A Sudden Surprise.

tags: KINDA EXPLICIT CONTENTSㅡ sex toys, blowjob, handjob, overstimulation, mouth-cumming, doggy style, unprotected sex 🔞 total words: 5.274 words.


If you live to be a hundred, I want to live to be a hundred minus one day, so I never have to live without you.

. . .

Memiliki kekasih yang unfortunately nggak sekelas sama kita, ohㅡ jangankan sekelas, satu fakultas pun sayangnya cuma sebatas angan... satu jurusan apalagi, membuat Bright mau nggak mau harus dengan sabar menyeret sepasang tungkainya dari ujung ke ujung, alias dari gedung fakultas teknik menuju gedung fakultas psikologi yang kalau ditempuh dengan malas-malasan bisa menghabiskan waktu selama 10 menit, dan kalau ditempuh dengan semangat yang menggebu-gebu bisa menghabiskan waktu selama kurang lebih 6 menit, hanya untuk menjemput sang kekasih yang dapat dipastikan akan menjadi mahasiswa terakhir yang meninggalkan kelas pasca berakhirnya kegiatan perkuliahan.

Tapi kali ini, bukan kelas sang kekasih yang berada di gedung fakultas psikologi yang menjadi tujuannya utamanya. Pacarnya itu sudah melipir ke perpustakaan yang lagi dan lagi, unfortunately, berada di luar wilayah gedung universitas alias memiliki gedung sendiri. Dan memakan waktu tentunya.

Bright, dengan gayanya yang acuh tak acuhㅡ celana jeans hitam yang dipadu dengan kaos oblong putih lengkap dengan luaran jaket denim ala Dilan, menjadi outfit andalan pemuda bersurai hitam itu kali ini. Langkah kakinya yang ia tujukan ke arah parkiran motor terpaksa berhenti beberapa kali kala tak sengaja dirinya berpapasan dengan teman sekelas atau orang-orang yang kebetulan ia kenali.

Butuh waktu hingga sepuluh menit hingga Bright berhasil membawa motor kesayangannya keluar dari wilayah kampus.

Langit tampak mendung, dan Bright harus segera sampai di gedung perpustakaan sebelum rintik air hujan berhasil meninggalkan jejak basah karena ia sedang tidak dalam mood yang cukup baik untuk mengambil jas hujan dari bagasi motor.

Dan satu hal lagi,

Bright membenci hujan.

. . .

Ceklek, TAKKKㅡ,

Win menjatuhkan pulpen bertinta hitam miliknya di atas sehelai kertas HVS yang sejak tadi menjadi temannya selama mengerjakan tugas, seiring dengan terbukanya pintu masuk perpustakaan lalu dapat dilihatnya sang kekasih berdiri di ambang pintu dengan tatapan gelapnya, juga rambutnya yang terlihat basah.

Dirapikannya sedikit tataan buku-buku yang ia pinjam dari beberapa rak di sana, sebelum akhirnya Win berdiri untuk menghampiri sambil sepasang matanya melirik ke arah jendela dimana hujan sedang turun dengan derasnya.

Helaan nafas berat terhembus dari bibir si Manis, dengan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, Win meraih pergelangan tangan kiri sang kekasih untuk ikut masuk ke dalam perpustakaan.

“Win, titip jaga perpus sebentar, ya? Aku mau keluar dulu.”

Langkah keduanya terhenti saat suara Gawinㅡ staff perpustakaan, alias kakak tingkat Win yang sudah lulus tahun kemarin, menginterupsi. Gawin tampak membawa kunci motor miliknya, serta menarik jaket yang tersampir pada sandaran kursi.

“Ada panggilan sebentar, aku tugas sendiri hari ini. Anak-anak lagi berhalangan semua. Is that okay?” sambung Gawin.

Win mengangguk pelan, “nggak apa-apa, Kak, tinggal aja. Aku juga kayaknya masih lama sih di sini.”

Gawin membalas ucapan Win dengan seuntai senyum ramah, lalu pemuda yang berstatus kakak tingkat sekaligus librarian itu melambaikan tangan pada Win dan juga pada seorang pemuda yang diduganya berstatus sebagai kekasih Winㅡ sebenarnya Gawin juga nggak terlalu kenal sih, untuk segera pamit meninggalkan perpustakaan.

Selepas kepergian Gawin, Win melirik sosok pemuda yang berdiri di sampingnya, yang masih bungkam seribu bahasa. Win yang paham dengan keadaan pun hanya bisa mengulas senyum hangat satu kali lagi, sebelum akhirnya ia bawa sang pacar untuk duduk di tempat yang sedari tadi Win singgahi.

“Bentar ya,”

Win mengambil ransel berukuran sedang miliknya dari atas meja, berwarna abu-abu, lalu tangannya berusaha merogoh ke bagian dalam untuk meraih sesuatu dari sana. Tidak butuh waktu lama, sebuah sapu tangan berwarna merah marun berhasil ia kuasai dalam genggaman.

Diliriknya sang kekasih yang sedang menatap datar tumpukan buku beserta alat tulis juga beberapa kertas HVS penuh dengan tulisan tangan miliknya, lalu dengan lembut Win menangkup wajah arogan itu untuk menatap ke arahnya.

“Maaf ya, jadi kehujanan gini.”

Sang kekasih cuma mengangguk, sambil membiarkan tangan Win mulai bergerak untuk mengeringkan wajahnya yang basah.

Sapu tangan tersebut tak bisa turut membantu untuk mengeringkan rambut basah kekasihnya itu, alhasil Win hanya bisa menepuk sisi meja yang kosong sebagai isyarat agar sang kekasih membaringkan kepalanya di sana.

“Tiduran aja biar nggak pusing. Gue sebentar lagi selesai.”

Sang kekasih menggeleng pelan, “gue tungguin aja. Bentar lagi, kan?” jawabnya.

“Iya, nanti gue bisa lanjut googling untuk nyari sisanya yang masih kurang.”

“Ya udah.”

Win mencelos, “nanti lo tuh bawa motor, kalau pusing gimana caranya bisa nyetir? Gue nggak mau kenapa-napa di jalan ya, kayak tempo hari.”

Iya, tempo hari, pacar kesayangan Win ini, nggak ada angin nggak hujan kehilangan keseimbangan di atas motor dan hampir menabrak gerobak bakso yang sedang menepi di pinggir jalan.

Sang kekasih hanya tertawa. Bukannya membaringkan kepala di meja seperti perintah Win, ia justru malah meletakkan satu tangannya di sana, menjadi penopang bagi kepalanya yang disandarkan tepat di atas telapak tangan. Seluruh atensi sudah mengarah pada sosok manis yang duduk di sampingnya,

“Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Nanti kak Gawin tiba-tiba masuk, nggak enak gue.”

Lagi, sang kekasih malah melanjutkan tawa renyahnya. Win yang mulai kehilangan konsentrasi pun hanya bisa mendengus sambil menutup buku DSM V yang sedang ia baca. Diliriknya sang kekasih yang ternyata masih menatap lurus padanya itu.

“Bright,”

“Iya, sayang?”

Win mendengus lagi, “tidur aja sebentar, ya? Setengah jam juga lumayan, gue setengah jam lagi selesai. Janji sejanji-janjinya!!!”

“Kenapa sih maksa banget biar gue tidur?”

“Yaaa, gue males aja diliatin kayak begitu, ish!!!”

Tawa Brightㅡ well, ya kekasih Win adalah Bright, pecah saat Win menenggelamkan wajahnya yang penuh dengan rona merah di atas cover buku DSM V yang ada di meja. Merasa gemas dengan sikap si Manis yang zuzur aja nih, belakangan ini Win acap kali bersikap amat sangat manis, berbanding terbalik dengan Win-nya yang sejak awal mereka berpacaran pun, bukannya menjelma menjadi Juliet untuk dirinya yang bak seorang Romeo, justru mereka lebih dikenal sebagai pasangan amburadul, yang kebetulan sebelas dua belas sama Tom and Jerry, Bright menundukkan wajahnya untuk menjatuhkan sebuah kecupan jahil di surai kecoklatan itu.

Gerakan tangan Bright yang bergerak mengusap gemas surai Win yang berantakan menyusul setelah ia menjauhkan bibir dan wajahnya dari jangkauan sang kekasih.

Win mencelos sekilas, kemudian menempelkan pipi kanannya di atas cover buku DSM V sambil memusatkan seluruh perhatian pada Bright.

Tanpa mengucapkan apa-apa, Win hanya terus terdiam sambil menatap sang kekasih.

Bright yang mulai merasa ada yang salah dengan Win pun secara spontan langsung menempelkan punggung tangan kirinya di dahi lebar si Manis yang tertutup helai demi helai poni.

Berusaha memasang ekspresi berpikir, seolah sedang membandingkan suhu tubuh orang sehat dengan suhu tubuh orang sakit.

Win yang juga mulai merasa ada yang tidak beres dengan Bright pun secara spontan langsung menarik tangan pemuda tampan itu, lalu membawa satu jari Bright ke mulutnya untuk digigit.

“Fuck, sakit, pinteeer.”

Yay, 1-0. Win menang, Bright kalah alias Bright cupu :-P

Bright menghela nafas pelan, sambil tangannya terus mengusap jari telunjuk yang baru saja menjadi korban gigitan Win. Diliriknya si Manis yang sama sekali belum mengubah posisi, masih menatapnya dengan tatapan meremehkan, dan itu jelas membuat Bright merasa tertantang.

Dengan segala ide jahil yang berkeliaran di kepalanya, Bright kembali memajukan tubuhnya, membuat wajah mereka berada pada jarak yang terlampau dekat, dan berniat untuk menggigit gemas ujung hidung mancung Win sebelum lagi dan lagi Bright harus meringis kesakitan begitu Win lebih dulu memukul pelan (sedikit bertenaga) pipi kirinya, sehingga mau tak mau Bright harus mundur dan kembali pada posisi duduknya semula.

“Bisa-bisanya kita pacaran tapi hobi lo nggak lain dan nggak bukan adalah menyiksa gue setiap hari.”

Win terkekeh, ia memejam sebentar sambil mengulas seringai di ujung bibir penuhnya, “nggak usah cengeng gitu, udah gede ai kamu.” ujarnya.

Oke, kalau Win sudah menggunakan intonasi lembut seperti ituㅡ ya walaupun niatnya untuk meledek si pacar, Bright bisa apalagi selain menghela nafas satu kali lagi, sembari tangannya bergerak mengusap sayang surai lembut Win.

“Selesain deh buruan tugasnya, hujannya udah lumayan reda. Gue tunggu di luar, ya?”

Salah satu alis Win mengernyit bingung, “ngapain di luar? Di sini aja, kan lo nggak sukaㅡ”

“Ngerokok, sayang.”

Belum sempat Win menyelesaikan kalimatnya, bentuk bibir penuhnya terlanjur berubah menjadi huruf 'O' seiring tubuh Bright yang mulai bergerak meninggalkan bangku.

“Kalau udah selesai, miscall aja, nggak usah nyamperin keluar. Gue ke teras lantai atas kayaknya.” ucap Bright, sambil tersenyum, juga sambil mengambil langkah untuk segera keluar.

Sebelum Bright terlanjur menjauh, Win menahan pergelangan tangan sang kekasih dan berhasil membuat pemuda itu menoleh, “Bright,”

Kedua alis Bright bertaut, “belum cium.” lalu seringai tipis terlukis di sudut bibirnya sesaat setelah Win mengakhiri ucapannya.

Astaga, beruntung mereka hanya berdua di dalam perpustakaan.

Bright maju satu langkah, membungkukkan sedikit tubuhnya pun juga membiarkan satu tangan Win kini memeluk tengkuknyaㅡ menariknya agar semakin dekat.

Dan tak butuh waktu lama, baik Bright maupun Win seolah sama-sama tengah menjemput bahagia ketika sepasang bibir beda ukuran itu saling bertukar sapa.

Win dengan bibir penuhnya yang terbuka sedikit, menyambut bibir sintal Bright yang kini menyesap bibir bagian atas dan bawahnya bergantian. Saling melumat selama beberapa kali, sebelum akhirnya Win mendaratkan tiga kali kecupan kilat penutup di belah bibir Bright dan Bright menjilat penuh iseng pada permukaan bibir sang kekasih yang kian basah.

“Udah sana, shoo shoo,”

Bright lagi dan lagi terkekeh, dan untuk kali ini ia benar-benar melangkah keluar dari perpustakaan, termasuk meninggalkan Win yang kini tampak grasak-grusuk mencari ponselnya yang sejak tadi tidak ia keluarkan dari dalam tas.

Pemuda manis ini tampak sibuk dengan jari telunjuk dan ibu jari yang bergerak cepat di atas layar ponsel. Senyum akhirnya terbit di wajahnya saat berhasil menemukan chatroom-nya bersama seseorang yang kebetulan sudah ia kontak beberapa hari lalu, basa-basi demi berhasil membangun komunikasi yang klop karena mereka sudah lama tidak bertemu.

Win tampak mengetikkan sesuatu di sana. Oh, ternyata isi pesan teksnya adalah: “gimana? Aman?”

Dialihkan atensinya sesaat untuk melirik ke arah pintu masuk perpustakaan, memastikan bahwa Bright tidak akan kembali lagi setidaknya dalam waktu dekat.

Drrrttt,

Dengan cepat Win membuka kunci layar ponsel canggihnya, ada balasan yang cukup panjang di sana. Well, Win tersenyum.

Agak speechless sih gue tau lo ada inisiatif buat ngadoin laki lo padahal ini cuma karna dia dapet nilai A di ujian matkul yang dia nggak suka. Ya... Nggak biasanya, aja??! Aneh, asli. I'm not used to this version of you yet haha [mnggleng bgung]

Iya, memang, benar. Jangankan ketika mereka supposed to celebrate their anniversary setiap tahunnyaㅡ alias boro-boro ingat, saat Bright ulang tahun saja respon Win tidak pernah lebih dan tidak pernah kurang dari sekedar berucap, “Wih, makan-makan!!!”

Tapi untungnya, Bright nggak pernah protes, terlanjur terbiasa dengan gaya pacaran mereka yang terbilang santai dan lebih melakukan interaksi bak seorang teman dekat, namun, yes, sedikit dibumbui dengan kecupan manis setiap pagi, atau kecupan panjang setiap malam sebelum tidur.

Jadi, setiap Bright ulang tahun, Win tidak pernah memberikan hadiah. Begitu juga setiap Win ulang tahun, Bright juga tidak pernah memberikan hadiah.

Paling-paling, Bright akan menyuruh Danielㅡ teman sekelas Win yang kebetulan pernah menjabat sebagai wakabem psikologi mendampingi Win yang menjabat sebagai kabem psikologi tahun lalu, untuk membawa pulang motor scoopy merah milik Win dan dirinya sendiri akan membawa si Manis jalan-jalan di sekitar Tebet untuk wisata kuliner.

Tapi sekarang, setelah semalam diberitahu kalau Bright baru saja mendapatkan nilai A pada ujian mata kuliah yang tidak pemuda itu sukai, tiba-tiba saja Win ingin memberikan Bright hadiah.

Makanya, ia terpaksa harus menghubungi teman lamanya yang kebetulan merupakan seorang expert untuk segala keperluan yang berkaitan dengan kado yang akan ia berikan untuk Bright, besok.

Win kembali mengetikkan pesan balasan, “character development ini namanya, hehe.”

Lalu untuk bubble chat kedua, “yang sekiranya cocok buat kita berdua aja, aduh gue noob banget soal beginian… gila HAHA malu.”

Tak lama, pesan balasan pun kembali muncul di bar notifikasi ponsel Win.

Yang mau ngadoin elu, yang merah merona malah gue di sini. HUHU Winnie udah gede :(

Hmm, iya entar deh gue cek lagi foto kalian berdua, sekalian gue mikir konsep yang cocok apa buat besok. Lo siap-siap aja.

OH IYAAAA SATU LAGIIII SHAYYY

Jangan protes kalo ternyata lo nggak cocok sama pilihan gue. Gue cuma ngikutin naluri ajah. Oke?

Win terkekeh sambil mengangguk. Lalu menepuk dahinya saat menyadari bahwa temannya ini tak akan mungkin melihat gerak-geriknya secara langsung.

Kembali diketiknya sebuah pesan balasan, “semoga gue oke oke aja dan dianya juga oke oke aja deh. At least i've tried my best, ya, nggak?”

Cukup lama tak ada balasan, suara pintu yang berderit berhasil mengalihkan atensi Win. Diliriknya pintu masuk perpustakaan yang didorong dari arah luar, lalu muncul sosok Gawin dengan jaketnya yang tampak basah.

“Di luar masih hujan, Kak?”

Gawin mengangguk mengiyakan pertanyaan Win, seraya sepasang kakinya terus melangkah menuju meja panjang yang memang diperuntukkan bagi staff perpustakaan untuk duduk di baliknya.

“Lumayan, tadi sempet reda gitu, tapi nggak lama deres lagi.”

“Oh iya, Win. Aku liat pacar kamu di luar lagi ngerokok sambil nyender di balkon ujung.” sambung Gawin ketika sudah kembali duduk di kursinya.

Win mengangguk, otaknya sibuk mencerna kalau Bright ternyata tidak jadi naik ke lantai atas.

“Iya, aku bentar lagi selesai, Kak. Abis ini mau nyusulin dia.”

“Oke kalau begitu.”

Dan drrrttt, ponselnya kembali bergetar. Ada balasan dari teman lamanya itu.

Bener banget, at least you've tried your best, Win. Kalau gue yang dikadoin macam itu mah gue juga bakalan seneng, kali?!!

Neways, gue mau keluar dulu, nih. Nanti malem kali ya kita ngobrol lagi, sekalian gue kasih foto-foto barang nyatanya, siapa tau lo bisa berekspektasi lebih

Win, dengan ekspresi wajahnya yang mendadak datar kembali mengetikkan pesan balasan,

“DIEM. LO CUMA BIKIN GUE DEG-DEGAN shoo shoo you're not helping at all.”

Dasar, Siwi!!!

. . .

Fyuuuh, Win menghela nafas panjang sesaat setelah ia memarkirkan motor scoopy miliknya di sisi motor BWM K 1200S milik Bright yang terparkir apik di parkiran apartemen. Dibukanya helm berwarna coklat kopi yang sudah jadi teman hidupnya hampir 2 tahun ke belakang, lalu disangkutkannya helm tersebut di spion kanan si scoopy.

Win masih duduk di atas jok motornya. Sesekali matanya melirik ke arah goodie bag yang sengaja ia gantung di bagian tengah motor, lalu meringis geli setelahnya.

Secara mendadak, nampaknya Win menyesali keberaniannya yang meminta saran dari Mix demi menciptakan malam yang mungkin saja bisa jadi kenangan indah /slash/ menyenangkan /slash/ konyol yang kelak akan menjadi bahan obrolan bagi keduanya suatu hari nanti.

“Win, gue nggak bisa ngasih banyak-banyak, semoga semua yang ada di dalem sini bisa bantu lo memperlancar semuanya, oke?”

Itu adalah kalimat yang terucap dari belah bibir Mix kala Win baru saja mematikan mesin motornya di depan pagar rumah pemuda berlesung pipi itu. Win yang belum sempat mengucapkan apa-apa pun hanya pasrah ketika Mix mulai menjelaskan apa-apa saja yang ada di dalam goodie bag tersebut.

Condom Sengaja Mix menyediakan 3 bungkus, kalau-kalau sepasang anak adam ini nggak bisa berhenti, seenggaknya mereka punya cadangan.

Dildo Sengaja Mix berikan hanya 1 dildo, dengan warna yang serupa seperti warna kulit manusia, ya siapa tau sisi gelap Bright bisa terlihat malam ini dan ingin bermain-main sedikit, 'kan?

Vibrator Buat jaga-jaga aja, gitu menurut Mix. Ya, kalau-kalau tenaga lagi habis, nggak perlu mikir dua kali untuk pakai vibrator.

Handcuffs Nah ini, Win 100% merona saat matanya bertukar sapa dengan borgol berwana abu-abu itu. Gila, Win sendiri sangsi kalau Bright akan memakai benda itu nantinya.

Lubrikan Nggak perlu Mix jelasin, Win juga paham apa fungsi dari cairan ini.

Blind fold Zuzur aja nih, Win udah nggak bisa berkata-kata...

Juga seringai penuh godaan yang sempat mampir di sudut bibir Mix, seolah menyadarkan Win about what kind of sudden gift is this PFTTTTTT, alias Win jadi ragu sendiri, haruskah ia membawa semua ini ke apartemen mereka???

Oke, lalu bagaimana caranya Win menjelaskan tentang semua sex toys ini pada Bright nanti?

Oke, itu terlalu jauh. Sekarang lebih baik Win berpikir bagaimana kalimat yang baik untuk mengajak Brightㅡ oke, kalimatnya lebih baik diganti, untuk meminta Brightㅡ oke, ini kurang efektif, untuk memberi kode pada Bright kalau dirinya siap untuk memberikan segalanya pada kekasihnya itu sebagai hadiah atas prestasi yang Bright peroleh.

Tak kunjung menemukan jawaban atas rasa bingungnya, Win pun berdecak satu kali, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya secara asal, lalu beranjak turun dari motor scoopy kesayangannya untuk segera masuk ke lobby apartemen.

Seulas senyum manis terpampang di wajah Win saat seorang security apartemen membukakan pintu untuknya sambil menyapa, “baru pulang, mas Win?”

Win hanya mengangguk, “iya, Pak, hehehe. Saya ke atas dulu, ya.”

Dan setelah mendapat balasan berupa anggukan dari security apartemen, Win langsung bergegas masuk ke dalam lift. Pegangannya pada tali goodie bag pemberian Mix semakin erat. Jantungnya berdegup tak karuan ketika matanya tak sengaja mendapati lift sudah akan tiba di lantai tujuannya, lantai 21.

Tiiinggㅡ,

Uh, sudah sampai.

Dengan ragu, dan dengan degupan jantung yang berpacu di atas ambang normal, Win terus berjalan menelusuri lorong lantai 21 dan berhenti tepat di depan pintu berwarna putih gading dengan nomor 2712 yang tertera di sana.

Win, satu kali lagi, menghela nafas panjang. Setelah itu, ia mulai memasukan digit rahasia untuk membuka pintu unit.

Satu kata, gelap. Win disambut dengan kegelapan, seolah tak ada kehidupan di dalam unit yang sudah ia huni bertahun-tahun bersama Bright.

Win masuk lebih dalam, menyimpan sepatunya di rak, sebelum melangkah untuk menghidupkan lampu ruang tengah dan juga dapur.

Tidak mendapati keberadaan sang kekasih di ruang tamu dan dapur, Win pun kembali melanjutkan langkahnya menuju satu-satunya kamar yang ada di sana. Dengan pelan, Win menurunkan kenop pintu, dan mendorongnya sehalus mungkin, takut-takut Bright ternyata tengah terlelap.

Dan ya, benar saja, kekasihnya itu ternyata sedang asik bergelung di dalam selimut ditemani lampu tidur yang ada di nakas samping ranjang.

Bright terlihat seperti seekor anak anjing ketika tidur. Membuat Win tidak sanggup menyembunyikan senyumnya, dan dengan spontan ia naik ke atas ranjang untuk memeluk Bright dari belakang.

Tidur Bright tampak terusik. Pemuda bersurai hitam itu beberapa kali bergerak tak nyaman, namun tak kunjung membuka matanya yang terpejam.

Win menaruh dagunya tepat di atas bahu Bright, lalu menatap prianya itu dari bawah. Bibir yang sedikit terbuka, serta dengkuran halus yang terdengar membuat ribuan kupu-kupu seolah menggelitik perut dan dadanya. Diliriknya jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Itu artinya, dalam 30 menit mereka akan memasuki hari yang baru, tanggal 28 Aprilㅡ hari jadi keduanya.

Win bahkan tidak ingat kalau besok adalah hari jadi mereka. Hadiah 'gila' ini benar-benar ia buat untuk mengapresiasi kerja keras sang pacar, tapi tampaknya Dewi Fortuna sedang berada di pihaknya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Alias mereka bisa sekalian merayakan hari jadi… entah untuk tahun ke berapa.

Win mengeratkan pelukannya, lalu dengan pelan ia mulai menjatuhkan kecupan demi kecupan di rahang Bright. Lalu turun ke dagu, dan berlanjut ke perpotongan leher sang kekasih.

Bright yang dapat merasakan pergerakan di sekitarnya pun membuka mata secara perlahan, dan hal tersebut langsung disadari oleh si Manis.

“Stop, stop. Tetep tutup mata.”

Oke, Bright yang masih mengantuk pun hanya bisa menurut. Ia membiarkan sepasang kelopak matanya kembali menutup.

Win beranjak dari posisinya. Ia merangkak ke tepi ranjang, dan mengambil goodie bag yang tadi ia lempar secara asal sebelum bergabung dengan Bright di atas ranjang.

Win mengeluarkan semua 'kado' dari Mix dan sengaja membiarkannya tergeletak di atas ranjang. Lalu, tangannya meraih salah satu benda yang berserakan di sana.

Dengan seulas seringai penuh kepuasan, Win mengubah posisinya untuk duduk di atas perut Bright.

Bright, hanya diam. Ia masih memproses tentang apa yang sesungguhnya sedang Win lakukan.

Terus terdiam sampai akhirnya, “Win what the fuck are you doing right now?” Bright terpaksa berucap sedikit kasar saat Win dengan gerakan kilat memasang blindfold yang dalam hitungan detik sudah berhasil menutup rapat kedua matanya.

Win berdehem sesaat, sebelum ia menundukkan tubuhnya mendekat pada Bright. Win membuat bentuk 'V' menggunakan dua jarinya di depan wajah sang kekasih, lalu bergumam pelan, “tebak, ini berapa?”

Bukannya jawaban angka yang diperagakan, Bright justru menjawab dengan sebuah decakan sambil berusaha membuka kain yang menutup kedua matanya.

“Jangan dibuka, ish!!! AWAS AJA LO!!!”

“Lagian ngapain sih pake acara nutup mata segala? Gue nggak bisa liat apa-apa ini.” balas Bright.

“Y-ya, emang sengaja biar lo nggak bisa liat.”

Terjadi keheningan sesaat. Win tidak tahu harus memulai dari mana, Bright juga malah sibuk mencerna apa yang sebenarnya sedang pacar cantiknya ini lakukan.

“Win, gue buka, ya?”

Win menggeleng cepat, sambil merangkak turun dari atas tubuh Bright. “Hitung mundur dulu seratus sampai satu. Baru boleh dibuka.”

Bright berdecak kesal, “nggak usah konyol deh lo. Jangan ngaco, udah jam berapa ini?”

“Jamㅡ hmm, lima belas menit lagi jam dua belas.”

Mengikuti naluri, Bright pun mengangkat tangan kanannya untuk mendaratkan sebuah sentilan di dahi sang kekasih.

“Woy, sakit...”

“Makanya nggak usah ngide tengah malem begini. Gue ngantuk banget ini, besok mau sparing futsal sama anak sasing.”

Win tak mau ambil pusing. Waktu terus berjalan, dan ia harus bergerak cepat. Diliriknya Bright yang masih berbaring dengan mata yang tertutupi blindfold. Cih, katanya mau dilepas, mana?!

“Diem, Bright. Lo bawel banget deh tumben.”

Lagi, Bright berdecak, “lo yang mancing, ya.”

“Emangnya lo berhasil kepancing?”

Terjadi keheningan sesaat, sebelum akhirnya Bright membeo penuh kebingungan, “hah???”

Kini, giliran Win yang berdecak, “cepetan hitung mundur dari seratus sampai satu, gue udah mau selesai ini.”

“Hah??? Apa sih???”

“Seratus, sembilan puluh sembilan, sembilanㅡ” Win pun mengambil inisiatif untuk menghitung mundur lebih dulu. Karena ia tahu pastiㅡ “puluh delapan, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh enam,” kalau Bright tidak punya kuasa untuk membantah.

Selagi Bright menghitung mundur, Win mulai melucuti satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Diliriknya sisa sex toys yang masih berserakan di sisi ranjang, dan sebuah dildo berukuran cukup besar kini menjadi pusat perhatiannya.

Ia mengambil dildo tersebut, lalu matanya sibuk untuk mengamati benda itu. Win tampak berpikir, dari segi ukuran saja sudah tidak sebanding dengan miliknya. Tapi, kalau ternyata sebanding dengan milik Bright, bagaimana?!!

Well, fuck. Hanya dengan memikirkan akan sebesar apa milik Bright yang masih bersembunyi di balik celana training abu-abu yang dipakainya sudah mampu membuat Win cukup merasa sesak.

Win, belum pernah sekalipun menggunakan dildo, atau berbagai macam mainan seks lainnya. Ia pernah melihat, hanya sekedar tahu saat iseng googling ketika ada waktu luang.

Ditambah, hubungannya dengan Bright yang meski bisa dibilang cukup amburadul, keduanya sama sekali belum pernah melakukan hal lebih dari sekedar ciuman bibir, atau saling mengukir tanda di leher masing-masing. Hanya sebatas itu, tidak pernah lebih.

Namun kini, Win seolah ingin memberikan seluruh kepercayaannya pada Bright. Apalagi, sang Papa sudah cukup cerewet bertanya kapan kira-kira Bright akan meminang.

Ah, Papa. Tidak tahu saja, kalau dirinya dan Bright bahkan lebih stress memikirkan skripsi daripada memikirkan kapan mereka akan naik jenjang.

Tapi, pernikahan bukan hal yang buruk untuk dibicarakan dari sekarang, kan? Dan mungkin, setelah ini, mereka bisa menjadi jauh lebih serius dengan hubungan yang sudah terjalin lebih dari ehm, mungkin enam tahun?

“Lima belas, empat belas,”

Win seolah tersadar dari lamunan panjangnya. Diliriknya Bright yang masih berhitung dan mulai memasuki angka sepuluh.

Dengan cepat, dan berhati-hati, Win pun mencoba untuk memasukkan kepala dildo ke dalam lubang senggamanya.

“Ahhhh,” buru-buru Win menutup mulutnya kala seuntai desahan tak sengaja lolos mengisi keheningan malam.

Tapi tampaknya Bright acuh, tetap meneruskan hitungan mundurnya, “tiga… dua… satu.”

Bright langsung membuka kain yang menutup matanya, dan jantungnya nyaris saja lepas dari tempatnya saat melihat Win tengah berbaring setengah duduk, bersandar pada bantal yang diposisikan berdiri pada headboard ranjang, lalu tubuh polosnya yang terekspos begitu saja, juga kedua kakinya yang mengangkang lebar, serta satu tangannya yang berada di tengah, tampak sedang memegang sesuatu.

Lebih tepatnya, menarik – memasukkan – menarik – memasukkan sebuah benda ke dalam lubang hangatnya.

“What the fuck is this,”

“Ahhh, Bright, nghhhh,”

Sepasang mata Win terpejam menahan sakit saat setengah dari dildo mulai masuk membelah lubangya. Desahan demi desahan yang terselip nama Bright di dalamnya, menjadi satu-satunya simfoni yang mengisi keheningan di dalam kamar.

Bright, ngeblank total.

Pemuda itu terdiam di posisinya, tak bergerak sama sekali bahkan ketika seluruh bagian dildo sudah masuk sempurna ke dalam lubang senggama Win.

Perlahan namun pasti, Win membuka pejaman matanya dan mendapati Bright yang ternyata sedang menatap ke arahnya, dengan tatapan tidak suka.

“Bright,”

“Lo ngapain? Maksudnya apa?”

Win berusaha mengubah posisinya, namun semakin ia bergerak, posisi dildo yang tenggelam di dalam lubangnya justru bergerak semakin dalam.

“Ahhh, Bright,”

“I didn't love you for this, lo tau itu.”

Win menggigit kecil bibir bawahnya, belum mempersiapkan diri atas reaksi Bright yang ternyata diluar ekspektasinya, “but i know you wanted to do this.”

Bright menggeleng kuat, “kalau lo selama ini cuma mikir gue macarin lo buat ini, berarti lo ngeraguin perasaan gue enam tahun ini, Win.”

“B-bright, this is a gift for you, oke? Gue cuma mau memberikan apa yang udah selayaknya lo dapetin. Lo selalu narik nafas panjang setiap kita selesai ciuman, lo selalu ngehindar dari gue setiap gue selesai bikin tanda di badan lo, lo cuma takut ngelakuin kesalahan. Dan sekarang, gue kasih semuanya buat lo. Gue mau kita lebih saling percaya setelah ini,”

Bright menghela panjang nafasnya, “we can do this later, nanti, kalau udah waktunya.”

Win berdecak, ia menarik kasar dildo itu dari dalam lubangnya, dan tanpa sadar setetes cairan bening jatuh dari sudut mata.

“Just say you don't want it, you don't want me, then i can go.”

Malu. Satu kata, malu. Win sudah menelanjangi dirinya sendiri di depan Bright, tapi Bright malah menolaknya terang-terangan.

Suaranya terdengar bergetar. Win beranjak turun dari ranjang sambil berusaha memakai kembali pakaiannya.

Bright sadar ia sudah salah langkah. Pemuda itu lantas mengusap kasar wajahnya, lalu merangkak sedikit untuk menarik Win kembali naik ke atas ranjang.

Berhasil, kini Win sudah kembali berbaring di bawah kungkungan dominasi Bright. Dengan wajah yang sengaja dialihkan ke arah kanan, menghindari tatapan dalam sang kekasih yang ogah untuk dilihatnya sekarang.

“I'm sorry. I didn't mean being rude to you,”

Win masih terdiam, air mata masih terus mengalir membasahi wajahnya.

Bright menunduk, mencium bibir Win satu kali sebelum menjilat air mata yang masih mengalir membentuk sebuah bendungan di wajah manis sang kekasih. Jilatannya turun menuju rahang tajam Win, lalu menuju telinga, tengkuk dan berakhir di perpotongan leher putih Win.

Bright bermain-main sebentar di sana. Menjilat, menghisap, lalu mengecup selama beberapa kali pada titik yang sama.

Sedangkan Win masih terdiam. Tidak memberikan respon apa-apa atas afeksi yang diberikan oleh sang pacar.

Bright menangkup wajah Win dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain berusaha bergerak untuk kembali melucuti pakaian yang belum seutuhnya terpakai di tubuh semampai sang kekasih.

“Sorry, sayang,”

Bright membawa Win ke dalam ciuman panjang, membuat air mata kecewa yang semula mengalir kini berganti menjadi air mata penuh kenikmatan saat tangan Bright bekerja di bawah sana, dan satu tangan yang lain bekerja untuk memuaskan satu titik di bagian dadanya.

“Ahhh, B-bright...”

Tak ada yang bisa Win lakukan selain mendesah sambil menjambak surai hitam Bright sebagai pelampiasan atas rasa nikmat yang mendera.

“Ahhhh, this is too good, ahhh,”

“Wanna try another position?”

Win membuka pejaman matanya, ditatapnya Bright yang kini wajahnya tepat berada di atasnya, “what position?”

“Cium dulu, boleh?” tanya Bright.

Dan dengan senang hati, Win membawa Bright ke dalam ciuman panjang.

Lalu tanpa melepas ciuman mereka, Bright berusaha mengubah posisi keduanya, di mana Win kini berada di atasnya.

Bright memutus kontak bibir keduanya secara sepihak, lalu meminta Win untuk duduk tepat di atas dadanya.

Tak punya kuasa untuk menolak, Win pun menurut. Si Manis kini duduk di atas dada telanjang Bright, dengan ujung penisnya yang sengaja ia taruh tepat di atas belah bibir Bright.

Bright terus menatap Win yang tampak memerah, malu dengan posisi mereka. Namun, Bright tak kuasa menahan nafsu saat cairan pre-cum Win tak sengaja jatuh tepat di belah bibirnya yang terbuka sedikit.

Dengan jahil, Bright mencuri cicip.

“Win,”

“Hmm?”

“Thankyou for being my special person for almost seven years, i love you.”

“Bright, AHHHHH...”

Belum sempat menjawab i love you too, Win terlanjur dibuat mendesah hebat saat Bright memasukkan seluruh kejantanan Win ke dalam mulutnya.

Bright memajukan kepalanya, lalu memundurkan ya untuk menciptakan sensasi setiap kali lidahnya mengecap di sepanjang kulit kejantanan Win. Bright mengulum, memberikan servis terbaiknya sampai Win kalah telak dan meneriakkan sebuah kalimat yang berhasil membuat Bright tersenyum diam-diam,

“Fuck fuck fuck, you are so good, Bright… Mmmhh, ahhhhㅡ”

Seraya berusaha menahan desahannya yang lain, Win meletakkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan kepala Bright, sambil pinggangnya terus bergerak maju dan mundur mengikuti irama hisapan dan kuluman Bright yang semakin menggila pada penisnya.

Sungguh, ini gila. Luar biasa gila. Niat hati ingin memberi hadiah pada Bright, kini justru Bright yang memberikan hadiah, menjadikannya bak seorang Ratu yang diperlakukan sebaik mungkin, serta membiarkan Win mendominasi kegiatan bercinta mereka untuk kali pertama.

Win mendesah satu kali lagi, sebelum ia memejam saat 'putih' datang menghampiri.

“Ahhh...”

Ini hebat. Ia mencapai klimaksnya, di dalam mulut Bright.

“Win, nungging, sayang.”

Belum sempat Win mengais oksigen pasca pelepasannya yang pertama, Bright malah mencubit gemas pipi pantatnya seraya pemuda itu menjauhkan wajahnya dari jangkauan penis Win.

Win, keluar di dalam mulut Bright. Dan Bright tanpa rasa jijik menelan semua cairan cinta sang kekasih hati.

Bright kembali mencubit gemas pipi pantatnya, “mau ngewe dengan posisi paling enak nggak?”

“Hhhh, bentar nafas dulu,” perlahan-lahan Win merangkak mundur dari dada Bright. Pemuda manis itu dengan susah payah turun dari atas tubuh Bright, lalu memposisikan tubuhnya sesuai dengan permintaan sang kekasih.

“Ini udah nungging,” Win mengangkat sedikit bagian pantatnya, “emang apa sih posisi terenak dalam kamus perngewean?” lanjutnya.

Win terlalu lemas untuk sekedar melirik ke belakang, dimana Bright ternyata sedang melucuti pakaiannya sendiri. Pemuda itu terkekeh kecil mendengar pertanyaan Win, lantas sambil menarik turun fabrik terakhir dari kakinya, Bright kembali berujar,

“Doggy style, sayang, you will find the pleasure later once i hit you with the wildest rhythm i can do.”

Bright mengocok pelan penisnya yang juga sudah berdiri tegak. Win cuma tertawa sesekali, merasa lucu karena akhirnya ia dan Bright bisa benar-benar bertukar kalimat kotor penuh godaan di atas ranjang seperti sekarang.

Win mencengkeram sarung bantal di bawahnya, “emang punya lo sebesar apa, sih? Sini gue liat.”

Namun Bright bergumam, “no, no,” masih sambil mengocok penisnya, Bright segera membawa teman kecilnya itu untuk menyentuhnya permukaan lingkar cincin lubang senggama yang terpampang di depannya, “you don't have a chance to look at him, sayang. You guess the size by the way im thrusting inside you.”

Lalu ujung penis Bright berhasil memasuki permukaan lubang senggama Win.

“Sakit, nggak?”

Win menggeleng, “enggak, kayaknya masih cukup sensitif karna barusan sempet gue masukin dildo, deh.”

“Gue boleh lanjut, Win?”

“Iya, boleh,” Win mendesah pelan saat penis Bright perlahan-lahan memasukinya, “ahhhh, e-enak banget, B-bright...”

Bright menarik keluar penisnya selama beberapa detik, lalu kembali menenggelamkannya ke dalam lubang si Manis, “desah lagi Win, gue mau denger lo ngedesahin nama gue.”

“Mmmhhh, fuck,” Win tidak mampu melanjutkan desahannya ketika Bright memeluk tubuhnya dari belakang. Tanpa sadar Win menggigit bibir bawahnya begitu cuping telinganya berhasil masuk ke dalam mulut Bright dan larut dalam kuluman manis pemuda itu. “Ahhh, so good...”

Bright kembali membawa bibirnya menjelajah. Ia berhenti tepat di perpotongan leher Win, lalu bermain-main sebentar di sana dengan membubuhi kecupan-kecupan kilat di sana, “i love you, desah lagi, sayang...”

Bright mempercepat tempo tusukannya. Tubuh Win yang sudah pasrah di bawah kuasa dominasi Bright kini terhentak maju dan mundur mengikuti hujaman Bright yang kian menggila.

“Ahhh, Bright… enak...”

“Gue boleh keluar lagi, nggak?”

Bright berdehem pelan di sepanjang leher Win. Memberikan sensasi tak tergambarkan sehingga matanya semakin memejam erat sambil bibirnya menggeram beberapa kali.

“Hm, boleh,” Bright menyentuh penis Win, mengocoknya cepat, berusaha membantu si Manis untuk menjemput putihnya lagi.

Bright terus menghujam, ada kata-kata cinta yang terucap setiap kali ia berhasil menyentuh prostat sang kekasih.

“Keluarin sayang, kita keluar sama-sama.”

Butuh sekitar lima hujaman lagi, Bright akhirnya mencapai klimaks dan menumpahkan seluruh cairannya di dalam lubang Win.

Sedangkan Win, nafasnya kini terengah-engah pasca menjemput putihnya yang ke-2.

Masih terdiam, berusaha mengais oksigen tapi belum sempat ia mengumpulkan tenaga, Bright kembali bergerak menghujam lubangnya.

“Win, coba ganti posisi jadi terlentang menghadap gue tapi sambil gue terus keluar masuk kayak gini, ya? Bisa, nggak?”

. . .

JEYI // 210405.