Winnie VS Masbie.
“Oke, fine, jadi Winnie sudah tidak mau menurut sama Mas lagi?!”
Yang ditanya memilih abai. Matanya masih fokus menusuk-nusuk potongan roti bakar yang tersisa di atas piring menggunakan garpu, lubang telinga lancipnya seolah tertutup, meski nyatanya Winnie tak mampu menyembunyikan cupingnya yang bergerak-gerak kecil setiap kali Bright memanggil namanya.
“Mas tanya satu kali lagi, Winnie tidak mau pulang sama Mas? Mas akan hitung dimulai dari satu sampai tiga. Winnie dengar Mas? Satu, duaㅡ”
“NO!!! WINNIE TIDAK MAU PULANG DAN WINNIE TIDAK MAU MENURUT LAGI PADA MASBIE!!!”
Sepasang mata Bright membola kaget, “Winnie, sayang,”
“No,” Winnie beranjak dari meja makan dengan sedikit kasar, Gun yang duduk di seberangnya pun tertegun penuh rasa terkejut, “Winnie tidak suka pada Masbie, Winnie benci Masbie!!!”
tags: EXPLICITㅡ pre-heat!grumpy!mengwinnie, handjob, local porn words involved, cock warming on the sofa and under the dim light, multiple-stimulation, a little bit dramatic 🔞 pair: human!bright x cat hybrid!win total words: 8.7k+ words commissioned by: fans berat mengwinnie
“Ugh, sudah jam sembilan...”
Winnie berdengus pelan ketika ia dapati waktu sudah memasuki jam 9 malam, tapi belum ada tanda-tanda kalau Bright akan tiba di rumah dalam waktu dekat. Cuping telinganya yang lancip bergerak lesu, bibir bawah hybrid kucing itu menekuk lucu pun wajahnya yang sudah setengah mengantuk kini menempel dengan permukaan meja di ruang keluarga di lantai 2 rumahㅡ yang membatasi area televisi dengan sofa dan akses menuju dapur.
Jari-jari lentik Winnie bergerak asal di atas meja, membuat suatu irama tidak jelas guna mengisi sepi.
Nasib baik tampaknya sedang tidak berpihak pada kucing manis itu. Sudah tiga hari lamanya, Bright lembur di kantor. Jam pulangnya pun tidak berjadwal, sehingga Winnie sering kali ketiduran saat sedang menunggu tuannya itu sampai di rumah. Hari ini, Bright pasti lembur lagi dan Winnie mulai mengantuk.
Eksistensi June juga tidak terlihat di rumah besar itu. Seingat Winnie, June hanya izin keluar sebentar sore tadi untuk membeli bahan makanan yang habis ke supermarket. Tapi sampai jam segini, June belum juga pulang.
Krrtttt… krrrtttt… Ups, perut Winnie bunyi.
“Laparrr...” Si kucing manis berujar pelan, seraya mengusap-usap bagian perutnya.
Mau tidak mau, Winnie memaksa tubuhnya untuk bergerak. Periode menjelang masa heat tampaknya sukses membuat si hybrid yang biasanya hiperaktif itu menjadi jauh lebih pasif. Tidak lagi ada Winnie yang senang berlarian keliling rumah sambil memamerkan gelang kaki baru pemberian Bright. Bunyi gemerincing yang biasanya memenuhi seisi ruangan pun tidak terdengar beberapa hari ke belakang.
Winnie sering kali merasa tubuhnya mudah lelah dan panas di waktu yang bersamaan, kepalanya juga sesekali diserang rasa sakit yang cukup kuat. Winnie butuh Masbie, tapi lelaki itu tentu lebih memilih untuk berkutat dengan segala tetek bengek pekerjaan di kantor daripada harus mengurusi Winnie yang mulai sakit-sakitan menjelang heat.
Si hybrid kucing melangkah tertatih-tatih menuju dapur. Begitu sampai di meja makan, helaan nafas berat kembali terhembus dari belah bibirnya.
Tidak ada makanan, tidak ada apapun di atas meja selain tiga buah piring makan beserta garpu dan sendok yang tertata rapi di atas sana.
Winnie beranjak menuju kulkas, mencari bahan makanan yang mungkin masih tersisa di dalam sana untuk dimasak. Tapi naas, begitu pintu kulkas terbuka, yang ada hanyalah pemandangan tiga kotak sereal rasa coklat, buah-buahan yang tidak begitu Winnie sukaiㅡ buah naga, nanas, pepaya dua kotak susu berukuran besar.
Jadinya, yah… mau nggak mau, Winnie mengambil satu kotak sereal yang sudah terbuka dan juga satu kotak susu rasa coklat dari kulkas dan membawanya ke meja makan.
“Masbie sudah makan malam belum, yah...” kucing manis itu bermonolog seraya mencari mangkuk berwarna hijau muda miliknya di rak piring.
Huh, ia berdengus satu kali lagi, “June kenapa lama sekali… June kenapa tidak membawa ponsel jadi tidak bisa Winnie hubungi huh, kalau begini bagaimana bisa Winnie memasak untuk Masbie?”
Well, memang tampaknya tidak ada yang bisa disalahkan selain June. Adik perempuan dari Bright itu lupa membawa ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Bahkan ketika waktu semakin berjalan menuju jam setengah 10 pun, June belum juga menampakkan diri.
Lalu dalam keheningan yang menemani, Winnie pun mulai membuat sereal untuk dijadikan menu makan malam dan menyantapnya dalam diam.
Setiap satu suapan masuk menyapa ujung lidahnya, Winnie meringis, perutnya meronta-ronta menolak makanan untuk masuk. Lapar, tapi tidak mau dimasuki makanan… huh, bagaimana sih?!
Akhirnya Winnie pun meletakkan kembali sendoknya. Matanya menatap sendu beberapa butir sereal yang sudah hanyut di dalam cairan susu. Suara tsk… tsk… tsk… yang berasal dari sebuah standing clock di ruang tengah turut mengisi kesunyian yang dilalui si hybrid manis.
Rasa bosan pun mulai menghantui. Lantas tanpa membereskan mangkuk berisi sereal yang masih utuh, Winnie beranjak meninggalkan ruang makan.
Kucing manis itu tampak celingak-celinguk mencari keberadaan ponselnya yang entah ia tinggalkan dimana. Lupa, suatu kebiasaan Winnie yang sangat sulit dihilangkan.
Ceklek,
Kamar besar yang terasa dingin, semakin bertambah dingin atas kekosongan yang singgah di sana. Biasanya, Bright akan menghabiskan waktu untuk mengotak-atik ponsel atau laptopnya di atas ranjang, berbaring setengah duduk dengan Winnie yang menyandar di dadanya.
Tapi sudah beberapa hari dilewati, rutinitas itu tidak lagi pernah terjadi.
Winnie menggeleng pelan. Rentetan kebiasaan-kebiasaan yang selalu ia bagi bersama sang tuan mulai menyeruak masuk dalam memori, mengiringi langkah si kucing manis yang melangkah perlahan-lahanㅡ sambil menahan sakit di perut, menuju ranjang. Ponselnya ada di sana, Winnie cepat-cepat mengambilnya.
Ditatapnya layar ponsel yang sama sekali tak menunjukkan ada pesan atau telepon masuk dari Bright. Win berdengus lagi, Bright benar-benar melupakannya demi pekerjaan.
Winnie duduk di pinggir ranjang. Matanya menyipit kecil menyesuaikan cahaya dari layar ponsel, ada seseorang yang sekiranya bisa menemaninya membunuh sepi.
Winnie tidak suka sendirian.
Tapi Bright dan June malah meninggalkannya seorang diri.
Satu-satunya yang terlintas dalam benak Winnie malam itu adalah...
Kak Gun.
Cepat-cepat Winnie membuka ruang obrolannya dengan Gunㅡ hybrid milik Off.
to: Kak Gun (Mas Off) • kak gunnnn….!!! • apakah kak gun sudah tidur? :( • Winnie bosan sekali… Winnie boleh bicara dengan kak gun?
Winnie menggigit kecil bibir bawahnya. Benaknya bertanya-tanya, apakah kak Gun benar-benar sudah tidur? Winnie menghela nafas pelan, matanya tidak sengaja melirik pada sebuah jam dinding di dalam kamarㅡ 22.05, huh… wajar saja jika pesan yang ia kirim tidak akan berbalas sampai besok.
Ketika dirasa hari semakin beranjak malam, Winnie menyimpan ponselnya di atas nakas. Hybrid kucing itu mengusap kasar wajahnya, ingin menangis tapi sudah janji pada Bright untuk tidak sedikit-sedikit mengeluarkan air mata. Winnie... tidak mau disebut sebagai anak yang cengeng.
Winnie menatap sisi ranjang yang kosong. Ia rindu akan kehadiran dan kehangatan sosok Bright di sana, yang biasanya selalu menyanyikan sebuah lagu pengiring tidur di saat malam.
Kesepian di tengah-tengah periode menjelang masa heat tampaknya sukses membuat Winnie seribu kali lebih sensitif. Winnie menginginkan Masbie, hanya ingin kehadiran Masbie, bukan yang lain.
“Masbie… pulang...” ia melirik. Memanggil-manggil nama Bright rasanya sudah tak ada guna.
Jangankan pulang ke rumah tepat waktu, mengabari Winnie lewat pesan singkat atau telepon saja… tidak Bright lakukan.
“Apa Masbie sudah tidak sayang pada Winnie?” benaknya berkecamuk, pikirannya mulai melantur kemana-mana.
Pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, *'Masbie sudah tidak sayang, ya? Masbie bosan, ya? Masbie sudah menemukan kesenangan lain, ya?' turut hadir menambah kekusutan yang sudah tercipta dalam otak si kucing manis.
Hatinya kembali terasa pilu, memikirkan Bright yang mungkin saja sudah menemukan mainan baru di luar sana.
Winnie akhirnya menyerah. Hybrid kucing itu membaringkan tubuhnya di ranjang, sambil memejamkan mata. Rasa sakit di kepala dan perut yang belum hilang pun tidak ia hiraukan.
Winnie hanya ingin tidur, berharap semua keresahan yang ia rasa bisa hilang ketika ia nanti menemukan lelap.
Tapi baru saja akan memasuki fase delta, sebuah suara dari pintu yang dibuka berhasil membuat Winnie terjaga. Si kucing manis spontan membuka kelopak matanya dan tersenyum lebar begitu ia lihat Brightㅡ dengan busana kantornya yang sedikit berantakan, masuk ke dalam kamar.
“Masbie...” cepat-cepat Winnie mengubah posisinya menjadi duduk.
Bright yang baru saja meletakkan tas kerjanya di atas sofa pun menoleh, “loh, belum tidur?” tanya nya.
Yang ditanya cuma menggeleng pelan. Cuping telinganya yang kembali berdiri karena antusias ikut bergerak mengikuti arah kepala. Bright melepas kancing pada lengan kemeja yang dipakainya, masih sambil menatap Winnie yang duduk di tepi ranjang, Bright tersenyum, “kenapa, hm? Biasanya kalau Mas pulang, kamu udah nyenyak...”
“Udah kemana-mana mimpinya...”
Kehadiran sang tuan, serta bariton rendah miliknya secara tidak langsung berhasil membuat tubuh Winnie memanas. Reaksi alami yang akan dialami oleh hybrid di masa pre-heat nya cukup mengganggu kucing manis itu, karena ia tahu Bright pasti lelah. Winnie enggan meminta.
Tapi Winnie tidak tahan.
Seraya menahan jari-jari kakinya yang perlahan menekuk, juga buliran peluh yang muncul membasahi pelipis hingga ke tulang pipi, si hybrid kucing melirih takut-takut, “M-masbie...”
Melihat gelagat aneh Winnie, Bright sontak memicingkan matanya yang sudah lima watt, “Winnie? Kamu kok gelisah gitu, sayang?”
“M-masbie… hiksㅡ”
Sejak tinggal bersama Bright dan secara tidak langsung berganti kepemilikan, Winnie sudah tidak lagi mengkonsumsi pil-pil supresan sehingga satu-satunya cara untuk mengatasi segala rasa sakit ketika pre-heat, heat dan juga post-heat adalah dengan menuntaskan hasrat birahinya.
Winnie sudah berusaha untuk menahan seluruh rasa sakitnya seorang diri beberapa hari ini, and he doesn't think he could hold it any longer.
Setetes air mata jatuh menyeruak dari pelupuk matanya yang terlihat gusar, “M-masbie...” hanya bisa memanggil, diam-diam memohon pertolongan pada tuannya itu.
Merasa ada yang tidak beres pada si kucing manis, Bright pun dengan cepat melangkah menuju ranjang. Lelaki itu menangkup kedua pipi Winnie erat, jantungnya ikut berdegup cepat diliputi rasa khawatir.
“Winnie, sayang, kamu bisa denger suara Mas?”
Yang ditanya lantas mengangguk, tanpa membalas. Bright menyeka buliran keringat yang membasahi sebagian sisi wajah Winnie, “badan kamu demam, are you okay?”
Winnie tertegun. Sepasang netranya mulai buram dipenuhi kabut nafsu dan air mata di waktu yang sama. Matanya berkali-kali bergerak gelisah, melirik linglung ke sana dan ke sini. Winnie mengulum bibir bawahnya, kemudian kepalanya menggeleng sebanyak dua kali.
“J-june, M-masbie J-juneㅡ”
“Sshhh,” Bright berdesis pelan, “June pergi ke apartemen pacarnya, tadi sudah izin sama Mas. June lupa bawa ponsel dan dompet, jadi June pergi ke kantor Mas untuk meminjam uang, sekaligus meminta izin untuk menginap di sana.”
Oh, oke… yang penting June dalam keadaan aman. Winnie susah payah menelan air liurnya yang terasa tersendat di pangkal tenggorokan. Tatapannya semakin kabur, Winnie gemetaran hebat dalam rengkuhan hangat Bright.
“Mas ambil obat penurun demam dulu ya?” Bright berujar lembut, perlahan-lahan tangannya dibawa menjauh dari jangkauan si hybrid.
Seulas senyum kecil penuh ketenangan Bright berikan pada si kucing manis sebelum lelaki itu beranjak menuju pintu kamar. Tapi belum genap empat langkah Bright menjauh dari ranjang, Winnie kembali berujar, kali ini terdengar patah-patah;
“M-masbie t-tetap di sini, hiksㅡ”
Bright menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik, “Mas cuma mau ambil obat di lemari dapur sebentar, Winnie. Okay?”
Winnie menggelengkan kepalanya cepat. Susah payah si hybrid menghapus air mata yang jatuh dengan bebas di area pipi kanan dan kirinya. Winnie mulai terisak, tangannya terangkat lalu dibuka lebar-lebar.
Meminta sebuah pelukan.
Tidak tega melihat Winnie menangis, Bright pun memutar arah tubuhnya dan kembali melangkah menghampiri sang pujaan hati. Tangan kirinya merengkuh kepala bagian belakang Winnie dan mengusapnya penuh sayang, sedangkan tangan kanannya bergerak memeluk bahu lebar si kucing manis, berusaha menyalurkan ketenangan.
Tapi tingkah aneh Winnie yang masih saja bergerak gelisah dalam dekapannya pun lagi-lagi mengundang tanda tanya dalam benak Bright.
“Winnie,”
Yang dipanggil tidak langsung menjawab. Kepalanya mendusel pelan tepat di perut Bright yang masih terbalut kemeja kerja, mencari kenyamanan. Beberapa detik kemudian, sang hybrid menyahut, “h-hmm…?”
Jari-jari tangan kiri Bright bergerak naik menggapai cuping telinga runcing Win lalu mengusapnya lembut, “are you okay?”
Winnie hanya berdehem. Wangi maskulin yang menguar dari tubuh Bright terasa begitu memabukkan bagi manusia setengah kucing itu. Tanpa sepengetahuan Bright, Winnie mulai mengendusi bagian tubuh Bright yang dekat dengan jangkauan hidungnya.
Diam-diam hybrid itu berdebat dengan isi kepalanya. No, Winnie, no… Masbie sedang lelah, jangan minta sekarang… nanti Masbie bisa marah… tapi reaksi tubuhnya justru berkata sebaliknya.
Winnie memeluk pinggang Bright semakin kuat. Seiring detik demi detik berlalu, aroma tubuh Bright yang sejatinya adalah bau tubuh asli yang bercampur dengan keringat dan sisa parfum pun justru semakin membuat kucing manis itu mabuk kepayang.
Sambil terus mengendusi wangi tubuh Bright, Winnie mendesah pelan.
Terlalu pelan.
Sangat pelan.
Sampai akhirnya Winnie tak lagi bisa menahannya lebih lama, “mmmhhh, M-masbie,” desahannya pun terucap begitu saja.
Elusan jari-jari Bright pada cuping telinga Winnie berhenti. Sebisa mungkin, Bright berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi pada kucing manisnya itu. Lalu tanpa diminta, memorinya melakukan recalling pada sebuah momen dimana Off mengatakan; Winnie mungkin akan segera heat.
Oke, oke, tenang. Bright mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali Winnie bersikap manja padanya. Well, it was a few days ago when Winnie said his anklet was gone and Bright bought him another anklet. Kala itu, Winnie memperlihatkan sikap manja yang berlebihan dan Bright tidak langsung berpikir kalau tingkah laku tersebut bisa saja merupakan salah satu gejala pada hybrid yang akan mengalami masa puncak birahi.
Bahkan celetukan Off di ruang obrolan soal kemungkinan Winnie akan mengalami masa heat dalam waktu dekat pun tidak begitu ia pikirkan.
Tapi yang terjadi sekarang… Ah, jadi Winnie benar-benar mengalami heat... lagi?!!
Damn, Bright is not ready for this. He's too tired because of work these days.
Bright menghela pelan nafasnya. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu menangkup sisi kanan dan kiri wajah Winnie untuk menghadap ke arahnya.
Rona kemerahan yang biasanya secara alami mewarnai kedua pipi berisi itu kini tampak berbeda. Bukan lagi hanya di pipi, tapi seluruh wajah si kucing manis memerah.
Winnie bahkan terlihat tersengal-sengal seraya terus berusaha untuk kembali mengendus aroma tubuh Bright.
Namun kali ini, Bright tidak bisa mengabulkannya.
“Winnie,”
Yang dipanggil menggeleng kuat, sepasang matanya yang dipenuhi kabut nafsu mulai melirik lapar pada pusat selatan tubuh Bright yang tidak bereaksi sama sekali.
Sudah dikuasai oleh birahi yang menggebu-gebu, dengan cepat Winnie menyentuh kejantanan Bright yang masih tertutup kain celana dengan tangan kanannya. Winnie menjilat bibir bawahnya, ia meremas pusat tubuh Bright dengan sedikit tekanan.
“Winnie stop,”
Bukannya berhenti, Winnie malah berontak melepas tangkupan tangan Bright dari wajahnya dan berusaha untuk menempelkan hidungnya pada pusat tubuh sang tuan.
Suara Bright bagaikan angin lalu. Si hybrid tidak lagi bisa menguasai nafsunya sendiri.
Belum sempat ujung hidung Winnie menyentuh pusat tubuh Bright, lelaki yang secara tidak langsung berstatus sebagai 'pemilik' atau 'tuan' dari si manusia setengah kucing itu memundurkan langkahnya sebanyak dua kali.
Winnie yang tiba-tiba merasa jauh dengan Masbie-nya pun mendongak, menatap Bright yang memandang penuh amarah padanya.
“Mas said stop but why didn't you listen to me?”
Hilang sudah kelembutan dalam setiap gerak dan tutur kata sang tuan. Di tengah birahinya yang semakin menuju puncak, Winnie diam-diam menahan rasa takut atas aura gelap yang baru saja Bright ciptakan.
Lelaki itu menatapnya tajam. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya mengepal di sisi tubuh.
Takut-takut Winnie membalas pertanyaan Bright, “W-winnie is sorry, Masbie...” namun rasanya, tidak ada kata 'ampun' yang akan diberikan Bright malam itu.
Sang tuan berdecak penuh rasa kecewa, “sejak kapan Winnie tidak mau dengar kata-kata yang keluar dari mulut Mas?”
Winnie belum menjawab. He's too overwhelmed in this kind of situation.
Sampai akhirnya Bright yang sudah diselimuti emosi akibat lelah setelah seharian bekerja pun kembali bersuara, “did Miss Alice teach you to be a rebellious hybrid?”
“If she did, then Mas will ask her to stop coming here, so you don't have to study any longer.”
No, no, no… Winnie menunduk, kepalanya menggeleng takut-takut, “Miss Alice has nothing to do with it, Masbie...”
“Lalu kenapa Winnie memaksakan kehendak dan tidak mau dengar kata-kata Mas?” tukas Bright, membuat si kucing manis kembali terdiam.
Nafsu birahi yang semula menggebu-gebu kini lambat laun berkurang akibat rasa takut yang mendominasi. Winnie mencengkram kain sprei serampangan, otaknya berpikir keras jawaban seperti apa yang harus ia berikan pada sang tuan.
“Winnie tidak punya mulut untuk bicara? Tidak bisa jawab pertanyaan Mas?”
Rasa pusing, gelisah, perut yang seolah-olah sedang berkontraksi, birahi yang belum sepenuhnya hilang juga rasa takut yang teramat besar kini berkolaborasi menciptakan degup jantung di balik dada si hybrid kucing yang mendadak skakmat total.
Sebisa mungkin Winnie menahan gejolak hasrat untuk menerkam Bright, karena bagaimanapun eksistensi lelaki itu justru semakin membuat si Manis pusing tujuh keliling. Sebisa mungkin juga Winnie menyusun kata-kata yang tertahan di ujung lidah, karena bagaimanapun… Bright tidak suka jika ucapannya tidak dibalas.
Winnie menggigit kuat bibir bawahnya, “M-masbie,”
Bright yang sudah kepalang lelah cuma mampu berdecak, “talk properly and don't waste my time.”
“Is Winnie really wasting Masbie's time?” tanya si kucing manis dalam hati.
Sebisa mungkin Winnie mengangkat pandangannya, kembali menatap Bright tepat di mata. Winnie gugup, Masbie-nya benar-benar terlihat marah.
“It's Winnie's pre-heat period and Winnie need Masbie's touch so bad...” akhirnya, Winnie pun memilih jujur.
Bright belum menjawab. Winnie kembali berujar, “tubuh Winnie panas, Masbie… r-rasanya sangat s-sakit… Winnie tidak bisa sendiri...”
Winnie menyeka air matanya yang lagi dan lagi jatuh membasahi pipi, “M-masbie, please...”
Sebelumnya, Bright tidak pernah menolak ketika kucing manisnya itu mengemis sentuhan dan bersikap needy. Tapi sekarang, demi Tuhan dan demi apapun… Bright tidak bisa. Ia harus tiba di kantor pada pukul 6 pagi esok hari.
Dan sekarang, sudah semakin memasuki tengah malam. Jika harus memenuhi keinginan Winnie, maka setidaknya mereka butuh waktu 2 jam, paling sebentar.
Bright butuh tidur. Jam tidurnya sudah kacau nyaris seminggu ini. Iming-iming promosi jabatan nyatanya membuat lelaki itu harus mengerahkan seluruh waktu dan tenaganya di kantor. Makan tidak teratur, apalagi untuk sekedar tidur.
Ditambah Winnie yang mengemis sentuhannya kali ini. Tidak, tidak, Bright tidak akan mengabulkannya malam ini.
“Mas nggak bisa,” Bright menghela berat nafasnya, “besok hari terakhir Mas diuji, so how about tomorrow?”
“Mas bisa bantuin kamu besok.”
Winnie sudah kesakitan luar biasa dan Bright masih memintanya untuk menunggu?
Dengan seberkas keputusasaan yang hinggap di sepasang manik matanya, Winnie memohon satu kali lagi, “sebentar saja… Winnie mohon, M-masbie,”
Namun Bright menggeleng kuat, mutlak. Lelaki itu pada akhirnya memutus kontak matanya dengan si hybrid. Tanpa kata, Bright beranjak menuju nakas dan meletakkan jam tangannya di sana. Kemudian, ia melangkah menuju lemari untuk mencari pakaian tidur.
“Masbie...”
Bright hanya menyahut seadanya, “hmm?”
“Sebentar saja, boleh ya, Masbie?” suaranya terdengar amat sangat lirih. Tapi Bright tetap pada pendiriannya.
“No,” ketika sudah menentukan satu pasang pakaian tidur, Bright kembali melirik Winnie yang ternyata sedang menatap ke arahnya. “Once Mas said no, then it's a no.”
Winnie semakin putus asa. Jika Bright tidak bisa memenuhi permintaannya, maka ia bisa saja memberontak.
“Then let Winnie go outside and find someone who can fuck Winnie as hard and rough as Mas always did before.”
Dang it. Bagaikan baru saja dilempar batu besar, kepala Bright terasa pusing mendadak. Terkadang, fakta kalau Winnie adalah pribadi yang cepat tanggap akan pelajaran dan hal-hal baru termasuk dalam menerapkan percakapan dalam bahasa Inggris pun cukup mampu membuat Bright sakit kepala bukan main.
And now, see? Winnie is asking for his permission to be fucked by others? Gila.
Sorot tajam yang sempat sirna dari sepasang mata Bright kini kembali datang. Bright meletakkan sepasang pakaian tidur yang baru saja diambilnya di atas ranjang.
Matanya, tak sedikitpun lepas dari Winnie yang kini terlihat marah.
Tensi di dalam kamar mulai tinggi. Winnie yang biasanya penurut, manis dan lembut kini hilang entah kemana.
Berganti dengan sosok manusia setengah kucing yang arogan. Sorot matanya tajam penuh kilat amarah. Nafasnya terengah-engah.
“Don't you dare to test my patience, Winnie.”
Lalu tanpa menunggu jawaban si kucing manis, Bright bergegas menuju kamar mandi.
Winnie, lagi dan lagi ditinggalkan sendirian di sana. Menahan marah dan juga sakit di seluruh tubuhnya… seorang diri.
And Bright chose to ignore him.
. . .
“Winnie dibawa ke kantor lo, Mas?”
Pergerakan jari-jemari Bright yang sedang sibuk memilah tumpukan berkas di atas meja tiba-tiba berhenti. Alisnya yang semula bertaut serius ketika mereview beberapa file sontak berganti dengan gurat kebingungan yang turut hadir memenuhi dahinya.
Masih sambil memegang ponsel yang menempel di telinga kiri, Bright perlahan-lahan membawa punggungnya bersandar di sandaran bangku.
“Maksudnya?”
Juneㅡ si lawan bicara di seberang sana, bergumam pelan, “iyaaa itu looo, Winnie ikut ke kantor? Tumben-tumbenan lo mau bawa dia, Mas...”
“Hah???” Bright bingung, benar-benar bingung.
June ngomong apa, sih?!
“Nggak usah hah hih huh heh hoh gitu deh, akhirnya ya setelah sekian lama anaknya minta dibawa jalan-jalan keluar rumah, eh kesampean juga dibawa study tour ke kantor lo hahaha...”
Sang adik terkekeh agak keras dengan intonasi penuh ledekan di sana, sedangkan di sini… Bright dibuat bingung setengah mati.
Lantas untuk mendistraksi sedikit rasa bingungnya, Bright meraih sebuah bolpoin di atas meja dan memainkannya secara asal.
“Gue lagi ngereview file, terus lo tiba-tiba nelfon gue cuma buat ngerjain gue doang, heh?” decakan pelan lolos dari belah bibirnya, “untung aja masa pencobaan gue udah selesai ya, kalau belum… terus lo iseng nelfon gue kayak gini… gue laporin nyokap kalau lo sering nginep di tempat cowok lo.”
Tanpa sepengetahuan Bright, kali ini June yang dibuat bingung dengan arah pembicaraan mereka. Gadis itu tidak lagi cengengesan, terjadi keheningan sesaat sebelum akhirnya June kembali bersuara.
“Ngerjain apaan sih, Mas? Gue nggak paham… dan gue lagi nggak bercanda? Helloooo?”
Ekspresi datar mulai mendominasi wajah Bright, “ya kalau lo nggak lagi bercanda, terus kenapa ngeledekin kalau gue bawa Winnie ke kantor?”
Hening…
Masih hening…
Lalu terdengar June bergumam di seberang sana, “WINNIE NGGAK LO BAWA KE KANTOR??!” teriakan panik June sukses membuat Bright terperanjat kaget. Lelaki itu menjauhkan layar ponselnya dari telinga, takut kalau sang adik akan kembali berteriak dalam waktu dekat.
Setelah dirasa situasi sudah aman, Bright kembali membawa ponselnya mendekat. “Ya enggak lah, pas gue berangkat ngantor tadi anaknya juga masih tidur.”
“HAH??? TERUS MAKSUD LO… BENTAR GUE PANIK… MAS BRIGHT… YA TUHANㅡ”
Nggak seberisik tadi sih, tapi kepanikan June tampaknya menular pada Bright yang mulai tidak tenang dalam posisi duduknya. Bolpoin yang sejak tadi ia mainkan kini sudah tergeletak pasrah di atas meja.
“Kenapa, heh? Kok lo jadi panik sendiri?”
“JADI MAKSUD LO WINNIE HILANG???”
Tubuh Bright spontan menegang, “hilang gimana? June, jangan setengah-setengah kalau ngomong.”
“MAS BRIGHT… MAS BRIGHT!!!”
“SUMPAH YA GUE KIRA WINNIE IKUT LO KE KANTOR… SOALNYA PAS TADI GUE SAMPE RUMAH, RUMAH DALAM KEADAAN KOSONG. KAMAR LO JUGA KOSONG, BERSIH, RAPI. DAN GUE PIKIR LO NGAJAK WINNIE KE KANTOR KARNA HARI INI DIA LIBUR LES PRIVAT. DI RUMAH NGGAK ADA SIAPA-SIAPA, MAS… ADUH GIMANA… WINNIE KEMANA KAMU DEK...” bukan cuma berteriak histeris, isakan kecil terselip di ujung kalimat sang adik.
Bright, ngeblank total.
“Udah coba cari ke taman belakang?” tanya Bright, mencoba tenang. Lelaki itu masih bersikukuh kalau Winnie tidak mungkin hilang.
Nafas June terdengar putus-putus, “u-udah… tapi n-nggak ada...”
“Kamar lo?”
“Nggak ada, k-kosong...”
Oke, oke, tenang. Bright berusaha mengais oksigen secukupnya, no, no, nggak mungkin Winnie hilang.
“Ruang bermain di bawah? Udah dicek belum?”
“Udah, Mas. Rumah beneran dalam keadaan kosong.”
No, no, no. It can't be real. Tanpa sadar, Bright memijat pelan pangkal hidungnya. Seketika benaknya memutar ulang memori dimana semalam ia bertengkar hebat dengan si kucing manis. Pikiran Bright berkecamuk, mungkinkah Winnie marah padanya sehingga memutuskan untuk kabur? Haduh, nggak… nggak mungkin. Diajak jalan-jalan keluar aja hampir nggak pernah, gimana bisa Winnie berkeliaran tanpa pengawasan?
“June, coba cek ke kamar gue, hape dia ada di nakas atau dia bawa pergi. Terakhir gue liat, hapenya ada di situ.” pusing, pusing sekali rasanya.
Bright mungkin tidak tahu, tapi June sedang manggut-manggut dengan cepat di seberang sana.
Bright menunggu. Sampai sekitar dua menit kemudian, June kembali bersuara, “nggak ada, Mas. Berarti Winnie pergi bawa hapenya...”
Kepala Bright mengangguk pelan. Oke, setidaknya ada sarana komunikasi yang bisa ia lacak nanti. Fakta bahwa Winnie tidak pergi dengan tangan kosong saja sudah cukup bisa membuat Bright menghela nafas lega, walau belum sepenuhnya.
“Coba cek lemari, baju-baju dia ada nggak?”
Bright menunggu respon sang adik. Seraya menunggu, lelaki itu menumpukan satu tangannya yang bebas di atas meja, lalu wajahnya bertumpu di sana.
“A-ada, Mas.”
Satu kali lagi, Bright mencoba tenang, “oke, sekarang lo coba telfon dia. Ngomongnya pelan-pelan, tanya lagi dimana.”
“O-okay… sebentar tangan gue gemetaran, Mas. Ya tuhan dek, semoga kamu baik-baik aja...”
Bright menelan salivanya susah payah, “pasti. Dia pasti baik-baik aja. Sekarang lo coba telfon anaknya, ya? Nanti kabarin gue gimana hasilnya.”
June menyahut kata 'Oke' sekali lagi, lalu sambungan telepon pun terputus.
Satu kata… hening. Bright terjebak dalam situasi bingung yang secara tidak langsung bercampur dengan rasa panik juga kesal. Ponselnya masih menempel di telinga, tanpa suara. Mata lelaki itu terpejam, tangannya yang bebas mengusap wajahnya agak sedikit kasar.
Untuk kali pertama setelah Winnie datang ke dalam kehidupannya, kucing manis itu berulah. Pekerjaannya yang menumpuk, sukses membuat lelaki itu nyaris habis sabar. Tapi di waktu yang bersamaan, Bright khawatir. Winnie sedang berada di masa pre-heat nya. Entah manusia setengah kucing itu ada dimana, entah bisa bertahan menahan rasa sakit dan hawa nafsu atau tidak, Bright tidak bisa mengira-ngira.
Seketika rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Bright merasa gagal memahami Winnie yang eksistensinya belum lama ia temui, tapi sebenarnya butuh perhatian lebih. Bright merasa terlalu abai dengan fakta bahwa Winnie berbeda, Winnie bukan manusia biasa seperti dirinya ataupun June dan orang-orang di sekitarnya. Bright tidak begitu paham dengan istilah-istilah aneh seperti pre-heat, heat, yang terjadi pada si hybrid kucing dan lain sebagainya.
Bright lengah, ia kecolongan.
Rasa sesak mulai mengambil alih seluruh fokus lelaki itu. Ponselnya jatuh begitu saja di atas meja, wajahnya menelungkup bersembunyi di balik telapak tangan.
“Winnie, Mas is sorry...”
Lalu tangannya bergerak meraih beberapa helai surai hitamnya, “Mas is really really sorry that you have to suffer alone,” tidak lagi perduli dengan rasa sakit yang mulai menghampiri, Bright menjambak rambutnya sendiri.
Drrrrttt,
Dengan cepat Bright meraih ponselnya. Masih dengan mata terpejam, ia menunggu June mengatakan sepatah dua patah kata.
“Mas Bright,”
Bright mengangguk pelan, “gimana? Winnie dimana?”
“Winnie ada di apartemen Mas Off, Mas. Ternyata tadi pagi dijemput sama Gun, katanya.”
Satu alis Bright bertaut, “dijemput Gun? Bang Off nggak ada bilang apa-apa ke gue.”
“Ehm, itu… kayaknya Mas Off juga nggak tau kalau Winnie ada di sana, soalnya pas gue tanya, Winnie bilangnya cuma berdua sama Gun di apartemen dan tadi pagi dijemput pakai supir, bukan sama Mas Off.”
Bright masih terdiam, berusaha mencerna tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sampai akhirnya suara June kembali terdengar, “mau gue yang jemput atau lo, Mas? Lo ribut ya sama Winnie, sampai dia nggak ada izin sama sekali ke lo?”
“Hm,” jari-jemarinya mulai menyalurkan rasa tenang lewat pijatan kecil di pangkal hidung, “biar gue aja yang jemput, setengah jam lagi gue balik.”
“Oh iya, June,”
June berdehem di seberang sana, “kenapa, Mas?”
Satu-satunya cara untuk mengatasi heat yang dialami Winnie adalah; bercinta dengan hybrid kucing itu. Dan Bright merasa kegiatan bercinta mereka kali ini tidak akan berjalan lembut, santai dan biasa-biasa saja karena keduanya sedang diselimuti emosi. Apalagi Winnie, kucing manis itu mungkin marah besar dan kecewa padanya.
Jadi, sepertinya Bright harus memohon pada sang adik, “lo bisa nginep lagi di tempat cowok lo? Atau di tempat temen lo is actually fine, nanti gue transfer buat kebutuhan lo.”
“Gue baru balik??? Udah diusir lagi??? Mau ngapain sih emangnya???”
Pijatan kecil di hidungnya sudah berganti dengan sebuah garukan kecil penuh rasa grogi, “I am gonna make things clear with him.” sahut Bright.
Seolah-olah enggan mendebat permintaan sang kakak, June pun menyahut dengan sebuah deheman pelan, “oke, oke. Semalam aja, 'kan?!”
“Nope,” Bright menghela panjang nafasnya sebelum kembali berujar, “paling lama seminggu, bisa?”
“HAH??? SEMINGGU??? KOK LAMA BANGET???”
“Ya gitu,” aduh… mau jujur kalau memang masa heat pada hybrid bisa memakan waktu 3-5 hari, tapi terlalu malu. Apalagi selama ini June tahunya Bright adalah seorang yang cukup noob pada konteks percintaan apalagi soal masalah-masalah dewasa. “Kalau situasi udah aman, baru gue suruh lo pulang. Urusan makan sama jajan lo nggak usah dipusingin, gue akan transfer semuanya, ya?”
“Hhhhㅡ” June menjeda sebentar kata-katanya, “ya udah deh, pokoknya kabarin gue kalau gue udah bisa pulang ya, Mas? Abis ini gue siap-siap cabut lagi. Gue paling ke tempat Puimek, oke?”
“Oke, deal. Udah ya, gue matiin dulu. Mau beberes sebentar abis itu gue jemput adek lo di tempat Bang Off.”
“Ya, ya, ya, oke… nanti jangan lupa bilang Winnie buat video call atau kirim foto selfie ke gue ya, Mas? Gue kangen banget sama adekkkk!!!”
Bright berdehem menyanggupi, “iya, gampang. Dah ya, gue tutup. Bye.”
“Bye, Mas.”
PIPPP, sambungan telepon pun terputus.
Tidak mau berlama-lama, Bright pun langsung menuntaskan pekerjaannya yang sempat terhenti sejak June menelepon, lalu setelah itu ia akan beres-beres ruangan kerjanya dan segera bergegas menuju apartemen milik Off yang untungnya tidak terlalu jauh dari gedung perusahaan.
. . .
“Yah, Mas Bright… tapi Winnie bilang, dia nggak mau ketemu Mas Bright dan mau nginep di sini untuk seterusnya.”
Memang apa lagi yang bisa Bright lakukan selain geleng-geleng kepala saat ini? Ucapan Gun barusan yang menahan langkah kakinya untuk masuk ke dalam unit apartemen mewah milik Off terdengar seperti lelucon yang sayangnya tak bisa Bright tertawakan begitu saja.
Kedua ujung alis tebal Bright menyatu penuh rasa bingung, “jadi gue nggak boleh masuk buat jemput Winnie, gitu, Gun?” tanyanya.
Gun yang berada di posisi maju kena mundur kena pun cuma bisa berdehem pelan, kepalanya mengangguk ragu-ragu.
“Bukan gue nggak bolehin, tapi anaknya yang nggak mau.”
Bright berdecak, energinya nyaris habis untuk menyikapi tingkah laku hybrid kucing miliknya itu, “Bang Off tau lo nyembunyiin Winnie di sini?” sedikitpun Bright terus menekan Gun untuk membukakan pintu lebih lebar untuknya. Tapi sayang, hybrid harimau itu seolah tidak mau memberikan jalan sama sekali untuknya.
Bright yang masih berusaha menekan segala emosinya pun kembali berujar, “gue telfon Bang Off, ya? Kebetulan lagi ada jadwal lembur, kayaknya sih belum tau kalau lo nyulik Winnie dan berniat buat nyembunyiin dia dari gue.” kalau Gun tidak bisa diajak bicara secara 'teman' maka mau tidak mau, Bright harus meluncurkan cara 'musuh'. Ancaman, Bright akan mengancam Gun dengan membawa nama Offㅡ Gun's master.
Ditanya seperti itu, Gun mulai kalang kabut. Telinga runcingnya yang kecil dan cukup lebar menelungkup ke bawah.
Namun sebelum Bright berhasil menempelkan layar ponselnya di telinga, Gun lebih dulu mencegat, “jangan bilang Mas Off, Mas. Gue belum izin ke Mas Off.” Gotcha!
“Okay if you say so,” tapi Bright tidak mau langsung berbaik hati begitu saja, “gue nggak akan ngadu ke Bang Off, asalkan lo izinin gue masuk buat jemput Winnie.”
Takut, sih, dengan ancaman Bright, tapi kayaknya Gun juga belum mau langsung mengiyakan permintaan lelaki yang merupakan sepupu sekaligus sahabat dari sang tuan. Gun seolah-olah memperlambat waktu dengan bersikap pura-pura gelisah di depan Bright yang masih dibiarkan berdiri di depan pintu unit apartemen.
Tampilannya formal, baru pulang kerja. Tapi tatanan kemeja yang sudah tidak pada tempatnya, dasi berwarna biru dongker yang sudah agak mengendur dan rambut yang sedikit berantakan jelas menunjukkan bahwa Bright tidak sedang dalam keadaan yang 100% baik.
Gun mengusap tengkuknya pelan, “gue nggak enak sama Winnie, Mas,” Jujur, Gun juga kasihan pada Winnie yang sedang tersiksa di dalam unit apartemennya, “gue bukannya nyulik Winnie atau apapun itu. Gue juga sama sekali nggak bermaksud untuk ngelarang lo ketemu dia, tapi dia sambil nangis-nangis ke gue bilang kalau dia nggak mau ketemu lo.” katanya.
“Gue takut kalau tiba-tiba lo muncul di depan Winnie, dia bakalan nangis lagi. You know, Mas Bright? It took two hours to make him stop from crying. Worst hormones during pre-heat, ngerti kan, Mas?”
Winnie menangis?
Bright semakin merasa bersalah.
Hembusan nafas berat lolos dari belah bibir Bright. Satu tangannya dengan lemas masuk ke dalam saku celana. Sorot matanya yang semula diselimuti emosi mulai melembut, dilingkupi rasa khawatir. “Winnie nangis?”
Gun mengangguk, “he said you ignored him last night.”
“Gue punya alasan yang jelas kenapa gue nolak dia semalem, Gun.” Gengsi pun masih merajai hati lelaki itu. “Semingguan ini kerjaan gue hectic banget di kantor dan gue mau promosi jabatan. Energi gue udah habis banget, dan gue udah janjiin dia kalau gue bakalan penuhin semua kebutuhan dia hari ini. Gue nggak nyuekin dia begitu aja, gue cuma minta dia buat sabar. Buat nunggu. Susah, kah?”
Melihat keputusasaan di wajah Bright jelas membuat Gun jadi tidak tega. Hybrid harimau itu menghela nafas panjang satu kali, lalu menjilat bibir bawahnya yang terasa mulai kering.
“We are hybrids, kalau lo lupa, Mas.”
Dan dengan kalimat tersebut, akal sehat Bright seolah baru saja dibuka kembali. “You are lucky enough, karna Winnie nggak nekat kabur ke tempat yang dia nggak tau terus randomly asking people to fuck him just to make him a little better.”
“You are super lucky, he thinks about you. You as a whole yourself.”
Bright jadi teringat akan perdebatan semalam, dimana Winnie meminta izin secara implisit padanya untuk melakukan hubungan intim dengan orang lain jika Bright tidak mau memenuhi kebutuhannya.
Seketika Bright bertanya-tanya, “do all of you only will get better when being fucked?” sepasang mata Gun membola mendengar pertanyaan Bright, namun tetap bersikap tenang.
“Maksud gue, nggak ada cara lain untuk ngatasinnya?”
Bright semakin putus asa. “I am not always mentally ready for it, Gun, i am not a sex maniac.”
Sepertinya dugaan Gun bahwa Bright memang tidak siap untuk memiliki hybrid benar adanya. Dan untuk menyesali itu semua, bukankah sudah terlambat?
Melihat amarah, kebingungan dan juga kekhawatiran yang terbesit dalam sepasang obsidian hitam Bright, Gun pun membuka pintu lebih lebar lagi.
Tapi sebelum Bright bisa melangkahkan kakinya masuk, Gun kembali berkata, “Unfortunately, yes. Pil supresan sekarang udah lumayan susah dicari and all of us will only get better when we're being fucked.”
“Apalagi ketika puncak heat period, rasa sakitnya lo nggak bakalan sanggup untuk bayangin, Mas.”
Jadi benar… Winnie semenderita itu?
Bright menghembuskan nafas satu kali lagi, “terus Winnie gimana sekarang? Masih kesakitan?” tanya Bright.
Gun mengangguk, kemudian mempersilakan Bright untuk masuk dan mengikutinya ke arah ruang makan.
“Karna gue juga nggak nyimpen pil supresan, jadinya tadi gue bantu dia buat orgasme dua kali. Nggak usah mikir yang enggak-enggak, gue bantu dia pakai toys. He's all clean for you.”
Oke, setidaknya Winnie sudah berhasil mendapatkan orgasme walau hanya sebanyak dua kali dan tentunya tidak terlalu mampu meredakan rasa sakit yang dialami.
Bright terus mengikuti langkah kaki Gun dan berhenti tepat di sisi meja makan. Tampak Winnie yang sedang mengaduk-aduk es krim strawberry di depannya tanpa semangat.
Gun melirik Bright sebentar, sebelum akhirnya ia beranjak mendekati Winnie dan duduk di bangku yang berseberangan dengan posisi si hybrid kucing.
“Winnie,”
Dengan pelan, Winnie mengangkat pandangannya. Terlihat beberapa gurat halus di sepanjang dahinya. “Yes, kak Gun?”
Gun mengulas senyum kecil, lalu mengisyaratkan Winnie untuk menoleh ke arah kanan, “can you look up at your right side?”
Memang dasarnya Winnie adalah hybrid penurut dan belum banyak tingkah, oh… jangan lupakan sifat polosnya, jadilah kucing manis itu tanpa bertanya mengikuti permintaan Gun. Winnie menoleh ke sisi kanan dan tertegun begitu ia dapati Bright berdiri tidak jauh darinya.
Sorot mata yang semula sayu seperti anak kucing kini berubah tajam seperti seekor singa.
Winnie marah. Jelas masih marah pada Bright.
Hybrid kucing itu kembali menatap Gun yang duduk penuh rasa bersalah di depannya, “ada perlu apa Masbie datang ke sini?” sorot matanya terpusat pada Gun, tapi pertanyaannya jelas ditujukan untuk sang tuan.
Winnie yang lembut dan terkesan lugu, hilang entah kemana.
“Winnie, pulang sama Mas, ya?”
Hening. Sampai akhirnya Winnie berdecak pelan, “pulang?” tanyanya sarkas, kemudian ia menggeleng, “tidak mau. Winnie tidak punya rumah dan Winnie tidak bertuan.”
Hati Bright mencelos mendengar ucapan si kucing manis. Semarah itukah Winnie padanya?
Bright menelan salivanya susah payah, “Mas minta maaf sudah membuat Winnie marah, sudah membuat Winnie sedih dan sudah membuat Winnie kesakitan. Mas tidak bermaksud untuk melukai hati Winnie, Mas minta maaf sekali...”
Winnie tidak langsung menjawab. Hybrid kucing itu dengan santai melahap kembali es krimnya tanpa memperdulikan Bright yang semakin merasa putus asa.
Masih tidak ada jawaban hingga suapan ke-5. Sampai akhirnya, Bright kembali buka suara, “Winnie,”
“Tidak mau.”
Tapi Bright tidak menyerah.
Lelaki itu berusaha mendekati Winnie, tapi Gun memintanya untuk mundur, kembali ke tempat semula. Tingkat emosi Winnie sedang kacau, Gun tidak mau hybrid kucing itu meledak di saat dirinya sendiri mungkin sedang setengah mati menahan rasa sakit.
Oke, Bright menurut dan kembali berdiri pada posisinya.
“Winnie dengar Mas,”
Tapi lagi dan lagi yang dipanggil menunjukkan sisi cueknya. Winnie beralih menyingkirkan es krimnya yang sudah habis, kemudian meraih sebuah piring berisi roti bakar buatan Gun yang belum sempat ia makan sedikitpun.
Seolah-olah Bright tidak ada di sana, Winnie mulai memotong-motong roti bakar di hadapannya menggunakan garpu. Melahap satu persatu potongan roti bakar tanpa beban. Mengabaikan fakta bahwa Bright, dengan putus asa, sedang memohon perhatiannya.
“Winnie, sayang,”
Hening, tidak berbalas.
“Winnie,”
Tetap hening.
Dan tampaknya kesabaran Bright semakin menipis.
“Oke, fine, jadi Winnie sudah tidak mau menurut sama Mas lagi?!”
Duh, tuh kan… jadi kacau.
Lantas yang ditanya, untuk kesekian kali, memilih abai. Matanya masih fokus menusuk-nusuk potongan roti bakar yang tersisa di atas piring menggunakan garpu, lubang telinga lancipnya seolah tertutup, meski nyatanya Winnie tak mampu menyembunyikan cupingnya yang bergerak-gerak kecil setiap kali Bright memanggil namanya.
“Mas tanya satu kali lagi, Winnie tidak mau pulang sama Mas? Mas akan hitung dimulai dari satu sampai tiga. Winnie dengar Mas? Satu, duaㅡ”
“NO!!! WINNIE TIDAK MAU PULANG DAN WINNIE TIDAK MAU MENURUT LAGI PADA MASBIE!!!”
Sepasang mata Bright membola kaget, hybrid kucing itu bukan hanya sedang menuju puncak masa birahinya, tapi juga kini sedang di puncak amarahnya yang sudah tidak lagi terbendung.
Lantas Bright satu kali lagi, berusaha menekan emosinya. “Winnie, sayang,”
“No,” Winnie beranjak dari meja makan dengan sedikit kasar, Gun yang duduk di seberangnya pun tertegun penuh rasa terkejut, “Winnie tidak suka pada Masbie, Winnie benci Masbie!!!”
Bukan lagi sebatas mencelos, hati Bright kini sudah hancur nyaris tidak berbentuk. Kalimat penolakan dan penuh emosi yang diteriakkan Winnie benar-benar mampu membuat mata Bright berkaca-kaca.
Winnie menyeret langkah kakinya meninggalkan ruang makan. Melewati Bright begitu saja, juga mengabaikan Gun yang terpaku di posisinya.
Satu-satunya tujuan Winnie saat ini adalah; sofa. Sofa di ruang tengah unit apartemen milik Off, ia enggan berada di satu ruangan yang sama dengan sang tuan.
Tapi tidak lama setelah itu, Bright kembali muncul di hadapannya. Lelaki itu berdiri tepat di depan tubuh Winnie yang menunduk, dengan wajah yang menelungkup di atas telapak tangan.
Winnie menangis, ketika hybrid itu marah maka ia akan menangis. Isakannya terdengar putus-putus, begitu pilu mengetuk lubuk hati terdalam Bright.
Mengerti bahwa Winnie sedang kecewa dan marah besar, Bright pun merengkuh kepala Winnie dan memeluknya erat. Tangan kiri Bright bergerak mengelus surai lembut Winnie penuh sayang, sedangkan tangan kanannya mengusap punggung Winnie yang bergetar hebat.
“Winnie,”
… masih tidak ada jawaban.
“Mas is sorry, sayang,”
Lalu Bright mengecup cuping telinga runcing Winnie beberapa kali, “Mas sudah sangat bersalah pada Winnie, satu kali lagi Mas minta maaf, Mas didn't mean to hurt you that way, sayang...”
Bright mendekap Winnie lebih erat lagi, “tidak seharusnya Mas bersikap kasar pada Winnie seperti semalam dan seperti tadi. Mas minta maaf sudah terbawa emosi. You are so precious to me, sayang. Winnie mau pulang bersama Mas?”
“Mas janji, Mas tidak akan menyakiti Winnie lagi.”
Mendengar ucapan Bright yang panjang lebar dan terkesan sungguh-sungguh, Winnie akhirnya membalas pelukan sang tuan. Hybrid kucing itu melingkarkan kedua tangannya di punggung Bright, berusaha mencari kenyamanan yang sangat dirindukan juga aroma tubuh yang begitu memabukkan.
Winnie memeluk Bright jauh lebih erat lagi, kemudian kepalanya mengangguk tanpa ragu.
“W-winnie mau pulang dengan Masbie.”
Satu kata; lega. Bright akhirnya bisa menghembuskan nafasnya dengan ringan, seolah tanpa beban. Tangannya masih terus memberi kehangatan di punggung si kucing manis. Bibirnya sekali menghujani sisi wajah Winnie dengan kecupan-kecupan kecil.
Winnie tidak mau melepas pelukannya, ia terlalu rindu pada Masbie-nya.
Untuk memastikan pendengarannya, Bright bertanya satu kali lagi, “benar, Winnie mau pulang dengan Masbie?”
Tanpa mengendurkan pelukannya sesenti pun, Winnie mengangguk, “uhm, Winnie mau pulang sekarang dengan Masbie.” sahutnya samar-samar.
Dan dengan itu, Bright merengkuh tubuh Winnie lebih erat lagi lalu mengangkat sang hybrid untuk bertahan dalam gendongannya. Dengan spontan, Winnie melingkarkan kedua kakinya di pinggang Bright juga menyembunyikan wajah sembabnya di perpotongan leher sang tuan.
Bright yang kebetulan secara tidak sengaja melihat ponsel milik Winnie tergeletak begitu saja di atas sofa, menunduk sedikit untuk meraihnya. Lalu disimpan di saku celana bahan yang ia kenakan.
Gun yang melihat kedua tamunya sudah berhasil menemukan kata damai pun tersenyum tulus, lalu menuntun langkah Bright yang menggendong Winnie menuju pintu utama unit apartemen.
“Gun, makasih banyak dan maaf ngerepotin. Maaf juga udah bikin keributan dan suasana nggak enak di sini. Sekali lagi makasih ya.”
Si hybrid harimau itu mengangguk penuh kelegaan. Gun membukakan pintu untuk kedua tamunya, “tolong dijaga dan dingertiin Winnie nya ya Mas, kalau lagi masa sensitif gini emang butuh perhatian lebih. Kalau masih bingung atau keteteran ngurus hybrid, lo bisa calling gue sama Mas Off.”
Bright berdehem pelan, “thanks. Kalau gitu gue sama Winnie balik dulu, ya?”
“Winnie, ayo pamit dan bilang makasih dulu sama Kak Gun.” sambung Bright.
Winnie mengangkat sedikit kepalanya, lalu melirik Gun malu-malu. Satu telapak tangannya yang semula memeluk leher Bright bergerak lembut melambai pada Gun yang sedang tersenyum manis padanya.
“thank you so much, kak Gun. Winnie dan Masbie pulang dulu, yah?”
Gun membalas lambaian tangan Winnie, “hati-hati di jalan, sayang.”
Winnie tersenyum kecil, lalu kembali menguburkan wajahnya di ceruk leher Bright.
Setelah mengucapkan pamit satu kali lagi, Bright dan Winnie akhirnya benar-benar melangkah meninggalkan unit apartemen Off untuk kembali ke rumah.
. . .
“Mmhhh… M-masbie…”
Entah siapa yang memulai lebih dulu, bibir keduanya kini sudah saling beradu dan bergulat dengan mesra. Winnie yang nyaris limbung dalam gendongan Bright pun cuma bisa mendesah ketika sang tuan tanpa aba-aba menyerangnya.
Bright menutup pintu utama rumah dengan kaki. Lalu perlahan-lahan berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, sambil terus menikmati bibir penuh Winnie yang menurut dan pasrah di bawah kuasanya.
Lumat – jilat – kulum – kecup. Hanya seperti itu siklusnya, tapi dilakukan secara repetisi.
Hingga keduanya tiba di lantai 2, Bright langsung membaringkan Winnie di atas sofa.
Dengan nafas yang sedikit terburu-buru, Bright menyudahi ciumannya. Lelaki itu berlutut di sisi kiri dan kanan tubuh Winnie yang terbaring pasrah, lalu dengan tergesa ia membuka gesper yang mengikat celana bahannya.
Bright terus mengunci sepasang mata Winnie yang sudah dipenuhi kabut nafsu dalam satu titik mutlak. Hybrid kucing itu terlihat begitu seksi dan memabukkan, juga manis di waktu yang bersamaan. Entah karena sudah terbawa nafsu atau merupakan hasil dari proses belajarnya selama ini dengan Bright, Winnie sudah lebih handal untuk menggoda Bright dengan ekspresi wajahnya.
Winnie sudah terjebak di level birahi yang amat tinggi. Matanya terus memandang sang tuan penuh nafsu. Bright mulai menurunkan resleting celananya, dan dengan inisiatif sendiri, Winnie membawa jari telunjuk tangan kirinya untuk dikulum dan dibasahi.
Membuat Bright menggila, membayangkan kalau jari telunjuk itu... kejantanannya.
Bright mengulas smirk di sudut bibirnya, “jilat jari kamu sama seperti saat kamu menjilat penis Mas, sayang...”
Dipancing seperti itu, Winnie jelas bertambah semangat. Sudah berhari-hari lamanya ia menahan segala gejolak dan dorongan untuk menuntaskan hasrat seksualnya, tapi baru kali ini bisa tersalurkan dengan benar.
Winnie tidak mau berpikir lebih jauh dan lebih lama lagi. Hybrid kucing itu mengikuti perintah Bright, mengulum jari telunjuknya dengan ekspresi wajah yang sengaja dibuat sesensual mungkin.
“Mmmhhhㅡ” Winnie mendesah, lidahnya terjulur membawa laju saliva yang perlahan-lahan membasahi jari telunjuknya dari ujung hingga ke pangkal.
Jantung Bright berdegup cepat. Kondisi Winnie yang sudah pasrah dan terlihat amat sangat menggoda mampu membuat dirinya mengerang ketika ujung jarinya tak sengaja menyentuh pusat tubuhnya sendiri yang sudah menegang di balik sehelai kain yang tersisa.
Bright menurunkan celana bahannya sampai ke batas lutut, lalu membiarkan celana dalamnya masih terpasang dengan sempurna.
Winnie menambahkan satu jari ke dalam mulutnya. Kucing manis itu memaju-mundurkan jari-jemarinya dengan lambat, seraya terus memandang Bright yang juga sedang menatap ke arahnya penuh gairah.
Bright membawa tubuhnya mendekat, lalu menarik pelan jari telunjuk dan jari tengah yang sedang Winnie kulum dan mengganti fungsi mulut sang hybrid untuk mengulum bibirnya sebagai ganti. Bright mengangkat tangan Winnie ke atas, keduanya terus bergulat mencari nikmat lewat lumatan juga jilatan.
Winnie mendesah di sela-sela ciuman itu, lalu dengan spontan Bright melesakkan lidahnya untuk masuk ke dalam, bertemu sapa dengan lidah Winnie yang sudah mengetuk-ngetuk meminta perhatian.
Bunyi denting jarum jam yang berkumandang di ruang tengah lantai 2 pun dianggap sebatas angin lalu. Bright masih sibuk mengulum lidah lentur Winnie maju – mundur – maju – mundur sambil sesekali menghisapnya.
Winnie yang semakin hanyut dalam permainan pun memeluk tengkuk sang tuan dengan satu tangannya yang bebas; tangan kanan. Tangan kirinya masih terkunci dalam genggaman Bright di atas kepalanya, lalu diusapnya penuh sayang surai hitam milik si yang lebih tua.
“Hmmpphㅡ” Bright menggeram sesaat ketika pusat tubuhnya tak sengaja bergesekan dengan bagian perut si hybrid. Intensitas ciuman yang semakin menggila, juga gesekan yang sudah tak mampu lagi dihentikan membuat Bright terbakar, lebih panas lagi, oleh gairah.
Bright melumat bibir atas dan bawah Winnie bergantian, menyalurkan sensasi panas hingga membuat si kucing manis menggeram, kenikmatan.
Oke, rasanya sudah cukup untuk bermain-main. Bright tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
Ciuman keduanya terputus. Bright menarik wajahnya menjauh dari jangkauan Winnie, menyisakan tautan saliva yang membentang menjembatani bibirnya dengan milik sang hybrid.
Bright menatap Winnie penuh damba. Pemandangan dimana si kucing manis berbaring pasrah dengan tatapan matanya yang sayu dan dipenuhi kabut nafsu, kedua pipinya merona menahan malu serta gairah juga bilah bibirnya yang membengkak, basah, mengkilap, terbuka sedikit untuk merilis helaan nafas putus-putus lewat celah yang tercipta.
“Sayang,”
Kepala Winnie mengangguk kecil, menunggu kata-kata yang ingin diucap Bright selanjutnya.
“Let Mas prepare you first.”
Seolah mengerti dengan maksud ucapan sang tuan, Winnie dengan perlahan-lahan mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Cuping telinganya bergerak kecil penuh antusias. Winnie tertawa kecil ketika Bright dengan jahil mengelus dan menjepit ujung telinganya dengan jari.
Winnie sudah polos total. Tidak ada satupun kain yang tersisa di tubuh putihnya nan halus seperti bayi. Bright amat sangat menyukai posisinya saat ini. Berlutut gagah di atas sang hybrid, memandang betapa polos dan sempurnanya kucing manis itu yang kini tersipu malu-malu.
Bright menunduk. Menjamah setiap inci tubuh Winnie yang terekspos bebas dengan bibirnya yang begitu lapar dan mendambaㅡ mengecup, menjilat kecil juga menggigit samar-samar. Mulai dari tulang rahang Winnie yang begitu tajam dan tegas, turun dan maju menuju tengkuk, bermain-main dengan cantik sebentar di sana.
Kedua kaki jenjang Winnie tidak bisa diam. Tubuhnya menggelinjang ketika lidah Bright semakin turun menyentuh tulang belikatnya.
“M-masbie… ahhhh,” mendesah, Winnie hanya bisa mendesah sebagai respon atas semua stimulus yang Bright berikan.
Digapainya lagi rambut sang tuan yang sudah berantakan. Winnie mencengkeram kuat, bukan menjambak. Euforia penuh kenikmatan ia salurkan lewat setiap jengkal jarinya yang meremas surai halus itu.
Bright semakin bergerak turun. Kali ini dengan tempo yang lambat, seolah bermain-main.
“Hmmmpphh,”
Winnie menutup rapat bibirnya yang sulit sekali dikontrol. Matanya terpejam, jari-jari kakinya menciut ketika kecupan Bright tiba dada kirinya. Sang tuan dengan sengaja menghembuskan nafasnya di sana, membuat Winnie satu kali lagi bergidik menahan sensasi geli dan nikmat yang bercampur jadi satu.
Bright adalah seorang yang handal dalam pekerjaannya. Ia amat sangat konsisten pada setiap langkah yang dilalui, juga pada setiap lembar berkas yang dipercayakan padanya. Bright, konsisten pula dalam memberikan kenikmatan. Maka ketika lidahnya berputar di sekitar areola kiri sang hybrid, ada desahan berat yang lolos sebagai bukti validasi; he's good at it.
Dikulumnya puting kiri Winnie yang sudah mengeras. Dihisapnya puncak puting itu hingga membuat si empunya mengerang dengan kuat.
Lalu beralih ke puting kanannya, Bright melayani dengan cara yang sama.
Selesai dengan urusan dada, bibir Bright kembali turun untuk kali ini menjamah perut datar si kucing manis. Kecup – jilat – kecup – jilat, dan berakhir dengan hisapan kecil tepat di lubang pusar.
Winnie memerah, tubuhnya bergetar kecil.
Ini sudah saatnya, dan Bright dengan segera membawa kedua kaki Winnie untuk menggantung di bahu kanan dan kirinya.
Winnie yang sudah pasrah pun hanya bisa memandangi Bright yang kini tampak serius mempersiapkan lubang senggamanya.
Winnie mendesah, bahkan ketika Bright belum mulai menyentuhnya. Kucing manis itu mendesah berat dan panjang, karena Bright dengan gagahnya menjilati satu persatu jari-jari tangan kanannya.
Masih terus bertatapan, masih saling berbagi hangat lewat pandangan yang dibagi satu sama lain, sampai akhirnya Winnie berujar, “M-masbie,”
Bright berdehem singkat, tidak mau konsentrasinya terpecah.
“Can we fuck slow, today? Winnie is too tired.”
Satu alis Bright bertaut, “kamu capek? Kenapa nggak bilang dari tadi? Mau Mas udahan aja?” tapi dengan cepat Winnie menggeleng, “no, no, no, Masbie.” balasnya.
Bright mengelus sayang kedua tungkai Winnie yang mengangkangi wajahnya. “Katanya, kamu capek?” ujung jari Bright menyentuh gelang kaki Winnie yang bagaikan spotlight di sana, bermain-main sesaat dengan benda yang begitu disukai Winnie.
Kepala sang hybrid mengangguk pelan, “uhm,” tangannya terangkat untuk bermain di cuping telinganya, berusaha menyingkirkan rasa malu. “Winnie sudah orgasme dua kali tadi di tempat Kak Gun dan Mas Off. Kak Gun membantu Winnie menggunakan dildo yang besar sekali… Winnie lelah.”
“Tapi Winnie butuh Masbie… Winnie ingin dimasuki Masbie.” sambungnya, penuh harap.
Oke, Bright mengerti. Hancurnya mood dan segala kekacauan yang terjadi sejak semalam cukup menguras habis energi keduanya. Tidak dipungkiri, Bright juga lelah. Tapi ia ingin menyenangkan hati Winnie dan memenuhi kebutuhan biologis hybrid kesayangannya itu.
Setelah memberikan anggukan singkat sebagai jawaban, Bright mulai menciumi beberapa titik di tungkai Winnie yang bisa dijamah oleh bibirnya. Winnie dibuat mendesah hebat, lagi.
Hari ini mereka akan bermain santai. Besok? Who's know? Apalagi ketika Winnie sudah tiba di puncak masa heat-nya, keduanya mungkin akan bermain gila nanti.
“Winnie, sayang,”
Dengan senyumnya, Winnie menyahuti panggilan Bright yang masih sibuk menciumi tungkai kanan dan kirinya secara bergantian.
“Yes, I am, Masbie…”
Ckckck, Bright terkekeh lembut, “Winnie wants to try something new with Mas?” tanya sang tuan.
Satu alis Winnie bertaut penasaran, but he's still nodding anyway, “mau… Winnie wants to learn new things with Masbie.” huh, manis sekali.
Bright berdehem sesaat sebelum akhirnya lelaki itu memposisikan kejantanannya tepat di depan lubang senggama Winnie. Bright bergerak kecil di sana, menggesekkan pusat tubuhnya naik – turun – naik – turun, kembali membakar kobaran gairah yang sempat menurun beberapa menit lalu.
Bright meminta Winnie menatap apa yang sedang ia lakukan di bawah sana. Winnie melihat bagaimana kejantanan Bright bergerak menggagahi belah pantatnya, sangat memabukkan.
“Winnie wants to learn how to make Mas satisfied more than Winnie did last time?”
Winnie mendesah, kemudian mengangguk, “Sshhh, m-mau, Masbie...”
Bright membawa tangan Winnie untuk menyentuh ujung kejantanannya yang masih bergerak naik dan turun, “talk in dirtiest way, sayang.”
Winnie bingung, apa maksudnya?
Bright menuntun tangan Winnie untuk menggenggam bagian atas kejantanannya yang sudah mengeras total, “this is kontol. From now on, Winnie should ask for Mas's kontol if Winnie wanna get fucked.”
Sambil terus menggesek, Bright mengelus paha dalam Winnie dengan lembut.
“What is this, Winnie?” sang tuan mengujinya.
Lantas dengan berani, Winnie menjawab, “k-kontol? Masbie's kontol...”
“Such a good kitten,” Bright menciumi paha dalam Winnie dengan penuh damba, “kontol is an actual dick in dirty vocabulary.”
“Dan Winnie harus menyebut penis Mas dengan kontol kalau Winnie mau bercinta dengan Mas, okay?”
Winnie mengangguk paham, “okay...” gesekan kejantanan Bright di belahan pantatnya semakin menggila, “Winnie menyukai kontol Masbie… kontol Masbie nikmat sekali.”
Niat hati mengajari Winnie berbahasa kotor, Bright malah kelimpungan sendiri karena ternyata efeknya akan sebesar dan sedahsyat ini.
Bright, tidak tahan lagi.
Ia ingin memuaskan, juga dipuaskan.
Maka tanpa kata yang terucap, Bright mulai memasuki lubang senggama Winnie dengan satu jarinya; jari telunjuk.
Winnie tidak terlihat kesakitan. Mungkin karena sudah dibantu dengan dildo oleh Gun sore tadi, jadinya lubang Winnie sudah sedikit lebih longgar.
Jari ke-2 pun masuk, dan disusul jari ke-3.
Winnie cuma mendesah, hasratnya sudah di ujung tanduk.
Ketika dirasa sang hybrid sudah siap, Bright menarik tangan Winnie untuk duduk di pangkuannya. Winnie dengan susah payah memasukkan kejantanan Bright ke dalam lubangnya perlahan-lahan.
Dengan posisi duduk di atas sofa seperti ini, tampaknya keduanya butuh usaha ekstra.
Untuk membantu Winnie yang kesusahan, Bright pun memeluk tubuh si kucing manis sambil membubuhi kecupan di sepanjang bahu polosnya. Tangan kiri Bright membantu menurunkan tubuh Winnie, sedangkan tangan kanannya; mengocok penis Winnie yang sudah berdiri dengan tegaknya sejak tadi.
Butuh beberapa kali dorongan lagi sampai akhirnya kejantanan Bright berhasil masuk seutuhnya.
Winnie mendesah lega, “Aahhhh,” apalagi ketika batang kejantanan Bright menyapa lembut dinding rektumnya. “Kontol Masbie enak… mmmhhhh, besar sekali yah...”
Winnie terlalu polos, Bright terlalu menyayanginya.
Dua kali kecupan Bright berikan di tengkuk Winnie, lalu berpindah ke rahangnya dan berhenti tepat di perpotongan lehernya.
Bright belum bergerak, masih ingin memberi waktu bagi Winnie untuk beradaptasi.
“Kali ini Winnie tidak usah banyak bergerak, biar Mas yang bekerja keras, oke?”
Winnie mengangguk, “uhm, okay.”
Bright kembali menjamah bahu telanjang Winnie dengan bibir juga lidahnya. Tangannya juga terus memberikan pijatan juga remasnya di sepanjang kejantanan Winnie yang mulai bergetar, hendak menjemput putih.
Satu tangan Bright yang bebas mengelus seduktif pinggang ramping sang hybrid, “cockwarming sebentar aja ya, sayang… Mas masih mau diem begini, Mas mau manjain Winnie dulu.”
Winnie tidak lagi mampu menjawab. Bright dalam satu kali hentak menghujam prostatnya tanpa melakukan pergerakan secara berlebihan. Ketika dirasa ujung kejantanan Bright sudah menyatu dengan titik nikmat Winnie, sang tuan kembali memuaskan hybrid nya dengan oral yang terus bergerak aktif.
Di bawah lampu temaram, di waktu yang semakin beranjak malam, Winnie hanya mampu mendesah membiarkan Masbie-nya mengambil utuh segala warasnya yang nyaris tak tertinggal, sedikitpun.
. . .
WRITTEN BY : JEYI.