𝙅𝙀𝙔⋆

•|| Bright for my Win ♡

“Oke, fine, jadi Winnie sudah tidak mau menurut sama Mas lagi?!”

Yang ditanya memilih abai. Matanya masih fokus menusuk-nusuk potongan roti bakar yang tersisa di atas piring menggunakan garpu, lubang telinga lancipnya seolah tertutup, meski nyatanya Winnie tak mampu menyembunyikan cupingnya yang bergerak-gerak kecil setiap kali Bright memanggil namanya.

“Mas tanya satu kali lagi, Winnie tidak mau pulang sama Mas? Mas akan hitung dimulai dari satu sampai tiga. Winnie dengar Mas? Satu, duaㅡ”

“NO!!! WINNIE TIDAK MAU PULANG DAN WINNIE TIDAK MAU MENURUT LAGI PADA MASBIE!!!”

Sepasang mata Bright membola kaget, “Winnie, sayang,”

“No,” Winnie beranjak dari meja makan dengan sedikit kasar, Gun yang duduk di seberangnya pun tertegun penuh rasa terkejut, “Winnie tidak suka pada Masbie, Winnie benci Masbie!!!”

tags: EXPLICITㅡ pre-heat!grumpy!mengwinnie, handjob, local porn words involved, cock warming on the sofa and under the dim light, multiple-stimulation, a little bit dramatic 🔞 pair: human!bright x cat hybrid!win total words: 8.7k+ words commissioned by: fans berat mengwinnie


“Ugh, sudah jam sembilan...”

Winnie berdengus pelan ketika ia dapati waktu sudah memasuki jam 9 malam, tapi belum ada tanda-tanda kalau Bright akan tiba di rumah dalam waktu dekat. Cuping telinganya yang lancip bergerak lesu, bibir bawah hybrid kucing itu menekuk lucu pun wajahnya yang sudah setengah mengantuk kini menempel dengan permukaan meja di ruang keluarga di lantai 2 rumahㅡ yang membatasi area televisi dengan sofa dan akses menuju dapur.

Jari-jari lentik Winnie bergerak asal di atas meja, membuat suatu irama tidak jelas guna mengisi sepi.

Nasib baik tampaknya sedang tidak berpihak pada kucing manis itu. Sudah tiga hari lamanya, Bright lembur di kantor. Jam pulangnya pun tidak berjadwal, sehingga Winnie sering kali ketiduran saat sedang menunggu tuannya itu sampai di rumah. Hari ini, Bright pasti lembur lagi dan Winnie mulai mengantuk.

Eksistensi June juga tidak terlihat di rumah besar itu. Seingat Winnie, June hanya izin keluar sebentar sore tadi untuk membeli bahan makanan yang habis ke supermarket. Tapi sampai jam segini, June belum juga pulang.

Krrtttt… krrrtttt… Ups, perut Winnie bunyi.

“Laparrr...” Si kucing manis berujar pelan, seraya mengusap-usap bagian perutnya.

Mau tidak mau, Winnie memaksa tubuhnya untuk bergerak. Periode menjelang masa heat tampaknya sukses membuat si hybrid yang biasanya hiperaktif itu menjadi jauh lebih pasif. Tidak lagi ada Winnie yang senang berlarian keliling rumah sambil memamerkan gelang kaki baru pemberian Bright. Bunyi gemerincing yang biasanya memenuhi seisi ruangan pun tidak terdengar beberapa hari ke belakang.

Winnie sering kali merasa tubuhnya mudah lelah dan panas di waktu yang bersamaan, kepalanya juga sesekali diserang rasa sakit yang cukup kuat. Winnie butuh Masbie, tapi lelaki itu tentu lebih memilih untuk berkutat dengan segala tetek bengek pekerjaan di kantor daripada harus mengurusi Winnie yang mulai sakit-sakitan menjelang heat.

Si hybrid kucing melangkah tertatih-tatih menuju dapur. Begitu sampai di meja makan, helaan nafas berat kembali terhembus dari belah bibirnya.

Tidak ada makanan, tidak ada apapun di atas meja selain tiga buah piring makan beserta garpu dan sendok yang tertata rapi di atas sana.

Winnie beranjak menuju kulkas, mencari bahan makanan yang mungkin masih tersisa di dalam sana untuk dimasak. Tapi naas, begitu pintu kulkas terbuka, yang ada hanyalah pemandangan tiga kotak sereal rasa coklat, buah-buahan yang tidak begitu Winnie sukaiㅡ buah naga, nanas, pepaya dua kotak susu berukuran besar.

Jadinya, yah… mau nggak mau, Winnie mengambil satu kotak sereal yang sudah terbuka dan juga satu kotak susu rasa coklat dari kulkas dan membawanya ke meja makan.

“Masbie sudah makan malam belum, yah...” kucing manis itu bermonolog seraya mencari mangkuk berwarna hijau muda miliknya di rak piring.

Huh, ia berdengus satu kali lagi, “June kenapa lama sekali… June kenapa tidak membawa ponsel jadi tidak bisa Winnie hubungi huh, kalau begini bagaimana bisa Winnie memasak untuk Masbie?”

Well, memang tampaknya tidak ada yang bisa disalahkan selain June. Adik perempuan dari Bright itu lupa membawa ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Bahkan ketika waktu semakin berjalan menuju jam setengah 10 pun, June belum juga menampakkan diri.

Lalu dalam keheningan yang menemani, Winnie pun mulai membuat sereal untuk dijadikan menu makan malam dan menyantapnya dalam diam.

Setiap satu suapan masuk menyapa ujung lidahnya, Winnie meringis, perutnya meronta-ronta menolak makanan untuk masuk. Lapar, tapi tidak mau dimasuki makanan… huh, bagaimana sih?!

Akhirnya Winnie pun meletakkan kembali sendoknya. Matanya menatap sendu beberapa butir sereal yang sudah hanyut di dalam cairan susu. Suara tsk… tsk… tsk… yang berasal dari sebuah standing clock di ruang tengah turut mengisi kesunyian yang dilalui si hybrid manis.

Rasa bosan pun mulai menghantui. Lantas tanpa membereskan mangkuk berisi sereal yang masih utuh, Winnie beranjak meninggalkan ruang makan.

Kucing manis itu tampak celingak-celinguk mencari keberadaan ponselnya yang entah ia tinggalkan dimana. Lupa, suatu kebiasaan Winnie yang sangat sulit dihilangkan.

Ceklek,

Kamar besar yang terasa dingin, semakin bertambah dingin atas kekosongan yang singgah di sana. Biasanya, Bright akan menghabiskan waktu untuk mengotak-atik ponsel atau laptopnya di atas ranjang, berbaring setengah duduk dengan Winnie yang menyandar di dadanya.

Tapi sudah beberapa hari dilewati, rutinitas itu tidak lagi pernah terjadi.

Winnie menggeleng pelan. Rentetan kebiasaan-kebiasaan yang selalu ia bagi bersama sang tuan mulai menyeruak masuk dalam memori, mengiringi langkah si kucing manis yang melangkah perlahan-lahanㅡ sambil menahan sakit di perut, menuju ranjang. Ponselnya ada di sana, Winnie cepat-cepat mengambilnya.

Ditatapnya layar ponsel yang sama sekali tak menunjukkan ada pesan atau telepon masuk dari Bright. Win berdengus lagi, Bright benar-benar melupakannya demi pekerjaan.

Winnie duduk di pinggir ranjang. Matanya menyipit kecil menyesuaikan cahaya dari layar ponsel, ada seseorang yang sekiranya bisa menemaninya membunuh sepi.

Winnie tidak suka sendirian.

Tapi Bright dan June malah meninggalkannya seorang diri.

Satu-satunya yang terlintas dalam benak Winnie malam itu adalah...

Kak Gun.

Cepat-cepat Winnie membuka ruang obrolannya dengan Gunㅡ hybrid milik Off.

to: Kak Gun (Mas Off) • kak gunnnn….!!! • apakah kak gun sudah tidur? :( • Winnie bosan sekali… Winnie boleh bicara dengan kak gun?

Winnie menggigit kecil bibir bawahnya. Benaknya bertanya-tanya, apakah kak Gun benar-benar sudah tidur? Winnie menghela nafas pelan, matanya tidak sengaja melirik pada sebuah jam dinding di dalam kamarㅡ 22.05, huh… wajar saja jika pesan yang ia kirim tidak akan berbalas sampai besok.

Ketika dirasa hari semakin beranjak malam, Winnie menyimpan ponselnya di atas nakas. Hybrid kucing itu mengusap kasar wajahnya, ingin menangis tapi sudah janji pada Bright untuk tidak sedikit-sedikit mengeluarkan air mata. Winnie... tidak mau disebut sebagai anak yang cengeng.

Winnie menatap sisi ranjang yang kosong. Ia rindu akan kehadiran dan kehangatan sosok Bright di sana, yang biasanya selalu menyanyikan sebuah lagu pengiring tidur di saat malam.

Kesepian di tengah-tengah periode menjelang masa heat tampaknya sukses membuat Winnie seribu kali lebih sensitif. Winnie menginginkan Masbie, hanya ingin kehadiran Masbie, bukan yang lain.

“Masbie… pulang...” ia melirik. Memanggil-manggil nama Bright rasanya sudah tak ada guna.

Jangankan pulang ke rumah tepat waktu, mengabari Winnie lewat pesan singkat atau telepon saja… tidak Bright lakukan.

“Apa Masbie sudah tidak sayang pada Winnie?” benaknya berkecamuk, pikirannya mulai melantur kemana-mana.

Pertanyaan-pertanyaan retoris seperti, *'Masbie sudah tidak sayang, ya? Masbie bosan, ya? Masbie sudah menemukan kesenangan lain, ya?' turut hadir menambah kekusutan yang sudah tercipta dalam otak si kucing manis.

Hatinya kembali terasa pilu, memikirkan Bright yang mungkin saja sudah menemukan mainan baru di luar sana.

Winnie akhirnya menyerah. Hybrid kucing itu membaringkan tubuhnya di ranjang, sambil memejamkan mata. Rasa sakit di kepala dan perut yang belum hilang pun tidak ia hiraukan.

Winnie hanya ingin tidur, berharap semua keresahan yang ia rasa bisa hilang ketika ia nanti menemukan lelap.

Tapi baru saja akan memasuki fase delta, sebuah suara dari pintu yang dibuka berhasil membuat Winnie terjaga. Si kucing manis spontan membuka kelopak matanya dan tersenyum lebar begitu ia lihat Brightㅡ dengan busana kantornya yang sedikit berantakan, masuk ke dalam kamar.

“Masbie...” cepat-cepat Winnie mengubah posisinya menjadi duduk.

Bright yang baru saja meletakkan tas kerjanya di atas sofa pun menoleh, “loh, belum tidur?” tanya nya.

Yang ditanya cuma menggeleng pelan. Cuping telinganya yang kembali berdiri karena antusias ikut bergerak mengikuti arah kepala. Bright melepas kancing pada lengan kemeja yang dipakainya, masih sambil menatap Winnie yang duduk di tepi ranjang, Bright tersenyum, “kenapa, hm? Biasanya kalau Mas pulang, kamu udah nyenyak...”

“Udah kemana-mana mimpinya...”

Kehadiran sang tuan, serta bariton rendah miliknya secara tidak langsung berhasil membuat tubuh Winnie memanas. Reaksi alami yang akan dialami oleh hybrid di masa pre-heat nya cukup mengganggu kucing manis itu, karena ia tahu Bright pasti lelah. Winnie enggan meminta.

Tapi Winnie tidak tahan.

Seraya menahan jari-jari kakinya yang perlahan menekuk, juga buliran peluh yang muncul membasahi pelipis hingga ke tulang pipi, si hybrid kucing melirih takut-takut, “M-masbie...”

Melihat gelagat aneh Winnie, Bright sontak memicingkan matanya yang sudah lima watt, “Winnie? Kamu kok gelisah gitu, sayang?”

“M-masbie… hiksㅡ”

Sejak tinggal bersama Bright dan secara tidak langsung berganti kepemilikan, Winnie sudah tidak lagi mengkonsumsi pil-pil supresan sehingga satu-satunya cara untuk mengatasi segala rasa sakit ketika pre-heat, heat dan juga post-heat adalah dengan menuntaskan hasrat birahinya.

Winnie sudah berusaha untuk menahan seluruh rasa sakitnya seorang diri beberapa hari ini, and he doesn't think he could hold it any longer.

Setetes air mata jatuh menyeruak dari pelupuk matanya yang terlihat gusar, “M-masbie...” hanya bisa memanggil, diam-diam memohon pertolongan pada tuannya itu.

Merasa ada yang tidak beres pada si kucing manis, Bright pun dengan cepat melangkah menuju ranjang. Lelaki itu menangkup kedua pipi Winnie erat, jantungnya ikut berdegup cepat diliputi rasa khawatir.

“Winnie, sayang, kamu bisa denger suara Mas?”

Yang ditanya lantas mengangguk, tanpa membalas. Bright menyeka buliran keringat yang membasahi sebagian sisi wajah Winnie, “badan kamu demam, are you okay?”

Winnie tertegun. Sepasang netranya mulai buram dipenuhi kabut nafsu dan air mata di waktu yang sama. Matanya berkali-kali bergerak gelisah, melirik linglung ke sana dan ke sini. Winnie mengulum bibir bawahnya, kemudian kepalanya menggeleng sebanyak dua kali.

“J-june, M-masbie J-juneㅡ”

“Sshhh,” Bright berdesis pelan, “June pergi ke apartemen pacarnya, tadi sudah izin sama Mas. June lupa bawa ponsel dan dompet, jadi June pergi ke kantor Mas untuk meminjam uang, sekaligus meminta izin untuk menginap di sana.”

Oh, oke… yang penting June dalam keadaan aman. Winnie susah payah menelan air liurnya yang terasa tersendat di pangkal tenggorokan. Tatapannya semakin kabur, Winnie gemetaran hebat dalam rengkuhan hangat Bright.

“Mas ambil obat penurun demam dulu ya?” Bright berujar lembut, perlahan-lahan tangannya dibawa menjauh dari jangkauan si hybrid.

Seulas senyum kecil penuh ketenangan Bright berikan pada si kucing manis sebelum lelaki itu beranjak menuju pintu kamar. Tapi belum genap empat langkah Bright menjauh dari ranjang, Winnie kembali berujar, kali ini terdengar patah-patah;

“M-masbie t-tetap di sini, hiksㅡ”

Bright menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik, “Mas cuma mau ambil obat di lemari dapur sebentar, Winnie. Okay?”

Winnie menggelengkan kepalanya cepat. Susah payah si hybrid menghapus air mata yang jatuh dengan bebas di area pipi kanan dan kirinya. Winnie mulai terisak, tangannya terangkat lalu dibuka lebar-lebar.

Meminta sebuah pelukan.

Tidak tega melihat Winnie menangis, Bright pun memutar arah tubuhnya dan kembali melangkah menghampiri sang pujaan hati. Tangan kirinya merengkuh kepala bagian belakang Winnie dan mengusapnya penuh sayang, sedangkan tangan kanannya bergerak memeluk bahu lebar si kucing manis, berusaha menyalurkan ketenangan.

Tapi tingkah aneh Winnie yang masih saja bergerak gelisah dalam dekapannya pun lagi-lagi mengundang tanda tanya dalam benak Bright.

“Winnie,”

Yang dipanggil tidak langsung menjawab. Kepalanya mendusel pelan tepat di perut Bright yang masih terbalut kemeja kerja, mencari kenyamanan. Beberapa detik kemudian, sang hybrid menyahut, “h-hmm…?”

Jari-jari tangan kiri Bright bergerak naik menggapai cuping telinga runcing Win lalu mengusapnya lembut, “are you okay?”

Winnie hanya berdehem. Wangi maskulin yang menguar dari tubuh Bright terasa begitu memabukkan bagi manusia setengah kucing itu. Tanpa sepengetahuan Bright, Winnie mulai mengendusi bagian tubuh Bright yang dekat dengan jangkauan hidungnya.

Diam-diam hybrid itu berdebat dengan isi kepalanya. No, Winnie, no… Masbie sedang lelah, jangan minta sekarang… nanti Masbie bisa marah… tapi reaksi tubuhnya justru berkata sebaliknya.

Winnie memeluk pinggang Bright semakin kuat. Seiring detik demi detik berlalu, aroma tubuh Bright yang sejatinya adalah bau tubuh asli yang bercampur dengan keringat dan sisa parfum pun justru semakin membuat kucing manis itu mabuk kepayang.

Sambil terus mengendusi wangi tubuh Bright, Winnie mendesah pelan.

Terlalu pelan.

Sangat pelan.

Sampai akhirnya Winnie tak lagi bisa menahannya lebih lama, “mmmhhh, M-masbie,” desahannya pun terucap begitu saja.

Elusan jari-jari Bright pada cuping telinga Winnie berhenti. Sebisa mungkin, Bright berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi pada kucing manisnya itu. Lalu tanpa diminta, memorinya melakukan recalling pada sebuah momen dimana Off mengatakan; Winnie mungkin akan segera heat.

Oke, oke, tenang. Bright mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali Winnie bersikap manja padanya. Well, it was a few days ago when Winnie said his anklet was gone and Bright bought him another anklet. Kala itu, Winnie memperlihatkan sikap manja yang berlebihan dan Bright tidak langsung berpikir kalau tingkah laku tersebut bisa saja merupakan salah satu gejala pada hybrid yang akan mengalami masa puncak birahi.

Bahkan celetukan Off di ruang obrolan soal kemungkinan Winnie akan mengalami masa heat dalam waktu dekat pun tidak begitu ia pikirkan.

Tapi yang terjadi sekarang… Ah, jadi Winnie benar-benar mengalami heat... lagi?!!

Damn, Bright is not ready for this. He's too tired because of work these days.

Bright menghela pelan nafasnya. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu menangkup sisi kanan dan kiri wajah Winnie untuk menghadap ke arahnya.

Rona kemerahan yang biasanya secara alami mewarnai kedua pipi berisi itu kini tampak berbeda. Bukan lagi hanya di pipi, tapi seluruh wajah si kucing manis memerah.

Winnie bahkan terlihat tersengal-sengal seraya terus berusaha untuk kembali mengendus aroma tubuh Bright.

Namun kali ini, Bright tidak bisa mengabulkannya.

“Winnie,”

Yang dipanggil menggeleng kuat, sepasang matanya yang dipenuhi kabut nafsu mulai melirik lapar pada pusat selatan tubuh Bright yang tidak bereaksi sama sekali.

Sudah dikuasai oleh birahi yang menggebu-gebu, dengan cepat Winnie menyentuh kejantanan Bright yang masih tertutup kain celana dengan tangan kanannya. Winnie menjilat bibir bawahnya, ia meremas pusat tubuh Bright dengan sedikit tekanan.

“Winnie stop,”

Bukannya berhenti, Winnie malah berontak melepas tangkupan tangan Bright dari wajahnya dan berusaha untuk menempelkan hidungnya pada pusat tubuh sang tuan.

Suara Bright bagaikan angin lalu. Si hybrid tidak lagi bisa menguasai nafsunya sendiri.

Belum sempat ujung hidung Winnie menyentuh pusat tubuh Bright, lelaki yang secara tidak langsung berstatus sebagai 'pemilik' atau 'tuan' dari si manusia setengah kucing itu memundurkan langkahnya sebanyak dua kali.

Winnie yang tiba-tiba merasa jauh dengan Masbie-nya pun mendongak, menatap Bright yang memandang penuh amarah padanya.

“Mas said stop but why didn't you listen to me?”

Hilang sudah kelembutan dalam setiap gerak dan tutur kata sang tuan. Di tengah birahinya yang semakin menuju puncak, Winnie diam-diam menahan rasa takut atas aura gelap yang baru saja Bright ciptakan.

Lelaki itu menatapnya tajam. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya mengepal di sisi tubuh.

Takut-takut Winnie membalas pertanyaan Bright, “W-winnie is sorry, Masbie...” namun rasanya, tidak ada kata 'ampun' yang akan diberikan Bright malam itu.

Sang tuan berdecak penuh rasa kecewa, “sejak kapan Winnie tidak mau dengar kata-kata yang keluar dari mulut Mas?”

Winnie belum menjawab. He's too overwhelmed in this kind of situation.

Sampai akhirnya Bright yang sudah diselimuti emosi akibat lelah setelah seharian bekerja pun kembali bersuara, “did Miss Alice teach you to be a rebellious hybrid?”

“If she did, then Mas will ask her to stop coming here, so you don't have to study any longer.”

No, no, no… Winnie menunduk, kepalanya menggeleng takut-takut, “Miss Alice has nothing to do with it, Masbie...”

“Lalu kenapa Winnie memaksakan kehendak dan tidak mau dengar kata-kata Mas?” tukas Bright, membuat si kucing manis kembali terdiam.

Nafsu birahi yang semula menggebu-gebu kini lambat laun berkurang akibat rasa takut yang mendominasi. Winnie mencengkram kain sprei serampangan, otaknya berpikir keras jawaban seperti apa yang harus ia berikan pada sang tuan.

“Winnie tidak punya mulut untuk bicara? Tidak bisa jawab pertanyaan Mas?”

Rasa pusing, gelisah, perut yang seolah-olah sedang berkontraksi, birahi yang belum sepenuhnya hilang juga rasa takut yang teramat besar kini berkolaborasi menciptakan degup jantung di balik dada si hybrid kucing yang mendadak skakmat total.

Sebisa mungkin Winnie menahan gejolak hasrat untuk menerkam Bright, karena bagaimanapun eksistensi lelaki itu justru semakin membuat si Manis pusing tujuh keliling. Sebisa mungkin juga Winnie menyusun kata-kata yang tertahan di ujung lidah, karena bagaimanapun… Bright tidak suka jika ucapannya tidak dibalas.

Winnie menggigit kuat bibir bawahnya, “M-masbie,”

Bright yang sudah kepalang lelah cuma mampu berdecak, “talk properly and don't waste my time.”

“Is Winnie really wasting Masbie's time?” tanya si kucing manis dalam hati.

Sebisa mungkin Winnie mengangkat pandangannya, kembali menatap Bright tepat di mata. Winnie gugup, Masbie-nya benar-benar terlihat marah.

“It's Winnie's pre-heat period and Winnie need Masbie's touch so bad...” akhirnya, Winnie pun memilih jujur.

Bright belum menjawab. Winnie kembali berujar, “tubuh Winnie panas, Masbie… r-rasanya sangat s-sakit… Winnie tidak bisa sendiri...”

Winnie menyeka air matanya yang lagi dan lagi jatuh membasahi pipi, “M-masbie, please...”

Sebelumnya, Bright tidak pernah menolak ketika kucing manisnya itu mengemis sentuhan dan bersikap needy. Tapi sekarang, demi Tuhan dan demi apapun… Bright tidak bisa. Ia harus tiba di kantor pada pukul 6 pagi esok hari.

Dan sekarang, sudah semakin memasuki tengah malam. Jika harus memenuhi keinginan Winnie, maka setidaknya mereka butuh waktu 2 jam, paling sebentar.

Bright butuh tidur. Jam tidurnya sudah kacau nyaris seminggu ini. Iming-iming promosi jabatan nyatanya membuat lelaki itu harus mengerahkan seluruh waktu dan tenaganya di kantor. Makan tidak teratur, apalagi untuk sekedar tidur.

Ditambah Winnie yang mengemis sentuhannya kali ini. Tidak, tidak, Bright tidak akan mengabulkannya malam ini.

“Mas nggak bisa,” Bright menghela berat nafasnya, “besok hari terakhir Mas diuji, so how about tomorrow?”

“Mas bisa bantuin kamu besok.”

Winnie sudah kesakitan luar biasa dan Bright masih memintanya untuk menunggu?

Dengan seberkas keputusasaan yang hinggap di sepasang manik matanya, Winnie memohon satu kali lagi, “sebentar saja… Winnie mohon, M-masbie,”

Namun Bright menggeleng kuat, mutlak. Lelaki itu pada akhirnya memutus kontak matanya dengan si hybrid. Tanpa kata, Bright beranjak menuju nakas dan meletakkan jam tangannya di sana. Kemudian, ia melangkah menuju lemari untuk mencari pakaian tidur.

“Masbie...”

Bright hanya menyahut seadanya, “hmm?”

“Sebentar saja, boleh ya, Masbie?” suaranya terdengar amat sangat lirih. Tapi Bright tetap pada pendiriannya.

“No,” ketika sudah menentukan satu pasang pakaian tidur, Bright kembali melirik Winnie yang ternyata sedang menatap ke arahnya. “Once Mas said no, then it's a no.”

Winnie semakin putus asa. Jika Bright tidak bisa memenuhi permintaannya, maka ia bisa saja memberontak.

“Then let Winnie go outside and find someone who can fuck Winnie as hard and rough as Mas always did before.”

Dang it. Bagaikan baru saja dilempar batu besar, kepala Bright terasa pusing mendadak. Terkadang, fakta kalau Winnie adalah pribadi yang cepat tanggap akan pelajaran dan hal-hal baru termasuk dalam menerapkan percakapan dalam bahasa Inggris pun cukup mampu membuat Bright sakit kepala bukan main.

And now, see? Winnie is asking for his permission to be fucked by others? Gila.

Sorot tajam yang sempat sirna dari sepasang mata Bright kini kembali datang. Bright meletakkan sepasang pakaian tidur yang baru saja diambilnya di atas ranjang.

Matanya, tak sedikitpun lepas dari Winnie yang kini terlihat marah.

Tensi di dalam kamar mulai tinggi. Winnie yang biasanya penurut, manis dan lembut kini hilang entah kemana.

Berganti dengan sosok manusia setengah kucing yang arogan. Sorot matanya tajam penuh kilat amarah. Nafasnya terengah-engah.

“Don't you dare to test my patience, Winnie.”

Lalu tanpa menunggu jawaban si kucing manis, Bright bergegas menuju kamar mandi.

Winnie, lagi dan lagi ditinggalkan sendirian di sana. Menahan marah dan juga sakit di seluruh tubuhnya… seorang diri.

And Bright chose to ignore him.

. . .

“Winnie dibawa ke kantor lo, Mas?”

Pergerakan jari-jemari Bright yang sedang sibuk memilah tumpukan berkas di atas meja tiba-tiba berhenti. Alisnya yang semula bertaut serius ketika mereview beberapa file sontak berganti dengan gurat kebingungan yang turut hadir memenuhi dahinya.

Masih sambil memegang ponsel yang menempel di telinga kiri, Bright perlahan-lahan membawa punggungnya bersandar di sandaran bangku.

“Maksudnya?”

Juneㅡ si lawan bicara di seberang sana, bergumam pelan, “iyaaa itu looo, Winnie ikut ke kantor? Tumben-tumbenan lo mau bawa dia, Mas...”

“Hah???” Bright bingung, benar-benar bingung.

June ngomong apa, sih?!

“Nggak usah hah hih huh heh hoh gitu deh, akhirnya ya setelah sekian lama anaknya minta dibawa jalan-jalan keluar rumah, eh kesampean juga dibawa study tour ke kantor lo hahaha...”

Sang adik terkekeh agak keras dengan intonasi penuh ledekan di sana, sedangkan di sini… Bright dibuat bingung setengah mati.

Lantas untuk mendistraksi sedikit rasa bingungnya, Bright meraih sebuah bolpoin di atas meja dan memainkannya secara asal.

“Gue lagi ngereview file, terus lo tiba-tiba nelfon gue cuma buat ngerjain gue doang, heh?” decakan pelan lolos dari belah bibirnya, “untung aja masa pencobaan gue udah selesai ya, kalau belum… terus lo iseng nelfon gue kayak gini… gue laporin nyokap kalau lo sering nginep di tempat cowok lo.”

Tanpa sepengetahuan Bright, kali ini June yang dibuat bingung dengan arah pembicaraan mereka. Gadis itu tidak lagi cengengesan, terjadi keheningan sesaat sebelum akhirnya June kembali bersuara.

“Ngerjain apaan sih, Mas? Gue nggak paham… dan gue lagi nggak bercanda? Helloooo?”

Ekspresi datar mulai mendominasi wajah Bright, “ya kalau lo nggak lagi bercanda, terus kenapa ngeledekin kalau gue bawa Winnie ke kantor?”

Hening…

Masih hening…

Lalu terdengar June bergumam di seberang sana, “WINNIE NGGAK LO BAWA KE KANTOR??!” teriakan panik June sukses membuat Bright terperanjat kaget. Lelaki itu menjauhkan layar ponselnya dari telinga, takut kalau sang adik akan kembali berteriak dalam waktu dekat.

Setelah dirasa situasi sudah aman, Bright kembali membawa ponselnya mendekat. “Ya enggak lah, pas gue berangkat ngantor tadi anaknya juga masih tidur.”

“HAH??? TERUS MAKSUD LO… BENTAR GUE PANIK… MAS BRIGHT… YA TUHANㅡ”

Nggak seberisik tadi sih, tapi kepanikan June tampaknya menular pada Bright yang mulai tidak tenang dalam posisi duduknya. Bolpoin yang sejak tadi ia mainkan kini sudah tergeletak pasrah di atas meja.

“Kenapa, heh? Kok lo jadi panik sendiri?”

“JADI MAKSUD LO WINNIE HILANG???”

Tubuh Bright spontan menegang, “hilang gimana? June, jangan setengah-setengah kalau ngomong.”

“MAS BRIGHT… MAS BRIGHT!!!”

“SUMPAH YA GUE KIRA WINNIE IKUT LO KE KANTOR… SOALNYA PAS TADI GUE SAMPE RUMAH, RUMAH DALAM KEADAAN KOSONG. KAMAR LO JUGA KOSONG, BERSIH, RAPI. DAN GUE PIKIR LO NGAJAK WINNIE KE KANTOR KARNA HARI INI DIA LIBUR LES PRIVAT. DI RUMAH NGGAK ADA SIAPA-SIAPA, MAS… ADUH GIMANA… WINNIE KEMANA KAMU DEK...” bukan cuma berteriak histeris, isakan kecil terselip di ujung kalimat sang adik.

Bright, ngeblank total.

“Udah coba cari ke taman belakang?” tanya Bright, mencoba tenang. Lelaki itu masih bersikukuh kalau Winnie tidak mungkin hilang.

Nafas June terdengar putus-putus, “u-udah… tapi n-nggak ada...”

“Kamar lo?”

“Nggak ada, k-kosong...”

Oke, oke, tenang. Bright berusaha mengais oksigen secukupnya, no, no, nggak mungkin Winnie hilang.

“Ruang bermain di bawah? Udah dicek belum?”

“Udah, Mas. Rumah beneran dalam keadaan kosong.”

No, no, no. It can't be real. Tanpa sadar, Bright memijat pelan pangkal hidungnya. Seketika benaknya memutar ulang memori dimana semalam ia bertengkar hebat dengan si kucing manis. Pikiran Bright berkecamuk, mungkinkah Winnie marah padanya sehingga memutuskan untuk kabur? Haduh, nggak… nggak mungkin. Diajak jalan-jalan keluar aja hampir nggak pernah, gimana bisa Winnie berkeliaran tanpa pengawasan?

“June, coba cek ke kamar gue, hape dia ada di nakas atau dia bawa pergi. Terakhir gue liat, hapenya ada di situ.” pusing, pusing sekali rasanya.

Bright mungkin tidak tahu, tapi June sedang manggut-manggut dengan cepat di seberang sana.

Bright menunggu. Sampai sekitar dua menit kemudian, June kembali bersuara, “nggak ada, Mas. Berarti Winnie pergi bawa hapenya...”

Kepala Bright mengangguk pelan. Oke, setidaknya ada sarana komunikasi yang bisa ia lacak nanti. Fakta bahwa Winnie tidak pergi dengan tangan kosong saja sudah cukup bisa membuat Bright menghela nafas lega, walau belum sepenuhnya.

“Coba cek lemari, baju-baju dia ada nggak?”

Bright menunggu respon sang adik. Seraya menunggu, lelaki itu menumpukan satu tangannya yang bebas di atas meja, lalu wajahnya bertumpu di sana.

“A-ada, Mas.”

Satu kali lagi, Bright mencoba tenang, “oke, sekarang lo coba telfon dia. Ngomongnya pelan-pelan, tanya lagi dimana.”

“O-okay… sebentar tangan gue gemetaran, Mas. Ya tuhan dek, semoga kamu baik-baik aja...”

Bright menelan salivanya susah payah, “pasti. Dia pasti baik-baik aja. Sekarang lo coba telfon anaknya, ya? Nanti kabarin gue gimana hasilnya.”

June menyahut kata 'Oke' sekali lagi, lalu sambungan telepon pun terputus.

Satu kata… hening. Bright terjebak dalam situasi bingung yang secara tidak langsung bercampur dengan rasa panik juga kesal. Ponselnya masih menempel di telinga, tanpa suara. Mata lelaki itu terpejam, tangannya yang bebas mengusap wajahnya agak sedikit kasar.

Untuk kali pertama setelah Winnie datang ke dalam kehidupannya, kucing manis itu berulah. Pekerjaannya yang menumpuk, sukses membuat lelaki itu nyaris habis sabar. Tapi di waktu yang bersamaan, Bright khawatir. Winnie sedang berada di masa pre-heat nya. Entah manusia setengah kucing itu ada dimana, entah bisa bertahan menahan rasa sakit dan hawa nafsu atau tidak, Bright tidak bisa mengira-ngira.

Seketika rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Bright merasa gagal memahami Winnie yang eksistensinya belum lama ia temui, tapi sebenarnya butuh perhatian lebih. Bright merasa terlalu abai dengan fakta bahwa Winnie berbeda, Winnie bukan manusia biasa seperti dirinya ataupun June dan orang-orang di sekitarnya. Bright tidak begitu paham dengan istilah-istilah aneh seperti pre-heat, heat, yang terjadi pada si hybrid kucing dan lain sebagainya.

Bright lengah, ia kecolongan.

Rasa sesak mulai mengambil alih seluruh fokus lelaki itu. Ponselnya jatuh begitu saja di atas meja, wajahnya menelungkup bersembunyi di balik telapak tangan.

“Winnie, Mas is sorry...”

Lalu tangannya bergerak meraih beberapa helai surai hitamnya, “Mas is really really sorry that you have to suffer alone,” tidak lagi perduli dengan rasa sakit yang mulai menghampiri, Bright menjambak rambutnya sendiri.

Drrrrttt,

Dengan cepat Bright meraih ponselnya. Masih dengan mata terpejam, ia menunggu June mengatakan sepatah dua patah kata.

“Mas Bright,”

Bright mengangguk pelan, “gimana? Winnie dimana?”

“Winnie ada di apartemen Mas Off, Mas. Ternyata tadi pagi dijemput sama Gun, katanya.”

Satu alis Bright bertaut, “dijemput Gun? Bang Off nggak ada bilang apa-apa ke gue.”

“Ehm, itu… kayaknya Mas Off juga nggak tau kalau Winnie ada di sana, soalnya pas gue tanya, Winnie bilangnya cuma berdua sama Gun di apartemen dan tadi pagi dijemput pakai supir, bukan sama Mas Off.”

Bright masih terdiam, berusaha mencerna tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sampai akhirnya suara June kembali terdengar, “mau gue yang jemput atau lo, Mas? Lo ribut ya sama Winnie, sampai dia nggak ada izin sama sekali ke lo?”

“Hm,” jari-jemarinya mulai menyalurkan rasa tenang lewat pijatan kecil di pangkal hidung, “biar gue aja yang jemput, setengah jam lagi gue balik.”

“Oh iya, June,”

June berdehem di seberang sana, “kenapa, Mas?”

Satu-satunya cara untuk mengatasi heat yang dialami Winnie adalah; bercinta dengan hybrid kucing itu. Dan Bright merasa kegiatan bercinta mereka kali ini tidak akan berjalan lembut, santai dan biasa-biasa saja karena keduanya sedang diselimuti emosi. Apalagi Winnie, kucing manis itu mungkin marah besar dan kecewa padanya.

Jadi, sepertinya Bright harus memohon pada sang adik, “lo bisa nginep lagi di tempat cowok lo? Atau di tempat temen lo is actually fine, nanti gue transfer buat kebutuhan lo.”

“Gue baru balik??? Udah diusir lagi??? Mau ngapain sih emangnya???”

Pijatan kecil di hidungnya sudah berganti dengan sebuah garukan kecil penuh rasa grogi, “I am gonna make things clear with him.” sahut Bright.

Seolah-olah enggan mendebat permintaan sang kakak, June pun menyahut dengan sebuah deheman pelan, “oke, oke. Semalam aja, 'kan?!”

“Nope,” Bright menghela panjang nafasnya sebelum kembali berujar, “paling lama seminggu, bisa?”

“HAH??? SEMINGGU??? KOK LAMA BANGET???”

“Ya gitu,” aduh… mau jujur kalau memang masa heat pada hybrid bisa memakan waktu 3-5 hari, tapi terlalu malu. Apalagi selama ini June tahunya Bright adalah seorang yang cukup noob pada konteks percintaan apalagi soal masalah-masalah dewasa. “Kalau situasi udah aman, baru gue suruh lo pulang. Urusan makan sama jajan lo nggak usah dipusingin, gue akan transfer semuanya, ya?”

“Hhhhㅡ” June menjeda sebentar kata-katanya, “ya udah deh, pokoknya kabarin gue kalau gue udah bisa pulang ya, Mas? Abis ini gue siap-siap cabut lagi. Gue paling ke tempat Puimek, oke?”

“Oke, deal. Udah ya, gue matiin dulu. Mau beberes sebentar abis itu gue jemput adek lo di tempat Bang Off.”

“Ya, ya, ya, oke… nanti jangan lupa bilang Winnie buat video call atau kirim foto selfie ke gue ya, Mas? Gue kangen banget sama adekkkk!!!”

Bright berdehem menyanggupi, “iya, gampang. Dah ya, gue tutup. Bye.”

“Bye, Mas.”

PIPPP, sambungan telepon pun terputus.

Tidak mau berlama-lama, Bright pun langsung menuntaskan pekerjaannya yang sempat terhenti sejak June menelepon, lalu setelah itu ia akan beres-beres ruangan kerjanya dan segera bergegas menuju apartemen milik Off yang untungnya tidak terlalu jauh dari gedung perusahaan.

. . .

“Yah, Mas Bright… tapi Winnie bilang, dia nggak mau ketemu Mas Bright dan mau nginep di sini untuk seterusnya.”

Memang apa lagi yang bisa Bright lakukan selain geleng-geleng kepala saat ini? Ucapan Gun barusan yang menahan langkah kakinya untuk masuk ke dalam unit apartemen mewah milik Off terdengar seperti lelucon yang sayangnya tak bisa Bright tertawakan begitu saja.

Kedua ujung alis tebal Bright menyatu penuh rasa bingung, “jadi gue nggak boleh masuk buat jemput Winnie, gitu, Gun?” tanyanya.

Gun yang berada di posisi maju kena mundur kena pun cuma bisa berdehem pelan, kepalanya mengangguk ragu-ragu.

“Bukan gue nggak bolehin, tapi anaknya yang nggak mau.”

Bright berdecak, energinya nyaris habis untuk menyikapi tingkah laku hybrid kucing miliknya itu, “Bang Off tau lo nyembunyiin Winnie di sini?” sedikitpun Bright terus menekan Gun untuk membukakan pintu lebih lebar untuknya. Tapi sayang, hybrid harimau itu seolah tidak mau memberikan jalan sama sekali untuknya.

Bright yang masih berusaha menekan segala emosinya pun kembali berujar, “gue telfon Bang Off, ya? Kebetulan lagi ada jadwal lembur, kayaknya sih belum tau kalau lo nyulik Winnie dan berniat buat nyembunyiin dia dari gue.” kalau Gun tidak bisa diajak bicara secara 'teman' maka mau tidak mau, Bright harus meluncurkan cara 'musuh'. Ancaman, Bright akan mengancam Gun dengan membawa nama Offㅡ Gun's master.

Ditanya seperti itu, Gun mulai kalang kabut. Telinga runcingnya yang kecil dan cukup lebar menelungkup ke bawah.

Namun sebelum Bright berhasil menempelkan layar ponselnya di telinga, Gun lebih dulu mencegat, “jangan bilang Mas Off, Mas. Gue belum izin ke Mas Off.” Gotcha!

“Okay if you say so,” tapi Bright tidak mau langsung berbaik hati begitu saja, “gue nggak akan ngadu ke Bang Off, asalkan lo izinin gue masuk buat jemput Winnie.”

Takut, sih, dengan ancaman Bright, tapi kayaknya Gun juga belum mau langsung mengiyakan permintaan lelaki yang merupakan sepupu sekaligus sahabat dari sang tuan. Gun seolah-olah memperlambat waktu dengan bersikap pura-pura gelisah di depan Bright yang masih dibiarkan berdiri di depan pintu unit apartemen.

Tampilannya formal, baru pulang kerja. Tapi tatanan kemeja yang sudah tidak pada tempatnya, dasi berwarna biru dongker yang sudah agak mengendur dan rambut yang sedikit berantakan jelas menunjukkan bahwa Bright tidak sedang dalam keadaan yang 100% baik.

Gun mengusap tengkuknya pelan, “gue nggak enak sama Winnie, Mas,” Jujur, Gun juga kasihan pada Winnie yang sedang tersiksa di dalam unit apartemennya, “gue bukannya nyulik Winnie atau apapun itu. Gue juga sama sekali nggak bermaksud untuk ngelarang lo ketemu dia, tapi dia sambil nangis-nangis ke gue bilang kalau dia nggak mau ketemu lo.” katanya.

“Gue takut kalau tiba-tiba lo muncul di depan Winnie, dia bakalan nangis lagi. You know, Mas Bright? It took two hours to make him stop from crying. Worst hormones during pre-heat, ngerti kan, Mas?”

Winnie menangis?

Bright semakin merasa bersalah.

Hembusan nafas berat lolos dari belah bibir Bright. Satu tangannya dengan lemas masuk ke dalam saku celana. Sorot matanya yang semula diselimuti emosi mulai melembut, dilingkupi rasa khawatir. “Winnie nangis?”

Gun mengangguk, “he said you ignored him last night.”

“Gue punya alasan yang jelas kenapa gue nolak dia semalem, Gun.” Gengsi pun masih merajai hati lelaki itu. “Semingguan ini kerjaan gue hectic banget di kantor dan gue mau promosi jabatan. Energi gue udah habis banget, dan gue udah janjiin dia kalau gue bakalan penuhin semua kebutuhan dia hari ini. Gue nggak nyuekin dia begitu aja, gue cuma minta dia buat sabar. Buat nunggu. Susah, kah?”

Melihat keputusasaan di wajah Bright jelas membuat Gun jadi tidak tega. Hybrid harimau itu menghela nafas panjang satu kali, lalu menjilat bibir bawahnya yang terasa mulai kering.

“We are hybrids, kalau lo lupa, Mas.”

Dan dengan kalimat tersebut, akal sehat Bright seolah baru saja dibuka kembali. “You are lucky enough, karna Winnie nggak nekat kabur ke tempat yang dia nggak tau terus randomly asking people to fuck him just to make him a little better.”

“You are super lucky, he thinks about you. You as a whole yourself.”

Bright jadi teringat akan perdebatan semalam, dimana Winnie meminta izin secara implisit padanya untuk melakukan hubungan intim dengan orang lain jika Bright tidak mau memenuhi kebutuhannya.

Seketika Bright bertanya-tanya, “do all of you only will get better when being fucked?” sepasang mata Gun membola mendengar pertanyaan Bright, namun tetap bersikap tenang.

“Maksud gue, nggak ada cara lain untuk ngatasinnya?”

Bright semakin putus asa. “I am not always mentally ready for it, Gun, i am not a sex maniac.”

Sepertinya dugaan Gun bahwa Bright memang tidak siap untuk memiliki hybrid benar adanya. Dan untuk menyesali itu semua, bukankah sudah terlambat?

Melihat amarah, kebingungan dan juga kekhawatiran yang terbesit dalam sepasang obsidian hitam Bright, Gun pun membuka pintu lebih lebar lagi.

Tapi sebelum Bright bisa melangkahkan kakinya masuk, Gun kembali berkata, “Unfortunately, yes. Pil supresan sekarang udah lumayan susah dicari and all of us will only get better when we're being fucked.”

“Apalagi ketika puncak heat period, rasa sakitnya lo nggak bakalan sanggup untuk bayangin, Mas.”

Jadi benar… Winnie semenderita itu?

Bright menghembuskan nafas satu kali lagi, “terus Winnie gimana sekarang? Masih kesakitan?” tanya Bright.

Gun mengangguk, kemudian mempersilakan Bright untuk masuk dan mengikutinya ke arah ruang makan.

“Karna gue juga nggak nyimpen pil supresan, jadinya tadi gue bantu dia buat orgasme dua kali. Nggak usah mikir yang enggak-enggak, gue bantu dia pakai toys. He's all clean for you.”

Oke, setidaknya Winnie sudah berhasil mendapatkan orgasme walau hanya sebanyak dua kali dan tentunya tidak terlalu mampu meredakan rasa sakit yang dialami.

Bright terus mengikuti langkah kaki Gun dan berhenti tepat di sisi meja makan. Tampak Winnie yang sedang mengaduk-aduk es krim strawberry di depannya tanpa semangat.

Gun melirik Bright sebentar, sebelum akhirnya ia beranjak mendekati Winnie dan duduk di bangku yang berseberangan dengan posisi si hybrid kucing.

“Winnie,”

Dengan pelan, Winnie mengangkat pandangannya. Terlihat beberapa gurat halus di sepanjang dahinya. “Yes, kak Gun?”

Gun mengulas senyum kecil, lalu mengisyaratkan Winnie untuk menoleh ke arah kanan, “can you look up at your right side?”

Memang dasarnya Winnie adalah hybrid penurut dan belum banyak tingkah, oh… jangan lupakan sifat polosnya, jadilah kucing manis itu tanpa bertanya mengikuti permintaan Gun. Winnie menoleh ke sisi kanan dan tertegun begitu ia dapati Bright berdiri tidak jauh darinya.

Sorot mata yang semula sayu seperti anak kucing kini berubah tajam seperti seekor singa.

Winnie marah. Jelas masih marah pada Bright.

Hybrid kucing itu kembali menatap Gun yang duduk penuh rasa bersalah di depannya, “ada perlu apa Masbie datang ke sini?” sorot matanya terpusat pada Gun, tapi pertanyaannya jelas ditujukan untuk sang tuan.

Winnie yang lembut dan terkesan lugu, hilang entah kemana.

“Winnie, pulang sama Mas, ya?”

Hening. Sampai akhirnya Winnie berdecak pelan, “pulang?” tanyanya sarkas, kemudian ia menggeleng, “tidak mau. Winnie tidak punya rumah dan Winnie tidak bertuan.”

Hati Bright mencelos mendengar ucapan si kucing manis. Semarah itukah Winnie padanya?

Bright menelan salivanya susah payah, “Mas minta maaf sudah membuat Winnie marah, sudah membuat Winnie sedih dan sudah membuat Winnie kesakitan. Mas tidak bermaksud untuk melukai hati Winnie, Mas minta maaf sekali...”

Winnie tidak langsung menjawab. Hybrid kucing itu dengan santai melahap kembali es krimnya tanpa memperdulikan Bright yang semakin merasa putus asa.

Masih tidak ada jawaban hingga suapan ke-5. Sampai akhirnya, Bright kembali buka suara, “Winnie,”

“Tidak mau.”

Tapi Bright tidak menyerah.

Lelaki itu berusaha mendekati Winnie, tapi Gun memintanya untuk mundur, kembali ke tempat semula. Tingkat emosi Winnie sedang kacau, Gun tidak mau hybrid kucing itu meledak di saat dirinya sendiri mungkin sedang setengah mati menahan rasa sakit.

Oke, Bright menurut dan kembali berdiri pada posisinya.

“Winnie dengar Mas,”

Tapi lagi dan lagi yang dipanggil menunjukkan sisi cueknya. Winnie beralih menyingkirkan es krimnya yang sudah habis, kemudian meraih sebuah piring berisi roti bakar buatan Gun yang belum sempat ia makan sedikitpun.

Seolah-olah Bright tidak ada di sana, Winnie mulai memotong-motong roti bakar di hadapannya menggunakan garpu. Melahap satu persatu potongan roti bakar tanpa beban. Mengabaikan fakta bahwa Bright, dengan putus asa, sedang memohon perhatiannya.

“Winnie, sayang,”

Hening, tidak berbalas.

“Winnie,”

Tetap hening.

Dan tampaknya kesabaran Bright semakin menipis.

“Oke, fine, jadi Winnie sudah tidak mau menurut sama Mas lagi?!”

Duh, tuh kan… jadi kacau.

Lantas yang ditanya, untuk kesekian kali, memilih abai. Matanya masih fokus menusuk-nusuk potongan roti bakar yang tersisa di atas piring menggunakan garpu, lubang telinga lancipnya seolah tertutup, meski nyatanya Winnie tak mampu menyembunyikan cupingnya yang bergerak-gerak kecil setiap kali Bright memanggil namanya.

“Mas tanya satu kali lagi, Winnie tidak mau pulang sama Mas? Mas akan hitung dimulai dari satu sampai tiga. Winnie dengar Mas? Satu, duaㅡ”

“NO!!! WINNIE TIDAK MAU PULANG DAN WINNIE TIDAK MAU MENURUT LAGI PADA MASBIE!!!”

Sepasang mata Bright membola kaget, hybrid kucing itu bukan hanya sedang menuju puncak masa birahinya, tapi juga kini sedang di puncak amarahnya yang sudah tidak lagi terbendung.

Lantas Bright satu kali lagi, berusaha menekan emosinya. “Winnie, sayang,”

“No,” Winnie beranjak dari meja makan dengan sedikit kasar, Gun yang duduk di seberangnya pun tertegun penuh rasa terkejut, “Winnie tidak suka pada Masbie, Winnie benci Masbie!!!”

Bukan lagi sebatas mencelos, hati Bright kini sudah hancur nyaris tidak berbentuk. Kalimat penolakan dan penuh emosi yang diteriakkan Winnie benar-benar mampu membuat mata Bright berkaca-kaca.

Winnie menyeret langkah kakinya meninggalkan ruang makan. Melewati Bright begitu saja, juga mengabaikan Gun yang terpaku di posisinya.

Satu-satunya tujuan Winnie saat ini adalah; sofa. Sofa di ruang tengah unit apartemen milik Off, ia enggan berada di satu ruangan yang sama dengan sang tuan.

Tapi tidak lama setelah itu, Bright kembali muncul di hadapannya. Lelaki itu berdiri tepat di depan tubuh Winnie yang menunduk, dengan wajah yang menelungkup di atas telapak tangan.

Winnie menangis, ketika hybrid itu marah maka ia akan menangis. Isakannya terdengar putus-putus, begitu pilu mengetuk lubuk hati terdalam Bright.

Mengerti bahwa Winnie sedang kecewa dan marah besar, Bright pun merengkuh kepala Winnie dan memeluknya erat. Tangan kiri Bright bergerak mengelus surai lembut Winnie penuh sayang, sedangkan tangan kanannya mengusap punggung Winnie yang bergetar hebat.

“Winnie,”

… masih tidak ada jawaban.

“Mas is sorry, sayang,”

Lalu Bright mengecup cuping telinga runcing Winnie beberapa kali, “Mas sudah sangat bersalah pada Winnie, satu kali lagi Mas minta maaf, Mas didn't mean to hurt you that way, sayang...”

Bright mendekap Winnie lebih erat lagi, “tidak seharusnya Mas bersikap kasar pada Winnie seperti semalam dan seperti tadi. Mas minta maaf sudah terbawa emosi. You are so precious to me, sayang. Winnie mau pulang bersama Mas?”

“Mas janji, Mas tidak akan menyakiti Winnie lagi.”

Mendengar ucapan Bright yang panjang lebar dan terkesan sungguh-sungguh, Winnie akhirnya membalas pelukan sang tuan. Hybrid kucing itu melingkarkan kedua tangannya di punggung Bright, berusaha mencari kenyamanan yang sangat dirindukan juga aroma tubuh yang begitu memabukkan.

Winnie memeluk Bright jauh lebih erat lagi, kemudian kepalanya mengangguk tanpa ragu.

“W-winnie mau pulang dengan Masbie.”

Satu kata; lega. Bright akhirnya bisa menghembuskan nafasnya dengan ringan, seolah tanpa beban. Tangannya masih terus memberi kehangatan di punggung si kucing manis. Bibirnya sekali menghujani sisi wajah Winnie dengan kecupan-kecupan kecil.

Winnie tidak mau melepas pelukannya, ia terlalu rindu pada Masbie-nya.

Untuk memastikan pendengarannya, Bright bertanya satu kali lagi, “benar, Winnie mau pulang dengan Masbie?”

Tanpa mengendurkan pelukannya sesenti pun, Winnie mengangguk, “uhm, Winnie mau pulang sekarang dengan Masbie.” sahutnya samar-samar.

Dan dengan itu, Bright merengkuh tubuh Winnie lebih erat lagi lalu mengangkat sang hybrid untuk bertahan dalam gendongannya. Dengan spontan, Winnie melingkarkan kedua kakinya di pinggang Bright juga menyembunyikan wajah sembabnya di perpotongan leher sang tuan.

Bright yang kebetulan secara tidak sengaja melihat ponsel milik Winnie tergeletak begitu saja di atas sofa, menunduk sedikit untuk meraihnya. Lalu disimpan di saku celana bahan yang ia kenakan.

Gun yang melihat kedua tamunya sudah berhasil menemukan kata damai pun tersenyum tulus, lalu menuntun langkah Bright yang menggendong Winnie menuju pintu utama unit apartemen.

“Gun, makasih banyak dan maaf ngerepotin. Maaf juga udah bikin keributan dan suasana nggak enak di sini. Sekali lagi makasih ya.”

Si hybrid harimau itu mengangguk penuh kelegaan. Gun membukakan pintu untuk kedua tamunya, “tolong dijaga dan dingertiin Winnie nya ya Mas, kalau lagi masa sensitif gini emang butuh perhatian lebih. Kalau masih bingung atau keteteran ngurus hybrid, lo bisa calling gue sama Mas Off.”

Bright berdehem pelan, “thanks. Kalau gitu gue sama Winnie balik dulu, ya?”

“Winnie, ayo pamit dan bilang makasih dulu sama Kak Gun.” sambung Bright.

Winnie mengangkat sedikit kepalanya, lalu melirik Gun malu-malu. Satu telapak tangannya yang semula memeluk leher Bright bergerak lembut melambai pada Gun yang sedang tersenyum manis padanya.

“thank you so much, kak Gun. Winnie dan Masbie pulang dulu, yah?”

Gun membalas lambaian tangan Winnie, “hati-hati di jalan, sayang.”

Winnie tersenyum kecil, lalu kembali menguburkan wajahnya di ceruk leher Bright.

Setelah mengucapkan pamit satu kali lagi, Bright dan Winnie akhirnya benar-benar melangkah meninggalkan unit apartemen Off untuk kembali ke rumah.

. . .

“Mmhhh… M-masbie…”

Entah siapa yang memulai lebih dulu, bibir keduanya kini sudah saling beradu dan bergulat dengan mesra. Winnie yang nyaris limbung dalam gendongan Bright pun cuma bisa mendesah ketika sang tuan tanpa aba-aba menyerangnya.

Bright menutup pintu utama rumah dengan kaki. Lalu perlahan-lahan berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, sambil terus menikmati bibir penuh Winnie yang menurut dan pasrah di bawah kuasanya.

Lumat – jilat – kulum – kecup. Hanya seperti itu siklusnya, tapi dilakukan secara repetisi.

Hingga keduanya tiba di lantai 2, Bright langsung membaringkan Winnie di atas sofa.

Dengan nafas yang sedikit terburu-buru, Bright menyudahi ciumannya. Lelaki itu berlutut di sisi kiri dan kanan tubuh Winnie yang terbaring pasrah, lalu dengan tergesa ia membuka gesper yang mengikat celana bahannya.

Bright terus mengunci sepasang mata Winnie yang sudah dipenuhi kabut nafsu dalam satu titik mutlak. Hybrid kucing itu terlihat begitu seksi dan memabukkan, juga manis di waktu yang bersamaan. Entah karena sudah terbawa nafsu atau merupakan hasil dari proses belajarnya selama ini dengan Bright, Winnie sudah lebih handal untuk menggoda Bright dengan ekspresi wajahnya.

Winnie sudah terjebak di level birahi yang amat tinggi. Matanya terus memandang sang tuan penuh nafsu. Bright mulai menurunkan resleting celananya, dan dengan inisiatif sendiri, Winnie membawa jari telunjuk tangan kirinya untuk dikulum dan dibasahi.

Membuat Bright menggila, membayangkan kalau jari telunjuk itu... kejantanannya.

Bright mengulas smirk di sudut bibirnya, “jilat jari kamu sama seperti saat kamu menjilat penis Mas, sayang...”

Dipancing seperti itu, Winnie jelas bertambah semangat. Sudah berhari-hari lamanya ia menahan segala gejolak dan dorongan untuk menuntaskan hasrat seksualnya, tapi baru kali ini bisa tersalurkan dengan benar.

Winnie tidak mau berpikir lebih jauh dan lebih lama lagi. Hybrid kucing itu mengikuti perintah Bright, mengulum jari telunjuknya dengan ekspresi wajah yang sengaja dibuat sesensual mungkin.

“Mmmhhhㅡ” Winnie mendesah, lidahnya terjulur membawa laju saliva yang perlahan-lahan membasahi jari telunjuknya dari ujung hingga ke pangkal.

Jantung Bright berdegup cepat. Kondisi Winnie yang sudah pasrah dan terlihat amat sangat menggoda mampu membuat dirinya mengerang ketika ujung jarinya tak sengaja menyentuh pusat tubuhnya sendiri yang sudah menegang di balik sehelai kain yang tersisa.

Bright menurunkan celana bahannya sampai ke batas lutut, lalu membiarkan celana dalamnya masih terpasang dengan sempurna.

Winnie menambahkan satu jari ke dalam mulutnya. Kucing manis itu memaju-mundurkan jari-jemarinya dengan lambat, seraya terus memandang Bright yang juga sedang menatap ke arahnya penuh gairah.

Bright membawa tubuhnya mendekat, lalu menarik pelan jari telunjuk dan jari tengah yang sedang Winnie kulum dan mengganti fungsi mulut sang hybrid untuk mengulum bibirnya sebagai ganti. Bright mengangkat tangan Winnie ke atas, keduanya terus bergulat mencari nikmat lewat lumatan juga jilatan.

Winnie mendesah di sela-sela ciuman itu, lalu dengan spontan Bright melesakkan lidahnya untuk masuk ke dalam, bertemu sapa dengan lidah Winnie yang sudah mengetuk-ngetuk meminta perhatian.

Bunyi denting jarum jam yang berkumandang di ruang tengah lantai 2 pun dianggap sebatas angin lalu. Bright masih sibuk mengulum lidah lentur Winnie maju – mundur – maju – mundur sambil sesekali menghisapnya.

Winnie yang semakin hanyut dalam permainan pun memeluk tengkuk sang tuan dengan satu tangannya yang bebas; tangan kanan. Tangan kirinya masih terkunci dalam genggaman Bright di atas kepalanya, lalu diusapnya penuh sayang surai hitam milik si yang lebih tua.

“Hmmpphㅡ” Bright menggeram sesaat ketika pusat tubuhnya tak sengaja bergesekan dengan bagian perut si hybrid. Intensitas ciuman yang semakin menggila, juga gesekan yang sudah tak mampu lagi dihentikan membuat Bright terbakar, lebih panas lagi, oleh gairah.

Bright melumat bibir atas dan bawah Winnie bergantian, menyalurkan sensasi panas hingga membuat si kucing manis menggeram, kenikmatan.

Oke, rasanya sudah cukup untuk bermain-main. Bright tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

Ciuman keduanya terputus. Bright menarik wajahnya menjauh dari jangkauan Winnie, menyisakan tautan saliva yang membentang menjembatani bibirnya dengan milik sang hybrid.

Bright menatap Winnie penuh damba. Pemandangan dimana si kucing manis berbaring pasrah dengan tatapan matanya yang sayu dan dipenuhi kabut nafsu, kedua pipinya merona menahan malu serta gairah juga bilah bibirnya yang membengkak, basah, mengkilap, terbuka sedikit untuk merilis helaan nafas putus-putus lewat celah yang tercipta.

“Sayang,”

Kepala Winnie mengangguk kecil, menunggu kata-kata yang ingin diucap Bright selanjutnya.

“Let Mas prepare you first.”

Seolah mengerti dengan maksud ucapan sang tuan, Winnie dengan perlahan-lahan mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Cuping telinganya bergerak kecil penuh antusias. Winnie tertawa kecil ketika Bright dengan jahil mengelus dan menjepit ujung telinganya dengan jari.

Winnie sudah polos total. Tidak ada satupun kain yang tersisa di tubuh putihnya nan halus seperti bayi. Bright amat sangat menyukai posisinya saat ini. Berlutut gagah di atas sang hybrid, memandang betapa polos dan sempurnanya kucing manis itu yang kini tersipu malu-malu.

Bright menunduk. Menjamah setiap inci tubuh Winnie yang terekspos bebas dengan bibirnya yang begitu lapar dan mendambaㅡ mengecup, menjilat kecil juga menggigit samar-samar. Mulai dari tulang rahang Winnie yang begitu tajam dan tegas, turun dan maju menuju tengkuk, bermain-main dengan cantik sebentar di sana.

Kedua kaki jenjang Winnie tidak bisa diam. Tubuhnya menggelinjang ketika lidah Bright semakin turun menyentuh tulang belikatnya.

“M-masbie… ahhhh,” mendesah, Winnie hanya bisa mendesah sebagai respon atas semua stimulus yang Bright berikan.

Digapainya lagi rambut sang tuan yang sudah berantakan. Winnie mencengkeram kuat, bukan menjambak. Euforia penuh kenikmatan ia salurkan lewat setiap jengkal jarinya yang meremas surai halus itu.

Bright semakin bergerak turun. Kali ini dengan tempo yang lambat, seolah bermain-main.

“Hmmmpphh,”

Winnie menutup rapat bibirnya yang sulit sekali dikontrol. Matanya terpejam, jari-jari kakinya menciut ketika kecupan Bright tiba dada kirinya. Sang tuan dengan sengaja menghembuskan nafasnya di sana, membuat Winnie satu kali lagi bergidik menahan sensasi geli dan nikmat yang bercampur jadi satu.

Bright adalah seorang yang handal dalam pekerjaannya. Ia amat sangat konsisten pada setiap langkah yang dilalui, juga pada setiap lembar berkas yang dipercayakan padanya. Bright, konsisten pula dalam memberikan kenikmatan. Maka ketika lidahnya berputar di sekitar areola kiri sang hybrid, ada desahan berat yang lolos sebagai bukti validasi; he's good at it.

Dikulumnya puting kiri Winnie yang sudah mengeras. Dihisapnya puncak puting itu hingga membuat si empunya mengerang dengan kuat.

Lalu beralih ke puting kanannya, Bright melayani dengan cara yang sama.

Selesai dengan urusan dada, bibir Bright kembali turun untuk kali ini menjamah perut datar si kucing manis. Kecup – jilat – kecup – jilat, dan berakhir dengan hisapan kecil tepat di lubang pusar.

Winnie memerah, tubuhnya bergetar kecil.

Ini sudah saatnya, dan Bright dengan segera membawa kedua kaki Winnie untuk menggantung di bahu kanan dan kirinya.

Winnie yang sudah pasrah pun hanya bisa memandangi Bright yang kini tampak serius mempersiapkan lubang senggamanya.

Winnie mendesah, bahkan ketika Bright belum mulai menyentuhnya. Kucing manis itu mendesah berat dan panjang, karena Bright dengan gagahnya menjilati satu persatu jari-jari tangan kanannya.

Masih terus bertatapan, masih saling berbagi hangat lewat pandangan yang dibagi satu sama lain, sampai akhirnya Winnie berujar, “M-masbie,”

Bright berdehem singkat, tidak mau konsentrasinya terpecah.

“Can we fuck slow, today? Winnie is too tired.”

Satu alis Bright bertaut, “kamu capek? Kenapa nggak bilang dari tadi? Mau Mas udahan aja?” tapi dengan cepat Winnie menggeleng, “no, no, no, Masbie.” balasnya.

Bright mengelus sayang kedua tungkai Winnie yang mengangkangi wajahnya. “Katanya, kamu capek?” ujung jari Bright menyentuh gelang kaki Winnie yang bagaikan spotlight di sana, bermain-main sesaat dengan benda yang begitu disukai Winnie.

Kepala sang hybrid mengangguk pelan, “uhm,” tangannya terangkat untuk bermain di cuping telinganya, berusaha menyingkirkan rasa malu. “Winnie sudah orgasme dua kali tadi di tempat Kak Gun dan Mas Off. Kak Gun membantu Winnie menggunakan dildo yang besar sekali… Winnie lelah.”

“Tapi Winnie butuh Masbie… Winnie ingin dimasuki Masbie.” sambungnya, penuh harap.

Oke, Bright mengerti. Hancurnya mood dan segala kekacauan yang terjadi sejak semalam cukup menguras habis energi keduanya. Tidak dipungkiri, Bright juga lelah. Tapi ia ingin menyenangkan hati Winnie dan memenuhi kebutuhan biologis hybrid kesayangannya itu.

Setelah memberikan anggukan singkat sebagai jawaban, Bright mulai menciumi beberapa titik di tungkai Winnie yang bisa dijamah oleh bibirnya. Winnie dibuat mendesah hebat, lagi.

Hari ini mereka akan bermain santai. Besok? Who's know? Apalagi ketika Winnie sudah tiba di puncak masa heat-nya, keduanya mungkin akan bermain gila nanti.

“Winnie, sayang,”

Dengan senyumnya, Winnie menyahuti panggilan Bright yang masih sibuk menciumi tungkai kanan dan kirinya secara bergantian.

“Yes, I am, Masbie…”

Ckckck, Bright terkekeh lembut, “Winnie wants to try something new with Mas?” tanya sang tuan.

Satu alis Winnie bertaut penasaran, but he's still nodding anyway, “mau… Winnie wants to learn new things with Masbie.” huh, manis sekali.

Bright berdehem sesaat sebelum akhirnya lelaki itu memposisikan kejantanannya tepat di depan lubang senggama Winnie. Bright bergerak kecil di sana, menggesekkan pusat tubuhnya naik – turun – naik – turun, kembali membakar kobaran gairah yang sempat menurun beberapa menit lalu.

Bright meminta Winnie menatap apa yang sedang ia lakukan di bawah sana. Winnie melihat bagaimana kejantanan Bright bergerak menggagahi belah pantatnya, sangat memabukkan.

“Winnie wants to learn how to make Mas satisfied more than Winnie did last time?”

Winnie mendesah, kemudian mengangguk, “Sshhh, m-mau, Masbie...”

Bright membawa tangan Winnie untuk menyentuh ujung kejantanannya yang masih bergerak naik dan turun, “talk in dirtiest way, sayang.”

Winnie bingung, apa maksudnya?

Bright menuntun tangan Winnie untuk menggenggam bagian atas kejantanannya yang sudah mengeras total, “this is kontol. From now on, Winnie should ask for Mas's kontol if Winnie wanna get fucked.”

Sambil terus menggesek, Bright mengelus paha dalam Winnie dengan lembut.

“What is this, Winnie?” sang tuan mengujinya.

Lantas dengan berani, Winnie menjawab, “k-kontol? Masbie's kontol...”

“Such a good kitten,” Bright menciumi paha dalam Winnie dengan penuh damba, “kontol is an actual dick in dirty vocabulary.”

“Dan Winnie harus menyebut penis Mas dengan kontol kalau Winnie mau bercinta dengan Mas, okay?”

Winnie mengangguk paham, “okay...” gesekan kejantanan Bright di belahan pantatnya semakin menggila, “Winnie menyukai kontol Masbie… kontol Masbie nikmat sekali.”

Niat hati mengajari Winnie berbahasa kotor, Bright malah kelimpungan sendiri karena ternyata efeknya akan sebesar dan sedahsyat ini.

Bright, tidak tahan lagi.

Ia ingin memuaskan, juga dipuaskan.

Maka tanpa kata yang terucap, Bright mulai memasuki lubang senggama Winnie dengan satu jarinya; jari telunjuk.

Winnie tidak terlihat kesakitan. Mungkin karena sudah dibantu dengan dildo oleh Gun sore tadi, jadinya lubang Winnie sudah sedikit lebih longgar.

Jari ke-2 pun masuk, dan disusul jari ke-3.

Winnie cuma mendesah, hasratnya sudah di ujung tanduk.

Ketika dirasa sang hybrid sudah siap, Bright menarik tangan Winnie untuk duduk di pangkuannya. Winnie dengan susah payah memasukkan kejantanan Bright ke dalam lubangnya perlahan-lahan.

Dengan posisi duduk di atas sofa seperti ini, tampaknya keduanya butuh usaha ekstra.

Untuk membantu Winnie yang kesusahan, Bright pun memeluk tubuh si kucing manis sambil membubuhi kecupan di sepanjang bahu polosnya. Tangan kiri Bright membantu menurunkan tubuh Winnie, sedangkan tangan kanannya; mengocok penis Winnie yang sudah berdiri dengan tegaknya sejak tadi.

Butuh beberapa kali dorongan lagi sampai akhirnya kejantanan Bright berhasil masuk seutuhnya.

Winnie mendesah lega, “Aahhhh,” apalagi ketika batang kejantanan Bright menyapa lembut dinding rektumnya. “Kontol Masbie enak… mmmhhhh, besar sekali yah...”

Winnie terlalu polos, Bright terlalu menyayanginya.

Dua kali kecupan Bright berikan di tengkuk Winnie, lalu berpindah ke rahangnya dan berhenti tepat di perpotongan lehernya.

Bright belum bergerak, masih ingin memberi waktu bagi Winnie untuk beradaptasi.

“Kali ini Winnie tidak usah banyak bergerak, biar Mas yang bekerja keras, oke?”

Winnie mengangguk, “uhm, okay.”

Bright kembali menjamah bahu telanjang Winnie dengan bibir juga lidahnya. Tangannya juga terus memberikan pijatan juga remasnya di sepanjang kejantanan Winnie yang mulai bergetar, hendak menjemput putih.

Satu tangan Bright yang bebas mengelus seduktif pinggang ramping sang hybrid, “cockwarming sebentar aja ya, sayang… Mas masih mau diem begini, Mas mau manjain Winnie dulu.”

Winnie tidak lagi mampu menjawab. Bright dalam satu kali hentak menghujam prostatnya tanpa melakukan pergerakan secara berlebihan. Ketika dirasa ujung kejantanan Bright sudah menyatu dengan titik nikmat Winnie, sang tuan kembali memuaskan hybrid nya dengan oral yang terus bergerak aktif.

Di bawah lampu temaram, di waktu yang semakin beranjak malam, Winnie hanya mampu mendesah membiarkan Masbie-nya mengambil utuh segala warasnya yang nyaris tak tertinggal, sedikitpun.

. . .

WRITTEN BY : JEYI.

“Can i come over?” dari suaranya saja, sudah terdengar amat sangat memelas. Win jadi nggak tega jujur aja, tapi masa iya kali ini mereka harus mengaku kalah pada keadaan?!

Lantas masih sambil mengaduk es teh manis yang tersaji di atas meja, Win menyahut, “kamu jangan gila.”

“Fine, aku emang gila. Tapi bolehin aku nyamperin ke sana dong, please???”

Aduh, aduh, kalau udah mode anak bayi begini, Win bisa luluh dalam hitungan detik.

Satu kali lagi pemuda manis itu melirik situasi sekitar, memastikan kalau warung ayam bakar yang sedang ia singgahi tidaklah begitu ramai dengan pengunjung. Oke, aman, ternyata faktor waktu dan matahari yang lagi terik-teriknya cukup mempengaruhi probabilitas mahasiswa sebuah universitas negeri di kota Bandung untuk berkeliaran di luar gedung kampus.

Kecuali kalau kebetulan lagi laper banget.

Win yang sejujurnya agak merasa aneh dengan sikap sang kekasih yang mendadak clingy pun membawa kepalanya mendekat pada dinding warung, menjauh dari radar pendengaran Cintaㅡ teman sekelasnya.

“Kamu lagi kangen atau lagi sange, sih?”

Ups, to the point banget, kak…

tags: EXPLICITㅡ contains mature contents; phone sex, handjob, some of dirty words (local porn vocabulary), as always elvino likes praising shalom's body so it's gonna be a praise!kink, multiple orgasm, rimming, mirror sex, chest play, protected sex, doggy style, etc 🔞 • pair: top!sub!bright x bot!dom!win, college life total words: 5.7k+ words. • commissioned by: @caffelattesani


ㅡ Suatu siang di bawah terik matahari, di kota Bandung (2023).

“Untuk pengumpulan tugas, saya mau dibuat secara kolektif seperti biasa. Nanti ketua kelas hanya akan mengirimkan file dalam format rar yang isinya tugas anda-anda semua. Saya beri waktu paling lambat hari Sabtu jam tujuh malam disetor kepada ketua kelas, lalu hari Minggu jam tujuh pagi file tugas sudah masuk ke email saya.”

Situasi kelas yang semula terasa mencekam setelah melewati perdebatan panjang antar empat kelompok presentasi perlahan-lahan mencair dengan turunnya tensi yang sukses membuat pundak-pundak tegang di sana mulai terlihat rileks.

Bukan hal baru lagi, kalau dosen sering melanggar ketepatan waktu mengajar sehingga 25 mahasiswa di dalam kelas harus ikhlas jam istirahat mereka berkurang beberapa menit.

Iqbalㅡ sang ketua kelas, mengangguki ucapan Pak Irwan dengan patuh.

“Minggu depan kita kuis materi sembilan.”

Haduh, nggak jadi rileks ini mah... Di saat baru bisa menghela nafas lega, Pak Irwan justru kembali memberi surprise tentang jadwal kuis yang akan dilaksanakan minggu depan.

Win, pasrah. Menjadi mahasiswa dan sekarang sedang berjuang di tingkat 3 akhir nyatanya amat sangat melelahkan. Pikiran, capek. Tubuh, apalagi. Hati, duh… kalau bisa meledak, udah meledak, kali?

It's too exhausted to holding on but it's such a waste to give up, alias woy… dikit lagi lulus…

Kaki panjangnya yang terbalut sepatu converse putih mengetuk-ngetuk lantai. Tubuhnya pegal, tapi enggan untuk merenggang jika Pak Irwan belum keluar dari kelas. Alhasil, memejamkan mata menjadi satu-satunya hal yang bisa pemuda manis itu lakukan sambil menunggu kelas dibubarkan.

“Baik, kalau begitu saya rasa cukup untuk perkuliahan kita hari ini. Tugas dari saya jangan lupa dikerjakan, sampai bertemu lagi minggu depan dan selamat istirahat.”

Akhirnya… setelah 2 jam setengah terjebak dalam situasi yang kurang nyaman, tidak enak, menegangkan, Pak Irwan pun beranjak meninggalkan kelas. Beberapa mahasiswa tanpa basa-basi langsung melenggang keluar, beberapa masih tinggal di dalam, termasuk Win yang sedang mengotak-atik ponselnya dengan serius.

from: anak bunda 🐊 • udahaaaan belummmm lama banget sihhh kelasnya!!! • woy :((( jawab :((( jawab chat ini sebelum aku nangis :(((

Si manja dan segala tingkah lakunya berhasil membuat Win geleng-geleng kepala. Dari kalimat yang tertera di layar ponselnya pun, ia tahu kalau pacarnya itu sedang merajuk.

Ya, pacar. Pacarnya yang tidak pernah berubah. Masih sama seperti tiga tahun silam, yang dengan pedenya break the culture and rules jurusan untuk menyatakan cintanya di atas panggung, saat perpisahan sekolah. Pacar… 6 tahunnya.

Masih tetap Elvino, dan akan selalu Elvino.

Win baru saja akan mengetikkan pesan balasan, tapi sayang… sebuah tepukan di bahu kanannya justru membuat pemuda manis itu terdistraksi dengan mudah.

“Eh, Cin, kenapa?” ternyata ada Cinta yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping bangkunya.

Bukannya langsung menjawab, Cinta malah mencebikkan bibir bawahnya. “Laperrr… laper banget, nggak bohong...” wajahnya pun memelas, Win jadi tidak tega.

Alhasil, tanpa pikir panjang, Win kembali mengantongi ponselnya di saku jaket denim yang ia pakai hari itu, mengabaikan pesan Bright yang sudah terlanjur dibaca, lalu bangkit dari posisi duduknya. Sambil tersenyum tipis, Win mengangguk, “let's go! Ayam bakar biasa yang di seberang kosan Bougenville, yuk?!”

“Mau… mau… mau!!! Ayo aaaaa gue udah laper banget, gila!” sahut Cinta dengan senyum lebarnya.

Lantas keduanya pun melangkah berdampingan keluar kelas, meninggalkan beberapa mahasiswa yang masih tinggal di sana, termasuk Iqbal si ketua kelas.

. . .

“Tumben hari ini nggak sibuk, Win? Biasanya abis kelas langsung ngumpul sama anak BEM...” Cinta, adalah salah satu orang yang unbothered banget ketika sedang makan. Buktinya gadis itu bisa melayangkan dua pertanyaan sekaligus pada Win meskipun bibirnya yang mungil masih dipenuhi nasi yang bercampur dengan potongan daging ayam dan juga sambal bawang.

Win yang kebetulan sudah menghabiskan satu porsi nasi dan ayam bakar miliknya cuma bisa menggeleng pelan, lalu dengan gemas ia menutup rapat mulut Cinta dengan telapak tangannya.

“Telen dulu kenapa, sih? Nanti keselek, cantik...”

Cinta cuma bisa cengengesan. Tangan kirinya yang semula menggenggam pegangan gelas kini terangkat dengan dua jari membentuk huruf 'V'.

“Lagi dikasih waktu libur sebentar sebelum minggu depan mulai fokus promosi dan persiapan pensi jurusan,” kata Win sambil membasuh tangan kanannya pada sebuah mangkuk kecil berisi air dan sepotong jeruk nipis, “gue bakalan danusan lagi kayak tahun lalu, lo masih inget jobdesk lo 'kan, Cin?”

Yang ditanya memutar jengah dua bola matanya, “yang danusan elo, yang pusing gue.” sahutnya.

“Tarif PP endorse gue naik dua puluh lima persen lho, Win!”

Win mendecih, “masa iya sama temen sendiri perhitungan gini sih, Cin… nanti gue traktir hokben kayak biasa deh.”

Cinta masih mengunyah makanan di dalam mulutnya, sampai beberapa detik kemudian gadis itu kembali buka suara, “ya lagian, 'kan yang disuruh danusan itu lo, kenapa harus gue yang promosi lewat ig story gue setiap hari...”

“Lo 'kan mahasiswi hits, Cinta… jasa lo amat sangat membantu gue dalam bisnis perdanusan yang nggak ada habisnya ini. Ayo lah, ya, ya, ya?”

Wajah memelas, hidung kembang kempis dan sepasang alis yang bergerak naik turun benar-benar merupakan kombinasi yang lucu bagi Cinta. Melihat Win yang tampaknya sudah mulai lelah dengan segala tetek bengek perdanusan, akhirnya gadis itu dengan senang hati mengangguk. Tangan kanannya yang dipenuhi jejak nasi, sambal dan sisa kremesan terangkat, mengacungkan ibu jari sebagai tanda persetujuan.

Hehehe, seperti biasa, Win memang jagonya cengengesan. Lagi pula, Cinta nggak akan menolak dan dengan tega membiarkan dirinya keliling gedung kampus untuk menjual gorengan khas anak BEM itu.

Sambil menunggu Cinta menghabiskan makanannya, Win terdiam. Tampak mulai sibuk menyelam dalam pemikirannya sendiri, sampai lima detik kemudian matanya spontan membola ketika dirinya sadar, kalau ada sesuatu yang terlewat.

Cepat-cepat Win merogoh saku jaket denimnya, mengambil ponsel yang sejak satu jam lalu tidak lagi ia sentuh sama sekali.

4 missed calls from anak bunda 🐊

Nggak hanya itu,

Tapi juga ada beberapa imess masuk yang ternyata left on read karena Win lupa menutup aplikasi chatting tersebut.

Huh… alhasil Win cuma bisa menggigit kecil bibir bawahnya, sambil berpikir… ngambek nggak, ya?

Ngambek sih, pasti… karna dari pagi dia emang udah grumpy eh sekarang ditambah chatnya didiemin selama satu jam… sempet nelfon juga, tapi ternyata hape gue belum dimatiin mode silent nya, hadeh… gimana, nih?!

Ya sudah lah, karena nggak mau semakin membuat pacarnya ngambek berkepanjangan, Win pun mengetikkan pesan balasan yang cukup singkat;

Aku telfon ya?

30 detik…

1 menit…

1 menit 30 detik…

2 menit…

2 menit 30 detik…

Bahkan sampai Cinta sudah selesai makan pun, Bright belum kunjung membalas pesannya.

“Kenapa, Win? Kok gelisah gitu?”

Eh, kelihatan banget, kah? Lantas Win menggelengkan kepalanya, “nggak apa-apa, Cin.” katanya.

Sambil menenggak sisa es teh di gelasnya, Cinta menatap Win dengan sorot menyelidik, “yang bener?”

Satu kali lagi, Win mengangguk, “bener, Cinta… serius deh, gue nggak kenapa-kenapa.”

“Oke kalau gitu,” Cinta memasukkan tangan kanannya ke dalam sebuah mangkuk berisi air dan sepotong jeruk nipis, membasuh tangannya yang basah dengan tissue, lalu beranjak dari posisi duduknya, “gue mau nyari jajanan dulu, mau nitip, nggak?”

Win tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya ia menggeleng, “begah banget perut gue, nggak usah deh, lo aja sana.”

Oke, dengan jawaban tersebut Cinta pun melenggang keluar warung ayam bakar, meninggalkan Win yang kembali fokus pada layar ponselnya.

Bii, jelek ah ngambeknya…

15 detik berlalu.

30 detik juga ikut berlalu.

1 menit, masih belum juga ada jawaban.

Win yang geregetan karena Bright benar-benar mengabaikan pesannya pun hendak mengirim sederet kalimat lagi sebelum akhirnya sebuah bubble balasan masuk mengisi ruang obrolan antara dirinya dengan sang kekasih.

from: anak bunda 🐊 aku baru beres mandi cintakuuuu

Oh, nggak marah, toh? Hati Win mendadak lega, lega banget… lalu tanpa membuang banyak waktu, pemuda manis itu pun langsung mengetik pesan balasan.

Sorry… tadi aku nggak nyadar kalau kamu nelfon, sampe missed calls 4 kali deh :(

Hapenya aku silent soalnya bii…

from: anak bunda 🐊 emang kebiasaan kamu itu mah, ga heran aku

Ga gituuuu jelek :(

Aku mau telfon kamu, boleh tidakkkk???

from: anak bunda 🐊 • aku lagi siap-siap tau, yangggg • nanti aja, kan ketemu

Hah??? Ketemu? Gimana maksudnya? Win jadi bingung sendiri, plus deg-degan di waktu yang tiba-tiba.

MAKSUDLU????? Ngegas, sih, tapi memang betulan kaget, gimana dong?!

from: anak bunda 🐊 ya aku mau ke bandung lah???

Wait, what? Apa-apaan??? Nggak ada angin nggak ada hujan, Bright tiba-tiba banget mau ke Bandung?

Win mulai panik.

Ngapain heh??? Kamu mah ada-ada aja deh tingkahnya…

from: anak bunda 🐊 • aku kangen sayanggg!!! KANGEN • mau ke bdg, mau nyusul kamu, ya?

Kenapa ga nanya dulu sih??? Aku ngampus sampe sore, bii… kebiasaan deh apa-apa tuh ngambil keputusan sendiri emang tuh, kebiasaan banget.

from: anak bunda 🐊 • ih ya kan perjalanan depok – bdg tuh 4 jam!!! • sekarang udah mau jam 2, paling aku nyampe sana abis maghrib • emangnya kamu kuliah sampe maghrib?

Supaya Bright nggak nekat nyusul ke Bandung, Win pun memutuskan untuk berpura-pura sibuk.

IYAAAAA AKU SIBUK BANGET SIBUUUUKKKKK AKU MAU ADA PROJECT PENSI JURUSAN AKU SIBUK BANGET POKOKNYA AAAAAA SIBUKKKK

from: anak bunda 🐊 :((( fix emang kamu ga mau ketemu aku ya

Ga gitu??? overthinking mu jelek :/

from: anak bunda 🐊 aku paling nginep semalem aja, yang… mau gila aku nahan kangen :(((

kangen apa sange lau???

nah, kena kan tuh. Setelah saling mengirim chat bersahut-sahutan, kali ini Bright nggak langsung membalas. Ibu jari Win bergerak menggulir layar ponselnya, capek juga, ngos-ngosan juga ternyata, setelah re-read kalimat-kalimat terakhirnya dengan sang kekasih.

from: anak bunda 🐊 :((((((( ga seru ah malah ketauan

ya Tuhan, beneran kangen dan horny di waktu yang bersamaan, nih? Pantesan kali ini ngebet banget mau nyusul ke Bandung…

Aku kirim voice notes aja kayak biasa yaaa

from: anak bunda 🐊 masa iya aku harus ganti ringtone lagiii sih

MAKSUDNYA?!! SUARA AKU KAMU JADIIN RINGTONE HP?!!

from: anak bunda 🐊 aku jadiin suara buat alarm sih lebih tepatnya

Elvino Bright Vincentius Lemuel…

Demi apa sih, bii??? yang ada kamu bukannya bangun malah morning glory tau ga!!!

from: anak bunda 🐊 ya, kadang begitu… kadang juga langsung bangun

Gila…

Win jadi sakit kepala mendadak. Ia memijat pelan pangkal hidungnya, sedikit dibuat stress dengan tingkah laku pacar nakalnya itu.

Ya udah nanti aku kirimin foto nudes aja

from: anak bunda 🐊 gamauuu maunya ketemu kamu :(((

Aduh, gimana, nih?

How about phonesex? Kita belum pernah nyoba phonesex, mau?

Bright tidak langsung menjawab. Win membaca ulang percakapan mereka yang secara nggak langsung sudah memasuki level gawat darurat.

Diam-diam Win merasa gugup. Baru kali ini pemuda itu dibuat grogi dengan offer yang berasal dari dirinya sendiri.

Sampai akhirnya sebuah bubble baru muncul di layar ponselnya.

from: anak bunda 🐊 yakin bakalan berhasil?

Oke, Win pun membalas dengan cepat, kemungkinan gagal kecil sih, orang kamu dikirimin vn porno aja udah nangis meraung-raung

Ah, Win jadi teringat akan kekonyolan Bright beberapa minggu lalu. Kebetulan, mereka berdua sedang sama-sama tinggi setelah selesai menonton film dewasa yang dilakukan secara online. Maksudnya, baik Win maupun Bright menonton film tersebut bersama-sama melalui aplikasi google meetingㅡ share screen, karena terpisah oleh jarak yang cukup jauh.

Karena terlanjur malu (malu bangeeeet!) untuk sekedar tatap muka di penghujung film, Bright pun memutuskan leave room duluan dan Win dengan jahil menggoda pemuda itu lewat ruang obrolan mereka berdua.

Termasuk dengan keisengannya yang mengirim sebuah pesan suara; mendesah secara berkala, yang sukses membuat Bright mengirim puluhan emoticon menangis juga foto selfie pemuda itu yang berurai air mata.

from: anak bunda 🐊 JELEKKKK BERCANDA KAMUUU

Tuhkan, ngamuk! Hehehe.

Gimane bossss mau nyoba ga? Kayaknya seru deh

Nggak bisa bohong, Win juga sebenarnya antusias. Antusias banget, malah! Tanpa sadar, rona merah mulai memenuhi kedua pipinya. Mulai harap-harap cemas. Duh, Bright mau nggak ya?

1 menit berlalu, Bright belum kunjung membalas pesannya.

Karena nggak mau merasa antusias sendirian, Win pun hendak mengirim pesan lagi, tapi aksinya harus terhenti saat kontak Bright muncul sebagai id caller di layar ponselnya.

Sepasang mata Win membulat sempurna, anjrit??? Kenapa nelfon sekarang???

Tapi karena enggan membuat pacar nakalnya itu ngambek (lagi), Win pun melirik situasi sekitar untuk memastikan kalau keadaan benar-benar aman.

Oke, cuma ada tiga mahasiswa yang duduk sambil makan di meja pojok warung dan posisinya cukup jauh dari meja yang ditempati olehnya. Alhasil, Win pun menerima panggilan tersebut.

Sambil mencoba menenangkan diri sendiri yang kelewat gugup, Win membuka suara lebih dulu, “Bii...”

“Sayang...”

Ternyata, Win nggak merasa gugup sendirian. Dari suaranya saja, Win percaya kalau pacarnya itu sedang setengah mati menahan malu.

Satu kebiasaan kecil yang belum bisa Win hilangkan ketika panik, gugup dan takut; meremas sambil menggaruk jari-jari tangannya sendiri. He's doing it right now, sembari berpikir kalimat apa lagi yang harus ia ucapkan untuk membalas sapaan Bright barusan.

“Kenapa nelfon sekarang? Aku 'kan baru nanya doang tadi...”

Terdengar Bright menghela nafas berat di seberang sana, “aku penasaran about how you do it,”

“So the step one is...?”

Hah??? Sekarang banget, nih??? Dengan posisi Win sedang duduk di atas sebuah bangku plastik di warung ayam bakar???

Nggak, nggak, he's crazy enough for doing it in public.

“Wait, aku ke toilet dulu.”

Oke, sekarang. Tapi biarkan Win mencari tempat yang jauh lebih aman dan menjamin keselamatan dirinya lebih dulu.

Bright berdehem penuh kegugupan, “hm, kamu lagi dimana emangnya?”

“Di warung ayam bakar, tempat aku sama anak-anak biasa makan selesai kelas,” Win menjeda ucapannya. Pemuda itu menyatukan piring makan, mangkuk air cuci tangan, gelas bekas es teh manis miliknya dan juga Cinta di tengah meja.

Kemudian Win beranjak menuju kasir, membayar seluruh pesanannya dan Cinta dengan selembar uang seratus ribuan.

“Aku baru aja makan sama temenku, kelasku selesainya ngaret banget tadi, that's why aku nggak nyadar pas kamu telfon, hapenya aku simpen di kantong jaket soalnya.”

“Jaket kamu? Atau jaket aku?”

Win melirik jaket denim yang membungkus tubuh bagian atasnya, “jaket kamu, yang aku bawa merantau ke Bandung.”

“Hmm, iri dengki,” satu kali lagi, Bright menghela nafas di seberang sana, “oh to be that jacket so i can hug you all day long.”

“Nggak, nggak. Gombalan mu gagal, silakan mencoba di lain waktu.”

Bright terkekeh, “heleh, ngaku aja kalo lagi grogi...”

Ups, ketahuan deh. Secara spontan Win menggaruk pangkal hidungnya, grogi, cuy, lalu langkah kakinya semakin cepat begitu pintu toilet wilayah parkiran terlihat di ujung jalan.

Win masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang letaknya ada di paling pojok. Berhubung jam sudah kembali memasuki waktu perkuliahan, keberuntungan pun seolah berpihak pada pemuda manis itu. Toilet dalam keadaan sepi, dan kosong.

“Wait, aku atur posisi dulu.”

Bright berdehem lagi, “uhm, take your time, sayang. Make yourself at the best position, okay?”

“Hm, okay...”

Lantas Win meletakkan tasnya di atas kloset, menurunkan bagian penutupnya dan duduk di atas sana. Satu tangan masih memegang ponsel yang menempel dengan telinga sebelah kanan, lalu satu tangan yang lain sibuk meremat celana jeans yang dipakai.

Bingung harus memulai darimana.

“Sayang, udah?”

Bola mata Win bergerak gusar, melirik ke kiri juga ke kanan, berusaha menjemput rasa tenang. Berkali-kali pemuda itu menjilati bibirnya yang tiba-tiba terasa kering, tanpa sadar kakinya bergerak cepat seperti seseorang yang sedang mengayun mesin jahit.

Situasi toilet kampus yang sepi semakin menambah ketegangan yang melingkupi Win saat ini.

Susah payah ia menganggukkan kepalanya, “u-udah, tapi aku bingung mau mulainya gimana...”

“Hahaha dasar, ya udah sini biar aku yang mulai,” ketika Bright berkata bahwa dia yang akan memulai, bukannya lega, Win malah semakin grogi.

Terdengar Bright lagi dan lagi menghela nafas, kali ini terkesan agak lambat.

“Actually, i don't know if it will work or not, tapi kita coba pelan-pelan, oke?”

Pasrah, Win pun mengangguk, “o-oke...”

“Posisi kamu gimana sekarang, yang?”

“Duduk di atas kloset. Toiletnya sepi.”

Bright terkekeh ringan, “alright, alright. Sekarang coba kamu buka lebar kaki kamu. Selebar yang kamu bisa aja.”

Meski tidak terlalu terdengar, Win bergumam, oke, oke, udaaah… ucapnya, pelan.

Tapi sudah satu menit lebih berlalu, Bright tidak kunjung melanjutkan kata-katanya.

“Bii?”

Sebuah geraman terdengar di seberang sana, “aku juga bingung… biasanya kamu yang mancing aku soalnya...”

Benar juga, when it comes to sex, Win akan selalu jadi pihak penggoda yang handal. Lalu Bright akan dengan senang hati tergiur dan larut dalam permainan.

Win yang kepalang grogi setengah mati pun mulai berpikir keras, bagaimana caranya agar sesi quickie mereka kali ini bisa tetap berjalan lancar.

“Oke, oke,” pemuda manis itu mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan, “berhubung aku lagi di tempat umum, jadi kamu nggak perlu berusaha bikin aku puas. Bakalan susah bersihinnya, and wasting time banget. Jadi begitu kamu keluar satu kali, kita udahan, deal?”

Bright berdehem santai, “okay, deal.”

“Now take off your pants,” gugup, tapi tetap percaya diri, “and get yourself at the best position.”

“Ngikutin kata-kata aku tadi, ya?”

Sepasang bola mata Win memutar jengah, “buruan, udah dilepas belum celananya?”

“Udah, sayang. Udah telanjang aku sejak pertama kamu ngajakin phonesex malah.”

Damn, Win menegang hanya karena seuntai kalimat yang diucapkan pacar nakalnya.

No, no, lo nggak boleh ikutan terangsang, Win… inget… lagi di tempat umum.

Oke, tarik nafas… buang… tarik nafas lagi… buang…

“Bii, aku juga nggak tau kalo ini bakalan berhasil atau enggak, tapi kamu bisa coba dari step pertama,” ada jeda sesaat di ujung kalimat Win, “touch the head with your pretty fingers tip, please...”

Masih langkah pertama, tapi Win sudah bisa mendengar samar-samar kalau Bright mulai tinggi. Entah apa yang sedang pemuda itu lakukan di seberang sana, apakah melewati perintah Win atau tidak, satu yang pasti; Bright has turned on.

“Ssshhh… aku mainin sedikit boleh, yang?”

“Mainin kayak gimana?” sedikit berpura-pura polos, bukan masalah besar, right?

Bright menggeram lebih berat lagi, “aku kocok tititku?” Lalu terdengar desahan panjang yang berhasil membuat keringat dingin mulai keluar membasahi rambut dan pelipis si Manis. “Ahhhh, aku nggak bisa kalo cuma ngelus-ngelus dikit begini, i want more, sayang… Mhhhh,ㅡ”

“Minta yang manis coba...”

Pacar nakalnya itu tampak berdecak kecil, “Shalom, sayang… aku boleh kocok-kocok tititku? Sebentar aja, tititku udah berdiri banget, kasian dia...”

Tenang, Win… tenang…

“Boleh, tapi kocoknya pelan-pelan sambil dengerin kata-kataku, deal?”

“Ahhhhㅡ” Bright memang paling nggak bisa basa-basi. Begitu diperbolehkan untuk mengocok kejantanannya sendiri, maka pemuda itu akan langsung melakukannya. “oke, deal. Mmhhh, Win… ssshhh,”

That's it. Kayaknya Win nggak bisa kalau tetap pada posisinya, diam, sambil menikmati desahan sang kekasih. Lambat laun, tangannya yang bebas turun menyentuh kejantanannya yang masih tersembunyi di balik celana jeansnya. Karena enggan menyusahkan dirinya sendiri, Win pun memilih untuk memanjakan diri dengan mengelus-elus tepat di pusat selatan tubuhnya.

Hanya sebatas elusan, yang diselingi remasan sesekali.

“Imagine that were my hands playing on your dick, Bii...” matanya ikut terpejam, mulai hanyut dalam permainan. “Biasanya aku agak lambat kalau ngocokin kamu, sengaja, to make you suffer and enjoy at the same time. Jadi, ikutin tempo tanganku kayak biasa, jangan terlalu cepet jangan juga terlalu lama. Get it?”

“Ssshhh, y-yeshhh… Win, cepetin dikit boleh?”

“Sedikit aja. Jangan keluar dulu, Bii.”

Lagi dan lagi, Bright menggeram, “iya, e-enggak… ahhhh… remes dikit, sayang...”

Diam-diam Win meremas kejantanannya dari luar, dan di waktu yang sama ia membayangkan kalau tangannya sendiri yang sedang bermain di kejantanan milik Bright. Bergerak naik dan turun secara lambat, lalu berubah cepat di detik berikutnya.

Win dapat memotret imajinasi dimana dirinya sedang berbaring tengkurap di samping tubuh polos Bright yang berbaring terlentang di atas ranjang. Bright yang memejam penuh rasa nikmat, dan pasrah di bawah kuasa dominasinya. Dimana tangannya masih terus memberi kepuasan pada penis yang menjulang malu-malu, berulang kali menggoda Bright untuk meloloskan seuntai desahan.

Tanpa sadar Win ikut melemas. Punggungnya jatuh bersandar di dinding kloset, kepalanya menengadah menahan rasa nikmat.

Sampai sebuah desahan lolos dari ranum merah mudanya, “Bii, ahhhh,”

“Desah terus, sayang… bayangin kalau tangan kamu yang lagi ngocok titit aku, bayangin jari-jari lentik kamu lagi bergerak naik turun, ahhhh… Win, lebih ceper, sayang… Mmmhhh, ”

Gila. Ternyata doing phonesex efeknya jauh lebih dahsyat dibanding saling mengirim voice note porno.

“Sshhh, B-bii,”

Bright masih mendesah berat, tapi nggak butuh waktu lama ia membalas panggilan Win, “y-ya, sayang?”

“Lanjut ke step dua, ya?”

Bright berdehem, pertanda ia setuju untuk naik ke langkah ke-2.

“Make yourself comfortable on the bed, terus kamu ngangkang, buka kaki kamu lebar-lebar, sampai sekiranya ada ruang buat aku duduk di tengah kaki kanan dan kiri kamu,”

“U-udah, yang...”

“Coba sekarang bawa jari telunjuk tangan kiri ke lubang kamu, and let the tip in a little bit, bayangin kalau itu ujung tititku yang berusaha masuk ke sana.”

Win meremas kejantanannya semakin kuat, seiring dengan desahan Bright yang menggema seraya pemuda itu menuruti perintah Win; memasukkan ujung jari telunjuknya ke dalam lubang senggama miliknya yang sering kali digoda oleh Win ketika mereka melakukan foreplay.

Win, memang tidak pernah menjadi pihak yang mendominasi dalam 'posisi' saat bercinta, tapi sisi dominannya yang selalu berhasil membuat Bright pasrah dan bertekuk lutut, dipastikan mampu menciptakan suasana erotis apalagi ketika dengan isengnya, ia pernah hampir memasuki Bright walau hanya sebatas ujung saja.

“Aaahhh, m-masukin sayang, lebih dalem lagi… ssshhhㅡ”

“Sekarang taro hape kamu di nakas, don't stop fingering yourself, dan bawa satu tangan kamu yang bebas buat ngocok titit kamu lagi, kali ini boleh lebih cepet, terserah kamu, biar kamu cepet keluar.”

Dalam bayangan Win, Bright langsung meletakkan ponselnya di nakas sesuai perintah yang baru saja ia ucapkan. Setelah itu, Bright semakin melebarkan kaki jenjangnya, sambil terus memainkan ujung jari telunjuknya di lubang senggama, Bright kembali menangkup kejantanannya. Mengocoknya jauh lebih cepat.

Wajah Bright yang menengadah menahan nikmat, matanya yang terpejam erat, bibirnya yang digigit kuat pun tak jua luput dari benak Win. The way all the scenes feel so real in his mind.

Aaahhhhh… Win mendesah pelan, takut ada orang lain yang berada di luar bilik.

“S-sayang, Mmmhhh… Win, sayang...”

Yang dipanggil berdehem pelan, “kenapa? Udah mau keluar?”

Tanpa Win ketahui, Bright mengangguk ribut di seberang sana, “aahhhh… e-enak… enak banget… aaaaahh, m-mau keluar, aku mau keluar...”

Akhirnya… tiba juga di penghujung permainan.

“Oke, now imagine you're coming right there on my face, go on,”

“Buka dikit mulut kamu, sayang… taste my sperm sedikit, ya?”

“Okay,”

“Aahhh Win, tititku membesar banget… Mmmhhh you should see it, it's getting bigger and redder, aaaaahh...”

“Keluarin, Bii...”

Tidak butuh menunggu lama, Bright mendesah berat dan panjang, “ssshhh, aku keluar...”

“Makasih, sayang… ” kata Bright, yang terdengar begitu lelah.

Win tersenyum, “sama-sama, Bii. Sekarang bersihin badan sama sprei kamu, oke?”

“Okay, habis ini aku ambil kunci mobil terus aku on the way.”

“HAHHH??? MAU KEMANA??? KAMU MASIH LEMES BANGET ITU...”

Bright terkekeh agak keras di seberang sana, “ya ke Bandung lah??? Mau kemana lagi emangnya???”

HAH??? UDAH GILA INI MANUSIA SATU…

. . .

Nggak tau gimana ceritanya, bahkan untuk sekedar mengomel pun nggak sempat sama sekali, tapi pada kenyataannya… Bright sudah tiba di sini.

Sedang duduk santaiㅡ agak sedikit tegang, di atas sebuah sofa empuk di ruang tengah indekos kelas atas yang cukup terkenal di kota Bandung.

Bunyi slurppp terdengar samar-samar ketika cairan susu coklat panas yang dibuat Win sepuluh menit lalu masuk melintasi lidahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam, dan Win masih memilih diam sambil menatap Bright dari ambang pintu kamar.

Kedua tangan bersila di depan dada.

Bright meletakkan cangkir berisi coklat hangat buatan Win di atas meja. Hujan sedang turun mengguyur kota dengan seribu satu cerita romantisnya itu, sehingga Bright rasa… butuh penekanan yang kuat jika ia ingin kata-katanya sampai pada telinga sang kekasih hati.

“Sayang, udahan dong marahnya...”

Win berdecak pelan, “aku nggak marah, Bii. Aku cuma bingung aja kok kamu bisa beneran nekat nyamperin aku ke sini.”

“Kamu izinnya gimana ke Bunda sama Ayah?”

Bukannya langsung menjawab, Bright malah cengengesan, “tadinya aku nggak mau jujur kalau aku mau nengokin kamu ke sini, tapi kayaknya gelagat aku gampang banget dibaca sama Bunda, jadi ya… akhirnya aku jujur aja kalau aku mau nginep semalem di tempat kamu.”

“Mana ada mau nengok, mau ngajak ngewe, kali?!” haduh, haduh, jujur amat sih, kak… tapi Bright nggak kuasa untuk sekedar mengelak, ya karena memang benar, niatnya ke Bandung itu... 50% buat nengok Win, 50% lagi untuk berbuat zinah.

Ya habis gimana dong… ada kali udah setahun mereka nggak ketemu karena udah sama-sama masuk tingkat tua perkuliahan???

Win kalau lagi galak, galak banget. Bilangnya sih nggak marah, tapi Bright tahu banget kalau pacarnya itu lagi kesel banget.

Karena dirasa nggak ada kalimat yang bisa meluluhkan hati si Manis, Bright pun beranjak dari sofa dan melangkah mendekat ke arah Win yang masih bersedekap dada di ambang pintu kamar.

Di bawah minimnya cahaya lampu yang menerangi indekos mewah itu, Bright bisa melihat dengan jelas… pacarnya terlihat begitu cantik walaupun hatinya sedang dibalut emosi.

Bright berhenti tepat di depan Win. Kedua tangannya dengan mudah menemukan jalan untuk merengkuh pinggang ramping sang kekasih, menariknya mendekat sampai bagian depan tubuh mereka saling bersentuhan.

Kedua pasang mata anak adam itu bertukar pandang, dalam, terkunci rapat juga telak.

Bright menyatukan dahinya dengan milik Win, kemudian berujar lembut, “i am sorry, aku masih belum bisa ngontrol rasa kangenku,”* diusapnya penuh sayang pinggang si Manis, “the way i used to see you everyday during our school days back then, aku terbiasa apa-apa sama kamu, jadi begitu kita jauh kayak sekarang… aku banyak bingungnya.”

Win turut mengalungkan dua tangannya pada tengkuk Bright, “tapi bukan berarti kamu bisa dengan mudah bolak-balik Depok Bandung begini dong, Bii,” dielusnya pelan tengkuk sang kekasih, “kamu nyetir sendirian empat jam, emangnya nggak capek? Depok ke Bandung tuh nggak deket, anak nakal.”

Bright memejamkan mata, terkekeh pelan saat Win dengan gemas menjambak pelan surai hitamnya.

Bright bergumam, “capeknya udah nggak berasa begitu aku sampai di sini and finally meet you after a year, i guess?”

Dikecupnya lembut bibir Win, “aku bisa gila karna nahan kangen setahun sama kamu.” bisik Bright, tepat di atas permukaan ranum merah muda si pacar manis.

Win membalas kecupan Bright, kali ini dengan tempo yang lebih lambat, lumatan ikut serta mewarnai acara lepas rindu kedua insan yang selalu dimabuk asmara itu.

Sampai akhirnya mereka lupa waktu.

Sampai akhirnya, tidak ada yang tahu bagaimana dua pasang tungkai itu kini sudah berbaring dengan posisi saling menindih di atas ranjang.

Terlalu pasrah, terlampau rindu, hingga yang tersisa hanya bunyi decapan juga lidah yang saling beradu menyaingi suara hujan.

Tangan Win sudah menemukan jalannya untuk mencengkeram surai hitam Bright. Meremasnya kuat, melampiaskan rasa nikmat yang tak mampu terucap kala Bright menyesap lidahnya, menghisap salivanya dengan begitu nafsu.

Kedua kaki Win spontan melebar, membiarkan Bright semakin masuk ke tengah-tengah tubuhnya yang terlentang pasrah. Nikmatnya cumbuan Bright akan selalu jadi favorit baginya.

*“Ssshhh, Bii,”

Desahan Win sukses membuat Bright gila. Satu tahun sudah ia menahan rindu, juga nafsu yang menggebu-gebu. Malam ini, detik ini, tidak lagi akan ada jeda yang memberi jarak bagi keduanya.

Ciuman Bright turun membasahi rahang tajam Win. Lidahnya dengan percaya diri terulur, menjilat di sepanjang tulang dan berhenti tepat di cuping telinga kiri si Manis. Satu kali lagi desahan Win lolos bagaikan melodi dari musik instrumen klasik kesukaannya.

Satu kata, merdu.

Satu kata lagi, memabukkan.

Bright membasahi cuping telinga Win dengan liurnya. Memberi jejak agar semua orang tahu, Win adalah miliknya. Lalu dikulumnya tulang muda tersebut, giginya sesekali ikut menggesek di sana, membuat si Manis, lagi-lagi meloloskan desahan panjang.

“Bright, ahhh,”

Bright menggigit kecil cuping telinga sang kekasih, lalu bibirnya bergerak turun beberapa inci. Deru nafas Bright yang memburu menyapu halus lubang telinga Win, membuat si Manis meremang menahan sensasi yang sudah lama ia rindukan itu.

“Desah terus, sayang… listening to your moans is just so euphonious.” bisik Bright lembut, lalu bibirnya semakin bergerak turun, mengecap titik-titik yang bisa disentuh leluasa.

Win sudah kehilangan warasnya. Apalagi ketika bibir Bright mulai menjamah bagian dadanya. Pemuda itu mengecup dada bidang Win yang masih terbalut kain satin. Lagi dan lagi sengaja dibuat basah, oleh lidah yang bergerak memutar bermain-main di sana.

Bahkan saat Bright berusaha melepas piyama tidurnya, Win juga cuma bisa pasrah, membiarkan. Ia masih beradaptasi dengan euforia yang sempat hilang selama satu tahun ke belakang.

Win rindu perasaan ini; the best feeling ever when they're missing while hugging under the dim light.

Setelah berhasil melepas piyama atas Win, Bright melempar kain satin itu ke lantai dan matanya sedikit memicing begitu ia dapati ada sebuah standing mirror di dekat jendela yang terhubung dengan balkon.

Satu ide gila muncul di kepalanya.

Bright mengelus sayang pipi Win, meminta lelakinya itu untuk membuka mata. Si Manis, dengan mata sayunya, menatap Bright samar-samar karena sudah kepalang diselimuti nafsu.

“Sejak kapan kamu punya standing mirror?”

Spontan, Win melirik benda yang dimaksud Bright. Bibir bawahnya mencebik sedikit, bagaimana bisa Bright tiba-tiba bertanya soal cermin di tengah percumbuan panas mereka berdua?

Nyebelin.

“Sebulan lalu, aku custom di papanya temenku yang buka usaha bikin furniture rumah tangga gitu.” Win mengulurkan tangannya untuk mengelus bahu bidang Bright, “seminggu lalu aku upload ig story di depan cermin itu, kok. Yang aku selfie pakai turtle neck merah bata kado dari Bunda pas ulang tahun aku tahun lalu.”

Oh iya, Bright baru ingat kalau Win pernah mengunggah foto di depan cermin tersebut.

Lambat laun Bright kembali memusatkan atensinya pada Win. Tangannya bergerak mengelus lengan si Manis yang kini sudah telanjang, terlihat sempurna.

“Sayang,”

Dua alis Win bertaut penuh antusiasme, “hm???””

“Kamu kangen aku kasih rimming nggak, sih?”

Demi apapun, Bright… nggak bisa kasih aba-aba sedikit apa kalau mau ngomong jorok?!!

Tapi ya, nggak bisa dipungkiri, Win rindu bagaimana lidah Bright bergerak memutari lingkar kerut di lubang senggamanya.

Lantas kepala Win mengangguk pelan, “mau… mau rimming.”

“Now take off your pants and get ready,” Bright memilih kecil puting kiri Win, membuat pemuda itu merintih penuh rasa nikmat.

“Terus kamu nungging sambil menghadap ke cermin itu.”

Gila. Win bahkan sudah lupa, berapa kali ia mengucapkan kata 'gila' dalam hatinya hari ini?

Win melirik cermin yang akan jadi saksi bisu pergulatan panas mereka malam ini. Lalu kepalanya mengangguk, seraya membiarkan Bright beranjak dari posisinya untuk menanggalkan sisa fabrik yang menempel di tubuhnya.

Celana berbahan satin berwarna biru dongker miliknya sudah jatuh ke lantai. Tanpa kata, Win membawa tubuhnya untuk menungging, sambil menghadap ke cermin.

Rasanya malu setengah mati. Wajahnya benar-benar terlihat seperti seorang yang haus akan sentuhan. Sepasang matanya sayu, sedikit berair. Pipinya dipenuhi rona merah. Bibirnya basah, mengkilap, sedikit terbuka.

Win bisa melihat kalau dirinya 100% telanjang di bawah minimnya cahaya. Dua tangannya bertumpu menahan berat tubuh, dua kakinya sengaja dibuka lebar, penisnya ikut menggantung dan sesekali bergerak antusias.

Win memerah hanya dengan melihat keadaannya sendiri.

Terlalu fokus dengan dirinya, Win sampai kecolongan momen dimana Bright perlahan-lahan mendaratkan lidah di permukaan lubang senggamanya. Win menutup rapat bibirnya, menggigit kecil bibir bawahnya.

Lidah Bright bergerak memutar, sesekali menekan-nekan lubangnya seolah ingin menerobos masuk dalam hitungan detik.

Wajah Win semakin memerah. Matanya semakin dipenuhi kabut nafsu dan semuanya terlihat jelas di cermin besar itu.

Benda tak bersuara itu merekam semua aktivitas panas keduanya. Bagaimana Bright melesakkan lidahnya masuk sampai membuat Win terengah-engah, bagaimana Bright memakan habis lubang senggamanya sampai membuat Win menitikkan air mata, bagaimana Bright menjilat dinding rektumnya sampai membuat Win tak kuasa mencengkram sprei putih di bawahnya.

“Ahhhh, deeper… d-deeper, pleaseshhh...”

Dan tentu saja Bright akan menuruti. Pemuda itu melesakkan lidahnya jauh lebih dalam, mengecap dinding yang terasa manis jika disentuh ketika jatuh cinta.

Sampai akhirnya tubuh Win menegang sempurna. Ia klimaks untuk kali pertama, hari itu.

Bright membiarkan Win menikmati orgasmenya sampai selesai. Pemuda itu turun beranjak dari ranjang setelah ia berikan satu ciuman panjang di bibir penuh sang kekasih.

Bright melangkah menuju nakas yang ada di sisi ranjang, membuka laci pertama, lalu mengambil sebungkus kondom dengan varian rasa strawberry, kesukaan Win.

Melihat Win yang belum selesai dengan klimaksnya, Bright pun memasang benda silikon itu pada kejantanannya yang sudah berdiri, menjulang dengan begitu gagah.

Bright mengocok pelan kejantanannya, sambil ia duduk di sisi nakas, menatap Win yang masih gemetaran merilis spermanya.

Indah, indah sekali.

Masih sambil mengocok kejantanannya, Bright perlahan-lahan naik ke atas ranjang. Ia memposisikan tubuhnya tepat di atas tubuh Win, menggoda si Manis dengan menggesek penisnya tepat di belahan pantat pacarnya itu.

Win membuka pejaman matanya. Pemandangan Bright yang tengah bergerak maju mundur di belahan pantatnya terpampang jelas dari cermin.

Seketika, nafsu Win kembali meningkat.

Tanpa ragu, ia membawa tangan kirinya ke belakang, merebut kejantanan Bright dan memasukkannya ke dalam lubang senggama.

Bright yang sedikit kaget dengan aksi Win pun tak mau banyak bertingkah. Lantas ketika dirasa penisnya mulai masuk membelah dinding sang kekasih, Bright mengambil alih dominasi.

Keduanya saling bertatapan lewat cermin, meski Win harus memejam di detik-detik pertama Bright mulai bergerak maju dan mundur.

Dari cermin, Win bisa melihat, bagaimana memabukkannya situasi dimana mereka sedang bercinta.

Sambil bergerak maju dan mundur mencari titik nikmat sang kekasih, Bright memeluk Win dari belakang. Dikecupnya lembut tengkuk dan bahu telanjang si Manis,

“Desah, sayang… ikutin aku… aaaaahh, Bright,”

Win menelan salivanya susah payah. Bright mulai mengecup bagian atas tubuhnya, sedangkan di bawah sana… Win masih terhentak kuat mengikuti irama genjotan Bright.

Win menggeram, “Ahhhh, Bright, ahhh...”

Nikmat, sangat nikmat.

Bahkan ketika Bright, satu kali lagi, mengajaknya berciuman sambil terus bergerak konstan menghujam lubang senggamanya, Win masih mampu mendesahkan nama Bright,

“Mmmhh, feel so good, Bii… genjot lagi… aahhh...”

Bright mengecup sudut bibir Win, lalu beralih menghujani sisi tubuh Win dengan ciuman kupu-kupu, “cantiknya... pacarku cantik banget...”

Maju, mundur, maju, lalu mundur lagi... Win benar-benar dibuat tak berdaya dengan gerakan konstan Bright yang begitu nikmat.

Sambil bergerak, Bright mengelus sayang pinggang ramping Win yang terhentak menyamai genjotan penisnya.

Win yang pasrah di bawah dominasinya, Win yang susah payah menahan desah, Win yang banjir keringat dengan wajah dipenuhi kabut birahi... terlihat begitu manis di mata Bright.

Dalam keadaan apapun, Win akan selalu jadi yang paling cantik.

Yang paling manis.

Hingga sekitar tujuh kali hujaman lagi, Win kembali menjemput putih.

Bright, juga menjemput klimaks dan merilis cairan cintanya di dalam kondom yang masih terkubur di dalam lubang senggama Win.

Bright belum berhenti menghujam sang kekasih,

Masih terus bergerak menghabiskan sisa kenikmatan,

Sambil menghujani punggung telanjang Win dengan ciuman-ciuman hangat…

“Thank you, sayang, i love you.”

Dan malam itu ditutup dengan keduanya yang kembali bercumbu, sembari menjemput kantuk.

Juga disertai cerita singkat tentang apa yang terlewati selama satu tahun ini.

Keduanya masih saling merindu, dan akan selalu merindu.

. . .

WRITTEN BY: JEYI.

...the magic has worked since day one.

TAGS: strangers to lovers, single daddy!bright, contains some of adult contents, retrograde amnesia cases. total words: 9.909 words.


“Iya kak… nanti pulang kuliah sekitar jam lima, Meta langsung berangkat ketemu sama Mas Mike,”

Metawin, alias Winㅡ atau yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Meta' menggumam pelan sambil menggerakkan satu jarinya di atas sebuah tablet canggih yang sedang menampilkan daftar kegiatan yang harus ia lakukan mulai hari ini. Kepalanya mengangguk sesekali, menyahuti secara non-verbal ucapan sang lawan bicara di seberang sana.

Gerakan jari telunjuk pemuda manis itu berhenti begitu ia dapati ada sesuatu yang rancu pada deretan tulisan yang sedang ia baca.

“Kak Gie, sorry, ini Meta juga yang harus ngurus catering?” Perjanjian awal tidak seperti ini. Urusan katering, bukanlah bagian Win. Tapi mengapa kegiatan tersebut muncul di daftar kegiatannya hari ini?

Ggigieㅡ kakak kedua Win, alias seseorang yang tengah melakukan panggilan telepon dengannya mendesah berat di seberang sana, “Joss harus dateng ke rapat direksi nanti malem, Taa. Kakak juga teledor banget salah baca jadwal Joss, jadinya baru semalem kakak tau kalau Joss penuh jadwalnya hari ini.”

Win menghela nafas pasrah, lagi dan lagi… ia seolah tidak punya waktu untuk mengurus tetek bengek persiapan pernikahan bersama calon suaminya sendiri.

“Ya udah, nanti Meta handle catering juga ya, Kak.” sahut Win, pasrah.

Ggigie mendengus pelan, merasa amat sangat bersalah pada sang adik karena sial seribu sial, ia juga tidak bisa menggantikan posisi Joss untuk menemani Win mengurus persiapan pernikahan mereka.

Joss adalah atasannya di kantor, status pekerjaan sebagai seorang sekretaris nyatanya tak jua mampu membuat Ggigie bisa seenaknya mengatur jadwal sang boss.

Jauh di dalam hati, Ggigie juga merasa bersalah pada Joss yang pada pukul 8 pagi ini sudah sibuk bolak-balik dari ruang kerjanya menuju lantai 24. Tempat dimana divisi keuangan perusahaan berada.

“Mas Joss nggak bilang apa-apa sama Meta tapi, Kak.” sambung Win, yang kini tangannya sibuk memainkan pulpen gel dalam genggamannya.

“Mas mu udah kacau banget dari tadi, Taa. Begitu nyampe kantor, langsung naik ngecek laporan keuangan karena emang lagi ada trouble. Bolak-balik ruangannya ke lantai dua puluh empat, bahkan melipir ke pantry aja nggak sempet, belum ngopi tuh orangnya.” sahut Ggigie.

Win mendengus keras mendengar ucapan Ggigie. Bisa-bisanya Joss mengabaikan rutinitas sarapannya demi mengurus pekerjaan yang mendadak chaos pagi ini.

Lantas Win melirik sebuah jam berwarna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, sudah jam 8 pagi lebih 15 menit. Satu helaan nafas berat kembali lolos dari belah bibir penuhnya, “Mas Joss tolong dibikinin kopi dulu ya, Kak… Atau seenggaknya kasih kopi kemasan yang dari minimarket aja,”

Ggigie mengangguk mengiyakan ucapan adiknya di seberang sana, “Kakak beliin kopi yang biasa kakak minum aja ya, Taa? Suka nggak ya, Mas mu itu...” balas nya.

“Boleh, suka aja dia mah, yang penting kopi. Makasih banyak ya, Kak Gie.”

“Iya, sayang… Ya udah, Taa, kamu yang semangat hari ini… Nggak apa-apa sendirian dulu ya, dek? Kalau ada apa-apa Meta bisa langsung telfon Kakak aja, oke? Mas-nya jangan diganggu dulu kalau bisa, 'kan semakin cepet dia nyelesain kerjaannya semakin cepet juga dia bisa ketemu sama kamu. Ngerusuhin Kakak aja deh kalau kamu bosen… Kakak dirusuhin sama kamu mah juga nggak masalah ya, Taa, ya?”

Win tersenyum kecil mendengar ucapan sang kakak. Menjadi seorang kakak, terlebih kakak ipar dari atasannya sendiri di kantor memanglah tidak mudah. Win cukup sadar diri, bahwa Ggigie pasti sedang merasa bingung dan tidak enak hati di waktu yang bersamaan. Apalagi, Ggigie tidak bisa seenaknya meminta pengertian Joss untuk turut ikut andil dalam persiapan pernikahannya bersama pria itu.

“Sebisa mungkin Meta urus sendiri ya, Kak. Kasian kalau Kak Gie udah pusing juga di kantor tapi malah Meta gangguin,”

“Taa, udah kewajiban Kakak untuk bantuin kamu lho ya, Taa.”

Lagi, Win terkekeh dibuatnya, “nggak apa-apa, Kak Gie sayanggg… Kak Gie fokus aja di kantor, oke? Paling Meta mau minta tolong satu hal sama Kak Gie,”

“Tell me, Taa...”

“Tolong ingetin Mas Joss buat makan siang nanti ya, Kak. Pokoknya jangan sampai perutnya kosong, Meta takut nanti maag-nya kambuh. Kak Gie juga lho, jangan lupa makan siang, yah?”

Ggigie tertawa kecil di seberang sana, dan hal tersebut cukup membuat Win merasa tenang di tengah rasa sedihnya pagi ini.

“Oke, siap laksanakan!!! Kamu juga jangan lupa sarapan ya, dek? Ya udah, kakak mau lanjut kerja dulu ya, talk to you later?”

Win mengangguk, meski Ggigie tak bisa lihat. “Wish you tons of luck, Kak Gie.”

“Thank you, Taa. You too ya, sayang.”

Dan dengan kalimat tersebut, sambungan telepon antara Win dan sang kakak pun berakhir. Win lantas meletakkan ponselnya di atas meja, menghela pelan nafasnya satu kali lagi, sebelum ia bawa seluruh atensinya pada sebuah tablet yang sejak tadi menyala.

Kuliah sampai jam 14.00 WIB > ambil hard cover proposal skripsi di Buring > print rangkuman nilai di tukang fotokopian deket kampus > jam 15.40 WIB ketemu Mas Mike (WO) > jam 17.00 WIB ngecek catering di tempat tante Jane > jam 18.40 WIB hunting cincin.

Oke, tampaknya tidak ada celah bagi Win untuk bisa bersantai hari ini. Jadwalnya cukup padat, banyak, ditambah ia harus menjelajah beberapa tempat untuk keperluan persiapan pernikahannya seorang diri. Win menghabiskan sisa teh hangat yang ada di gelas berwarna putih yang sengaja ia letakkan di dekat tablet dan laptopnya, lalu berdiri, dan bersiap-siap untuk memulai hari.

Oke, Metawin. Don't forget to be a good person today, you can do it!

Win lantas mematikan laptopnya yang sejak tadi ikut menyalaㅡ menemani paginya untuk membaca deretan aktivitas yang akan ia jalani hari ini, meraih tas selempang berukuran sedang berwarna hijau tentara, lalu memasukkan ponsel beserta tablet miliknya ke dalam sana. Win memperhatikan penampilannya sesaat pada sebuah cermin besar, dan setelah merasa cukup sempurna, pemuda manis itu beranjak melangkah menuju garasi untuk segera masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju kampus.

Namun, lagi dan lagi Win harus mendesah kecewa saat matanya tak sengaja menangkap sebuah pemandangan dimana Pak Umarㅡ supir pribadinya, kini berbaring terlentang di bawah mobil dengan beberapa perkakas yang berserakan di lantai garasi.

“Pak Umar,”

Yang dipanggil cepat-cepat menyeret tubuhnya keluar dari kolong mobil HRV putih milik Win, wajah Pak Umar tampak sedikit lusuh, ada bekas oli yang terpampang jelas di pipi kiri pria itu.

Pak Umar lalu berdiri untuk menyapa Win, tawa canggung yang diselipkan oleh lelaki itu tampaknya cukup membuat Win mengerti bahwa mobilnya sudah pasti tidak bisa digunakan pagi ini.

“Pak Umar telfon montir yang biasa aja, jangan diotak-atik sendiri, kasian Bapak. Meta biar naik ojek online aja ya, Pak.”

Pak Umar meremas tangannya gugup, merasa amat sangat tidak enak hati sudah merusak pagi sang tuan. “Pak Umar cariin taksi aja ya, Den? Kasihan atuh, kalau Den Meta harus naik motor… Nanti kena debu, nggak bagus, nggak sehat, Den.” ucap Pak Umar, dengan ekspresi gugup yang melekat di wajahnya.

Win tersenyum kecil, mencoba memberi pengertian pada Pak Umar lewat gesture-nya, bahwa ia tidak apa-apa. Kendala yang tiba-tiba terjadi dengan mobilnya juga merupakan suatu hal di luar kuasa mereka. Win tidak bisa kesal terlalu lama, dan Pak Umar juga tidak bisa disalahkan.

“Nggak apa-apa, Pak. Lagian kalau naik motor kan bisa lebih cepet sampai di kampus, paling Meta minta tolong sama Pak Umar buat diliatin terus mobilnya, ya? Pas lagi dicek sama montir juga, tolong diawasi ya, Pak.” sahut Win, masih dengan senyum kecil yang terulas di wajah manisnya.

Pak Umar mengangguk paham, “baik, Den.” katanya.

“Ya udah, kalau gitu Meta jalan ke depan komplek biar dapet ojek onlinenya gampang ya, Pak. Dadah, Pak Umar!”

Setelah mendapat jawaban berupa anggukan dan seuntai ucapan 'hati-hati' dari Pak Umar, Win pun langsung bergegas melangkah (agak cepat) membelah jalanan komplek perumahan yang pagi-pagi sudah ramai dengan warga. Ada yang sedang lari pagi, ada yang sedang berjemur, ada yang sedang menyiram tanaman di depan rumah masing-masing, dan masih banyak aktivitas lain yang tertangkap oleh matanya.

Win kerap menyahuti sapaan dari beberapa warga, pun tak lupa untuk tersenyum di setiap langkah yang ia pijaki. Kurang dari 15 meter lagi ia akan segera tiba di gerbang utama perumahan. Beberapa kali ia menunduk melihat layar ponselnya, bersiap-siap untuk memesan ojek online melalui sebuah platform ternama.

Namun, Win harus benar-benar menghentikan langkah kaki ketika tidak sengaja sepasang matanya bertemu pandang dengan sepasang obsidian hitam gelap yang tampak gelisah di seberang jalan. Ada sebuah kereta bayi di depan sosok tersebut, dan suara tangisan langsung terdengar pada detik berikutnya ketika garis tak kasat mata yang menyatukan pandangan mereka terputus begitu saja.

Sosok di seberang jalan itu berlutut, menarik surai hitamnya sesekali dan terlihat begitu kalut. Win melirik sosok tersebut, lalu memandang gerbang utama komplek secara bergantian. Seketika perasaannya bimbang, arah mana yang harus ia pilih.

Sosok asing dengan kereta bayi di depannya,

atau gerbang komplek yang akan memberikan jalan baginya untuk segera pergi ke kampus.

Win, lagi dan lagi membawa pandangannya pada sosok di seberang jalan itu. Hatinya berdegup khawatir dan bingung di saat yang bersamaan. Suara tangis bayi terus menggema keras, tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Lantas mengapa lelaki itu tak jua melakukan apa-apa? Bahkan berusaha untuk menenangkan si bayi pun tidak ia lakukan.

Yang dilakukan oleh lelaki itu hanya diam. Menatap kereta bayi di depannya dengan tatapan yang begitu gelap.

The man is literally struggling on his own.

Oke, oke. Win sudah tahu jalan mana yang harus ia pilih. Dan Win berharap, ia tidak akan salah langkah kali ini.

. . .

“I have told you, ini bukan anak saya,”

Sepasang mata Win langsung membulat, bingung, ketika kalimat tersebut terucap dari bibir lelaki di hadapannya. Beberapa pertanyaan berkelebat dalam benak pemuda itu, namun hanya ada satu yang berhasil ia suarakan.

Sudah tiga kali Win bertanya, tapi jawabannya selalu sama. Lelaki ini tidak mau mengakui bayi yang kini masih menangis.

“Kalau anak ini bukan anak Mas, terus maksud surat ini apa, ya? Bisa tolong beri saya penjelasan yang masuk akal, Mas Bright?”

Lelaki itu masih menunjukkan ekspresi datarnya, meski dapat tertangkap jelas ada raut gusar dan bingung di wajahnya, tapi beliau sepertinya pantas untuk mendapat penghargaan sebagai actor of the year karena begitu handal dalam hal mengatur emosi.

Ia melirik secarik kertas yang ada di genggaman Win acuh tak acuh, “dari mana kamu tau kalau nama saya Bright?” tanya lelaki itu.

Win mendengus kesal, bagaimana tidak, dirinya bertanya apa... lalu dijawab dengan apa... Pasalnya, lelaki asing ini terus mengelak seolah menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pembuktian bahwa ia adalah ayah dari bayi yang ada di dalam kereta bayi itu.

Mengelak terus, mengelak lagi. Berusaha untuk mengalihkan konversasi serius keduanya.

Lalu dengan satu kali gerakㅡ meski sempat mengulum bibir bawahnya menahan kesal, Win menyerahkan kertas surat dengan tulisan tangan bertinta hitam yang ia pegang pada Bright (yang entah lah, benar atau tidak namanya Bright, Win tidak mau ambil pusing).

Lelaki itu meraih secarik kertas tersebut dari uluran tangan Win, lalu membacanya perlahan-lahan.

Hey, Bright,

Long time no see, right? Ah… When was the last time we met? Yes, you're right, it's a year ago, when we had sex for the second time and unfortunately that was our last time, too. So, suratku ini bukan untuk membahas betapa menikmatinya kita malam itu, tapi dengan adanya surat ini, aku akan sampaikan beberapa hal penting buat kamu and i hope you can take care of my words well.

First of all, i am sorry if your morning and whole day will be ruined because of the sudden surprise from me. I've sent you a baby stroller with your baby there. Don't ask me why i didn't tell you at the first place, aku rasa kamu masih ingat tentang mimpi aku yang luckily, i've reached them now. But one thing is, itu anak kamu, you knows me so well that i've never had sex with anyone else before you so yeah… please terima dia, and her name is Zoey.

Yang kedua, Zoey is a three months old baby, jadi tolong kamu pelajari gimana caranya merawat bayi dengan benar because she's now your fully responsibility, so please take care of her well. My time is up, aku sudah mengandung Zoey sembilan bulan dan melahirkan dia tanpa menyusahkan kamu sama sekali, jadi ini adalah waktu yang tepat untuk kamu melakukan bagian kamu.

And the last is, jangan cari aku. I have nothing to do with both of you, okay? Urusan kita sudah selesai di malam dimana kita menyudahi hubungan kita satu tahun yang lalu, tapi kali ini aku harus minta tanggung jawab kamu juga atas Zoey, so, it's your time to shine, honey. Apapun yang terjadi pada kalian berdua, entah di masa sekarang ataupun nanti, it will never be my things... so, good bye i guess? i hope you two can grow old together, my dearest Bright and Zoey.

Isi suratnya panjang, pun jelas tertera nama Bright di sana yang mana sudah dipastikan bahwa surat tersebut memang diperuntukkan baginya. Tapi setelah membaca ulang surat itu, Bright masih tidak menemukan adanya kebenaran yang bisa membuktikan bahwa Zoey memanglah anaknya. Anak biologisnya.

Bagaimana dirinya bisa punya anak di saat Bright bahkan tidak tahu kalau ia pernah berpacaran? Demi Tuhan, ia bahkan mengira dirinya adalah seorang aseksual karena tidak pernah sekalipun ia tertarik apalagi jatuh cinta pada orang lain, entah pada laki-laki ataupun perempuan.

Bright juga berusaha mencari nama si pengirim surat (sekaligus si pengirim bayi lengkap dengan kereta dan sebuah tas berisi beberapa setelan pakaian dan diapers) barangkali ia tahu 'sosok' tersebut, tapi nihil, tidak ada sedikitpun tanda-tanda si pengirim surat mencantumkan namanya.

“Jadi, gimana nih, Mas Bright? Sudah bisa kasih saya penjelasan?”

Lirikan mata Bright beralih dengan cepat dari deretan kalimat yang tertera pada secarik kertas itu pada Win, yang kebetulan belum memperkenalkan diri padanya.

Masih dengan wajah 'loading'-nya, Bright mengangkat kedua bahu pertanda ia sama sekali tidak tahu menahu tentang validitas isi dari surat tersebut.

“Gimana kamu bisa yakin seratus persen kalau surat ini bukan surat bohongan?” tanya Bright, yang lagi-lagi agak sedikit tidak nyambung dengan pertanyaan Win barusan.

Win, berdecakㅡ lagi. Ditatapnya sosok Bright yang pagi itu lengkap dengan setelan kerjanya. Celana bahan berwarna hitam yang melekat di sepasang kaki jenjang lelaki itu, disempurnakan dengan balutan kemeja putih yang lengannya sengaja digulung sampai ke siku, sebuah jam berwarna silver yang melingkari pergelangan tangannya, dan kacamata hitam yang turut mengintip dari celah surai hitamnya.

Dari penampilan saja, Win sudah bisa menilai kalau Bright bukan lah orang sembarangan yang dapat ia pandang sebelah mata. Well, pada dasarnya Win memang bukan tipikal orang yang automatically judge a book by its cover, sih. Tapi orang kayak Bright, kayaknya akan jadi pengecualian.

Terus mengelak, menghindar dan bahkan mempertanyakan kebenaran surat tentang anak kandungnya… bukankah itu aneh? Jelas-jelas ada nama Bright di kertas itu.

“Nama Mas beneran Mas Bright?” Win pun bertanya, to the point.

Lelaki yang 'katanya' bernama Bright itu mengangguk, “nama saya memang benar Bright, tapi saya bener-bener nggak tau menau soal anak ini.” balasnya.

Satu mata Win ikut memicing, “Mas, denger ya,” dan diambilnya surat tersebut dari genggaman Bright, “jelas-jelas di sini tercantum nama Mas, lengkap dengan selipan aktivitas Mas dengan siapapun itu yang akhirnya… Zoey… Mas pasti ngerti maksud saya, 'kan?”

Sama sekali merasa tak bersalah, Bright pun balas tatapan kesal Win tak kalah tajam. Lelaki itu berdeham pelan, “oke, nama kamu siapa?” tanya nya.

“Metawin.”

“Oke, Metawin, sebelumnya terima kasih sudah melipir menghampiri saya dan anak yang saya nggak tau dia ini siapa, tapi saya rasa kamu sudah terlalu jauh berasumsi seolah benar saya adalah orang yang dimaksud di surat ini.”

Berasumsi terlalu jauh katanya? Oh, God.

“Mas Bright, saya tidak akan berasumsi kalau tidak ada barang bukti yang mendukung asumsi-asumsi saya, oke, Mas? Coba Mas liat sekarang, ini apa?” balas Win sambil menunjuk kereta bayi yang ada di depannya.

“Kereta bayi?”

Win mengangguk, ibu jari dan telunjuknya turut menjentik setuju. “Nah, di dalam kereta bayi ini, ada apa?” lanjut Win.

“Ya, ada bayi? Kamu bisa liat sendiri, 'kan, Metawin?”

Lagi, Win mengangguk bersemangat, “terus di sini, nih, Mas coba baca baik-baik, yah,” jari telunjuknya bergerak pada seuntai baris kata dimana nama Bright tertera di sana. Nafasnya ia tahan sebentarㅡ sengaja, seraya seluruh atensi ia hadapkan pada lelaki menyebalkan di hadapannya, “bisa Mas baca ulang, pakai suara lantang, nama siapa yang ditulis di sini? Hm, coba saya mau dengar boleh, Mas?”

Bright, ketika ia sadar sedang ditantang seperti itu oleh seorang pemuda yang tidak ia kenal, yang tiba-tiba menjadi dermawan untuk menghampirinya di tepi jalan, tentu langsung tertawa meremehkan. The dominance in him is suddenly appeared, satu tangannya bahkan sengaja ia masukkan ke dalam saku celana kerjanya.

“Anak ini nggak jelas anak siapa, dan surat ini juga nggak jelas asalnya dari mana, lalu kamu dengan seenak hati menuduh saya seperti ini, begitu?”

Lalu Bright meraih kertas tersebut, mengambilnya paksa dari jangkauan Win dan meremas surat tidak jelas itu sampai tidak berbentuk.

“Saya tidak pernah berhubungan dengan siapapun, dan anak ini bukan anak saya. Puas?” Bright mengucapkannya dengan lantang, ada penekanan yang sengaja lelaki itu sampirkan di kata 'puas', seolah memperingati Win bahwa apa yang dilakukan olehnya cukup membuat Bright muak.

Win baru saja akan membalas perkataan Bright, tapi suara isak tangis yang menggelegar berhasil menginterupsi seluruh niatnya untuk menantang lelaki menyebalkan itu.

Sebagai salah seorang yang punya sisi sensitif terhadap anak-anak, Win pun beranjak untuk menggendong Zoey yang kini menangis keras. Dengan lembut dan telaten, Win menimang bayi perempuan itu sambil menepuk pelan pantatnya sesuai irama.

Melantunkan sedikit gumaman pengantar tidur, and it works karena tangisan Zoey kini mulai mereda, walau belum sepenuhnya.

Sambil berusaha menenangkan si gadis cantik, Win melirik Bright yang justru terlihat sibuk dengan ponselnya. Ekspresi serius melekat di wajahnya yang menurut Win amat sangat menyebalkan itu.

Dan di saat Zoey mulai tenang, bahkan nyaris terlelap, ponsel Bright justru berdering keras dan membuat bayi cantik itu kembali menangis. Win, baru saja akan menegur si lelaki menyebalkan, tapi tidak jadi terwujud karena Bright terlanjur menerima panggilan telepon itu acuh tak acuh.

“Gue nggak tau, Nat. Orang tiba-tiba ada kereta bayi lengkap sama baju-baju dan botol susu dia di depan pintu rumah gue!”

Samar-samar, Win dapat mendengar pembicaraan Bright entah dengan siapapun itu. Masih sambil menimang-nimang Zoey penuh sayang, Win berusaha menguping lebih dalam lagi. Pasalnya, sikap Bright yang seolah ogah-ogahan mengakui eksistensi Zoey cukup tidak masuk akal bagi Win. Lagi pula, mereka tidak hidup dalam skenario sinetron. Mana bisa tiba-tiba ada bayi yang datang sendiri bersama kereta dorongnya ke sebuah rumah orang asing?

Bright dan semua rentetan kalimat yang ia ucapkan pada lawan bicaranya di telepon sangatlah tidak masuk akalㅡ setidaknya itu menurut Win.

“Gue gembok, Lee Thanat! Mana mungkin pagar rumah nggak gue gembok?”

Win melirik Zoey yang kini sudah tertidur pulas. Hati Win mencelos ketika sepasang matanya tidak sengaja menemukan adanya sebuah gelang emas berbandul di tangan kiri gadis kecil itu. Lantas dengan pelan, Win meraih gelang tersebut dan berusaha untuk melihat lebih jelas bandul gelang tersebut. Siapa tahu, ada petunjuk di sana.

ZVC

“Gue di deket pos satpam depan pintu masuk komplek, lo ke sini aja deh, mau pecah kepala gue rasanya.”

Dan setelah itu, sambungan telepon antara Bright dengan lawan bicaranya yang jika Win tidak salah dengar bernama Lee Thanat, terputus. Cepat-cepat Win mengembalikan posisi gelang Zoey seperti semula, lalu ia arahkan seluruh perhatiannya pada sosok Bright yang kini celingak-celinguk menanti kehadiran seseorang.

“Masㅡ”

Belum sempat Win menuntaskan ucapannya, sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik datang ke arah mereka sambil membunyikan klakson. Ada helaan nafas lega yang berasal dari Bright, dan Win dapat mendengarnya dengan jelas.

Tak lama, seorang lelaki dengan setelan kerja tak kalah formal dari apa yang dikenakan oleh Bright turun dari sana. Menunjukkan eksistensinya, tidak lupa sebuah ponsel ia genggam di tangannya.

“Bri,”

“Akhirnya lo dateng juga, Nat.” sahut Bright, cepat.

Seseorang yang dipanggil 'Nat' itu melirik ke arah Win yang masih menggendong Zoey. Tatapan Thanat melembut, Win could tell it.

Namun itu tak berlangsung lama, sampai Thanat kembali menatap Bright yang sepertinya sudah muak harus terjebak di situasi canggung di sana. Thanat menepuk pelan pundak Bright, lalu meminta sahabatnya itu untuk segera masuk ke dalam mobil.

Mata Win langsung membelalak ketika Bright dengan entengnya langsung beranjak masuk ke dalam mobil yang dibawa Thanat. Tanpa melirik, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan juga tanpa memperdulikan Zoey yang masih terlelap dalam dekapannya.

“Uhm, hai,”

Win menoleh cepat pada Thanat yang memandangnya dengan sungkan. Meskipun bingung dengan situasi aneh yang sedang dihadapinya sekarang, tapi bukankah membalas sapaan orang lain adalah wajib hukumnya?

“Ya, Mas Thanat?” jawab Win sekenanya.

Satu mata Thanat memicing ketika orang asing di depannya ini mengetahui namanya. Dengan canggung, Thanat berusaha mencairkan suasana dengan mengukir senyum di wajahnya.

“Maaf sebelumnya, Mas nya tau nama saya dari mana, ya?”

Yah, haruskah Win jujur jika ia sengaja menguping percakapan mereka tadi di telepon?

“Ehㅡ itu, Mas… Saya tadi nggak sengaja denger obrolan Mas Thanat sama Mas Bright di telepon waktu saya lagi nidurin Zoey.” Ya sudahlah, Metawin anak baik, tidak boleh berbohong.

Thanat ber-oh ria, mengiyakan jawaban Win dengan sebuah pemakluman.

“Mhh, sebelumnya saya minta maaf atas segala ketidaknyamanan yang terjadi sama Mas nya dan teman saya, Bright, tapi saya harus minta maaf satu kali lagi karena sepertinya terpaksa harus meminta bantuan Mas, padahal Mas sudah sangat dirugikan atas kejadian ini, tapi karena saya dan Bright harus menghadiri rapat direksi satu jam lagi, mhh… Mas, boleh saya titip Zoey dulu sama Mas?”

Gimana….?

Bahkan untuk membelalakkan mata saja rasanya Win sudah tidak sanggup. Hatinya mencelos ketika ia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya.

Bertemu si lelaki menyebalkan dan keras kepala alias Bright, lalu diminta untuk menjaga Zoey yang Win sendiri belum paham seluk-beluk nya?

“Mas Thanat kenal Zoey?”

Thanat mengangguk, “Zoey ini anaknya teman saya yang barusan masuk ke dalam mobil,”

“TERUS KENAPA DIA NGGAK MAU NGAKU KALAU ZOEY INI ANAKNYA, SIH?!! KENAPA DARITADI MALAH MUTER-MUTER TERUS BERKELIT NGELES NGGAK JELAS… ASTAGAAAA???”

Habis sudah kesabaran Win. Jika memang Zoey benar adalah anak kandung Bright, lalu mengapa lelaki itu bersikap seolah Zoey adalah anak dari orang asing yang sengaja meninggalkan bayi perempuan itu di depan pintu rumahnya? Oh, tunggu… Dan jika Zoey memang benar adalah anak Bright, lantas percakapan antara Bright dan Thanat di telepon tadi… Gimana sih, maksudnya?

“Bentar deh, Mas. Tapi tadi sependengaran saya, Mas Thanat sama Mas Bright ngobrol seolah-olah Mas Thanat juga nggak tau-menau tentang Zoey karna Mas Bright beberapa kali berusaha ngasih penjelasan ke Mas?”

Thanat tertegun mendengar pertanyaan Win. Dalam hatinya, ia merutuk Bright yang sudah banyak tingkah pagi ini.

“Saya nggak ngerti deh, Mas. Bingung...” sambung Win.

Thanat melirik jam tangannya sebentar, lalu keringat dingin kembali menetes dari pelipisnya ketika suara Bright yang memanggil namanya terdengar begitu keras.

Merasa tak punya sisa waktu untuk memberi penjelasan, Thanat pun merogoh saku celananya dan berusaha mendapatkan sesuatu dari dalam sana. Setelah itu, Thanat menyerahkan sebuah gantungan kunci bergambar karakter anjing shiba inu, yang menangkup beberapa mata kunci di sana pada Win.

“Ini kunci rumah Bright, saya minta tolong dengan sangat ke Mas untuk bawa Zoey pulang, dan Mas tolong stay di sana sampai sekiranya saya dan Bright kembali dari kantor. Saya janji hal serupa tidak akan terulang lagi, tapi saya mohon… Satu kali ini saja, Mas berkenan untuk membantu saya.”

Win awalnya ingin marah. Bagaimana bisa Bright dan temannya ini berlaku seenaknya padahal mereka tidak saling kenal? Tapi raut complicated yang terlihat jelas di wajah Thanat, juga suara deru nafas teratur milik Zoey yang bisa ia dengar nyatanya mampu membuat Win menganggukan kepalanya. Pasrah.

Melupakan rentetan kegiatan kuliah dan persiapan pernikahan yang harus ia jalani hari ini, mengabaikan fakta bahwa ia baru saja melangkah masuk ke dalam kehidupan orang lain yang tak pernah ia kira-kira sebelumnya, tepat saat gantungan kunci tersebut berpindah dari tangan Thanat ke dalam genggaman tangan Win.

Dan setelah mengucapkan satu kali permintaan maaf lagi, yang disusul dengan Thanat memberi tahu alamat rumah Bright beserta nomor ponsel yang bisa dihubungi, lelaki itu pun pamit undur diri meninggalkan Win dan Zoey bersama kereta dorong gadis cantik itu.

And this is just the beginning, about the big changes that will happen in Win's life.

. . .

“Untung absensi lo bagus ya, Win. Jadi nggak masalah deh lo ngebolos hari ini. Tapi lucky you juga sih, kelas kita kosong semua, kecuali yang bimbingan sama Bu Ira, disuruh untuk standby di sekdos mulai jam satu siang nanti.”

Win mendesah berat mendengar ucapan Mix. Kejadian aneh pagi ini mengantarkan Win menuju sebuah rumah besar yang ternyata letaknya tepat di belakang rumahnya sendiri. Hanya beda blok, namun masih berada di satu sektor yang sama. Win yang berencana akan menyibukkan dirinya hari ini pun harus berbalik arah dan berakhir dengan tubuh semampainya yang kini berdiri menghadap sebuah jendela besar di dalam suatu kamar yang ia yakini sebagai kamar pribadi milik Zoey.

Seuntai gumaman berat lolos dari belah bibir penuh pemuda manis itu, “i am not that lucky, Mix. Buktinya gue sekarang terjebak di situasi aneh yang nggak pernah gue harapkan sebelumnya.” sahut Win.

Mix kembali berdeham di seberang sana, “kenapa, Win? Lo berantem sama Mas Joss?”

Win menggeleng, walaupun ia sendiri tahu Mix tidak akan bisa melihatnya.

“Kalau sama Mas Joss mah, sebelum kita beneran berantem, dia udah minta maaf duluan sekalipun yang salah bukan dia.”

“Hhhh… iya, ngerti deh gue yang udah mau sah sebentar lagi.”

Yang udah mau sah bentar lagi… Sial, membayangkannya saja sudah membuat kedua pipi Win bersemu merah.

“Jangan godain gue gitu, plis, gue malu banget, mau nangis.”

Win dapat mendengar Mix tertawa terbahak-bahak di seberang sana, dan sudah pasti wajah temannya itu akan memerah akibat terlalu bersemangat untuk menertawainya.

“Iya, iya, ampun deh. Oh iya Win, nyebar undangan jadinya kapan?”

“Harusnya minggu depan, Mix. Tapi kemungkinan besar gue batal ketemu sama orang WO nya hari ini. Gue habis ini mau minta reschedule, sih. Mau diskusi lagi enaknya gimana.”

“Lho, gue kira lo malah ngebolos hari ini karna sibuk mau ngurusin nikahan?”

Lagi, Win mendesah berat, “it was supposed to be like that,* harusnya malah gue kuliah dulu sampai beres dan sorenya baru bolak-balik ketemu WO sama ngecek catering. Pokoknya, hari ini harusnya gue sibuk sama urusan persiapan nikah lah, Mix. Tapi apa daya, mana sempat keburu telat...”

Mix tidak kuat lagi menahan tawanya. Dan Win yakin, jika Mix tidak bisa berhenti tertawa maka sebentar lagi pemuda itu akan menangis. Menangisi humornya sendiri.

“Sorry, sorry, Win, aduh lo tuh udah cocok jadi komedian, jujur. Mas Joss kok mau sih sama modelan kayak lo gini? Hahaha… Oke, cukup,”

“Jadi kesibukan apa yang lagi lo hadapi sampai-sampai harus bolos kuliah dan nggak jadi ketemu orang WO?” sambung Mix, penasaran.

Helaan nafas berat satu kali lagi terhembus dari belah ranum Win. Pandangan yang sebelumnya ia arahkan pada pemandangan taman belakang melalui jendela kini ia alihkan pada sosok Zoey yang sedang tidur lelap di atas sebuah ranjang besar. Win sudah meletakkan beberapa bantal dan guling di sekitar spot tempat Zoey berbaring, sebagai antisipasi paling pertama agar si cantik tidak terjatuh.

“Mix, gue mau cerita, deh.”

“Yeeee kok lo malah ngalihin pembicaraan, sih? Gue 'kan tadi nanya, kesibukan apa yang buat lo sampai harus bolos dan batal ketemu orang Wo, Win...”

Win terkekeh pelan, ada kepuasan tersendiri baginya ketika ia dengar Mix merajuk kesal.

“Iya, ini ada hubungannya sama alesan kenapa gue ngerasa hari ini aneh banget, Mix.”

“Oh oke, oke, tell me.. i am all ears.”

Win menarik nafas dalam-dalam, menahannya selama beberapa detik sebelum ia hembuskan secara perlahan melalui mulutnya. Diam-diam sistem kognitif pemuda manis itu bekerja, memikirkan apakah harus ia menceritakan tentang apa yang terjadi pagi tadi pada Mix di saat Win sendiri masih merasa aneh dengan semua itu. Tapi rasanya, untuk memendamnya seorang diri pun, Win juga tidak mau.

“Hari ini freak banget buat gue, Mix,”

Sengaja Win menjeda ucapannya. Ia ingin tahu reaksi Mix yang biasanya akan heboh dan berisik setiap kali Win bercerita tentang apapun. Tapi kali ini, temannya ituㅡ ah, sahabatnya itu, tidak memberi respon. Hanya suara deru nafas yang bisa Win dengar dengan jelas dari ponselnya. Or in short, Mix sedang memberi kesempatan pada Win untuk melanjutkan kata-katanya.

“Pertama, tadi pagi gue sama sekali nggak bisa nelfon Mas Joss, padahal harusnya hari ini kita ketemu tim WO dan ngurus segala tetek bengek pernikahan tuh bareng-bareng, dan berujung kak Ggigie nelfon gue. Kata kak Gie, Mas Joss udah di kantor dan emang lagi super sibuk karna lagi ada kekacauan di sana. Ya, oke, fine, gue nggak bisa dong main marah sama keadaan apalagi sama Mas Joss padahal dia sendiri juga mungkin lagi stress sama kerjaannya di kantor. Singkatnya, kak Gie bilang, kalau hari ini Mas Joss nggak bisa nemenin gue hunting so yes, gue jadinya harus bolak-balik sendiri. Itu kesialan pertama gue hari ini.”

“Okeee, next.”

“Yang kedua, pas gue mau berangkat ngampus, ternyata mobil gue bermasalah. Pak Umar nggak bisa nganter gue karna beliau harus mantau mobil dan nunggu montir langganan gue. Terus, inisiatif dong gue buat naik ojek online aja. Ya intinya, ini kesialan kedua gue, mobil gue rusak di waktu yang amat sangat nggak tepat.”

Kali ini Mix tidak memberikan respon, namun Win yakin sahabatnya itu masih setia mendengarkan di seberang sana.

“Nah, kesialan ketiga ini yang sebenernya paling kacau,”

“Gue perlu sambil ngemilin kue pukis nggak, sih?”

*$“IH, GUE LAGI SERIUS JUGA?!!”**

“IYAAA BERCANDA, GANTENGGG. Oke, lanjut.”

Satu kali lagi, Win menghela nafas panjang. “Karna Pak Umar nggak bisa nganter gue dan kebetulan gue juga berinisiatif untuk naik ojek online buat ke kampus, jadinya gue ngide untuk jalan kaki sampai depan komplek. Niatnya gue tuh ya, biar nanti gampang dapet driver dan lebih cepet nyampe ke kampus karna ojek online nya nggak perlu muter-muter komplek dulu kan tuh, eh pas sedikit lagi gue mau sampai di gerbang utama, gue nggak sengaja ngeliat ada Mas-Mas masih muda gitu, tampilannya sih kayak orang mau berangkat kerja, tapi beliau ini keliatan kayak apa ya… i don't know exactly, tapi kayak yang putus asa gitu lho, Mix. Dan beliau bawa-bawa kereta bayi lengkap dengan bayinya di situ, lagi nangis, tapi beliau nggak ada niat untuk nenangin si bayi sama sekali. Oke, gue persingkat dikit ya, nama bayinya ini Zoey.”

“Wait, kok lo bisa tau nama bayinya?”

“Gue baca di surat yang gue temuin di deket Zoey, di kereta dorongnya. Di situ disebut-sebut kalau nama bayi itu Zoey, a three months old baby.”

“Oke, ngerti gue. Lanjut, Win.”

“Nah, di surat itu ada penjelasan soal kenapa Zoey ini bisa sampai ke tempat Mas-Mas yang gue temuin lagi putus asa di pinggir jalan ini. Nama Mas-Mas ini Bright, gue bisa tau namanya karna nama beliau juga ditulis di surat itu. Intinya ya Mix, Zoey ini seharusnya emang bener anaknya Mas Bright, karna si pengirim bayi yang menurut gue adalah ibu kandung Zoey and errrrr, mungkin mantan istri, mantan pacarnya Mas Bright atau gimana duh nggak tau ah gue pusing mikirinnya, udah dengan jelas minta Mas Bright buat ngurus Zoey. Si Ibunya ini lepas tangan, kayaknya juga sih nyerahin hak asuh Zoey sepenuhnya ke Mas Bright tapi yang anehnya adalah...”

Win menjeda ucapannya, ketika ia lihat tubuh mungil Zoey bergerak untuk mengubah posisi menjadi tengkurap. Cepat-cepat Win beranjak untuk duduk di tepi ranjang, dan secara hati-hati ia membalik posisi tidur Zoey menjadi terlentang. Agar sirkulasi pernapasan bayi itu tidak terganggu.

Setelah memastikan Zoey sudah kembali lelap, Win membawa langkah kakinya menuju tempatnya semula berdiri.

“Sori, sori, gue habis benerin posisi tidurnya Zoey, tadi tengkurap dia.”

“Eh, lo lagi sama baby Zoey?”

Win mengangguk, “gue lagi di rumahnya Mas Bright.”

“HAH??? KOK BISA, WIN? JELASIN!!!”

Sebuah decakan pelan mengudara. Dari tadi juga Win sedang memberikan penjelasan, memangnya siapa juga yang sedang main ular tangga?

“Ya bisa, tapi itu nanti ada narasinya sendiri di kesialan nomor empat. Tadi kesialan nomor tiga gue belum selesai, malih.”

“HAHAHA IYA MAAF, MAAF, OKE LANJUT, SAYANG.”

“Lupa anjrit tadi gue ngomong sampai mana, ya???”

“Apa ya, gue juga lupa, tapi kayaknya ini deh… pas lo bilang yang lo nemuin surat di deket Zoey dan udah dengan jelas ibunya Zoey ini nyerahin Zoey sepenuhnya ke Mas Bright, tapi menurut lo ada yang aneh gitu, nah iya bener sampai situ. Jadi, anehnya tuh gimana, Win?”

Oh iya, Mix benar. Ah, sahabatnya yang satu itu memang tidak perlu diragukan lagi kemampuan mengingatnya. Win, untuk ke-sekian kali, menghela panjang nafasnya.

“Mas Bright sama sekali nggak merasa kalau Zoey itu anaknya.”

“Hah… Demi apa, sih? Jadi, Zoey tuh beneran anak Mas Bright atau gimana, deh?”

“Gue nggak tau yang bener yang mana, Mix. Secara, gue sebelumnya juga nggak pernah kenal sama Mas Bright. Kita beneran baru aja ketemu tadi pagi, dan lo tau… Baru ketemu pertama kali tapi kita udah nyolot-nyolotan, Mix. Demi Tuhan, Mas Bright tuh nyebelin banget?!!”

“Nyebelin gimana?”

“Ya itu, Mas Bright tuh ngelak terus kalau gue tanya-tanya soal Zoey. Beliau malah ngalihin pembicaraan gitu, pas gue tanyain lagi eh Mas Bright malah ngegas segala bilang gue terlalu ikut campur sama urusan dia lah, gue dibilang sok tau soal Zoey lah, padahal niat gue kan baik… Gue mau bantuin Mas Bright, karna sumpah ya muka beliau tuh putus asa gitu pas gue liat dari seberang jalan.”

“Metawin, Metawin… as usual ya, lo dan hati lo yang lemah lembut itu...”

Win tersenyum miris menyadari bahwa terkadang sifat sensitif dan tidak teganya itu justru bisa membawanya ke jalan yang sulit, seperti sekarang ini.

“Terus, kesialan keempat lo gimana, Win?”

“Oke, kesialan gue yang keempat adalah, Mas Bright ini ternyata mau berangkat kerja, tadi, makanya beliau mungkin agak bingung mikirin Zoey sama kewajiban harus cepet-cepet sampai ke kantor. Nggak lama setelah gue sama beliau debat tuh ada temennya nelfon, terus temennya ini dateng ngejemput beliau. Namanya Mas Thanat, temen kantornya Mas Bright dan bilang kalau mereka emang lagi dikejar waktu buat rapat direksi. Gue kan bingung banget ya sama kebenaran tentang Zoey dan Mas Bright ini, akhirnya gue nanya lah sama Mas Thanat, dan for my surprise… Mas Thanat bilang kalau Zoey ini beneran anaknya Mas Bright.”

“Lah, gimana, deh? Yang bener yang mana sih, gue jadi ikutan bingung.”

“Lo aja bingung apalagi gue, Mix? Karna Mas Thanat bilang kalau Zoey itu beneran anaknya Mas Bright, gue makin penasaran dong, karna kok bisa-bisanya Mas Bright nggak ngaku dan lo tau, Mix, beliau main cabut ke mobilnya Mas Thanat tanpa perduli sama Zoey yang kebetulan tadi lagi gue gendong karna nangis. Dan pas gue mau nanya lebih banyak, Mas Thanat malah pamit dan ninggalin nomor hp beserta kunci rumah Mas Bright ke gue. Intinya, gue diminta buat jagain Zoey selama dua Mas-Mas itu kerja. That's why i am here now, lagi berdiri ngeliatin Zoey tidur.”

Mix tidak langsung menjawab, sahabatnya itu terdiam sebentar seolah sedang mencerna semua keluh kesah yang baru saja disuarakan oleh Metawin. Hingga sekitar dua menit berlalu, Mix akhirnya membuka suara.

“Gue bingung mau nanggepin kayak gimana, tapi gue setuju sama lo, Win, kalau hari ini cukup freak buat lo. Dan soal Mas Bright, kok gue mikirnya beliau misterius gitu, ya? Pasti ada alesan dong, kenapa beliau se-nggak mau itu ngakuin Zoey sebagai anaknya. Hmm, accident nggak sih menurut lo?”

Win mengangkat kedua bahunya, bingung. “Gue nggak ngurus deh soal itu, intinya hari ini aneh banget buat gue. Amat sangat aneh, kok bisa ya semua ini kejadian di hidup gue tanpa permisi...”

“Mhh, Win, berarti lo sekarang lagi di kamar Mas Bright? Coba aja lo obrak-abrik kamarnya, siapa tau ada sesuatu yang bisa ngejawab rasa penasaran lo.”

“Emang ya otak lo nggak sopan banget. Oh iya, gue bukan lagi di kamar beliau. Gue justru sekarang lagi di kamar Zoey, dan perlu lo ketahui, Mix… Kamar Zoey tuh lucu banget. Nuansa pastel dan ada hiasan kupu-kupu banyak banget di dinding sama tempelan yang bintang-bintang itu di langit-langit kamar. Dan, wait, bahkan ada nama lengkap Zoey di sini, bentar, Mix.”

Seolah baru menemukan sesuatu, Win langsung mendekat ke arah bufet dimana ada beberapa hiasan meja bernuansa merah muda yang membentuk sebuah nama di sana. Zoey Vachirawit Chivaaree. Dan juga, ada sebuah foto yang dibingkai dalam sebuah pigura, foto Bright dengan Zoey.

“Mix,”

“Yes, gimana, ganteng?”

“Di kamar Zoey ada hiasan yang ngebentuk nama lengkap dia. Zoey Vachirawit Chivaaree, dan tadi pas kita masih bertigaan di pinggir jalan, gue sempet ngeliat kalau Zoey pakai gelang dan bandul inisial nama dia, ZVC, dan di sini juga ada foto Mas Bright berdua sama Zoey. Sumpah, gue makin nggak ngerti sebenernya apa yang salah sama Mas Bright...”

“Mungkin bisaㅡ”

Belum sempat Mix menyelesaikan ucapannya, Win buru-buru menyela dengan kalimat yang membuat Mix berdecak di seberang sana. “Mix, nanti gue telfon lagi, ya? Zoey nangis...”

Dan dengan itu, Win menyudahi sambungan telepon antara dirinya dan juga Mix, lalu bergegas untuk menjadi baby sitter dadakan bagi puteri cantik itu.

. . .

Setelah mencari tahu bagaimana cara yang benar untuk membuat susu, bagaimana cara mengganti diapers, dan seperti apa posisi yang pas untuk menggendong bayi yang usianya belum genap enam bulan, akhirnya Win bisa menghela nafas lega. Berjam-jam sudah ia lewati untuk mengurus Zoey yang cukup rewel, dan sekarang gadis kecil itu sudah kembali tidur dalam dekapannya.

Zoey sudah kenyang, Zoey sudah bersihㅡ sudah ganti diapers, dan Zoey sudah berganti pakaian tidur.

Sedikit banyak Win bangga pada dirinya yang bisa dengan mudah beradaptasi dengan anak-anak, termasuk dengan bayi, dan Zoey adalah salah satunya. Win masih mengayunkan tubuhnya pelan-pelan, menciptakan gerak beraturan agar Zoey semakin nyenyak dalam tidurnya. Win turut melantunkan gumaman pengantar tidur, seraya sepasang matanya menatap lurus pada halaman luas rumah Bright dari dekat pintu utama.

Waktu sudah hampir memasuki pukul 4 sore dan belum ada tanda-tanda kalau Bright dan Thanat akan segera pulang. Karena cuaca cukup mendung di luar, Win pun beranjak untuk mencari saklar dan menghidupkan beberapa lampu di luar dan di bagian dalam rumah, termasuk kamar Zoey. Win membawa langkah kakinya menuju ruang keluarga, lalu pemuda manis itu memutuskan untuk duduk di sana, di sofa yang langsung menghadap ke arah televisi berukuran besar.

Win melirik ponselnya yang sejak tadi tidak ia lirik sama sekali. Dengan hati-hati karena tidak ingin pergerakannya mengganggu tidur nyenyak Zoey, Win berusaha meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada 2 panggilan tak terjawab; dari Mas Mike dan juga Kak Ggigie.

Lalu, ada 5 pesan masuk yang belum ia baca; dari calon suaminya, Joss Way-Ar.

Dengan senyum kecil yang terpatri di wajah lelahnya, Win membuka ruang obrolan antara dirinya dan juga Joss.

ㅡ sayang, maaf aku nggak ada ngabarin kamu hari ini, kantorku lagi ada sedikit masalah, ini juga aku boleh nyolong waktu demi ngehubungin kamu.

ㅡ so, how was your day? Kamu udah makan siang apa hari ini…

ㅡ kamu jadi ketemu sama orang WO kah nanti?

ㅡ win, lagi sibuk banget, ya?

ㅡ okay, nanti malem kalau ternyata kita nggak sempet ketemu, aku telfon ya? bye, sayangku… much love.

Joss, dan segala perhatiannya. Win bahkan sudah tidak heran jika dirinya jatuh cinta terlalu dalam pada pria itu, pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Sambil terus menepuk-nepuk pelan punggung mungil Zoeyㅡ bahkan ia usap penuh sayang sesekali, Win berusaha untuk membalas pesan dari sang kekasih.

I have a lot to tell today… hope we can meet sooner, good luck on your work, boo! much love xx~

Lalu Win beralih mengirim pesan pada Ggigie, memberi tahu sang kakak bahwa kemungkinan besar ia akan membatalkan seluruh rangkaian acaranya hari ini, karena sampai sekarang Bright dan Thanat belum kunjung kembali.

Lalu Mike, kenalan Joss yang kebetulan memiliki bisnis wedding organizer yang dipercaya untuk membantu Win dan Joss mengurus persiapan pernikahan mereka. Win mengirim pesan pada Mike, kalau ada urusan mendadak yang tidak bisa ia tinggal hari ini.

Setelah memberi kabar pada beberapa orang yang dianggap perlu ia hubungi, Win mengembalikan ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan punggungnya yang terasa sedikit pegal pada sandaran sofa.

Matanya terpejam, menikmati sejuknya ruangan dari mesin pendingin sambil terus mengelus lembut punggung si puteri kecil.

Sampai dirasa kantuk datang menjemput, dan Win mulai kehilangan kesadarannya.

. . .

“Hey, Mas, sorry jadi lama banget ya dititipin Zoey nya.”

Samar-samar Win dapat mendengar suara bariton yang tidak begitu asing di telinganya. Dengan susah payah, Win berusaha untuk membuka pejaman matanya. Menyesuaikan penglihatannya dengan bias cahaya yang berasal dari lampu, dan mendapati keberadaan Thanat yang duduk tidak begitu jauh darinya.

Cepat-cepat Win mengubah posisinya yang setengah berbaring di sofa menjadi duduk. Namun, Win merasa ada yang kurang dari dirinya, tapi apa… Apa… Apa… ZOEY??!

“Zoey mana, Mas????” tanya Win dengan intonasi suara nyaris berteriak. Raut wajahnya panik begitu tidak ia temui keberadaan Zoey di dekatnya.

Thanat tersenyum kecil melihat kepanikan Win, “udah saya pindahin ke kamarnya, aman.” jawab Thanat.

Win lantas menghembuskan nafas lega sesaat setelah Thanat menyelesaikan ucapannya. Win mengucak matanya sebentar, jujur saja, nyawanya belum terkumpul seutuhnya.

“Zoey sama Papanya, Mas?”

Thanat menggeleng, “Bright nggak ikut saya pulang.”

Salah satu mata Win memicing, bingung, “lho, kenapa, Mas? Ini rumah Mas Bright, kan?”

Seulas senyum tipis sengaja Thanat ukir di wajahnya yang tampak lelah setelah seharian bekerja. Lelaki itu membawa tubuhnya untuk bersandar lebih nyaman pada di bangku yang sedang ia duduki.

“Zoey rewel banget nggak ya tadi, Mas?” tanya Thanat, sesungguhnya berupaya mengalihkan pembicaraan.

Win mengangguk kecil, “lumayan, karna kangen Papanya juga, mungkin? Tapi udah saya kasih susu, diapers sama bajunya juga udah saya ganti, tapi saya belum berani mandiin, takut salah posisi.” balas Win.

Thanat merasa amat sangat tenang karena sudah menitipkan sang keponakan pada orang yang tepat. “Nggak apa-apa, nanti biar sama saya aja, Mas. Oh iya, kalau cuma dikasih susu berarti Zoey belum makan sereal sama buah ya, Mas? It's fine, sih saya suapin buah aja nanti buat dia.”

Sereal? Buah? Bukankah Zoey masih berusia 3 bulan?

“Lho, Mas, sebelumnya maaf, Zoey bukannya masih tiga bulan ya, Mas? Kok udah dikasih sereal sama buah?” jujur, Win bingung. Setahu Win, usia yang cukup bagi bayi untuk bisa makan sereal, buah, daging yang dihaluskan adalah sekitar 6 bulan.

Lagi, Thanat tersenyum simpul, “Zoey udah tujuh bulan, Mas.” jawab nya.

Sontak mata Win membelalak kaget, “Hah? Bukannya masih tiga bulan? Di surat yang saya baca tadi pagi jelas-jelas ditulis Zoey masih tiga bulan, kok?” bahkan Win sampai harus membentuk angka 3 dengan jari telunjuk, tengah, dan manisnya hanya untuk mendukung rasa terkejutnya.

“Zoey dibawa kesini empat bulan lalu, masih belum tau dibawa sama siapa, tapi kemungkinan besar sama Ibunya. Dan reaksi yang diperlihatkan Bright di hari dimana Zoey datang untuk pertama kali, sama persis kayak apa yang tadi Mas liat di pinggir jalan.”

“Metawin, biasa dipanggil Win.” sahut Win.

“Oke, Mas Win,”

Win spontan mendengus, “panggil Win aja, Mas. Saya masih mahasiswa tingkat akhir.”

Thanat tertawa pelan, lalu mengangguk setelahnya. “Oke, Win, jadi apa yang kamu liat tadi, adalah kejadian yang juga saya liat empat bulan lalu, tiga bulan lalu, dua bulan lalu, dan bulan ini dia justru ngasih liatnya ke kamu, orang yang bahkan nggak dia kenal.” Thanat melanjutkan ucapannya, mau tidak mau ia harus menceritakan sebagian dari apa yang sebenarnya terjadi pada Bright untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang mungkin saja berkelebat dalam benak Win.

Lagian, siapa juga yang tidak berpikiran negatif saat ada orang asing yang tiba-tiba menitipkan seorang anak dan meninggalkan mereka seenak jidat?

Jadi, Thanat akan maklum jika Win sempat berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya dan Bright, dan sekarang adalah kesempatan bagi Thanat untuk meluruskan semuanya.

“Empat bulan lalu, tiga bulan lalu, dua bulan lalu, dan bulan ini? Jadi maksudnya, Mas Bright setiap satu bulan sekali bakal ngelakuin hal yang sama kayak apa yang saya alami tadi?” tanya Win.

Untuk ke-sekian kali, Thanat mengangguk, memvalidasi tebakan Win yang tersirat dalam baris pertanyaannya.

“He has a condition called retrograde amnesia,”

Kedua alis Win bertaut bingung. Tubuhnya refleks mendekat pada Thanat, dan bertanya satu kali lagi guna memastikan telinganya tidak salah dengar dan otaknya tidak salah memproses informasi.

“Retrograde amnesia?”

Thanat bergumam pelan, “yap, Bright menderita retrograde amnesia sejak sekitar satu tahun yang lalu. It's actually a condition where someone is unable to recall events that occurred before the development of the amnesia, even though they may be able to encode and memorize new things that occur after the on set. Tingkat keparahannya beda-beda, prior to that injury… either it's a fatal accident or not.”

“So how about Mas Bright? Is it a fatal one or?”

Thanat menggeleng, “kalau dibilang parah, nggak terlalu parah sehingga level amnesia dia nggak begitu fatal. Tapi, kalau dibilang nggak parah, juga nggak sebiasa itu, ya mobil dia meledak but he luckily he can get out from the car tapi ya, ada insiden semacam kelempar dan kepalanya kepentok cukup keras di trotoar jalan. That's why saya nggak sadar kalau dia punya retrograde amnesia karna pasca kecelakaan itu, dia nggak nunjukin keanehan apa-apa. Tapi sejak Zoey datang, dimana dia nggak kenal Zoey termasuk Ibu dari Zoey yang nggak lain dan nggak bukan adalah mantan pacar Bright sendiri yang kebetulan saya kenal, dari situ saya ngerasa ada yang salah sama Bright. So yes, since then we knew that he suffered a lot because of that.”

“Terus kenapa bisa kambuh setiap sebulan sekali gitu, Mas? Dan kalau Mas Bright emang nggak inget sama Zoey, lalu kenapa di kamar Zoey justru ada foto beliau sama Zoey?”

“Kasus ini kemungkinan sembuhnya kecil, tapi bukan berarti nggak bisa sembuh, apalagi Bright nggak terlalu parah. Jadi, saya sama dokternya Bright lagi berusaha untuk meminimalisir kemungkinan kambuhnya dia dengan cara memakai dua puluh sembilan hari dalam sebulan untuk bantu Bright nerima Zoey sebagai anaknya, we literally did everything for them, tapi di tanggal tiga puluh setiap bulan dia akan kembali lupa. Buyar sama semuanya, termasuk Zoey yang udah bisa dia kenal pelan-pelan, itu memang bagian dari alam bawah sadar dia, nggak bisa diberhentiin.”

Win mengangguk kecil, sedikit banyak mulai mengerti dengan kondisi yang dialami Bright, si lelaki menyebalkan dan keras kepala.

“Setiap tanggal tiga puluh ya, Mas?”

Thanat bergumam kecil, “iya, karna dia kecelakaan di tanggal tiga puluh.”

“Hm, tapi selepas dari tanggal tiga puluh, Mas Bright bisa otomatis inget semuanya lagi?” tanya Win.

“Nggak, harus orang-orang terdekatnya yang bantu dia. Pelan-pelan ngenalin Zoey lagi ke dia, Zoey only, tanpa bahas soal Ibunya Zoey dan kecelakaan yang Bright alami. Tapi, dia nggak amnesia total. Jadi kita nggak perlu terlalu ekstra buat balikin ingatan dia. Bright cuma lupa sama mantannya, kecelakaan tunggal yang dia alami, dan Zoey.” balas Thanat.

Zoey, Zoey… It must be hard for you, and so does for Mas Bright…

“Dan kemungkinan besar, Bright nggak akan lupa sama kamu. Jadi kalau sewaktu-waktu kalian nggak sengaja ketemu, saya harap kamu bisa bersikap sewajarnya tanpa bahas soal kondisi dia yang sedikit berbeda dengan kita.”

Satu anggukan Win berikan sebagai jawaban. Penjelasan dari Thanat cukup membuat Win merasa lega dan sedih di saat yang bersamaan. Lega, karena ternyata Bright dan Thanat tidak ada niat jahat, dan sedih karena ternyata Bright dan Zoey punya kisah hidup yang tidak mudah.

Lalu fakta tentang Zoey yang ternyata sudah berusia 7 bulan, tentang Bright yang menderita retrograde amnesia, mampu membuat Win terdiam. Ia sedikit merasa bersalah sudah sempat memaki-maki Bright meski hanya di dalam hati.

Win melirik sebuah jam yang melekat di dinding ruang keluarga rumah besar milik Bright. Sudah pukul 8 malam, dan itu artinya ia harus segera pulang ke rumah.

Win berdiri, membuat Thanat refleks ikut berdiri menyamai pergerakan sang tamu.

“Karna Mas Thanat udah pulang, kalau begitu saya boleh pamit, Mas?”

Thanat mengangguk, “sekali lagi saya minta maaf atas semua yang terjadi hari ini dan, terima kasih banyak Win, sudah membantu saya dan Bright untuk menjaga Zoey hari ini.”

Win tersenyum kecil, “santai aja, Mas. Lagian ruma saya pas banget di belakang, kok. Kalau gitu, saya pamit, Mas Thanat.”

“Mari, saya antar sampai depan gerbang.”

. . .

Setelah sempat membatalkan jadwal pertemuan dengan tim WO beberapa hari lalu, akhirnya hari ini Win bisa memastikan kalau tidak akan ada lagi kekacauan yang dapat mengganggu harinya. Seolah dejavu, Win kini terduduk di bangku yang sama dengan bangku yang ia duduki 4 hari lalu, ketika akan melakukan wara-wiri hunting persiapan pernikahan.

Lagi-lagi dan lagi dengan situasi yang samaㅡ sendirian, ditemani dengan sebuah ponsel, tablet canggih yang menampilkan daftar kegiatannya selama satu hari ini, dan juga secangkir teh hangat buatan tangan sendiri.

Ggigie sudah berangkat ke kantor, Mami sedang ke pasar modern, Papi mungkin sedang bermain golf bersama beberapa rekan kerja, dan Joss sedang ada kunjungan bisnis ke Paris selama satu minggu.

Bedanya, kali ini semua sudah terorganisir. Perasaannya tak lagi gelisah, karena Win sendirilah yang berinisiatif untuk memulai wara-wiri nya seorang diri.

Setelah menentukan tempat catering atau toko perhiasan yang akan lebih dulu ia kunjungi, Win pun beranjak menelan habis teh hangatnya lalu merapikan semua barang-barangnya dan bersiap untuk keluar rumah.

Bedanya juga, kali ini Pak Umar tidak lagi terlentang di kolong mobil. Supir pribadinya itu sedang mengelap beberapa sisi mobil ketika Win menginjakkan kakinya di lantai teras.

“Pagi, Pak Umar!!!”

Pak Umar tersenyum lebar menyambut kedatangan Win yang disinari dengan aura bahagia, “pagi, Den Meta. Sudah siap?” tanya Pak Umar.

Win mengangguk mantap penuh semangat, “ayo kita let's go!!! Kita ke tempat perhiasan yang biasa Mami datengin itu dulu ya, Pak. Habis itu baru ketemu orang WO di Grand Indonesia, nah sorenya kita baru ke tempat catering, oke?”

Pak Umar mengacungkan ibu jarinya, “mari kita let's gooo!”

. . .

Urusan cincin sudah beres, dan sekarang Win sedang dalam perjalanan menuju sebuah mall besar yang ada di ibu kota. Jarak yang tidak terlalu jauh antara toko perhiasan langganan Mami dengan lokasi mall membuat Win hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di sana.

Waktu sudah memasuki jam makan siang ketika Win tiba di pelataran utama mall besar itu. Dengan hati yang berbunga-bunga memikirkan kalau dirinya akan memantapkan konsep pernikahan dengan tim yang begitu dipercayai oleh Joss, Win terus melangkahkan kaki dengan penuh semangat.

Sebuah gerai kopi ternama yang letaknya ada di lantai dasar gedung barat menjadi tujuannya kala itu. Mike sudah mengirimnya pesan beberapa menit lalu, memberitahu kalau ketua tim WO itu sudah tiba di tempat tujuan. Win lantas mempercepat langkahnya, dan gerai kopi yang dimaksud kini sudah tampak di jarak pandangnya.

Tapi, lagi dan lagi seperti sebuah dejavu, langkah Win yang sedikit lagi hampir tiba di meja yang sudah ditempati oleh Mike harus terhenti saat sepasang matanya tak sengaja bertukar pandang dengan sepasang obsidian hitam yang ditemuinya beberapa hari lalu.

Di sana, di salah satu meja di dalam gerai kopi yang sama, Bright duduk dengan gusar. Tatapan yang sama persis dengan yang Win temui saat itu, namun kali ini mampu membuat perasaannya sedikit bergetar karena Bright seolah sedang memanggilnya dalam diam.

Dan pertanyaan terpendam Win terjawab sudah saat ia dapati Zoey yang menangis dalam gendongan Bright. Bedanya kali ini adalah, tidak ada kereta dorong yang menemani seperti empat hari lalu. Hanya ada Bright, dan gendongan khusus berwarna merah di bagian depan tubuhnya.

Win menarik panjang nafasnya, sebelum akhirnya ia memantapkan langkah masuk ke dalam gerai. Menuju Mike yang sudah menunggunya, berusaha mengabaikan Bright yang menatap bingung ke arahnya ketika Win baru saja melewatinya.

Bright spontan berdiri, “Metawin,” dan berakhir memanggil nama Win dengan lantang.

Win yang merasa dipanggil pun bersikap tak acuh, terus menyeret langkah kakinya sampai seuntai kalimat dari Bright berhasil membuat seluruh pergerakannya berhenti. Secara total.

“Tolong bantu saya, sekali lagi, Metawin.”

. . .

Pertanyaannya adalah, apakah Win menyesal membatalkan janjinya secara mendadak pada Mike yang sejatinya sudah berada di lokasi yang sama dengannya siang tadi?

Apakah Win menyesal lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk mengiyakan permintaan Bright di gerai kopi siang tadi?

Apakah Win menyesal sudah merentangkan tangan dan membawa Zoey kembali masuk ke dalam dekapannya seperti empat hari lalu?

Tidak, jawabannya tentu tidak.

Karena di hari yang sama, dimana dirinya bertemu dengan Bright secara perdana setelah hari itu, Win turut berjumpa dengan patah hati pertamanya.

Secara tidak sengaja, atau memang sudah jadi rencana Tuhan, Win yang saat itu sedang melangkah berdampingan dengan Bright yang terlihat clueless karena Zoey sama sekali tidak menangis dalam dekapan Win, di waktu yang sama, matanya menangkap sebuah pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Joss, yang katanya sedang menekuni perjalanan bisnis ke luar negeri, ternyata sedang berjalan bergandengan tangan dengan seorang wanita yang entah Win tidak tahu namanya.

Joss tidak mengelak, tidak memberikan penyangkalan maupun pembelaan karena sudah tertangkap basah. Joss hanya bisa meminta maaf, tanpa memperbaiki.

Membuat Metawin tidak berniat untuk mengukir ekspresi di wajahnya. Membuat Metawin seolah tuli dengan obrolan seru yang disuguhkan oleh siaran radio di mobil Bright. Membuat Metawin hanya bisa memandang kosong ke arah luar, sambil sesekali tangannya mengusap punggung baby Zoey yang kerap kali menggeliat dalam tidurnya.

Pun juga membuat Metawin tidak tanggap pada panggilan-panggilan yang dilakukan oleh Bright dari sisi bangku pengemudi.

Win hanya mau menyendiri malam itu, tapi tidak cukup tega untuk mengusir Bright dan juga Zoey. Akhirnya Win pasrah, dibawa mengelilingi kota Jakarta dengan mobil sedan mewah berwarna putih milik Bright, dengan Zoey yang juga terlihat begitu nyaman dalam dekapan Win.

Malam itu Win sadar, apa yang sudah ia bangun matang-matang, nyatanya hancur juga.

. . .

“Kamu mau sarapan apa, Mas?”

Bright yang sedang asik bermain dengan Zoey di ranjang, menoleh cepat begitu ia dapati Win yang kini berdiri dengan wajah ngantuknya di ambang pintu.

Senyum tipis terukir di bibirnya, entah mengapa ada debaran tak biasa yang mampir memperamai degup jantungnya. Setelah memastikan Zoey berbaring di posisi yang aman dan jauh dari tepi ranjang, Bright langsung bangkit dan beranjak menghampiri pemuda manis itu.

Bright mendekatkan wajahnya pada Win, menatap wajah bantal dimana masih terdapat jejak putih di sudut bibir pemuda manis itu. Terkekeh pelan, dan disusul dengan usakan gemas di surai hitam si Manis.

“Dasar, baru bangun pasti langsung kesini, deh.”

Win hanya mengangguk, lagipula tidak ada yang salah dari ucapan Bright. Sudah nyaris satu bulan keduanya dekat, tentu sejak tragedi tak terduga yang terjadi di sebuah mall besar di ibu kota beberapa waktu lalu. Dan selama itu pula, Win jadi lebih sering bertamu ke rumah Bright dengan dalih ingin bermain dengan Zoey.

Padahal, Win hanya bosan, dan masih mencari cara untuk menyembuhkan luka di hatinya. Dan setiap kali ia bertemu dengan Zoey, Win mampu melupakan rasa sedihnya. Itu sebabnya, tiada hari tanpa Win merengek ingin bertemu dengan Zoey sebanyak, sesering yang ia bisa.

“Aku mandi di sini aja, boleh?” tanya Win, polos.

Bright tampak berpikir, lalu teringat akan satu hal, “mandiin Zoey sekalian, mau?”

Mendengar hal tersebut, rasa kantuk yang semula mendominasi kini hilang berganti dengan euforia yang menggebu-gebu. Sepasang mata Win membulat lucu, ada binar bahagia di balik kedua bola mata kecokelatan itu.

“Ya udah, sana mandi sama Zoey, ya. Perlengkapan mandi Zoey ada di lemari kecil deket toiletries, cara mandiinya tau, 'kan?” tanya Bright.

Win mencubit kesal perut Bright, “kemarin-kemarin pas kamu kerja emang yang mandiin Zoey siapa? Ha? Mas Thanat? Mana ada Mas Thanat main-main ke sini lagi, kesenengan dia tuh sekarang tugas dia jadi babysitter Zoey udah digantiin sama aku.”

Bright terkekeh, gemas, amat sangat gemas dengan ciri khas Win yang wajahnya akan merona merah setiap kali merajuk seperti ini. Hah, Joss, lelaki itu, bagaimana bisa dia menyia-nyiakan seseorang yang luar biasa sempurna seperti Metawin?

Tanpa sadar, sorot mata Bright melembut. Ditatapnya Win yang kini bermain dengan kancing piyama yang dipakai Bright.

“Taa, can i have it now?”

Win mendesah pelan ketika pertanyaan itu terucap dari bibir Bright. Ini adalah kali ke-3 Bright bertanya perihal itu, dan tampaknya sekarang sudah waktunya bagi Win untuk membuka hati, lagi.

Lantas, tanpa pikir panjang, Win mengangguk. Mulai memejam dan pasrah ketika Bright semakin memajukan wajahnya, hingga dirasa ada sentuhan lembut yang menyapa permukaan ranum merah mudanya.

Cup,

Cup,

Cup,

Bright menghadiahi tiga kali kecupan manis di bibir Bright, bermain-main sebentar di sana, sampai Win mendesah kesal karena Bright tidak kunjung memberinya ciuman yang seharusnya.

Jantung Win berdegup kencang, menginterpretasi beberapa jenis perasaan yang bercampur di balik dada. Perasaan marah, kecewa, juga bahagia. Rasanya egois memang jika Win mengaku sudah memaafkan Joss sepenuhnyaㅡ egois pada hati dan perjuangannya selama ini, yang dengan sukarela menerima sudah diperlakukan tidak layak di saat dirinya justru berusaha untuk menjaga hubungan keduanya.

Win harus mengapresiasi hati dan perasaannya, dua instrumen penting dalam hidupnya itu perlu dihargai.

Jadi, membuka hati pada Bright meski masih segar luka di hatinya, adalah jalan terbaik yang bisa Win ambil saat ini.

Lagi pula, semuanya memang sudah berubah sejak awal. Sejak hari pertama. Dimulai dari bagaimana Win bisa dengan mudahㅡ meski diselingi rasa sungut-sungut, menyebrang ke jalan yang berlawanan hanya untuk menyambangi Bright yang putus asa karena penyakitnya kala itu. Padahal, bisa saja ia cuek, meskipun hatinya tidak tega Win tetap punya prioritas yang harus ia lakukan. Tapi nyatanya, ia mengikuti kata hatinya. Mengikuti instingnya untuk mendekat, pada Bright yang sejatinya memanggil dalam diam.

Win sadar akan hal itu, ia hanya tidak mau menganggap serius karena ia masih punya Joss (saat itu).

Tapi sekarang, tidak lagi ada Joss di depannya, tidak lagi ada kegelisahan yang melingkupinya beberapa minggu ini, tidak ada lagi masa lalu yang harus ia pikirkan secara serius. Yang ada hanya Bright, yang kini memeluknya dengan erat. Yang tengah menciumnya dengan penuh cinta dan damba.

Melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Menjeda permainan keduanya di kala ia rasa butuh untuk mengais oksigen. Then Bright leans down again, crashed his lips gently and slowly on Win's. Memberikan afeksi paling sempurna yang bisa ia serahkan pada pemuda manis itu. Mengelus kepala bagian belakang Win dengan lembut, Bright bahkan sesekali mendongakkan kepala Win agar ciuman mereka semakin dalam.

Dalam diamnya, Bright berharap, semoga dirinya bisa mengingat Win dan Zoey untuk jangka waktu yang lama.

Dengan mengajak Win untuk masuk ke jenjang yang baru, itu artinya Bright harus berkomitmen pada dirinya sendiri, bahwa mulai sekarang hidupnya tidak lagi miliknya sendiri.

Tapi juga milik Win, pun juga Zoey.

Bright berharap, semua kenangan yang sudah mereka buat sebelum tanggal 30 bulan ini akan bisa bertahan dalam ingatannya. Meski pada akhirnya ia harus lupa, tapi ia berjanji untuk mengukir kenangan baru setelahnya.

Bright berjanji, tidak akan ada memorinya lagi yang hilang setelah ini.

Bright berjanji, walaupun ia akan melupakan beberapa potongan memori yang terjadi selama 29 hari ini, perasaannya tidak jua akan ikut berubah.

Rasa yang ia miliki untuk Zoey dan Win, sudah ia doakan untuk tetap bisa tinggal dalam hatinya.

If they can make memories in 29 days, so they will be able to keep it on 30th.

The best thing about memories is actually when making any of them…

Bright can make sure, he and Win along with Zoey have memories longer than the road that stretches out ahead.

And at this point, Bright is willing to do anything to keep both people and memories.

And the best part is, a moment lasts all of second, but the memory lives on forever.

Bright menyudahi ciuman panjangnya dengan Win. Lelaki itu menyatukan dahinya dengan milik Win, mengusak sebentar ujung hidungnya tepat di ujung hidung Win, gemas, penuh kasih sayang. Ditangkupnya kedua sisi wajah Win dengan lembut, diberinya afeksi berupa sentuhan halus di sana, seolah Win adalah sebuah ornamen langka yang jika salah sentuh sedikit, akan hancur berkeping-keping.

Satu kecupan lain Bright berikan di sudut bibir Win, “Taa, kalau seandainya aku lupa sama kamu, sama Zoey setelah hari ini, tolong… Tolong jangan ragu untuk ajak aku kenalan lagi dari awal,”

Win membuka pejaman matanya, membalas tatapan sendu Bright yang penuh keputusasaan di sana. Kepalanya mengangguk pelan, tanpa sadar berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah lelah menemani Bright menyusun kembali memorinya, sedikit demi sedikit.

Win turut menangkup wajah Bright, mengusap kedua pipi tirus itu penuh sayang, “when you forget one, afterwards we can make even more… more than you've lost, to be exact.”

“Bright, i will be the same Metawin you've known before thirty. Meet me again at the day after thirty, please? I will come up with lots of different ways to introduce myself to you.”

Bright mengangguk, berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya, Metawin, dan Zoey akan baik-baik saja setelah ini.

The memories after, will remains the same.

“Let's grow old and create lots of memory together,”

Win mengulas senyum terbaik di wajahnya, menghadiahi satu kecupan panjang di bibir Bright, lalu berucap,

“Sure, let's grow old together and make lots of memories as much as we can.”

. . .

JEYI // 210504.

“Shalom, you are my teammate and my best friend. I simply could not ask for more perfect, reliable and loving person than you to hold such a key place in my life. Thank you for everything you do all this time…”

“Ever since you came into my life, you have made it infinitely better. For that, I really and truly can't thank you enough. I absolutely adore you and worship the ground that you walk on...”

“Thank you for trusting me once again.”

LDR JURUSAN FINALE EPISODE total words: 2196 words.


ㅡ Yogyakarta, 1 Mei 2021.

Hari ini adalah hari terakhir dari serangkaian acara perpisahan anak-anak kelas 12 GMM Christian High School, yang mana merupakan hari ke-6 sejak semua guru-guru dan seluruh siswa kelas 12 SOS 1, 12 SOS 2 dan 12 IPA tiba di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hari ini adalah hari Sabtuㅡ malam minggu, dan agenda terakhir yang akan diselenggarakan sebelum besok pagi bergegas pulang kembali ke Depok adalah ibadah bersama dan pelepasan.

Alumni-alumni sekolah juga mulai berdatangan memenuhi ballroom hotel. Terlihat Joss dengan balutan celana bahan hitam dan atasan kemeja merah marun yang lengannya sengaja dilipat sampai ke batas sikuㅡ pentolan 12 SOS 2 dua tahun silam, mengambil posisi duduk di deretan bangku bagian depan yang memang dipersiapkan oleh OSIS khusus untuk anak-anak alumni. Lalu ada Arm dengan gaya kasualnya tapi tetap terlihat menarikㅡ mantan ketua kelas 12 IPA dua tahun silam, duduk di samping Joss. Ada juga Gawin, mantan pemain musik yang dulunya punya posisi persis seperti Brightㅡ salah satu pentolan 12 SOS 2, striker andalan tim futsal juga pemain gitar di band sekolah, yang ikut duduk di samping Arm.

Podd, Pluem, Gun, Singto yang merupakan alumni berbakat dari kelas IPA juga sudah mulai terlihat di dalam ballroom. Tidak hanya pemuda-pemuda hits yang menyumbang eksistensi di sana, ada juga Namtanㅡ mantan wakil ketua OSIS, ratu-nya 12 SOS 1 dua tahun lalu, yang terlihat begitu elegan dengan balutan gaun simple berwarna biru dongker juga rambutnya yang ditata sedemikian rupa, yang duduk di barisan ke-2 di belakang Joss dan kawan-kawan. Lalu di sampingnya ada Mild yang juga terlihat menawan dengan balutan dress putih mininyaㅡ mantan pentolan 12 SOS 2 yang nggak jarang kena masalah dan ended up masuk ruang BK, tapi tetap banyak menyumbang medali atas bakatnya di bidang olahraga, volley. Juga ada Ggigie yang tampak anggun dengan balutan dress hitamnyaㅡ mantan ketua OSIS dua tahun lalu, 12 SOS 2's pride, duduk di samping Mild.

Acara ibadah bersama baru akan dimulai setengah jam lagi. Anak-anak OSIS masih terlihat sibuk mondar-mandir mengecek audio juga memastikan kalau semua siswa sudah berada di dalam ballroom dan duduk dengan manis di bangku masing-masing. Guru-guru juga terlihat memasuki ruangan, mengambil posisi di barisan paling belakang, untuk mengawasi jalannya acara terakhir mereka.

“Test… test...” situasi ballroom yang sempat ramai dengan suara interaksi antar manusia di dalam sana pun perlahan-lahan mulai menjemput hening. Luke yang sedang melakukan pengecekan pada mic di atas panggung pun kini jadi objek perhatian mereka.

“Oke, mic dalam keadaan ON ya,” pemuda itu menoleh melirik beberapa anak ekskul musik yang sudah standby di balik alat musik masing-masing, “musik aman?”

Chimon yang kebetulan harus ikut acara perpisahan kelas 12 mengangguk dari balik satu set drum, “drum aman, Bang!”

“Bass aman?” Dew yang kebetulan memegang basa pun ikut mengangguk. Ibu jarinya mengacung tegak, “aman, boss!”

“Keyboard aman?” Harit mengangguk penuh semangat, “aman, bro.”

“Gitar? Gimana gitar?”

Seseorang yang masih tampak sibuk menyetem gitarnya menoleh pelan pada Luke. Alisnya sejak tadi bertaut, seolah belum merasa cocok dengan bunyi yang dihasilkan dari senar gitar di pelukannya. Sosok itu mendesah berat, “masih gue stem bentar,” lalu kembali ia petik senar gitar itu, “aman sih, tapi nggak tau deh, bentar gue dengerin dulu.”

“Kalo nggak begitu sreg sama lo, biar gue sampein ke pihak hotel siapa tau mereka bisa bantu back up fasilitas, Bright.”

Bright, yes, pentolan 12 SOS 2 itu ikut serta mengisi acara terakhir mereka selama 7 hari 6 malam di Yogyakarta. Yang ditunggui jawabannya itu tidak langsung menjawab, jari-jemarinya masih sibuk mengotak-atik senar gitar seraya kepalanya mengangguk sesekali mengikuti irama.

Bright memetik senar gitar di pelukannya itu satu kali lagi, “udah nih, gitar aman.”

Luke mengangguk, “oke,” dipandangnya satu persatu pemain musik beserta alat musik yang mereka pegang, “musik aman berarti, ya. Kalo nanti ada apa-apa, gue di belakang. Selesai ibadah gue bakal balik ke panggung lagi buat pengarahan pelepasan.”

Setelah memberikan sedikit wejangan pada personil band sekolah, Luke pun pamit undur diri. Mic sudah dikuasai oleh kepala sekolah yang akan memulai sedikit pengarahan, lalu disusul dengan doa pembuka.

Ibadah pun dimulai dengan sebagaimana mestinya.

. . .

“Saya selaku Kepala Sekolah GMM Christian High School mengucapkan selamat atas berakhirnya pendidikan kalian di sekolah kami tercinta, saya juga mewakili guru-guru pengampu, wali kelas 12 SOS 1, 12 SOS 2 dan 12 IPA mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas perjuangan anak-anak sekalian selama tiga tahun menempuh pendidikan. Jatuh bangun, susah senang, mudah berat, sudah kalian lalui dan saya percaya kalian juga sudah memberikan yang terbaik saat ujian nasional kemarin. Sekarang tinggal menyerahkan semuanya pada Tuhan, percaya kalau kalian akan lulus dengan nilai yang memuaskan,”

Nggak bisa dipungkiri, situasi jadi mendadak banjir penuh haru. Semenyebalkan apapun guru-guru bahkan kepala sekolah selama ini, tetap saja mereka adalah orang tua ke-2 bagi semua murid. Sang kepala sekolah menjeda sebentar ucapannya, tangis haru turut membanjiri acara pelepasan anak kelas 12 malam itu.

“Saya dengan segenap hati mendoakan anak-anak saya sekalian untuk bisa menjemput karir yang sukses dan cemerlang di masa depan. Lanjutkan pendidikan kalian dengan baik, jalani masa peralihan remaja menuju dewasa kalian juga dengan baik… Hidup akan terasa jauh lebih sulit ketika kalian sudah dinyatakan lulus sebagai siswa, tapi percayalah, Tuhan akan selalu mengikuti setiap langkah kaki kalian, sekalipun Tuhan tidak akan pernah coba-coba untuk meninggalkan kalian,”

Barisan para guru pun mulai menyeka air mata. Selepas ini, anak-anak kelas 12 akan diliburkan sampai hari dimana mereka akan kembali ke sekolah untuk menebus tetek-bengek kelulusan. Ini adalah hari terakhir mereka berkumpul secara utuh sebagai keluarga guru dan murid.

“Sukses terus anak-anakku, sampai bertemu lagi di lain waktu.”

Kepala sekolah pun mengundurkan diri dari atas panggung. Mic kini dalam kekuasaan Luke.

“Oke, teman-teman, sekarang sudah jam sembilan malam dan kita juga sudah ada di penghujung acara pelepasan. Acara ini akan saya tutup dengan doa, ini adalah hari terakhir saya dan teman-teman OSIS untuk bertugas,”

Luke melirik satu persatu anak-anak OSIS yang berdiri di sisi ballroom, “teman-teman, terima kasih banyak untuk kerja kerasnya selama ini. Terima kasih sudah membantu saya dalam menjalankan organisasi sekolah yang tidak mudah untuk dipertahankan. Terima kasih atas segala waktu dan tenaga, saya harap setelah ini, kita masih bisa berhubungan baik. Baik, sebelum acara ini berakhir, mari kita bersatu dalam doa.”

Luke pun memimpin doa akhir mereka malam itu. Sampai sekiranya 5 menit kemudian, kata 'amin' mengalun sempurna.

“Hm, teman-teman semua, sebelum meninggalkan ballroom, ada satu teman kita yang ingin menyampaikan sesuatu. Saya harap semuanya tetap duduk di tempat masing-masing, terima kasih.”

Lalu beberapa lampu di ballroom sengaja dimatikan. Situasi menjadi sendu dengan sentuhan cahaya yang minim.

Beberapa orang tampak terkejut tapi tak bisa berkutik. Luke melirik ke sisi panggung, memanggil seseorang.

“Bright,”

Yang dipanggil tampak menghela nafas. Jantungnya berdegup keras bukan main. Tangannya dingin, gemetaran. Kepalanya susah payah mengangguk menjawab panggilan si ketua OSIS.

Perlahan-lahan, Bright bangkit dari posisi duduknya. Pemuda yang malam itu terlihat begitu menawan dengan setelan celana bahan berwarna hitam, kemeja putih lengan panjang yang sengaja dilipat sampai ke batas siku, juga jam tangan abu-abu yang memperindah pergelangan tangan kirinya, lambat laun mulai melangkah ke tengah panggung.

Luke tersenyum, menyerahkan kekuasaan mic seutuhnya pada Bright.

“Best of luck, bro!”

Gila, bahkan untuk membalas ucapan semangat dari Luke saja rasanya Bright sudah nggak sanggup. Terlalu grogi, takut.

Tapi kepalanya mengangguk, seulas senyum tipis hinggap di ujung bibirnya, “thanks for all the help, Luke.”

Lalu Luke pamit undur diri dari atas panggung.

Bright berdiri di tengah, jadi satu-satunya pusat perhatian.

Matanya dengan cepat mencari keberadaan Win, yang ternyata sedang menatap bingung ke arahnya.

Susah payah Bright mengais kekuatan dari sosok itu, sampai akhirnya, seuntai kata berhasil terucap dengan lantang dari bibirnya,

“Absalom Metawin Shaka Rehuel,”

Sekarang, bukan lagi cuma Bright yang jadi pusat perhatian. Beberapa orang di ballroom mulai membagi fokus mereka pada sosok Win yang mematung di posisinya.

Puimek dan Chimon yang berdiri di sisi kiri dan kanan Win pun ikut tertegun menahan nafas. Tidak sekalipun terbesit dalam benak mereka, kalau agenda semacam ini akan terjadi secara nyata.

Para alumni juga mulai menegakkan posisi duduk mereka. Ini, adalah kali pertama seseorang dari jurusan IPS melakukan suatu hal krusial di depan banyak orang seraya memanggil satu nama yang asalnya dari seberang, jurusan IPA.

Bright belum melanjutkan ucapannya. Sorot ketakutan yang terpancar jelas di sepasang mata Win seketika membuat Bright ciut. Haruskah ia melanjutkan ini semua?

Tapi pesan Bunda tiba-tiba kembali melintas dalam memorinya, nggak ada kata terlambat untuk minta maaf dan mengulang semuanya. Satu kali lagi Bright menghela nafas.

“Aku tau aku nggak pantas untuk melakukan ini semua, tapi semua orang nyuruh aku buat nyoba, satu kali lagi, karna nggak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki diri,”

Bright masih tersenyum, hatinya mendadak overwhelmed mengingat perjalanan dirinya dan juga Metawin sejak mereka masih duduk di bangku SMP.

Satu kata, indah. Metawin dan segala kisah yang sudah mereka bangun, indah.

“... and here i am now,”

Bright menelan salivanya susah payah. Lalu tubuhnya berbalik menghadap sebuah layar di tengah panggung. Tangannya bergerak merogoh saku celananya, mengambil sesuatu dari sana lalu memusatkannya ke arah layar.

Sebuah video berdurasi dua menit lebih pun berputar,

Membuat seisi ballroom hening mencerna apa yang sedang terjadi.

Sampai akhirnya sebuah pertanyaan di akhir video membuat beberapa orang bertepuk tangan riuh. Termasuk Nanon dan Pawat yang mulai tidak bisa diam di bangku mereka.

Bright mencengkeram mic di tangannya. Video buatannya sudah selesai, sudah mencapai detik terakhir durasi. Ini saatnya untuk ia berbalik, menatap Win yang sudah berkaca-kaca di posisinya.

Gugup, takut, semua bercampur jadi satu. Bright sudah terlanjur menantang maut dengan melakukan ini di depan banyak orang. Memecah dinding tegap tak kasat mata antara IPA dan juga IPS. Membuat para alumni membelalakkan mata.

Bright has crossed the line.

Tapi Bright tidak perduli, ini adalah kali terakhirnya untuk mencoba.

Sampai akhirnya ia kembali menengadahkan kepala. Menatap Win tepat di mata.

“Shalom, kalau kamu mau bilang ya untuk pertanyaanku di dalam video tadi, aku minta kamu untuk datang ke sini, berdiri di samping aku.”

“Tapi, kalau kamu bener-bener mau kita berhenti mencoba, kamu tetap diam di tempat kamu, jangan bergerak sedikitpun.”

Bright menghela nafas satu kali lagi, “aku akan tutup mata. Aku kasih kamu waktu tiga menit untuk berpikir. Apapun keputusan kamu, aku akan terima.”

Lalu Bright memejamkan mata. Benaknya berkecamuk melawan rasa takut, hatinya berdebar hebat luar biasa. Diam-diam Bright gemetar di posisinya.

Waktu terus berjalan, tapi Bright sama sekali tidak merasa ada kehadiran seseorang di sebelahnya. Sampai sekiranya waktu terus berjalan, Bright perlahan-lahan membuka pejaman matanya.

Nihil.

Tidak ada Win di sampingnya.

Tidak ada juga Win di posisinya semula.

Bright, takut.

“Elvino Bright Vincentius Lemuel,”

Bright, tertegun. Seluruh tubuhnya membeku.

Deru nafas halus menyapu tengkuknya.

Wajahnya pucat pasi.

Tapi sebuah tepukan di bahu berhasil membuat Bright mendapatkan kembali warasnya yang sempat hilang.

Dengan susah payah ia membalikkan arah tubuhnya, kini berhadapan dengan sosok Win yang semakin berkaca-kaca.

Ranum merah muda itu bergetar menahan haru.

Tapi sebuah anggukan justru sukses mencuri atensi Bright. Tanpa ragu, tanpa pertanyaan, tanpa kata, Win mengangguki permintaan maafnya. Mengangguki permintaan tulusnya.

“It's a yes for you.”

Suara Win bergetar, satu air matanya jatuh, “it will always be a yes for you.”

Satu kata, lega. Beban yang sebelumnya tersemat di bahu kanan dan kirinya seolah hilang entah kemana. Tanpa sadar, Bright ikut menangis.

Iringan instrumen romantis klasik mulai menggema, mengiringi kedua insan yang masih saling bertukar pandang.

Bright menunduk, pemuda itu terkekeh pelan.

Tidak ada kata selain bahagia yang mampu menggambarkan perasaan Win saat ini. Pemuda itu ikut tersenyum, tangannya terangkat mengusap pipi kiri Bright yang mulai dibanjiri air mata.

“Elvino, kan udah diterima lagi, kok masih nangis?” bertanya dengan anggun, walaupun dirinya sendiri juga masih menangis.

Bright semakin menangis, seperti anak kecil. Bahunya bergerak naik turun dengan cepat. Win tidak kuasa untuk maju selangkah lebih dekat, menarik sosok itu ke dalam pelukan hangat.

Win mengusap sayang punggung tegap Bright yang bergetar, “Elvino,”

“Thank you for asking me once again, thank you for never tired of trying… thank you for coming back to me.”

Bright susah payah melepas dekapan Win. Dengan wajahnya yang sudah merah dan sembab, Bright kembali mendekatkan mic ke mulutnya,

“A-absalom,”

“You are my teammate and my best friend. I simply could not ask for more perfect, reliable and loving person than you to hold such a key place in my life. Thank you for everything you do all this time…”

“Ever since you came into my life, you have made it infinitely better. For that, I really and truly can't thank you enough. I absolutely adore you and worship the ground that you walk on...”

“Thank you for being mine and trusting me, once again.”

. . .

SELESAI SUDAAAAAH!!! TERIMA KASIH SEMUANYA UNTUK WAKTUNYA MENGIKUTI LDR JURUSAN DARI AWAL SAMPAI AKHIR~ DITUNGGU FEEDBACK DARI KALIAN OKKKKKK SEKALI LAGI MAKASIH BANYAK SEMUANYA AAAAAAA NANGISSSSS SELAMAT TINGGAL AYANG PACAR!!!

JEYI // 210503.

“Hokkaido 'kan tinggi, maksudnya… cukup jauh dari pusat negara Jepang, so what made you choose this place to spend the whole days of your escape?”

Bright menyunggingkan seulas senyum tipis di wajahnya. Ia melirik si lelaki private tour guide yang berdiri tepat di sebelahnya, cantik dan berwibawa di waktu yang bersamaan.

Kali ini tawa kecil Bright menjadi jawaban pertama yang si private tour guide terima malam itu.

“it reminds me a lot of how cute my childhood dream was. Gue dulu punya cita-cita buat keliling Jepang sama orang yang gue sayang, but unlucky me… i am an orphan now so i have no one.”

“That's a secret anyway,” sambungnya.

Si private tour guide balas menoleh, satu alisnya bertaut penuh kuriositas. “So, why did you tell me? Isn't that your secret?”

“Sometimes it just feels right when you're become an open book to strangers,”

“Why?”

Bright menghela pelan nafasnya. Sebagian atensi ia pusatkan pada si private tour guide, sebagian lagi ia simpan untuk menerka-nerka jawaban seperti apa yang bisa ia berikan saat ini.

“Because we only met once?”

tags: (NSFW🔞)ㅡ tourist!bright x private tour guide!win, contains explicit contents, adult-talks, strangers to lovers, rough kissing, chest play, public sex, dirty talks, blowjob. total words: 13.451 words. commissioned by: anonymous.


(Bandara New-Chitose, Sapporo, 9:00 PM GMT+9)

“So, jadinya kamu beli JR Pass?”

Kedatangan Bright malam itu di bandara Chitoseㅡ Sapporo, disambut oleh seorang pemuda manis bergigi kelinci yang tubuh tingginya terlihat mungil tenggelam dalam balutan jaket berbulu.

Sebelumnya, Bright tidak tahu akan seperti apa wujud dan rupa sang private tour guide yang disarankan oleh Mikeㅡ teman kuliahnya. Tapi berhubung pemuda ini sempat menyebutkan nama Mike, ya… mau nggak mau membuat Bright percaya-percaya saja kalau si pemuda bergigi kelinci ini adalah seseorang yang dimaksud oleh sang teman.

Keramaian yang mendominasi di bandara ibu kota kepulauan Hokkaido itu tampak belum akan menemui surutnya, padahal waktu sudah memasuki jam 9 malam. Sambil menarik kopernya yang tidak terlalu besar, Bright melirik si tour guide man lalu berdehem pelan, “sempet googling gitu, katanya bakalan lebih hemat untuk turis yang short escape kayak gue gini.”

Beneran kok, Bright memang sempat mengais beberapa informasi lewat internet yang menurut dia akan bisa dijadikan pedoman selama melarikan diri ke negeri sakura, Jepang. Dan dari beberapa holiday vlog yang ia tonton di youtube, memang penggunaan JR Pass sangat dianjurkan bagi turis luar negeri yang akan berlibur di sana. Apalagi status kedatangan Bright di sana adalah sebagai temporary visitor.

Si pemandu wisata menyahutinya dengan sebuah anggukan, “oke, keren banget ya kamu nyempetin buat nyari tau dulu soal apa-apa aja yang kamu butuhin selama melarikan diri ke Jepang, padahal kamu bisa chat saya directly at least sebulan sebelum kamu datang ke sini,”

“I can tell you the things that you might need while on vacation here.”

Duh, iya sih… Sebenernya Mike juga sudah ngasih saran agar Bright lebih dulu menghubungi temannya ini untuk perkenalan singkat yang sudah pasti akan disambung dengan pembahasan kecil tentang apa-apa saja yang mungkin akan Bright butuhkan selama di Jepang, termasuk apa-apa saja agenda yang mungkin akan mereka lakukan selama 14 hari ke depan.

Tapi ya, katakanlah Bright terlalu gengsi karena harus menghubungi orang yang tidak ia kenal lebih dulu, which is it's prohibited things to do in his own dictionary, atau anggaplah ia ingin memberi surprise untuk dirinya sendiri agar bisa menentukan first impression tentang si pemandu wisata once they're met here in Sapporo.

Ya, walaupun terlambat banget sih, dan lagi sebenernya ini dadakan banget... Bright bahkan awalnya tidak yakin kalau teman dari Mike ini akan menyanggupi pekerjaan yang diberikan secara super duper dadakan.

Tidak mau mengakui keteledorannya secara eksplisit, Bright cuma bisa garuk-garuk kepala sambil mencari alasan logis, “it's not a big thing, i can do it by myself,”

“Jadi dimana gue bisa nebus Japan Rail Pass gue?” sambungnya, seraya kepalanya celingak-celinguk mencari tempat yang memang diperuntukkan bagi para turis mancanegara yang hendak menebus JR Pass mereka.

Masih sambil melangkah berdampingan membelah keramaian, si pemandu wisata kembali berujar, “kamu tau 'kan, JR Pass tipe mana yang harus kamu beli supaya nggak sia-sia selama kamu stay di Sapporo?”

Pertanyaan si pemandu wisata sontak membuat Bright menghentikan langkah. Pemuda yang malam itu terbalut busana khas musim dingin ala-alaㅡ sesekali giginya melakukan bruxism, memicingkan satu alisnya, “wait, wait. Jadi bener kalau nggak semua Japan Rail Pass bisa dipake di Jepang?”

Nggak lucu 'kan, kalau ternyata Bright harus kesandung masalah padahal belum sampai satu jam dia menapakkan kaki di negeri sakura?

Si pemandu wisata yang malam itu terbalut celana jeans skinny berwarna putih, juga bagian atas tubuhnya yang diselimuti sebuah jaket abu-abu lalu ditimbun dengan jaket khas musim dingin, turut menghentikan langkah. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Bright berbalik, menghadap pada sang klien yang akan ia kawal selama 14 hari ke depan itu.

Kepalanya mengangguk pelan, “bukan nggak bisa kepake, tapi Jepang itu punya beberapa kota yang transportasi umumnya nggak semua tercakup di bawah naungan Japan Railways, jadi kamu harus order yang sekiranya akan lebih berguna di kota yang kamu pilih. And in this case, you are in Hokkaido for now, Sir.”

Bright terdiam, tidak langsung menjawab. Si pemandu wisata yang bisa melihat kalau Bright mendadak nge-blank, beranjak untuk mendekati sang turis, “kenapa? Jangan bilang kamu nggak tau tentang hal sedasar ini?”

Sebenarnya, pantang hukumnya bagi seorang pemandu wisata untuk melakukan judgement seperti itu pada turis yang akan dilayani. Tapi berhubung Mike pernah bilang kalau ia bisa menganggap Bright sebagai teman, because luckily they're at the same ageㅡ kata Mike, jadinya, ya… sebisa mungkin ia akan berkomunikasi layaknya sebagaimana dua orang teman sedang saling bertukar obrolan.

Lantas si pemuda pemandu wisata mengulurkan telapak tangannya yang menengadah ke depan Bright, “let me see, biar saya tau exchange order apa yang kamu pegang sekarang.” katanya.

Bright mendesah pelan, niatnya untuk melepas penat, healing, sekaligus bersenang-senang selama di Jepang seolah lenyap entah kemana. Enggan membuat si pemandu wisata semakin cerewet, Bright pun merogoh tas selempang kecilnya dan mengambil exchange order miliknya dari sana.

“Gue milih yang Whole Japan Rail Pass, karna gue pikir ini bakalan bisa dipake buat semua wilayah di Jepang.”

Si pemandu wisata mengambil alih kertas exchange order dari tangan Bright dan membacanya perlahan-lahan. Kepala pemandu wisata itu sesekali bergerak membentuk anggukan, suara deheman pelan lolos dari belah bibirnya, “oh iya, nama saya Win. Saya nggak sempet nanyain ke Mike, apakah dia sudah pernah memperkenalkan nama saya ke kamu atau belum. Dan kata Mike, kita seumuran, so it's okay kalau kamu mau bicara informal sama saya selama kamu jadi tanggung jawab saya di sini.”

Bright menatap canggung tangan kanan si pemandu wisataㅡ namanya Win, yang tiba-tiba terulur di depannya. Seumur hidupnya, baru kali ini Bright menyesal tidak punya skill yang mumpuni untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang asing. Ia jadi bingung sendiri bagaimana harus menyikapi perkenalan yang dilakukan oleh Win, yang secara implisit juga merupakan teman baik dari Mike.

Sampai ia lihat tangan Win bergoyang pelan seolah sedang memanggil-manggil. Oke, oke, take it easy, Bright. Lo cuma perlu angkat tangan kanan lo, dan bales uluran tangan dia. Terus sebutin nama lo, then ya udah, beres deh semuanya, clear, batinnya sibuk merancang kewarasan yang tiba-tiba malfungsi.

Lantas sambil menatap Win dengan setumpuk kecanggungan yang mendominasi, Bright membalas uluran tangan itu, “Bright.”

Hahaha, Win terkekeh pelan, ada pola bulan sabit yang terbentuk di kedua sudut matanya, “saya udah tau nama kamu dan juga beberapa hal tentang kamu yang sengaja dibocorin sama Mike dengan alasan biar saya bisa pantau kamu selama di sini. Saya juga tau kalau sekarang kamu niatnya liburan sambil ngobatin patah hati, right?”

Bright memutar jengah sepasang bola matanya, “that's none of your business.” Cepat-cepat, ia sudahi acara perkenalan singkat mereka.

“Mike terlalu khawatir karna kata dia, nggak biasanya kamu mumet terus ngide kabur ke luar negeri. Paling jauh juga, nyari gudeg ke Jogja. Itu aja berhasil bikin satu tongkrongan panik bukan main,”

Demi Tuhan, setelah ini Bright akan buat reminder di ponselnya kalau 2 minggu lagi, dia akan mencincang Mike hidup-hidup.

“Jadinya ya, let's say that Mike lagi nitipin kamu ke saya.” sambung Win, masih dengan senyum manisnya yang justru membuat Bright super duper jengkel.

Bright, paling nggak suka privasinya diketahui orang lain. Kalau Mike atau Guns nggak sengaja mergokin dia nyebat cuma karena kesal nilai tugasnya berantakan, pasti dua orang itu akan membuat spekulasi sendiri dan berujung overthinking nggak jelas. Dan sekarang, kasus serupa justru terjadi lagi.

Bright, memang sedang patah hati. Hubungannya dengan sang mantan yang sudah terjalin selama 3 tahun yang ia kira bisa bertahan lama, ternyata kandas juga. Tapi… Bright tidak segila itu untuk melarikan diri ke Jepang cuma karena hatinya sedang terluka.

Sebenarnya sudah sangat lama Bright ingin menjajaki kaki di negeri sakura, bahkan pergi ke Jepang adalah salah satu goals yang pernah ia tulis di buku hariannya ketika masih kecil. Jadi ya, mumpung ada 'momen'-nya, sekalian trobos aja.

Tapi kayaknya, Mike lagi dan lagi overthinking dan membuat cerita seolah-olah perjalanannya kali ini adalah untuk menghibur diri. Ckckck, ya nggak sepenuhnya salah sih, tapi Bright nggak se-sad boy itu, kali?!!

Dan berhubung Win sudah terlanjur tahu soal agenda patah hatinya, mau nggak mau Bright mengakui, “sebenernya healing emang salah satu tujuan gue cabut ke sini. Tapi gue mau healing ya bukan cuma karna gue lagi patah hati, gue nggak se-cupu itu. Buat apa keluar budget banyak cuma buat kabur karna lagi galau?”

Satu kali lagi Win terkekeh, “jangan salah lho, beberapa turis yang pernah pakai jasa saya juga pernah ngaku kalau mereka dateng ke sini ya buat ngeredain patah hati, or life is just too stressful, so yes… they got the reason right there.”

“Sapporo is a beautiful place and you are lucky that you are here during winter. Sapporo could be a place to heal your pain and make you happy all over again.” sambung Win, yang cuma direspon dengan sebuah deheman dingin oleh Bright.

Satu mata Win memicing memandang Bright yang kelihatannya sangat tidak approachable, terbukti dari atensi pemuda itu yang kini melanglang buana menyisir seluruh sisi bandara seolah-olah sedang mencari sesuatu.

Oh iya, astaga! Win sampai lupa! Kebablasan dan terlalu asik menyelami sifat si turis eksklusif, Win malah mengabaikan kertas exchange order milik Bright yang masih ia pegang.

“Oh iya, soal exchange order punya kamu, sebenernya nggak apa-apa kalau kamu tetep mau pakai yang ini, karna transportasi umum di Hokkaido yang tercakup sama jangkauan Japan Railways juga banyak, jadi nggak akan sia-sia. Cuma berarti pas kamu order ini, kamu kena harga yang cukup jauh lebih mahal dibanding kalau kamu pilih yang opsi single city pass, yang cuma akan berlaku di Sapporo atau JR Hokkaido Rail Pass, yang bisa kamu pakai untuk keliling berbagai tempat di Hokkaido,”

Win belum selesai dengan ucapannya, “kalau yang tipe ini, sayang banget untuk jatah wilayah lain yang pastinya bakalan nganggur, kecuali setelah dari sini kamu masih mau keliling Nagoya atau Osaka, dalam kurun waktu empat belas hari setelah kamu aktivasi JR Pass kamu.”

Bright tampak menimbang-nimbang penjelasan Win barusan, “bisa di-refund, nggak? Terus kalau gue mau beli yang versi khusus buat keliling Hokkaido aja, bisa?”

Win mengangguk, “bisa, tapi untuk refund sendiri nanti uang kamu bakalan dipotong sepuluh persen dan untuk kamu order yang baru, kemungkinan akan lebih mahal dibanding kalau kamu order secara online sebelumnya.”

Ah, udahlah, Bright sama sekali nggak mau memusingkan soal tragedi JR Pass yang terlanjur salah beli ini. Alhasil, entah sadar atau tidak, Bright langsung menggamit satu lengan Win dan mengajak pemuda itu untuk segera melangkahㅡ lagi, membelah keramaian setelah keduanya sempat melipir selama beberapa menit.

“Gue males kalau harus pakai acara refund-refund segala,” suara roda dari koper yang ditarik agak cepat turut menemani langkah kaki mereka malam itu, “wasting time banget, jadi nggak apa-apa lah pakai yang ini aja. Tapi beneran 'kan, yang tipe ini bisa dipergunain juga selama gue di sini?”*

Win cuma bisa pasrah. Bola matanya sesekali mengerling bingung, sambil tungkainya terus berusaha menyamakan langkah kaki Bright yang terlampau lebar. Kepala si pemandu wisata itu mengangguk menyahuti pertanyaan Bright barusan, “bisa, no need to worry about that.”

“Oke, kalau gitu sekarang lo temenin gue ke sales office nya buat nukerin ini.” Kayaknya sih… Bright sadar kalau tangannya masih setia menggamit lengan Win ketika mereka melangkah berdampingan. Tapi, pemuda itu memilih abai dan langsung merebut kertas exchange order miliknya dari jangkauan si pemandu wisata rekomendasi dari Mike itu.

“Apa aja yang harus gue siapin buat nebus JR Pass gue?” tanya Bright.

Win yang mulai ngos-ngosan karena dibawa melangkah cepat pun tiba-tiba menghentikan langkah. Wajahnya yang semula sumringah sekalipun Bright meresponnya agak judes pun, kini berganti jadi datar. Tangannya yang bebas dengan refleks menarik lengan Bright yang masih melingkari miliknya, membuat si turis eksklusif itu berbalik menghadap ke arahnya dengan wajah bingung.

“Bright,”

Bukannya membalas panggilan tersebut, Bright hanya mengangkat satu alisnya sebagai respon.

“Yang jadi private tour guide di sini itu saya, kenapa malah kamu yang nyeret-nyeret tangan saya kayak gini? Dan lagi, kita salah jalan. Sales office Japan Railway bukan lewat sini.”

Dalam hati Bright meringis, hadeeeeh… padahal baru nyampe, masalah udah segunung aja..

Tidak lagi punya energi untuk menjaga imej di depan Win, Bright pun mengulas senyum innocent di wajahnya.

“Ya udah iya, maaf, ini jadi kita harus lewat mana, Win?”

Toh, dirinya cuma akan menghabiskan waktu selama 14 hari bersama pemandu wisata manis ini. Apa salahnya untuk belajar beradaptasi secara kilat demi menjunjung bahagia yang bisa ia dapatkan selama refreshing di Sapporo, 'kan?!

Be another version of you for the next 14 days here, habis itu… Lo bisa balik jadi diri lo yang unreachable kayak biasanya, oke, Bright?

“Follow me,” ujar Win, yang mulai jengah dengan tingkah laku aneh Bright.

Seolah benar-benar sudah bertekad untuk jadi the other version of he himself selama di Jepang, Bright pun totalitas dalam menjalani misinya untuk bersenang-senang. Kepalanya mengangguk penuh antusiasme, “oke, let's go!”

“Siapin paspor asli kamu, nanti kamu bakalan diminta untuk ngisi form identitas dan keaslian data diri kamu akan dicek lewat paspor.”

Karena status Win sekarang adalah private tour guide, jadi tidak ada salahnya 'kan kalau ia berinisiatif untuk 'membimbing' turisnya yang satu ini, yang kayaknya agak sedikit nyeleneh dibanding turis-turis yang ia layani sebelumnya.

Lagi lagi Win menengadahkan tangan, “give me your passport, biar kamu nggak keteteran nanti pas udah sampai di tempat penukaran.”

Dengan semangat, Bright mencari paspor miliknya dan memberikannya pada Win.

“Uhm, Win,”

Win yang baru saja hendak kembali melangkah, kini memicingkan satu alis tebalnya, “kenapa, Bright? Ada pertanyaan?”

Sambil mengangguk, Bright berkata, “can i hold your hand, again?”

“Biar gue nggak hilang, hehehe. Lo udah liat sendiri 'kan, gue anaknya agak nyeleneh. Gue nggak mau nyusahin lo aja, kalau pahit-pahitnya gue hilang di bandara, nanti lo juga yang repot, hehehe.”

Benar juga sih, kayaknya semakin malam Bright memang semakin jadi nyeleneh. Pasalnya, beberapa waktu lalu, pemuda itu masih bersikap dingin dan cuek. Tapi baru-baru ini, pemuda itu berubah jadi sedikit ceria dan banyak omong.

Win jadi bingung sendiri, kenapa Mike nggak pernah bilang kalau Bright bisa membelah diri dari segi sifat seperti ini?!!

Tidak mau membuang-buang waktu karena hari semakin beranjak malam dan sayangnya Win sama sekali belum makan karena menunggu kedatangan si turis eksklusif ini, kepalanya lambat laun mengangguk, mengiyakan.

“Thanks, Win!”

Lalu dalam hitungan detik, Bright langsung menggamit lengan kiri Win sedangkan tangan kirinya sibuk menarik koper yang rodanya kembali berputar dan bersuara mengiringi langkah kaki mereka malam itu.

. . .

“Oke, ini access card kamar kamu, dan kamu bisa masuk ke dalam sekarang, terus istirahat. Besok pagi saya akan datang ke sini lagi, kita diskusi soal lokasi-lokasi di sini dan kamu bisa pilih tempat mana aja yang mau kamu datangi.”

Ujung sepatu musim dingin yang dipakai Bright baru saja berhenti tepat di sebuah pintu kamar hotel berbintang 4ㅡ dengan nomor 221.

Bright menoleh, “nggak mau masuk dulu, Win? Istirahat sebentar, mungkin? Atau nginep sekalian, it's almost midnight anyway,”

Yang ditanya menggeleng singkat, “dormitory saya nggak begitu jauh dari sini. It's okay, masuk gih, it must be a long day for you.”

Jelas… sangat-sangat longggg day! Perjalanan dari Indonesia menuju Hokkaido bukanlah perjalanan singkat yang biasa ia lakukan seperti agenda short escape-nya dari Jakarta menuju Bandung, atau dari Jakarta menuju Jogja. It took so long, sampai-sampai kakinya baru terasa pegal di jam segini. Rasa lelah juga mulai menggerayangi tubuhnya yang sesekali menggigil kedinginan.

Win tersenyum melihat Bright yang masih kesusahan beradaptasi dengan suhu minus di Hokkaido. Rasanya… seperti melihat kembali dirinya sendiri di bulan-bulan pertama ia memantapkan hati untuk meneruskan pendidikan di salah satu universitas yang ada di sini.

Tangannya terangkat mengusap pelan lengan kanan si turis, “penghangat ruangannya jangan lupa dinyalain. Kalau kamu nggak sanggup mandi malam ini, nggak apa-apa, bersih-bersih seadanya aja.”

“Oh iya, satu lagi,”

Semakin malam, Bright semakin dibuat menggigil. Kesotoyannya akan dugaan kalau Hokkaido tidak akan sedingin apa kata orang-orang, nyatanya mampu membungkam mulut pemuda itu untuk menahan gemeletuk yang bisa mempermalukan dirinya sendiri di depan si pemandu wisata.

Bright cuma bisa membalas ucapan Win dengan satu mata yang memicing, mempersilakan pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya.

“Biasanya, di hotel ini disediain sleep robe hangat yang bisa kamu pakai buat tidur. Tidurnya usahain pakai jaket yang lebih tebal daripada yang kamu pakai sekarang, terus yang paling penting ya itu… heater nya jangan sampai lupa kamu nyalain.”

Bright cuma bisa mengangguk pelan. Kepala dan lidahnya terasa kelu, sulit untuk merespon nasihat yang diucap Win untuknya.

Satu kali lagi Win mengelus lengan Bright yang terbalut sebuah jaket, “good night, see you tomorrow.”

Tidak mau terlihat sombong dengan tidak membalas ucapan selamat malam dari Win, Bright memaksakan diri untuk membuka belah bibirnya. Susah payah ia menahan dinginnya udara sambil berusaha menyuarakan kata-katanya,

“Thank you for accompanying me today, Win. See you tomorrow dan hati-hati di jalan.”

. . .

Nyatanya, hari ke-2 Bright di Sapporo tidak semulus yang diharapkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang waktu setempat ketika kelopak matanya perlahan-lahan terbuka menyambut cahaya. Sambil berusaha mengumpulkan nyawa, Bright merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit dan pegal luar biasa. Kakinya bergerak serampangan di balik selimut, hasrat untuk melanjutkan tidur seketika meningkat ke level yang jauuuh lebih tinggi.

Tok… Tok… Tok…

Suara ketukan di pintu bahkan tak diindahkannya. Bright malah menarik selimut untuk kembali menutupi seluruh tubuhnya, dari ujung kaki sampai kepala. Tubuh sepanjang 183 sentimeter itu menggulung malas di atas ranjang.

Tok… Tok… Tok…

Ah, buat apa Mike pagi-pagi datang ke apartemennya? Mau numpang sarapan lagi? Harus berapa kali Bright bilang, kalau apartemennya bukanlah warteg umum yang bisa Mike singgahi kapanpun pemuda itu kelaparan?!!

Tok… Tok… Tok…

“MIKEEEEE!!! GUE MASIH NGANTUK ANJINGGGG!!!” Meluap sudah kesabarannya.

Mau nggak mau Bright kembali memaksa sepasang kelopak matanya untuk terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat gorden kamar cukup membuat ia tersadar kalau hari sudah beranjak siang.

Tunggu, tunggu. Ini bukan kamarnya.

That sudden realization sukses membuat Bright mengubah posisinya menjadi duduk dengan rasa panik yang membuncah. Matanya menelisik ke segala arah, dan berhenti pada sebuah koper hitam yang ada di bawah meja, di sudut kamar.

Fuck, he's faaaaar away from home, Bright baru ingat kalau ia sedang melarikan diri ke negeri orang.

Tok… Tok… Tok…

Aduh, siapa sih yang jam segini ngetuk-ngetuk pintu kamarnya?

“Aduh, kalau petugas hotel gimana ya… Gue nggak ngerti bahasa Jepang. Kemarin aja yang jadi juru bicara dadakan 'kan siㅡ Win, wait! wait! wait! Jangan-jangan itu Win.”

Sambil grasak-grusuk sana-sini, Bright mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, di samping ranjang. Ibu jarinya bergerak cepat di atas layar, membuka salah satu ruang obrolan yang berhasil menjawab rasa penasarannya kali ini.

Win (tour guide): • Bright, saya on the way ke hotel ya… • Kamu mau breakfast di resto hotel atau coba keliling di sekitar hotel, biar saya temenin • Bright, kamu belum bangun? Saya sudah di depan kamar kamu… • What a great night then, Sir. Happy to know that you're sleeping well. Saya turun dulu kalo gitu, takutnya kamu kelewatan jam breakfast hotel jadi saya mampir ke minimarket buat beliin kamu sarapan, okay? • Will be there in 20! • Bright, belum bangun?

Bubble chat terakhir terkirim sekitar 7 menit lalu. Cepat-cepat Bright menendang selimutnya sampai jatuh ke lantai, lalu beranjak turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu kamar.

Sudah tidak bisa berpikir jernihㅡ kombinasi jetlag, ngantuk, antusias, membuat Bright acuh dengan penampilan bangun tidurnya yang ugh, agak berantakan.

Pemuda itu membuka pintu kamar hotel perlahan-lahan, dan eksistensi Win dengan dua plastik besar di tangan kiri dan kanannya menjadi pemandangan indah pertama yang ia lihat hari itu.

Win tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat Bright yang seperti orang linglung. Rambutnya berantakan, beberapa garis terjiplak mulus di wajahnya, bibir bawah yang sedikit mencebik entah apa tujuannya, berhasil meyakinkan Win kalau si turis nyeleneh ini benar-benar baru bangun dari tidurnya.

“Good morning, Sir.” sapanya.

Bright turut membalas senyum Win, sambil membuka pintu lebih lebar lagi, “pagi, Win. Masuk, masuk.”

Keduanya pun melangkah memasuki kamar hotel yang ditempati Bright untuk 13 hari ke depan. Win berjalan lebih dulu, dan Bright mengikuti di belakang.

“Laper banget, Bright, sampai kamu nyeduh ramen lagi semalem?”

ANJRIT, Bright baru sadar kalau kamar hotelnya agak terlihat seperti kapal pecah; sampah ramen di atas meja, beberapa bungkus snack dan botol susu berserakan dimana-mana, aduh… pagi-pagi udah mempermalukan diri sendiri aja sih lo, Bright?!!

“Ya ampun sori, Win, sori. Semalem gue kedinginan banget tuh, ya udah gue inisiatif aja nyari hangat dari kuah sama uap ramen, terus karna kepedesan ya gue lanjut minum susu deh tuh empat botol. Semalem gue juga nggak langsung bisa tidur, jadinya gue nonton film sambil ngabisin sisa jajanan yang ada di tas gue.”

Bright langsung tancap gas untuk membereskan kekacauan yang ia sebabkan seorang diri. Mulai dari memungut bungkus-bungkus snack dan botol susu, lalu membuang sampah bekas ramen ke tempat sampah.

Win cuma bisa maklum dengan kondisi Bright sekarang. Sudah ia bilang, Bright ini persis dirinya ketika 5 tahun silam memutuskan untuk menetap di Hokkaidoㅡ masih kaget, masih bingung.

Lalu Win melangkah menuju meja yang sudah bersih, meletakkan plastik belanjaan yang dibawanya di sana.

Sambil menunggu Bright merapikan ranjang, Win mengeluarkan beberapa makanan dari dalam sana.

“Kamu udah kelewatan jam breakfast hotel. Perutnya diganjel dulu pakai ini, nggak apa-apa ya?”

Bright yang tengah sibuk menarik sprei putih, menyempatkan waktu untuk melirik Win yang sedang menata beberapa makanan di meja. Bright juga bisa melihat ada the iconic onigiri di sana.

“Waduh, Win, jadi ngerepotin gini. Sori, ya...”

“Mana ada ngerepotin, lagian Mike juga udah bilang kalau kamu emang langganan bangun siang. Jadi nggak heran deh, walaupun lagi nggak di rumah sendiri, kebiasaan yang satu itu akan tetep kamu bawa kemana-mana, because i do, hahaha.”

Bright yang sedang melipat selimut pun mulai tertarik dengan obrolan pagi mereka, “lo juga langganan bangun siang? Kok sekarang bisa bangun pagi?”

“Because i have work to do? And it's being your private tour guide.”

Setelah selesai dengan urusan ranjang yang berantakan, Bright kini melangkah menghampiri Win yang sedang melipat plastik bekas tempat belanjaan. Matanya seketika berbinar dan cacing-cacing di perutnya mendadak menggelar konser akbar begitu ia lihat ada 6 onigiri, 3 rice box berisi ayam katsu mayonaise dan saus keju, juga beberapa botol kopi, susu dan yoghurt tersaji di atas meja.

Ada juga beberapa bungkus makanan ringan di sana, “ini semuanya buat gue, Win?”

“Nggaaaaak,” Win mengambil dua onigiri lalu menggenggamnya agak kuat, “yang dua ini punya saya, sama yoghurt stroberi ini, ” satu botol yoghurt pun juga langsung diambil alih oleh si pemandu wisata, “punya saya juga. Saya belum sarapan, hehehe. Karna mikirnya harus bawa kamu keliling dari pagi setelah breakfast, jadi pagi-pagi banget saya berangkat dari dormitory ke sini.”

Aduh, gue jadi nggak enak hati... Win, sudah pakai effort penuh untuk bangun pagi dan datang ke sini, sedangkan dirinya malah tidur dengan nyenyak dan baru bangun di jam segini.

Entah disadari atau tidak, Bright mengangkat tangan kirinya dan mengelus lembut punggung tegap Win, “sekali lagi maaf ya, hari kedua berantakan banget.”

Entah disadari juga atau tidak, Win langsung membalas ucapan Bright barusan dengan anggukan tanpa meminta pemuda itu untuk berhenti mengelus punggungnya.

“Sisanya boleh buat kamu. Berhubung saya nggak tau kamu sukanya rasa apa, jadi untuk onigirinya saya beli masing-masing rasa ada dua. Yang ini isi tuna, yang satunya isi ayam, the most sold out flavors here, hahaha.”

Bright hendak mengambil satu bungkus onigiri dengan varian rasa ikan tuna, tapi gerakannya terpaksa berhenti karena ada tangan lain yang menahan.

Kepalanya menoleh menatap Win, “oh, yang ini punya lo juga? Okayㅡ”

“Enggak, bukan,” jawaban Win semakin membuat Bright memicingkan mata, ada perasaan bingung yang ikut singgah, “kamu mandi dulu sana, biar seger terus sarapannya juga nggak sambil nahan ngantuk.”

“I will wait here, go go go!”

Aduh, Mike kok nggak pernah bilang kalau punya temen… selucu ini?!!

. . .

“Kayaknya hari ini nggak usah kemana-mana dulu deh, Win,”

Win yang semula sedang sibuk memainkan ponselnya sambil duduk di atas sebuah bangku yang menghadap langsung ke arah balkon hotel, secara spontan menoleh untuk melihat Bright yang baru saja keluar dari kamar mandi… dengan penampilan yang mampu membuat dirinya kesusahan menelan ludah sendiri.

Win, kaget. Kaget banget, gila! Oke, siapa yang nggak bakalan kaget kalau tiba-tiba disuguhkan pemandangan tubuh semampai nan polos dengan handuk yang melilit di bagian pinggang sampai ke lutut. Oke, oke, ini point yang lebih parah lagi; buliran-buliran air kerap mengalir membasahi wajah sampai ke lehernya. Surai hitam masih tampak setengah basah, lalu si empunya tubuh dengan santainya sambil bersiul ria melangkah melewati Win, menuju koper yang disimpan di bawah meja.

Bright berjongkok di sana, mengobrak-abrik isi kopernya, melempar beberapa pasang baju secara serampangan ke atas ranjang.

Kepala Win menggeleng dengan sendirinya, “dia sadar nggak sih, gue ini orang asing buat dia???” STRESSSSS, Win cuma bisa bertanya-tanya dalam hati, karena kelihatannya Bright belum ada inisiatif untuk sadar diri kalau pemuda itu tidaklah sendirian di dalam kamar.

“Badan gue masih agak sableng sedikit nih, Win, kepala gue juga rada pusing, kayaknya emang gue kampungan banget nggak bisa adaptasi cepet sama suhu di sini,”

Masih asik mengacak-acak kopernya, masih asik melempar beberapa potong pakaian dalam ke atas ranjang, “oh iya, karna berarti hari ini kita nggak bakalan kemana-mana, gue boleh pakai piyama aja, Win?”

“Bright,” akhirnya Win buka suara.

Yang dipanggil pun menyempatkan waktu sesaat untuk menoleh ke arah Win, satu alisnya bertaut naik, “yes?”

“Kamu nggak kedinginan, telanjang begitu keluar dari kamar mandi?”

Hehehe, tawa kecil keluar dari belah bibir sintal Bright, lantas sambil menggaruk canggung pelipis kirinya, ia menyahut, “dingin, banget, hehehe...”

“Tapi tadi gue lupa bawa baju ke kamar mandi, terus ya, terus.. gue nggak mau keliatan norak banget kalau menggigil gemeteran di depan lo, malu abis...”

Win mendesah berat, aduh, aduh, emang deh pride cowok tuh nggak yang bisa ngalahin!

Lalu tanpa pikir panjang, Win beranjak dari bangku yang sejak tadi ia duduki selagi menikmati brunch sambil menunggu Bright mandi, kemudian melangkah menuju sebuah lemari yang letaknya ada di sudut ruangan.

Bright tidak bisa menduga-duga apa yang sedang Win lakukan, bahkan ia pun baru sadar kalau ada lemari di sana. Masih dengan posisi berjongkok di depan koper miliknya, Bright terus memandang setiap pergerakan si pemandu wisata pilihan Mike itu, sampai Win akhirnya berbalik dengan sebuah bathrobe berwarna putih di tangannya.

“Bright, di dalem sini ada bathrobe sama sleep robe,” Win melangkah menghampiri Bright sambil membuka lipatan demi lipatan kain handuk yang dipegangnya, “kayaknya semalam saya udah bilang ke kamu, deh, kalau hotel ini nyediain sleep robe dan kamu bisa pakai itu selama kamu nginep di sini.”

Win mengulurkan tangannya di depan Bright, menunggu pemuda itu untuk segera mengambil alih bathrobe di tangannya, “kalau kamu buka lemari itu, kamu bakalan nemuin satu pasang sleep robe dan satu pasang bathrobe, nih ambil,” sambungnya.

Bright yang lagi dan lagi nggak tau harus menyembunyikan kesialannya juga rasa malu yang tiba-tiba menyeruak di tengah percakapan keduanya pun cuma bisa garuk-garuk kepala sambil cengengesan.

Pemuda itu lantas berdiri dari posisi berjongkok, nyaris membuat lilitan handuk yang melingkari pinggangnya lepas karena terlalu banyak gaya. Lalu diambilnya bathrobe tersebut, “gue kayaknya teler banget semalem, Win, udah nggak nyambung sama kata-kata lo… Sori, ya?”

Kepala Win mengangguk pelan, “understandable, mata kamu juga udah lima watt banget pas kita dinner kemarin.” Lalu fokusnya ia alihkan ke sudut ruangan yang lain, memastikan kalau Bright tidak melupakan nasihatnya yang satu itu.

“Glad that you didn't forget about the heater.”

Itu dia, itu point yang paling penting. Kalau Bright lupa menghidupkan mesin penghangat ruangan, Win bisa jamin kalau si turis akan mengawali hari sebagai pasien di UGD rumah sakit.

Win baru saja hendak mengembalikan atensinya pada Bright, tapi satu kali lagi… ia dibuat nyaris terperanjat. Satu lagi pertanyaan klasik, siapa sih yang nggak kaget kalau tiba-tiba disuguhkan pemandangan half-bugil di depan mata?!!

Bright dengan santainya sedang menarik celana tidur yang masih menyangkut di batas paha, bagian atas tubuhnya terekspos bebas. Bathrobe yang tadi diberikan Win sudah tergeletak pasrah di atas ranjang.

Dalam hati, Win meringis, kenapa sih… Mike nggak pernah bilang kalau temennya se-absurd ini?!!

Ya sudah, mau diapakan lagi. Pada akhirnya Win pun harus menelan bulat-bulat segala rasa terkejutnya dan membiarkan turis eksklusif itu mulai memakai atasan. Kakinya sengaja ia bawa ke arah meja, mempersiapkan makanan yang akan disantap oleh Bright setelah ini.

Satu onigiri tuna, satu rice box chicken mayonnaise, dan juga satu kaleng kopi kemasan. Win membuka segel dan penutup rice box, pun juga membuka segel kaleng agar Bright bisa langsung menikmatinya.

“Sekarang kamu habisin ini dulu, udah saya siapin ada satu rice box ayam mayonaise sama satu kaleng kopi. Onigirinya buat makanan penutup, okay?”

Untungnya, Bright sudah selesai memakai baju, jadi Win nggak perlu repot-repot lagi untuk sport jantung. Bright yang memang sudah lapar puuuolll pun langsung melangkah mendekati Win.

“Sisanya saya simpen di kulkas mini ini,” kata Win sambil menunjuk sebuah kulkas kecil di samping meja, “rice box nya bisa kamu hangatin lagi pas nanti kamu mau makan sore atau malam.”

“Oh iya, hampir lupa,” cepat-cepat Win meraih sebuah tas jinjing miliknya yang disimpan di meja dekat lemari, kemudian mengambil sebuah paper bag berukuran sedang dari sana.

“This is for you,”

Sebuah jaket dengan aksen bulu-bulu sebagai pelengkap yang memang didesain khusus untuk digunakan saat musim dingin. Bright belum menerimanya, masih menatap jaket itu dari jarak yang cukup jauh.

Satu alisnya memicing, “jaket gue 'kan masih ada, Win. Itu juga paling tinggal nunggu kering biar bisa dipake lagi buat besok kita keliling Sapporo. Gue punya waktu seharian untuk jemur jaket gue di depan mesin heater, santai aja boss, no need to worry.”

Tapi Win enggan menuruti kata-kata Bright. Pemuda itu malah meletakkan jaket beserta paper bag dengan nama toko yang tertera di sana, lalu kembali menuju meja, “you go eat first, setelah itu kita diskusi soal tempat-tempat yang mau kamu datengin selama di sini.”

Oke, tampaknya Win mulai jengah dengan segala tingkah laku Bright yang agak sedikit susah diatur. Padahal, belum genap 2 hari mereka bertemu, tapi entah kenapa Bright merasa oke oke saja untuk menjadi dirinya yang apa adanya di depan si pemandu wisata.

Entah karena doktrin yang disuntikkan Mike di otaknya, kalau Bright bisa menganggap Win sebagai seorang teman yang mewarnai short escape-nya selama di Jepang instead of looking at him as a tour guide, atau memang pada dasarnya saja mereka sudah sama-sama nyambung satu sama lain.

Ah, nggak tau lah. Belum dua hari woooyyy, masa udah mau langsung making conclusion, sih?! Rutuk Bright dalam hati.

Pada akhirnya Bright pun menurut. Pemuda itu yang tanpa sadar masih menggigil beberapa kali, mengambil posisi duduk pada sebuah bangku di depan meja. Tangannya meraih sumpit yang sudah dibuka dan dipersiapkan oleh Win, lalu mulai menyantap sesuap demi sesuap nasi beserta ayam katsu yang diselimuti mayonaise.

Sedangkan Win ikut mengambil posisi duduk pada sebuah bangku yang ada di samping meja. Tubuhnya menyerong menatap Bright yang tampak sangat menikmati menu brunch-nya itu.

“Gue baru tau,” meski mulutnya masih dipenuhi makanan, Bright kayaknya nggak mau kehilangan kesempatan untuk membangun momen di tengah-tengah kesempitan, “kalau kenikmatan dari makanan itu emang paling enak pas dimakan di tempat asalnya.”

Satu suapan lagi baru saja masuk ke dalam mulut Bright, “makanan kayak gini 'kan banyak di minimarket-minimarket di Indonesia, dan menurut gue yang emang agak sedikit pemilih when it comes to foods, punya mereka udah bisa dibilang enak. The bestest food to eat when you're hungry at the most kepepet dan bingung mau makan apa times.”

“Tapi ternyata ada yang lebih enak di atas standard yang menurut gue udah enak,”

Bright memasukkan satu suap nasi lagi ke dalam mulutnya, “ini, asli punya Jepang emang yang paling enak, valid. You can't say otherwise.”

Melihat Bright menyukai menu makanan yang ia pilih, Win pun tak kuasa untuk menahan senyum. Pemuda itu menganggukkan kepalanya singkat, “syukurlah kalau ternyata lidah kamu masuk sama taste lidah Japanese. There's still lots of food you should try once we're finally going outside tomorrow.” balas Win.

“Ramen juga banyak kan di Indonesia, but you should try at least once Sapporo's ramen. They're the best of the best, i can guarantee.”

Sambil menikmati makanannya, Bright menyahut, “oh ya?”

Win mengangguk penuh antusias, “besok saya ajak kamu ke kedai ramen favorit saya.”

“Your favorite?”

“Yes,” tiba-tiba rasa bumbu dari kuah ramen yang biasa ia makan bersama teman-teman kuliahnya terasa di ujung lidah, “my favorite all the time.”

Dan Bright tidak lagi menimpali. Pemuda itu memilih fokus untuk menghabiskan rice box nya, lalu ditutup dengan menenggak kopi beserta onigiri yang sudah menanti.

Atensi Win ikut teralih ke arah balkon. Matahari sudah pada posisi mutlaknya di atas langit, namun kekuatan sinar nyatanya tak cukup mampu untuk menyalurkan kehangatan karena semakin siang, justru udara semakin dingin.

Ngomong-ngomong soal suhu udara, Win jadi teringat sesuatu.

“Bright, kalau kamu mau ngejemur jaket kamu yang basah kemarin, langsung jemur di balkon aja nggak usah dipaksain di depan heater.”

Yang bener aja, Win??? Lagi turun salju begini, masa iya jemur baju di balkon?!!

Merasa kalau otaknya tidak sebodoh itu, Bright pun mengelak dengan tawa kecil, “yang ada malah tambah lembab nggak sih? 'Kan lagi turun salju begini, Win…”

Oh iya, Win nyaris lupa kalau Bright terbiasa dengan iklim tropis yang jelas jauh berbeda dengan iklim di sini.

“Justru di sini jemuran tuh bakalan lebih cepet kering pas lagi musim dingin begini, Bright.”

Kedua bola mata Bright membulat tak percaya, “masa iya?! Kok bisa??? Ilmu dari mana anjir semakin dingin udara semakin jemuran cepet kering???”

Bright jadi sangsi sendiri, ini gue lagi dikerjain karna gue agak keliatan planga-plongo apa gimana, sih?!

“Yaaah, dia nggak percaya,” tubuhnya secara mendadak berdiri, melangkah menuju ranjang untuk mengambil jaket yang memang sengaja Win beli untuk Bright, “pokoknya kamu jemur jaket kamu yang basah kemarin di balkon. Terus untuk hari ini, kamu pakai yang ini dulu. Baru dibeli tadi pagi sih, but it's fine for you to wear it now.”

Bright memandang jaket yang terulur di hadapannya. Sedikit banyak bertanya-tanya, kenapa Win harus repot-repot membelikan jaket untuknya?

“Nggak usah overthinking gitu deh,” Win meletakkan jaket itu di atas paha Bright, “mungkin karna kamu kecapekan semalem, jadi kamu belum sadar kalau di sini tuh dingin banget. Kamu nyadar nggak sih, itu bibir kamu gemeteran?”

Hah? Masa iya??! Cepat-cepat Bright mengatupkan bibirnya dan ya, benar, bibirnya bergerak-gerak kecil sampai deretan gigi di dalam ikut bergemeletuk.

Win membuka pintu kulkas mini, mengambil sebotol yoghurt strawberry dari sana. Pemuda itu kembali duduk di bangkunya, menyerong menghadap Bright yang juga sedang menenggak kopi miliknya.

“Oke, Bright, jadi hari ini kamu mau me time aja, ya? Berarti saya izin pulang begitu kita selesai ngobrol soal lokasi-lokasi yang mau kamu datengin selama di sini.”

Bright menganggukkan kepalanya, “iya, kayaknya nyawa sama badan gue masih agak kepisah gitu deh, rasanya masih capeeeek banget, even showering didn't help,”

“Alright, oke deh, kalau gitu sekalian saya bahas sekarang aja ya, biar kamu bisa cepet istirahat lagi setelah ini.”

Bright tidak langsung menjawab, tapi ia memberi waktu bagi Win untuk menjalankan pekerjaannya sebagai seorang tour guide.

Sambil menikmati kopi di tangannya, Bright diam-diam memerhatikan Win yang sedang merogoh sling bag berwarna hitam miliknya. Hingga sepersekian detik kemudian, sebuah kertas brosur berukuran A5 turut hadir di atas meja.

“The flyer is fully written in english because i usually worked for foreigners, tapi untuk ngejelasin ke kamu sekarang, saya akan pakai bahasa negara kita aja, is that okay?”

“Atau, kamu mau saya jelasin pakai bahasa Jepang?” sambung Win, yang langsung dibalas dengan kerlingan jengah kedua mata Bright.

Win terkekeh, dirinya sendiri bingung apakah situasi mereka kali ini bisa disebut sebagai bonding time? Kalau iya, buat apa mereka bonding? Ain't they're strangers after all? Dan kalau nggak bisa disebut bonding, kayaknya mereka agak sedikit sudah melewati batas antara seorang pemandu wisata dengan turisnya.

Imagine you're watching your customer's almost half-naked body with a towel on, bought foods for them and having meals together right here (in his room), then talk in a very very very informal way… that's not how Win usually does his job.

Sedikit banyak Win juga sebenarnya nggak menyangka, kalau mereka akan nyambung secepat ini. Sifat dingin Bright yang kemarin sempat ia temui di bandara pun, rasanya menguap dan hilang entah kemana.

Yang ada hanya Bright, dengan segala tingkah nyelenehnya.

“Lo biasanya nge-guide kemana aja, Win? Ini semuanya pasti lo datengin?” isi dari brosur yang diberikan Win mulai menarik perhatian Bright. Pasalnya, ia tidak begitu tahu-menahu tentang seluk beluk negara Jepang, apalagi kali ini tujuannya adalah kepulauan Hokkaido yang sangat jauh dari pusat kota negeri sakura itu.

Bright juga tidak begitu perduli dengan perjalanan 'kabur'-nya selama 14 hari ini, pemuda itu hanya ingin mencari bebas dan ruang untuk bernafas, melepas penat yang sudah berhari-hari mengurung perasaan juga ruang geraknya.

Bright, bahkan dengan konyolnya harus meminta bantuan Mike mengobrak-abrik lemari di kamar apartemennya demi mencari jaket yang sekiranya layak untuk dipakai selama di Jepang. Oke, katakanlah dirinya naif, tapi Bright memang merahasiakan rencana liburannya ke Jepang dari sang sahabat karena rencana awal adalah; ia akan berlibur bersama si mantan kekasih.

Tapi sayang, hubungan mereka kandas sebelum bulan keberangkatan tiba. Jadi, terpaksa, Mike harus tahu… karena Bright melupakan fakta kalau Hokkaidoㅡ wilayah tujuannya, ternyata sudah memasuki musim dingin.

Dan dengan tak kalah konyol, Mike malah mengambil kesimpulan kalau Bright ingin menyembuhkan patah hati dengan cabut ke Jepang, dan Bright cukup malas untuk memberikan klarifikasi.

Sebuah gumaman pelan terdengar meluncur dari ranum merah muda Win, “karna sebenernya bisnis trip saya ini ya, bisnis official. Kami punya kantor yang menaungi semua pemandu wisata, and mostly are students like me.”

“Jadi, bisnis trip kami menyediakan pilihan tour yang fleksibel dengan permintaan klien, tapi biasanya sih untuk tujuh hari enam malam, atau delapan hari tujuh malam dan sisanya mereka mau jalan-jalan sendiri dan kebetulan karna saya masih dianggap junior di kantor, saya kebanyakan handle trip untuk keluarga atau kelompok skala kecil and yes, we are going to all of the places there.”

“Tapi karna case kamu adalah single trip dan saya jadi private tour guide kamu, jadi kamu bisa milih tempat mana aja yang mau kamu datengin. Dan untuk harinya, kamu juga bisa milih mau kapan aja, it's all on you.”

Satu alis Bright bertaut, atensinya beralih dari kertas brosur menuju Win, “kok jadi fleksibel ngikutin kemauan gue? Emang nggak diatur sama kantor?”

“Enggak,” kepalanya lantas menggeleng pelan, “it's my private job as well, kebetulan saya memang lagi ambil cuti karna bulan depan ada ujian dan Mike ngehubungin saya mendadak tiga hari sebelum kedatangan kamu ke sini.”

Hm, Bright jadi agak dibuat bingung dengan sistem liburannya kali ini. Pasalnya, ia memang berniat liburan seorang diriㅡ setelah hubungannya kandas, tapi Mike dengan segala ide ajaibnya malah menyuruh Bright memakai jasa Win sebagai pemandu wisata pribadi. Biar nggak nyasar, biar nggak aneh-aneh, soalnya orang kalo lagi patah hati suka error dikit otaknya, begitu kata Mike ketika mengantarkannya ke bandara Soekarno-Hatta.

“Hm, Win,”

Kali ini, Bright terdengar serius dengan intonasinya yang seolah meminta perhatian. Win menyahutinya dengan sebuah anggukan.

“Sebenernya gue dateng ke sini selain karna emang mau nyari suasana baru sekalian healing, gue juga mau pakai jatah tiket yang udah terlanjur gue beli sekitar tiga atau bulan lalu, nggak tau tepatnya kapan, gue lupa.”

Oh? Jadi sebenarnya Bright memang sudah merencanakan perjalanan ini?

“Oke, terus kenapa Mike baru ngehubungin saya mendadak tiga hari sebelum kamu berangkat ke sini?”

Bright terkekeh kecil, “ya karna dia juga baru tau kalau gue mau ke Jepang pas nggak sengaja dia mergokin koper gue di ruang tengah apartemen.”

“Tadinya gue sengaja nggak mau ngasih tau dia sama temen gue yang lain kalau gue mau ke sini, karna emang the exact plan was that i and my ex supposed to come here together to celebrate our anniversary in a few days, tapi sialnya kami malah putus di tengah jalan. Tiket buat dia, dia yang pegang dan tiket buat gue yang berhasil bawa gue sampai ke sini, duduk di depan lo sekarang.”

Jadi, Bright datang ke sini karena sudah terlanjur beli tiket? And he supposed to enjoy Sapporo along with his ex?

“Poor you, i am so sorry it happened to you, Bright.”

Alih-alih sedih, Bright justru mengulas senyum sambil satu kali menenggak kopi dari dalam kaleng. Kepalanya mengangguk singkat, “i am totally okay, dan mumpun ada momennya, sekalian aja gue bablas terbang sendirian ke sini.”

“So, that's why Mike agak sedikit panik pas nitipin kamu ke saya, dan itu juga alasan kenapa Mike ngehubungin saya tiba-tiba?”

“Yes, kind of,”

“Oh iya, Win, terus soal bayaran gimana ya? Mike belum ada bahasan soal ini dan gue emang nggak ada niat pakai tour guide dari awal, so how do i send you the money?” sambung Bright.

Win mengetuk-ngetuk ujung jarinya di atas meja, “it's a free then? Karna saya juga lagi nggak dalam masa wajib tugas, Mike minta tolong ke saya sebagai seorang teman, so how about you call it an exclusive holiday with a special friend?”

“Special friend?”

“Yes,” Win menjeda ucapannya sambil tertawa kecil, “Me.”

“Your most unexpected friend who will be by your side during your fourteen days in Sapporo?” sambung Win.

Sedikit banyak Bright merasa beruntung, Win adalah sosok yang mudah mencairkan suasana, mampu memulai obrolan dan membangun komunikasi yang baik. Bahkan si pemandu wisata tak ragu untuk mengalamatkan dirinya sebagai seorang teman bagi Bright yang baru kali ini ia temui. Well, ucapan Win nggak sepenuhnya bisa ia bantah sih, selain satu kalimat yang tidak ia setujui sama sekali.

“Nggak bisa gratis gitu dong, Win. Lo bener-bener bantuin gue banget dari kemarin pas gue sampai di Chitose, dan hari ini lo bahkan nyamperin gue ke sini and see...” Bright menjeda ucapannya, atensi pemuda itu kembali pada sebuah rice box yang sudah kosong di atas meja. “You even bought me foods.”

“Then be my personal tour guide for real for these fourteen days, okay?”

Tapi sayang, Win malah menggeleng, “saya punya etika pekerjaan yang harus saya junjung tinggi, Bright. Saya masih dalam masa cuti dan kalau ketahuan rekan kerja saya yang lain karna saya bawa kamu keliling Sapporo, it would be a big problem for me. Anggap aja saya teman yang kebetulan tinggal di sini dan bersedia untuk nemenin kamu, kemanapun kamu mau.”

Aduuuuh, tapi gue yang nggak enak, Win???

“Atau gini deh,” Bright menarik bangkunya mendekat pada posisi Win, lalu mengangkat kertas brosur promotion Hokkaido tour pemberian pemuda itu, “oke fine, if it's about that gue nggak bisa ngelarang lo. Tapi gimana kalau misalnya i pay for your breakfast, lunch and dinner while we're together these fourteen days?”

“Bright, nggak usahㅡ”

Bright menggeleng kuat, “No, no, no. It's my responsibility to take care of yours too sebagai ganti lo nggak mau dibayar. Impas, 'kan?”

Kalau keduanya tetap saling bersikukuh, lantas siapa yang mau mengalah? Padahal, Win benar-benar ikhlas untuk tidak dibayar. Toh, jalan-jalan bersama Bright bisa mengisi waktu luangnya selama cuti menunggu jadwal ujian, right?

Tapi wajah si turis yang memelas memohon persetujuan pun akhirnya sukses membuat Win luluh. Pemuda yang kesehariannya sibuk kuliah sambil mengambil paruh waktu sebagai seorang pemandu wisata itu pun mengangguk ringan, “it's a yes then.”

“Okeeeee...” diam-diam Bright tersenyum tipis sambil kembali melirik kertas brosur di tangannya, “mau kemana kita besok?”

Keduanya pun mulai berdiskusi tentang lokasi-lokasi yang disarankan Win serta masukan-masukan dari Bright, seperti tempat apa yang bisa membuat pemuda itu merasa rileks dan nyaman, lalu berlanjut pada obrolan-obrolan ringan sampai Win akhirnya tahu soal hobby juga rutinitas si turis eksklusif.

“You will get lots of beautiful pictures once we're at Akarenga.” ujar Win.

Belum bisa membayangkan Akarenga itu seperti apa, Bright pun cuma bisa mengangguk sambil mengacungkan ibu jari, “let's see.”

. . .

“Taman ini membelah dan memisahkan kota Sapporo bagian Utara dan Selatan.”

Langkah dua pasang kaki yang memijak trotoar bersalju terus melaju menyisir sebuah taman besar yang letaknya ada di pusat kota, Taman Odori Sapporo namanyaㅡ Sapporo Odori Park.

Bright kerap kali kesusahan mengangkat kakinya yang terlalu sering nyaris terperosok ke dalam salju, dan Win selalu bersedia mengulurkan tangan untuk membantu si turis yang ternyata baru satu kali ini merasakan yang namanya berjalan di atas salju.

Karena sudah berkali-kali hampir jatuh, jadi ya, daripada harus mempermalukan diri sendiri di depan banyak pengunjung taman, Bright akhirnya dengan sepenuh hati menggamit lengan Win persis seperti saat keduanya baru bertemu di bandara Chitose kemarin.

Win, cuma bisa pasrah, membiarkan lengannya terus dipeluk erat oleh Bright, seraya bibirnya terus bergumam memberikan penjelasan singkat pada si turis tentang lokasi yang sedang mereka singgahi sekarang.

“Taman ini juga punya menara ala-ala menara Eiffel.”

Dinginnya suhu udara dan sulitnya berjalan di atas salju nyatanya tak mampu menghalangi niat Bright untuk mengagumi keindahan taman Odori ketika malam menjemput. Kata Win, taman ini akan terlihat seribu kali lebih cantik di malam hari karena akan ada cahaya lampu warna-warni yang menerangi di sepanjang jalan.

Dan benar saja, mata Bright benar-benar sedang dimanjakan oleh keindahan tersebut.

“Oh ya?” tanya Bright, yang sangat antusias mendengar kata demi kata keluar dari belah bibir Win.

Kepala Win mengangguk ringan, “namanya Sapporo TV Tower, kita butuh jalan sedikit lebih jauh untuk bisa sampai ke sana.”

“Okay, let's go there. I am gonna take a lot of pictures of if.”

“Nanti mau sekalian gue fotoin, Win? I am such a professional photographer for your information.”

Hahaha, nggak tahu kenapa, suara tawa Win mendadak punya magnet tersendiri di telinga Bright. It started since yesterday to be honest, ketika akhirnya mereka melanjutkan hari dengan bertukar obrolan seputar kehidupan perkuliahan, bagaimana bertahan hidup sendirian di Jepang juga agenda tak terduga dimana menonton serial Netflix akhirnya terlaksana sambil menjemput petang.

Win banyak tertawa kemarin, dan Bright berani bersumpah… cara Win tertawa; how his lips suddenly rose up, the way his eyes formed a crescent moon and those pair of red cheekies… it's so beautiful.

Wait, wait, tapi masa iya sih? Masa iya, Bright berhasil merasakan jutaan kupu-kupu imajiner kembali terbang di balik dadanya hanya dalam kurun waktu dua hari?

Apa ini yang namanya move on?

Nggak mungkin… Bright bukanlah tipikal player yang sehabis putus cinta akan langsung mencari pengganti.

Tapi, will Win be his first exception this time?

Atau… ini cuma efek bahagia sesaat yang singgah karena akhirnya ia punya teman ngobrol sedekat dan senyaman ini setelah perjalanan cintanya kandas?

Bright terlalu lama beradu argumentasi dengan pikirannya sendiri sampai ia tidak sadar kalau kakinya sudah dipaksa berhenti melangkah. Pemandangan sebuah menara dengan kelap-kelip lampu hias yang menyala, menyambut kedatangan Bright di salah satu tempat favorit yang ada di taman Odori.

Sapporo TV Tower…

Ini lah tempatnya. Tempat dimana akhirnya Bright merasakan jantungnya berdegup cepat, ketika matanya tak sengaja menangkap cantiknya bentuk mata dan bulu mata Win saat menatap lurus menara di depannya. Di bawah langit malam, dan di tengah keramaian, Bright berani mengakui satu hal, ia… tertarik pada si pemandu wisata.

. . .

Akarenga (Sapporo Red bricks), Sapporo Beer Museum, Moerenuma Park, Shiroi Koibito Park, lalu melipir ke Otaru dan menikmati indahnya malam di atas sebuah kanal bersejarah di sana, mampir ke tempat-tempat makan rekomendasi Win, menyantap ramen di sebuah kedai yang sudah jadi langganan si pemandu wisata, kemudian menikmati hari di pusat perbelanjaan Sapporo, tampaknya sudah cukup menguras energi Bright selama 12 hari ini.

Dan selama 12 hari di Sapporoㅡ Hokkaido, tidak ada satu hari pun terlewat tanpa kehadiran Win di kamar hotelnya.

Kalau Bright sedang tidak ada mood untuk keluar hotel, maka pemuda itu akan meminta Win untuk datang menemaninya melewati hari; sarapan bersama, makan siang bersama, tea time ketika sore bersama, lalu makan malam bersama.

Meskipun Bright hanya sibuk menonton serial Netflix, sedangkan Win beberapa kali terlihat serius dengan agenda belajarnya untuk menyambut ujian, Bright tetap merasa senang karena ada Win di sisinya.

Dan di hari ke-12 ini, lagi lagi Bright meminta Win datang ke kamar hotel. Semalam sudah ia sampaikan di ruang obrolan mereka berdua, kalau hari ini sampai dua hari ke depan, Bright tidak ingin pergi kemanapun.

Ia hanya ingin menghabiskan waktu di kamar hotel, bersama Win, walau keduanya akan disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Bright tidak perduli, yang penting ada Win di depan matanya, itu sudah jauh lebih dari sekedar cukup.

2 hari lagi, Bright akan kembali ke Indonesia.

2 hari lagi, akan jadi hari terakhir baginya untuk bertemu Win.

Dan Bright, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Selama 10 hari setelah mengakui perasaannya, Bright semakin dibuat kalang kabut karena nyatanya rasa deg-degan itu masih ada. Rasa bahagia ketika tangannya menggandeng Win, masih ada. Rasa malu ketika Win tertawa atas lelucon garingnya, masih ada.

Bright tidak mau terlarut apalagi tertipu oleh perasaannya kali ini, jadi ia putuskan untuk membuktikan semuanya sekarang.

Tepat di jam 7 malam, tanggal 21 Februari.

Bright akan membuktikan perasaannya, apakah ia benar-benar jatuh cinta secepat ini… atau kehadiran Win hanyalah sebatas distraksi atas luka lama yang belum sembuh seutuhnya.

Katanya, Win sudah dalam perjalanan. Menunggu kehadiran si pemandu wisata untuk mengetuk-ngetuk pintu kamar, rasanya tidak pernah semendebarkan ini.

Katakanlah Bright gila. Tapi berbekal bahan obrolan mereka tempo hari, Bright berhasil menemukan fakta kalau hari ini adalah hari ulangtahun Win.

Dan Bright mau memberikan kesan romantis untuk pemuda yang ia rasa sudah berhasil menghuni sebagian tempat di dalam hatinya itu.

Malam ini Bright terlihat sempurna dengan balutan celana jeans tebal dan sebuah jaket pemberian Win yang melekat pas di tubuhnya.

Lampu kamar sudah dalam keadaan mati. Hanya ada cahaya kecil yang berasal dari lilin yang menyala di atas kue tart yang siang tadi Bright beli di sebuah toko kue di dekat hotel.

Jantungnya berdegup cepat, kakinya terasa lemas, gugup menanti kehadiran Win yang entah akan memberikan respon seperti apa begitu pemuda itu melihat semua kejutan yang ia siapkan.

Bright mondar-mandir di depan ranjang, dalam diam menghitung mundur sampai sekiranya terdengar suara ketukan di pintu kamar.

“Duh, bakalan digampar nggak ya gue kalau tiba-tiba bilang suka ke dia?”

“Lagian aneh banget sih gue… aneh banget, fix aneh paling aneh sedunia kenapa bisa naksir sama orang asing dalam hitungan hari? Gue rasa gue bukan lagi cuma sekedar aneh, tapi gue gila... ya, bener, pasti gue udah gila.”

“Tapi kalau gue nggak coba hari ini ya, mau kapan lagi??? Dua hari lagi gue balik… it's probably gonna be our last meeting. Fuck,”

Tok… tok… tok…

Dalam hati Bright berteriak, ANJRITTTT UDAH DATENG??? CEPET AMAT???

Terlalu sibuk panik sendiri, Bright sampai mengabaikan ketukan di pintu yang semakin lama semakin keras. Bahkan Win beberapa kali memanggil namanya, tapi Bright seolah-olah malfungsi mendadak.

Panik, gugup, excited, takut, semua berkolaborasi jadi satu menciptakan kelumpuhan mendadak yang terjadi pada semua organ tubuhnya. Bright menatap ke arah pintu dengan ragu, haruskah ia beranjak sekarang?

“Bright hey, are you there?”

Aduh, gimana, nih…

Tok… tok… tok…

“Bright?”

Bright menghela nafas panjang, lalu terdiam sebentar. Setelah dirasa nyalinya sudah berkumpul, pemuda itu pun memantapkan langkah menghampiri pintu. Tangannya menggenggam daun pintu kuat-kuat, kemudian dengan perlahan ia turunkan benda tersebut.

Lalu dibukanya pintu itu, menampilkan ekspresi bingung di wajah Win sesaat setelah pemuda itu menyadari kamar dalam keadaan gelap.

“Bright?” Salah satu alisnya bertaut naik, matanya menelisik kondisi kamar lalu melirik lorong hotel yang tampaknya tidak mengalami pemadaman listrik. “Lampu kamar kamu bermasalah? Saya ke bawah dulu kalau gitu, buat konfirmasi ke pegawai hotel.”

Win baru saja akan berbalik untuk beranjak menuju lift, tapi Bright lebih dulu meraih pergelangan tangannya. Ekspresi gugup di wajah Bright menambah rasa penasaran dalam diri Win. Lantas pemuda itu mengusap pelan punggung tangan yang menggenggam tangannya, “are you sick?”

Namun Bright menggeleng, “masuk dulu, Win. Kita ngobrol di dalam, ya?”

“Okay...” akhirnya Win pun melangkah memasuki kamar lebih dulu. Bright menutup pintu kamar hotel dengan pelan, kemudian menyusul langkah kaki si pemandu wisata yang kini berhenti tepat di dekat ranjang.

Bright gugup bukan main, sepertinya Win sudah berhasil menemukan rencananya. Sang tamu pada malam itu berdiri dalam diam, memandang sebuah kue ulang tahun yang lengkap dengan 2 lilin menyala di atasnyaㅡ angka 23.

Lalu dengan keberanian yang terasa semakin menipis, Bright beranjak menuju meja untuk mengambil kue itu. Sebisa mungkin, ia tekan rasa gugupnya dalam-dalam, momen indah malam ini tidak boleh rusak. Apapun alasannya.

Bright tersenyum, langkah kakinya berhenti tepat di depan Win.

“Well, i think i am lucky enough to come here at the most right time so i can celebrate your birthday tonight, gue nggak tau punya keberanian dari mana untuk nyiapin ini semua tapi gue dengan sadar dan sepenuh hati mengikuti kemauan hati gue to make it happen for you.”

Bright mengulum kecil bibir bawahnya. Masih gugup, matanya bahkan tak sanggup ia angkat untuk sekedar melirik Win yang berdiri di depannya. Cahaya di atas dua buah lilin menjadi satu-satunya fokus bagi si turis.

“Maaf juga karna gue lancang udah ngide bikin kejutan kecil-kecilan gini tanpa persetujuan dari lo, maaf kalau gue seolah-olah mau punya momen berharga sama lo, maaf kalau nyatanya gue terbawa perasaan untuk naruh hati buat loㅡ”

“Bright,”

Mau tidak mau Bright mengangkat pandangannya. Dua pasang obsidian beda warna miliknya dan Win kini saling bertukar pandang, “iya, Win?”

“No, you just can not,”

Dang it, bukankah itu bentuk penolakan secara halus? Tapi Bright sudah janji untuk tidak menyerahkan. Apapun jawaban Win, Bright akan tetap mengungkapkan semuanya hari ini. Ia ingin pulang ke Indonesia dengan perasaan tenang dan lega.

Lantas Bright berdehem pelan, “it is okay if we don't ends up together, i am just trying to tell you about my feeling. I just want you to know that i am falling for you, Win.”

“It started at the third day of my arrival here, i guess? When we walked around Odori Park, the hands holding moment giving me new excitement and feelings, i wasn't sure about it yet until the days after, we became really close then all i can say is, i fell… i fell for you.”

Win terpaku di tempatnya berdiri. Pernyataan tiba-tiba dari Bright mampu membuat pemuda itu malfungsi dalam hitungan detik. Matanya dengan telak berusaha menyelami manik mata Bright, berusaha mencari kebohongan di sana yang naas tak bisa ia temukan sama sekali.

Ada binar penuh harapan di sepasang mata yang pernah menatapnya dingin di hari pertama mereka bertemu. Ada seberkas ketulusan yang tersampir di sana, tapi Win tahu, bukan jalan seperti ini yang mereka mau.

Kemudian tawa sarkas meluncur bebas dari belah bibirnya. Rasa canggung dan gugup yang sempat singgah kini menguap entah kemana. Sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain, Win berujar, “it hasn't even been a month since we got to know each other, Bright. How could you be so sure about it? Bisa aja kamu cuma terbawa suasana sesaat karna kamu baru putus cinta? It's okay, it's just a temporary feeling and you gotta forget about it once you're back to Indonesia. Saya ini cuma pelarian semata, nggak apa-apa, nanti kamu pasti lupa.”

“Lo bukan pelarian, Win,”

Lagi dan lagi Win menggeleng kuat. Entah kenapa pernyataan Bright menjadi trigger tersendiri bagi pemuda itu. Ada emosi yang terselip pada penggal kata demi kata yang diucap, ia tidak suka dengan arah pembicaraan mereka kali ini.

Win menghela kasar nafasnya, “I am, Bright. Gimana bisa kamu jatuh cinta sama saya cuma dalam hitungan hari? Nggak masuk akal, tolong jangan buat semuanya jadi tambah berantakan, please?”

Niat hati untuk menyampaikan rasa sukanya pada Win malah berujung dengan emosi yang naik ke ubun-ubun. Kata-kata Win yang seakan-akan menganggap Bright hanya menjadikan dirinya sebagai pelarian semata pun sukses membuat pemuda itu ikut terpantik emosi. Bright dengan kesal meletakkan kembali kue ulang tahun yang belum sempat ditiup lilinnya. Langkah kaki pemuda itu bergerak cepat menghampiri Win, tangannya mencengkram bahu kanan dan kiri dan si pemandu wisata.

“Liat gue, Win,”

Tapi naas, Win justru menggeleng pelan.

“Liat mata gue selama gue bicara,”

“Saya nggak mau,” Win menaikkan volume suaranya, “tolong bersikap profesional, Bright. Kamu ini turis yang pakai jasa saya sebagai pemandu wisata selama kamu di sini. Hanya itu, jangan melebih-lebihkan situasi kita yang sebenarnya nggak serumit itu.”

“Lo bilang lo nggak mau dianggap pemandu wisata selama nemenin gue? Lo bilang, lo maunya dianggap teman, teman spesial, terus kenapa sekarang lo malah menarik diri dan bikin situasi kita berdua kayak orang asing, Win?”

Sepasang mata Win mulai berair. Demi Tuhan, ia tidak suka pembicaraan ini.

Kemudian, dengan segenap keberanian yang ia punya, Win membalas tatapan Bright dengan bahu yang mulai bergetar, “ain't we really are strangers after all?” tanya nya.

“Please, please… jangan mempersulit situasi kita, Bright.”

Bright mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak mengharapkan respon Win yang seperti ini, sama sekali tidak. “Kenapa lo menganggap pernyataan gue tadi malah mempersulit posisi kita? Kalau lo emang nggak ada perasaan lebih sama gue, bilang Win, tinggal bilang kalau lo nggak mau.”

“Say it,”

Win tetap diam membisu. Air mata mulai menetes dari sudut matanya.

“Bilang kalau lo nggak suka sama gue, biar gue bisa berhenti. Lo nggak mau situasi kita semakin sulit, 'kan? Setelah berhari-hari lamanya lo bawa bahagia baru dalam hidup gue, setelah berhari-hari lo bisa bikin gue lupa dengan luka gue di masa lalu, setelah berhari-hari lo sukses meyakinkan gue kalau gue baru aja jatuh cinta lagi, lo punya hak untuk menolak gue, Win. Bilang, tolong bilang secara gamblang di depan mata gue.”

Win tetap memilih diam. Kepalanya menunduk, isakannya mulai terdengar. Bright bingung, benar-benar bingung. Kalau Win memang tidak ada rasa untuknya, lantas kenapa susah sekali untuk menolak Bright secara gamblang?

Kenapa Win lebih memilih diam?

“Lo cuma punya dua pilihan, Win. Tolak gue, atau kasih gue kesempatan.”

Win mulai meremat jari-jemarinya, ia tidak suka nada bicara Bright malam ini.

Diamnya Win semakin membuat Bright putus asa. Lambat laun, pemuda itu memajukan langkahnya kian rapat dengan si pemandu wisata. Satu tangannya meraih dagu Win, mengangkatnya sampai kedua pasang mata mereka kembali bertemu pandang.

Bright menatap Win dengan ungkapan putus asa yang besar di matanya, dan hal tersebut membuat Win kehilangan pertahanan dirinya.

Sambil menahan bibirnya yang terus bergetar, Win berujar, “saya nggak bisa, Bright.”

“Sedikit pun nggak ada rasa buat gue, Win? Setelah kita saling bertukar afeksi beberapa hari ini, sedikit pun nggak ada?” Bright terdengar begitu putus asa.

Satu kali lagi Win mengabaikan pertanyaannya. Mulut pemuda itu kembali bungkam seribu bahasa.

“Atau lo sebenernya cuma khawatir gue anggap sebagai pelampiasan? Hm?”

Bola mata Win bergerak gusar ketika kalimat itu terucap dari bibir Bright. Seolah tebakannya tepat sasaran, Bright kini mulai mengusap lembut kedua pipi Win yang sudah basah karena air mata.

Bright tersenyum, “i can make sure that i didn't lie when i said i've fallen for you,”

Tatapan Bright kian melembut, “and i will try to make things work between us.”

“May i kiss you?”

Win, masih diam. Matanya terus menatap mata Bright yang memancar rasa frustrasi. Ia masih berusaha mencari celah kebohongan pada mata itu, tapi sayang… sedikitpun tidak Win temui kepalsuan di balik obsidian hitam milik Bright.

Win berusaha mencari, satu kali lagi.

Kemudian kepalanya mengangguk memberi izin, dan dalam hitungan detik… bibir keduanya bertemu dalam sebuah pagutan panjang.

Bright menciumnya begitu dalam. Hasrat ketulusan yang bercampur keputusasaan mendominasi ciuman keduanya. Bibir sintal Bright melumat bibir atas Win penuh gairah. Bunyi kecipak basah mulai terdengar seiring dengan kuluman yang ia lakukan secara bergantian pada bibir atas dan bawah Win.

Win, pasrah. Tidak jua membalas namun enggan melepaskan. Bibirnya ia biarkan terbuka selagi Bright mencumbunya mesra. Lidahnya juga ia berikan ketika Bright meminta di dalam sana. Win, sesekali membalas lumatan Bright kecupan-kecupan kecil. Tangannya tanpa sadar sudah menemukan jalan untuk memeluk erat punggung tegap Bright.

“Mmmhh,” Win tidak sengaja mendesah begitu Bright tanpa ragu menghisap saliva yang keluar dari sudut bibirnya.

Win memejamkan mata, ciuman Bright belum berhenti. Perlahan-lahan bibir si turis turun menjamah rahang tegas Win, membasahinya dengan jejak air liur menuju cuping telinga. Tangan Bright ikut serta memuaskan pemandu wisata itu dengan diberikannya usapan sensual di pinggangnya, seraya bibirnya mulai mencumbu basah cuping telinga Win.

Win meremas jaket yang dipakai Bright, bibirnya sebisa mungkin ia gigit agar tidak meloloskan desahan.

Bright menggigit kecil cuping telinganya, lalu terkekeh pelan di sana, “jangan ditahan, i love hearing your moans.”

Lalu bibir Bright kembali turun, kali ini menyentuh perpotongan leher Win. Kecupan-kecupan kecil berulang kali dibubuhi di sana. Win mengerang, kakinya mulai terasa lemas. Pemuda itu berusaha mencari pegangan agar tidak jatuh selagi tubuhnya diberi nikmati, dan dalam waktu singkat Win memutuskan untuk memeluk pinggang Bright, sedangkan tangan yang satunya memeluk lembut bahu bidang si turis.

Win sesekali merilis erangannya, matanya kian sayu seiring lidah Bright yang juga ikut serta meramaikan permainan. Bright bukan lagi hanya menciumi kulit lehernya, tapi menjilat, mencumbu, menghisap sambil sesekali menjahili Win dengan gigitan-gigitan kecil yang sukses membuat pemuda manis itu merintih penuh rasa nikmat.

Mabuk kepayang. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan bagaimana keadaan Win saat ini. Pemuda manis itu memilih untuk terus menikmati. Membiarkan mulut handal Bright terus menghujaninya dengan kepuasan.

Win semakin dibuat gila. Hasratnya untuk mendesah kuat semakin besar. Namun sebelum itu semua terjadi, Win lebih dulu menarik wajah Bright dari perpotongan lehernya dan kembali menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman hangat.

Kali ini Win yang memimpin, ia ingin mendominasi. Ia ingin Bright juga menikmati kepuasan yang setimpal. Bibirnya yang tebal mulai mengulum bibir bawah Bright, berusaha mengais nikmat sambil tangannya mengelus lembut tengkuk pemuda itu.

Bright diam-diam mulai terpancing nafsu. Tangannya dengan lancang menyelinap masuk menembus pakaian berlapis Win sampai telapaknya berhasil merasakan lembutnya kulit tubuh si pemandu wisata.

Selagi Win melumat bibirnya, Bright terus membawa tangannya naik sampai bertemu padatan di dada pemuda manis itu. Ibu jari Bright bergerak memutar, tepat di atas puncak dada Win yang merespon positif atas rangsang yang ia beri.

Win melepaskan ciumannya. Ia baru saja akan mendesahkan nama Bright ketika bayang-bayang seseorang secara mendadak lewat melintas dalam benaknya.

Dalam hitungan detik Win mendorong kuat tubuh Bright.

Membuat si turis menatapnya bingung, penuh tanda tanya.

Win bisa merasakan jantungnya yang bertalu-talu. Hatinya menangis pilu, dadanya bergerak naik turun menahan emosi juga nafsu di waktu yang bersamaan.

Ada kecewa di sepasang netra kecoklatan milik Win, Bright dapat melihatnya dengan jelas.

Win berusaha merapikan kembali tatanan pakaiannya. Bibirnya masih gemetaran hebat, kepalanya seakan sedang berputar kuat.

Benaknya bertanya-tanya, bagaimana bisa… bagaimana bisa ia terbawa suasana sampai melampaui batas? Bagaimana bisa ia bertindak gegabah dengan menikmati setiap sentuhan Bright di tubuhnya?

Bagaimana… bagaimana bisaㅡ

“Win,”

ㅡ Ia mengkhianati hatinya sendiri.

Win mengusap wajahnya kasar, lalu kembali menatap Bright dengan ekspresi dingin.

“I am sorry if it might hurting your pride, but saya sudah tidak single, saya punya kekasih, Bright.”

“And it would be better if i leave now,”

“Anggap yang tadi tidak pernah terjadi di antara kita berdua. Saya nggak bisa balas perasaan kamu, itu jawaban saya.”

Tapi sebelum Win berhasil keluar dari kamar hotel, Bright lebih dulu menahan tangannya. Satu kali lagi, Win dibuat lumpuh dengan segala perlakuan Bright.

Tangannya digenggam kuat. Ada luka di balik sepasang mata sang turis.

Dalam hati Win memohon ampun, karena kali ini… dia lah yang menjadi alasan di balik rasa kecewa seorang Bright.

“I am sorry i've crossed the line,” kata Bright, terdengar pilu.

“Gue janji nggak akan ganggu lo lagi setelah ini, tapi gue mohon… gue mohon dengan sangat, stay, stay di sini malam ini, seenggaknya untuk yang terakhir kali.”

“I need someone to lean on, i need someone to talk to.” Bright terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya, “gue nggak akan mengulang kesalahan yang tadi gue lakukan. Gue cuma butuh lo buat stay malam ini, tolong kasih gue kesempatan satu kali lagi untuk merasa layak. Gue gagal di hubungan gue yang lalu, dan gue gagal lagi kali ini,”

“Jadi gue mohon dengan sangat, temenin gue malam ini aja, Win, please?”

Karena ini adalah hal terakhir yang bisa Win lakukan untuk Bright, akhirnya pemuda manis itu mengangguk setuju. Tas selempang kecilnya yang tersampir di bahu ia simpan di atas meja. Win membawa langkah kakinya menuju jendela kamar, memandang suasana malam hari di pusat ibu kota kepulauan Hokkaido itu.

Situasi canggung nyatanya belum mampu dilumpuhkan meski waktu terus berjalan. Win melirik Bright yang duduk di tepi kasur dengan perasaan kacau.

Win tidak tega, tapi ia bisa apa?

Renggangnya hubungan yang ia jalin bersama sang kekasih ternyata sukses membuat Win nyaris membuka hati untuk Bright. Win sendiri tidak bisa bohong kalau ia juga terlanjur nyaman dengan eksistensi dan segala bentuk afeksi yang Bright berikan padanya.

Tapi Win masih tahu diri, ia masih punya kekasih yang harus ia jaga hati dan perasaannya. Walau dirinya sendiri sangsi, apakah rasa yang ia miliki masih sama… terhitung sudah dua bulan lamanya tidak saling menghubungi, tapi juga tak ada kata berpisah yang terucap sehingga membuat Win mau tidak mau terjebak di situasi yang serba salah.

Ingin rasanya Win merengkuh tubuh Bright yang terlihat ringkih malam ini.

Tapi lagi dan lagi, ia tidak bisa.

“Bright, sini,”

Yang dipanggil menoleh dengan ragu. Matanya menatap Win sedikit takut. Tapi yang ditatap justru mengulas senyum, seraya mengulang kalimatnya yang meminta Bright untuk mendekat.

Kepalanya mengangguk ringan, “it's okay, come here...”

Bright pun menyerah. Tubuhnya dengan sengaja ia bawa beranjak menghampiri Win. Keduanya kini berdiri berdampingan, menatap atap-atap bangunan yang kian dipenuhi salju.

“Hokkaido 'kan tinggi, maksudnya… cukup jauh dari pusat negara Jepang, So what made you choose this place to spend the whole days of your escape?”

“Selain karna alasan sayang tiket yang kamu bilang tempo hari itu, ya...” sambungnya, berusaha memecah keheningan, melenyapkan kecanggungan.

Bright menyunggingkan seulas senyum tipis di wajahnya. Ia melirik si lelaki private tour guide yang berdiri tepat di sebelahnya, cantik dan berwibawa di waktu yang bersamaan.

Kali ini tawa kecil Bright menjadi jawaban pertama yang si private tour guide terima malam itu.

“it reminds me a lot of how cute my childhood dream was. Gue dulu punya cita-cita buat keliling Jepang sama orang yang gue sayang, but unlucky me… i am an orphan now so i have no one.”

“That's a secret anyway,” sambungnya.

Si private tour guide balas menoleh, satu alisnya bertaut penuh kuriositas. “So, why did you tell me? Isn't that your secret?”

“Sometimes it just feels right when you're become an open book to strangers,”

Strangers, ya… bukankah takdir mereka hanya sebatas jadi orang asing bagi satu sama lain?

Tidak mau bablas melibatkan perasaan dalam benaknya, Win pun kembali bertanya, “why?”

Bright menghela pelan nafasnya. Sebagian atensi ia pusatkan pada si private tour guide, sebagian lagi ia simpan untuk menerka-nerka jawaban seperti apa yang bisa ia berikan saat ini.

“Because we only met once?”

Because they only met once. Dua hari lagi Bright akan kembali ke Indonesia, Win juga akan kembali pada kehidupannya seperti sesaat sebelum Bright datang secara mendadak dan mengobrak-abrik hatinya.

Time will make them forget, time will make them realize that they meant to be strangers.

. . .

“Harus banget kita baru mulai pas temen lo dateng?” Suara Bright mulai nggak enak didengar, ya… Nanon bisa maklum sih, pasalnya sudah dua jam mereka cuma leha-leha di pinggir lapangan.

Nanon meringis kecil dalam senyumnya, “Sori deh, sori… abisnya gue nggak enak udah terlanjur janji kalau temen gue ini bakalan ngeliat kita main dari menit awal pertandingan. Tapi nggak tau nih, janjinya sih jam empat udah nyampe, tapi sampai sekarang malah belum keliatan sama sekali.”

Alhasil Bright cuma bisa berdecak. Anak-anak lain kebetulan nggak ada yang protes, seolah-olah merasa nggak dirugikan padahal mereka sudah standby di lapangan sejak jam 1 siang. Entah iming-iming apa yang disuguhkan Nanon sehingga semua orang di sana mau-mau saja untuk menurut.

Bright yang mulai bosan pun memilih untuk memainkan ponsel. Kantor tempatnya bekerja sedang melakukan family gathering di sebuah tempat wisata di kawasan Puncak. Berhubung masih setia dengan status jomblonya, Bright pun mangkir dari agenda tersebut dan lebih memilih untuk ikut sparing futsal dengan teman-teman dari SMA Nanon, rekan kerjanya yang juga mangkir dari acara tahunan kantor.

Ketika dirasa hari semakin beranjak sore, Bright yang sudah tidak ada nafsu untuk bermain bola pun langsung menyambar tas ranselnya yang tergeletak di atas sebuah bangku panjang. Nanon yang melihat Bright mulai badmood pun jadi tak enak hati.

“Mau balik, Bright?”

Bright mengangguk acuh, “mau nyuci mobil aja lah gue, daripada luntang-lantung nggak jelas di sini.”

“Oke...” Nanon bisa apalagi selain membiarkan Bright bangkit dari posisi duduknya dan bersiap untuk segera hengkang dari sana, “sori banget ya, Bright. Hati-hati di jalan lo.”

“NANOOOOON!!!”

Belum sempat Bright benar-benar meninggalkan lapangan, sebuah suara yang tak begitu asing berhasil merebut atensinya.

Seorang lelaki dengan penampilan modisnya berlari terseok-seok mendekat ke arah mereka.

Lalu keduanya kembali bertemu tatap, setelah 3 tahun lamanya saling memutus kontak.

“Win?”

“Bright?”

Nanon yang melihat interaksi antara Bright dan teman SMA-nya yang sudah berjam-jam ditunggu kedatangannya pun cuma bisa melongo bingung. Satu matanya memicing, alisnya ikut bertaut.

“Loh, kalian saling kenal?”

Suara Nanon seolah angin lalu bagi keduanya. Entah keberanian dari mana, Bright langsung meraih pergelangan tangan kiri Win dan menyeret langkah kaki lelaki itu untuk mengikutinya…

Menuju ruang ganti.

. . .

“Ssshhh, mmmhh, B-bright,”

Terlalu rindu, terlalu bersemangat. Bright tanpa ragu membawa Win masuk ke dalam sebuah bilik ruang ganti dan menyudutkan lelaki itu di dinding. Bright mengangkat kedua tangan Win, mengurungnya tepat di atas kepala sang mantan pemandu wisata.

Satu hal yang membuat Bright berani melakukan ini; Mike bilang, Win sudah putus dengan kekasihnya seminggu setelah kepulangan Bright ke Indonesia, 3 tahun lalu. Tapi karena gengsi yang terlalu dijunjung tinggi dan terlanjur sudah saling terikat janji untuk sama-sama menutup lembaran selama keduanya menghabiskan waktu di Sapporo, Bright pun tidak berusaha untuk menghubungi Win kembali.

Dan sekarang, Bright tidak bisa menahannya lagi.

Win cuma bisa mendesah di bawah dominasi Bright. Sedangkan lelaki yang sedang dimabuk rindu itu terlihat begitu fokus mencumbu perpotongan leher Win.

Kekehan pelan lolos dari belah bibir penuh milik Win, “are we really gonna do this here?”

Bright menggeram ringan di tengah aktivitasnya, “Aren't you high already?” tanya nya.

Win semakin mengangkat kepalanya, memberi akses lebih luas lagi agar Bright bisa menjamah lehernya.

Bright menarik bibirnya menjauh dari tubuh Win, keduanya kini saling bertatapan dalam jarak yang cukup dekat.

Sepasang mata sayu Bright memancarkan rindu yang teramat dalam, “still can't believe you're here.” lalu tangannya mengusap sayang pipi Win yang mulai dipenuhi rona merah.

“I miss you so much, Win.”

Win, terkekeh lagi, “kalau beneran kangen, do me as you wish here, dong...”

“Yang bener aja!” Bright berdecak pelan melihat Win mengerlingkan matanya genit, “gue kangen sama lo in a normal way, don't twist my feelings to be the wrong one.”

Win menaikkan satu alisnya, menantang, “you sure you don't wanna touch me here? Remember our last time in Sapporo? We almost had sex that night,” lalu ujung jari telunjuknya mulai menyentuh bagian dada Bright, bermain pelan di sana membentuk berbagai macam pola yang secara tidak langsung berhasil memancing nafsu birahi Bright.

Rindu dan nafsu yang bercampur jadi satu, berbahaya bukan?

Bright meraih tangan Win yang sedang asik bermain di dadanya. Menggenggamnya erat, lalu mencium di bagian punggung penuh sayang, “it still feels like a dream,” katanya.

Win tersenyum simpul, ia bisa maklum kenapa Bright jadi se-linglung ini karena kedatangannya yang terkesan tiba-tiba di Indonesia. Apalagi, keduanya ternyata masih sama-sama saling menyimpan rasa, bagaimana Bright tidak merasa overwhelmed?

Diraihnya pipi kanan Bright lalu dielusnya penuh kelembutan, “i am here now, and will not go anywhere ever again.”

Bright kembali mengangkat tangan Win dan mengurungnya tepat di atas kepala. Bright dengan lapar meraup bibir Win, seolah mencari waras kalau eksistensi Win bukanlah halusinasi semata.

Bright terus mengulum bibir atas dan bawah Win bergantian, membuat lelaki manis itu mendesah pasrah penuh kenikmatan.

Satu tangan Win yang bebas mengusap seduktif tengkuk Bright. Sesekali jarinya dengan santai merangkak naik, meremat surai hitam yang bisa dijangkau.

“Mmmmhㅡ” Win mulai kehilangan keseimbangan, apalagi ketika lidah Bright dengan percaya dirinya melesak masuk membelah rongga hangat Win dan bermain-main di dalam sana. Satu persatu gigi disapanya, beberapa kali Bright bahkan menyesap cairan saliva yang jatuh di atas lidah.

Win semakin hilang waras ketika ciuman Bright turun menjamah cuping telinganya. Desahan berat turut lelaki itu berikan selagi ranumnya mengulum tulang muda yang kian memerah ketika dijilat.

Lalu cumbuan Bright turun menyentuh tengkuk Win. Tubuh si mantan pemandu wisata itu semakin terpojok dengan eksistensi Bright yang kian menempel dengan tubuhnya. Kecup, jilat, hisap adalah tiga kegiatan yang terus Bright repetisi di tengkuk si lelaki manis.

Hilangnya kewarasan membuat Bright mulai bergerak sedikit nakal, pusat tubuhnya dengan telak menggesek pusat tubuh Win yang sudah mengeras.

Win tidak lagi sanggup menahan desahan. Persetan dengan orang-orang yang mungkin akan keluar masuk ruang ganti selagi dirinya dan Bright sedang sama-sama mengejar nikmat. Win mendekatkan bibirnya pada telinga Bright, ia mendesah berat di sana, he wants more.

Tidak kuasa dengan pergerakan Bright yang semakin membuatnya pusing tujuh keliling, Win tanpa aba-aba menangkup kejantanan Bright yang masih terbalut celana futsal dalam satu genggaman tangan. Win meremasnya, membuat si empunya meringis menahan nikmat.

“W-win, ahhh...”

Win terus meremas-remas kejantanan Bright dengan tempo konstan, “Bright, may i?”

Bright yang sedang asik menikmati remasan tangan Win pada penisnya pun menyahut, “mau apa, hm?”

Kali ini Win dengan nakalnya mengelus-elus ereksi Bright dari luar, “saya cium, saya hisap, saya jilat, boleh?”

“apanya, hm?”

Dua bola mata Win mengerling malas, kalau Bright bisa mengerjainya, maka Win juga akan melakukan hal yang sama.

Win meremas kejantanan Bright satu kali lagi, “i wanna do something to your kontol, please?”

Bright terkekeh, tidak pernah menyangka kalau Win bisa melakukan dirty talk ketika sudah dikuasai nafsu.

“Lha ini dari tadi kamu udah remes-remes kontol aku, 'kan? Belum cukup emangnya?”

Sialan, Win jadi terjebak dalam permainannya sendiri.

Masih sambil meremas kejantanan Bright, Win kembali berujar, “kamu nggak mau kalau kontolnya aku jilat-jilat gitu?”

Gila, Win benar-benar gila. Seluruh tubuh Bright rasanya meremang dalam hitungan detik.

“Oke, oke, aku kalah,” Bright dengan cepat mengambil posisi duduk di atas kloset. Kakinya ia buka lebar membentuk posisi mengangkang, ekspresi yang mewarnai wajahnya terlihat begitu bersemangat dan menantang, “do whatever you want to my kontol, dear.”

Lalu tanpa pikir panjang Win langsung berlutut di tengah-tengah kaki Bright yang mengangkang lebar. Pelan-pelan ia turunkan celana futsal beserta dalaman Bright hingga ke batas lutut. Kejantanan Bright kini berdiri tegak tepat di depan wajahnya; menjulang, gagah, memabukkan.

Tanpa sadar Win tertegun. Lorong di sepanjang kerongkongannya seolah tersumbat hingga saliva terjebak di ujung lidah. Matanya yang bulat menatap minat bentuk kejantanan Bright yang penuh, padat, sempurna. Lidahnya terjulur menjilat bibir bawahnya sendiri, Win terbuai dengan pemandangan di depan matanya.

Seulas senyum tipis terukir di wajah Bright ketika Win terlihat begitu menyukai kejantanannya. Karena si Manis tak kunjung bergerak, ide yang sedikit nakal tiba-tiba terbesit dalam benaknya.

Bright memundurkan posisi duduknya, membuat kejantanannya secara tidak langsung ikut bergerak. Pupil mata Win menunjukkan aktivitasnya dengan terus memantau setiap pergerakan Bright, entah itu saat Bright dengan sengaja bergoyang ke kiri maupun ke kanan, Win tidak melepas pandangannya sedikitpun.

Tawa kecil lolos dari belah bibir Bright, lelaki itu menyentuh surai halus kecoklatan milik Win sambil mengelusnya pelan, “like it very much, hm?”

Masih enggan mengalihkan atensinya pada hal lain, Win menganggukkan kepalanya. Bibir bawahnya ia gigit menahan nafsu.

Bright membawa wajah Win mendekat pada kejantanannya. Ujung kepala si junior kini menyentuh belah bibir Win, Bright sengaja bergerak kecil di sana, menggoda si Manis.

“Don't you want to lick it?” masih terus bergerak bermain-main di permukaan bibir Win, Bright dengan sengaja tidak langsung melesakkan sang junior untuk masuk ke dalam rongga hangat si mantan pemandu wisata yang pernah membuatnya jatuh cinta secara kilat saat di Jepang.

Win yang semakin terbawa nafsu dan suasana pun dengan percaya diri membuka mulutnya, memisahkan bilah atas dan bawah ranum merah muda miliknya dan hendak meraup ujung kejantanan Bright tapi naas, Bright malah menyumpal mulutnya dengan ibu jari.

Sepasang mata Win kini menatap lurus pada Bright yang duduk di atasnya, alisnya bertaut penuh tanda tanya.

Bright tersenyum, ibu jarinya semakin ia lesakkan masuk membelah rongga hangat Win. Membuat si empunya mulut tertegun kaget akan sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.

Satu tangan Bright mengelus sayang pipi tirus Win, “learn to lick my finger first, then you gotta get the whole dick for you.”

Dijanjikan surga dunia seperti itu, mana bisa Win menolak? Mulutnya tanpa pikir panjang mulai bergerak maju dan mundur, mencari nikmat dengan mengulum ibu jari Bright penuh semangat.

Win terus mengulum jari yang agak gemuk itu seraya menatap Bright dengan mata sayunya.

Cantik. Win terlihat begitu cantik saat berserah di bawah kuasa birahi.

“You did well, suck it more,”

Gila. Win semakin menggila.

Saat dirasa ibu jarinya sudah sangat basah, Bright mendorong pelan wajah Win sampai jarinya keluar dari mulut si Manis. Peluh mulai membasahi wajah dan rambut Win, kesan seksi semakin tergambar jelas pada perawakan lelaki itu.

“How was it? Am i good enough at sucking?” tanya Win, penuh harap-harap cemas.

Hehehe, sudah dibuat melayang setinggi ini, mana mungkin kuluman Win tidak enak?

Lantas Bright menganggukkan kepalanya, memberikan senyum terbaiknya sore itu pada si pujaan hati yang amat sangat dirindu, “come here, let me kiss you,”

Win menaikkan posisi tubuhnya yang sejak tadi berlutut penuh damba di tengah-tengah kaki Bright. Wajahnya ditangkup oleh sepasang telapak tangan besar yang berhasil membawa bibirnya bertemu dengan bibir yang pernah membuatnya mabuk kepayang di sebuah kamar hotel di kawasan Sapporoㅡ 3 tahun lalu.

Setelah puas saling mencium, menyesap, mengulum dan ketika dirasa cairan saliva sudah cukup banyak berkumpul di ujung lidah, Bright menyudahi ciuman mereka. Garis air liur membentang membentuk jembatan halus di antara kedua ranum yang baru saja melepas rindu.

Bright mengusap belah bibir Win dengan ibu jarinya, lalu dengan perlahan ia bawa wajah Win mendekati kejantanannya, “get your own pleasure now, babe.”

Dan dengan komando tersebut, Win dengan semangat yang menggebu-gebu langsung meraup kejantanan Bright. Wajahnya perlahan-lahan bergerak naik – turun – naik – turun, sambil tangannya ikut andil untuk memuaskan nafsu birahi lelaki itu. Win mengurut batang kejantanan Bright yang tidak bisa masuk ke dalam mulutnya, multitasking adalah skill utama lelaki manis itu.

Kelopak mata Bright sesekali memejam menahan nikmat. Pergerakan mulut dan tangan Win di pusat tubuhnya terasa begitu sempurna. Kakinya mulai melembek seiring dengan lidah Win yang ikut serta membasahi batang kebanggaannya.

Bright hanya bisa meremas surai berantakan Win, sambil terus mendesah pertanda ia menikmati, “aaahh, such a good boy right here, mmmhhㅡ”

Tidak ingin Win kelelahan karena harus bergerak sendiri, Bright pun perlahan-lahan ikut memaju-mundurkan pinggulnya berlawanan arah dengan kuluman mulut Win.

Hentakan pertama,

Hentakan kedua,

Terus bergerak menghujam nyaris menyentuh lorong yang lebih dalam lagi, lebih hangat lagi.

Bibir Bright terus mengerang keenakan, matanya kerap mengunci mata Win yang bertambah sayu dalam satu titik mutlak.

Pemandangan Win yang sedang disumpal oleh batang kejantanannya tampak begitu menggiurkan, such a beautiful view for Bright.

Bright ikut membantu kepala Win untuk bergerak naik dan turun. Keduanya saling sahut-sahutan desahan, tidak perduli apakah ada yang mendengar di luar pintu bilik.

“Sshhh, Win,” pinggul Bright terus bergerak konstan mencari nikmat, “i am close, i am c-close...”

Win mendorong tubuh Bright agar kembali duduk di kloset dan berhenti menghujam mulutnya. Kejantanan Bright kian membesar di dalam sana, lalu Win menarik bibirnya dan berhenti tepat di kepala kejantanan lelaki itu.

Disesapnya bagian ujung yang semakin besar, merah, dan berkedut itu kuat-kuat. Win berusaha menyedot cairan putih Bright agar segera keluar.

“Mau dikeluarin dimana, Win?”

Masih sambil menikmati mainan kesukaannya, Win menunjuk seluruh bagian wajahnya, “m-mwukha s-shaya, uhuk...”

Oho, he's asking for face-cumming.

Butuh sekitar lima kali sesapan lagi, Bright menarik kejantanannya dari jangkauan mulut Win dan langsung merilis putih tepat di wajah lelaki manis itu.

Kedua pipinya, dahi, hidung, bibir kini sudah dipenuhi cairan putih milik Bright. Seraya membiarkan Bright menyelesaikan orgasmenya, Win diam-diam menjulurkan lidah untuk mengecap rasa milik si mantan turis.

Kinda sweet tho, batinnya. Mungkin belakangan ini Bright sedang banyak mengonsumsi makanan manis atau buah-buahan.

Lima menit berlalu, akhirnya Bright selesai dengan pelepasannya.

Win tersenyum, lalu meraih tissue dari dalam tas dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi cairan sperma. Bright ikut membantu si Manis untuk mengatasi kekacauan yang mereka buat sore itu.

“Thank you, Win,”

Anggukan menjadi balasan atas ucapan Bright barusan. Setelah bersih, Win berdiri dan menangkup wajah Bright agar menengadah menghadapnya. Win mencium bibir Bright bertubi-tubi sampai menimbulkan bunyi cup, cup, cup.

Keduanya tertawa, rindu sudah tersalurkan begitu sempurna.

“Let's fix ourselves. Saya mau liat kamu main futsal.”

Setelah membersihkan kejantanannya, Bright kembali memakai dalaman beserta celana futsalnya. Lelaki itu meraih tangan kiri Win dan menggenggamnya erat.

“Aku. Coba belajar ngomong pakai 'Aku', Win. Sama pacar sendiri lebih enak pakai aku kamu, hehehe.”

Win memicingkan satu matanya, “emangnya kita pacaran?”

“Strangers pamali half-ngewe apalagi di publik kayak gini, Win.”

Damn, Bright and his naughty side.

Lantas Win tertawa. Tangannya terangkat menyeka peluh yang membasahi pelipis sang kekasih hati, “nggak ada pernyataan resmi tapi nggak apa-apa, deh. Kalau gitu, let's go outside, pacar?”

“I love you, thank you for coming back to me...”

Win mengangguk, ia sama bahagianya dengan Bright, “i love you too, thank you for waiting for me to come home.”

. . .

WRITTEN BY : JEYI.

Sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan ribut, Metawin kembali berhasil membuat Bright yang kepalang mabuk tertawa geli dan geleng-geleng kepala karena pemuda yang sudah di awang-awang itu baru saja membenturkan kepalanya ke pintu kamar dengan sengaja.

“APHWA MAKFHSUD LOE KHETWAIN GJUE HA?!!”

How funny, even the way he talked when he's drunk is… quite cute.

“Kamu lucu, mau nggak jadi submissive saya?”

TAGS: IMPLICIT CONTENTSㅡ rival!brightwin; harsh words, involved sex in public, drunk talk, drunk kissing, drunk sex, handjob, blowjob, chest play, doggy style, mentioning of mirror sex, VERSATILE (switch)!bw-wb 🔞 total words: 8.480 words. commissioned by: anonymous.


Astro dan Velence.

Siapa yang nggak tau dua nama perusahaan clothing terbesar yang lagi nge-hits di kota Bangkok?

Astro VS Velence.

Siapa pula yang nggak tau tentang perseteruan yang terpampang jelas di muka publik tentang persaingan ketat antar kedua clothing brands itu?

Bukan rahasia umum lagi jika Astro dan Velence selalu jadi satu-satunya eh, atau salah dua, ya? sumber masalah yang tercipta di kota Bangkok selama 2 bulan sekali. Dua Perusahaan clothing yang namanya sedang melejit di pasaran itu selalu berhasil mengisi headline-headline di beberapa media berita seperti koran, website harian dan juga di siaran radio yang bisa disimak setiap jam 9 pagi. Hectic hours.

Bukan, bukan karena lagi dan lagi dua clothing brands itu berhasil menciptakan rekor penjualan terbaru. Yah, kalau itu sih memang mereka jagonya. Tapi yang membuat masyarakat Thailand khususnya warga Bangkok geleng-geleng kepala adalah isi dari berita yang tersebar tentang dua perusahaan itu.

ㅡ PENJUALAN BULAN APRIL, SIAPA YANG BERHASIL MENDUDUKI TAHTA TERTINGGI KALI INI? ASTRO? VELENCE?

Dari judulnya sih, menarik. Karena memang kualitas yang diberikan kedua perusahaan itu tidak pernah main-main. Ada banyak sponsor yang memajukan karir dua perusahaan itu, tapi naas, yang justru dibahas bukanlah tentang bagaimana Astro dan Velence selalu menomorsatukan kualitas dan pelayanan terhadap pelanggan mereka. Tapi tentang siapa yang paling hebat dan siapa yang kalah dalam persaingan bulan ini.

Kompetisi ala-ala yang secara tidak langsung sudah jadi konsumsi publik pada bulan Februari dimenangkan oleh Astro. Selisih penjualan kedua perusahaan itu hanya 0,01% yang mana tidak terlalu besar tapi berhasil membuat Win kebakaran jenggot.

Pagi ini, dengan segelas kopi hangat yang sesekali ia putar di atas piring kecil, Win menatap layar laptopnya lamat-lamat.

“Website udah dicek lagi, Mix?”

Mix yang duduk di sofa ruang kerja Win pun mengangguk. Pemuda yang bekerja sebagai asisten Win sekaligus merambat sebagai sahabat baiknya itu menutup tabloid yang sejak tadi ia baca. Tubuhnya bergerak, sepasang tungkainya lambat laun melangkah menghampiri Win yang sudah satu jam duduk di balik meja kerjanya dengan mata terfokus pada layar laptop.

Ditariknya sebuah bangku yang diperuntukkan untuk tamu penting di meja kerja sang sahabat, “mendingan sekarang lo berdiri terus ngeliatin pemandangan di luar gedung deh, Win. Gue khawatir banget ngeliat lo dari tadi cuma diem sambil mandangin laptop.”

Win bergeming. Jari telunjuknya yang panjang sibuk menggulir mouse yang membuat isi di layar laptopnya bergerak cepat. Menampilkan gambar dan diagram pencapaian Velence bulan Februari kemarin.

“Udah satu jam lo ngeliatin laptop heh, apa nggak sakit itu mata lo?” lama-lama gemes juga, habisnya Win seakan-akan nggak mau mendengar perintah yang keluar dari mulut Mix.

Win kembali menggulirkan jarinya di atas mouse, “no, salah.”

Satu mata Mix memicing bingung, “maksudnya?!”

“Gue udah dua jam standby di sini.”

Lebih gila dari perkiraan Mix… Melihat sang sahabat yang merupakan CEO dari perusahaan tempatnya bekerja sekarangㅡ VELENCE. untuk mondar-mandir sambil membaca ulang hasil presentasi karyawan-karyawan, atau mendekam berjam-jam lamanya di balik layar komputer dan laptop, bukan lagi sebuah pemandangan baru.

Win adalah sosok CEO yang patut diacungi jempol. Selalu kerja dengan sepenuh hati dan maksimal. Tapi yang Mix heran, kenapa Win sering kali merasa tersaingi oleh perusahaan sebelah?

Seolah-olah seluruh hasil kerjanya yang menghabiskan banyak keringat dan air mata selalu saja kalah jika dibandingkan dengan perusahaan yang satu itu.

Dan Mix yakin, alasan utama Win sibuk dengan laptopnya pagi ini di saat jarum pendek jam baru saja melewati angka 7 adalah eksistensi perusahaan sebelah, alias Astro. Yang selalu sukses membuat bos-nya itu migrain dan overthinking.

Lantas Mix menghela nafas, “yang bener aja deh lo, Metawin...”

Yang diprotes perlahan-lahan melirik ke arahnya, satu alisnya bertaut tidak terima, “kenapa, sih? Kayak nggak pernah liat gue ambis aja?!”

“Nggak gitu,” Mix paham betul, dalam situasi seperti ini, Win tidak bisa diajak bicara pakai urat dan otak. Harus pakai hati, pelan-pelan tapi menusuk jauh ke dalam lubuk hati si bos. Bolpoin yang sejak tadi tergeletak pasrah di atas meja kerja Win pun kini berpindah ke sela jari tangan Mix.

“Tapi serius deh, Win. Nggak ada yang perlu lo khawatirin soal Astro. Maksud gue, iya… kalian emang handle perusahaan yang sama. I mean, dari ranah yang sama, target pasar bahkan items yang dirilis pun sama. Tapi lo tau sendiri, people are having their own preferences.”

Diamnya Win menjadi sinyal kalau Mix bisa melanjutkan ucapannya.

“Ibarat kata gue ini orang awam, kalau gue lagi pengen beli Velence maka gue akan beli Velence. Begitu juga sebaliknya, kalau gue lagi pengen beli Astro, ya pasti gue bakalan beli Astro. Lo paham maksud gue, 'kan?”

Ketenangan masih jelas tergambar di wajah sang CEO. Penampilan yang tidak terlalu mengintimidasi dengan balutan kemeja oranye yang lengannya sengaja digulung sampai ke siku, membuat Win terlihat cukup 'aman' untuk ukuran orang yang sedang gugup menyambut jam perilisan items terbaru dari perusahaannya.

Ya, sebuah persaingan ketat dua bulan sekali akan terjadi lagi hari ini.

Velence dan Astro akan merilis produk baru masing-masing tepat pada jam 2 siang.

“Lo nggak paham, Mix,” suara Win yang terdengar tenang pun tak luput mampu menipu Mix yang terlanjur mengenal baik siapa sosok di depannya ini. Bahkan punggung yang sudah bersandar santai di bangku pun masih cukup jelas membuat Mix sadar kalau bos-nya ini sedang dilanda stress berkepanjangan.

Mix mengembalikan bolpoin milik Win yang sempat ia mainkan sebentar tadi ke tempatnya semula.

“Then tell me, give me a solid reason kenapa lo selalu sepanik ini setiap mau rilis new items barengan sama Astro?”

Aduh, aduh, Win harus jawab apa, nih? Masa iya jawaban menjunjung tinggi jiwa kompetitor and it's all about the damn pride akan terdengar masuk akal di telinga Mix?

Bisa-bisa Win dicap sebagai bos cemen, payah atau apalah itu.

“Ya..,” terdapat jeda pada ucapannya. Win melirik Mix satu kali lagi sebelum ia alihkan atensinya menuju jendela, “karna Velence Astro punya produk yang serupa tapi tak sama? Ada kekhawatiran tersendiri di dalam diri gue, kalau-kalau Velence bakalan kalah saing di pasaran karna adanya Astro. Come on, Mix, mereka kadang naro harga di bawah kita and it sometimes makes me anxious to hell.”

Oke, masuk akal. Harga jual Astro yang lebih murah pada beberapa itemnya ternyata jadi bahan overthinking si bos besar.

Tapi setahu Mix, Velence tak pernah punya masalah dengan itu. Grafik penjualan setiap dua bulan sekali selalu menyentuh titik maksimal dan sejauh ini Velence belum pernah merasa rugi.

“Oke, oke, gue paham,” satu kali lagi, Mix akan mencoba untuk bantu menurunkan tensi si bos, “tapi kalau boleh jujur ya, Win, nggak ada satu hal pun yang bisa lo anggep serius dari adanya Astro dan segala kebetulan kenapa Velence Astro selalu rilis new items di hari dan jam yang sama. Kayak apa yang gue bilang tadi, Velence punya peminatnya sendiri so does Astro.”

Kali ini Win tidak langsung balas mendebat. Pengusaha muda itu menggaruk canggung pangkal hidungnya seolah ingin menyanggah ucapan Mix dengan modal denial.

Helaan nafas pelan terhembus dari belah bibir Win, “Februari kemarin Velence kalah dari Astro.” tandasnya.

“Dan gue nggak mau kalau sampai bulan ini Velence harus dibuat malu lagi karna kalah dalam jangka waktu dua bulan.”

Mix mengerti perasaan Win, tapi, “Velence nggak kalah, Win. Selisih penjualan bulan Februari tuh bahkan cuma nol koma satu persen. Oke, emang final result kita di bawah Astro, tapi Velence berhasil megang posisi pertama trending topics Thailand dan itu jadi kemenangan tersendiri karna kita dapet engagement.”

“It's all about pride.”

Kan, kan, kan! Mix sudah menduga kalau semua ketakutan Win memang sebatas pride semata. Untuk ukuran Mix selaku pegawai yang punya jabatan tidak terlalu tinggi di perusahaan pastilah bermain harga diri bukan porsinya.

Tapi untuk Win? Harga diri adalah segalanya.

“Winㅡ”

Win kembali menghela nafas, “no, Mix, you don't understand. Gue nggak akan pernah terima kalah dari Astro lagi, mau ditaro mana harga diri gue.”

Perilisan produk terbaru dari setiap perusahaan clothing tentunya akan jadi perbincangan hangat bagi para investor yang hampir setiap hari memantau pergerakan statistika penjualan dan minat masing-masing brand. Kalau kali ini Velence kalah saing lagi, bisa-bisa semua investor menarik diri dan berpindah ke pihak Astro.

Lantas Win mematikan laptopnya dan menenggak habis sisa kopi yang ada di dalam cangkir. Pengusaha muda itu beranjak meninggalkan bangku singgasananya, “lo refresh terus website biar nggak ngecrash. Jangan sampai pas jam dua belas, ada kendala yang butuh waktu lama untuk ngebenerinnya. Maksimal, kita cuma butuh kerja maksimal biar Velence bisa balik ke posisi pertama.”

Titah seorang Win adalah mutlak hukumnya. Oke, memangnya Mix bisa apalagi selain mengangguk mengiyakan permintaan si bos?!

Tapi… ini masih jam setengah delapan lebih, bos?????

. . .

“Bank, udah coba kamu calling staff yang handle pertemuan malam ini, apakah acara benar-benar tertutup untuk umum?”

Sebuah cermin besar yang tersimpan di ruang kerja Win memantulkan wujud seorang CEO muda yang malam ini terlihat tampan dengan balutan kemeja gelap, dasi kupu-kupu dan juga tuksedo hitam bermotif hasil karya seorang desainer ternama di Bangkok.

Rambutnya yang ditata rapi sedemikian rupa menambah kesan tampan dan mahal sosok Metawin yang akhirnya, setelah berbulan-bulan, berhasil membawa Velence kembali ke posisi pertama tangga perusahaan clothing di Thailand, mengalahkan Astro.

Lewat cermin Win melirik Bank, sekretarisnya yang juga sudah rapi dengan pakaian formal berdiri di dekat meja. Sang sekretaris mengangguk tanpa ragu, “sudah, Sir. Dan Miss Jane bilang, acara akan dimulai setengah jam dari sekarang.”

“Jane, anak buah CEO Astro?”

Bank mengangguk, “yes, Sir.”

“Oh, alright. Saya lupa kamu berteman baik dengan Jane.” Kekehan kecil namun penuh dominasi lolos dari belah bibir penuh sang pengusaha, “setengah jam lagi acara akan dimulai?”

“Yes, sir. Dan acara diperkirakan akan selesai tepat pada pukul sepuluh malam.”

Oh, shit. Jarak dari kantor Velence menuju Lupin Bar diperlukan waktu sekitar satu jam, tanpa kemacetan. Berusaha tetap terlihat tenang di depan sang sekretaris, Win pun hanya memberikan anggukan sebagai jawaban sambil sesekali merapikan tatanan tuksedonya.

“Oke, kita berangkat sekarang.”

Bank membungkukkan memberikan hormat, mempersilakan Win untuk berjalan lebih dulu. Sambil mengikuti langkah kaki sang atasan, Bank berusaha mengajak Win berbicara.

“Sir, this is such an exclusive event, am i really allowed to stay there to accompany you?” Berhubungan Mix berhalangan hadir, mau tidak mau Win meminta Bank untuk mendampinginya selama acara pertemuan berlangsung.

Win tidak ingin apa yang terjadi di pertemuan-pertemuan sebelumnya kembali terulang tahun ini. Mematung dalam kesendirian bukan lagi levelnya, jika Mix tidak bisa diandalkan tahun ini maka Win bisa menarik Bank untuk ikut bersamanya.

Tidak akan ada lagi Win yang melangkah seorang diri seperti tidak punya teman di tengah kerumunan orang berkostum formal yang asik melempar sapa, canda dan tawa. Tidak akan ada lagi Win yang cuma bisa bersenda gurau dengan sebuah sloki pemberian bartender asing yang sibuk melayani ke sana dan ke sini.

Win, jelas, akan menikmati malam ini sebagai seorang pemenang.

. . .

Ujung sepatu pantofel hitam milik Win berulang kali menciptakan bunyi tuk… tuk… tuk… dan dengan samar terdengar di tengah alunan musik khas diskotik pada umumnya. Bunyi yang terus saling beradu menjadi hiburan tersendiri bagi pemuda itu kala dirinya memasuki pintu utama bar, dan disambut oleh beberapa orang sekuriti yang siap mengantarkannya sampai ke dalam.

Win memasukkan kertas undangan ke dalam saku bagian dalam tuksedonya. Mata si pengusaha sesekali melirik Bank, memberi sinyal pada sang sekretaris untuk mendekat.

“Bank,”

Dengan sigap Bank menjawab, “yes, Sir? Do you need anything?”

“Oh, no,” kepalanya menggeleng pelan, “selain diagendakan untuk merancang clothing exhibition akhir tahun nanti, apa ada kegiatan lain untuk malam ini?”

“Tidak, Sir. Pertemuan malam ini hanya untuk membahas perencanaan pameran yang akan diselenggarakan akhir tahun.”

“Kita bisa pulang setelah rapat selesai?” tanya Win, lagi.

Bank mengangguk, “tentu bisa, Sir.”

“Oke, kalau begitu kita pulang setelah rapat selesai. Oh iya, Bank,” situasi formal dimana beberapa petinggi perusahaan clothing ternama saling duduk berdampingan melingkari sebuah meja bundar menyambut langkah kaki Win yang semakin memasuki area bar.

Win menatap acuh kumpulan orang-orang yang sejatinya merupakan saingan baginya itu, lalu mendekatkan tubuh semampainya pada si sekretaris, “go enjoy the night, drink anything you want and i would enjoy mine as well there.”

Bank mengikuti arah pandang Win yang mengarah pada beberapa pria berjas yang terlihat sedang bersenda gurau sambil bersulang sesekali di tengah-tengah bar. Paham atas apa yang diperintahkan sang bos, Bank pun mengangguk lalu menunduk undur diri.

Meninggalkan Win yang masih bergeming di tempatnya. Diliriknya sebuah jam mahal yang melingkari pergelangan tangan kirinya, oh sudah jam 8 malam rupanya.

Lantas dengan mantap ia bawa kedua tungkainya membelah keramaian. Win, tanpa basa-basi langsung mengambil posisi duduk di bangku yang kosong, tepat di samping CEO dari perusahaan clothing yang menjadi musuh besarnya belakangan iniㅡ Bright Vachirawit, Astro's CEO.

“Took you so long to come here, Sir?” Suara berat yang datang dari sisi kanannya memaksa Win untuk mengukir seulas senyum ramah. Win mengulurkan tangan kanannya, menjabat tangan seorang CEO perusahaan clothing seniorㅡ AGLAZEA, Off Jumpol Adulkittiporn.

“Nice to meet you again, Mr. Adulkittiporn.”

Off menyambut uluran Win tak kalah ramah. Dulu, saat Velence baru 'beroperasi', Off banyak sekali membantu Win untuk memulai karirnya itu. Off bahkan dengan senang hati menjadi investor pertama Velence saat itu, sebagai dukungan yang ia berikan untuk Win yang sudah dianggap seperti adik sendiri.

Satu alis Off bertaut penuh antusias, “hello again, Mr. Opas-iamkajorn. It is such a blessing to ever meet you again as the winner of this month's competition.” Sebuah kedipan jahil bahkan Off berikan mengiringi ucapan selamatnya.

Perkataan Off barusan jelas mengundang atensi dari beberapa petinggi perusahaan clothing yang sayangnya, tidak semua Win kenal secara personal. Seorang pria gagah dengan balutan tuksedo birunya bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Win.

Tangannya terulur, “welcome and congratulations Mr. Opas-iamkajorn.”

“Thank you so much, Mr. Wongravee Nateetorn.”

“Congratulations for winning the second place, Mr. Chivaaree.” Tiba-tiba Win termenung menahan rasa kaget yang bercampur gugup. Pasalnya, Skyㅡ CEO perusahaan clothing senior “IGLE.ZY” baru saja mengucapkan selamat atas “kalahnya” Astro pada kompetisi bulan ini dengan posisi tangan masih bersalaman erat dengan tangannya.

Win ragu-ragu menatap dua tangan yang masih saling bertautan, lalu melirik CEO Astro yang duduk di sampingnya, yang terlihat acuh sambil menenggak cairan beralkohol di dalam sebuah sloki.

Situasi di meja pun sempat lumpuh selama beberapa saat sebelum akhirnya salah seorang CEO dari perusahaan clothing yang Win tidak begitu mengenal namanya, memecah keheningan.

“Jadi juara dua bukan berarti kalah, Sir.”

Tapi si CEO Astro hanya menanggapi dengan sebuah seringai dan tawa acuh.

Cih, arogan.

Sky pun akhirnya melepaskan tautan tangannya dengan Win dan berjalan kembali ke bangku yang sempat ia tinggalkan. Jajaran-jajaran pengusaha yang didominasi oleh pria-pria matang kini tampak mulai serius membahas tentang project pameran busana yang akan dilaksanakan akhir tahun nanti.s

Beberapa kali Win menyampaikan saran dan pendapat. Entah mengapa, kali ini Win merasa jauh lebih diterima dan dianggap, uh… apakah karena Velence berhasil merebut 'piala' dua bulanan yang kerap kali jadi bahan lelucon bagi para pengusaha-pengusaha senior ini?

Entahlah, Win enggan mengambil pusing.

Saat dirasa rapat penting sudah berakhir, Win izin pamit untuk menikmati malam versinya sendiri. Setelah diledek beberapa kali oleh para petinggi perusahaan clothing senior di sana, akhirnya Win bisa membebaskan dirinya untuk segera mengambil posisi duduk di salah satu meja kosong yang berhadapan langsung dengan beberapa bartender.

“Give me one drink that could make me feel high, please, Sir.”

Katakanlah Win gila, atau sedang kehilangan batas warasnya, atau kuno mungkin lebih tepatnya? Dengan santai lelaki itu duduk di depan seorang bartender yang sedang sibuk meracik suatu minuman, lalu meminta dibuatkan minuman yang… namanya sendiri saja ia tidak tahu.

Si bartender tersenyum kecil menyambut kedatangan Win, “welcome and congratulations for your achievement this month, Mr. Opas-iamkajorn.”

Hahaha, Win baru tahu, oh... begini ternyata rasanya dihargai. Setelah bertahun-tahun lamanya ia hanya dianggap anak bawang dalam lingkaran pengusaha-pengusaha kaya yang masih asik bercengkrama di meja bundar sana. Akhirnya, malam ini, he got to stand on 'that' spot.

Win mengulas sebuah seringai di ujung bibirnya, “beritanya menyebar secepat itu?” Ah, berpura-pura polos dan sombong sedikit tidak apa, 'kan?

Si bartender tertawa seraya kepalanya mengangguk antusias, “it spreads all over social media, i guess? Once again, congratulations, Sir.”

“Penfolds Bin 707 Cabernet Sauvignon?”

“Uh?” Kedua alis Win bertaut bingung, sedangkan si bartender hanya terkekeh sambil menggoyang sebuah botol kaca berwarna hitam dengan bagian tutup botol mencolok dengan warna merah.

“Well, i don't drink usually and my alcohol tolerance is kinda ugh, not gonna say it, tapi kayaknya saya memang butuh sesuatu yang sedikit spesial, to release my stress you know, so give me anything you think it could help.”

SRRRRTTTㅡ, “give him a glass of it.”

Win menoleh ke sisi kanan dan wajahnya seketika menegang begitu sosok yang amat sangat ia hindari, kini duduk dengan angkuh di sampingnya. Alis yang bertaut karena penasaran dengan ucapan bartender barusan nyatanya mampu bertahan lama, sepasang rambut-rambut halus itu masih saling bertaut menyambut kehadiran CEO Astroㅡ Bright, yang terkesan tiba-tiba.

Sang bartender mengangguk paham, “how about you, Mr. Chivaaree?”

“hm,” Bright melirik Win yang terlihat risih dengan kehadirannya, “give us a pair of glasses then.” Lalu wajahnya yang angkuh itu kembali menghadap ke arah si bartender, “thank you.”

Lantas setelah Bright menyelesaikan pesanannya, sang bartender pun mulai sibuk untuk meracik dan mempersiapkan.

Bright, masih dengan wajah angkuhnya menatap lurus ke depan. Seolah-olah sengaja untuk duduk di samping Win, lalu mengabaikannya seakan-akan Win tidak ada di sana.

Win berdecak, keberadaan Bright benar-benar mengganggu baginya.

“Metawin Opas-iamkajorn,”

Win tercengang bingung, apalagi ketika Bright perlahan-lahan mulai menatap ke arahnya. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang punya kebebasan di alam liar. Sepasang obsidian gelapnya menyala, ada kilat penuh rasa tidak suka yang terpancar di sana.

“The CEO of Velence,”

Dan Win benar-benar mengutuk cara Bright berbicara. Angkuh, penuh kebencian.

“The winner of this month's competition,”

Penuh dominasi, tidak mau dianggap kalah. Bahkan dari caranya menatap pun, Win tahu, Bright adalah seseorang dengan harga diri setinggi langit.

Bright memajukan bangku putarnya mendekat ke arah Win, wajahnya yang angkuh itu miring ke sisi kanan memperlihatkan seringai penuh ejek, “how does it feel to be in the first place, hm?”

Win balas menatap Bright tak kalah tajam, seringai kecil ikut menyapa malu-malu lewat sudut bibir tebalnya, “Mr. Vachirawit Chivaaree,”

Yang dipanggil menganggukkan kepalanya.

“How does it feel to be defeated?” Win mengangkat dagunya, membuktikan kalau bukan hanya Bright yang bisa menyombongkan diri, “by me to be exact.” lanjutnya.

“The most anak bawang in that high class circle.” Dagunya mengarah pada meja yang sudah ia tinggalkan sejak beberapa menit lalu. Masih ada beberapa petinggi perusahaan clothing yang saling bertukar cerita dan canda di sana.

Bright enggan mengikuti arah pandang Win. Lelaki yang malam itu berbalutkan kemeja berwarna senada dengan yang dipakai oleh Win, juga dengan sebuah outer coklat tua, memilih untuk menyambut uluran tangan bartender yang memberikannya sebuah gelas berisi cairan berwarna gelap.

“Here's your order, Sir.”

Bright bergumam menyahuti, “thanks.” Lalu menggeser gelas yang diperuntukkan untuk Win, membiarkannya berhenti tepat di hadapan sang lawan minum.

“Kamu nggak dengerin saya ngomong, ya?”

Sambil menyesap minuman beralkohol miliknya, Bright melirik Win dengan ekor mata. Oh, si 'anak bawang' sudah selesai dengan curahan hatinya, ternyata.

Takkkㅡ, gelas yang dipegang Bright berhasil mendarat dengan sempurna di permukaan meja. Sang CEO dari perusahaan Astro itu melirik Win yang duduk di sebelah kirinya satu kali lagi, lalu mengangkat tangan kanannya guna memanggil bartender yang tadi sempat melayani.

Tanpa kata-kata, Bright menggeser gelasnya yang sudah kosong ke arah sang bartender. Seolah mengerti dengan maksud dari gesture si CEO, bartender itu langsung menjalankan pekerjaannya untuk mengisi ulang gelas milik si Chivaaree.

Win, semakin merasa dirinya sedang dipermainkan.

Ck, pria-pria tua yang melingkari meja bundar tempat mereka melakukan rapat beberapa saat lalu itu bahkan mampu untuk menghargai dan menganggap Win walaupun hanya sebatas formalitas belaka. Tapi lihat, Bright, laki-laki ini malah mencampakkannya? Tidak bisakah dia berpura-pura untuk sedikit menghargai harga diri Win?

Dengan perasaan kesal yang membuncah, Win mengambil gelas berisi minuman beralkohol miliknya sendiri dan menenggak seluruh cairan itu sampai habis dalam satu kali tarikan nafas. Win membanting pelan gelas dalam genggamannya ke atas meja, matanya terus berfokus pada sosok yang merupakan saingan terberatnya di dunia bisnis itu.

Hingga seorang bartender kembali menyajikan minuman untuk Bright, Win ikut-ikutan melakukan hal yang serupa, “give me more.” Katanya, penuh amarah.

Win berusaha melirik Bright lewat ujung mata, menerka-nerka bagaimana respon si CEO sombong atas kemarahannya. Tapi gilanya, Bright justru dengan santai malah kembali menikmati minumannya. Bibirnya menyesap permukaan gelas, perlahan-lahan memindahkan cairan gelap dari dalam gelas masuk ke dalam rongga mulutnya.

“I am sorry, Mr. Opas-iamkajorn, ain't your alcohol tolerance is below 40%?”

Apa-apaan ini? Si bartender yang tadi sempat menyanjungnya atas segala pencapaian Velence bulan ini, sekarang malah membuat Win malu di depan Bright?!!

Win menatap tajam bartender itu, lalu ujung bibirnya terangkat penuh percaya diri, “i was joking and you believed it?”

“God, where's the logic of me can't drink alcohol?”

Tanpa Win sadari, Bright kini tersenyum meremehkan di posisinya.

Sang bartender mengulum kecil bibirnya, ragu. Apakah ia harus menuruti permintaan Win, padahal beberapa menit lalu lelaki itu baru saja membuat pengakuan kalau dirinya memiliki level toleransi yang cukup buruk dengan berbagai jenis minuman beralkohol?

Kalau Win ends up dengan kondisi yang memprihatinkan, akankah sang bartender menjadi tersangka utama dan namanya akan tersemat di segala media pemberitaan lokal?

“I asked you to serve me one more glass,”

Win mengulang ucapannya, darah di dalam tubuhnya semakin mendidih karena ulah bartender di depannya.

Sang bartender ragu-ragu melirik Bright yang tampak acuh di tempatnya duduk. Merasa sedang dimintai jawaban, akhirnya Bright menganggukkan kepalanya, “give him more.”

Lantas dengan cepat bartender itu melakukan pekerjaannya. Meninggalkan Bright yang kembali menyesap cairan Penfolds Bin 707 Cabernet Sauvignon miliknya, juga Win yang entahlah sadar atau tidak, kini sudah menggeram sambil mengepalkan satu tangannya.

Win membuang nafas dengan keras, “why the fuck he's asking for this motherfucker's consent?”

“Because you're suck at this?”

SUCK WHAT?!! Win lagi dan lagi melirik Bright yang seolah enggan menatap balik ke arahnya, “maksudnya?”

Bright menyesap kembali tetes terakhir dari gelasnya, lalu balas menatap Win dengan tatapan angkuh yang semakin membuat Win ingin mencolok matanya dengan jari telanjang.

“You are suck at everything you do. Termasuk juga tingkat toleransi kamu dengan minuman-minuman beralkohol yang ada di sini.”

Di tengah-tengah peperangan yang terjadi lewat dua pasang sorot mata tajam yang kini saling menatap penuh dominasi, sebuah gelas kembali tersaji tepat di depan Win.

“Here's your order, Mr. Opas-iamkajorn.”

Lalu tanpa ucapan terima kasih, Win langsung menenggak seluruh cairan itu lagi dan lagi dalam satu tarikan nafas. Keduanya masih saling bertatapan, “but Velence is now at its first place again, i am one hundred percent successful to beat you.”

Ada seringai di wajah angkuh Bright, “kamu cuma hoki aja.”

That's it. Win jadi merasa tidak pernah menyesal sudah mengibarkan bendera perang pada orang ini dan perusahaannya.

Win yang merasa emosinya semakin dipermainkan pun kembali memanggil bartender. Satu kali lagi, ia meminta gelasnya untuk diisi. Dengan minuman yang sama juga dengan volume yang sama.

Otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih, bahkan Win sendiri bingung kenapa kesadarannya masih 100% penuh padahal sebelumnya Win akan selalu berakhir blackout ketika menghabiskan gelas ke-2 nya.

Bright masih menatap Win yang sudah mulai jengah dengan eksistensinya. CEO Velence itu enggan untuk balik menghadap ke arahnya dan memilih untuk menunggu minuman yang ia pesan dengan raut kesal yang mendominasi wajah tampannya.

“Never expected that Velence and Astro would be best friends and sit together just the two of you like this.”

Gun Atthaphanㅡ CEO perusahaan clothing 'The AB:S' tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. Lelaki yang malam itu terlihat tampan, anggun dan mahal di waktu yang bersamaan melempar senyum bagi kedua pengusaha termuda di lingkaran pertemanan dimana ketiganya sama-sama bergabung di sana.

Raut bringas yang selama ini menghiasi wajah Bright hilang entah kemana, pun juga sepasang manik mata yang semula menyorotkan aura gelap kini berganti dipenuhi binar antusias.

“Hey, Kak.”

Gun membalas sapaan Bright dengan sebuah usakan gemas di kepala lelaki itu, “hello to you too, big baby.”

Demi Tuhan, Win bahkan baru tahu kalau Bright bisa tersenyum? Selebar itu? Win kira, wajah Bright memang sudah disetting jadi sangar dan menyebalkan sejak lelaki itu dilahirkan ke dunia?

“Kok baru datang, Kak? Tumben, biasanya paling cepet kalau urusan pertemuan sesama petinggi perusahaan clothing gini?”

Gun terkekeh sesaat mendengar pertanyaan bayi kecilnya itu, “malah tadinya aku sebenernya mau izin buat nggak dateng ke pertemuan malam ini. Tapi Mas mu itu lho, mana mau nggak ada aku yang nemenin.”

“Hahaha, dasar Mas Off,” tanggap Bright, “udah ketemu sama yang lain, Kak? Kita baru aja beres ngebahas soal rencana pameran busana untuk akhir tahun nanti.”

“Iya belum sempet nih, aku langsung nyamperin ke sini tadi begitu nyampe.” Gun spontan melirik ke arah Win yang terlihat clueless dengan segala percakapan yang ia lakukan bersama Bright, adik sepupu Off.

Bibir penuhnya menyunggingkan senyum maklum, lalu dengan ramah ia menepuk bahu Win, “bingung ya, Win? Hehehe, nanti tanya sendiri sama Bright ya biar nggak bingung.” Lalu lelaki dengan look mahal dan mewah itu kembali melirik Bright, “oke, kalau gitu aku mau ke table dulu, ya? Kalian baik-baik di sini, jangan berantem.”

Tiga kali tepukan akrab ikut hadir di bahu kiri Bright, “bye, bayi! Gotta catch up with you later, bye Win!”

Lalu Gun berlalu dari hadapan mereka. Win tiba-tiba berpikir, apakah dunia ini terlalu kecil hingga ternyata Brightㅡ musuh bebuyutannya, punya hubungan akrab dengan Off dan juga Gun atau… selama ini justru Win yang memang menutup mata dan telinga dari gosip publik dan menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu akan fakta yang satu itu?

Aura gelap kembali mengisi keheningan yang mendadak tercipta selepas kepergian Gun. Win yang baru sadar kalau pesanannya sudah datang, cepat-cepat langsung menenggak isinya sampai habis, hanya dalam satu kali tarikan nafas.

Sedangkan Bright hanya memilih diam sambil memainkan gelas miliknya yang sudah kosong.

Win mengusap bibirnya yang sedikit basah dengan punggung tangan. Detik demi detik berlalu, kepalanya mulai terasa pusing.

No, no, no. Win harus tetap terlihat keren di hadapan Bright.

Saat sedang berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya yang lambat laun menghilang, suara berat Bright berhasil memecah keheningan,

“So you really are good at drinking.”

Dipuji seperti itu Win rasanya ingin semakin sombong. Lantas tanpa memperdulikan Bright yang baru saja mengagumi bakat minumnya, Win kembali memanggil seorang bartender untuk satu kali lagi menyajikan minuman yang sama untuknya.

Begitu juga dengan gelas-gelas berikutnya. Win, sama sekali tidak mau terlihat lemah apalagi kalah di depan Bright.

Si CEO Astro yang merasa terpancing karena Win seolah menantangnya dengan terus-menerus meminta refill pada gelasnya pun ikut-ikutan memanggil bartender untuk melakukan hal yang sama padanya.

Si bartender yang cuma bisa pasrah pun hanya memilih untuk menurut dan mempersiapkan satu gelas lagi untuk Bright.

Sambil menunggu pesanannya datang, Bright melirik Win secara penuh. Lelaki itu sedang sibuk memainkan bibirnya di permukaan gelas, matanya tampak memejam sesekali.

So, he's drunk already, pikir Bright yang tiba-tiba dapat ide brilian untuk mengerjai si Opas-iamkajorn.

“Saya jadi penasaran, selain kamu hebat minum seperti ini, kamu hebat di bidang apa lagi?”

Win mencuri lirik lewat ekor matanya. Tidak ada lagi raut menyebalkan di wajah Bright, yang ada hanya raut penuh tanya dan garis-garis halus di dahi lelaki itu.

Bright terlihat antusias atas dirinya, uh, atau Win hanya berhalusinasi efek dari mabuk yang mulai mendominasi?

“Me? You're talking to me right now?” See? He's really really really drunk.

Bright berdehem halus, “hm, i am talking to you.”

“Hoooo, kirain sama orang lain, hehehe,” oke, Win sudah mulai ngaur. “Anyway, i am good at making people kneel down to me.”

Win yang sudah mabuk memajukan bangkunya, mendekat ke arah Bright. Lelaki itu mengukir seringai di wajahnya, “include you,” jari telunjuk Win pun seperti punya jalannya sendiri untuk menyentuh dan bermain-main sebentar di dada bidang Bright.

“Here's your order, Mr. Chivaaree.”

Bright mengalihkan pandangannya sejenak, “thanks.” Lalu mulai menenggak minumannya sedikit demi sedikit, dengan fokus yang masih sengaja ia pusatkan pada si lelaki yang sudah mabuk.

Entah mengapa, Win merasa kalau Bright terlihat jauh lebih seksi kali ini. Sorot matanya yang tajam tapi hangat di waktu yang sama, hidung mancungnya, wajah sempurnanya, jakun yang bergerak naik turun selagi cairan beralkohol melintas masuk menuju perutnya, dan uh… apa itu? Sebuah bekas luka di ujung alis kiri Bright berhasil merebut perhatian Win.

Tanpa sadar, lelaki itu mengangkat tangannya hendak menyentuh bekas luka milik Bright.

Tapi si empunya luka menepis tangannya dengan pelan, “what are you gonna do, little kid?”

“Ugh, i… iㅡ,”

Win seolah kehilangan kemampuan berbicaranya secara mendadak. Pandangannya mulai kabur perlahan-lahan tapi entahlah Bright masih saja terlihat sempurna di matanya.

“May i touch it?”

Satu alis Bright bertaut, “sentuh apa?” tanya nya, sambil memainkan jari telunjuk di permukaan gelas.

Win mendekatkan wajahnya pada Bright, berusaha memandang bekas luka di pelipis lelaki itu lebih dekat lagi. Tanpa rasa malu, Win dengan cepat mengecup bagian yang berhasil mencuri atensinya sejak tadiㅡ tepat di bekas luka sang rival.

“Hehehe,” si CEO Velence kembali memundurkan tubuhnya, “i kissed it.”

Oke, Bright mulai tertarik dengan permainan ini.

Bright kembali mengangkat gelasnya, hendak menghabiskan sisa minuman di sana tapi tangan Win lebih cepat mengambil alih gelas tersebut dari genggamannya.

Alih-alih protes, Bright justru membiarkan sang rival terus melakukan apa yang ia mau.

Win menempelkan bibirnya di permukaan gelas, lalu lambat laun ia menyesap cairan beralkohol milik Bright sampai habis.

“Hm, it's delicious,” tangannya tiba-tiba mengetuk keras permukaan meja, bermaksud untuk memanggil seorang bartender yang sedang berlalu lalang meracik minuman.

“Anything i can help, Sir?”

Kepala Win mengangguk berulang kali, “uhm,” ia mengulurkan gelas milik Bright pada si bartender, “give me more, please.”

Bartender itu spontan melirik Bright, menunggu jawaban. Lantas ketika kepala Bright mengangguk, sang bartender pun langsung melaksanakan pekerjaannya.

Sambil menunggu gelas ke-sekian datang, Bright kembali memecah keheningan dengan kalimat yang berhasil membuat Win terkekeh geli.

“Since you've kissed me without my consent, can i conclude that you're good at flirting? That's your hidden talent, hm?”

Sudah kepalang mabuk, Win pun semakin berpeluang melakukan hal-hal di luar kendali dirinya sendiri. But so far, he's enjoying it. So does this Chivaaree guy.

Win mendaratkan satu tangannya di atas paha kiri Bright, memberikan elusan pelan yang disertai sedikit remasan gemas di sana.

“I am good at kissing too if you're wondering.”

Satu alis Bright bertaut menantang, “oh ya?” dan dibalas dengan sebuah anggukan cepat oleh Win.

“Then prove me.”

Semakin ditantang, semakin menjadi. Yang namanya Win, mana mau mengorbankan harga dirinya demi seorang Bright. Diminta untuk membuktikan kehandalannya dalam berciuman, Win pun akhirnya berdiri, sesaat ia merapikan penampilannya.

Win masuk ke tengah-tengah kaki kanan dan kiri Bright, membawa tubuhnya mendekat hingga tak ada lagi jarak yang tersisa bagi keduanya. Tangannya mengalung, memeluk sempurna leher Bright. Win menundukkan kepalanya, wajah kedua rival ini sekarang saling berhadapan.

“Oh my God,” bukannya langsung mencium Bright seperti kesanggupannya, Win malah bergumam tepat di depan wajah sang rival. Dengan pelan, ia mengelus kepala bagian belakang dan tengkuk Bright. “Saya nggak pernah sadar, kalau kamu setampan ini.”

Ck, Metawin, Metawin…

Terlanjur hanyut dalam permainan, Bright secara spontan ikut melingkarkan satu tangannya di pinggang Win, menarik lelaki itu agar semakin rapat dengan tubuhnya.

Win memposisikan wajahnya lebih tinggi di atas Bright, tangannya menangkup sisi kiri dan kanan wajah Bright, mengangkatnya hingga mendongak dan dalam hitungan detik Win mempertemukan bibir keduanya.

Entah karena efek mabuk atau memang Win adalah seorang pencium handal, Bright rasanya mulai fanatik dengan dinamika yang tercipta di antara keduanya.

Bright semakin memeluk erat pinggang ramping Win, mengelusnya pelan selagi bibir mereka terus beradu saling memuaskan. Win melumat bibir atasnya, terasa manis, menggiurkan. Sesekali gigi kelinci lelaki itu sengaja menyengatnya dengan sebuah gigitan, lalu terkekeh ketika Bright meringis pelan tanpa mau melepaskan tautan mereka.

Bright sibuk menikmati bibir bawah Win. Disesapnya bibir penuh itu kuat-kuat, dilumatnya penuh minat hingga sesekali Win menggeram menahan nikmat.

Dua telapak tangan Win sudah menemukan jalannya untuk meremas surai hitam Bright. Sedangkan Bright mulai menguleni pinggang si musuh bebuyutan.

“Sshhh,” Win mendesah pelan, keduanya masih terus saling melumat.

Bright memiringkan kepalanya ke kanan, lalu mengubah posisi agar bibirnya kini mendominasi bibir atas Win. Bright melumat kuat bibir atas Win, lalu disesapnya sampai cairan saliva si CEO Velence mengalir masuk ke dalam celah bibirnya.

Sebuah gigitan sengaja Bright berikan di bibir atas Win, agar lelaki itu mau membuka mulut. Bright, sudah tidak sabar untuk melesakkan lidahnya masuk dan mempertemukan lidah mereka berdua untuk menyatu dan berdansa di bawah nafsu.

Win terkekeh merasa Bright mulai frustrasi di bawah dominasinya. Dengan ikhlas, ia membuka belah bibirnya dan hendak menyambut lidah Bright masuk namun sebuah tepukan di punggungnya berhasil membuat keduanya berhenti.

It's Gun Atthaphan again, awalnya Bright ingin murka karena kegiatan panasnya dengan Win diganggu, tapi because it is Gun, lelaki itu berhasil menelan bulat-bulat seluruh amarahnya.

Gun melirik Bright dan Win bergantian dengan tatapan penuh goda, “never expected that CEOs of Velence and Astro could kiss each other like this.”

“Kak...”

“Hahaha,” Gun tertawa melihat Bright merajuk, “bercanda. Oh iya, aku mau pamit duluan, masih ada kerjaan yang harus aku handle. Off masih standby di table, kok. Oh iya Bright,”

“Are you drunk?”

Bright mengangkat kedua bahunya. Dibilang mabuk, sepertinya belum tapi rasa pusing memang sudah menggerayangi kepalanya sejak tadi apalagi ketika ia berciuman dengan Win. Dibilang tidak mabuk, Bright sendiri tidak yakin.

Bibir si CEO Astro mencebik lucu, “nggak tau, tapi kayaknya belum sih, Kak.”

“Oke, oke. Kalau gitu aku pamit, ya? Bye Bright, bye Win… don't forget to use protection, okay?!”

Selepas kepergian Gun, Win terkekeh agak keras. “Use protection, use protection, emangnya kita mau ngewe apa?”

Bright mengambil gelas yang ternyata sudah terisi dan tersaji di depannya entah sejak kapan. Ia menunggu sampai Win selesai dengan tawanya.

“Kamu nggak mau ngewe sama saya?”

“Anjingggㅡ” kedua alis Win bertaut kaget, “BOLEHHH?!!”

Oh, lihat… siapa yang mendadak antusias untuk diajak naik ke level yang lebih tinggi?

Bright kembali menyesap minumannya, “jadi, kamu mau ngewe sama saya?”

Win sudah tidak tahu, apakah ini efek mabuk atau memang dirinya yang sudah terlanjur nafsu, tapi yang pasti kepalanya kini mengangguk penuh antusias.

“Beneran boleh?” bahkan ada binar yang terpancar di kedua bola matanya.

Bright berdehem pelan, “come here first,”

Satu alis Win bertaut bingung, tapi jawaban Bright selanjutnya membuat lelaki itu cepat-cepat kembali masuk ke dalam rengkuhan tubuh sang rival.

“Kiss me again.”

Keduanya kembali berciuman. Dengan mantap, Win menyambar bibir atas Bright yang seolah jadi candu baru baginya. Bright membiarkan Win mendominasi di awal, lalu beberapa detik kemudian, Bright mengambil alih permainan.

Dengan elusan penuh seduktif yang ia berikan di pinggang dan punggung Win, Bright melumat habis bibir bawah Win. Memuja bagian tersebut seolah-olah bibir Win adalah sesuatu yang berharga, indah, mempesona.

Win sesekali mendesah di cela ciuman mereka, sesekali terkekeh menikmati kerja bibir Bright yang sedang memberinya kepuasan, sambil tangannya melingkari leher jenjang sang rival, memberikan elusan di sana, penuh rasa.

Hingga di menit ke-3, Win lebih dulu menyudahi pagutan keduanya. Pengusaha muda itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, seperti seorang penjahat yang disodori senjata oleh pihak kepolisian.

Bibirnya menyunggingkan senyum penuh rasa puas, perlahan-lahan tubuhnya beranjak mundur untuk kembali duduk di bangkunya.

Bright tertawa, kepalanya menggeleng pelan melihat tingkah Win yang seolah baru saja sadar akan apa yang barusan mereka lakukan.

Tawa kecil Win berubah jadi kicauan-kicauan tidak jelas yang sesekali diselingi cegukan. Satu kali cegukan, Win tertawa. Cegukan ke-2, tertawa lagi. Cegukan ke-3, ia terkejut. Jari-jari lentiknya dengan gamblang memukul pelan bibirnya sendiri, bermaksud untuk menghilangkan cegukan yang tidak mau berhenti.

Bright, satu kali lagi, dibuat tersenyum oleh tingkah laku Win. Lelaki itu tidak pernah menyangka bahwa Win, dalam keadaan mabuk, akan jadi selucu ini. God, they even kissed twice, Bright jadi curiga reaksi seperti apa yang akan rivalnya itu berikan ketika ia sadar sepenuhnya nanti.

Ah, biar itu jadi urusan nanti. Menikmati momen mabuk bersama malam ini, tampaknya bukan ide yang buruk.

Rasa pusing yang bercampur euforia memenuhi diri Bright yang kembali menyesap minumannya. Matanya sama sekali tidak berpaling dari Win yang masih sibuk menikmati mabuknya; bernyanyi lagu indie yang melodinya ia ubah menjadi irama lagu ballad.

“Bright!!!” tiba-tiba Win berteriak menyaingi suara musik yang menggema keras di dalam bar. Lelaki itu menatap Bright dengan sepasang mata sayu, lalu tangannya diangkat, jari-jemarinya membentuk angka 3 dengan bantuan ibu jari, jari telunjuk dan juga jari kelingking.

“Hehehe,” jari-jemarinya yang membentuk angka 3 bergoyang ke kanan, ke kiri, tepat di depan wajah Bright. “Ini angka berapa, uh?”

Bright benci ditanya-tanya ketika sedang mabuk. Tapi sepertinya, Win adalah pengecualian. Lelaki itu menyipitkan matanya, berusaha mempertajam fokus yang mulai kabur untuk menghitung ada berapa jari Win yang berdiri.

“Lima?”

“AHAHAHAHAㅡ” cara Win tertawa, tanpa sadar mampu membuat ujung mata Bright terangkat, ia suka pemandangan yang sedang ia lihat dengan seksama.

“Lo nggak bisa ngitung, ya? Hahaha,” Win menggoyangkan kembali tangannya di depan wajah Bright, “ini angka dua, tau!!!”

Oh, angka 2… oke, sepertinya Bright harus belajar berhitung lagi.

Win kembali melantunkan lagu yang entah, mungkin lagu ciptaannya sendiri dan membiarkan Bright sibuk dengan gelasnya. Saat CEO Astro itu tak sengaja menengok ke arah kanan, ada sebuah botol Smirnoff yang menganggur di atas meja. Dengan santai, ia mengambil botol tersebut dan menuangkan sebagian isinya ke dalam gelas, dan meminumnya.

Bright menenggak seisi gelas hanya dalam satu kali teguk. Lelaki itu tersenyum, perasaannya seperti baru saja menjemput kata bebas.

Matanya menyisir seisi ruangan seolah sedang mencari sesuatu… atau seseorang? Sampai akhirnya, hehehe… ia tertawa senang, ada Win di sampingnya.

“Win,”

Yang dipanggil menoleh dengan cepat, bibir penuhnya mencebik sambil bergumam, “now i know,”

“Ha?” satu alis Win bertaut bingung, “tau apa? Tau rahasia gue, ya?! Tau aib gue, ya?! OH OH OH gue tau, gue tau,” Win menjeda kalimatnya, ia menunjuk-nunjuk Bright dengan jari telunjuknya, “lo tau pin ATM gue, ya?!!! Lo mau ngerampok gue, ya?!!!”

Bukannya mengelak, Bright malah menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengulas senyum, “mau tau, nggak?”

“Tau apa?! Pin ATM gue, yaaaah itu mah gue juga tau, kali!!!” Win memijat kepalanya yang berdenyut nyeri, “tapi pin ATM gue itu gabungan tanggal ulang tahun gue, kakak gue sama ulang tahun kucing kesayangan gue yang udah meninggal, hiks… Mercy…”

Bright terdiam sebentar, sebelum akhirnya ia bersuara lagi, “bukan itu,”

“Apa dong… Lo tau soal apa? Ish, kasih tau gue, please? Kepo, kepo, kepo...”

Bright memberikan gesture lewat jari tangannya agar Win mendekat. Dengan polos, lelaki itu bangkit dari posisi duduknya dan beranjak mendekat pada Bright. Win menundukkan tubuhnya, bermaksud untuk menyambut bisikan sang rival, namun Bright lebih dulu ikut berdiri sambil merangkul bahu Win penuh dominasi.

Keduanya perlahan-lahan melangkah berdampingan, agak sempoyongan. Tapi mana perduli, usapan yang Bright berikan di bahunya mampu membuat Win serasa sedang menjelajah antariksa.

Bright sesekali mencium pipi Win. Bibirnya juga dengan jahil menjilat rahang tegas lelaki itu, membuat si empunya wajah meringis menahan tawa. Bright terus menjamah kulit leher Win dengan bibirnya, endusan demi endusan turut hadir memberi sensasi aneh namun memabukkan di seluruh tubuhnya.

Win memeluk erat pinggang Bright, sesekali mereka curi-curi kesempatan untuk berciuman, sambil membelah keramaian menuju lorong gelap yang akan membawa mereka pada sebuah ruangan berlabel surga dunia.

. . .

Sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan ribut, Metawin kembali berhasil membuat Bright yang kepalang mabuk tertawa geli dan geleng-geleng kepala karena pemuda yang sudah di awang-awang itu baru saja membenturkan kepalanya ke pintu kamar dengan sengaja.

“APHWA MAKFHSUD LOE KHETWAIN GJUE HA?!!”

How funny, even the way he talked when he's drunk is… quite cute.

“Kamu lucu, mau nggak jadi submissive saya?”

Win menghadapkan tubuhnya pada Bright. Lelaki itu membusungkan dadanya tidak terima, yang mana gesture itu secara tidak elitnya ditangkap salah oleh sistem kognitif Bright.

Dengan santainya, Bright meremas dada Win, mengais kenikmatan di sana.

Alih-alih memberontak, Win malah semakin merapatkan tubuhnya pada Bright. Ia menggigit kecil bibir bawahnya menahan desahan. Win bahkan menggenggam tangan Bright yang sedang menggerayangi dadanya, membantu lelaki itu untuk terus meremas, sama-sama mengejar nikmat.

“Ahhh… sssssh, terusss, mmhhh, enak, Bright…”

Satu tangan Bright sibuk meremas dada Win, satu tangannya yang lain meremat sensual pinggang ramping sang rival. Bibirnya kembali menemukan jalan menuju leher Win, dengan tempo lambat ia bubuhkan kecupan juga jilatan di sepanjang kulit leher lelaki itu.

“B-bright, stop,”

Bukannya menurut, Bright semakin menyudutkan Win di dinding, seraya bibirnya terus turun meninggalkan jejak saliva mulai dari perpotongan leher sampai ke jakun Win yang bergerak naik turun.

Bright mengulum biji kecil itu, menghisapnya kuat dan menggigitnya penuh rasa gemas sampai membuat Win tertawa keras.

Bibir Bright semakin turun ke bawah. Hembusan nafas lelaki itu menyapa permukaan kulit dada Win yang mulai terekspos karena dua kancing teratas kemejanya sudah lepas, entah sejak kapan.

Satu tangan Win memeluk kepala Bright, menuntun lelaki itu agar semakin dalam menjamah dadanya. Sedangkan satu tangan yang lain berinisiatif untuk membuka sisa kancing kemeja yang masih terpasang. Win menurunkan sedikit busana yang dipakainya, memudahkan akses Bright untuk mengecap setiap jengkal kulit putihnya.

“Suck it hard, Bright.”

Satu kali lagi Win membusungkan dadanya. Ia mengarahkan puting kirinya ke mulut Bright, lalu mendesah berat ketika lidah lelaki itu mulai menyentuh areola kecoklatan miliknya.

Win menengadahkan kepala, menikmati kelihaian mulut dan lidah Bright untuk memanjakan putingnya.

Dirematnya kuat-kuat surai hitam Bright yang sudah berantakan, “mmmhhh,,, so good...”

Erangan Win menjadi sinyal tersendiri bagi Bright untuk terus melanjutkan aksinya. Ia terus mengulum dan menyesap puting kiri Win seakan-akan cairan susu bisa saja keluar dari sana.

Win terus mendesah. Meskipun sesekali lelaki yang sedang ia hisap putingnya ini menahan desahannya, Bright tahu, Win menikmatinya. Menikmati permainan panas mereka berdua.

Tangan kiri Bright terangkat, menyentuh puting kanan Win dan meremasnya. Ibu jari Bright turut berkontribusi menyalurkan kenikmatan, bergerak memutar sambil menekan-nekan bagian yang mencuat gemas.

“Aaaahh, u-udah, udah, Bright,”

Kali ini Bright menurut. Lelaki itu kembali berdiri sebagaimana mestinya, dahinya sengaja ia satukan dengan milik Win. Keduanya berlomba-lomba mengais oksigen, lalu tertawa setelahnya.

Bright memeluk pinggang Win, membawanya mendekat, kembali menghujani bibir penuh Win dengan ciuman.

“Gimana, Win?”

Win bergumam, bola matanya berputar, tampak berpikir.

“I don't like being submissive, i don't like being told and i don't like obeying people's commands.” jawabnya.

Bright yang sudah kepalang bernafsu, mendesah berat. Tangannya terus menguleni pinggang ramping Win, berusaha merayu rival-nya itu.

Kecupan bertubi-tubi Bright berikan di wajah Win, “i don't like being submissive as well, i am a top just in case you're wondering.”

Bibir bawah Win mencebik mendengar jawaban Bright, “terus gimana… nggak jadi ngewe?”

“hmm,” tidak, tidak. Tidak mungkin mereka harus berhenti di tengah jalan hanya karena perkara tidak ada yang mau mengalah untuk jadi pihak bawah. Bright menyisir seluruh sisi kamar dengan matanya yang sayu, dan pandangannya berhenti di… ranjang.

“How about we tried first? I think a handjob or blowjob could help.”

Satu tangan Win menarik Bright mendekat, lalu kembali menyatukan bibir mereka ke dalam sebuah pagutan mesra.

Sambil menyudahi ciuman itu, Win menganggukkan kepalanya, let's try...”

. . .

Bright merasa sedang di surga. Celana bahannya yang turun hingga ke batas betis, kedua kaki yang mengangkang lebar dengan Win yang berlutut di tengah-tengah tampaknya akan menjadi pemandangan terindah terbaru versi Bright.

Kepala Win dengan santainya berbaring di paha kanan Bright, sedangkan tangan kanannya sibuk bergerak naik turun, mengurut dan sesekali mengocok kejantanan Bright yang sudah berdiri tegak dan mengeras.

Bright sendiri sibuk menahan desahan sambil satu tangannya bergerak mengelus surai Win. CEO Velence ternyata tidak hanya pandai dalam menyusun strategi untuk memenangkan kompetisi clothing brands setiap dua bulan sekali, tapi juga pandai untuk memberikan handjob yang sangat memuaskan meskipun hanya dengan satu tangan.

Bright menghargai setiap pergerakan tangan Win di penisnya dengan terus memanjakan rambut dan pipi tirus sang rival.

Sesekali Win menggeram ketika Bright dengan sengaja menyisir rambutnya terlalu keras, bahkan sampai menjambaknya. Geraman penuh rasa nikmat, Win menyukai kegiatannya sekarang.

“Win,”

Yang dipanggil hanya bergumam, “hm?””

“Don't you want to suck on it?”

Tentu Win paham arah pembicaraan Bright. Sudah sepuluh menit Win memberikan handjob pada penis Bright, tapi Bright belum juga menjemput putih. Alhasil, Win mengangkat kepalanya yang semula sedang santai berbaring, dibawa mendekat pada penis Bright yang masih berdiri tegak.

Ukurannya yang besar, kepala penis yang memerah serta lubang di bagian ujung yang mulai berkedut berhasil mencuri perhatian Win. Lelaki itu menurunkan tangannya menuju dua bola kembar yang menyatu dengan batang penis Bright, meremasnya lamat-lamat sambil perlahan bibirnya menghujani bagian kepala dengan kecupan.

Win mengecup kepala penis Bright sampai menimbulkan bunyi. Lidahnya sesekali ikut bermain, menjilat lembut lubang penis Bright yang sesekali terbuka, menutup, terbuka lalu menutup lagi.

Bright mengelus surai berantakan Win penuh damba, “prove me that you're an unbeatable top so you can top me tonight.”

Fuck, diberi tantangan seperti itu jelas membuat Win terangsang hebat. Tanpa aba-aba, lelaki itu memasukkan sebagian penis Bright ke dalam mulutnya. Kepala Win bergerak naik, turun, naik dan turun seraya mengulum batang tersebut penuh semangat.

Win melibatkan lidahnya untuk memuaskan Bright, pipinya kembang kempis seiring dengan tempo hisapan yang ia lakukan pada penis si musuh bebuyutan.

Win melesakkan penis Bright semakin masuk ke dalam mulutnya. Rambut Win menggelitik perut Bright yang juga sudah terekspos, Win melakukan deep throat.

“Mmmhhh, so you are also good at sucking dick, hm?”

Bright ikut membantu kepala Win untuk bergerak, “use your tongue, baby.”

Segala pujian dan afeksi yang diberikan Bright rasa-rasanya bisa membuat Win menyerah kali ini juga. Ia ingin digagahi oleh lelaki ini, tapi akal sehat Win belum mau mengibarkan bendera perdamaian. Bagaimana juga, ia adalah seorang dominan. Malam ini pun, ia harus tetap jadi dominan.

Win menjilat batang penis Bright di dalam mulutnya. Kepalanya terus bergerak naik dan turun, berusaha untuk membantu Bright menjemput putihnya.

Bright menumpukan kedua tangannya di sisi ranjang, lalu pinggulnya ikut bergerak menghujam mulut dan tenggorokan Win dengan arah yang berlawanan.

Rasanya Win ingin muntah, berulang kali ia tersedak oleh ludahnya yang bercampur batang penis Bright. Kepala penis Bright menyapa dasar tenggorokannya, memberikan sensasi nikmat yang baru kali ini Win rasakan.

Pada hujaman ke-7, Bright mengelus kelopak mata Win agar terbuka. Keduanya saling bertukar pandang, sama-sama sudah diselimuti kabut nafsu.

“I am about to cum, where do you want me to release it?”

Masih terus bergerak menghujam namun dengan tempo yang pelan.

Win menunjuk seluruh sisi wajahnya, oke, he's asking for face cumming.

Sepersekian detik berikutnya, Bright menarik keluar penisnya dari mulut Win lalu meminta Win untuk sedikit menurunkan posisi tubuhnya. Pengusaha muda itu menurut, ia menengadahkan wajahnya tepat di bawah penis Bright sedangkan si empunya penis sedang sibuk mengurut penisnya sendiri, memancing agar putih segera datang.

Pada detik ke-5, Bright menjemput putih, tepat di seluruh bagian wajah Win tanpa terkecuali.

Bright tersenyum puas melihat kondisi Win saat ini. Lelaki itu, berantakan. Tuksedo miliknya sudah tanggal entah kemana, kemeja yang dipakainya sudah turun sampai ke batas siku, he's literally top half-baked, surai hitamnya tidak lagi tertata rapi, wajahnya berkilau dipenuhi cairan putih milik Bright.

Lantas Bright mengusap cairannya di wajah Win dengan ibu jari, meratakannya sampai ke leher, dan terlihat cukup mengering.

Merasa Win sudah cukup memuaskannya, Bright akan memberi kesempatan emas untuk lelaki itu.

Perlahan, Bright menanggalkan sisa fabrik yang tersisa di tubuhnya. Kali ini, CEO Astro itu sudah telanjang bulat.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya di tengah ranjang, kakinya terbukaㅡ mengangkang lebar, dengan kondisi penis yang masih mengeras mengacung tegak di tengah sana.

Bright mengurut penisnya sendiri lalu ia memanggil Win, “come here, top me.” katanya.

Dan dengan cepat, Win naik ke atas ranjang. Ia melepas celana bahannya, juga dengan celana dalamnya. Penis miliknya sendiri sudah menegang, pun mengacung tegak di tengah-tengah pahanya.

Win mengocok penisnya, lalu mengarahkan kepala dan batang miliknya itu ke arah lubang senggama Bright yang berkedut minta diisi.

Diusapnya pelan paha dalam Bright, sambil dengan perlahan ia melesakkan penisnya masuk ke dalam.

Bright mengerang. Ini kali pertamanya menjadi pihak bawah. Win beranjak mengukung tubuh Bright, sambil terus berusaha masuk membelah lubang senggama Bright, Win mengajak sang rival untuk kembali berciumanㅡ mengalihkan rasa sakit.

Bright memalingkan wajahnya sehingga bibir Win terlepas dari jangkauannya, ketika ia rasa Win berhasil masuk dan langsung menemukan titik klimaksㅡ prostat, yang mampu membuat Bright mendesah nikmat.

“Win, deeper, p-please, aaahhh...”

Bright berani bersumpah, menjadi submissive tidaklah seburuk yang ia pikirkan.

Maju, mundur, maju dan mundur, begitu seterusnya Win bergerak menghujam lubang senggama Bright. Keduanya saling memejamkan mata, menikmati setiap tumbukan dan gesekan yang terasa antara batang penis Win dengan dinding rektum Bright.

“B-bright, mmmhhh, jangan diketatin, okay...”

“I promise you, it won't hurt… shhhh,”

Bright menggeleng pelan. Ini… sakit, tapi terasa nikmat di waktu yang bersamaan.

Win terus mendesah, pinggulnya terus bergerak menghujam lubang senggama Bright saat dirasa putihnya juga sudah dekat.

Sambil terus bergerak konstan memuaskan lubang Bright, Win mengelus pinggang telanjang lelaki itu lalu bertanya, “mau gue keluarin dimana?”

Bright menyentuh perutnya, “di perut saya aja.”

Oke, Win mengangguk. Butuh sekitar lima kali hujaman lagi sampai akhirnya, “sssshhh, ahhh...” Win menarik keluar penisnya dan cairan putihnya mengalir deras di atas perut Bright.

Win berlutut mengangkangi tubuh Bright, penisnya yang mengacung lurus masih terus menumpahkan cairannya. Bright hanya bisa diam sambil memandang Win yang masih menikmati sisa-sisa orgasmenya, sambil tangannya mengelus pinggang telanjang Win penuh damba.

“Udah,” Win melirik penisnya yang sudah agak lemas, “it's your time to top me.”

Bright menarik halus tangan Win untuk mendekat, lalu mempertemukan bibir keduanya dalam sebuah ciuman panjang. Bright melumat bibir atas Win penuh damba, sembari tangannya mengelus sayang punggung telanjang Win.

Setelah puas, Bright melepas ciumannya, lalu menepuk sisi ranjang yang kosong, “kamu tiduran di sini, let me prepare you first,”

Mata Win sontak membulat sempurna. Kepalang nafsu untuk menggagahi Bright, sepertinya Win baru sadar kalau ia melupakan satu tahap penting sebelum melakukan seks melalui lubang anal.

Dengan sorot sayunya, Win meminta maaf, “i forgot to prepare you with my fingers, sorry...”

Bright mengangguk memaklumi, “saya ngerti, kamu keburu nafsu. It's okay, it hurts but i can manage. Now you go down first, lay down here.”

Win menurut, aura dominan Bright sungguh tidak bisa dibantah dalam bentuk apapun. Lelaki itu kini sudah berbaring di sisi ranjang yang ditunjuk Bright, dan Bright sendiri berlutut di tengah-tengah kedua kakinya yang mengangkang lebar.

Bright mengelus cincin kerut di lubang senggama Win dengan lembut, “saya akan mulai dengan satu jari, kalau kamu kesakitan, cubit bahu saya, okay?”

Win mengangguk, “yes, Sir. Please top me, please fuck me, AAAAAHHHㅡ”

Win menyesal sedikit sudah menggoda Bright, nyatanya malam itu ia digagahi dengan sempurna oleh Bright dengan berbagai macam posisi.

Ada satu hal yang baru Win sadari malam ini tentang Bright,

CEO Astro itu tidak hanya pandai membuat orang merasa terintimidasi pun juga tidak hanya pandai dalam mengurus perusahaan clothing yang katanya akan membuka cabang di luar Thailand,

Tapi juga pintar dalam hal memanjakan dan memuaskan pasangannya.

Seperti sekarang ini,

Tepat di depan standing mirror yang ada di kamar, Win dapat melihat betapa pasrah dirinya dihujam oleh Bright dari belakang.

Mirror sex and doggy style… adalah posisi ke-4 mereka bercinta malam itu.

Bercinta?

Apakah pantas malam ini menjadi awal dari benih-benih cinta di antara kedua CEO yang terkenal sebagai sepasang rival berkepanjangan?

Atau,

Besok pagi ketika bangun, mereka akan sama-sama sadar kalau…

Mereka siap mengibarkan bendera perang (lagi) karena merasa sudah saling dirugikan atas drunk sex yang mereka lakukan?

Atau,

Akan ada drunk sex drunk sex selanjutnya?

. . .

WRITTEN BY ; JEYI.

“Satu aja… satu kali aja kesempatan buat gue m-memperbaiki s-semuanya… boleh, Win?”

Win tetap memilih bungkam. Rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili segala asa untuk membentuk sebuah jawaban. Hanya suara saliva yang melewati tenggorokan yang mengisi sepi malam itu.

“I was so impulsive that day. I was not on my right mind, i was lost, i wasㅡ”

“Bright,” akhirnya Win menjawab. Kalimat putus-putus yang terucap dari bibir Bright sukses mendorongnya untuk membuka mulut.

Bright nyaris tersenyum ketika Win membalas perkataannya, tapi sayang… Win justru membuatnya kembali harus menelan pil pahit.

“Can we stop…?”

total words: 2.953 words.


“Oh, iya, oke oke gue paham, anak-anak yang lain udah dikasih tau, Luke?”

Pulpen yang terjepit di sela jari-jari Win kerap kali menyentuh permukaan meja, menciptakan bunyi tuk… tuk… tuk… sebagai pengiring keheningan yang mendominasi di dalam kamar. Kepalanya sesekali mengangguk penuh paham seraya Luke melanjutkan ucapannya di seberang sana.

Memiliki tingkat fokus yang cukup baik, Win terus memberi kesempatan pada ketua kelas 12 IPA untuk berkicau sambil dirinya sendiri sibuk mengerjakan buku detik-detik di hadapannya.

Sebuah gumaman pelan lolos dari belah bibirnya tatkala Luke selesai menyampaikan beberapa ide, “kalau uang kas mencukupi sih, gue ayo aja. Coba nanti gue follow up ke Puimek buat ngecek buku kas. Tapi kalau kita mau beli yang lebih dari itu juga it's okay sih menurut gue, but tetep ya harus diskusi dulu ke anak-anak kelas biar fix enaknya gimana.”

Win hendak mencoret salah satu pilihan jawaban dari nomor soal 14, mata pelajaran biologi, kasus tentang persilangan gen kacang hitam dan gen kacang kuning. Tapi mendadak ragu akan jawabannya sendiri yang terpikirkan secara logika, lalu dengan sedikit grasak-grusuk Win membuka laci meja belajarnya dan mengambil selembar kertas hvs dari sana.

Sebuah garis ditarik dari sudut kiri kertas menuju sudut kanan, lalu ditarik lagi ke bawah juga ke sisi lain sampai membentuk sebuah tabel. Win memasukkan beberapa gamet yang mendukung fenotipe dari kedua jenis kacang-kacangan pada soal, lalu coba menyilangkan masing-masing gamet horizontal dengan vertikal hingga menghasilkan genotipe di setiap kolom dan baris.

Fokus Win mulai terdistraksi pada soal yang sedang dikerjakannya. Soal tentang hereditas memang cukup membutuhkan konsentrasi penuh. Pemuda manis itu memastikan kembali bahwa gamet yang sudah ia tulis tidaklah salah, Hk, hk dan hK, hk. Win melakukan persilangan terhadap masing-masing gamet sehingga menghasilkan HhKk (hitam), Hhkk (hitam), hhKk (kuning), hhkk (putih). Semua genotipe dilihat dari yang paling dominan; H itu hitam, K itu kuning dan h,k itu putih.

Win mulai memenuhi kertas hvs nya dengan coretan, hasil genotipe-nya cukup membuat pemuda itu pusing karena harus terus menyimak ucapan Luke sambil menyelesaikan soal di waktu yang bersamaan. “Oke, ini kan berarti ada dua genotipe hitam berbanding satu genotipe kuning, berbanding satu genotipe putih, jadinya...” Win menggerakkan ujung pulpennya di atas 4 pilihan jawaban yang tersedia; A, B, C atau D.

Lalu dengan percaya diri Win mencoret pilihan C dimana jawaban hitam ; kuning ; putih = 2 ; 1 ; 1.

Terlalu senang berhasil memecahkan soal, Win lalu dibuat kaget saat Luke memanggil namanya agak keras.

“Eh, ya ampun sori sori, Luke,” aduh, jadi nggak enak… padahal Luke sedang menjelaskan tentang rencana perpisahan angkatan yang akan lebih dulu dibeberkan pada kelas 12 IPA. Win menggeser kertas hvs dan buku detik-detik miliknya beserta sebuah sebuah Tipe-X yang sudah hampir habis ke sisi kiri meja belajar, sedangkan pulpennya tetap ia selipkan di sela jari-jemarinya.

Win menyandarkan punggungnya di sandaran bangku, “iya, hehehe, gue sambil ngerjain detik-detik tadi, terlalu fokus nyelesain soal jadi omongan lo yang barusan gue nggak denger, sorry… boleh diulang?”

Ternyata Luke malah tertawa ringan di tempatnya sana. Huh, syukurlah. Padahal Win sudah ambil ancang-ancang, takut Luke menegurnya. Ketua kelas 12 IPA sekaligus ketua OSIS itu mengulang kata-katanya, dan kali ini Win menyimak dengan serius.

“Kalau sama kayak angkatan kemarin, kira-kira pada mau nggak, ya? Jogja sih, budget juga nggak bakalan gede banget kayaknya.”

Luke menyahuti saran dari wakilnya itu, dan Win cuma manggut-manggut sambil sesekali berdehem.

“Emm,” Win meletakkan pulpennya di meja lalu menumpukan satu tangannya di sana, sengaja dijadikan alas bagi dagunya yang bertopang santai. “Bali is okay too, tapi mungkin butuh budget di atas budget perpisahan angkatan tahun lalu. But, it's gonna be worth the price, sih.” sambungnya.

Entah kenapa, Win seakan-akan bisa melihat Luke sedang menganggukkan kepalanya di seberang sana setelah pemuda itu berkata “yes, Bali!” atas request-nya barusan. Seulas senyum kecil terbit di bibir penuh Win.

“Oke, besok kita sama-sama coba obrolin dulu sama anak kelas ya. Kalau mereka udah oke atau ada saran lain, jadi bisa kita bawa ke rapat OSIS baru habis itu bikin proposal buat kepsek dan bagian kesiswaan.”

“Alright, segitu dulu deh rapat dadakan kita ya, Win. Udah jam setengah sebelas gila, haha, nggak berasa kita ngobrol lama juga.”

Oh, jam setengah sebelas malam? Win dengan cepat melirik jam di dinding kamar dan ya, benar saja, sekarang sudah jam setengah sebelas malam lebih sepuluh menit.

“Wow, ngebahas soal perpisahan doang ya padahal,” sahut Win.

“Hahaha, emang kalau ngobrol sama lo mah suka bikin lupa waktu.”

Jiah, mulai lagi… tapi Win tidak mau merusak mood temannya itu, alhasil ia hanya tertawa canggung sambil berujar, “ya udah, kalau gitu gue tutup ya… boleh, Luke?”

Luke berdehem penuh pengertian, “belajarnya jangan diforsir, Win. Santai tapi serius, kalau lo forsir belajar terus-terusan lo bisa burning out nanti.”

Hahaha, “iya, paham kok gue. It such a stress reliever to be honest.” katanya.

“So i was right, you've been stressed out lately.” aduh, aduh, kelihatan banget apa ya? Win jadi panik sendiri, apakah orang lain juga menyadari perubahannya belakangan ini?

“Mind to share with me? Apa ada kaitannya sama Bright yang tempo hari tiba-tiba muncul di parkiran dengan badan babak belur dan berdarah-darah?”

Bright dan babak belur, adalah dua topik yang tidak pernah hilang dari kepalanya sejak saat dimana Win meninggalkan Bright seorang diri di samping gedung SMP.

“Nope,” tapi Win sama sekali sedang tidak punya niat untuk memikirkan mantan kekasihnya itu. Berbanding dengan apa yang terucap dari mulutnya, kepala Win justru mengangguk pelan.

“Udah malem, gue tutup ya, Luke?”

“Okay, but please don't push yourself too hard, ya? Good night, Win?”

“Ehm,” berdehem pelan lalu berucap, “good night, bye.”

PIP.

Win langsung memutuskan sambungan telepon antara dirinya dan juga Luke. Mood yang awalnya sedang baik-baik saja mendadak menguap entah kemana setelah Luke menyebutkan dua topik yang paling bisa membuat Win sedih bukan main; Bright dan babak belur.

Memorinya kembali mengulang rentetan kisah yang terjadi beberapa hari lalu. Tentang bagaimana Win merasa sangat sangat hancur ketika Bright tiba-tiba muncul di depan pintu utama rumahnya di malam hari, dengan wajah penuh luka, matanya kosong.

Berulang kali sudah Win katakan pada pemuda satu itu, berhenti jadi sok jagoan, berhenti jadi anak yang ugal-ugalan, berhenti cari mati. Tapi Bright tidak pernah mau dengar, kata-kata dan rasa khawatir Win seolah hanya angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar dari telinga kiri.

Tidak penting, sia-sia.

Win ikut terluka malam itu. Mendengar Bright meminta maaf dan mengucapkan ulang tahun untuknya dengan keadaan berantakan, apakah Win sanggup untuk bersikap biasa-biasa saja?

Tapi Bright selalu mengulangi kesalahan yang sama. Lagi dan lagi menerjunkan diri ke lubang yang sama. Win lelah untuk memberitahu, karena pada akhirnya Bright memang bukan milik siapa-siapa, tapi milik pemuda itu sendiri.

Dan Win sadar, ia sudah tiba pada puncak sabarnya.

Alih-alih memperlakukan Bright dengan baik malam itu, Win malah bersikap dingin. Mungkin Bright menganggap dirinya sudah berubah, tidak ada lagi rasa sayang yang tinggal. Tapi Win tidak mau menangis malam itu, memangnya apa yang akan berubah jika ia menangis?

Keduanya akan menangis, begitu? Mereka berdua akan sama-sama menyalahkan keadaan, begitu? Atau malah saling mempertanyakan diri masing-masing, meragukan segalanya atau justru let things go as if it didn't happen, seperti biasanya?

Lalu kapan mereka bisa bertumbuh dalam kedewasaan?

Salahkah jika Win kali ini menghukum Bright dengan caranya?

Tahukah Bright, kalau Win juga merasa sakit hati?

Tahukah Bright, kalau Win selama ini juga sudah… lelah?

Sial, rasa sesak kembali datang memenuhi dada Win. Pemuda itu mencoba untuk mengais oksigen sebanyak yang ia bisa, tapi netranya malah tak sengaja beranjak pada tiga tangkai mawar merah yang sudah ia simpan di dalam sebuah vas kaca berisi air di sudut kiri meja belajar.

Tiga tangkai yang berhasil diselamatkan, tiga tangkai pertama dan terakhir dari seorang… Bright.

“Bright, please pergi dari pikiran gue,” Win mengacak frustrasi rambutnya, “you asked me to leave, right? So please do the same, leave me and my mind alone.”

Win mengusap wajahnya kasar, berusaha menepis buliran bening yang dengan lancang meronta-ronta ingin keluar dari sudut matanya.

Satu kali lagi, Win menghela nafasnya. Matanya yang semula dibuat terpejam untuk menghalau segala memori yang berbondong-bondong datang menerobos kepalanya kini ia biarkan terbuka.

Kali ini terpusat pada sebuah bingkai foto yang mengabadikan momen bahagia antara dirinya dan juga Bright. Seingat Win, ia sudah meletakkan bingkai itu dengan posisi terbalikㅡ sengaja, biar tidak terlihat. Tapi entah kenapa sekarang bingkai foto itu sudah kembali berdiri dengan lantang di tempatnya semula.

Win menatap dua orang di dalam pigura itu, tersenyum seolah mereka berhasil menggenggam masa depan yang pernah diimpikan bersama.

Win berdecak, satu alisnya bertaut penuh rasa tidak terima. “Kenapa masih bisa senyum? Ngeledek, ya? Seneng gue sama Bright gagal lagi, iya?”

BRAKKKㅡ, lalu tanpa ampun Win menjatuhkan pigura itu, membuatnya kembali pada posisi terbalik.

Kacau, Win seketika merasa dirinya kacau, lagi.

Waktu semakin larut, dan Win memutuskan untuk segera melemparkan tubuh ke atas ranjang lalu bersembunyi di balik selimut. Lambat laun, pemuda itu beranjak meninggalkan meja belajarnya. Tetapi baru sampai pada langkah ke-3, ponselnya berdering.

Mau tak mau, Win berbalik. Meraih ponselnya dengan cepat dan mengernyit begitu ia dapati nomor yang tidak terdaftar meneleponnya.

Win, paling pantang menerima telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Alhasil, sambil berdecak ia lempar kembali ponselnya ke atas meja.

Lalu kembali melangkah.

Dan berhenti lagi, saat suara dering itu sukses menginterupsi.

Enggan menerima panggilan di waktu yang hampir memasuki tengah malam, Win pun memutuskan untuk menolak panggilan tersebut. Cepat-cepat ia berusaha mematikan ponselnya, tapi sayang nomor yang sama kembali muncul di layar ponselnya.

Win, malas. Tapi jika panggilan yang sama terjadi berulang kali, sepertinya layak diberi kesempatan, kan?

Oke, Win kembali duduk di bangku meja belajarnya. Ujung ibu jarinya masih bergerak gusar di atas layar, angkat, tidak, angkat, tidak, tapi akhirnya Win menerima panggilan itu.

“S-shalom, hiks...”

Deg,

Win berhasil dibuat skakmat. Suara itu… suara yang amat sangat dirindukannya, suara Bright.

Tapi, ini nomor siapa?

Satu kali lagi Win melirik ponselnya, berusaha memastikan kalau nomor yang sedang tersambung dengan ponselnya ini bukanlah nomor Bright. Tapi panggilan 'Shalom' hanya Bright yang jadi pelaku utama. Mama, Papa dan Mick tidak pernah memanggilnya dengan nama itu.

Dan lagi, itu suara Bright.

“S-shalom, thanks, hiks...” ada tangisan yang bercampur dengan pekikan di ujung kalimat, tunggu… Bright, mabuk?!

“Bright, lo dimana?”

Yang dipanggil malah tertawa di seberang sana, tidak lama pekikan lain kembali muncul. Persis seperti orang yang sedang cegukan.

“Hehehe, Shalom,” tuh kan bener, mabuk.

“Elvino p-pakai nomor hape bartender b-buat hik… b-buat telfon S-shalom hik… karna Shalom masih b-block nomor Vino… hiks,”

Win memilih diam. Bright, pemuda itu benar-benar mabuk. Satu kesalahan lagi terjadi, Win… menyerah.

Tidak lagi ada suara yang terucap dari bibir Bright. Pemuda mabuk itu malah sibuk bergumam tidak jelas, lalu memekik tertahan di ujung gumamannya.

Sampai lima menit kemudian suara lirih Bright kembali terdengar, “S-shalom, sayang… Shalom marah, ya? Vino jahat banget, ya? Vino bikin Shalom nangis terus...”

Kali ini Bright berujar cukup jelas, sambil menangis. Tanpa sadar Win mencengkeram kuat telapak tangannya, buku-buku jarinya ikut memutih.

“S-shalom, hik… luka-luka di badan Vino udah mulai hilang, hik… hehehe, S-shalom, are you there? Say aaaaa or hi vino if you're listening to me, hik… i have something important to tell, don't leave me hanging, I'm messed up already,”

Win masih diam, membiarkan hening jadi satu-satunya jawaban yang hinggap di telinga Bright kala itu.

“S-shalom,”

“Hm,” rasanya Win mau menangis ketika isak tangis Bright kembali terdengar, pilu sekali, “hi, Vino.” sahutnya.

“Hehehe, hi, Shalom.”

Lalu Win memejamkan matanya. Rasanya konyol meladeni kekacauan orang yang sedang mabuk, tetapi di waktu yang sama rasanya juga ingin menangis dan marah. Kenapa Bright selalu saja tak pernah pikir panjang ketika melakukan suatu hal?

Mabuk, gila.

“S-shalom...”

Win menggigit kecil bibir bawahnya, “hm?”

“I am broken. I am broken outside and inside. I am broken both physically and mentally, i am genuinely broken...”

Bright mungkin mengucapkannya dalam satu tarikan nafas. Mungkin juga diucapkan dalam keadaan tidak sadar, tapi Win tetap memilih untuk mendengarkan.

Bukankah orang tidak bisa berbohong ketika mabuk? Bukankah mereka akan selalu jadi yang paling jujur ketika mabuk?

“I really am sorry for hurting you all over again,”

Tanpa sadar, Win juga sudah ikut menangis. Matanya masih terus terpejam, ia sedih dalam kesendiriannya malam itu sambil terus mendengarkan Bright, yang juga sedang hancur di seberang sana.

“Gue nggak pernah belajar, i always did the same mistake many times, i made you cry, i disappoint you again and again, i am such a failure.”

Bright menangis. Terdengar suara kepala yang sengaja dibenturkan ke meja berkali-kali, pun juga terdengar isakan lirih yang menyayat hati.

“Shalom, maaf...”

“Maaf, maaf, maaf, maaf...”

“S-shalom, sayang,”

Win berdehem pelan, “hm... say it all.”

“Hehehe, S-shalom kesayangan Vino,”

“Maaf, maaf, maaf, maaf...”

Win melirik jam dinding kamarnya, sudah jam setengah dua belas malam, dan Bright tampaknya belum mau berhenti meminta maaf.

“Shalom,”

Kepala Win mengangguk pelan, sambil setetes air matanya tumpah ia kembali menyahut, “yaaa, Vino?”

“I love you...”

Hening.

“I love you to the point I could only cry when it comes to you,” Lalu terdengar pekikan lagi di ujung kalimatnya, “hehehe, cengeng ya...”

Masih hening.

“I love you so much, it hurts...”

Tetap hening.

“Can we start… again?”

Win menggeleng, meski Bright tidak bisa lihat, ia tetap menggeleng.

Bright terkekeh miris ketika ia sadari tidak ada jawaban apa-apa darinya. Gumaman tidak jelas kembali terucap asal dari bibirnya, diiringi dengan gelak tawa hambar yang berujung isak tangis.

Win menyeka air matanya sendiri, lalu tubuhnya beranjak ke arah lemari. Ia meraih asal sebuah jaket dari dalam sana, lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di nakas samping ranjang.

“Stay there, jangan matiin teleponnya.”

Bright bergumam penuh antusias di seberang sana, “i can't sing you a lullaby tonight, i lost my guitar, sorry...”

“It's okay, Bii…” secepat mungkin Win menuruni anak tangga rumahnya, “i am going to pick you up, tunggu ya, oke?”

Hehehe, “okay, bye, Shalom,”

. . .

Situasi di dalam mobil, tadi, sama sekali tidak menolong. Bright yang mabuk berat acap kali merengek sambil meminta maaf, terus menerus, lalu menangis setelahnya.

Ini adalah kali pertama Bright mabuk, dan efeknya sudah separah ini.

Win tidak bisa menebak kira-kira berapa gelas yang berhasil pemuda itu habiskan? Dan berapa kadar alkohol minuman yang pemuda itu pesan pada si bartender yang dengan senang hati meminjamkan ponselnya pada sang mantan kekasih?

Tidak jauh berbeda dengan situasi canggung di dalam mobil, kali ini kebekuan juga tercipta di dalam kamar Win.

Win baru saja selesai membasuh bersih tubuh Bright dan memakaikan pemuda itu satu pasang piyama berwarna biru tua.

Kini keduanya berbaring saling memunggungi di balik satu selimut yang sama.

“Shalom,”

Win yang memang belum tidur dan tidak ada rencana untuk berpura-pura sudah tidur pun menjawab panggilan Bright barusan, “kenapa?”

Bukannya langsung membalas jawaban Win, Bright justru terkekeh kecil sambil memainkan jari-jarinya di ujung selimut, “Shalom is such a beautiful name.”

Ck, Win berdecak, “masih mabuk, ya?”

“Hehehe, sedikit,” Bright memberikan jeda singkat pada ucapannya, “but i am sober enough to apologize to you for what i have done.”

Hening. Rasanya lama-lama Win muak dengan segala bentuk permintaan maaf yang diucap Bright.

“I am sorry if i ever hurt you,”

“I truly am sorry if you cried everyday,”

“I am deeply sorry for everything i did to you, Shalom.”

Win menghela pelan nafasnya, “nggak capek kah minta maaf terus?” lalu kesalahannya diulang lagi, minta maaf lagi, mengulang kesalahan lagi?

“Eh, did i?”

Win mengangguk, “di telfon pas lagi mabuk berat, di mobil dan sekarang. Is that your new template, hm?”

Hehehe, “are you hate me that much, Shalom?”

Win, diam. Bungkam adalah jalan terbaik.

“Ah, i get it now,” Bright menghela berat nafasnya, ia gusar, “kesalahan gue sebesar itu, sampai lo benci sama gue kayak gini.”

Win muak. Benar-benar muak dengan kebiasaan Bright yang selalu ambil kesimpulan sendiri, sesuka hati.

Lantas Win menggulingkan tubuhnya ke sisi kiri dan menarik tubuh Bright untuk terlentang menghadap ke arahnya. Tanpa ragu, Win membungkam mulut Bright dengan sebuah ciuman. Ciuman panjang penuh amarah.

Bright diam, membiarkan Win melampiaskan emosinya lewat ciuman itu.

Seolah baru saja sadar akan apa yang ia lakukan, Win langsung menarik dirinya menjauh.

Kali ini, keduanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamar.

Keheningan kembali mendominasi ruangan itu. Win sibuk dengan asanya, dan Bright sibuk dengan segala rasa bersalahnya.

Sampai akhirnya, Bright kembali jadi pihak yang memecah keheningan.

“Satu aja… satu kali aja kesempatan buat gue m-memperbaiki s-semuanya… boleh, Win?”

Win tetap memilih bungkam. Rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili segala asa untuk membentuk sebuah jawaban. Hanya suara saliva yang melewati tenggorokan yang mengisi sepi malam itu.

“I was so impulsive that day. I was not on my right mind, i was lost, i wasㅡ”

“Bright,” akhirnya Win menjawab. Kalimat putus-putus yang terucap dari bibir Bright sukses mendorongnya untuk membuka mulut.

Bright nyaris tersenyum ketika Win membalas perkataannya, tapi sayang… Win justru membuatnya kembali harus menelan pil pahit.

“Can we stop…?”

Win, sudah menyerah. Harusnya Bright tahu itu dan berhenti berusaha.

Lalu pemuda bernama depan Elvino itu mengangguk pelan sambil bergumam, “okay, let's stop trying.”

Inilah finalnya, dan Bright harus menghargai keputusan Win, sekalipun ia merasa sedih bukan main.

“Vino,”

Bright menyahut, “hm?”

“Kiss me,”

Tidak ada jawaban, Win tahu Bright pasti kaget dengan permintaannya barusan.

“Kiss me for the last time and proof me that the love is no longer here, between me and you,”

“Kiss me, Bright.”

. . .

JEYI // 210412.

Mau tidak mau, Bright terpaksa membuka pejaman matanya. Pekerjaan yang menumpuk dan memangkas habis waktunya selama seminggu lebih untuk perjalanan bisnis ke luar kota dan baru tiba di rumah pada waktu dini hari, membuat lelaki itu harus tidur ketika hari sudah memasuki pagi. Niat awal ingin tancap gas sampai tengah hari bolong, mumpung sekalian days off, Brightㅡ lagi dan lagi, terpaksa bangun pagi.

Pipi kirinya terasa basah, ia tahu siapa si pelaku utama.

Begitu Bright sudah berhasil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat Win yang sedang tiduran tengkurap menghadap ke arahnya. Kepala 'kucing manis' itu sedikit terangkat, sesekali bergerak ke kanan juga ke kiri, lucu.

Bright lantas menghela panjang nafasnya, “masih pagi udah jilatin pipi Mas ya, kamu...”

Yang diajak bicara hanya terkekeh, lalu dengan binar di mata dan rona merah di kedua pipinya yang seperti buah persik, Win berucap dengan girang,

“Masbie, ayo kita sunbathing!!!”

TAGS: FLUFFㅡ romance, tease!bright, clingy!win, budak korporat!bright x cat hybrid!win. total words: 4.2k words. Commissioned by: @k_opasiamkajorn


“Dek, June bawa es krim nih, sini sayang...”

Seketika, acara kartun Sinchan yang sejak tadi sedang diputar di layar televisi ruang tengah lantai 2 rumah langsung tidak menarik begitu Win mendengar langkah kaki yang masih mengenakan sepatu running menaiki anak tangga, lalu disusul dengan suara nyaring June yang memanggil namanya.

Win tanpa sadar melempar asal remote televisi yang semula ia pegang erat ke sembarang arah, lalu kakinya yang panjang mulai berlari kecil menyambut kepulangan June dengan senyum merekah di wajahnya.

June yang sedang memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam kulkas melirik sebentar ke arah Win yang sore itu terlihat manis dengan balutan piyama satin berwarna merah marun. Telinga kucingnya bergerak lucu penuh antusias, June lantas menyunggingkan senyum lebar.

“This is for you,” June menyodorkan sebuah cup es krim berukuran kecil dengan gambar buah strawberry di atasnya, “Winnie's favorite flavor, strawberry...”

Kepala Win mengangguk cepat, senyumnya melebar, tangannya terulur meraih sebuah cup es krim dari tangan June.

Win membuka sendok es krim yang masih tersimpan di dalam kemasan plastik dengan giginya, “thank you, pretty lady queen June…”

Tapi belum lima detik kalimat itu terucap dari bibir Win, si kucing manis itu kini mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Matanya bergerak gusar ke kanan dan kiri, menghindari tatapan June.

June yang mendadak bingung pun mengangkat satu alisnya, “kenapa, dek? Kamu kok tiba-tiba nutup mulut gitu?”

Takut-takut, Win menjauhkan tangannya dan berujar, “kata Masbie, Winnie tidak boleh lagi memanggil June dengan panggilan pretty lady queen June,” sepasang mata Win mengerjap lucu, June tertawa dibuatnya.

“Hadeh emang dasar ya aki-aki kerjaannya cemburuan aja...”

Melihat June ngedumel seperti itu, Win jadi terkikik sendiri. Si kucing manis lantas mengikuti langkah kaki June yang mengambil posisi duduk di salah satu bangku di meja makan. Win duduk tepat di samping June.

Dengan ekspresi penuh antusias di wajahnya, Win kembali berkata, “aki-aki itu apa, June?” seolah sudah tidak sabar akan mendapatkan kosakata baru.

June terdiam. Lalu dengan canggung gadis itu menggaruk kecil dahinya, lupa kalau Win tidak bisa sembarangan dicekoki kosakata yang aneh-aneh dan tidak jelas.

“Hehehe,” adik satu-satunya dari Bright itu menggeleng pelan, “aki-aki itu artinya kakek-kakek, dek…”

“Kakek-kakek? June dan Masbie punya kakek?”

Haduh, tuhkan… panjang deh ini urusannya.

Kekehan kecil kembali lolos dari belah ranum merah muda milik June, “punya, dong. Tapi tinggalnya jauh, bukan di sini. Tapi yang June maksud kakek-kakek itu bukan kakeknya June dan Masbie, tapi Masbie...”

“ㅡ eung???” kepala Win memiring 30 derajat seperti anak anjing yang kebingungan, “Masbie tidak setua kakek-kakek, June.” sahutnya.

“June tidak boleh bilang Masbie seperti kakek-kakek lagi, ya...” ada raut tidak suka di wajah si kucing manis, tapi tidak bertahan lama. Fokus Win langsung beralih pada sebuah cup es krim yang bagian penutupnya baru ia buka. Win mengangkat cup tersebut mendekati mulutnya, lalu secara spontan lidahnya terulur, hendak menjilat, mengecap.

Tapi June lebih dulu menghentikan gerakan si Manis. Gadis itu menjauhkan tangan Win yang memegang cup es krim dari jangkauan mulutnya, kemudian mengarahkan tangan kanan Win yang sedang memegang sebuah sendok kayu mendekati permukaan es krim yang berwarna merah muda.

“Makannya harus pakai sendok, oke?”

“Hehehe,” si kucing manis tertawa renyah, kepalanya mengangguk paham, “i am so sowryyy, June.”

Tidak tahan dengan kegemasan Win, June tanpa izin mengacak-acak surai tebal hybrid kucing itu. Win cuma bisa pasrah, seraya tangannya mulai aktif menyuapkan es krim ke dalam mulutnya.

“Bahasa inggrismu bagus, dek...”

“Ya, ya, ya, June,” Win menjilat sisa es krim yang membekas di sudut bibirnya, “Miss Alice ajarkan Winnie belajar bahasa inggris setiap hari Senin, Rabu dan Jumat.”

Melihat Win yang lahap menikmati es krim strawberry-nya, June jadi ikut-ikutan lapar. Gadis itu mengambil sebuah box pizza ukuran personal lalu membukanya hati-hati.

June turut mengangguki jawaban Win barusan sambil menggigit ujung pizza dengan varian rasa tuna melt, “kamu suka belajar sama Miss Alice, dek?”

“Suka sekali!!!” Win menyuap satu sendok es krim ke mulutnya, “Miss Alice baik, Winnie suka.”

“Diajarin apa lagi kamu sama Miss Alice?”

Keduanya mulai terlibat konversasi yang asik sambil menikmati menu camilan mereka masing-masing. Win sibuk menjilati sendok es krimnya, dan June dengan sekotak pizza yang dibelinya sepulang dari supermarket untuk berbelanja bulanan.

“Bahasa Indonesia dan belajar tata krama, June. Miss Alice ajarkan Winnie untuk makan dengan baik di meja makan, bagaimana cara makan dengan sendok, garpu dan pisau, bagaimana cara duduk yang manis, tidak boleh mengacak-acak barang yang bukan kepunyaan Winnie dan belajar mengucapkan tolong, maaf dan terima kasih.” Win termasuk hybrid yang memiliki daya ingat di atas rata-rata. Kucing manis itu handal dalam mengingat banyak hal, tapi tidak jarang ia mudah lupa jika fokusnya sedang terdistraksi.

Bicara soal apa-apa saja yang Miss Alice ajarkan pada Win, June merasa ada yang kurang. Ada satu hal yang luput dari ucapan anak manis itu.

June membatalkan niatnya untuk mengambil slice terakhir pizza yang tersisa, “kamu nggak diajarin matematika tah?”

Wajah Win yang tadinya dibanjiri ekspresi girang pun kini berganti dengan ekspresi sedih. Bibir bawahnya mencebik lucu, masih ada sisa es krim di sekitar dagunya.

“Winnie tidak suka matematika, susah sekali...”

Lalu ia menghembuskan nafasnya seperti orang yang sedang kesal, “June, besok tolong bilang pada Miss Alice kalau Winnie tidak mau lagi belajar matematika ya, ya ya?”

Ya ampun, Win benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sangat anti belajar matematika. Seperti anak kebanyakan, June tertawa lepas.

“Gemesnya,” balas June, “sama dong, June dulu juga nggak suka belajar matematika, tapi kamu harus belajar ya dek, walaupun nggak suka. Soalnya Mas mu itu realistis, perhitungan juga.”

“Reliasitis itu apa? Miss Alice tidak pernah bilang reliasitis...”

Win, dan sejuta tingkah lucunya…

“Realistis, dek. Coba bilang, re-a-lis-tis.”

Bibir bawah Win mencebik lagi, lalu kepalanya menggeleng malas, “ah susah, tidak mau.”

Lalu keduanya menjemput hening. Win melanjutkan acara makan es krimnya, dan June sibuk memandangi si hybrid kucing kepunyaan kakaknya itu.

“Dek,”

Dengan cepat Win langsung membalas tatapan June, bibirnya terbuka, siap menjawab, “ya, June?”

“Bukannya kamu bisa masak ya, dek? Beberapa kali 'kan kamu bikinin sarapan buat June sama buat Mas, terus kenapa Miss Alice ngajarin kamu cara makan yang bener? Selama ini kamu juga makannya nggak belepotan, kok.”

“Oh, itu,” Win mengangguk-angguk sebentar sebelum akhirnya ia kembali bersuara, “Winnie juga sudah bilang pada Miss Alice, kalau Winnie sudah mengerti cara makan dan Winnie bisa masak. Winnie belajar masak dari tuan Winnie yang sebelumnya, tuan Clinton suka sekali masak jadi Winnie bisa lihat. Tapi kata Miss Alice, Winnie tetap harus belajar, supaya terbiasa sesuai tata krama dan tidak belepotan nanti-nanti.”

“Winnie juga masih suka lupa membedakan mana yang pisau untuk memasak dan mana pisau untuk mengoles selai di roti, hehehe.”

“Dan Winnie beberapa kali suka lupa membereskan mainan di ruang tengah, suka menghilangkan pensil warna dan suka lupa menutup pintu kulkas. Winnie juga suka lupa menggunakan sendok untuk makan, Winnie hampir menjilat makanan yang ada di piring, hehehe. Jadi Miss Alice bilang, Winnie masih harus belajar banyak, harus dibiasakan.”

June seolah dibuat takjub. Win sudah mengikuti les private hampir dua minggu lebih, walau awalnya ia merengek karena tidak suka aroma dari orang asing yang baru ditemuinya.

Pertama kali bertemu Miss Alice pun, Win masih sering jahil mengeluarkan bau feromon yang hampir tidak pernah ia keluarkan ketika berada di rumah, atau ketika akan memasuki masa estrus (heat). Niatnya, biar Miss Alice pulang, katanya.

Tapi karena Miss Alice memang bergelut di bidang yang berhadapan langsung dengan human animal seperti Win, jadi lah skor berbanding terbalik, Miss Alice 1 : 0 Win.

Kosakata dan kemampuan berbicara Win sudah sangat meningkat pesat, terhitung semenjak Miss Alice resmi menjadi guru les private yang datang setiap hari ke rumah.

Dulu, Win masih sering dibuat pusing sendiri ketika harus berkomunikasi dengan manusia. Kata-kata yang ia ucapkan sering terbalik atau tidak tepat penggunaannya. Bahkan kadang Win tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh orang lain. Kadang terlalu cepat, atau terlalu panjang.

Menurut Miss Alice, kemampuan berbicara dan kognitif Win yang cenderung lemah mungkin saja dipengaruhi oleh lingkungan dimana Win tinggal sebelumnya. Jarang diajak bicara, hanya eksistensinya saja yang dibutuhkan. Jarang diajak main, jarang diperhatikan.

Tapi untungnya, hal itu mulai teratasi sedikit demi sedikit sekarang. Win sedang belajar.

“Dek,”

“Yaaa, Juneeee?”

Suara Win yang lembut dan sedikit melengking serta ekor mata yang tertarik membentuk bulan sabit, membuat Win dua kali lipat lebih lucu dari biasanya. June menggeser bangkunya, dicubitnya pipi berisi Win dengan penuh rasa gemas.

“Gemes banget siiiiih kamu, ya ampun gemas gemas gemas, ngomongnya juga udah bagus banget sekarang ya kereeeeen banget kamu, dek!!! Kucing manis siapa sih iniiii… hm? Kucing manisnya June, hehehe.”

Mata kiri Win memicing tidak terima, “tapi, tuan besarnya Winnie 'kan Masbie, June. Bukan June, wleeek.”

Ya ampun, Win bahkan sudah bisa mengklaim Bright sebagai 'tuan'-nya. So cute.

June mengelus-elus pipi Win yang baru saja dicubitnya. Kulit halus itu memerah, June jadi merasa bersalah.

“Dek,”

“Ya, ya, ya?”

“Mas mu hari ini pulang, tapi kayaknya bakalan sampai ke rumah malem banget deh, soalnya tadi Mas bilang masih ada kerjaan sedikit lagi, yang jelas hari ini pulang, gitu.”

Oh, Masbie pulang??! Tanpa sadar rona merah mulai muncul di kedua pipi Win, membuatnya jadi mirip seperti buah cherry. Senyumnya merekah lebar, “Masbie pulang??? Yeay!!! Nanti malam Winnie bisa tidur dengan Masbie!!!”

“Ya ampun, kangen banget ya sama Mas nya???”

Kepala Win mengangguk penuh antusias, “Winnie tidak mau lagi ditinggal kerja lama sekali sama Masbie, nanti-nanti Winnie mau ikut Masbie pergi saja, Winnie akan meminta izin pada Miss Alice.”

“Nggak boleh dek,” uh, jawaban June sukses membuat raut bahagia di wajah Win seketika sirna, “Mas mu kan harus kerja, dan nggak mungkin bawa-bawa kamu, nanti Mas dibilang nggak profesional.”

Miss Alice memang mengajari Win bahasa inggris dan beberapa kosakata yang sudah Win hafal sih, tapi untuk yang satu itu… sepertinya Win belum pernah dengar.

“Profesional itu apa, June? Bahasa inggris, kah?”

June mengangguk memberi pengertian, “both are in english and bahasa vocabulary, tapi maksud June tadi tuh Mas mu harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya, nggak boleh membawa-bawa urusan pribadi ke lingkungan kerja. Ngerti nggak kamu, dek?”

Tidak 100% paham sih, tapi yang Win tahu adalah Bright tidak boleh melibatkan dirinya ke dalam urusan pekerjaan. Lambat laun kepalanya mengangguk ringan, “berarti sama seperti Masbie yang tidak pernah membolehkan Winnie masuk ke ruang kerja ya, June?” tanya Win, penasaran.

“Betul, jadi kamu jangan iseng gangguin Mas kalau Mas lagi kerja, ya?”

“Okey,” Ada satu hal yang membedakan Bright dengan majikannya terdahulu. Dulu, Win selalu diminta untuk menemani majikannya bekerja, bahkan Win sering sekali begadang untuk terus standby di ruang kerja tuannya, sampai selesai. Kalau Bright, lelaki itu akan marah besar kalau Win berani masuk ke ruang kerjanya…

“Berarti June nanti malam tidur sendiri, ya, oke?”

June tertawa, kepalanya mengangguk, “iya deh yang langsung nggak mau tidur sama June, maunya sama Mas ya… dasar kesayangan Mas.”

“Hehehe,” senyum Win begitu lebar, seperti seorang pemenang, “iya, dong!!!”

. . .

Mau tidak mau, Bright terpaksa membuka pejaman matanya. Pekerjaan yang menumpuk dan memangkas habis waktunya selama seminggu lebih untuk perjalanan bisnis ke luar kota dan baru tiba di rumah pada waktu dini hari, membuat lelaki itu harus tidur ketika hari sudah memasuki pagi. Niat awal ingin tancap gas sampai tengah hari bolong, mumpung sekalian days off, Brightㅡ lagi dan lagi, terpaksa (harus) bangun pagi.

Pipi kirinya terasa basah, ia tahu siapa si pelaku utama.

Begitu Bright sudah berhasil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat Win yang sedang tiduran tengkurap menghadap ke arahnya. Kepala 'kucing manis' itu sedikit terangkat, sesekali bergerak ke kanan juga ke kiri, lucu.

Bright lantas menghela panjang nafasnya, “masih pagi udah jilatin pipi Mas ya, kamu...”

Yang diajak bicara hanya terkekeh, lalu dengan binar di mata dan rona merah di kedua pipinya yang seperti buah persik, Win berucap dengan girang,

“Masbie, ayo kita sunbathing!!!”

Bersemangat sekali, Bright sampai terkekeh menahan gemas. Lelaki itu menutup mata selama beberapa detik, lalu kembali membuka pejaman matanya dan melirik ke arah jam dindingㅡ jam 9:05.

Bright melirik sisi kirinya, ternyata Win masih belum berubah posisi. Kucing manis itu bertahan memandang ke arahnya, telinga runcing yang bergerak-gerak kecil tak luput dari pandangan si tuan besar.

Disentuhnya ujung telinga Win yang 100% menyerupai telinga kucing, lalu dielusnya lembut sampai membuat Win terkekeh kesenangan.

Salah satu kegiatan kesukaan Bright; ngelus-ngelus telinga Win.

“Masbie, Masbie, Masbie tau nggak?”

Eh, semangat sekali? Sepertinya mood si kucing manis sedang bagus. Lantas Bright menyahuti tak kalah bersemangat, “tau apa, sayang?”

Win mendusel-duselkan telinganya di dalam genggaman Bright, “weekly exams punya Winnie semuanya dapat nilai A+!!!” kata Win, yang terdengar happy sekali.

Satu alis Bright bertaut antusias, “oh ya?” Cepat-cepat Win menjawab dengan sebuah anggukan, “ya, ya, ya!!! Hari Jumat kemarin Miss Alice berikan kertas exams punya Winnie untuk disimpan. Winnie taruh di meja belajar. Masbie mau lihat?”

“Wow, you did great, sayangnya Mas.” ujar Bright sambil menurunkan elusan tangannya dari telinga runcing Win menuju rahangnya, dibawanya menunduk pelan-pelan rahang itu, ditarik mendekat, “sini cium dulu, get your early reward from Mas, come here,”

Win lantas memajukan tubuhnya, hendak menggapai ranum merah muda Bright. Bibir keduanya bertemu dalam sebuah pagutan hangat. Win benar-benar sudah berkembang pesat, termasuk dalam urusan melayani sang tuan besar.

Sebuah lenguhan mengudara di tengah keheningan. Bright mengelus sayang rahang si kucing manis, ciuman keduanya semakin dalam.

“Mmmhhh, Masbie, udah,”

Dua kecupan Bright hadiahkan di permukaan bibir basah Win sebagai penutup. Lelaki yang pagi itu tidak mengenakan atasan sama sekali alias telanjang dada, mengulas senyum lebar. Tangannya kembali bergerak memberi afeksi di pipi kiri Win.

“Selain hadiah kamus bahasa inggris yang waktu itu Mas janjiin, kamu mau hadiah apa lagi, hm?”

Win tampak berpikir-pikir. Mata bulatnya yang dipenuhi binar bahagia masih terus menatap lurus pada Bright yang menunggu jawaban darinya. Kucing manis itu menggigiti bibir bawah, sambil berdengung pelan.

Telapak tangan Bright beralih menyisir surai tebal Win, memisahkan beberapa helai yang naik menutupi telinganya.

“Bilang sama Mas, kamu mau apa?”

“Ummm, apa ya...” Kalau meminta es krim pasti tidak boleh, kemarin ia sudah memakan es krim coklat yang tersimpan di freezer, “sunbathing? Masbie belum menjawab ajakan Winnie untuk sunbathing? Ayo, Masbie, letsgoooo selagi masih jam sembilan!”

Bright tertawa pelan, Win jika sudah ada maunya memang bisa berubah jadi 10 kali lipat lebih gemas seperti ini.

Lantas Bright mengangguk, setuju, “selain sunbathing kamu mau apa lagi?”

“Ummm, apa lagi ya,” Kembali berpikir, kembali pusing sendiri. “Masbie apa hari ini bekerja?”

“Enggak, Mas libur. Tapi nanti malem ada yang harus dikerjain sedikit, kenapa?”

“Ummm,” Win mendekatkan wajahnya pada Bright. Senyum manis terukir jelas di bibir penuhnya, “Masbie, Masbie temani Winnie menonton seharian ini mau, kah? Lalu malamnya, Winnie mau menemani Masbie bekerja di ruang kerja, boleh?”

“Kamu nih ya, kenapa suka banget mau masuk ke ruang kerja Mas, sih? Berantakan lho di sana.”

Bibir bawah si kucing manis mencebik lucu, “Winnie janji, Winnie hanya akan duduk diam di sofa dan tidak akan melakukan apa-apa, suweeer!!”

Bright membalas tatapan Win dengan sedikit ragu, “janji?”

“Ya, ya, ya, janji!!!”

“Tidak boleh menyentuh barang-barang Mas di ruang kerja, tidak boleh iseng mencuri bingkai foto Mas yang ada di atas meja, tidak boleh penasaran dengan buku-buku yang ada di rak buku ruang kerja Mas, bisa Win tepati?”

Kepalanya mengangguk riang, dengan spontan Win mengacungkan jari kelingkingnya, bermaksud melakukan pinky promise.

Bright mengaitkan jari kelingkingnya di atas milik Win, “oke, all of your requests today are my command.”

Sepasang mata Win sontak membulat sempurna, “Winnie boleh minta apa saja?”

“Emangnya list permintaan kamu masih banyak? Selain yang tiga tadi?”

Hehehe, Win menggeleng ringan sambil tertawa, “tidak ada lagi, Masbie.”

“Ya sudah, kalau begitu ayo Masbie bangun dan pakai baju, kita keluar mencari matahari!!!”

. . .

“Yah, mendung...”

Pintu belakang rumah besar kepunyaan Bright yang terbuka lebar kini jadi saksi betapa wajah sumringah si hybrid kucing perlahan-lahan redup berubah jadi sedih.

Kacamata hitam yang bertengger di hidung si kucing manisㅡ Bright yang memasangnya, lalu sebuah karpet piknik yang digenggam di tangan kiri dan tangan kanan memeluk sebuah bangku lipat sekarang seolah tidak ada guna.

Win jadi menyesal, kenapa tadi pagi saat bangun tidur ia malah sibuk memandang wajah sang tuan, pergi mandi, lalu kembali ke atas ranjang untuk memandang (lagi) wajah lelap Bright daripada beranjak membuka gorden kamar untuk memastikan cuaca.

Karena nyatanya… matahari tidak tampak, awan kelabu mendominasi langit pagi itu.

“Sayang,”

Bright yang baru saja datang menyusul tampak sibuk dengan ponselnya. Ada sesuatu yang lucu di sana dan Bright ingin Win ikut melihatnya. Tapi posisi tubuh si kucing manis yang mematung di ambang pintu taman belakang, mampu merebut perhatian Bright dan membuat lelaki itu menyimpan gawai canggihnya ke dalam saku celana training hitam yang ia pakai.

Bright merengkuh pinggang ramping Win posesif, pipinya sengaja ia gesekkan di telinga runcing si hybrid kucing, “masih bisa besok, oke?” katanya berusaha memberi ketenangan pada Win.

Win bergumam pelan lalu berdecak, “besok hari Senin, Masbie kerja dan Winnie harus les bersama Miss Alice.” Win sedih, sedih sekali. Sudah lama ia mendambakan momen ini; menikmati matahari pagi bersama si tuan besar.

Elusan sayang yang mendominasi pinggangnya membuat Win mau tidak mau melirik Bright yang berdiri di sebelahnya, “Masbie,”

Bibir Win mengerucut lucu, sangat gemas, terlalu gemas, Bright mana tahan untuk tidak mencuri satu kecupan di bibir si Manis. Sebuah kecupan lain ia berikan di pipi dan dagu Win, membuat anak manis itu terkekeh menahan geli.

“Besok Mas akan ambil libur buat Winnie, dan Mas akan mengajukan izin pada Miss Alice biar Winnie bisa libur selama satu hari penuh.”

Raut sumringah yang sempat hilang kini kembali mewarnai wajah manis Win. Meski tidak terlihat, Bright yakin kalau sepasang obsidian kecoklatan milik hybrid kucing itu pasti sedang berbinar cerah, “jadi besok kita libur?”

Bright mengangguk, “Uhum,” Kacamata yang bertengger di hidung Win ia naikkan ke atas puncak kepala, “hadiah sunbathing buat kamu kita pindah jadi besok, oke?”

“OKEEEEEY!!!”

“Kita mau lanjut ke agenda kedua? Nonton di lantai atas?”

Ya sudah, mau diapakan lagi. Agenda sunbathing akhirnya harus gugur dari daftar kesibukan hari Minggu yang sudah disusun oleh si kucing manis. Lambat laun, Win mengangguk. Langkah kakinya mulai berjalan meninggalkan area belakang rumah, mengikuti rengkuhan posesif yang masih mendominasi pinggang rampingnya.

“MASSSS GUE PINJEM MOBILLLL!!!”

June tiba-tiba muncul dari lantai atas sambil terbirit-birit lari menuruni anak tangga. Tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri, gadis itu dengan serampangan memasangkan flat shoes pada kakinya, tidak memerhatikan langkah kakinya.

Bright merengkuh Win lebih erat, membawa kucing manisnya minggir agar tidak menghalangi jalan sang adik.

“Mobil lo kenapa emangnya? Mau kemana sih pagi-pagi gini udah riweuh sendiri?”

Win yang sedari tadi sibuk memandang Bright dan June bergantian pun ikut bersuara, “riweuh itu apa ya, Mas? Kenapa June riweuh?”

“Enggak, sayang, bukan apa-apa.”

Bright menatap June lagi, “kunci mobil gue di kamar, dek.”

“Udah gue ambil, hehehe, nih!” Setelah memastikan sepatunya sudah terpasang dengan benar, June merogoh tas selempang kecilnya yang berwarna putih dan mengambil sesuatu dari sana.

Sebuah kunci mobil.

“Kenapa sih, nggak pakai mobil lo sendiri?”

June cuma cengengesan seadanya, “bensin gue habis, dan gue buru-buru mau ke rumah temen gue yang baru balik dari Aussie, oleh-oleh gratis, hehehe.”

“Rumah temen lo dimana? Biasanya kan kalau Minggu lo selalu nemenin adek lo ini main seharian.”

“Yah, sori deh sori, gue skip dulu Minggu ini. Dek, maafin June ya sayang, June ada janji sama temen June hari ini, kamu nggak marah kan, dek?” June berusaha menarik belas kasihan si hybrid kucing, demi alek… June akan langsung membatalkan janjinya dan merelakan oleh-oleh gratis dari Aussie jika Win memintanya untuk tinggal.

Tapi sebuah gelengan dan seulas senyum lebar menjadi jawaban yang June dapat dari Win, “tidak apa-apa, June. Hari ini Winnie ditemani Masbie saja, okie?”

“Okie dokieeee, sayangku!!!” June pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mencuri satu kecupan di pipi kanan Win.

Delikan tajam kini berpusat padanya, tapi June tidak perduli. Gadis itu dengan cengiran andalannya menyentuh lengan sang kakak dan menepuknya pelan, “ya udah, gue jalan dulu, ya!!! Kalau sampai jam sembilan gue belum balik, berarti gue nginep. Besok lo kerja naik ojek online aja, oke boss?”

Emang dasar adek nggak tau diri….. begitu kata Bright yang bablas musuh-musuh dalam hati.

Tidak mau keterusan meladeni sang adik, Bright pun memberi kode agar June segera pergi. Lalu dengan cepat gadis itu kembali menuruni anak tangga satu persatu dengan lebih santai, tangannya melambai-lambai ke udara.

Satu kali lagi, June berbalik melirik Bright dan juga Win.

“Dadah Mas boss!!! Dadah Adekkk!!!”

Win jadi gemas sendiri melihat tingkah June yang jauh lebih aktif dibanding hari-hari sebelumnya. Hybrid kucing itu tertawa geli, tangannya terangkat membalas lambaian tangan June.

“Dadah, June!!! Hati-hati di jalan, jangan ngebut, oke?”

“OKEYYYY ADEKKU SAYANGGG!!!”

Kemudian, ketika dirasa si biang onar sudah berlalu keluar rumah, Bright dengan jahil mendekatkan wajahnya pada Win. Sengaja ia lesakkan deru nafasnya di sekitar leher Win, lalu tanpa aba-aba mulutnya menyesap rahang tajam si kucing manis.

“Sayangnya Mas,” Suara bariton milik Bright sukses menghantarkan aliran listrik ke seluruh titik di tubuh Win. Hybrid kucing itu meremang, bibirnya tanpa sadar ikut bergetar.

“Ssshhh, Masbieㅡ”

Bright mengerang pelan sambil terus membasahi garis tulang yang membingkai wajah sang hybrid dengan lidahnya, “Mas seneng banget, kosakata kamu makin banyak dan cara ngomong kamu makin bagus, you know what… you sounds hot and sexy, kitty.”

Lalu tangan Bright beranjak meraba perut rata Win. Diusapnya agak sensual bagian tersebut, sampai membuat sepasang kaki Win melunak seperti jelly.

Win baru saja mau meloloskan desahan pelan, tapi pergerakan Bright yang tiba-tiba menggendongnya ala bridal style mendistraksi bibir si Manis untuk mengatup rapat.

Hanya butuh sekitar delapan anak tangga lagu sampai keduanya tiba di lantai atas. Tanpa basa-basi, Bright langsung membawa Win ke ruang kerjanyaㅡ tempat kesukaan si hybrid manis.

. . .

“Kenapa sayang, kok mulutnya manyun terus, sih? Permen yang tadi Mas kasih sudah habis, hm?”

YA??? OKE??? BAGAIMANA WIN TIDAK KESAL??? Oke, oke, sebentar. Bagaimanapun juga, Win adalah sesosok hybrid dimana kadang insting binatangnya bisa lebih mendominasi daripada instingnya sebagai seorang manusia. Dan bukannya hal lumrah jika seekor kucing birahi akan bersikap manja kepada majikannya? Jadi, Win tidak salah kan sudah hampir tiba di puncak nafsunya apalagi ketika Bright dengan santai terus-menerus mengecupi pipi, rahang dan dagunya selama lelaki itu menggendongnya menuju ruang kerja?

Tidak salah kan kalau tiba-tiba Win merasa tinggi?

Win tidak salah. Yang salah adalah Bright.

Agenda ke-2 mereka; nonton televisi di ruang tengah, harus ikut-ikutan batal dilaksanakan karena katanya Bright ingin menyelesaikan pekerjaannya sekarang supaya nanti malam bisa menghabiskan waktu bersama Win. Mumpung tidak ada June, begitu sih alasannya.

Dan jadilah asal muasal bibir Win mengerucut penuh kesal yang belum ada tanda-tanda untuk kembali normal. Win dengan malas duduk di sofa ruang kerja Bright, kedua tangannya bersila di depan dada.

Sedangkan Bright, pemuda itu memilih tenggelam dalam kesibukan untuk mengotak-atik laptopnya yang menyala di atas meja. Sebuah kacamata baca sudah bertengger di hidungnya, pertanda bahwa lelaki itu serius sedang menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

Satu revisi major bulanan sudah dikirim via email, membuat Bright bisa beristirahat sebentar sambil mencuri-curi pandang ke arah si kucing manis.

Win, masih menatap ke arahnya dengan wajah sebal. Bibirnya mengerucut. Telinga runcingnya menguncup turun ke bawah seperti bunga yang siap layu.

Win kesal, diabaikan ketika sudah tinggi lalu ditinggal demi menyelesaikan setumpuk pekerjaan kantor.

Bright yang sudah tidak terlalu sibuk pun menutup laptopnya. Dibiarkan dalam mode sleep. Lelaki itu melempar senyum pada si hybrid kucing, tapi naas sepertinya mood Win sudah terlanjur rusak.

Akhirnya Bright mengalah. Kursi beroda yang ia duduki sengaja ia mundurkan sedikit, lalu memberi kode pada Win untuk menghampirinya.

Walaupun sedang kesal, tapi Win tahu pasti siapa Bright dan bagaimana ia punya kewajiban untuk menuruti semua permintaan sang tuan besar.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Win tetap harus beranjak. Kucing manis itu berhenti tepat di depan Bright, kali ini tangannya turun berkacak pinggang.

Bright terkekeh, “aduh, aduh, sayangnya Mas masih ngambek, sini... ” ditepuknya kedua paha sebagai isyarat bahwa Win harus segera naik ke atas sana.

Dengan perlahan, Win duduk di atas kedua paha Bright.

“Biasanya kucing kalau marah, harus diapain biar nggak marah lagi, hm?”

Win tampak menimbang-nimbang. Kira-kira sogokan apa yang bisa membuat hatinya luluh dalam hitungan detik.

“Es krim strawberry?”

“No,” Bright menggeleng ringan, “kata June, kamu sudah banyak makan es krim selama Mas tinggal keluar kota.”

Yah, ketahuan…

“Sowwyyy, Masbie.”

Bright mengangguk paham, “it's okay sayang, apologies accepted.” sebuah sentuhan penuh dominasi kini menggerayangi punggung tegap Win.

“Jadi, Mas harus apa biar kamu nggak ngambek lagi sama Mas?”

“Uhm,,,” Win melirik meja kerja Bright yang sedikit berantakan. Lalu dengan inisiatif sendiri, tangan hybrid kucing itu bergerak menggeser beberapa barang di atas sana termasuk laptop dan juga sebuah bingkai foto yang kerap kali mengundang atensinya.

Setelah dirasa beres, Win membawa sorot matanya kembali pada sepasang obsidian hitam milik Bright,

“Masbie cium Winnie, tapi Winnie duduk di atas meja dan Masbie tetap duduk di sini, oke?”

You're surely gonna regret it, Kitty…

. . .

WRITTEN BY ; JEYI.

The extended version of my previous oneshot called “Before Party”.

tags: EXPLICIT CONTENTSㅡ car sex, handjob, cock!riding, chest play, nipple play, fingering, overstimulation, dirty talk (some use local porn words such k/n/t/l, t/i/t/t, s/p/o/n/g), unprotected sex 🔞 younger!top!bright x older!bot!win total words : 5k+ words. commisioned by : @b1b2heart


“Siap-siap diomelin masyarakat, kamu...”

Ada dominasi yang terselip di setiap penggal kata yang baru saja diucap. Tapi, kekehan yang muncul setelahnya sukses meyakinkan Bright kalau Win tidak serius dengan ucapannya. Pemuda yang sedang fokus mengemudi mobil pribadi milik kekasihnya itu hanya merespon dengan gumaman pelan, tangan kirinya aktif bergerak di atas setir kemudi sesekali menyentuh persneling dan tangan kanannya sibuk mengusap-usap dagu lancipnya sambil menikmati perjalanan.

“Masyarakat as in fans-fans kamu, atau masyarakat haus afeksi alias Mbak Giggie, Mbak Neen, Mbak Mild, Mas Tay sama Mas Joss?”

Win tertawa kecil, lantunan penuh rasa girang itu adalah salah satu hal kesukaan Bright. “Mereka bukan haus afeksi, Bright… cuma belum mau nyari pacar aja karna terlalu sibuk kerja, kerja dan kerja.”

“Ya, tapi kata-kataku barusan emang buat mereka sih, plus Kak Eed sama Kak Boy yang nggak tau deh ada dimana, jadinya kita nggak sempet pamit tadi.” sambung Win, yang tampak sangat menikmati pemandangan di sisi kiri jalan.

Bright bergumam lagi, “nanti chat aja, bilang kita terpaksa pulang duluan. Kalau ditanya alasannya apa, kamu diemin aja, Kak.”

“Hahaha,” Win mengalihkan pandangannya pada Bright, disisirnya penuh sayang surai hitam pacar kecilnya itu, “malu ya kalau aku bilang, kita pulang buru-buru karna kamu terlanjur horny pas kita dansa tadi?”

“Don't you dare, sayang...”

Win tidak lagi menyisir surai hitam sang kekasih. Telapak tangannya kini beranjak turun menyusuri wajah sempurna pemuda itu, bergerak pelan mengelus penuh sayang bagian wajah yang acap kali ia hujani dengan kecupan dan gigitan-gigitan kecil setiap kali merasa gemas.

“Kan kenyataannya emang begitu,” ibu jari Win bergerak mengusap sudut kiri bibir Brightㅡ dimana ada sebuah bekas luka yang terukir cantik di sana, “si adek nggak bisa tahan untuk bertumbuh dengan pesat, hahaha.”

“Glad that your lather jacket is long enough to covered that big baby and cute little birdy of yours.”

Damn, you're a dead meat, sayang… batin Bright, menahan nafsu.

Bright memutar setir kemudi ke arah kiri, memasuki sebuah jalan besar yang menghubungi jalan tol dengan jalan utama yang akan membawa mereka tiba ke kawasan private apartemen sang kekasih.

Setelah dirasa jalanan cukup lengang, Bright melirik Win yang ternyata masih menatap lembut ke arahnya.

Cantik. Bukan rahasia lagi jika kekasihnya itu memang cantik, luar biasa cantik. Surai hitam yang sengaja dibuat sedikit bergelombang spesial untuk menghadiri resepsi pernikahan Off dan Gunㅡ sahabat Win di dunia showbiz, bentuk alis yang sempurna dan tebal, hidungnya yang mancung, bibir penuhnya yang kini terbuka sedikit, benar-benar mampu mendeskripsikan arti kata 'sempurna' yang cuma bisa Bright lihat tanpa harus repot-repot berbagi dengan yang lain.

Metawin Opas-iamkajornㅡ seorang aktor papan atas, yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam memainkan peran protagonis. Lebih dari 9 film layar lebar secara ekslusif memintanya untuk menjadi bagian dari mereka dan tentunya menjadi pemeran utama, dengan susunan alur cerita yang membangun karakter seorang Pangeran berkuda putih dalam dirinya.

Roles sebagai orang jahat dan angkuh pun selalu bisa Win taklukkan dengan begitu baik. Pernah menjadi 2nd lead male dalam sebuah web series dan juga beberapa film layar lebar, Win dituntut untuk memainkan perannya sesempurna mungkin entah itu sebagai seorang pengkhianat, pembunuh ulung bahkan psikopat.

Yang orang-orang tahu, Win adalah seorang selebriti yang punya fanclub besar, yang rutin mendapat penghargaan di acara-acara besar sekelas Panasonic Gobel Award dan difavoritkan by any of big agencies and senior artists sehingga begitu banyak film dan series yang 'memakai' keahliannya.

Yang Bright tahu, Win adalah sosok pendamping yang penuh kasih sayang dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk hubungan mereka. Win yang terkadang suka malas-malasan di atas kasur ketika menikmati waktu senggang di hari libur, Win yang tidak suka tekstur nasi yang terlalu lembek, Win yang passionate dengan segala bentuk pekerjaannya dan Win yang binal di atas ranjang ataupun pangkuannya.

Ujung bibir Bright terangkat membentuk seringai, “Kak, kamu diem-diem juga pengen cepet cabut dari hall karna udah terlanjur horny, 'kan?”

Win terkekeh sambil mencubit gemas pipi Bright. Bibir bawahnya mencebik penuh ledekan, “enggak, tuh? Kontrol diriku lebih bagus ya dibanding kamu, wleee...”

“Masa?” Bright balas menggoda si yang lebih tua. Pemuda itu menaruh tangan kanannya di atas setir kemudi, sedangkan tangan kirinya beranjak menuju pusat tubuh Win yang terbalut celana bahan, lalu meremasnya kencang, “kalau kamu nggak horny, so why is it getting bigger?”

“HAHAHA Bright,” Win menarik tangan Bright menjauh dari pusat tubuhnya, melempar tangan si pemuda agar kembali menyentuh setir kemudi. “Jangan remes-remes dulu ish, you're driving now.”

Win dengan 'versi' seperti ini, adalah Win yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. It's his privilege, hehehe.

“Driving you crazy, Kak?”

Dan Win cuma bisa terkekeh pelan. Selebriti papan atas itu kembali duduk dengan benar di posisinya, tangan kiri berpangku di sisi jendela sambil ujung jari telunjuknya bergerak halus di sepanjang daguㅡ kembali menikmati perjalanan.

Butuh waktu sekitar 10 menit lagi untuk tiba di pelataran tower apartemen pribadi Win. Dan ketika hening kembali mendominasi suasana di dalam mobil, ponsel milik Win yang sedari tadi tersimpan di sebuah tas kecil berdering nyaring. Cepat-cepat ia buka tasnya dan mengambil ponselnya.

Giggie is calling…

Bukannya langsung mengangkat panggilan sahabatnya itu, Win malah tertawa kecil lalu memperlihatkan layar ponselnya yang menyala pada Bright. Mau tidak mau, si yang lebih muda kembali mengalihkan atensinya dari jalanan di depan untuk melirik ke arah samping.

“Mbak mu ini bentar lagi mencak-mencak deh...”

“Jangan diangkat, Kak,” sahut Bright, kembali fokus mengemudi. “Pasti beneran mau marah-marah karna kita pulang nggak pakai pamit.”

Lantas Win dengan terpaksa mendiamkan panggilan tersebut. Bukan, bukannya Win lebih memprioritaskan sang pacar non showbiz-nya ini ketimbang Giggie yang berstatus sebagai sahabatnya di dunia keartisan. Win hanya malas untuk mengusik momen yang sudah terlanjur terbangun malam ini, rasanya bertukar rindu 20 menit di dalam mobil before party saja tidak cukup, maka momen after party keduanya kali ini tidak boleh ada yang ganggu.

Dan lagi, Giggie pasti cuma akan menanyakan keberadaannya yang tiba-tiba menghilang dari wedding ballroom, ya walaupun pasti akan sedikit dibumbui drama tapi mau bagaimana lagi… ia dan Bright sudah terlanjur dekat dengan tower apartemen pribadinya.

“Alright, berarti nerima omelannya Giggie besok aja, ya?”

Bright berdecak pelan, “yakin nih aku, pasti kamu nggak bakalan belain aku lagi kalau besok aku diomelin mbak Giggie.”

“Iya lah… aku ngebelain kamu hari ini aja, besok-besok bukan giliran kamu lagi,” sahut Win penuh canda, “bujukin Giggie mah gampang, beliin aja menu breakfast McDonald's nanti dia juga diem.”

Bright cuma terkekeh ringan, lalu suasana kembali hening. Kepala Win sesekali mengayun mengikuti irama lagu dari radio yang volumenya sengaja dibuat kecil. Bright, fokus mengemudi sampai akhirnya bangunan tower apartemen tempat Win tinggal mulai terlihat.

“Kamu nginep, 'kan?” tanya Win, ketika mobil mulai memasuki area parkir apartemen.

Bright bergumam, “iya, Kak,” tangannya memutar setir kemudi ke arah kanan, “paling aku balik ke apartemenku besok malem.”

“Oke...”

Mobil mewah milik Win melaju ke arah lantai 2, sedangkan lantai unit apartemennya berada di lantai 16. Biasanya, Bright akan parkir di antara lantai 7 atau lantai 8 sehingga mereka akan masuk ke tower lewat sebuah pintu kaca yang bisa terbuka otomatis yang menghubungkan gedung parkiran dengan sebuah restoran yang bersebelahan dengan spa and lounge bar.

Tapi ini sudah lantai ke-12 dan belum ada tanda-tanda Bright akan menghentikan laju mobil.

Satu mata Win memicing bingung, lalu ditatapnya si pacar kecil, “kok tumben naik naik terus?”

“Langsung aja parkir yang selantai sama unitmu, Kak. Biar nggak usah naik-naik lift lagi.”

“Okeee,” kemudian Win melirik pada pusat tubuh Bright, “malu ya kalau keliatan orang lagi ereksi gitu?” bingo!!! Memang kenyataannya, Bright sengaja parkir di lantai 16 karena pemuda itu sudah terlanjur ereksi.

Bright tidak langsung menjawab. Matanya sibuk menelisik ke kanan dan kiri, mencari spot parkir yang menurutnya paling baik. Sampai seuntai desahan tidak sengaja lolos dari belah bibirnya, cengkeraman jari-jemarinya pada setir kemudi menguat, “ahhh, fuck...”

Ternyata Win si pelaku utama. Lelaki manis itu terkikik geli sambil menangkup telapak tangannya di pusat tubuh Bright, meremasnya sesekali.

“Dari kapan berdiri gitu tititnya, hm?”

Win yang suka ngomong kotor ketika berbagi keringat… that's his privilege as well.

Bright menggeram, “aku parkir dulu, Kak.” tapi Win masa bodoh. Atensinya boleh teralih memandang sepinya gedung parkiran, tapi tangannya sama sekali enggan berhenti untuk bermain-main di sekitar selangkangan pacar kecilnya itu.

“Kak...”

Win tetap tidak perduli. Tidak hanya meremas, jari-jari panjang milik Win sesekali mengelus pusat yang mengeras itu dari luar.

“Jadi dari tadi kamu udah ereksi? Kenapa nggak bilang? Kan bisa aku kasih handjob...”

“Sejak kamu ngeledek aku pakai kata-kata kotor andalan kamu tadi, Kak, shhhhㅡ” Mobil pun tidak lagi melaju secepat sebelumnya, “biarin aku parkir dulu, oke?”

Alright, alright. Tidak mau mengerjai pacarnya itu lebih lama, akhirnya Win menarik tangannya menjauh. Ia melirik Bright yang tampak sedang mengatur nafasnya yang mendadak ngos-ngosan, lalu tanpa rasa bersalah ia kembali berujar, “di pojok aja, Bright. Tuh, kosong.”

Bright cuma bisa geleng-geleng kepala. Win meminta parkir di bagian pojok yang jauh dari jangkauan orang? There's something going on in his brain right now, karena biasanya Win lebih suka kalau mobilnya diparkir di dekat pelataran pintu masuk.

Ya sudah, Bright bisa apa selain menuruti perintah kekasihnya. Masih dengan pikiran yang sesekali terasa akan meledak, Bright melajukan mobil mewah Win menuju spot kosong yang tadi sempat ditunjuk oleh si pemilik mobil.

“Bright,”

Yang dipanggil lantas menoleh, bingung. Pergerakannya untuk membuka seatbelt berhenti mendadak, satu alisnya bertaut penuh kuriositas

“Move to the back, right now.”

Bright jelas semakin dibuat bingung. Bukannya langsung menuruti perkataan Win, Bright malah menyandarkan kembali punggungnya dengan nyaman di sandaran kursi kemudi.

“Mau ngapain, Kak?”

Tanpa permisi, Win melirik pusat tubuh Bright untuk yang kesekian kali. “Mau boboin adek kamu dulu.”

Bright jadi curiga, jangan-jangan ada obat perangsang nyasar yang tadi masuk ke dalam gelas minuman yang dinikmati Win selama di ballroom. Oke, Bright tidak memungkiri kalau Win memang selalu vokal ketika mereka sedang melakukan seks, dimanapun itu. Tapi, pacarnya itu tidak pernah sebinal ini apalagi untuk mengajak lebih dulu… Win is bad at doing that.

Tapi Win yang sekarang duduk di sampingnya dengan sepasang mata sayu penuh dominasi, sukses membuat Bright beberapa kali menahan nafas, bingung dengan keagresifan yang tiba-tiba menguasai diri.

Bright memiringkan wajahnya, memandang yang lebih tua dengan lembut, “nanti aja di kamar, Kak. Di sini sempit, aku takut bablas kayak tadi.”

“Makanya aku minta kamu pindah ke bangku belakang sekarang. Seenggaknya di belakang lebih luas daripada di single seat kayak tadi. Susah ngangkangnya tau...”

Fix ini mah. Ada obat perangsang yang meracuni minuman sang kekasih.

“Kamu kayaknya lagi di bawah pengaruh obat perangsang deh, Yang…”

Win tertawa keras, kepalanya menggeleng, “ngaco ya kamu.”

“Aku serius??? Aku beneran curiga, kamu mendadak kayak kucing lagi birahi gini, aku takut, Kak???”

“You and your unpredictable mind,” kata Win sambil menangkup wajah tirus Bright, membawa pemuda itu untuk mengikis jarak antara keduanya, “kayaknya aku mulai suka agenda kita having sex di mobil, deh?” sambungnya.

Win akan 1000 kali lipat menjadi lebih seksi ketika terang-terangan bicara soal agenda seks mereka. Ujung bibir Bright terangkat membentuk seringai, “oh, oke oke aku ngerti. So are we going to have some fun again here?”

Kepala Win mengangguk penuh antusias. Bibirnya mengulas senyum puas sebelum akhirnya ia tempelkan bibir penuhnya di bibir sintal si pacar kecil.

“Tapi aku mau kita pindah ke belakang,” ujar Win seraya melirik bangku penumpang bagian belakang yang kosong, “kita bisa coba banyak gaya nantinya, ya?”

Yang lebih muda terkekeh ringan. Tangannya dengan jahil menjawil hidung mancung Win dan membuat lelaki itu mengaduh kecil. “Nakalnya...”

“But i love it when you're being brave like this.” lalu Bright merengkuh tengkuk Win dan menyatukan bibir keduanya.

Pergulatan bibir yang selalu sukses membawa mereka seolah terbang ke langit ke-7. Bright dengan lihainya melumat bibir atas Win, menyalurkan rasa rindu dan nafsu yang bercampur jadi satu. Lidahnya sesekali ia julurkan, menyumbang sensasi basah di atas ranum manis si kekasih hati.

Win tentu tidak tinggal diam dan cenderung aktif untuk mengambil alih pagutan panas keduanya. Bibirnya mengulum bibir bawah Bright yang terasa begitu pas di dalam jangkauan ciumannya. Sesekali juga Win membuka mulut, memancing si yang lebih muda agar memasukkan lidahnya lalu saling membelit menjemput nikmat.

“Shhhhㅡ,” Win mulai kewalahan.

Bright bukanlah seorang aktor ternama. Pemuda itu bahkan enggan untuk menunjukkan eksistensinya di depan kamera para wartawan dan amat sangat tidak menyukai flash light. Bikin sakit mata aja, begitu katanya.

Kehidupan seorang Bright Vachirawit Chivaaree jelas berbanding terbalik dengan kehidupan Win, yang namanya sedang digandrungi hampir seluruh orang di penjuru negeri.

Tapi kemampuan berciuman seorang Bright, sudah bisa dikatakan sekelas dengan bintang-bintang film dan dokumentasi porno yang ratingnya 11/10 di mata para penikmatnya.

Win tidak pernah tahu bagaimana Bright bisa jadi sehandal ini. Dari mana dan bagaimana caranya bagi pemuda itu untuk mengasah kemampuan berciumannya pun Win tidak tahu. Tapi Win tidak mau mempermasalahkan, selama ciuman Bright yang penuh dominasi dan sarat akan agresivitas ini eksklusif hanya untuknya, then it's called Win's privilege, hehehe.

Bright menyudahi kulumannya di bibir atas dan lidah Win, lalu mendaratkan tiga kali kecupan manis di permukaan ranum merah muda itu.

Win membuka pejaman matanya. Sorot seduktif penuh hawa nafsu terlihat jelas di sepasang obsidian hitam si kekasih hati.

“Is it okay if we do that here?” Bright bertanya-tanya, sembari melirik ke segala arah di parkiran untuk memastikan bahwa tidak ada kehidupan di sana.

Bright kembali melirik Win, “nggak mau di dalem aja? For our own safety, apalagi kamu, Kak.”

“Tadi di venue sempet disamperin sama beberapa media, 'kan? Kamu ditanya-tanya seputar film yang bakalan tayang bulan depan?” Bright terdengar khawatir, “aku takut aja kalau ternyata ada yang ngikutin kita sejauh ini. Orang-orang taunya kamu single, bisa bahaya kalau nanti ada skandal kamu ketahuan having sex sama non-showbiz kayak aku gini di tempat umum.”

Perhatian dan rasa khawatir Bright mampu membuat hati Win menghangat. Jika ia bisa, dirinya akan dengan terang-terangan flexing ke seluruh dunia kalau dia punya pacar yang lucu, menggemaskan, penurut, baik hati dan tampan seperti Bright.

Tapi sayangnya mereka hidup di negara yang tabu dengan hubungan yang sedang ia jalani bersama Bright. Sedikit banyak Win paham ketakutan Bright, ibarat kata… mereka adalah sebuah ketidakmungkinan yang dipaksa untuk menjadi mungkin.

Win juga tidak sampai hati untuk membuat fans-fansnya kecewa.

Tapi bisakah ia membedakan kedua semesta itu? Antara Brightㅡ pacarnya, dan juga kehidupan penuh atensi miliknya di dunia keartisan?

Win ingin hidup dengan normal. Alhasil, ia mengesampingkan semua hasratnya untuk mengiyakan kekhawatiran sang kekasih. Daripada menambah bahan untuk khawatir, lebih baik Win menghabiskan malam bersama Bright dengan cara yang menyenangkan, bukan?

Lantas ditangkupnya satu kali lagi wajah Bright, dielusnya penuh rasa sayang pipi kanan dan kiri pemuda itu, “berapa kali Kakak harus bilang ke kamu kalau setiap Kakak lagi sama kamu, Kakak bukan artis yang sering kamu liat di televisi?”

Jika Win sudah menyebut dirinya sendiri dengan panggilan 'Kakak', maka lelaki itu... lebih dari sekedar serius.

Bright menelan ludahnya susah payah, “t-tapi, Kak,”

“Kakak mungkin nggak akan bisa minta kamu buat berhenti mandang Kakak sebagai seorang artis, yang punya boundaries sama kamu, tapi satu hal yang harus kamu tau Bright, kamu itu spesial, kamu segalanya buat Kakak dan biarin urusan dunia keartisan dan segala resikonya itu jadi beban dan tanggung jawab Kakak. Kamu nggak usah mikirin itu semua.”

Sorot penuh nafsu di mata Win berubah jadi teduh, sendu.

“Kamu cukup jadi diri kamu sendiri kalau kamu lagi sama Kakak, oke?”

Bright selalu percaya pada Win. Kekasihnya itu selalu sungguh-sungguh dengan ucapannya. Kepalanya lantas mengangguk penuh keyakinan, “sorry, i didn't mean to hurt you with my words, Kak.”

“It's alright, sayang,” lalu Win kembali melirik ke bangku belakang, “bisa kita lanjut sekarang?”

Oke, oke… Jika Win bilang tidak apa-apa untuk mereka having sex di dalam mobil dan di parkiran apartemen, then it's okay.

Bright mengangguk. Win memundurkan tubuhnya, kembali ke posisi semula. Keduanya sama-sama membuka seatbelt yang melingkari tubuh mereka, lalu Win melompat ke bangku belakang lebih dahulu.

DUGGGG... ARGHHHㅡ,

Ups, ternyata kepala Win tidak sengaja bertabrakan dengan langit-langit mobil. Bright yang masih duduk di balik setir kemudi tertawa kecil melihat pacarnya itu meringis kesakitan.

Sepersekian detik berikutnya, Bright ikut melompat ke bangku belakang. Win yang masih mengelus-elus kepalanya menyempatkan diri untuk mengatur posisiㅡ lelaki manis itu membawa tubuh tingginya duduk bersandar di pintu mobil, membiarkan Bright menguasai bagian kosong yang lainnya.

Win spontan melebarkan kakinya begitu Bright maju dan mendekat. Si yang lebih muda membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu mengelus kepala Win yang baru saja terantuk langit-langit mobil.

“Sakit, ya?”

Kepala Win mengangguk lugu, “katanya sih, kalau dicium bisa cepet sembuh!” sahutnya.

Bright menatap Win with his most i've done with all of ur shit face, membuat si yang lebih tua terkikik geli, “cium donggg...”

Oke, oke… Bright menyerah. Kayaknya, beberapa menit lalu Win baru saja mendominasi suasana. Tapi coba lihat sekarang… Lelaki itu justru terlihat sedang menjelma menjadi anak kecil yang baru saja jatuh di depan rumah lalu merengek minta diberikan permen pereda rasa sakit.

Bright akhirnya mencium satu titik di kepala Win. Cukup lama, lalu melepasnya dan sengaja tidak beranjak terlalu jauh agar wajahnya bisa berhadapan di jarak yang cukup dekat dengan wajah sang pujaan hati.

Bright menatap Win dengan tatapan penuh rasa sayang. Tangan kirinya bertumpu di bangku, sedangkan tangan kanannya mulai sibuk membelai pipi halus si selebriti.

“Cantik,” katanya, lalu elusan tangannya turun menjamah ranum merah muda milik Win. “Cantiknya aku, cantiknya Bright.”

Seakan terlarut dalam suasana, Bright kembali memajukan wajahnya. Mengikis habis jarak di antara mereka, mengajak Win untuk sama-sama menutup mata.

Lalu kedua bibir itu kembali bertemu dalam satu pagutan lembut. Win menaikkan tangannya, bermaksud untuk memeluk leher Bright, membawa pacarnya itu mendekat, semakin dekat, lebih dekat.

Bright mengecap bibir atas dan bawah Win bergantian, mulai memperlihatkan sisi dominannya yang begitu kuat.

Win mendesah, “mhhhhㅡ,” agak tertahan karena dirinya sendiri terlalu asik berusaha untuk mengimbangi tempo yang dipimpin oleh Bright.

Bright mencium, menghisap, melumat dan menggigit sesekali bibir atas Win, memancing agar si lelaki manis mau membuka mulutnya.

Tapi seakan-akan tidak mau pasrah begitu saja, Win memutuskan untuk bermain-main sebentar. Ia enggan membuka mulutnya, terus membiarkan Bright berusaha untuk membelah ranumnya yang kian rapat.

Dapat Win dengar, Bright berdecak di sela ciumannya.

“Kak...”

You just have to beg like that, Bright… dan akhirnya Win membuka bibirnya. 100% pasrah begitu Bright mulai mengeksplorasi bagian dalam mulutnya.

Bright semakin menurunkan tubuhnya. Lidahnya bergerilya masuk mengecap sisi-sisi mulut sang kekasih, beralih menjilat deretan giginya dan berakhir menggoda ujung lidah Win untuk berdansa mengikuti irama.

“Shhhh,” Win adalah satu-satunya yang lemah untuk mengontrol desahannya. Aktivitas Bright di dalam mulutnya mampu membakar gairah dan menaikkan level birahinya ke titik yang lebih tinggi.

Win menjalarkan jari-jemarinya di surai hitam Bright. Meremas rambut yang kini berantakan dalam tangkupan tangannya. Bahkan ketika Bright dengan jahil menggigit lidahnya, bukannya meringis kesakitan Win justru menjambak rambut Bright.

Menyalurkan rasa nikmat yang mulai membara lewat setiap sentuhan ujung jarinya di helai demi helai rambut si yang lebih muda.

Bright memundurkan sedikit wajahnya, kembali melumat bibir atas Win dengan cepat.

Satu telapak tangan Win sibuk meremat surai hitam Bright, sedangkan telapak tangan yang lain kini mulai turun menjamah tengkuk sang kekasih. Win memainkan ujung jari telunjuknya di tengkuk Bright, membentuk pola abstrak yang sukses membuat Bright menggeram berat di sela lumatannya.

Bibir Win sendiri sibuk memuaskan bibir bawah Bright; mengulum dan menghisap adalah keahliannya.

Gerakan tangan si lelaki manis semakin lama, semakin turun, kini berhenti tepat di bahu Bright yang masih dilapisi oleh tebalnya sebuah jaket kulit berwarna hitam.

Win mengelus bahu Bright seduktif, jari-jemarinya sesekali mencengkeram bahu lelakinya itu sebagai pelampiasan rasa nikmat yang membuncah.

Merasa sudah membutuhkan pasokan oksigen, Bright tanpa aba-aba melepas ciumannya. Win secara spontan mengais udara banyak-banyak, lalu nafasnya seolah tercekat ketika ia rasakan bibir Bright mulai menjamah beberapa titik di lehernya.

Awalnya Bright hanya membubuhi kecupan di perpotongan leher Win, tapi semakin lama bibirnya justru memberikan hisapan yang sukses membuat si yang lebih tua tersentak sampai menarik jaket kulit yang dipakai Bright kuat-kuat.

“Ahhhh, shhh, Bright,”

Semakin dihisap, semakin gila Win dibuatnya.

Kedua tangan Bright diam-diam menelusup ke bagian bawah punggung Win, memeluk lelakinya itu erat. Bibirnya masih terus melanjutkan aksi; mengecup, menghisap dan sesekali menggigit kecil kulit leher Win yang semakin memerah.

Bright mengelus sensual punggung Win yang terbalut kemeja putih, lalu bibirnya bergerak mengecap setiap jengkal kulit Win mulai dari leher, rahang sampai ke cuping telinga.

Seuntai desahan berat lolos dari belah bibir Bright, “kamu tau nggak sih Kak, kalau kamu itu,” terdapat jeda di ujung kalimat, Bright membuka mulutnya kemudian meraup daun telinga Win untuk dikulum sampai basah.

Win gemetaran. Bright benar-benar sudah hafal di luar kepala titik mana saja yang jadi titik sensitif di tubuhnya. Daun telinga Win dijilat, dibasahi dengan air liur, “the best gift that God ever gave to me.”

Gila. Ini gila. Win semakin bergerak tidak karuan di bawah kungkungan tubuh Bright. Pemuda itu mendorong punggungnya akan semakin naik, semakin menempel dengan bagian depan dari tubuh pemuda itu.

Bright masih terus mengelus punggung Win, sambil membawa bibirnya berkelana menyicipi tengkuk lelaki itu.

“B-bright,” susah, terlalu sulit rasanya untuk mengucap sepatah dua patah kata di kondisi seperti ini.

Yang dipanggil hanya berdehem pelan, bibirnya asik menghisap kuat kulit di tengkuk Win, membuat si selebriti merinding sebadan-badan.

Bright sengaja menghembuskan nafas di tengkuk Win, “lanjutin, kamu mau ngomong apa, Kak…”

“Mmmhhh, ahhhㅡ” sepertinya Bright sengaja menyiksanya. Perpotongan leher Win adalah target berikutnya. Bright mengendus ringan di sana, sebelum akhirnya ia buka bibirnya dan mulai menciumi kulit rentan kekasihnya itu.

Ciuman kini berubah jadi hisapan kuat.

“Don't leave marks,”

Bright mengangguk cuek di tengah aktivitasnya yang sedang menikmati leher Win.

Win tidak kuasa untuk tidak menyalurkan hasratnya di beberapa bagian di tubuh Bright. Tangannya beberapa kali meremat kuat bahu dan lengan si pemuda, kemudian kembali menemukan jalannya untuk tiba di surai hitam Bright.

Win meremat rambut tebal Bright, desahannya kembali lolos tanpa permisi, “Ahhh, B-bright,”

“I miss you, Kak,”

Keduanya kini saling bertatapan. Win membingkai wajah Bright dengan kedua tangannya, mengelusnya lembut sebagai tanda sayang.

Win mengangguk, lalu dibawanya mendekat wajah Bright sampai bibir keduanya kembali bertemu dalam sebuah ciuman panjang.

“Ssshhh, stop,” Win mendorong pelan tubuh Bright. Matanya turun menelisik busana yang masih melekat sempurna wajah semampai sang kekasih.

Bright terlihat begitu sempurna dengan tampilan modis seperti ini. Kemeja hitam yang dibalut dengan jaket kulit sukses membuat pemuda itu tampak seperti artis rookie yang baru saja menjajaki dunia showbiz.

Sepertinya, seuntai pujian untuk pemuda itu sounds really good.

Win mengelus sensual bagian dada bidang Bright, “you looks good in this outfit,”

Yang dipuji tersenyum tipis, ia tahu kemana arah pujian itu akan berlabuh. Bright memilih diam, membiarkan Win untuk meneruskan kalimatnya.

Tangan Win bergerak menuju bahu Bright, kembali diremasnya bahu bidang si yang lebih muda seraya matanya ia bawa untuk bertukar pandang dengan sepasang obsidian hitam milik Bright.

“But will be more good and perfect with no outfits.”

See? Metawin dan seribu satu kamus gombalan kotornya.

Kepala Bright mengangguk ringan, dikecupnya lengan Win yang masih asik mengelus sensual bahu bidangnya.

“May i take them off now?” tanya Bright.

Kali ini giliran Win untuk mengangguk. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum seperti bulan sabit, “yes, please...”

Dan dalam hitungan detik, Bright mulai melucuti helai demi helai fabrik yang melekat di tubuhnya. Pemuda itu melempar asal jaket kulitnya ke bangku depan, begitu juga dengan kemeja hitam yang dipakainya.

Win yang belum bergerak dan hanya menikmati setiap pergerakan Bright kini mulai gusar. Cuma membuka baju, tapi kenapa Bright terlihat begitu seksi?

Insting gilanya pun berfungsi. Sambil menunggu Bright selesai menelanjangi dirinya sendiri, Win memilih untuk menyalurkan nikmat lewat pusat tubuhnya.

Ya, Win menyentuh penisnya. Mengelusnya pelan sambil mendesah sesekali, berusaha mendistraksi Bright agar melirik ke arahnya.

Win meremas kejantanannya dari balik celana bahan, “mhhh, so good, Bright…”

Dan Bright tidak kuasa menahan tawa. Tinggal satu langkah lagi, lalu Bright sudah telanjang seutuhnya.

Satu tangan Win yang bebas mulai menggerayangi dadanya sendiri. Meremas puting kiri dan kanannya bergantian, mengejar nikmat sesuai dengan versinya.

Pandangan mata Win refleks mengarah pada penis Bright yang mengacung tegak. Besar, panjang, bersih dan tampak memerah karena terlalu lama terdesak tanpa ada kebebasan.

Tanpa sadar ada air liur yang menetes dari sudut bibir Win. He loves what he is seeing right now.

“Halo, adik kecil,”

Bright terkekeh, sambil menghadapkan tubuhnya ke arah Win. Jantung Bright berdegup tidak karuan saat sorot mata Win menatap penisnya dengan penuh nafsu. Bright bahkan sangsi kalau Win menyadari ada saliva yang mulai meninggalkan jejak di dagu dan lehernya.

Bright menyentuh penisnya yang berdiri tegak. Menangkupnya dalam sebuah genggaman kuat, lalu mengurutnya sambil menggeram nikmat.

“Mmhhhㅡ,”

Win agak sensi, kenapa Bright main sendiri?!

Lantas Win mengalihkan pandangannya dari penis Bright ke sepasang mata pemuda itu. Siapa sangka, ternyata Bright tengah menatapnya dengan sorot yang dipenuhi kabut nafsu?

Masih sambil mengurut penisnya sendiri, Bright berkata, “kenapa, kak? Mau?”

Tanpa ragu, Win menganggukkan kepalanya.

“Coba minta yang bener dong, sayang. Kamu mau apa, Kak, bilang yang jelas biar aku ngerti.”

Damn you, Bright…

Seakan-akan penis Bright punya magnet tak kasat mata, Win kembali memusatkan seluruh atensinya pada penis yang semakin membesar ketika diurut itu. Bahkan Bright sesekali memainkan ibu jarinya di lubang kencing yang tampak terbuka. Bright membuat gerakan memutar di kepala penisnya, “ahhh, go ahead, Kak… ask me nicely.”

“B-bright,”

Bright mulai mengocok pelan penisnya, “iya, sayang?”

“M-may i…?”

Satu alis Bright bertaut, pura-pura bingung, “boleh apa, Kak? Aku nggak ngerti.”

“Boleh aku yang puasin kontol kamu?”

That's it. Win meminta hak-nya dengan sangat manis.

Bright mengangguk, kemudian lututnya merangkai memenjarakan tubuh Win di bawah dominasinya.

“Kocokin kontol aku, Kak.”

Dan Win langsung menurut. Lelaki itu dengan sigap meraih penis Bright dan mengelusnya sebentar. Besar, ukurannya begitu tepat dan sempurna dalam genggamannya.

Win mulai menggerakkan tangannya, bergerak naik – turun – naik – turun memanjakan penis tegang Bright.

“Shhhh, enak, Kak, terus... ”

Kocokan tangan Win pada penis Bright semakin cepat. Ibu jarinya menyentuh lubang kencing Bright yang terbuka, menekan-nekan penuh antusias, lalu bergerak melingkar di sepanjang lingkar kepala penis itu.

Win memperlambat tempo kocokannya saat dirasa penis Bright kian membesar. Lelaki itu mengurut batang penis Bright, kemudian jari-jemarinya yang panjang bergerak turun menjamah dua bola kembar yang sedari tadi berteriak meminta atensi.

Diremasnya bola kembar itu sampai membuat Bright mengerang penuh rasa nikmat.

Cairan pre-cum mulai mencuat. Win mencuri sedikit cairan bening itu lalu melumurinya di sepanjang penis Bright.

“Kak, udah mau nyepong atau masih mau ngocokin kontol aku?”

Dirty talk Bright adalah yang terbaik. Diam-diam Win mengulas senyum tipis, dan dengan berbekal ilmu yang dapat dipastikan akan membuat Bright semakin dikuasai nikmat, Win mempercepat kocokannya.

“Gemesnya adik kecil kesukaan Kak Win.” Damn, Bright's dick is actually twitching.

Listening to Win's talk along with the dick is just so euphonious, setidaknya itu yang dirasakan Bright.

Win menaikkan pandangannya, membalas tatapan Bright yang sudah memasuki fase gawat darurat.

Masih sambil mengocok penis Bright, Win berujar, “oke, sini aku mau nyepongin si adek.”

WELL, FUCKKKKK!!! Bright menangis menahan gemas dalam hatinya.

Lalu Win melepaskan tangannya dari penis si yang lebih muda. Win mengatur ulang posisi tubuhnya, ia turunkan sedikit posisi duduknya sampai sekiranya wajahnya kini sejajar dengan penis Bright yang masih mengacung tegak.

Bright merangkak semakin dekat, pemuda itu tepat berada di atas tubuh Win dengan penis menjulang yang kini menyentuh permukaan bibirnya.

Bright sengaja tidak langsung memasukkan penisnya ke dalam mulut Win. Pemuda itu menggerakkan penisnya ke kanan dan kiri, menggesek lembut di sepanjang wajah si lelaki manis.

Seuntai desahan kecil lolos dari belah bibir Win, diam-diam lidahnya terjulur berusaha menggapai si adek kecil kesayangannya.

Bright menekan-nekan penisnya tepat di depan bibir Win yang sedikit terbuka.

“Eh, eh, wait, Kak,” namun pergerakannya berhenti.

Win yang awalnya sedang sibuk mengecap penis Bright langsung membawa tatapannya ke atas, memandang Bright yang tiba-tiba menarik penisnya menjauh.

Satu mata Win memicing bingung, ada tanda tanya tak kasat mata yang tersampir di dahinya.

“Sariawan kamu belum sembuh, 'kan? Nggak deh nggak, aku nggak mau kamu makin sakit.”

Win merenggut kesal, “sedikit aja ya, ya, ya?”

Bright menggeleng, tapi Win masa bodoh dan malah memajukan wajahnya untuk menggapai penis Bright. Dengan segenap kenekatan yang ia punya, Win menjulurkan lidahnya. Bermaksud untuk menjilati objek kesukaannya, tapi sayang Bright tetap berpegang pada kata-katanya.

“Kak, shhhh, enough,” katanya.

Keduanya masih saling bertukar pandang. Win terlihat merajuk dengan bibir mengerucut juga mata berkaca-kaca.

Bright tahu betul, rasanya dijatuhkan ketika sedang tinggi-tingginya sangatlah tidak enak. Win bahkan seolah enggan untuk terus menatap mata Bright, lelaki manis itu beralih memalingkan wajahnya dan menatap ke arah lain.

Seuntai helaan nafas berat lolos dari belah bibirnya. Bright menangkup wajah Win dan mengelusnya sayang, membawa wajah manis itu untuk kembali menatap ke arahnya.

Sambil terus mengelus pipi halus Win, Bright berujar, “masih banyak yang bisa kita lakuin selain itu. Aku nggak mau kalau sariawan kamu nggak sembuh-sembuh, Kak, nanti kamu nggak bisa makan dengan nyaman.”

Win, masih diam.

Tahu bahwa kekasih cantiknya itu masih merajuk, Bright pun kembali menjalankan aksi jitunya. Ia bawa tubuh telanjangnya mundur, lalu ia dekatkan wajahnya pada wajah Win.

Hidung mancung keduanya saling bergesekan, “biar nggak ngambek aku mainin aja dadanya mau, ya? Foreplay nya diganti itu nggak apa-apa ya, Kak?”

Ah, Bright nggak asik! Ditawari seperti itu, Win mana bisa menolak?

Lantas dengan malu-malu, Win menganggukkan kepalanya.

Bright mencuri satu kecupan di bibir Win, lalu perlahan-lahan ia lepas satu persatu kancing dari kemeja putih yang melekat di tubuh si selebriti.

Win pasrah, ia membiarkan Bright bekerja sembari tangannya bermain-main di surai hitam Bright. Memberikan elusan penuh antusias.

Bright tidak melepas kancing kemeja yang dipakai Win secara keseluruhan. Hanya beberapa, tapi cukup membuat bagian dada sang kekasih terekspos begitu jelas, seksi.

Win masih memainkan jari-jarinya pada helai demi helai rambut Bright, bahkan ketika Bright mulai meraup puting kanannya, Win tetap menggerayangi surai hitam si yang lebih muda dengan tangannya.

Win menatap Bright yang sedang fokus mengulum puting kanannya. Satu tangan Win menyentuh tengkuk Bright, sebuah elusan yang direpetisi ia lakukan di sana.

“Shhhh, terus, B-bright,”

Merasa diberi lampu hijau, Bright semakin meraup puting kanan Win yang sudah mengeras. Lidah Bright sesekali terjulur, menjilati noktah kecoklatan itu sampai membuat Win mengerang berat.

“Mmhhh,” Win masih menahan desahannya, Bright mulai menggigit kecil noktah yang kian membesar dalam mulutnya.

Tidak mau membiarkan dirinya merasa nikmat seorang diri, Win pun berinisiatif untuk mempertemukan pusat tubuh keduanya. Bright yang sudah polos tak berbusana dan Win yang masih mengenakan celana lengkap.

Meski begitu, selatan tubuhnya juga sudah mengalami ereksi.

Win menggesekkan pusat tubuhnya tepat di bawah pusat tubuh Bright. Membuat mulut yang sedang sibuk mengulum puting kanannya itu secara gamblang meloloskan desahan.

Win terkekeh kecil. Lelaki itu terus menggesekkan penisnya dengan penis Bright, lalu si yang lebih muda kembali fokus untuk menikmati bagian dada Win yang termasuk besar untuk ukuran seorang laki-laki.

Win masih terus bergerak menggesek, tangannya juga masih meremas surai hitam Bright, menyalurkan rasa nikmat.

Matanya sesekali memejam, apalagi ketika Bright dengan kuat menghisap putingnya. “Ahhh, Bright,”

Win semakin gila di bawah sana. Ia bahkan beberapa kali sengaja menekan penisnya pada penis Bright untuk membakar gairah si yang lebih muda.

Diam-diam, Bright keenakan dibuatnya. Matanya yang sejak tadi memejam kini mengerjap beberapa kali. Tubuhnya mulai didominasi dengan nafsu.

Bright menggigit kecil bibir bawahnya, gila, ini benar-benar gila.

Masyarakat di luar sana mana tahu kalau Win yang mereka puja-puja adalah seorang budak cinta yang handal dalam urusan memuaskan hasrat seksual pasangannya?

“Ahhhh, shhhhㅡ”

Lantas ketika dirasa putih hampir datang, Win mendorong wajah Bright menjauh sampai mulut pemuda itu tidak lagi menyatu dengan puting kanannya. Dengan perasaan bingung Bright melayangkan satu pertanyaan, “kok dilepas?”

“Aku nggak mau keluar sekarang,”

Bibir Bright merenggut lucu, “padahal nggak apa-apa lho, kalau kamu keluar duluan.” sahut si yang lebih muda.

Kemudian Bright mengelus sesaat pipi Win, “kita ganti posisi, ya?”

Bright mundur ke posisi semula. Ia mengocok sebentar penisnya agar tetap mengacung tegak.

“Buka baju kamu dulu, Kak,” kata Bright, yang langsung disanggupi oleh si yang lebih tua. Win dengan cekatan melucuti pakaiannya, sampai tidak tersisa satupun kain yang melindungi kulitnya yang seputih susu.

Bright menepuk-nepuk pahanya, “come here, ride me.”

Lalu dengan senang hati Win merangkak menuju pangkuan Bright. Tubuhnya yang terlampau tinggi sesekali membuat kepalanya bertabrakan dengan langit-langit mobil. Tapi hal tersebut tentu tidak terlalu Win perdulikan. Dengan cepat, lelaki itu sudah duduk di atas pangkuan Bright.

Win duduk di posisi yang sangat tepat. Penisnya yang juga sudah berdiri tegak saling bergesekan dengan penis Bright.

Dengan jahil, lelaki itu melakukan grinding. Bergerak maju dan mundur di atas paha Bright sambil sesekali mempertemukan kedua penis mereka dalam sebuah gesekan penuh nikmat.

“Ahhh,” Win bahkan tidak bisa menyembunyikan desahannya.

Bright menangkup kedua penis mereka, lalu mengocoknya dengan satu tangan. Win, gemetaran. Hanya dengan afeksi seperti ini saja, rasa-rasanya Win sudah mau menjemput klimaks.

Sepersekian detik berikutnya, Bright menyudahi kocokannya. Pemuda itu menuntun tubuh Win untuk sedikit terangkat, lalu dengan pelan ia mulai memasukkan satu jarinya ke dalam lubang senggama si lelaki manis.

Win meringis, tubuhnya serasa terbelah jadi dua ketika Bright memasukkan satu jari lagi.

Win tidak kuasa untuk tidak mencengkeram bahu telanjang Bright, “s-sakit, ahhh, pelan-pelan, B-bright…”

Bright mengangguk, “cakar aja bahuku kalau kamu ngerasa sakitnya sakit banget ya, Kak.”

Dua jari Bright bergerak naik – turun di dalam lubang Win. Sebisa mungkin Bright tidak memforsir tenaganya, ia khawatir membuat si kekasih hati semakin kesakitan. Bright bergerak dengan lembut, sampai dirasa rintihan mulai berganti dengan desah berat, juga dengan tubuh Win yang secara spontan ikut bergerak mencari nikmat.

“Aku boleh masukin satu jari lagi, Kak?”

Win mengangguk, “go on, Bright.”

Dan jari ke-3 pun akhirnya masuk. Bright berusaha membuka jalur di lubang senggama Win dengan menggerakkan tiga jarinya di dalam sana. Bergerak maju – mundur – maju – mundur, lalu membuat pola menggunting guna melebarkan lubang seksi itu.

Bright semakin menenggelamkan jarinya ke dalam lubang Win. Dalam… semakin dalam… sampai akhirnya Win mengejang beberapa detik ketika ujung jari tengah Bright berhasil menyentuh titik nikmatnya.

Win menggeram, menjatuhkan wajahnya di atas bahu polos Bright.

“Ahhhh, you touched it… you touched it. Mmmhh,”

Melihat Win tengah diselimuti kabut nikmat, Bright tersenyum penuh kepuasan. Tiga jarinya masih terus bergerak di dalam lubang senggama si Manis, sampai dua menit kemudian Bright menyudahi aksinya. Menarik jari-jemarinya keluar dari lubang hangat itu.

Win merintih pelan begitu ia rasakan tidak ada lagi yang mengisi kekosongan di lubangnya.

Bright mengelus penuh sayang punggung telanjang Win, menarik si Manis mendekat untuk kembali bertukar saliva lewat ciuman dan juga lumatan.

Setelah dirasa cukup untuk saling berbagi afeksi, Win secara mandiri meraih penis Bright dan dikocoknya cepat. Bright hanya pasrah, ia sudah tahu langkah apa yang akan diambil Win selanjutnya.

“Aku masukin, ya?” tanya Win.

Bright mengangguk, “pelan-pelan aja ya, sayang. Kalau kamu ngerasa sakit, kamu bisa berhenti.”

“Iya, iya...” lalu Win mulai mengarahkan penis Bright menuju lubangnya. Kepala penis Bright sudah menyentuh lingkar cincin lubang senggamanya, lantas dalam satu gerakan cepat Win menelan habis penis Bright.

“I am so full, Bright, ahhhㅡ”

Bright mengelus sayang pipi kiri Win yang mulai basah karena peluh, seulas senyum terukir di bibirnya.

“You can move when you're ready, Kak.”

Win membalas ucapan Bright barusan dengan anggukan, “thank you, sayang...”

Lelaki itu mengambil waktu untuk beradaptasi. Tidak butuh jeda terlalu lama, Win menumpukan kedua tangannya di bahu telanjang Bright dan mulai bergerak naik turun. Tubuhnya menghentak di atas pangkuan Bright, pipi pantatnya sesekali bersentuhan dengan kulit paha si yang lebih muda.

Win bergerak dengan liar, air liur mulai turun mengalir dari sudut bibirnya.

“AHHHH… SSSHHHH…” Desahannya melantun begitu merdu.

Bright tersenyum bangga melihat Win yang tengah mengejar nikmatnya sendiri. Pemuda itu membawa tangannya untuk mengelus pinggul Win, ia sesekali membantu Win untuk menjaga iramanya dalam menggenjot penis yang sudah tenggelam utuh di lubang senggamanya.

Bright mendekati telinga Win, lalu berbisik di sana, “genjot terus sayang, that's how you do it...”

Bright beralih mengecup cuping telinga Win, membasahinya dengan air liur. Bright sengaja mendesah di sana saat dirasa gerakan Win kian liar, “pinternya… pinter banget ngegenjot kontol akunya...”

“Ahhhh, Bright, MHHHHㅡ”

“Orang pinter deserve a special gift from me,”

Win terus bergerak naik – turun – naik – turun. Bright mulai meninggalkan jejak berupa air liur mulai dari cuping telinga Win, rahang, leher, bahu, dada dan berhenti tepat di puting kiri.

Bright mengendus pelan tepat di depan noktah kecoklatan yang sudah menegang sempurna. Dengan iseng, Bright menjilat noktah tersebut.

Tangan Win bergerak mencari pelampiasan. Rambut Bright adalah target yang paling sempurna.

Win meremat kuat surai hitam Bright, sambil tubuhnya terus jungkat-jungkit di atas penis besar si yang lebih muda. Cengkeraman tangannya jadi semakin kuat ketika Bright dengan sengaja menggigit puting kirinya, sedangkan tangan kanannya beranjak menyentuh puting kanan Win dan meremasnya.

“Ahhh… mhhh… fuckㅡ,”

Fokus Win jelas terbagi; antara menunggangi penis Bright atau menikmati kuluman Bright pada putingnya.

Pergerakannya di atas penis Bright melambat, Win lemas, seakan-akan putih sudah siap menerbangkannya ke atas langit.

Bright yang sadar akan melambatnya pergerakan Win pun menyudahi aksi menyusunya di puting kiri si Manis. Tangan kirinya masih terus meremas puting kanan Bright, kemudian ia bawa wajah Win mendekat untuk kembali berciuman.

Win rasanya mau mati. Bright, di waktu yang bersamaan, memberikan 3 kenikmatan untuknya. Penisnya yang kian membesar, tangannya yang dengan handal meremas puting kanannya, juga bibirnya yang melumat bibir atas dan bawah Win bergantian.

Jika sudah seperti ini, Win tahu, ia harus mempercepat genjotannya.

Bright masih terus mencium bibir Win penuh nafsu dan rasa sayang yang bercampur jadi satu. Tangan kirinya tidak lagi memberi kepuasan di dada si Manis, kedua tangan Bright kini memeluk erat punggung Win yang masih bergerak naik dan turun.

Bright mengelus sayang punggung telanjang Win, sembari lidahnya masuk menerobos rongga hangat milik Win. Lidah keduanya bertemu, saling membelit.

Satu tangan Bright bergerak turun menyentuh pinggul Win, membantunya untuk bergerak.

Win menarik wajahnya secara sepihak, menempelkan bibirnya tepat di depan bibir Bright lalu bergumam, “aku mau keluar, *mmmhhh,”

Bright mengangguk, “aku juga, aku keluar di dalam lagi, ya? Boleh?”

“I-iya, boleh...” Win kembali bergerak cepat dibantu dengan tangan Bright.

Win membingkai wajah si yang lebih muda, lalu kembali mempertemukan bibir mereka untuk saling melumat dan mengejar kata puas.

Bright ikut bergerak di bawah sana, hingga sekitar tiga kali hujaman lagi, Bright mengeluarkan cairan cintanya di dalam lubang senggama Win.

Win turut menjemput putih, cairannya menyemprot deras mengotori tubuh keduanya.

Mereka masih berciuman, dalam, saling bertukar rasa sayang dan cinta sambil menghabiskan sisa-sisa orgasme keduanya.

Win jadi pihak pertama yang memutus ciuman keduanya. Dahi mereka menyatu, deru nafas keduanya terdengar saling beradu.

Win mengelus sayang sisi wajah Bright,

“Thank you, i love you, Bright.”

Bright tersenyum, satu kecupan berhasil ia curi di sudut bibir Win, “i love you the most, Kak Win.”

. . .

WRITTEN BY : JEYI.

tags: KINDA EXPLICIT CONTENTSㅡ sex toys, blowjob, handjob, overstimulation, mouth-cumming, doggy style, unprotected sex 🔞 total words: 5.274 words.


If you live to be a hundred, I want to live to be a hundred minus one day, so I never have to live without you.

. . .

Memiliki kekasih yang unfortunately nggak sekelas sama kita, ohㅡ jangankan sekelas, satu fakultas pun sayangnya cuma sebatas angan... satu jurusan apalagi, membuat Bright mau nggak mau harus dengan sabar menyeret sepasang tungkainya dari ujung ke ujung, alias dari gedung fakultas teknik menuju gedung fakultas psikologi yang kalau ditempuh dengan malas-malasan bisa menghabiskan waktu selama 10 menit, dan kalau ditempuh dengan semangat yang menggebu-gebu bisa menghabiskan waktu selama kurang lebih 6 menit, hanya untuk menjemput sang kekasih yang dapat dipastikan akan menjadi mahasiswa terakhir yang meninggalkan kelas pasca berakhirnya kegiatan perkuliahan.

Tapi kali ini, bukan kelas sang kekasih yang berada di gedung fakultas psikologi yang menjadi tujuannya utamanya. Pacarnya itu sudah melipir ke perpustakaan yang lagi dan lagi, unfortunately, berada di luar wilayah gedung universitas alias memiliki gedung sendiri. Dan memakan waktu tentunya.

Bright, dengan gayanya yang acuh tak acuhㅡ celana jeans hitam yang dipadu dengan kaos oblong putih lengkap dengan luaran jaket denim ala Dilan, menjadi outfit andalan pemuda bersurai hitam itu kali ini. Langkah kakinya yang ia tujukan ke arah parkiran motor terpaksa berhenti beberapa kali kala tak sengaja dirinya berpapasan dengan teman sekelas atau orang-orang yang kebetulan ia kenali.

Butuh waktu hingga sepuluh menit hingga Bright berhasil membawa motor kesayangannya keluar dari wilayah kampus.

Langit tampak mendung, dan Bright harus segera sampai di gedung perpustakaan sebelum rintik air hujan berhasil meninggalkan jejak basah karena ia sedang tidak dalam mood yang cukup baik untuk mengambil jas hujan dari bagasi motor.

Dan satu hal lagi,

Bright membenci hujan.

. . .

Ceklek, TAKKKㅡ,

Win menjatuhkan pulpen bertinta hitam miliknya di atas sehelai kertas HVS yang sejak tadi menjadi temannya selama mengerjakan tugas, seiring dengan terbukanya pintu masuk perpustakaan lalu dapat dilihatnya sang kekasih berdiri di ambang pintu dengan tatapan gelapnya, juga rambutnya yang terlihat basah.

Dirapikannya sedikit tataan buku-buku yang ia pinjam dari beberapa rak di sana, sebelum akhirnya Win berdiri untuk menghampiri sambil sepasang matanya melirik ke arah jendela dimana hujan sedang turun dengan derasnya.

Helaan nafas berat terhembus dari bibir si Manis, dengan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, Win meraih pergelangan tangan kiri sang kekasih untuk ikut masuk ke dalam perpustakaan.

“Win, titip jaga perpus sebentar, ya? Aku mau keluar dulu.”

Langkah keduanya terhenti saat suara Gawinㅡ staff perpustakaan, alias kakak tingkat Win yang sudah lulus tahun kemarin, menginterupsi. Gawin tampak membawa kunci motor miliknya, serta menarik jaket yang tersampir pada sandaran kursi.

“Ada panggilan sebentar, aku tugas sendiri hari ini. Anak-anak lagi berhalangan semua. Is that okay?” sambung Gawin.

Win mengangguk pelan, “nggak apa-apa, Kak, tinggal aja. Aku juga kayaknya masih lama sih di sini.”

Gawin membalas ucapan Win dengan seuntai senyum ramah, lalu pemuda yang berstatus kakak tingkat sekaligus librarian itu melambaikan tangan pada Win dan juga pada seorang pemuda yang diduganya berstatus sebagai kekasih Winㅡ sebenarnya Gawin juga nggak terlalu kenal sih, untuk segera pamit meninggalkan perpustakaan.

Selepas kepergian Gawin, Win melirik sosok pemuda yang berdiri di sampingnya, yang masih bungkam seribu bahasa. Win yang paham dengan keadaan pun hanya bisa mengulas senyum hangat satu kali lagi, sebelum akhirnya ia bawa sang pacar untuk duduk di tempat yang sedari tadi Win singgahi.

“Bentar ya,”

Win mengambil ransel berukuran sedang miliknya dari atas meja, berwarna abu-abu, lalu tangannya berusaha merogoh ke bagian dalam untuk meraih sesuatu dari sana. Tidak butuh waktu lama, sebuah sapu tangan berwarna merah marun berhasil ia kuasai dalam genggaman.

Diliriknya sang kekasih yang sedang menatap datar tumpukan buku beserta alat tulis juga beberapa kertas HVS penuh dengan tulisan tangan miliknya, lalu dengan lembut Win menangkup wajah arogan itu untuk menatap ke arahnya.

“Maaf ya, jadi kehujanan gini.”

Sang kekasih cuma mengangguk, sambil membiarkan tangan Win mulai bergerak untuk mengeringkan wajahnya yang basah.

Sapu tangan tersebut tak bisa turut membantu untuk mengeringkan rambut basah kekasihnya itu, alhasil Win hanya bisa menepuk sisi meja yang kosong sebagai isyarat agar sang kekasih membaringkan kepalanya di sana.

“Tiduran aja biar nggak pusing. Gue sebentar lagi selesai.”

Sang kekasih menggeleng pelan, “gue tungguin aja. Bentar lagi, kan?” jawabnya.

“Iya, nanti gue bisa lanjut googling untuk nyari sisanya yang masih kurang.”

“Ya udah.”

Win mencelos, “nanti lo tuh bawa motor, kalau pusing gimana caranya bisa nyetir? Gue nggak mau kenapa-napa di jalan ya, kayak tempo hari.”

Iya, tempo hari, pacar kesayangan Win ini, nggak ada angin nggak hujan kehilangan keseimbangan di atas motor dan hampir menabrak gerobak bakso yang sedang menepi di pinggir jalan.

Sang kekasih hanya tertawa. Bukannya membaringkan kepala di meja seperti perintah Win, ia justru malah meletakkan satu tangannya di sana, menjadi penopang bagi kepalanya yang disandarkan tepat di atas telapak tangan. Seluruh atensi sudah mengarah pada sosok manis yang duduk di sampingnya,

“Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Nanti kak Gawin tiba-tiba masuk, nggak enak gue.”

Lagi, sang kekasih malah melanjutkan tawa renyahnya. Win yang mulai kehilangan konsentrasi pun hanya bisa mendengus sambil menutup buku DSM V yang sedang ia baca. Diliriknya sang kekasih yang ternyata masih menatap lurus padanya itu.

“Bright,”

“Iya, sayang?”

Win mendengus lagi, “tidur aja sebentar, ya? Setengah jam juga lumayan, gue setengah jam lagi selesai. Janji sejanji-janjinya!!!”

“Kenapa sih maksa banget biar gue tidur?”

“Yaaa, gue males aja diliatin kayak begitu, ish!!!”

Tawa Brightㅡ well, ya kekasih Win adalah Bright, pecah saat Win menenggelamkan wajahnya yang penuh dengan rona merah di atas cover buku DSM V yang ada di meja. Merasa gemas dengan sikap si Manis yang zuzur aja nih, belakangan ini Win acap kali bersikap amat sangat manis, berbanding terbalik dengan Win-nya yang sejak awal mereka berpacaran pun, bukannya menjelma menjadi Juliet untuk dirinya yang bak seorang Romeo, justru mereka lebih dikenal sebagai pasangan amburadul, yang kebetulan sebelas dua belas sama Tom and Jerry, Bright menundukkan wajahnya untuk menjatuhkan sebuah kecupan jahil di surai kecoklatan itu.

Gerakan tangan Bright yang bergerak mengusap gemas surai Win yang berantakan menyusul setelah ia menjauhkan bibir dan wajahnya dari jangkauan sang kekasih.

Win mencelos sekilas, kemudian menempelkan pipi kanannya di atas cover buku DSM V sambil memusatkan seluruh perhatian pada Bright.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Win hanya terus terdiam sambil menatap sang kekasih.

Bright yang mulai merasa ada yang salah dengan Win pun secara spontan langsung menempelkan punggung tangan kirinya di dahi lebar si Manis yang tertutup helai demi helai poni.

Berusaha memasang ekspresi berpikir, seolah sedang membandingkan suhu tubuh orang sehat dengan suhu tubuh orang sakit.

Win yang juga mulai merasa ada yang tidak beres dengan Bright pun secara spontan langsung menarik tangan pemuda tampan itu, lalu membawa satu jari Bright ke mulutnya untuk digigit.

“Fuck, sakit, pinteeer.”

Yay, 1-0. Win menang, Bright kalah alias Bright cupu :-P

Bright menghela nafas pelan, sambil tangannya terus mengusap jari telunjuk yang baru saja menjadi korban gigitan Win. Diliriknya si Manis yang sama sekali belum mengubah posisi, masih menatapnya dengan tatapan meremehkan, dan itu jelas membuat Bright merasa tertantang.

Dengan segala ide jahil yang berkeliaran di kepalanya, Bright kembali memajukan tubuhnya, membuat wajah mereka berada pada jarak yang terlampau dekat, dan berniat untuk menggigit gemas ujung hidung mancung Win sebelum lagi dan lagi Bright harus meringis kesakitan begitu Win lebih dulu memukul pelan (sedikit bertenaga) pipi kirinya, sehingga mau tak mau Bright harus mundur dan kembali pada posisi duduknya semula.

“Bisa-bisanya kita pacaran tapi hobi lo nggak lain dan nggak bukan adalah menyiksa gue setiap hari.”

Win terkekeh, ia memejam sebentar sambil mengulas seringai di ujung bibir penuhnya, “nggak usah cengeng gitu, udah gede ai kamu.” ujarnya.

Oke, kalau Win sudah menggunakan intonasi lembut seperti ituㅡ ya walaupun niatnya untuk meledek si pacar, Bright bisa apalagi selain menghela nafas satu kali lagi, sembari tangannya bergerak mengusap sayang surai lembut Win.

“Selesain deh buruan tugasnya, hujannya udah lumayan reda. Gue tunggu di luar, ya?”

Salah satu alis Win mengernyit bingung, “ngapain di luar? Di sini aja, kan lo nggak sukaㅡ”

“Ngerokok, sayang.”

Belum sempat Win menyelesaikan kalimatnya, bentuk bibir penuhnya terlanjur berubah menjadi huruf 'O' seiring tubuh Bright yang mulai bergerak meninggalkan bangku.

“Kalau udah selesai, miscall aja, nggak usah nyamperin keluar. Gue ke teras lantai atas kayaknya.” ucap Bright, sambil tersenyum, juga sambil mengambil langkah untuk segera keluar.

Sebelum Bright terlanjur menjauh, Win menahan pergelangan tangan sang kekasih dan berhasil membuat pemuda itu menoleh, “Bright,”

Kedua alis Bright bertaut, “belum cium.” lalu seringai tipis terlukis di sudut bibirnya sesaat setelah Win mengakhiri ucapannya.

Astaga, beruntung mereka hanya berdua di dalam perpustakaan.

Bright maju satu langkah, membungkukkan sedikit tubuhnya pun juga membiarkan satu tangan Win kini memeluk tengkuknyaㅡ menariknya agar semakin dekat.

Dan tak butuh waktu lama, baik Bright maupun Win seolah sama-sama tengah menjemput bahagia ketika sepasang bibir beda ukuran itu saling bertukar sapa.

Win dengan bibir penuhnya yang terbuka sedikit, menyambut bibir sintal Bright yang kini menyesap bibir bagian atas dan bawahnya bergantian. Saling melumat selama beberapa kali, sebelum akhirnya Win mendaratkan tiga kali kecupan kilat penutup di belah bibir Bright dan Bright menjilat penuh iseng pada permukaan bibir sang kekasih yang kian basah.

“Udah sana, shoo shoo,”

Bright lagi dan lagi terkekeh, dan untuk kali ini ia benar-benar melangkah keluar dari perpustakaan, termasuk meninggalkan Win yang kini tampak grasak-grusuk mencari ponselnya yang sejak tadi tidak ia keluarkan dari dalam tas.

Pemuda manis ini tampak sibuk dengan jari telunjuk dan ibu jari yang bergerak cepat di atas layar ponsel. Senyum akhirnya terbit di wajahnya saat berhasil menemukan chatroom-nya bersama seseorang yang kebetulan sudah ia kontak beberapa hari lalu, basa-basi demi berhasil membangun komunikasi yang klop karena mereka sudah lama tidak bertemu.

Win tampak mengetikkan sesuatu di sana. Oh, ternyata isi pesan teksnya adalah: “gimana? Aman?”

Dialihkan atensinya sesaat untuk melirik ke arah pintu masuk perpustakaan, memastikan bahwa Bright tidak akan kembali lagi setidaknya dalam waktu dekat.

Drrrttt,

Dengan cepat Win membuka kunci layar ponsel canggihnya, ada balasan yang cukup panjang di sana. Well, Win tersenyum.

Agak speechless sih gue tau lo ada inisiatif buat ngadoin laki lo padahal ini cuma karna dia dapet nilai A di ujian matkul yang dia nggak suka. Ya... Nggak biasanya, aja??! Aneh, asli. I'm not used to this version of you yet haha [mnggleng bgung]

Iya, memang, benar. Jangankan ketika mereka supposed to celebrate their anniversary setiap tahunnyaㅡ alias boro-boro ingat, saat Bright ulang tahun saja respon Win tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang dari sekedar berucap, “Wih, makan-makan!!!”

Tapi untungnya, Bright nggak pernah protes, terlanjur terbiasa dengan gaya pacaran mereka yang terbilang santai dan lebih melakukan interaksi bak seorang teman dekat, namun, yes, sedikit dibumbui dengan kecupan manis setiap pagi, atau kecupan panjang setiap malam sebelum tidur.

Jadi, setiap Bright ulang tahun, Win tidak pernah memberikan hadiah. Begitu juga setiap Win ulang tahun, Bright juga tidak pernah memberikan hadiah.

Paling-paling, Bright akan menyuruh Danielㅡ teman sekelas Win yang kebetulan pernah menjabat sebagai wakabem psikologi mendampingi Win yang menjabat sebagai kabem psikologi tahun lalu, untuk membawa pulang motor scoopy merah milik Win dan dirinya sendiri akan membawa si Manis jalan-jalan di sekitar Tebet untuk wisata kuliner.

Tapi sekarang, setelah semalam diberitahu kalau Bright baru saja mendapatkan nilai A pada ujian mata kuliah yang tidak pemuda itu sukai, tiba-tiba saja Win ingin memberikan Bright hadiah.

Makanya, ia terpaksa harus menghubungi teman lamanya yang kebetulan merupakan seorang expert untuk segala keperluan yang berkaitan dengan kado yang akan ia berikan untuk Bright, besok.

Win kembali mengetikkan pesan balasan, “character development ini namanya, hehe.”

Lalu untuk bubble chat kedua, “yang sekiranya cocok buat kita berdua aja, aduh gue noob banget soal beginian… gila HAHA malu.”

Tak lama, pesan balasan pun kembali muncul di bar notifikasi ponsel Win.

Yang mau ngadoin elu, yang merah merona malah gue di sini. HUHU Winnie udah gede :(

Hmm, iya entar deh gue cek lagi foto kalian berdua, sekalian gue mikir konsep yang cocok apa buat besok. Lo siap-siap aja.

OH IYAAAA SATU LAGIIII SHAYYY

Jangan protes kalo ternyata lo nggak cocok sama pilihan gue. Gue cuma ngikutin naluri ajah. Oke?

Win terkekeh sambil mengangguk. Lalu menepuk dahinya saat menyadari bahwa temannya ini tak akan mungkin melihat gerak-geriknya secara langsung.

Kembali diketiknya sebuah pesan balasan, “semoga gue oke oke aja dan dianya juga oke oke aja deh. At least i've tried my best, ya, nggak?”

Cukup lama tak ada balasan, suara pintu yang berderit berhasil mengalihkan atensi Win. Diliriknya pintu masuk perpustakaan yang didorong dari arah luar, lalu muncul sosok Gawin dengan jaketnya yang tampak basah.

“Di luar masih hujan, Kak?”

Gawin mengangguk mengiyakan pertanyaan Win, seraya sepasang kakinya terus melangkah menuju meja panjang yang memang diperuntukkan bagi staff perpustakaan untuk duduk di baliknya.

“Lumayan, tadi sempet reda gitu, tapi nggak lama deres lagi.”

“Oh iya, Win. Aku liat pacar kamu di luar lagi ngerokok sambil nyender di balkon ujung.” sambung Gawin ketika sudah kembali duduk di kursinya.

Win mengangguk, otaknya sibuk mencerna kalau Bright ternyata tidak jadi naik ke lantai atas.

“Iya, aku bentar lagi selesai, Kak. Abis ini mau nyusulin dia.”

“Oke kalau begitu.”

Dan drrrttt, ponselnya kembali bergetar. Ada balasan dari teman lamanya itu.

Bener banget, at least you've tried your best, Win. Kalau gue yang dikadoin macam itu mah gue juga bakalan seneng, kali?!!

Neways, gue mau keluar dulu, nih. Nanti malem kali ya kita ngobrol lagi, sekalian gue kasih foto-foto barang nyatanya, siapa tau lo bisa berekspektasi lebih

Win, dengan ekspresi wajahnya yang mendadak datar kembali mengetikkan pesan balasan,

“DIEM. LO CUMA BIKIN GUE DEG-DEGAN shoo shoo you're not helping at all.”

Dasar, Siwi!!!

. . .

Fyuuuh, Win menghela nafas panjang sesaat setelah ia memarkirkan motor scoopy miliknya di sisi motor BWM K 1200S milik Bright yang terparkir apik di parkiran apartemen. Dibukanya helm berwarna coklat kopi yang sudah jadi teman hidupnya hampir 2 tahun ke belakang, lalu disangkutkannya helm tersebut di spion kanan si scoopy.

Win masih duduk di atas jok motornya. Sesekali matanya melirik ke arah goodie bag yang sengaja ia gantung di bagian tengah motor, lalu meringis geli setelahnya.

Secara mendadak, nampaknya Win menyesali keberaniannya yang meminta saran dari Mix demi menciptakan malam yang mungkin saja bisa jadi kenangan indah /slash/ menyenangkan /slash/ konyol yang kelak akan menjadi bahan obrolan bagi keduanya suatu hari nanti.

“Win, gue nggak bisa ngasih banyak-banyak, semoga semua yang ada di dalem sini bisa bantu lo memperlancar semuanya, oke?”

Itu adalah kalimat yang terucap dari belah bibir Mix kala Win baru saja mematikan mesin motornya di depan pagar rumah pemuda berlesung pipi itu. Win yang belum sempat mengucapkan apa-apa pun hanya pasrah ketika Mix mulai menjelaskan apa-apa saja yang ada di dalam goodie bag tersebut.

Condom Sengaja Mix menyediakan 3 bungkus, kalau-kalau sepasang anak adam ini nggak bisa berhenti, seenggaknya mereka punya cadangan.

Dildo Sengaja Mix berikan hanya 1 dildo, dengan warna yang serupa seperti warna kulit manusia, ya siapa tau sisi gelap Bright bisa terlihat malam ini dan ingin bermain-main sedikit, 'kan?

Vibrator Buat jaga-jaga aja, gitu menurut Mix. Ya, kalau-kalau tenaga lagi habis, nggak perlu mikir dua kali untuk pakai vibrator.

Handcuffs Nah ini, Win 100% merona saat matanya bertukar sapa dengan borgol berwana abu-abu itu. Gila, Win sendiri sangsi kalau Bright akan memakai benda itu nantinya.

Lubrikan Nggak perlu Mix jelasin, Win juga paham apa fungsi dari cairan ini.

Blind fold Zuzur aja nih, Win udah nggak bisa berkata-kata...

Juga seringai penuh godaan yang sempat mampir di sudut bibir Mix, seolah menyadarkan Win about what kind of sudden gift is this PFTTTTTT, alias Win jadi ragu sendiri, haruskah ia membawa semua ini ke apartemen mereka???

Oke, lalu bagaimana caranya Win menjelaskan tentang semua sex toys ini pada Bright nanti?

Oke, itu terlalu jauh. Sekarang lebih baik Win berpikir bagaimana kalimat yang baik untuk mengajak Brightㅡ oke, kalimatnya lebih baik diganti, untuk meminta Brightㅡ oke, ini kurang efektif, untuk memberi kode pada Bright kalau dirinya siap untuk memberikan segalanya pada kekasihnya itu sebagai hadiah atas prestasi yang Bright peroleh.

Tak kunjung menemukan jawaban atas rasa bingungnya, Win pun berdecak satu kali, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya secara asal, lalu beranjak turun dari motor scoopy kesayangannya untuk segera masuk ke lobby apartemen.

Seulas senyum manis terpampang di wajah Win saat seorang security apartemen membukakan pintu untuknya sambil menyapa, “baru pulang, mas Win?”

Win hanya mengangguk, “iya, Pak, hehehe. Saya ke atas dulu, ya.”

Dan setelah mendapat balasan berupa anggukan dari security apartemen, Win langsung bergegas masuk ke dalam lift. Pegangannya pada tali goodie bag pemberian Mix semakin erat. Jantungnya berdegup tak karuan ketika matanya tak sengaja mendapati lift sudah akan tiba di lantai tujuannya, lantai 21.

Tiiinggㅡ,

Uh, sudah sampai.

Dengan ragu, dan dengan degupan jantung yang berpacu di atas ambang normal, Win terus berjalan menelusuri lorong lantai 21 dan berhenti tepat di depan pintu berwarna putih gading dengan nomor 2712 yang tertera di sana.

Win, satu kali lagi, menghela nafas panjang. Setelah itu, ia mulai memasukan digit rahasia untuk membuka pintu unit.

Satu kata, gelap. Win disambut dengan kegelapan, seolah tak ada kehidupan di dalam unit yang sudah ia huni bertahun-tahun bersama Bright.

Win masuk lebih dalam, menyimpan sepatunya di rak, sebelum melangkah untuk menghidupkan lampu ruang tengah dan juga dapur.

Tidak mendapati keberadaan sang kekasih di ruang tamu dan dapur, Win pun kembali melanjutkan langkahnya menuju satu-satunya kamar yang ada di sana. Dengan pelan, Win menurunkan kenop pintu, dan mendorongnya sehalus mungkin, takut-takut Bright ternyata tengah terlelap.

Dan ya, benar saja, kekasihnya itu ternyata sedang asik bergelung di dalam selimut ditemani lampu tidur yang ada di nakas samping ranjang.

Bright terlihat seperti seekor anak anjing ketika tidur. Membuat Win tidak sanggup menyembunyikan senyumnya, dan dengan spontan ia naik ke atas ranjang untuk memeluk Bright dari belakang.

Tidur Bright tampak terusik. Pemuda bersurai hitam itu beberapa kali bergerak tak nyaman, namun tak kunjung membuka matanya yang terpejam.

Win menaruh dagunya tepat di atas bahu Bright, lalu menatap prianya itu dari bawah. Bibir yang sedikit terbuka, serta dengkuran halus yang terdengar membuat ribuan kupu-kupu seolah menggelitik perut dan dadanya. Diliriknya jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Itu artinya, dalam 30 menit mereka akan memasuki hari yang baru, tanggal 28 Aprilㅡ hari jadi keduanya.

Win bahkan tidak ingat kalau besok adalah hari jadi mereka. Hadiah 'gila' ini benar-benar ia buat untuk mengapresiasi kerja keras sang pacar, tapi tampaknya Dewi Fortuna sedang berada di pihaknya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Alias mereka bisa sekalian merayakan hari jadi… entah untuk tahun ke berapa.

Win mengeratkan pelukannya, lalu dengan pelan ia mulai menjatuhkan kecupan demi kecupan di rahang Bright. Lalu turun ke dagu, dan berlanjut ke perpotongan leher sang kekasih.

Bright yang dapat merasakan pergerakan di sekitarnya pun membuka mata secara perlahan, dan hal tersebut langsung disadari oleh si Manis.

“Stop, stop. Tetep tutup mata.”

Oke, Bright yang masih mengantuk pun hanya bisa menurut. Ia membiarkan sepasang kelopak matanya kembali menutup.

Win beranjak dari posisinya. Ia merangkak ke tepi ranjang, dan mengambil goodie bag yang tadi ia lempar secara asal sebelum bergabung dengan Bright di atas ranjang.

Win mengeluarkan semua 'kado' dari Mix dan sengaja membiarkannya tergeletak di atas ranjang. Lalu, tangannya meraih salah satu benda yang berserakan di sana.

Dengan seulas seringai penuh kepuasan, Win mengubah posisinya untuk duduk di atas perut Bright.

Bright, hanya diam. Ia masih memproses tentang apa yang sesungguhnya sedang Win lakukan.

Terus terdiam sampai akhirnya, “Win what the fuck are you doing right now?” Bright terpaksa berucap sedikit kasar saat Win dengan gerakan kilat memasang blindfold yang dalam hitungan detik sudah berhasil menutup rapat kedua matanya.

Win berdehem sesaat, sebelum ia menundukkan tubuhnya mendekat pada Bright. Win membuat bentuk 'V' menggunakan dua jarinya di depan wajah sang kekasih, lalu bergumam pelan, “tebak, ini berapa?”

Bukannya jawaban angka yang diperagakan, Bright justru menjawab dengan sebuah decakan sambil berusaha membuka kain yang menutup kedua matanya.

“Jangan dibuka, ish!!! AWAS AJA LO!!!”

“Lagian ngapain sih pake acara nutup mata segala? Gue nggak bisa liat apa-apa ini.” balas Bright.

“Y-ya, emang sengaja biar lo nggak bisa liat.”

Terjadi keheningan sesaat. Win tidak tahu harus memulai dari mana, Bright juga malah sibuk mencerna apa yang sebenarnya sedang pacar cantiknya ini lakukan.

“Win, gue buka, ya?”

Win menggeleng cepat, sambil merangkak turun dari atas tubuh Bright. “Hitung mundur dulu seratus sampai satu. Baru boleh dibuka.”

Bright berdecak kesal, “nggak usah konyol deh lo. Jangan ngaco, udah jam berapa ini?”

“Jamㅡ hmm, lima belas menit lagi jam dua belas.”

Mengikuti naluri, Bright pun mengangkat tangan kanannya untuk mendaratkan sebuah sentilan di dahi sang kekasih.

“Woy, sakit...”

“Makanya nggak usah ngide tengah malem begini. Gue ngantuk banget ini, besok mau sparing futsal sama anak sasing.”

Win tak mau ambil pusing. Waktu terus berjalan, dan ia harus bergerak cepat. Diliriknya Bright yang masih berbaring dengan mata yang tertutupi blindfold. Cih, katanya mau dilepas, mana?!

“Diem, Bright. Lo bawel banget deh tumben.”

Lagi, Bright berdecak, “lo yang mancing, ya.”

“Emangnya lo berhasil kepancing?”

Terjadi keheningan sesaat, sebelum akhirnya Bright membeo penuh kebingungan, “hah???”

Kini, giliran Win yang berdecak, “cepetan hitung mundur dari seratus sampai satu, gue udah mau selesai ini.”

“Hah??? Apa sih???”

“Seratus, sembilan puluh sembilan, sembilanㅡ” Win pun mengambil inisiatif untuk menghitung mundur lebih dulu. Karena ia tahu pastiㅡ “puluh delapan, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh enam,” kalau Bright tidak punya kuasa untuk membantah.

Selagi Bright menghitung mundur, Win mulai melucuti satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Diliriknya sisa sex toys yang masih berserakan di sisi ranjang, dan sebuah dildo berukuran cukup besar kini menjadi pusat perhatiannya.

Ia mengambil dildo tersebut, lalu matanya sibuk untuk mengamati benda itu. Win tampak berpikir, dari segi ukuran saja sudah tidak sebanding dengan miliknya. Tapi, kalau ternyata sebanding dengan milik Bright, bagaimana?!!

Well, fuck. Hanya dengan memikirkan akan sebesar apa milik Bright yang masih bersembunyi di balik celana training abu-abu yang dipakainya sudah mampu membuat Win cukup merasa sesak.

Win, belum pernah sekalipun menggunakan dildo, atau berbagai macam mainan seks lainnya. Ia pernah melihat, hanya sekedar tahu saat iseng googling ketika ada waktu luang.

Ditambah, hubungannya dengan Bright yang meski bisa dibilang cukup amburadul, keduanya sama sekali belum pernah melakukan hal lebih dari sekedar ciuman bibir, atau saling mengukir tanda di leher masing-masing. Hanya sebatas itu, tidak pernah lebih.

Namun kini, Win seolah ingin memberikan seluruh kepercayaannya pada Bright. Apalagi, sang Papa sudah cukup cerewet bertanya kapan kira-kira Bright akan meminang.

Ah, Papa. Tidak tahu saja, kalau dirinya dan Bright bahkan lebih stress memikirkan skripsi daripada memikirkan kapan mereka akan naik jenjang.

Tapi, pernikahan bukan hal yang buruk untuk dibicarakan dari sekarang, kan? Dan mungkin, setelah ini, mereka bisa menjadi jauh lebih serius dengan hubungan yang sudah terjalin lebih dari ehm, mungkin enam tahun?

“Lima belas, empat belas,”

Win seolah tersadar dari lamunan panjangnya. Diliriknya Bright yang masih berhitung dan mulai memasuki angka sepuluh.

Dengan cepat, dan berhati-hati, Win pun mencoba untuk memasukkan kepala dildo ke dalam lubang senggamanya.

“Ahhhh,” buru-buru Win menutup mulutnya kala seuntai desahan tak sengaja lolos mengisi keheningan malam.

Tapi tampaknya Bright acuh, tetap meneruskan hitungan mundurnya, “tiga… dua… satu.”

Bright langsung membuka kain yang menutup matanya, dan jantungnya nyaris saja lepas dari tempatnya saat melihat Win tengah berbaring setengah duduk, bersandar pada bantal yang diposisikan berdiri pada headboard ranjang, lalu tubuh polosnya yang terekspos begitu saja, juga kedua kakinya yang mengangkang lebar, serta satu tangannya yang berada di tengah, tampak sedang memegang sesuatu.

Lebih tepatnya, menarik – memasukkan – menarik – memasukkan sebuah benda ke dalam lubang hangatnya.

“What the fuck is this,”

“Ahhh, Bright, nghhhh,”

Sepasang mata Win terpejam menahan sakit saat setengah dari dildo mulai masuk membelah lubangya. Desahan demi desahan yang terselip nama Bright di dalamnya, menjadi satu-satunya simfoni yang mengisi keheningan di dalam kamar.

Bright, ngeblank total.

Pemuda itu terdiam di posisinya, tak bergerak sama sekali bahkan ketika seluruh bagian dildo sudah masuk sempurna ke dalam lubang senggama Win.

Perlahan namun pasti, Win membuka pejaman matanya dan mendapati Bright yang ternyata sedang menatap ke arahnya, dengan tatapan tidak suka.

“Bright,”

“Lo ngapain? Maksudnya apa?”

Win berusaha mengubah posisinya, namun semakin ia bergerak, posisi dildo yang tenggelam di dalam lubangnya justru bergerak semakin dalam.

“Ahhh, Bright,”

“I didn't love you for this, lo tau itu.”

Win menggigit kecil bibir bawahnya, belum mempersiapkan diri atas reaksi Bright yang ternyata diluar ekspektasinya, “but i know you wanted to do this.”

Bright menggeleng kuat, “kalau lo selama ini cuma mikir gue macarin lo buat ini, berarti lo ngeraguin perasaan gue enam tahun ini, Win.”

“B-bright, this is a gift for you, oke? Gue cuma mau memberikan apa yang udah selayaknya lo dapetin. Lo selalu narik nafas panjang setiap kita selesai ciuman, lo selalu ngehindar dari gue setiap gue selesai bikin tanda di badan lo, lo cuma takut ngelakuin kesalahan. Dan sekarang, gue kasih semuanya buat lo. Gue mau kita lebih saling percaya setelah ini,”

Bright menghela panjang nafasnya, “we can do this later, nanti, kalau udah waktunya.”

Win berdecak, ia menarik kasar dildo itu dari dalam lubangnya, dan tanpa sadar setetes cairan bening jatuh dari sudut mata.

“Just say you don't want it, you don't want me, then i can go.”

Malu. Satu kata, malu. Win sudah menelanjangi dirinya sendiri di depan Bright, tapi Bright malah menolaknya terang-terangan.

Suaranya terdengar bergetar. Win beranjak turun dari ranjang sambil berusaha memakai kembali pakaiannya.

Bright sadar ia sudah salah langkah. Pemuda itu lantas mengusap kasar wajahnya, lalu merangkak sedikit untuk menarik Win kembali naik ke atas ranjang.

Berhasil, kini Win sudah kembali berbaring di bawah kungkungan dominasi Bright. Dengan wajah yang sengaja dialihkan ke arah kanan, menghindari tatapan dalam sang kekasih yang ogah untuk dilihatnya sekarang.

“I'm sorry. I didn't mean being rude to you,”

Win masih terdiam, air mata masih terus mengalir membasahi wajahnya.

Bright menunduk, mencium bibir Win satu kali sebelum menjilat air mata yang masih mengalir membentuk sebuah bendungan di wajah manis sang kekasih. Jilatannya turun menuju rahang tajam Win, lalu menuju telinga, tengkuk dan berakhir di perpotongan leher putih Win.

Bright bermain-main sebentar di sana. Menjilat, menghisap, lalu mengecup selama beberapa kali pada titik yang sama.

Sedangkan Win masih terdiam. Tidak memberikan respon apa-apa atas afeksi yang diberikan oleh sang pacar.

Bright menangkup wajah Win dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain berusaha bergerak untuk kembali melucuti pakaian yang belum seutuhnya terpakai di tubuh semampai sang kekasih.

“Sorry, sayang,”

Bright membawa Win ke dalam ciuman panjang, membuat air mata kecewa yang semula mengalir kini berganti menjadi air mata penuh kenikmatan saat tangan Bright bekerja di bawah sana, dan satu tangan yang lain bekerja untuk memuaskan satu titik di bagian dadanya.

“Ahhh, B-bright...”

Tak ada yang bisa Win lakukan selain mendesah sambil menjambak surai hitam Bright sebagai pelampiasan atas rasa nikmat yang mendera.

“Ahhhh, this is too good, ahhh,”

“Wanna try another position?”

Win membuka pejaman matanya, ditatapnya Bright yang kini wajahnya tepat berada di atasnya, “what position?”

“Cium dulu, boleh?” tanya Bright.

Dan dengan senang hati, Win membawa Bright ke dalam ciuman panjang.

Lalu tanpa melepas ciuman mereka, Bright berusaha mengubah posisi keduanya, di mana Win kini berada di atasnya.

Bright memutus kontak bibir keduanya secara sepihak, lalu meminta Win untuk duduk tepat di atas dadanya.

Tak punya kuasa untuk menolak, Win pun menurut. Si Manis kini duduk di atas dada telanjang Bright, dengan ujung penisnya yang sengaja ia taruh tepat di atas belah bibir Bright.

Bright terus menatap Win yang tampak memerah, malu dengan posisi mereka. Namun, Bright tak kuasa menahan nafsu saat cairan pre-cum Win tak sengaja jatuh tepat di belah bibirnya yang terbuka sedikit.

Dengan jahil, Bright mencuri cicip.

“Win,”

“Hmm?”

“Thankyou for being my special person for almost seven years, i love you.”

“Bright, AHHHHH...”

Belum sempat menjawab i love you too, Win terlanjur dibuat mendesah hebat saat Bright memasukkan seluruh kejantanan Win ke dalam mulutnya.

Bright memajukan kepalanya, lalu memundurkan ya untuk menciptakan sensasi setiap kali lidahnya mengecap di sepanjang kulit kejantanan Win. Bright mengulum, memberikan servis terbaiknya sampai Win kalah telak dan meneriakkan sebuah kalimat yang berhasil membuat Bright tersenyum diam-diam,

“Fuck fuck fuck, you are so good, Bright… Mmmhh, ahhhhㅡ”

Seraya berusaha menahan desahannya yang lain, Win meletakkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan kepala Bright, sambil pinggangnya terus bergerak maju dan mundur mengikuti irama hisapan dan kuluman Bright yang semakin menggila pada penisnya.

Sungguh, ini gila. Luar biasa gila. Niat hati ingin memberi hadiah pada Bright, kini justru Bright yang memberikan hadiah, menjadikannya bak seorang Ratu yang diperlakukan sebaik mungkin, serta membiarkan Win mendominasi kegiatan bercinta mereka untuk kali pertama.

Win mendesah satu kali lagi, sebelum ia memejam saat 'putih' datang menghampiri.

“Ahhh...”

Ini hebat. Ia mencapai klimaksnya, di dalam mulut Bright.

“Win, nungging, sayang.”

Belum sempat Win mengais oksigen pasca pelepasannya yang pertama, Bright malah mencubit gemas pipi pantatnya seraya pemuda itu menjauhkan wajahnya dari jangkauan penis Win.

Win, keluar di dalam mulut Bright. Dan Bright tanpa rasa jijik menelan semua cairan cinta sang kekasih hati.

Bright kembali mencubit gemas pipi pantatnya, “mau ngewe dengan posisi paling enak nggak?”

“Hhhh, bentar nafas dulu,” perlahan-lahan Win merangkak mundur dari dada Bright. Pemuda manis itu dengan susah payah turun dari atas tubuh Bright, lalu memposisikan tubuhnya sesuai dengan permintaan sang kekasih.

“Ini udah nungging,” Win mengangkat sedikit bagian pantatnya, “emang apa sih posisi terenak dalam kamus perngewean?” lanjutnya.

Win terlalu lemas untuk sekedar melirik ke belakang, dimana Bright ternyata sedang melucuti pakaiannya sendiri. Pemuda itu terkekeh kecil mendengar pertanyaan Win, lantas sambil menarik turun fabrik terakhir dari kakinya, Bright kembali berujar,

“Doggy style, sayang, you will find the pleasure later once i hit you with the wildest rhythm i can do.”

Bright mengocok pelan penisnya yang juga sudah berdiri tegak. Win cuma tertawa sesekali, merasa lucu karena akhirnya ia dan Bright bisa benar-benar bertukar kalimat kotor penuh godaan di atas ranjang seperti sekarang.

Win mencengkeram sarung bantal di bawahnya, “emang punya lo sebesar apa, sih? Sini gue liat.”

Namun Bright bergumam, “no, no,” masih sambil mengocok penisnya, Bright segera membawa teman kecilnya itu untuk menyentuhnya permukaan lingkar cincin lubang senggama yang terpampang di depannya, “you don't have a chance to look at him, sayang. You guess the size by the way im thrusting inside you.”

Lalu ujung penis Bright berhasil memasuki permukaan lubang senggama Win.

“Sakit, nggak?”

Win menggeleng, “enggak, kayaknya masih cukup sensitif karna barusan sempet gue masukin dildo, deh.”

“Gue boleh lanjut, Win?”

“Iya, boleh,” Win mendesah pelan saat penis Bright perlahan-lahan memasukinya, “ahhhh, e-enak banget, B-bright...”

Bright menarik keluar penisnya selama beberapa detik, lalu kembali menenggelamkannya ke dalam lubang si Manis, “desah lagi Win, gue mau denger lo ngedesahin nama gue.”

“Mmmhhh, fuck,” Win tidak mampu melanjutkan desahannya ketika Bright memeluk tubuhnya dari belakang. Tanpa sadar Win menggigit bibir bawahnya begitu cuping telinganya berhasil masuk ke dalam mulut Bright dan larut dalam kuluman manis pemuda itu. “Ahhh, so good...”

Bright kembali membawa bibirnya menjelajah. Ia berhenti tepat di perpotongan leher Win, lalu bermain-main sebentar di sana dengan membubuhi kecupan-kecupan kilat di sana, “i love you, desah lagi, sayang...”

Bright mempercepat tempo tusukannya. Tubuh Win yang sudah pasrah di bawah kuasa dominasi Bright kini terhentak maju dan mundur mengikuti hujaman Bright yang kian menggila.

“Ahhh, Bright… enak...”

“Gue boleh keluar lagi, nggak?”

Bright berdehem pelan di sepanjang leher Win. Memberikan sensasi tak tergambarkan sehingga matanya semakin memejam erat sambil bibirnya menggeram beberapa kali.

“Hm, boleh,” Bright menyentuh penis Win, mengocoknya cepat, berusaha membantu si Manis untuk menjemput putihnya lagi.

Bright terus menghujam, ada kata-kata cinta yang terucap setiap kali ia berhasil menyentuh prostat sang kekasih.

“Keluarin sayang, kita keluar sama-sama.”

Butuh sekitar lima hujaman lagi, Bright akhirnya mencapai klimaks dan menumpahkan seluruh cairannya di dalam lubang Win.

Sedangkan Win, nafasnya kini terengah-engah pasca menjemput putihnya yang ke-2.

Masih terdiam, berusaha mengais oksigen tapi belum sempat ia mengumpulkan tenaga, Bright kembali bergerak menghujam lubangnya.

“Win, coba ganti posisi jadi terlentang menghadap gue tapi sambil gue terus keluar masuk kayak gini, ya? Bisa, nggak?”

. . .

JEYI // 210405.