Memories After.
...the magic has worked since day one.
TAGS: strangers to lovers, single daddy!bright, contains some of adult contents, retrograde amnesia cases. total words: 9.909 words.
“Iya kak… nanti pulang kuliah sekitar jam lima, Meta langsung berangkat ketemu sama Mas Mike,”
Metawin, alias Wină…ˇ atau yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Meta' menggumam pelan sambil menggerakkan satu jarinya di atas sebuah tablet canggih yang sedang menampilkan daftar kegiatan yang harus ia lakukan mulai hari ini. Kepalanya mengangguk sesekali, menyahuti secara non-verbal ucapan sang lawan bicara di seberang sana.
Gerakan jari telunjuk pemuda manis itu berhenti begitu ia dapati ada sesuatu yang rancu pada deretan tulisan yang sedang ia baca.
“Kak Gie, sorry, ini Meta juga yang harus ngurus catering?” Perjanjian awal tidak seperti ini. Urusan katering, bukanlah bagian Win. Tapi mengapa kegiatan tersebut muncul di daftar kegiatannya hari ini?
Ggigieㅡ kakak kedua Win, alias seseorang yang tengah melakukan panggilan telepon dengannya mendesah berat di seberang sana, “Joss harus dateng ke rapat direksi nanti malem, Taa. Kakak juga teledor banget salah baca jadwal Joss, jadinya baru semalem kakak tau kalau Joss penuh jadwalnya hari ini.”
Win menghela nafas pasrah, lagi dan lagi… ia seolah tidak punya waktu untuk mengurus tetek bengek persiapan pernikahan bersama calon suaminya sendiri.
“Ya udah, nanti Meta handle catering juga ya, Kak.” sahut Win, pasrah.
Ggigie mendengus pelan, merasa amat sangat bersalah pada sang adik karena sial seribu sial, ia juga tidak bisa menggantikan posisi Joss untuk menemani Win mengurus persiapan pernikahan mereka.
Joss adalah atasannya di kantor, status pekerjaan sebagai seorang sekretaris nyatanya tak jua mampu membuat Ggigie bisa seenaknya mengatur jadwal sang boss.
Jauh di dalam hati, Ggigie juga merasa bersalah pada Joss yang pada pukul 8 pagi ini sudah sibuk bolak-balik dari ruang kerjanya menuju lantai 24. Tempat dimana divisi keuangan perusahaan berada.
“Mas Joss nggak bilang apa-apa sama Meta tapi, Kak.” sambung Win, yang kini tangannya sibuk memainkan pulpen gel dalam genggamannya.
“Mas mu udah kacau banget dari tadi, Taa. Begitu nyampe kantor, langsung naik ngecek laporan keuangan karena emang lagi ada trouble. Bolak-balik ruangannya ke lantai dua puluh empat, bahkan melipir ke pantry aja nggak sempet, belum ngopi tuh orangnya.” sahut Ggigie.
Win mendengus keras mendengar ucapan Ggigie. Bisa-bisanya Joss mengabaikan rutinitas sarapannya demi mengurus pekerjaan yang mendadak chaos pagi ini.
Lantas Win melirik sebuah jam berwarna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, sudah jam 8 pagi lebih 15 menit. Satu helaan nafas berat kembali lolos dari belah bibir penuhnya, “Mas Joss tolong dibikinin kopi dulu ya, Kak… Atau seenggaknya kasih kopi kemasan yang dari minimarket aja,”
Ggigie mengangguk mengiyakan ucapan adiknya di seberang sana, “Kakak beliin kopi yang biasa kakak minum aja ya, Taa? Suka nggak ya, Mas mu itu...” balas nya.
“Boleh, suka aja dia mah, yang penting kopi. Makasih banyak ya, Kak Gie.”
“Iya, sayang… Ya udah, Taa, kamu yang semangat hari ini… Nggak apa-apa sendirian dulu ya, dek? Kalau ada apa-apa Meta bisa langsung telfon Kakak aja, oke? Mas-nya jangan diganggu dulu kalau bisa, 'kan semakin cepet dia nyelesain kerjaannya semakin cepet juga dia bisa ketemu sama kamu. Ngerusuhin Kakak aja deh kalau kamu bosen… Kakak dirusuhin sama kamu mah juga nggak masalah ya, Taa, ya?”
Win tersenyum kecil mendengar ucapan sang kakak. Menjadi seorang kakak, terlebih kakak ipar dari atasannya sendiri di kantor memanglah tidak mudah. Win cukup sadar diri, bahwa Ggigie pasti sedang merasa bingung dan tidak enak hati di waktu yang bersamaan. Apalagi, Ggigie tidak bisa seenaknya meminta pengertian Joss untuk turut ikut andil dalam persiapan pernikahannya bersama pria itu.
“Sebisa mungkin Meta urus sendiri ya, Kak. Kasian kalau Kak Gie udah pusing juga di kantor tapi malah Meta gangguin,”
“Taa, udah kewajiban Kakak untuk bantuin kamu lho ya, Taa.”
Lagi, Win terkekeh dibuatnya, “nggak apa-apa, Kak Gie sayanggg… Kak Gie fokus aja di kantor, oke? Paling Meta mau minta tolong satu hal sama Kak Gie,”
“Tell me, Taa...”
“Tolong ingetin Mas Joss buat makan siang nanti ya, Kak. Pokoknya jangan sampai perutnya kosong, Meta takut nanti maag-nya kambuh. Kak Gie juga lho, jangan lupa makan siang, yah?”
Ggigie tertawa kecil di seberang sana, dan hal tersebut cukup membuat Win merasa tenang di tengah rasa sedihnya pagi ini.
“Oke, siap laksanakan!!! Kamu juga jangan lupa sarapan ya, dek? Ya udah, kakak mau lanjut kerja dulu ya, talk to you later?”
Win mengangguk, meski Ggigie tak bisa lihat. “Wish you tons of luck, Kak Gie.”
“Thank you, Taa. You too ya, sayang.”
Dan dengan kalimat tersebut, sambungan telepon antara Win dan sang kakak pun berakhir. Win lantas meletakkan ponselnya di atas meja, menghela pelan nafasnya satu kali lagi, sebelum ia bawa seluruh atensinya pada sebuah tablet yang sejak tadi menyala.
Kuliah sampai jam 14.00 WIB > ambil hard cover proposal skripsi di Buring > print rangkuman nilai di tukang fotokopian deket kampus > jam 15.40 WIB ketemu Mas Mike (WO) > jam 17.00 WIB ngecek catering di tempat tante Jane > jam 18.40 WIB hunting cincin.
Oke, tampaknya tidak ada celah bagi Win untuk bisa bersantai hari ini. Jadwalnya cukup padat, banyak, ditambah ia harus menjelajah beberapa tempat untuk keperluan persiapan pernikahannya seorang diri. Win menghabiskan sisa teh hangat yang ada di gelas berwarna putih yang sengaja ia letakkan di dekat tablet dan laptopnya, lalu berdiri, dan bersiap-siap untuk memulai hari.
Oke, Metawin. Don't forget to be a good person today, you can do it!
Win lantas mematikan laptopnya yang sejak tadi ikut menyalaă…ˇ menemani paginya untuk membaca deretan aktivitas yang akan ia jalani hari ini, meraih tas selempang berukuran sedang berwarna hijau tentara, lalu memasukkan ponsel beserta tablet miliknya ke dalam sana. Win memperhatikan penampilannya sesaat pada sebuah cermin besar, dan setelah merasa cukup sempurna, pemuda manis itu beranjak melangkah menuju garasi untuk segera masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju kampus.
Namun, lagi dan lagi Win harus mendesah kecewa saat matanya tak sengaja menangkap sebuah pemandangan dimana Pak Umară…ˇ supir pribadinya, kini berbaring terlentang di bawah mobil dengan beberapa perkakas yang berserakan di lantai garasi.
“Pak Umar,”
Yang dipanggil cepat-cepat menyeret tubuhnya keluar dari kolong mobil HRV putih milik Win, wajah Pak Umar tampak sedikit lusuh, ada bekas oli yang terpampang jelas di pipi kiri pria itu.
Pak Umar lalu berdiri untuk menyapa Win, tawa canggung yang diselipkan oleh lelaki itu tampaknya cukup membuat Win mengerti bahwa mobilnya sudah pasti tidak bisa digunakan pagi ini.
“Pak Umar telfon montir yang biasa aja, jangan diotak-atik sendiri, kasian Bapak. Meta biar naik ojek online aja ya, Pak.”
Pak Umar meremas tangannya gugup, merasa amat sangat tidak enak hati sudah merusak pagi sang tuan. “Pak Umar cariin taksi aja ya, Den? Kasihan atuh, kalau Den Meta harus naik motor… Nanti kena debu, nggak bagus, nggak sehat, Den.” ucap Pak Umar, dengan ekspresi gugup yang melekat di wajahnya.
Win tersenyum kecil, mencoba memberi pengertian pada Pak Umar lewat gesture-nya, bahwa ia tidak apa-apa. Kendala yang tiba-tiba terjadi dengan mobilnya juga merupakan suatu hal di luar kuasa mereka. Win tidak bisa kesal terlalu lama, dan Pak Umar juga tidak bisa disalahkan.
“Nggak apa-apa, Pak. Lagian kalau naik motor kan bisa lebih cepet sampai di kampus, paling Meta minta tolong sama Pak Umar buat diliatin terus mobilnya, ya? Pas lagi dicek sama montir juga, tolong diawasi ya, Pak.” sahut Win, masih dengan senyum kecil yang terulas di wajah manisnya.
Pak Umar mengangguk paham, “baik, Den.” katanya.
“Ya udah, kalau gitu Meta jalan ke depan komplek biar dapet ojek onlinenya gampang ya, Pak. Dadah, Pak Umar!”
Setelah mendapat jawaban berupa anggukan dan seuntai ucapan 'hati-hati' dari Pak Umar, Win pun langsung bergegas melangkah (agak cepat) membelah jalanan komplek perumahan yang pagi-pagi sudah ramai dengan warga. Ada yang sedang lari pagi, ada yang sedang berjemur, ada yang sedang menyiram tanaman di depan rumah masing-masing, dan masih banyak aktivitas lain yang tertangkap oleh matanya.
Win kerap menyahuti sapaan dari beberapa warga, pun tak lupa untuk tersenyum di setiap langkah yang ia pijaki. Kurang dari 15 meter lagi ia akan segera tiba di gerbang utama perumahan. Beberapa kali ia menunduk melihat layar ponselnya, bersiap-siap untuk memesan ojek online melalui sebuah platform ternama.
Namun, Win harus benar-benar menghentikan langkah kaki ketika tidak sengaja sepasang matanya bertemu pandang dengan sepasang obsidian hitam gelap yang tampak gelisah di seberang jalan. Ada sebuah kereta bayi di depan sosok tersebut, dan suara tangisan langsung terdengar pada detik berikutnya ketika garis tak kasat mata yang menyatukan pandangan mereka terputus begitu saja.
Sosok di seberang jalan itu berlutut, menarik surai hitamnya sesekali dan terlihat begitu kalut. Win melirik sosok tersebut, lalu memandang gerbang utama komplek secara bergantian. Seketika perasaannya bimbang, arah mana yang harus ia pilih.
Sosok asing dengan kereta bayi di depannya,
atau gerbang komplek yang akan memberikan jalan baginya untuk segera pergi ke kampus.
Win, lagi dan lagi membawa pandangannya pada sosok di seberang jalan itu. Hatinya berdegup khawatir dan bingung di saat yang bersamaan. Suara tangis bayi terus menggema keras, tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Lantas mengapa lelaki itu tak jua melakukan apa-apa? Bahkan berusaha untuk menenangkan si bayi pun tidak ia lakukan.
Yang dilakukan oleh lelaki itu hanya diam. Menatap kereta bayi di depannya dengan tatapan yang begitu gelap.
The man is literally struggling on his own.
Oke, oke. Win sudah tahu jalan mana yang harus ia pilih. Dan Win berharap, ia tidak akan salah langkah kali ini.
. . .
“I have told you, ini bukan anak saya,”
Sepasang mata Win langsung membulat, bingung, ketika kalimat tersebut terucap dari bibir lelaki di hadapannya. Beberapa pertanyaan berkelebat dalam benak pemuda itu, namun hanya ada satu yang berhasil ia suarakan.
Sudah tiga kali Win bertanya, tapi jawabannya selalu sama. Lelaki ini tidak mau mengakui bayi yang kini masih menangis.
“Kalau anak ini bukan anak Mas, terus maksud surat ini apa, ya? Bisa tolong beri saya penjelasan yang masuk akal, Mas Bright?”
Lelaki itu masih menunjukkan ekspresi datarnya, meski dapat tertangkap jelas ada raut gusar dan bingung di wajahnya, tapi beliau sepertinya pantas untuk mendapat penghargaan sebagai actor of the year karena begitu handal dalam hal mengatur emosi.
Ia melirik secarik kertas yang ada di genggaman Win acuh tak acuh, “dari mana kamu tau kalau nama saya Bright?” tanya lelaki itu.
Win mendengus kesal, bagaimana tidak, dirinya bertanya apa... lalu dijawab dengan apa... Pasalnya, lelaki asing ini terus mengelak seolah menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pembuktian bahwa ia adalah ayah dari bayi yang ada di dalam kereta bayi itu.
Mengelak terus, mengelak lagi. Berusaha untuk mengalihkan konversasi serius keduanya.
Lalu dengan satu kali gerakă…ˇ meski sempat mengulum bibir bawahnya menahan kesal, Win menyerahkan kertas surat dengan tulisan tangan bertinta hitam yang ia pegang pada Bright (yang entah lah, benar atau tidak namanya Bright, Win tidak mau ambil pusing).
Lelaki itu meraih secarik kertas tersebut dari uluran tangan Win, lalu membacanya perlahan-lahan.
Hey, Bright,
Long time no see, right? Ah… When was the last time we met? Yes, you're right, it's a year ago, when we had sex for the second time and unfortunately that was our last time, too. So, suratku ini bukan untuk membahas betapa menikmatinya kita malam itu, tapi dengan adanya surat ini, aku akan sampaikan beberapa hal penting buat kamu and i hope you can take care of my words well.
First of all, i am sorry if your morning and whole day will be ruined because of the sudden surprise from me. I've sent you a baby stroller with your baby there. Don't ask me why i didn't tell you at the first place, aku rasa kamu masih ingat tentang mimpi aku yang luckily, i've reached them now. But one thing is, itu anak kamu, you knows me so well that i've never had sex with anyone else before you so yeah… please terima dia, and her name is Zoey.
Yang kedua, Zoey is a three months old baby, jadi tolong kamu pelajari gimana caranya merawat bayi dengan benar because she's now your fully responsibility, so please take care of her well. My time is up, aku sudah mengandung Zoey sembilan bulan dan melahirkan dia tanpa menyusahkan kamu sama sekali, jadi ini adalah waktu yang tepat untuk kamu melakukan bagian kamu.
And the last is, jangan cari aku. I have nothing to do with both of you, okay? Urusan kita sudah selesai di malam dimana kita menyudahi hubungan kita satu tahun yang lalu, tapi kali ini aku harus minta tanggung jawab kamu juga atas Zoey, so, it's your time to shine, honey. Apapun yang terjadi pada kalian berdua, entah di masa sekarang ataupun nanti, it will never be my things... so, good bye i guess? i hope you two can grow old together, my dearest Bright and Zoey.
Isi suratnya panjang, pun jelas tertera nama Bright di sana yang mana sudah dipastikan bahwa surat tersebut memang diperuntukkan baginya. Tapi setelah membaca ulang surat itu, Bright masih tidak menemukan adanya kebenaran yang bisa membuktikan bahwa Zoey memanglah anaknya. Anak biologisnya.
Bagaimana dirinya bisa punya anak di saat Bright bahkan tidak tahu kalau ia pernah berpacaran? Demi Tuhan, ia bahkan mengira dirinya adalah seorang aseksual karena tidak pernah sekalipun ia tertarik apalagi jatuh cinta pada orang lain, entah pada laki-laki ataupun perempuan.
Bright juga berusaha mencari nama si pengirim surat (sekaligus si pengirim bayi lengkap dengan kereta dan sebuah tas berisi beberapa setelan pakaian dan diapers) barangkali ia tahu 'sosok' tersebut, tapi nihil, tidak ada sedikitpun tanda-tanda si pengirim surat mencantumkan namanya.
“Jadi, gimana nih, Mas Bright? Sudah bisa kasih saya penjelasan?”
Lirikan mata Bright beralih dengan cepat dari deretan kalimat yang tertera pada secarik kertas itu pada Win, yang kebetulan belum memperkenalkan diri padanya.
Masih dengan wajah 'loading'-nya, Bright mengangkat kedua bahu pertanda ia sama sekali tidak tahu menahu tentang validitas isi dari surat tersebut.
“Gimana kamu bisa yakin seratus persen kalau surat ini bukan surat bohongan?” tanya Bright, yang lagi-lagi agak sedikit tidak nyambung dengan pertanyaan Win barusan.
Win, berdecakă…ˇ lagi. Ditatapnya sosok Bright yang pagi itu lengkap dengan setelan kerjanya. Celana bahan berwarna hitam yang melekat di sepasang kaki jenjang lelaki itu, disempurnakan dengan balutan kemeja putih yang lengannya sengaja digulung sampai ke siku, sebuah jam berwarna silver yang melingkari pergelangan tangannya, dan kacamata hitam yang turut mengintip dari celah surai hitamnya.
Dari penampilan saja, Win sudah bisa menilai kalau Bright bukan lah orang sembarangan yang dapat ia pandang sebelah mata. Well, pada dasarnya Win memang bukan tipikal orang yang automatically judge a book by its cover, sih. Tapi orang kayak Bright, kayaknya akan jadi pengecualian.
Terus mengelak, menghindar dan bahkan mempertanyakan kebenaran surat tentang anak kandungnya… bukankah itu aneh? Jelas-jelas ada nama Bright di kertas itu.
“Nama Mas beneran Mas Bright?” Win pun bertanya, to the point.
Lelaki yang 'katanya' bernama Bright itu mengangguk, “nama saya memang benar Bright, tapi saya bener-bener nggak tau menau soal anak ini.” balasnya.
Satu mata Win ikut memicing, “Mas, denger ya,” dan diambilnya surat tersebut dari genggaman Bright, “jelas-jelas di sini tercantum nama Mas, lengkap dengan selipan aktivitas Mas dengan siapapun itu yang akhirnya… Zoey… Mas pasti ngerti maksud saya, 'kan?”
Sama sekali merasa tak bersalah, Bright pun balas tatapan kesal Win tak kalah tajam. Lelaki itu berdeham pelan, “oke, nama kamu siapa?” tanya nya.
“Metawin.”
“Oke, Metawin, sebelumnya terima kasih sudah melipir menghampiri saya dan anak yang saya nggak tau dia ini siapa, tapi saya rasa kamu sudah terlalu jauh berasumsi seolah benar saya adalah orang yang dimaksud di surat ini.”
Berasumsi terlalu jauh katanya? Oh, God.
“Mas Bright, saya tidak akan berasumsi kalau tidak ada barang bukti yang mendukung asumsi-asumsi saya, oke, Mas? Coba Mas liat sekarang, ini apa?” balas Win sambil menunjuk kereta bayi yang ada di depannya.
“Kereta bayi?”
Win mengangguk, ibu jari dan telunjuknya turut menjentik setuju. “Nah, di dalam kereta bayi ini, ada apa?” lanjut Win.
“Ya, ada bayi? Kamu bisa liat sendiri, 'kan, Metawin?”
Lagi, Win mengangguk bersemangat, “terus di sini, nih, Mas coba baca baik-baik, yah,” jari telunjuknya bergerak pada seuntai baris kata dimana nama Bright tertera di sana. Nafasnya ia tahan sebentarㅡ sengaja, seraya seluruh atensi ia hadapkan pada lelaki menyebalkan di hadapannya, “bisa Mas baca ulang, pakai suara lantang, nama siapa yang ditulis di sini? Hm, coba saya mau dengar boleh, Mas?”
Bright, ketika ia sadar sedang ditantang seperti itu oleh seorang pemuda yang tidak ia kenal, yang tiba-tiba menjadi dermawan untuk menghampirinya di tepi jalan, tentu langsung tertawa meremehkan. The dominance in him is suddenly appeared, satu tangannya bahkan sengaja ia masukkan ke dalam saku celana kerjanya.
“Anak ini nggak jelas anak siapa, dan surat ini juga nggak jelas asalnya dari mana, lalu kamu dengan seenak hati menuduh saya seperti ini, begitu?”
Lalu Bright meraih kertas tersebut, mengambilnya paksa dari jangkauan Win dan meremas surat tidak jelas itu sampai tidak berbentuk.
“Saya tidak pernah berhubungan dengan siapapun, dan anak ini bukan anak saya. Puas?” Bright mengucapkannya dengan lantang, ada penekanan yang sengaja lelaki itu sampirkan di kata 'puas', seolah memperingati Win bahwa apa yang dilakukan olehnya cukup membuat Bright muak.
Win baru saja akan membalas perkataan Bright, tapi suara isak tangis yang menggelegar berhasil menginterupsi seluruh niatnya untuk menantang lelaki menyebalkan itu.
Sebagai salah seorang yang punya sisi sensitif terhadap anak-anak, Win pun beranjak untuk menggendong Zoey yang kini menangis keras. Dengan lembut dan telaten, Win menimang bayi perempuan itu sambil menepuk pelan pantatnya sesuai irama.
Melantunkan sedikit gumaman pengantar tidur, and it works karena tangisan Zoey kini mulai mereda, walau belum sepenuhnya.
Sambil berusaha menenangkan si gadis cantik, Win melirik Bright yang justru terlihat sibuk dengan ponselnya. Ekspresi serius melekat di wajahnya yang menurut Win amat sangat menyebalkan itu.
Dan di saat Zoey mulai tenang, bahkan nyaris terlelap, ponsel Bright justru berdering keras dan membuat bayi cantik itu kembali menangis. Win, baru saja akan menegur si lelaki menyebalkan, tapi tidak jadi terwujud karena Bright terlanjur menerima panggilan telepon itu acuh tak acuh.
“Gue nggak tau, Nat. Orang tiba-tiba ada kereta bayi lengkap sama baju-baju dan botol susu dia di depan pintu rumah gue!”
Samar-samar, Win dapat mendengar pembicaraan Bright entah dengan siapapun itu. Masih sambil menimang-nimang Zoey penuh sayang, Win berusaha menguping lebih dalam lagi. Pasalnya, sikap Bright yang seolah ogah-ogahan mengakui eksistensi Zoey cukup tidak masuk akal bagi Win. Lagi pula, mereka tidak hidup dalam skenario sinetron. Mana bisa tiba-tiba ada bayi yang datang sendiri bersama kereta dorongnya ke sebuah rumah orang asing?
Bright dan semua rentetan kalimat yang ia ucapkan pada lawan bicaranya di telepon sangatlah tidak masuk akală…ˇ setidaknya itu menurut Win.
“Gue gembok, Lee Thanat! Mana mungkin pagar rumah nggak gue gembok?”
Win melirik Zoey yang kini sudah tertidur pulas. Hati Win mencelos ketika sepasang matanya tidak sengaja menemukan adanya sebuah gelang emas berbandul di tangan kiri gadis kecil itu. Lantas dengan pelan, Win meraih gelang tersebut dan berusaha untuk melihat lebih jelas bandul gelang tersebut. Siapa tahu, ada petunjuk di sana.
ZVC
“Gue di deket pos satpam depan pintu masuk komplek, lo ke sini aja deh, mau pecah kepala gue rasanya.”
Dan setelah itu, sambungan telepon antara Bright dengan lawan bicaranya yang jika Win tidak salah dengar bernama Lee Thanat, terputus. Cepat-cepat Win mengembalikan posisi gelang Zoey seperti semula, lalu ia arahkan seluruh perhatiannya pada sosok Bright yang kini celingak-celinguk menanti kehadiran seseorang.
“Masㅡ”
Belum sempat Win menuntaskan ucapannya, sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik datang ke arah mereka sambil membunyikan klakson. Ada helaan nafas lega yang berasal dari Bright, dan Win dapat mendengarnya dengan jelas.
Tak lama, seorang lelaki dengan setelan kerja tak kalah formal dari apa yang dikenakan oleh Bright turun dari sana. Menunjukkan eksistensinya, tidak lupa sebuah ponsel ia genggam di tangannya.
“Bri,”
“Akhirnya lo dateng juga, Nat.” sahut Bright, cepat.
Seseorang yang dipanggil 'Nat' itu melirik ke arah Win yang masih menggendong Zoey. Tatapan Thanat melembut, Win could tell it.
Namun itu tak berlangsung lama, sampai Thanat kembali menatap Bright yang sepertinya sudah muak harus terjebak di situasi canggung di sana. Thanat menepuk pelan pundak Bright, lalu meminta sahabatnya itu untuk segera masuk ke dalam mobil.
Mata Win langsung membelalak ketika Bright dengan entengnya langsung beranjak masuk ke dalam mobil yang dibawa Thanat. Tanpa melirik, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan juga tanpa memperdulikan Zoey yang masih terlelap dalam dekapannya.
“Uhm, hai,”
Win menoleh cepat pada Thanat yang memandangnya dengan sungkan. Meskipun bingung dengan situasi aneh yang sedang dihadapinya sekarang, tapi bukankah membalas sapaan orang lain adalah wajib hukumnya?
“Ya, Mas Thanat?” jawab Win sekenanya.
Satu mata Thanat memicing ketika orang asing di depannya ini mengetahui namanya. Dengan canggung, Thanat berusaha mencairkan suasana dengan mengukir senyum di wajahnya.
“Maaf sebelumnya, Mas nya tau nama saya dari mana, ya?”
Yah, haruskah Win jujur jika ia sengaja menguping percakapan mereka tadi di telepon?
“Ehㅡ itu, Mas… Saya tadi nggak sengaja denger obrolan Mas Thanat sama Mas Bright di telepon waktu saya lagi nidurin Zoey.” Ya sudahlah, Metawin anak baik, tidak boleh berbohong.
Thanat ber-oh ria, mengiyakan jawaban Win dengan sebuah pemakluman.
“Mhh, sebelumnya saya minta maaf atas segala ketidaknyamanan yang terjadi sama Mas nya dan teman saya, Bright, tapi saya harus minta maaf satu kali lagi karena sepertinya terpaksa harus meminta bantuan Mas, padahal Mas sudah sangat dirugikan atas kejadian ini, tapi karena saya dan Bright harus menghadiri rapat direksi satu jam lagi, mhh… Mas, boleh saya titip Zoey dulu sama Mas?”
Gimana….?
Bahkan untuk membelalakkan mata saja rasanya Win sudah tidak sanggup. Hatinya mencelos ketika ia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya.
Bertemu si lelaki menyebalkan dan keras kepala alias Bright, lalu diminta untuk menjaga Zoey yang Win sendiri belum paham seluk-beluk nya?
“Mas Thanat kenal Zoey?”
Thanat mengangguk, “Zoey ini anaknya teman saya yang barusan masuk ke dalam mobil,”
“TERUS KENAPA DIA NGGAK MAU NGAKU KALAU ZOEY INI ANAKNYA, SIH?!! KENAPA DARITADI MALAH MUTER-MUTER TERUS BERKELIT NGELES NGGAK JELAS… ASTAGAAAA???”
Habis sudah kesabaran Win. Jika memang Zoey benar adalah anak kandung Bright, lalu mengapa lelaki itu bersikap seolah Zoey adalah anak dari orang asing yang sengaja meninggalkan bayi perempuan itu di depan pintu rumahnya? Oh, tunggu… Dan jika Zoey memang benar adalah anak Bright, lantas percakapan antara Bright dan Thanat di telepon tadi… Gimana sih, maksudnya?
“Bentar deh, Mas. Tapi tadi sependengaran saya, Mas Thanat sama Mas Bright ngobrol seolah-olah Mas Thanat juga nggak tau-menau tentang Zoey karna Mas Bright beberapa kali berusaha ngasih penjelasan ke Mas?”
Thanat tertegun mendengar pertanyaan Win. Dalam hatinya, ia merutuk Bright yang sudah banyak tingkah pagi ini.
“Saya nggak ngerti deh, Mas. Bingung...” sambung Win.
Thanat melirik jam tangannya sebentar, lalu keringat dingin kembali menetes dari pelipisnya ketika suara Bright yang memanggil namanya terdengar begitu keras.
Merasa tak punya sisa waktu untuk memberi penjelasan, Thanat pun merogoh saku celananya dan berusaha mendapatkan sesuatu dari dalam sana. Setelah itu, Thanat menyerahkan sebuah gantungan kunci bergambar karakter anjing shiba inu, yang menangkup beberapa mata kunci di sana pada Win.
“Ini kunci rumah Bright, saya minta tolong dengan sangat ke Mas untuk bawa Zoey pulang, dan Mas tolong stay di sana sampai sekiranya saya dan Bright kembali dari kantor. Saya janji hal serupa tidak akan terulang lagi, tapi saya mohon… Satu kali ini saja, Mas berkenan untuk membantu saya.”
Win awalnya ingin marah. Bagaimana bisa Bright dan temannya ini berlaku seenaknya padahal mereka tidak saling kenal? Tapi raut complicated yang terlihat jelas di wajah Thanat, juga suara deru nafas teratur milik Zoey yang bisa ia dengar nyatanya mampu membuat Win menganggukan kepalanya. Pasrah.
Melupakan rentetan kegiatan kuliah dan persiapan pernikahan yang harus ia jalani hari ini, mengabaikan fakta bahwa ia baru saja melangkah masuk ke dalam kehidupan orang lain yang tak pernah ia kira-kira sebelumnya, tepat saat gantungan kunci tersebut berpindah dari tangan Thanat ke dalam genggaman tangan Win.
Dan setelah mengucapkan satu kali permintaan maaf lagi, yang disusul dengan Thanat memberi tahu alamat rumah Bright beserta nomor ponsel yang bisa dihubungi, lelaki itu pun pamit undur diri meninggalkan Win dan Zoey bersama kereta dorong gadis cantik itu.
And this is just the beginning, about the big changes that will happen in Win's life.
. . .
“Untung absensi lo bagus ya, Win. Jadi nggak masalah deh lo ngebolos hari ini. Tapi lucky you juga sih, kelas kita kosong semua, kecuali yang bimbingan sama Bu Ira, disuruh untuk standby di sekdos mulai jam satu siang nanti.”
Win mendesah berat mendengar ucapan Mix. Kejadian aneh pagi ini mengantarkan Win menuju sebuah rumah besar yang ternyata letaknya tepat di belakang rumahnya sendiri. Hanya beda blok, namun masih berada di satu sektor yang sama. Win yang berencana akan menyibukkan dirinya hari ini pun harus berbalik arah dan berakhir dengan tubuh semampainya yang kini berdiri menghadap sebuah jendela besar di dalam suatu kamar yang ia yakini sebagai kamar pribadi milik Zoey.
Seuntai gumaman berat lolos dari belah bibir penuh pemuda manis itu, “i am not that lucky, Mix. Buktinya gue sekarang terjebak di situasi aneh yang nggak pernah gue harapkan sebelumnya.” sahut Win.
Mix kembali berdeham di seberang sana, “kenapa, Win? Lo berantem sama Mas Joss?”
Win menggeleng, walaupun ia sendiri tahu Mix tidak akan bisa melihatnya.
“Kalau sama Mas Joss mah, sebelum kita beneran berantem, dia udah minta maaf duluan sekalipun yang salah bukan dia.”
“Hhhh… iya, ngerti deh gue yang udah mau sah sebentar lagi.”
Yang udah mau sah bentar lagi… Sial, membayangkannya saja sudah membuat kedua pipi Win bersemu merah.
“Jangan godain gue gitu, plis, gue malu banget, mau nangis.”
Win dapat mendengar Mix tertawa terbahak-bahak di seberang sana, dan sudah pasti wajah temannya itu akan memerah akibat terlalu bersemangat untuk menertawainya.
“Iya, iya, ampun deh. Oh iya Win, nyebar undangan jadinya kapan?”
“Harusnya minggu depan, Mix. Tapi kemungkinan besar gue batal ketemu sama orang WO nya hari ini. Gue habis ini mau minta reschedule, sih. Mau diskusi lagi enaknya gimana.”
“Lho, gue kira lo malah ngebolos hari ini karna sibuk mau ngurusin nikahan?”
Lagi, Win mendesah berat, “it was supposed to be like that,* harusnya malah gue kuliah dulu sampai beres dan sorenya baru bolak-balik ketemu WO sama ngecek catering. Pokoknya, hari ini harusnya gue sibuk sama urusan persiapan nikah lah, Mix. Tapi apa daya, mana sempat keburu telat...”
Mix tidak kuat lagi menahan tawanya. Dan Win yakin, jika Mix tidak bisa berhenti tertawa maka sebentar lagi pemuda itu akan menangis. Menangisi humornya sendiri.
“Sorry, sorry, Win, aduh lo tuh udah cocok jadi komedian, jujur. Mas Joss kok mau sih sama modelan kayak lo gini? Hahaha… Oke, cukup,”
“Jadi kesibukan apa yang lagi lo hadapi sampai-sampai harus bolos kuliah dan nggak jadi ketemu orang WO?” sambung Mix, penasaran.
Helaan nafas berat satu kali lagi terhembus dari belah ranum Win. Pandangan yang sebelumnya ia arahkan pada pemandangan taman belakang melalui jendela kini ia alihkan pada sosok Zoey yang sedang tidur lelap di atas sebuah ranjang besar. Win sudah meletakkan beberapa bantal dan guling di sekitar spot tempat Zoey berbaring, sebagai antisipasi paling pertama agar si cantik tidak terjatuh.
“Mix, gue mau cerita, deh.”
“Yeeee kok lo malah ngalihin pembicaraan, sih? Gue 'kan tadi nanya, kesibukan apa yang buat lo sampai harus bolos dan batal ketemu orang Wo, Win...”
Win terkekeh pelan, ada kepuasan tersendiri baginya ketika ia dengar Mix merajuk kesal.
“Iya, ini ada hubungannya sama alesan kenapa gue ngerasa hari ini aneh banget, Mix.”
“Oh oke, oke, tell me.. i am all ears.”
Win menarik nafas dalam-dalam, menahannya selama beberapa detik sebelum ia hembuskan secara perlahan melalui mulutnya. Diam-diam sistem kognitif pemuda manis itu bekerja, memikirkan apakah harus ia menceritakan tentang apa yang terjadi pagi tadi pada Mix di saat Win sendiri masih merasa aneh dengan semua itu. Tapi rasanya, untuk memendamnya seorang diri pun, Win juga tidak mau.
“Hari ini freak banget buat gue, Mix,”
Sengaja Win menjeda ucapannya. Ia ingin tahu reaksi Mix yang biasanya akan heboh dan berisik setiap kali Win bercerita tentang apapun. Tapi kali ini, temannya ituă…ˇ ah, sahabatnya itu, tidak memberi respon. Hanya suara deru nafas yang bisa Win dengar dengan jelas dari ponselnya. Or in short, Mix sedang memberi kesempatan pada Win untuk melanjutkan kata-katanya.
“Pertama, tadi pagi gue sama sekali nggak bisa nelfon Mas Joss, padahal harusnya hari ini kita ketemu tim WO dan ngurus segala tetek bengek pernikahan tuh bareng-bareng, dan berujung kak Ggigie nelfon gue. Kata kak Gie, Mas Joss udah di kantor dan emang lagi super sibuk karna lagi ada kekacauan di sana. Ya, oke, fine, gue nggak bisa dong main marah sama keadaan apalagi sama Mas Joss padahal dia sendiri juga mungkin lagi stress sama kerjaannya di kantor. Singkatnya, kak Gie bilang, kalau hari ini Mas Joss nggak bisa nemenin gue hunting so yes, gue jadinya harus bolak-balik sendiri. Itu kesialan pertama gue hari ini.”
“Okeee, next.”
“Yang kedua, pas gue mau berangkat ngampus, ternyata mobil gue bermasalah. Pak Umar nggak bisa nganter gue karna beliau harus mantau mobil dan nunggu montir langganan gue. Terus, inisiatif dong gue buat naik ojek online aja. Ya intinya, ini kesialan kedua gue, mobil gue rusak di waktu yang amat sangat nggak tepat.”
Kali ini Mix tidak memberikan respon, namun Win yakin sahabatnya itu masih setia mendengarkan di seberang sana.
“Nah, kesialan ketiga ini yang sebenernya paling kacau,”
“Gue perlu sambil ngemilin kue pukis nggak, sih?”
*$“IH, GUE LAGI SERIUS JUGA?!!”**
“IYAAA BERCANDA, GANTENGGG. Oke, lanjut.”
Satu kali lagi, Win menghela nafas panjang. “Karna Pak Umar nggak bisa nganter gue dan kebetulan gue juga berinisiatif untuk naik ojek online buat ke kampus, jadinya gue ngide untuk jalan kaki sampai depan komplek. Niatnya gue tuh ya, biar nanti gampang dapet driver dan lebih cepet nyampe ke kampus karna ojek online nya nggak perlu muter-muter komplek dulu kan tuh, eh pas sedikit lagi gue mau sampai di gerbang utama, gue nggak sengaja ngeliat ada Mas-Mas masih muda gitu, tampilannya sih kayak orang mau berangkat kerja, tapi beliau ini keliatan kayak apa ya… i don't know exactly, tapi kayak yang putus asa gitu lho, Mix. Dan beliau bawa-bawa kereta bayi lengkap dengan bayinya di situ, lagi nangis, tapi beliau nggak ada niat untuk nenangin si bayi sama sekali. Oke, gue persingkat dikit ya, nama bayinya ini Zoey.”
“Wait, kok lo bisa tau nama bayinya?”
“Gue baca di surat yang gue temuin di deket Zoey, di kereta dorongnya. Di situ disebut-sebut kalau nama bayi itu Zoey, a three months old baby.”
“Oke, ngerti gue. Lanjut, Win.”
“Nah, di surat itu ada penjelasan soal kenapa Zoey ini bisa sampai ke tempat Mas-Mas yang gue temuin lagi putus asa di pinggir jalan ini. Nama Mas-Mas ini Bright, gue bisa tau namanya karna nama beliau juga ditulis di surat itu. Intinya ya Mix, Zoey ini seharusnya emang bener anaknya Mas Bright, karna si pengirim bayi yang menurut gue adalah ibu kandung Zoey and errrrr, mungkin mantan istri, mantan pacarnya Mas Bright atau gimana duh nggak tau ah gue pusing mikirinnya, udah dengan jelas minta Mas Bright buat ngurus Zoey. Si Ibunya ini lepas tangan, kayaknya juga sih nyerahin hak asuh Zoey sepenuhnya ke Mas Bright tapi yang anehnya adalah...”
Win menjeda ucapannya, ketika ia lihat tubuh mungil Zoey bergerak untuk mengubah posisi menjadi tengkurap. Cepat-cepat Win beranjak untuk duduk di tepi ranjang, dan secara hati-hati ia membalik posisi tidur Zoey menjadi terlentang. Agar sirkulasi pernapasan bayi itu tidak terganggu.
Setelah memastikan Zoey sudah kembali lelap, Win membawa langkah kakinya menuju tempatnya semula berdiri.
“Sori, sori, gue habis benerin posisi tidurnya Zoey, tadi tengkurap dia.”
“Eh, lo lagi sama baby Zoey?”
Win mengangguk, “gue lagi di rumahnya Mas Bright.”
“HAH??? KOK BISA, WIN? JELASIN!!!”
Sebuah decakan pelan mengudara. Dari tadi juga Win sedang memberikan penjelasan, memangnya siapa juga yang sedang main ular tangga?
“Ya bisa, tapi itu nanti ada narasinya sendiri di kesialan nomor empat. Tadi kesialan nomor tiga gue belum selesai, malih.”
“HAHAHA IYA MAAF, MAAF, OKE LANJUT, SAYANG.”
“Lupa anjrit tadi gue ngomong sampai mana, ya???”
“Apa ya, gue juga lupa, tapi kayaknya ini deh… pas lo bilang yang lo nemuin surat di deket Zoey dan udah dengan jelas ibunya Zoey ini nyerahin Zoey sepenuhnya ke Mas Bright, tapi menurut lo ada yang aneh gitu, nah iya bener sampai situ. Jadi, anehnya tuh gimana, Win?”
Oh iya, Mix benar. Ah, sahabatnya yang satu itu memang tidak perlu diragukan lagi kemampuan mengingatnya. Win, untuk ke-sekian kali, menghela panjang nafasnya.
“Mas Bright sama sekali nggak merasa kalau Zoey itu anaknya.”
“Hah… Demi apa, sih? Jadi, Zoey tuh beneran anak Mas Bright atau gimana, deh?”
“Gue nggak tau yang bener yang mana, Mix. Secara, gue sebelumnya juga nggak pernah kenal sama Mas Bright. Kita beneran baru aja ketemu tadi pagi, dan lo tau… Baru ketemu pertama kali tapi kita udah nyolot-nyolotan, Mix. Demi Tuhan, Mas Bright tuh nyebelin banget?!!”
“Nyebelin gimana?”
“Ya itu, Mas Bright tuh ngelak terus kalau gue tanya-tanya soal Zoey. Beliau malah ngalihin pembicaraan gitu, pas gue tanyain lagi eh Mas Bright malah ngegas segala bilang gue terlalu ikut campur sama urusan dia lah, gue dibilang sok tau soal Zoey lah, padahal niat gue kan baik… Gue mau bantuin Mas Bright, karna sumpah ya muka beliau tuh putus asa gitu pas gue liat dari seberang jalan.”
“Metawin, Metawin… as usual ya, lo dan hati lo yang lemah lembut itu...”
Win tersenyum miris menyadari bahwa terkadang sifat sensitif dan tidak teganya itu justru bisa membawanya ke jalan yang sulit, seperti sekarang ini.
“Terus, kesialan keempat lo gimana, Win?”
“Oke, kesialan gue yang keempat adalah, Mas Bright ini ternyata mau berangkat kerja, tadi, makanya beliau mungkin agak bingung mikirin Zoey sama kewajiban harus cepet-cepet sampai ke kantor. Nggak lama setelah gue sama beliau debat tuh ada temennya nelfon, terus temennya ini dateng ngejemput beliau. Namanya Mas Thanat, temen kantornya Mas Bright dan bilang kalau mereka emang lagi dikejar waktu buat rapat direksi. Gue kan bingung banget ya sama kebenaran tentang Zoey dan Mas Bright ini, akhirnya gue nanya lah sama Mas Thanat, dan for my surprise… Mas Thanat bilang kalau Zoey ini beneran anaknya Mas Bright.”
“Lah, gimana, deh? Yang bener yang mana sih, gue jadi ikutan bingung.”
“Lo aja bingung apalagi gue, Mix? Karna Mas Thanat bilang kalau Zoey itu beneran anaknya Mas Bright, gue makin penasaran dong, karna kok bisa-bisanya Mas Bright nggak ngaku dan lo tau, Mix, beliau main cabut ke mobilnya Mas Thanat tanpa perduli sama Zoey yang kebetulan tadi lagi gue gendong karna nangis. Dan pas gue mau nanya lebih banyak, Mas Thanat malah pamit dan ninggalin nomor hp beserta kunci rumah Mas Bright ke gue. Intinya, gue diminta buat jagain Zoey selama dua Mas-Mas itu kerja. That's why i am here now, lagi berdiri ngeliatin Zoey tidur.”
Mix tidak langsung menjawab, sahabatnya itu terdiam sebentar seolah sedang mencerna semua keluh kesah yang baru saja disuarakan oleh Metawin. Hingga sekitar dua menit berlalu, Mix akhirnya membuka suara.
“Gue bingung mau nanggepin kayak gimana, tapi gue setuju sama lo, Win, kalau hari ini cukup freak buat lo. Dan soal Mas Bright, kok gue mikirnya beliau misterius gitu, ya? Pasti ada alesan dong, kenapa beliau se-nggak mau itu ngakuin Zoey sebagai anaknya. Hmm, accident nggak sih menurut lo?”
Win mengangkat kedua bahunya, bingung. “Gue nggak ngurus deh soal itu, intinya hari ini aneh banget buat gue. Amat sangat aneh, kok bisa ya semua ini kejadian di hidup gue tanpa permisi...”
“Mhh, Win, berarti lo sekarang lagi di kamar Mas Bright? Coba aja lo obrak-abrik kamarnya, siapa tau ada sesuatu yang bisa ngejawab rasa penasaran lo.”
“Emang ya otak lo nggak sopan banget. Oh iya, gue bukan lagi di kamar beliau. Gue justru sekarang lagi di kamar Zoey, dan perlu lo ketahui, Mix… Kamar Zoey tuh lucu banget. Nuansa pastel dan ada hiasan kupu-kupu banyak banget di dinding sama tempelan yang bintang-bintang itu di langit-langit kamar. Dan, wait, bahkan ada nama lengkap Zoey di sini, bentar, Mix.”
Seolah baru menemukan sesuatu, Win langsung mendekat ke arah bufet dimana ada beberapa hiasan meja bernuansa merah muda yang membentuk sebuah nama di sana. Zoey Vachirawit Chivaaree. Dan juga, ada sebuah foto yang dibingkai dalam sebuah pigura, foto Bright dengan Zoey.
“Mix,”
“Yes, gimana, ganteng?”
“Di kamar Zoey ada hiasan yang ngebentuk nama lengkap dia. Zoey Vachirawit Chivaaree, dan tadi pas kita masih bertigaan di pinggir jalan, gue sempet ngeliat kalau Zoey pakai gelang dan bandul inisial nama dia, ZVC, dan di sini juga ada foto Mas Bright berdua sama Zoey. Sumpah, gue makin nggak ngerti sebenernya apa yang salah sama Mas Bright...”
“Mungkin bisaㅡ”
Belum sempat Mix menyelesaikan ucapannya, Win buru-buru menyela dengan kalimat yang membuat Mix berdecak di seberang sana. “Mix, nanti gue telfon lagi, ya? Zoey nangis...”
Dan dengan itu, Win menyudahi sambungan telepon antara dirinya dan juga Mix, lalu bergegas untuk menjadi baby sitter dadakan bagi puteri cantik itu.
. . .
Setelah mencari tahu bagaimana cara yang benar untuk membuat susu, bagaimana cara mengganti diapers, dan seperti apa posisi yang pas untuk menggendong bayi yang usianya belum genap enam bulan, akhirnya Win bisa menghela nafas lega. Berjam-jam sudah ia lewati untuk mengurus Zoey yang cukup rewel, dan sekarang gadis kecil itu sudah kembali tidur dalam dekapannya.
Zoey sudah kenyang, Zoey sudah bersihă…ˇ sudah ganti diapers, dan Zoey sudah berganti pakaian tidur.
Sedikit banyak Win bangga pada dirinya yang bisa dengan mudah beradaptasi dengan anak-anak, termasuk dengan bayi, dan Zoey adalah salah satunya. Win masih mengayunkan tubuhnya pelan-pelan, menciptakan gerak beraturan agar Zoey semakin nyenyak dalam tidurnya. Win turut melantunkan gumaman pengantar tidur, seraya sepasang matanya menatap lurus pada halaman luas rumah Bright dari dekat pintu utama.
Waktu sudah hampir memasuki pukul 4 sore dan belum ada tanda-tanda kalau Bright dan Thanat akan segera pulang. Karena cuaca cukup mendung di luar, Win pun beranjak untuk mencari saklar dan menghidupkan beberapa lampu di luar dan di bagian dalam rumah, termasuk kamar Zoey. Win membawa langkah kakinya menuju ruang keluarga, lalu pemuda manis itu memutuskan untuk duduk di sana, di sofa yang langsung menghadap ke arah televisi berukuran besar.
Win melirik ponselnya yang sejak tadi tidak ia lirik sama sekali. Dengan hati-hati karena tidak ingin pergerakannya mengganggu tidur nyenyak Zoey, Win berusaha meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada 2 panggilan tak terjawab; dari Mas Mike dan juga Kak Ggigie.
Lalu, ada 5 pesan masuk yang belum ia baca; dari calon suaminya, Joss Way-Ar.
Dengan senyum kecil yang terpatri di wajah lelahnya, Win membuka ruang obrolan antara dirinya dan juga Joss.
ă…ˇ sayang, maaf aku nggak ada ngabarin kamu hari ini, kantorku lagi ada sedikit masalah, ini juga aku boleh nyolong waktu demi ngehubungin kamu.
ㅡ so, how was your day? Kamu udah makan siang apa hari ini…
ă…ˇ kamu jadi ketemu sama orang WO kah nanti?
ă…ˇ win, lagi sibuk banget, ya?
ㅡ okay, nanti malem kalau ternyata kita nggak sempet ketemu, aku telfon ya? bye, sayangku… much love.
Joss, dan segala perhatiannya. Win bahkan sudah tidak heran jika dirinya jatuh cinta terlalu dalam pada pria itu, pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Sambil terus menepuk-nepuk pelan punggung mungil Zoeyă…ˇ bahkan ia usap penuh sayang sesekali, Win berusaha untuk membalas pesan dari sang kekasih.
I have a lot to tell today… hope we can meet sooner, good luck on your work, boo! much love xx~
Lalu Win beralih mengirim pesan pada Ggigie, memberi tahu sang kakak bahwa kemungkinan besar ia akan membatalkan seluruh rangkaian acaranya hari ini, karena sampai sekarang Bright dan Thanat belum kunjung kembali.
Lalu Mike, kenalan Joss yang kebetulan memiliki bisnis wedding organizer yang dipercaya untuk membantu Win dan Joss mengurus persiapan pernikahan mereka. Win mengirim pesan pada Mike, kalau ada urusan mendadak yang tidak bisa ia tinggal hari ini.
Setelah memberi kabar pada beberapa orang yang dianggap perlu ia hubungi, Win mengembalikan ponselnya ke atas meja, lalu menyandarkan punggungnya yang terasa sedikit pegal pada sandaran sofa.
Matanya terpejam, menikmati sejuknya ruangan dari mesin pendingin sambil terus mengelus lembut punggung si puteri kecil.
Sampai dirasa kantuk datang menjemput, dan Win mulai kehilangan kesadarannya.
. . .
“Hey, Mas, sorry jadi lama banget ya dititipin Zoey nya.”
Samar-samar Win dapat mendengar suara bariton yang tidak begitu asing di telinganya. Dengan susah payah, Win berusaha untuk membuka pejaman matanya. Menyesuaikan penglihatannya dengan bias cahaya yang berasal dari lampu, dan mendapati keberadaan Thanat yang duduk tidak begitu jauh darinya.
Cepat-cepat Win mengubah posisinya yang setengah berbaring di sofa menjadi duduk. Namun, Win merasa ada yang kurang dari dirinya, tapi apa… Apa… Apa… ZOEY??!
“Zoey mana, Mas????” tanya Win dengan intonasi suara nyaris berteriak. Raut wajahnya panik begitu tidak ia temui keberadaan Zoey di dekatnya.
Thanat tersenyum kecil melihat kepanikan Win, “udah saya pindahin ke kamarnya, aman.” jawab Thanat.
Win lantas menghembuskan nafas lega sesaat setelah Thanat menyelesaikan ucapannya. Win mengucak matanya sebentar, jujur saja, nyawanya belum terkumpul seutuhnya.
“Zoey sama Papanya, Mas?”
Thanat menggeleng, “Bright nggak ikut saya pulang.”
Salah satu mata Win memicing, bingung, “lho, kenapa, Mas? Ini rumah Mas Bright, kan?”
Seulas senyum tipis sengaja Thanat ukir di wajahnya yang tampak lelah setelah seharian bekerja. Lelaki itu membawa tubuhnya untuk bersandar lebih nyaman pada di bangku yang sedang ia duduki.
“Zoey rewel banget nggak ya tadi, Mas?” tanya Thanat, sesungguhnya berupaya mengalihkan pembicaraan.
Win mengangguk kecil, “lumayan, karna kangen Papanya juga, mungkin? Tapi udah saya kasih susu, diapers sama bajunya juga udah saya ganti, tapi saya belum berani mandiin, takut salah posisi.” balas Win.
Thanat merasa amat sangat tenang karena sudah menitipkan sang keponakan pada orang yang tepat. “Nggak apa-apa, nanti biar sama saya aja, Mas. Oh iya, kalau cuma dikasih susu berarti Zoey belum makan sereal sama buah ya, Mas? It's fine, sih saya suapin buah aja nanti buat dia.”
Sereal? Buah? Bukankah Zoey masih berusia 3 bulan?
“Lho, Mas, sebelumnya maaf, Zoey bukannya masih tiga bulan ya, Mas? Kok udah dikasih sereal sama buah?” jujur, Win bingung. Setahu Win, usia yang cukup bagi bayi untuk bisa makan sereal, buah, daging yang dihaluskan adalah sekitar 6 bulan.
Lagi, Thanat tersenyum simpul, “Zoey udah tujuh bulan, Mas.” jawab nya.
Sontak mata Win membelalak kaget, “Hah? Bukannya masih tiga bulan? Di surat yang saya baca tadi pagi jelas-jelas ditulis Zoey masih tiga bulan, kok?” bahkan Win sampai harus membentuk angka 3 dengan jari telunjuk, tengah, dan manisnya hanya untuk mendukung rasa terkejutnya.
“Zoey dibawa kesini empat bulan lalu, masih belum tau dibawa sama siapa, tapi kemungkinan besar sama Ibunya. Dan reaksi yang diperlihatkan Bright di hari dimana Zoey datang untuk pertama kali, sama persis kayak apa yang tadi Mas liat di pinggir jalan.”
“Metawin, biasa dipanggil Win.” sahut Win.
“Oke, Mas Win,”
Win spontan mendengus, “panggil Win aja, Mas. Saya masih mahasiswa tingkat akhir.”
Thanat tertawa pelan, lalu mengangguk setelahnya. “Oke, Win, jadi apa yang kamu liat tadi, adalah kejadian yang juga saya liat empat bulan lalu, tiga bulan lalu, dua bulan lalu, dan bulan ini dia justru ngasih liatnya ke kamu, orang yang bahkan nggak dia kenal.” Thanat melanjutkan ucapannya, mau tidak mau ia harus menceritakan sebagian dari apa yang sebenarnya terjadi pada Bright untuk menghindari asumsi-asumsi negatif yang mungkin saja berkelebat dalam benak Win.
Lagian, siapa juga yang tidak berpikiran negatif saat ada orang asing yang tiba-tiba menitipkan seorang anak dan meninggalkan mereka seenak jidat?
Jadi, Thanat akan maklum jika Win sempat berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya dan Bright, dan sekarang adalah kesempatan bagi Thanat untuk meluruskan semuanya.
“Empat bulan lalu, tiga bulan lalu, dua bulan lalu, dan bulan ini? Jadi maksudnya, Mas Bright setiap satu bulan sekali bakal ngelakuin hal yang sama kayak apa yang saya alami tadi?” tanya Win.
Untuk ke-sekian kali, Thanat mengangguk, memvalidasi tebakan Win yang tersirat dalam baris pertanyaannya.
“He has a condition called retrograde amnesia,”
Kedua alis Win bertaut bingung. Tubuhnya refleks mendekat pada Thanat, dan bertanya satu kali lagi guna memastikan telinganya tidak salah dengar dan otaknya tidak salah memproses informasi.
“Retrograde amnesia?”
Thanat bergumam pelan, “yap, Bright menderita retrograde amnesia sejak sekitar satu tahun yang lalu. It's actually a condition where someone is unable to recall events that occurred before the development of the amnesia, even though they may be able to encode and memorize new things that occur after the on set. Tingkat keparahannya beda-beda, prior to that injury… either it's a fatal accident or not.”
“So how about Mas Bright? Is it a fatal one or?”
Thanat menggeleng, “kalau dibilang parah, nggak terlalu parah sehingga level amnesia dia nggak begitu fatal. Tapi, kalau dibilang nggak parah, juga nggak sebiasa itu, ya mobil dia meledak but he luckily he can get out from the car tapi ya, ada insiden semacam kelempar dan kepalanya kepentok cukup keras di trotoar jalan. That's why saya nggak sadar kalau dia punya retrograde amnesia karna pasca kecelakaan itu, dia nggak nunjukin keanehan apa-apa. Tapi sejak Zoey datang, dimana dia nggak kenal Zoey termasuk Ibu dari Zoey yang nggak lain dan nggak bukan adalah mantan pacar Bright sendiri yang kebetulan saya kenal, dari situ saya ngerasa ada yang salah sama Bright. So yes, since then we knew that he suffered a lot because of that.”
“Terus kenapa bisa kambuh setiap sebulan sekali gitu, Mas? Dan kalau Mas Bright emang nggak inget sama Zoey, lalu kenapa di kamar Zoey justru ada foto beliau sama Zoey?”
“Kasus ini kemungkinan sembuhnya kecil, tapi bukan berarti nggak bisa sembuh, apalagi Bright nggak terlalu parah. Jadi, saya sama dokternya Bright lagi berusaha untuk meminimalisir kemungkinan kambuhnya dia dengan cara memakai dua puluh sembilan hari dalam sebulan untuk bantu Bright nerima Zoey sebagai anaknya, we literally did everything for them, tapi di tanggal tiga puluh setiap bulan dia akan kembali lupa. Buyar sama semuanya, termasuk Zoey yang udah bisa dia kenal pelan-pelan, itu memang bagian dari alam bawah sadar dia, nggak bisa diberhentiin.”
Win mengangguk kecil, sedikit banyak mulai mengerti dengan kondisi yang dialami Bright, si lelaki menyebalkan dan keras kepala.
“Setiap tanggal tiga puluh ya, Mas?”
Thanat bergumam kecil, “iya, karna dia kecelakaan di tanggal tiga puluh.”
“Hm, tapi selepas dari tanggal tiga puluh, Mas Bright bisa otomatis inget semuanya lagi?” tanya Win.
“Nggak, harus orang-orang terdekatnya yang bantu dia. Pelan-pelan ngenalin Zoey lagi ke dia, Zoey only, tanpa bahas soal Ibunya Zoey dan kecelakaan yang Bright alami. Tapi, dia nggak amnesia total. Jadi kita nggak perlu terlalu ekstra buat balikin ingatan dia. Bright cuma lupa sama mantannya, kecelakaan tunggal yang dia alami, dan Zoey.” balas Thanat.
Zoey, Zoey… It must be hard for you, and so does for Mas Bright…
“Dan kemungkinan besar, Bright nggak akan lupa sama kamu. Jadi kalau sewaktu-waktu kalian nggak sengaja ketemu, saya harap kamu bisa bersikap sewajarnya tanpa bahas soal kondisi dia yang sedikit berbeda dengan kita.”
Satu anggukan Win berikan sebagai jawaban. Penjelasan dari Thanat cukup membuat Win merasa lega dan sedih di saat yang bersamaan. Lega, karena ternyata Bright dan Thanat tidak ada niat jahat, dan sedih karena ternyata Bright dan Zoey punya kisah hidup yang tidak mudah.
Lalu fakta tentang Zoey yang ternyata sudah berusia 7 bulan, tentang Bright yang menderita retrograde amnesia, mampu membuat Win terdiam. Ia sedikit merasa bersalah sudah sempat memaki-maki Bright meski hanya di dalam hati.
Win melirik sebuah jam yang melekat di dinding ruang keluarga rumah besar milik Bright. Sudah pukul 8 malam, dan itu artinya ia harus segera pulang ke rumah.
Win berdiri, membuat Thanat refleks ikut berdiri menyamai pergerakan sang tamu.
“Karna Mas Thanat udah pulang, kalau begitu saya boleh pamit, Mas?”
Thanat mengangguk, “sekali lagi saya minta maaf atas semua yang terjadi hari ini dan, terima kasih banyak Win, sudah membantu saya dan Bright untuk menjaga Zoey hari ini.”
Win tersenyum kecil, “santai aja, Mas. Lagian ruma saya pas banget di belakang, kok. Kalau gitu, saya pamit, Mas Thanat.”
“Mari, saya antar sampai depan gerbang.”
. . .
Setelah sempat membatalkan jadwal pertemuan dengan tim WO beberapa hari lalu, akhirnya hari ini Win bisa memastikan kalau tidak akan ada lagi kekacauan yang dapat mengganggu harinya. Seolah dejavu, Win kini terduduk di bangku yang sama dengan bangku yang ia duduki 4 hari lalu, ketika akan melakukan wara-wiri hunting persiapan pernikahan.
Lagi-lagi dan lagi dengan situasi yang samaă…ˇ sendirian, ditemani dengan sebuah ponsel, tablet canggih yang menampilkan daftar kegiatannya selama satu hari ini, dan juga secangkir teh hangat buatan tangan sendiri.
Ggigie sudah berangkat ke kantor, Mami sedang ke pasar modern, Papi mungkin sedang bermain golf bersama beberapa rekan kerja, dan Joss sedang ada kunjungan bisnis ke Paris selama satu minggu.
Bedanya, kali ini semua sudah terorganisir. Perasaannya tak lagi gelisah, karena Win sendirilah yang berinisiatif untuk memulai wara-wiri nya seorang diri.
Setelah menentukan tempat catering atau toko perhiasan yang akan lebih dulu ia kunjungi, Win pun beranjak menelan habis teh hangatnya lalu merapikan semua barang-barangnya dan bersiap untuk keluar rumah.
Bedanya juga, kali ini Pak Umar tidak lagi terlentang di kolong mobil. Supir pribadinya itu sedang mengelap beberapa sisi mobil ketika Win menginjakkan kakinya di lantai teras.
“Pagi, Pak Umar!!!”
Pak Umar tersenyum lebar menyambut kedatangan Win yang disinari dengan aura bahagia, “pagi, Den Meta. Sudah siap?” tanya Pak Umar.
Win mengangguk mantap penuh semangat, “ayo kita let's go!!! Kita ke tempat perhiasan yang biasa Mami datengin itu dulu ya, Pak. Habis itu baru ketemu orang WO di Grand Indonesia, nah sorenya kita baru ke tempat catering, oke?”
Pak Umar mengacungkan ibu jarinya, “mari kita let's gooo!”
. . .
Urusan cincin sudah beres, dan sekarang Win sedang dalam perjalanan menuju sebuah mall besar yang ada di ibu kota. Jarak yang tidak terlalu jauh antara toko perhiasan langganan Mami dengan lokasi mall membuat Win hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di sana.
Waktu sudah memasuki jam makan siang ketika Win tiba di pelataran utama mall besar itu. Dengan hati yang berbunga-bunga memikirkan kalau dirinya akan memantapkan konsep pernikahan dengan tim yang begitu dipercayai oleh Joss, Win terus melangkahkan kaki dengan penuh semangat.
Sebuah gerai kopi ternama yang letaknya ada di lantai dasar gedung barat menjadi tujuannya kala itu. Mike sudah mengirimnya pesan beberapa menit lalu, memberitahu kalau ketua tim WO itu sudah tiba di tempat tujuan. Win lantas mempercepat langkahnya, dan gerai kopi yang dimaksud kini sudah tampak di jarak pandangnya.
Tapi, lagi dan lagi seperti sebuah dejavu, langkah Win yang sedikit lagi hampir tiba di meja yang sudah ditempati oleh Mike harus terhenti saat sepasang matanya tak sengaja bertukar pandang dengan sepasang obsidian hitam yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Di sana, di salah satu meja di dalam gerai kopi yang sama, Bright duduk dengan gusar. Tatapan yang sama persis dengan yang Win temui saat itu, namun kali ini mampu membuat perasaannya sedikit bergetar karena Bright seolah sedang memanggilnya dalam diam.
Dan pertanyaan terpendam Win terjawab sudah saat ia dapati Zoey yang menangis dalam gendongan Bright. Bedanya kali ini adalah, tidak ada kereta dorong yang menemani seperti empat hari lalu. Hanya ada Bright, dan gendongan khusus berwarna merah di bagian depan tubuhnya.
Win menarik panjang nafasnya, sebelum akhirnya ia memantapkan langkah masuk ke dalam gerai. Menuju Mike yang sudah menunggunya, berusaha mengabaikan Bright yang menatap bingung ke arahnya ketika Win baru saja melewatinya.
Bright spontan berdiri, “Metawin,” dan berakhir memanggil nama Win dengan lantang.
Win yang merasa dipanggil pun bersikap tak acuh, terus menyeret langkah kakinya sampai seuntai kalimat dari Bright berhasil membuat seluruh pergerakannya berhenti. Secara total.
“Tolong bantu saya, sekali lagi, Metawin.”
. . .
Pertanyaannya adalah, apakah Win menyesal membatalkan janjinya secara mendadak pada Mike yang sejatinya sudah berada di lokasi yang sama dengannya siang tadi?
Apakah Win menyesal lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk mengiyakan permintaan Bright di gerai kopi siang tadi?
Apakah Win menyesal sudah merentangkan tangan dan membawa Zoey kembali masuk ke dalam dekapannya seperti empat hari lalu?
Tidak, jawabannya tentu tidak.
Karena di hari yang sama, dimana dirinya bertemu dengan Bright secara perdana setelah hari itu, Win turut berjumpa dengan patah hati pertamanya.
Secara tidak sengaja, atau memang sudah jadi rencana Tuhan, Win yang saat itu sedang melangkah berdampingan dengan Bright yang terlihat clueless karena Zoey sama sekali tidak menangis dalam dekapan Win, di waktu yang sama, matanya menangkap sebuah pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Joss, yang katanya sedang menekuni perjalanan bisnis ke luar negeri, ternyata sedang berjalan bergandengan tangan dengan seorang wanita yang entah Win tidak tahu namanya.
Joss tidak mengelak, tidak memberikan penyangkalan maupun pembelaan karena sudah tertangkap basah. Joss hanya bisa meminta maaf, tanpa memperbaiki.
Membuat Metawin tidak berniat untuk mengukir ekspresi di wajahnya. Membuat Metawin seolah tuli dengan obrolan seru yang disuguhkan oleh siaran radio di mobil Bright. Membuat Metawin hanya bisa memandang kosong ke arah luar, sambil sesekali tangannya mengusap punggung baby Zoey yang kerap kali menggeliat dalam tidurnya.
Pun juga membuat Metawin tidak tanggap pada panggilan-panggilan yang dilakukan oleh Bright dari sisi bangku pengemudi.
Win hanya mau menyendiri malam itu, tapi tidak cukup tega untuk mengusir Bright dan juga Zoey. Akhirnya Win pasrah, dibawa mengelilingi kota Jakarta dengan mobil sedan mewah berwarna putih milik Bright, dengan Zoey yang juga terlihat begitu nyaman dalam dekapan Win.
Malam itu Win sadar, apa yang sudah ia bangun matang-matang, nyatanya hancur juga.
. . .
“Kamu mau sarapan apa, Mas?”
Bright yang sedang asik bermain dengan Zoey di ranjang, menoleh cepat begitu ia dapati Win yang kini berdiri dengan wajah ngantuknya di ambang pintu.
Senyum tipis terukir di bibirnya, entah mengapa ada debaran tak biasa yang mampir memperamai degup jantungnya. Setelah memastikan Zoey berbaring di posisi yang aman dan jauh dari tepi ranjang, Bright langsung bangkit dan beranjak menghampiri pemuda manis itu.
Bright mendekatkan wajahnya pada Win, menatap wajah bantal dimana masih terdapat jejak putih di sudut bibir pemuda manis itu. Terkekeh pelan, dan disusul dengan usakan gemas di surai hitam si Manis.
“Dasar, baru bangun pasti langsung kesini, deh.”
Win hanya mengangguk, lagipula tidak ada yang salah dari ucapan Bright. Sudah nyaris satu bulan keduanya dekat, tentu sejak tragedi tak terduga yang terjadi di sebuah mall besar di ibu kota beberapa waktu lalu. Dan selama itu pula, Win jadi lebih sering bertamu ke rumah Bright dengan dalih ingin bermain dengan Zoey.
Padahal, Win hanya bosan, dan masih mencari cara untuk menyembuhkan luka di hatinya. Dan setiap kali ia bertemu dengan Zoey, Win mampu melupakan rasa sedihnya. Itu sebabnya, tiada hari tanpa Win merengek ingin bertemu dengan Zoey sebanyak, sesering yang ia bisa.
“Aku mandi di sini aja, boleh?” tanya Win, polos.
Bright tampak berpikir, lalu teringat akan satu hal, “mandiin Zoey sekalian, mau?”
Mendengar hal tersebut, rasa kantuk yang semula mendominasi kini hilang berganti dengan euforia yang menggebu-gebu. Sepasang mata Win membulat lucu, ada binar bahagia di balik kedua bola mata kecokelatan itu.
“Ya udah, sana mandi sama Zoey, ya. Perlengkapan mandi Zoey ada di lemari kecil deket toiletries, cara mandiinya tau, 'kan?” tanya Bright.
Win mencubit kesal perut Bright, “kemarin-kemarin pas kamu kerja emang yang mandiin Zoey siapa? Ha? Mas Thanat? Mana ada Mas Thanat main-main ke sini lagi, kesenengan dia tuh sekarang tugas dia jadi babysitter Zoey udah digantiin sama aku.”
Bright terkekeh, gemas, amat sangat gemas dengan ciri khas Win yang wajahnya akan merona merah setiap kali merajuk seperti ini. Hah, Joss, lelaki itu, bagaimana bisa dia menyia-nyiakan seseorang yang luar biasa sempurna seperti Metawin?
Tanpa sadar, sorot mata Bright melembut. Ditatapnya Win yang kini bermain dengan kancing piyama yang dipakai Bright.
“Taa, can i have it now?”
Win mendesah pelan ketika pertanyaan itu terucap dari bibir Bright. Ini adalah kali ke-3 Bright bertanya perihal itu, dan tampaknya sekarang sudah waktunya bagi Win untuk membuka hati, lagi.
Lantas, tanpa pikir panjang, Win mengangguk. Mulai memejam dan pasrah ketika Bright semakin memajukan wajahnya, hingga dirasa ada sentuhan lembut yang menyapa permukaan ranum merah mudanya.
Cup,
Cup,
Cup,
Bright menghadiahi tiga kali kecupan manis di bibir Bright, bermain-main sebentar di sana, sampai Win mendesah kesal karena Bright tidak kunjung memberinya ciuman yang seharusnya.
Jantung Win berdegup kencang, menginterpretasi beberapa jenis perasaan yang bercampur di balik dada. Perasaan marah, kecewa, juga bahagia. Rasanya egois memang jika Win mengaku sudah memaafkan Joss sepenuhnyaă…ˇ egois pada hati dan perjuangannya selama ini, yang dengan sukarela menerima sudah diperlakukan tidak layak di saat dirinya justru berusaha untuk menjaga hubungan keduanya.
Win harus mengapresiasi hati dan perasaannya, dua instrumen penting dalam hidupnya itu perlu dihargai.
Jadi, membuka hati pada Bright meski masih segar luka di hatinya, adalah jalan terbaik yang bisa Win ambil saat ini.
Lagi pula, semuanya memang sudah berubah sejak awal. Sejak hari pertama. Dimulai dari bagaimana Win bisa dengan mudahă…ˇ meski diselingi rasa sungut-sungut, menyebrang ke jalan yang berlawanan hanya untuk menyambangi Bright yang putus asa karena penyakitnya kala itu. Padahal, bisa saja ia cuek, meskipun hatinya tidak tega Win tetap punya prioritas yang harus ia lakukan. Tapi nyatanya, ia mengikuti kata hatinya. Mengikuti instingnya untuk mendekat, pada Bright yang sejatinya memanggil dalam diam.
Win sadar akan hal itu, ia hanya tidak mau menganggap serius karena ia masih punya Joss (saat itu).
Tapi sekarang, tidak lagi ada Joss di depannya, tidak lagi ada kegelisahan yang melingkupinya beberapa minggu ini, tidak ada lagi masa lalu yang harus ia pikirkan secara serius. Yang ada hanya Bright, yang kini memeluknya dengan erat. Yang tengah menciumnya dengan penuh cinta dan damba.
Melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Menjeda permainan keduanya di kala ia rasa butuh untuk mengais oksigen. Then Bright leans down again, crashed his lips gently and slowly on Win's. Memberikan afeksi paling sempurna yang bisa ia serahkan pada pemuda manis itu. Mengelus kepala bagian belakang Win dengan lembut, Bright bahkan sesekali mendongakkan kepala Win agar ciuman mereka semakin dalam.
Dalam diamnya, Bright berharap, semoga dirinya bisa mengingat Win dan Zoey untuk jangka waktu yang lama.
Dengan mengajak Win untuk masuk ke jenjang yang baru, itu artinya Bright harus berkomitmen pada dirinya sendiri, bahwa mulai sekarang hidupnya tidak lagi miliknya sendiri.
Tapi juga milik Win, pun juga Zoey.
Bright berharap, semua kenangan yang sudah mereka buat sebelum tanggal 30 bulan ini akan bisa bertahan dalam ingatannya. Meski pada akhirnya ia harus lupa, tapi ia berjanji untuk mengukir kenangan baru setelahnya.
Bright berjanji, tidak akan ada memorinya lagi yang hilang setelah ini.
Bright berjanji, walaupun ia akan melupakan beberapa potongan memori yang terjadi selama 29 hari ini, perasaannya tidak jua akan ikut berubah.
Rasa yang ia miliki untuk Zoey dan Win, sudah ia doakan untuk tetap bisa tinggal dalam hatinya.
If they can make memories in 29 days, so they will be able to keep it on 30th.
The best thing about memories is actually when making any of them…
Bright can make sure, he and Win along with Zoey have memories longer than the road that stretches out ahead.
And at this point, Bright is willing to do anything to keep both people and memories.
And the best part is, a moment lasts all of second, but the memory lives on forever.
Bright menyudahi ciuman panjangnya dengan Win. Lelaki itu menyatukan dahinya dengan milik Win, mengusak sebentar ujung hidungnya tepat di ujung hidung Win, gemas, penuh kasih sayang. Ditangkupnya kedua sisi wajah Win dengan lembut, diberinya afeksi berupa sentuhan halus di sana, seolah Win adalah sebuah ornamen langka yang jika salah sentuh sedikit, akan hancur berkeping-keping.
Satu kecupan lain Bright berikan di sudut bibir Win, “Taa, kalau seandainya aku lupa sama kamu, sama Zoey setelah hari ini, tolong… Tolong jangan ragu untuk ajak aku kenalan lagi dari awal,”
Win membuka pejaman matanya, membalas tatapan sendu Bright yang penuh keputusasaan di sana. Kepalanya mengangguk pelan, tanpa sadar berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah lelah menemani Bright menyusun kembali memorinya, sedikit demi sedikit.
Win turut menangkup wajah Bright, mengusap kedua pipi tirus itu penuh sayang, “when you forget one, afterwards we can make even more… more than you've lost, to be exact.”
“Bright, i will be the same Metawin you've known before thirty. Meet me again at the day after thirty, please? I will come up with lots of different ways to introduce myself to you.”
Bright mengangguk, berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya, Metawin, dan Zoey akan baik-baik saja setelah ini.
The memories after, will remains the same.
“Let's grow old and create lots of memory together,”
Win mengulas senyum terbaik di wajahnya, menghadiahi satu kecupan panjang di bibir Bright, lalu berucap,
“Sure, let's grow old together and make lots of memories as much as we can.”
. . .
JEYI // 210504.