Mumpung belum beneran putus, masih ada waktu buat ngejar dia.”

Hm, sejujurnya bingung harus jawab apa. Tapi pertanyaannya Nanon bisa ia jadikan acuan untuk berbenah diri, bukan?

“Win beberapa hari lalu ulang tahun. Tapi karna gue sama dia lagi ada di *bad condition, gue skip hari ulang tahun dia. Jujur, i feel bad and really sorry for him, tapi ya gimana… gue nggak punya nyali untuk sekedar muncul di depan dia saat itu,”

Bright menghela panjang nafasnya sebelum melanjutkan ucapan, “jadi kayaknya nanti pas pulang sekolah gue mau nyamperin ke rumah dia, mau minta maaf sekali lagi dan ucapin ulang tahun walaupun telat buat dia.”

Nanon manggut-manggut saja mendengar jawaban Bright barusan. Tapi rasanya, there's one thing left that doesn't sit right with him. Lantas Nanon melirik Bright satu kali lagi, beruntung pemuda itu juga sedang menatap ke arahnya.

“Kapan lo mau nyelesain semua masalah ini sama Nana?”

Bright diam sebentar, berpikir. Nanon agak kesal juga melihat Bright yang bisa-bisanya masih mikir begitu ditembak dengan pertanyaan barusan. Sudah nangis-nangis, sudah jatuh terpuruk dan dilanda penyesalan, tapi masih selfless dengan cara yang nggak banget?!

Gila, emang dasar anak goblok.

Tidak lama dari itu, Bright berujar, “besok. Gue mau perjuangin Win dulu hari ini, biar besok gue selesain semuanya sama Nana.”

Nah, gitu 'kan enak. Asap yang keluar dari mulut barusan pun rasanya jadi manis kayak habis menyesap vape rasa blackcurrant.

Nanon menepuk pelan bahu kanan Bright tiga kali. Hati Bright mencelos, karena ia tahu… itu adalah tepukan persahabatan.

“Go on, get your man back.”

Pasti, Bright tidak akan melepaskan Win lagi, apapun alasannya.

. . .

Baru kali ini Bright berdiri di depan gerbang rumah Win dengan perasaan gusar. Tubuhnya masih bersandar di jok motor Scoopy berstiker 'Harta, Tahta, Ayang' yang sudah jadi sticker legend di mata anak-anak tongkrongan.

Kalau diingat-ingat, panjang juga perjalanan kisahnya dengan si pujaan hati. Berawal dari teman SD yang sama-sama bersekolah minggu di bawah bimbingan kakak layan yang sama, lalu masuk ke satu SMP yang memang berada di bawah yayasan dimana mereka menempuh pendidikan saat di bangku sekolah dasar.

Masa-masa SMP adalah penggambaran labil dimana keduanya sok-sokan memutuskan untuk PDKT dan berakhir menjalin hubungan di kelas 9. Bermodalkan janji akan setia satu sama lain, nyatanya tak menjamin hubungan keduanya akan bertahan lama.

Kelas 7, masih gencar-gencarnya ngedeketin, apalagi dengan modal bakso gerobakan yang suka mangkal di taman komplek.

Kelas 8, masih bocah, sering cemburu nggak jelas cuma karena Win masuk MPK dan sering jalan bareng dengan anak-anak kelas 9 dari organisasi yang sama.

Kelas 9, menggebu-gebu, nggak ada angin nggak ada hujan mendeklarasikan kalau mereka adalah kepunyaan satu sama lain. Win yang kala itu cuma bisa ketawa melihat kelakuan Bright dan kebetulan ia sendiri juga sudah nyaman dan terbiasa dengan eksistensi si anak bar-bar di dekatnya, langsung mengiyakan ajakan Bright untuk melakukan Jakarta Dateㅡ kencan pertama mereka setelah jadian (katanya), dan pulang ke rumah pada jam 11 malam.

Di hari yang sama, keduanya membuat pengakuan ke orang tua masing-masing kalau mereka sudah resmi berpacaran.

Oke, restu sudah ditangan karena jika anak bahagia kenapa harus dilarang, 'kan?

Kelas 10, masuk ke sekolah baru dan terpaksa dipisah oleh kelas yang berbeda. Bright agak sulky saat itu, tapi Win selalu punya cara untuk menjinakkan pacar nakalnya.

Masih aman, belum ada penjurusan, jadi beberapa kali memang suka nggak sengaja nongkrong di kantin di jarak yang berdekatan.

Kelas 11, perang dingin dimulai. Bukan mereka yang berperang, tapi jurusan dan doktrin angkatan-angkatan tua yang katanya anak IPA dilarang keras berhubungan baik sama anak IPS. Merusak moral penjurusan dan muka jurusan, katanya.

Alhasil, terbentuklah kubu-kubu antara SOS 1 dan SOS 2 melawan IPA.

Yah, ya sudah… mau nggak mau harus backstreet. Daripada dilabrak senior, 'kan?!

Kelas 12, baru terasa betapa nggak enaknya main kucing-kucingan kayak gini. Bright bahkan baru terpikirkan, yang banyak gaya angkatan-angkatan senior, kenapa harus dia sama Win yang repot nutupin hubungan?

Tapi apa mau dikata, ibarat nasi sudah jadi bubur. Bright dan Win pun cuma bisa menjalani hari-hari di sekolah dengan pintar biar nggak ketahuan publik kalau mereka (saat itu) sudah jalan 3 tahun berpacaran.

Bright menundukkan kepalanya, ternyata untuk tiba di hari ini butuh perjalanan yang tidak sebentar. Ia pikir, ia sudah mencintai Win sebesar itu… tapi kenyataannya? Mereka gagal, berulang kali.

Hati Bright serasa dicabik-cabik begitu ia sadari bahwa rasa sayang saja tidak akan pernah cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan.

Dan Bright, melewatkan banyak poin-poin penting yang membawa hubungan keduanya pada ujung jurang yang curam.

Pilihannya cuma 2;

Berbalik, dan cari jalan keluar meski butuh pengorbanan dan waktu, atau…

Jatuh, mengakhiri perjalanan saat itu juga.

Bright menghela panjang nafasnya. Pemuda itu baru saja akan mengusap wajahnya ketika suara pintu utama rumah Win terbuka.

Matanya mengerjap beberapa kali, Mick ada di sana. Membawa dua kantong plastik besar di tangan kanan dan kirinya.

Refleks, Bright bangun dari posisi duduknya. Mick sempat bingung melihat keberadaan si Abang yang tumben-tumbenan nggak langsung masuk ke dalam, tapi malah berdiam diri di depan gerbang.

Mick membuka pagar dengan kaki kanannya, lalu berhenti melangkah tepat di samping motor Bright.

“Abang cari Kakak?”

Tepat sasaran, Bright langsung mengangguk. Mick belum sempat menjawab lagi, pemuda itu beranjak menuju sebuah tong sampah besar di depan rumah, lalu membuang dua kantong plastik yang dibawanya ke dalam sana.

Sambil menepuk-nepuk telapak tangan, Mick kembali menghampiri Bright.

“Abang masuk aja dulu, Kakak belum pulang.”

Satu alis Bright memicing. Dengan spontan ia melirik jam berwarna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, “tumben? Kayaknya tadi OSIS nggak ada rapat.” balas Bright.

“Adek kira Abang lagi jalan-jalan sama Kakak? Soalnya tadi Kakak sempet telfon bilang pulang agak telat, mau ke Gramedia. Adek kira perginya sama Abang?”

Tidak mau membuat Mick kepikiran yang enggak-enggak, Bright pun dengan cepat mengubah ekspresi di wajahnya.

“Oh iya, sama temen-temen kelasnya kali ya, mau nyari bahan buat ujian.”

Mick mengangkat kedua bahunya, ingin bertanya lebih banyak tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Anak bungsu dengan nama tengah Yesaya itu akhirnya memberi kode pada Bright untuk memarkirkan motornya di garasi, “masuk dulu, Abang. Mamah nyariin Abang terus tau… Abang udah nggak pernah main ke rumah lagi.”

Bright hanya bisa tersenyum menimpali. Lagi dan lagi ia dibuat sadar, kalau yang sedih atas gagalnya hubungan mereka bukan cuma diri mereka sendiri tapi juga keluarga yang selama ini mendukung.

Dan karena itu, Bright sedih, lagi.

Rasa bersalah kembali mencuat dan menggebu-gebu dalam hatinya. Seolah menyalahkan dirinya atas semua yang telanjur terjadi.

Tapi Bright belum mau menyabet gelar pengecut kali ini. Ia, tidak mau kalah. Lalu seulas senyum hadir di sudut bibir sintalnya.

“Adek masuk duluan aja, Abang mau cari martabak dulu. Adek mau nitip yang lain?”

Mick menggeleng, “nggak usah, Bang. Tapi Abang janji ya bakal balik ke sini lagi? Abang nginep ya, ya, ya? Tidur sama Adek, kita udah lama nggak main PS.”

Kalau Mick sudah punya kemauan, lalu Bright bisa apa? Alhasil kepalanya mengangguk, “iya, Abang nanti nginep. Sekarang Adek masuk, ayo Abang tungguin.”

Lantas sambil merengut kecil, Mick mulai berjalan mundur memasuki halaman rumah. Pemuda itu menutup rapat gerbang utama, lalu melambaikan tangan kepada si calon kakak ipar, hehehe.

Sepersekian detik berikutnya, Mick sudah masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Bright yang masih berdiri dengan perasaan gundah di depan gerbang.

Win kemana?

Kenapa belum pulang jam segini?

Tidak mau terlarut dalam pikirannya, Bright pun memutuskan untuk kembali naik ke atas motor Scoopy-nya dan bersiap untuk segera pergi menuju tukang martabak yang biasa ia beli.

Tapi ketika motornya baru saja melewati rumah ke-3 dari rumah Win, tidak sengaja Bright mendapati sebuah mobil keluar dari belokan dan berhenti tepat di depan rumah Win.

Bright terus meliriknya lewat spion, lalu nafasnya seolah tercekat ketika ia lihat Win keluar dari sana, lalu disusul Luke yang membawa beberapa kantong belanjaan yang entah Bright tidak bisa menebak apa isinya.

Tidak hanya itu, perasaan Bright seolah baru saja diinjak-injak begitu ia lihat Win melepas tawa saat Luke bersusah payah membuka gerbang dengan tangan yang penuh dengan kantong plastik. Win bahkan beberapa kali terlihat mengelus gemas surai hitam Luke yang malam itu masih mengenakan seragam putih abu-abu yang dibalut hoodie berwarna putih.

Win terlihat bahagia, tanpa dirinya.

Bright menarik gas dengan kuat, segera meninggalkan sektor rumah Win sebelum pacarnya itu, eh… masih bisa disebut pacar, kah… melihat eksistensinya.

Bright marah, tapi ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama.

Hope martabak would save him from the anger inside,

Ya, Bright akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju tukang martabak langganan Winㅡ pacar manisnya.

. . .

Sambil menunggu martabak manis dan telur yang dipesannya matang, Bright memilih untuk memandang jalan raya yang cukup ramai di depannya sambil duduk di atas jok motor. Jarinya sesekali berputar memainkan kunci motor yang dihias dengan gantungan one piece yang mulai kusam karena dibeli saat karyawisata ke museum Fatahillah di kota Tua.

Saat sedang asik melamun, seorang anak kecil datang menghampiri. Di dalam dekapannya ada banyak sekali bunga mawar merah yang sudah dibungkus dengan apik.

Anak kecil itu menatap Bright dengan senang, wajahnya sumringah seraya tangannya mengulur tiga tangkai mawar merah ke hadapan Bright.

“Kakak, aku jual bunga ini satunya sepuluh ribu.”

Bright tidak langsung menjawab. Benaknya berputar mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia memanjakan Win dengan bunga?

Dan jawabannya adalah; tidak pernah.

Bright belum pernah memberikannya bunga, bahkan di perayaan hari jadi mereka pun, Bright lebih memilih mengajak Win nonton bioskop dan makan sepuasnya di mall atau bermain ke Timezone sampai malam menjelang.

Jadi sepertinya, memberikan bunga sebagai permintaan maaf dan simbol ucapan ulang tahun adalah ide yang cukup bagus.

“Bunga yang kamu bawa semuanya ada berapa, dek?” tanya Bright.

“Yang aku peluk ada lima, dan di dalam tas masih sisa tiga. Kakak mau beli berapa?”

Bright tersenyum, “semuanya, kakak beli semuanya ya, dek.”

Dengan senang hati anak kecil itu memberikan lima tangkai mawar merah dalam pelukannya pada Bright, lalu mengambil tiga tangkai lagi dari dalam tas. Bright menerimanya dengan sukacita, lalu memberikan selembar uang merah muda pada anak itu.

“Ambil aja semuanya, kamu hati-hati ya pulangnya...”

“Terima kasih banyak, kakak! Semoga kakak sehat dan bahagia selalu! Dadah, kakak!”

Lalu anak kecil itu pergi sambil berlari kecil di pinggir jalan. Bright menatap 8 tangkai mawar merah di tangannya, di dalam hati ia merapalkan doa, semoga Win akan suka dengan hadiah yang ia bawa malam ini.

“Mas, martabaknya sudah jadi.”

Cepat-cepat Bright beranjak dari motor. Pemuda itu bahkan nyaris jatuh karena tersangkut kakinya sendiri. Bright melangkah menuju si penjual, menerima kantong plastik berisi dua kotak martabak manis dan satu kotak martabak telur. Lalu membayar pesanannya.

Dan setelah mengucapkan terima kasih, Bright bergegas menggantung plastik berisi martabak di pengait kecil yang ada di bagian bawah – tengah motor. Bright menggantung helm-nya di siku kiri, tidak perlu melewati jalan besar yang terlalu jauh untuk sampai ke rumah Win.

Karena terbakar semangat untuk segera tiba di rumah sang kekasih, Bright menambah kecepatan motornya. Menembus malam dengan senyum yang terus terpatri di wajah, seolah lupa dengan fakta kalau tadi ia baru saja memergoki Win pulang bersama Luke.

Terlalu bersemangat, terlalu menggebu-gebu sampai Bright tidak memerhatikan sekitar.

Bright hendak membelokkan setir ke arah kiri, tapi sayang…

BUMB!!! BRAKKKㅡ

Bright jatuh, motornya ikut jatuh, tapi mobil Pajero sport putih yang baru saja menyerempet parah motornya melarikan diri ke luar perumahan.

Brightㅡ ngeblank total.

8 tangkai mawar yang dibelinya berserakan di jalan, basah dan beberapa masuk ke dalam kubangan air.

3 kotak martabak yang dibelinya juga jatuh, tapi untungnya tidak sampai tumpah keluar.

Tidak lama, di sela kebingungan yang melanda, seorang security datang membantu.

Dan Bright, dengan pikiran kosongnya, kembali melaju. Ia punya tujuan malam itu,

Dan ia harus pulang,

Pada Win,

Kekasihnya.

. . .

“Astaga nak Bri…”

Bukan Win yang menyambut kedatangannya, melainkan Baifern yang kebetulan baru saja melambaikan tangan pada seorang driver ojek online.

Bright melirik tangan Baifern yang memegang sebuah kantong plastik besar, ada harum yang menguar, Bright tahu plastik itu berisi makanan.

Tapi bagaikan tidak punya malu, Bright tetap memberikan plastik berisi 3 kotak martabak yang berhasil ia selamatkan dari kecelakaan kecil barusan pada ibu dari Win.

Dan dengan perasaan gusar, Baifern menerimanya.

“Nak Bri masuk ya, Mamah obatin.”

Bright cuma bisa mengangguk, lagi dan lagi tanpa bisa mengucap sepatah dua patah kata. Bright juga tidak mengerti, kenapa ia seakan-akan mendadak lumpuh baik dari segi verbal maupun perasaan.

Saat jatuh dari motor tadi, Bright ingin berteriak. Ingin marah. Ingin menangis.

Tapi ia sadar, ia tidak bisa. Menangisi kesalahannya sendiri adalah sebuah tindakan bodoh dan Bright akan menyimpan kesempatan itu untuk dipergunakan nanti, di waktu yang tepat.

Masih dengan pikiran yang kosong, Bright membawa masuk motornya ke garasi rumah Win. Dibantu oleh Baifern, Bright perlahan-lahan melangkah menaiki anak tangga menuju teras utama rumah sang kekasih.

Rasanya… seperti pulang ke rumah.

Bright baru saja akan membuka sepatunya yang kotor karena jatuh tadi, tapi suara lembut yang begitu ia rindukan berhasil membuat Bright kembali berdiri tegak.

“Bright,”

Win.

Win ada di sana, di depannya, meski raut wajahnya seperti tidak suka.

Bright ingin menyapa, tapi lidahnya seolah tercekat secara tiba-tiba.

Sampai akhirnya suara Baifern menginterupsi keduanya, “Kak, kayaknya Bri habis jatuh dari motor. Kamu tolong bawa ke kamar terus obatin, ya? Mamah mau nyimpen martabak yang Bri beli dulu. Makanan yang tadi gofood disimpend di kulkas dulu, ya?”

Win mengangguk, “iya, Mah,”

“Ayo ke kamar.”

. . .

“Sayang, maaf gue cuma bisa nyelametin tiga tangkai. Lima lainnya kotor, gue nggak mau lo nerima bunga yang nggak layak.”

“Maaf, gue masih brengsek pas ulang tahun lo kemarin. Kadonya dicicil dulu ya, selamat ulang tahun, Win.”

Win tertegun begitu Bright mengambil tiga tangkai mawar merah dari dalam tasnya. Pergerakan Win yang sedang menyiapkan beberapa alat medis untuk mengobati luka di pelipis, pipi, rahang dan siku Bright harus terhenti seketika.

Bright dengan sorot kosong di matanya mulai melangkah mendekat, meski tergopoh-gopoh, ia berjuang untuk menyampaikan tiga tangkai mawar itu untuk Win.

Win memilih acuh. Pemuda manis itu berbalik, mengumpulkan beberapa kapas, perban, obat merah dan alkohol. Mengabaikan Bright yang kini berdiri di belakangnya, dengan tangan terjulur.

“Duduk.” perintahnya telak.

Bright lalu duduk di sisi ranjang Win, dengan jantung yang degupnya tidak lagi bisa ia rasakan.

Win tidak memperdulikan bunga yang masih digenggam oleh Bright. Ia beralih membersihkan beberapa luka di tubuh Bright dengan kapas dan alkohol.

Mengabaikan tatapan Bright yang semakin lama semakin menemukan teduhnya.

Bright tidak lagi mampu berucap, Win sudah tidak bisa melihat ke arahnya.

Bright diam. Ia hanya diam sepanjang Win mengobatinya. Win bahkan tidak menanyakan bagaimana perasaannya, adakah bagian tubuh lain yang terasa sakit atau sekedar basa-basi lainnya.

Win hanya menjalankan perintah Mama untuk mengobati Bright. Entah ikhlas atau tidak, Bright tidak tahu.

Sampai tiba waktunya Win meminta Bright untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.

Win berbaring lebih dulu di atas ranjang, menyembunyikan diri di balik selimut tebal berwarna putih.

Setengah jam kemudian Bright keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah terbalut dengan piyama berwarna biru tua, lalu Win bangun dari posisi tidurnya.

Pemuda manis itu meminta Bright duduk di tepi ranjang (lagi), lalu memasangkan perban pada bagian-bagian yang terluka di tubuh sang kekasih.

Selesai.

Tanpa kata, Win kembali masuk ke dalam selimut.

Meninggalkan Bright yang semakin dilanda bingung.

Kemudian Bright ikut berbaring di atas ranjang, masuk ke dalam selimut yang sama.

Bright memeluk Win dari belakang. Menaruh kepalanya tepat di atas kepala Win.

Ia rindu rumahnya, ia rindu kekasih hatinya.

Bright baru saja akan mencium pelipis Win sebagai ucapan terima kasih dan selamat tidur,

Tapi naas, Win menjauh.

Menghindari Bright dan juga ciumannya.

Bright terpaku,

Satu tetes air matanya jatuh tanpa sepengetahuan Win.

Diam-diam ia berbaring memunggungi yang disayang. Menangis dalam hening. Mempertanyakan kelayakannya.

Satu hal yang Bright tahu;

Rasa-nya sudah tidak lagi tinggal, apalagi menetap.

. . .

JEYI // 210331.