Under the Dim Light.
“Can i come over?” dari suaranya saja, sudah terdengar amat sangat memelas. Win jadi nggak tega jujur aja, tapi masa iya kali ini mereka harus mengaku kalah pada keadaan?!
Lantas masih sambil mengaduk es teh manis yang tersaji di atas meja, Win menyahut, “kamu jangan gila.”
“Fine, aku emang gila. Tapi bolehin aku nyamperin ke sana dong, please???”
Aduh, aduh, kalau udah mode anak bayi begini, Win bisa luluh dalam hitungan detik.
Satu kali lagi pemuda manis itu melirik situasi sekitar, memastikan kalau warung ayam bakar yang sedang ia singgahi tidaklah begitu ramai dengan pengunjung. Oke, aman, ternyata faktor waktu dan matahari yang lagi terik-teriknya cukup mempengaruhi probabilitas mahasiswa sebuah universitas negeri di kota Bandung untuk berkeliaran di luar gedung kampus.
Kecuali kalau kebetulan lagi laper banget.
Win yang sejujurnya agak merasa aneh dengan sikap sang kekasih yang mendadak clingy pun membawa kepalanya mendekat pada dinding warung, menjauh dari radar pendengaran Cintaㅡ teman sekelasnya.
“Kamu lagi kangen atau lagi sange, sih?”
Ups, to the point banget, kak…
tags: EXPLICITㅡ contains mature contents; phone sex, handjob, some of dirty words (local porn vocabulary), as always elvino likes praising shalom's body so it's gonna be a praise!kink, multiple orgasm, rimming, mirror sex, chest play, protected sex, doggy style, etc 🔞 • pair: top!sub!bright x bot!dom!win, college life total words: 5.7k+ words. • commissioned by: @caffelattesani
ㅡ Suatu siang di bawah terik matahari, di kota Bandung (2023).
“Untuk pengumpulan tugas, saya mau dibuat secara kolektif seperti biasa. Nanti ketua kelas hanya akan mengirimkan file dalam format rar yang isinya tugas anda-anda semua. Saya beri waktu paling lambat hari Sabtu jam tujuh malam disetor kepada ketua kelas, lalu hari Minggu jam tujuh pagi file tugas sudah masuk ke email saya.”
Situasi kelas yang semula terasa mencekam setelah melewati perdebatan panjang antar empat kelompok presentasi perlahan-lahan mencair dengan turunnya tensi yang sukses membuat pundak-pundak tegang di sana mulai terlihat rileks.
Bukan hal baru lagi, kalau dosen sering melanggar ketepatan waktu mengajar sehingga 25 mahasiswa di dalam kelas harus ikhlas jam istirahat mereka berkurang beberapa menit.
Iqbalㅡ sang ketua kelas, mengangguki ucapan Pak Irwan dengan patuh.
“Minggu depan kita kuis materi sembilan.”
Haduh, nggak jadi rileks ini mah... Di saat baru bisa menghela nafas lega, Pak Irwan justru kembali memberi surprise tentang jadwal kuis yang akan dilaksanakan minggu depan.
Win, pasrah. Menjadi mahasiswa dan sekarang sedang berjuang di tingkat 3 akhir nyatanya amat sangat melelahkan. Pikiran, capek. Tubuh, apalagi. Hati, duh… kalau bisa meledak, udah meledak, kali?
It's too exhausted to holding on but it's such a waste to give up, alias woy… dikit lagi lulus…
Kaki panjangnya yang terbalut sepatu converse putih mengetuk-ngetuk lantai. Tubuhnya pegal, tapi enggan untuk merenggang jika Pak Irwan belum keluar dari kelas. Alhasil, memejamkan mata menjadi satu-satunya hal yang bisa pemuda manis itu lakukan sambil menunggu kelas dibubarkan.
“Baik, kalau begitu saya rasa cukup untuk perkuliahan kita hari ini. Tugas dari saya jangan lupa dikerjakan, sampai bertemu lagi minggu depan dan selamat istirahat.”
Akhirnya… setelah 2 jam setengah terjebak dalam situasi yang kurang nyaman, tidak enak, menegangkan, Pak Irwan pun beranjak meninggalkan kelas. Beberapa mahasiswa tanpa basa-basi langsung melenggang keluar, beberapa masih tinggal di dalam, termasuk Win yang sedang mengotak-atik ponselnya dengan serius.
from: anak bunda 🐊 • udahaaaan belummmm lama banget sihhh kelasnya!!! • woy :((( jawab :((( jawab chat ini sebelum aku nangis :(((
Si manja dan segala tingkah lakunya berhasil membuat Win geleng-geleng kepala. Dari kalimat yang tertera di layar ponselnya pun, ia tahu kalau pacarnya itu sedang merajuk.
Ya, pacar. Pacarnya yang tidak pernah berubah. Masih sama seperti tiga tahun silam, yang dengan pedenya break the culture and rules jurusan untuk menyatakan cintanya di atas panggung, saat perpisahan sekolah. Pacar… 6 tahunnya.
Masih tetap Elvino, dan akan selalu Elvino.
Win baru saja akan mengetikkan pesan balasan, tapi sayang… sebuah tepukan di bahu kanannya justru membuat pemuda manis itu terdistraksi dengan mudah.
“Eh, Cin, kenapa?” ternyata ada Cinta yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping bangkunya.
Bukannya langsung menjawab, Cinta malah mencebikkan bibir bawahnya. “Laperrr… laper banget, nggak bohong...” wajahnya pun memelas, Win jadi tidak tega.
Alhasil, tanpa pikir panjang, Win kembali mengantongi ponselnya di saku jaket denim yang ia pakai hari itu, mengabaikan pesan Bright yang sudah terlanjur dibaca, lalu bangkit dari posisi duduknya. Sambil tersenyum tipis, Win mengangguk, “let's go! Ayam bakar biasa yang di seberang kosan Bougenville, yuk?!”
“Mau… mau… mau!!! Ayo aaaaa gue udah laper banget, gila!” sahut Cinta dengan senyum lebarnya.
Lantas keduanya pun melangkah berdampingan keluar kelas, meninggalkan beberapa mahasiswa yang masih tinggal di sana, termasuk Iqbal si ketua kelas.
. . .
“Tumben hari ini nggak sibuk, Win? Biasanya abis kelas langsung ngumpul sama anak BEM...” Cinta, adalah salah satu orang yang unbothered banget ketika sedang makan. Buktinya gadis itu bisa melayangkan dua pertanyaan sekaligus pada Win meskipun bibirnya yang mungil masih dipenuhi nasi yang bercampur dengan potongan daging ayam dan juga sambal bawang.
Win yang kebetulan sudah menghabiskan satu porsi nasi dan ayam bakar miliknya cuma bisa menggeleng pelan, lalu dengan gemas ia menutup rapat mulut Cinta dengan telapak tangannya.
“Telen dulu kenapa, sih? Nanti keselek, cantik...”
Cinta cuma bisa cengengesan. Tangan kirinya yang semula menggenggam pegangan gelas kini terangkat dengan dua jari membentuk huruf 'V'.
“Lagi dikasih waktu libur sebentar sebelum minggu depan mulai fokus promosi dan persiapan pensi jurusan,” kata Win sambil membasuh tangan kanannya pada sebuah mangkuk kecil berisi air dan sepotong jeruk nipis, “gue bakalan danusan lagi kayak tahun lalu, lo masih inget jobdesk lo 'kan, Cin?”
Yang ditanya memutar jengah dua bola matanya, “yang danusan elo, yang pusing gue.” sahutnya.
“Tarif PP endorse gue naik dua puluh lima persen lho, Win!”
Win mendecih, “masa iya sama temen sendiri perhitungan gini sih, Cin… nanti gue traktir hokben kayak biasa deh.”
Cinta masih mengunyah makanan di dalam mulutnya, sampai beberapa detik kemudian gadis itu kembali buka suara, “ya lagian, 'kan yang disuruh danusan itu lo, kenapa harus gue yang promosi lewat ig story gue setiap hari...”
“Lo 'kan mahasiswi hits, Cinta… jasa lo amat sangat membantu gue dalam bisnis perdanusan yang nggak ada habisnya ini. Ayo lah, ya, ya, ya?”
Wajah memelas, hidung kembang kempis dan sepasang alis yang bergerak naik turun benar-benar merupakan kombinasi yang lucu bagi Cinta. Melihat Win yang tampaknya sudah mulai lelah dengan segala tetek bengek perdanusan, akhirnya gadis itu dengan senang hati mengangguk. Tangan kanannya yang dipenuhi jejak nasi, sambal dan sisa kremesan terangkat, mengacungkan ibu jari sebagai tanda persetujuan.
Hehehe, seperti biasa, Win memang jagonya cengengesan. Lagi pula, Cinta nggak akan menolak dan dengan tega membiarkan dirinya keliling gedung kampus untuk menjual gorengan khas anak BEM itu.
Sambil menunggu Cinta menghabiskan makanannya, Win terdiam. Tampak mulai sibuk menyelam dalam pemikirannya sendiri, sampai lima detik kemudian matanya spontan membola ketika dirinya sadar, kalau ada sesuatu yang terlewat.
Cepat-cepat Win merogoh saku jaket denimnya, mengambil ponsel yang sejak satu jam lalu tidak lagi ia sentuh sama sekali.
4 missed calls from anak bunda 🐊
Nggak hanya itu,
Tapi juga ada beberapa imess masuk yang ternyata left on read karena Win lupa menutup aplikasi chatting tersebut.
Huh… alhasil Win cuma bisa menggigit kecil bibir bawahnya, sambil berpikir… ngambek nggak, ya?
Ngambek sih, pasti… karna dari pagi dia emang udah grumpy eh sekarang ditambah chatnya didiemin selama satu jam… sempet nelfon juga, tapi ternyata hape gue belum dimatiin mode silent nya, hadeh… gimana, nih?!
Ya sudah lah, karena nggak mau semakin membuat pacarnya ngambek berkepanjangan, Win pun mengetikkan pesan balasan yang cukup singkat;
Aku telfon ya?
30 detik…
1 menit…
1 menit 30 detik…
2 menit…
2 menit 30 detik…
Bahkan sampai Cinta sudah selesai makan pun, Bright belum kunjung membalas pesannya.
“Kenapa, Win? Kok gelisah gitu?”
Eh, kelihatan banget, kah? Lantas Win menggelengkan kepalanya, “nggak apa-apa, Cin.” katanya.
Sambil menenggak sisa es teh di gelasnya, Cinta menatap Win dengan sorot menyelidik, “yang bener?”
Satu kali lagi, Win mengangguk, “bener, Cinta… serius deh, gue nggak kenapa-kenapa.”
“Oke kalau gitu,” Cinta memasukkan tangan kanannya ke dalam sebuah mangkuk berisi air dan sepotong jeruk nipis, membasuh tangannya yang basah dengan tissue, lalu beranjak dari posisi duduknya, “gue mau nyari jajanan dulu, mau nitip, nggak?”
Win tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya ia menggeleng, “begah banget perut gue, nggak usah deh, lo aja sana.”
Oke, dengan jawaban tersebut Cinta pun melenggang keluar warung ayam bakar, meninggalkan Win yang kembali fokus pada layar ponselnya.
Bii, jelek ah ngambeknya…
15 detik berlalu.
30 detik juga ikut berlalu.
1 menit, masih belum juga ada jawaban.
Win yang geregetan karena Bright benar-benar mengabaikan pesannya pun hendak mengirim sederet kalimat lagi sebelum akhirnya sebuah bubble balasan masuk mengisi ruang obrolan antara dirinya dengan sang kekasih.
from: anak bunda 🐊 aku baru beres mandi cintakuuuu
Oh, nggak marah, toh? Hati Win mendadak lega, lega banget… lalu tanpa membuang banyak waktu, pemuda manis itu pun langsung mengetik pesan balasan.
Sorry… tadi aku nggak nyadar kalau kamu nelfon, sampe missed calls 4 kali deh :(
Hapenya aku silent soalnya bii…
from: anak bunda 🐊 emang kebiasaan kamu itu mah, ga heran aku
Ga gituuuu jelek :(
Aku mau telfon kamu, boleh tidakkkk???
from: anak bunda 🐊 • aku lagi siap-siap tau, yangggg • nanti aja, kan ketemu
Hah??? Ketemu? Gimana maksudnya? Win jadi bingung sendiri, plus deg-degan di waktu yang tiba-tiba.
MAKSUDLU????? Ngegas, sih, tapi memang betulan kaget, gimana dong?!
from: anak bunda 🐊 ya aku mau ke bandung lah???
Wait, what? Apa-apaan??? Nggak ada angin nggak ada hujan, Bright tiba-tiba banget mau ke Bandung?
Win mulai panik.
Ngapain heh??? Kamu mah ada-ada aja deh tingkahnya…
from: anak bunda 🐊 • aku kangen sayanggg!!! KANGEN • mau ke bdg, mau nyusul kamu, ya?
Kenapa ga nanya dulu sih??? Aku ngampus sampe sore, bii… kebiasaan deh apa-apa tuh ngambil keputusan sendiri emang tuh, kebiasaan banget.
from: anak bunda 🐊 • ih ya kan perjalanan depok – bdg tuh 4 jam!!! • sekarang udah mau jam 2, paling aku nyampe sana abis maghrib • emangnya kamu kuliah sampe maghrib?
Supaya Bright nggak nekat nyusul ke Bandung, Win pun memutuskan untuk berpura-pura sibuk.
IYAAAAA AKU SIBUK BANGET SIBUUUUKKKKK AKU MAU ADA PROJECT PENSI JURUSAN AKU SIBUK BANGET POKOKNYA AAAAAA SIBUKKKK
from: anak bunda 🐊 :((( fix emang kamu ga mau ketemu aku ya
Ga gitu??? overthinking mu jelek :/
from: anak bunda 🐊 aku paling nginep semalem aja, yang… mau gila aku nahan kangen :(((
kangen apa sange lau???
nah, kena kan tuh. Setelah saling mengirim chat bersahut-sahutan, kali ini Bright nggak langsung membalas. Ibu jari Win bergerak menggulir layar ponselnya, capek juga, ngos-ngosan juga ternyata, setelah re-read kalimat-kalimat terakhirnya dengan sang kekasih.
from: anak bunda 🐊 :((((((( ga seru ah malah ketauan
ya Tuhan, beneran kangen dan horny di waktu yang bersamaan, nih? Pantesan kali ini ngebet banget mau nyusul ke Bandung…
Aku kirim voice notes aja kayak biasa yaaa
from: anak bunda 🐊 masa iya aku harus ganti ringtone lagiii sih
MAKSUDNYA?!! SUARA AKU KAMU JADIIN RINGTONE HP?!!
from: anak bunda 🐊 aku jadiin suara buat alarm sih lebih tepatnya
Elvino Bright Vincentius Lemuel…
Demi apa sih, bii??? yang ada kamu bukannya bangun malah morning glory tau ga!!!
from: anak bunda 🐊 ya, kadang begitu… kadang juga langsung bangun
Gila…
Win jadi sakit kepala mendadak. Ia memijat pelan pangkal hidungnya, sedikit dibuat stress dengan tingkah laku pacar nakalnya itu.
Ya udah nanti aku kirimin foto nudes aja
from: anak bunda 🐊 gamauuu maunya ketemu kamu :(((
Aduh, gimana, nih?
How about phonesex? Kita belum pernah nyoba phonesex, mau?
Bright tidak langsung menjawab. Win membaca ulang percakapan mereka yang secara nggak langsung sudah memasuki level gawat darurat.
Diam-diam Win merasa gugup. Baru kali ini pemuda itu dibuat grogi dengan offer yang berasal dari dirinya sendiri.
Sampai akhirnya sebuah bubble baru muncul di layar ponselnya.
from: anak bunda 🐊 yakin bakalan berhasil?
Oke, Win pun membalas dengan cepat, kemungkinan gagal kecil sih, orang kamu dikirimin vn porno aja udah nangis meraung-raung
Ah, Win jadi teringat akan kekonyolan Bright beberapa minggu lalu. Kebetulan, mereka berdua sedang sama-sama tinggi setelah selesai menonton film dewasa yang dilakukan secara online. Maksudnya, baik Win maupun Bright menonton film tersebut bersama-sama melalui aplikasi google meetingㅡ share screen, karena terpisah oleh jarak yang cukup jauh.
Karena terlanjur malu (malu bangeeeet!) untuk sekedar tatap muka di penghujung film, Bright pun memutuskan leave room duluan dan Win dengan jahil menggoda pemuda itu lewat ruang obrolan mereka berdua.
Termasuk dengan keisengannya yang mengirim sebuah pesan suara; mendesah secara berkala, yang sukses membuat Bright mengirim puluhan emoticon menangis juga foto selfie pemuda itu yang berurai air mata.
from: anak bunda 🐊 JELEKKKK BERCANDA KAMUUU
Tuhkan, ngamuk! Hehehe.
Gimane bossss mau nyoba ga? Kayaknya seru deh
Nggak bisa bohong, Win juga sebenarnya antusias. Antusias banget, malah! Tanpa sadar, rona merah mulai memenuhi kedua pipinya. Mulai harap-harap cemas. Duh, Bright mau nggak ya?
1 menit berlalu, Bright belum kunjung membalas pesannya.
Karena nggak mau merasa antusias sendirian, Win pun hendak mengirim pesan lagi, tapi aksinya harus terhenti saat kontak Bright muncul sebagai id caller di layar ponselnya.
Sepasang mata Win membulat sempurna, anjrit??? Kenapa nelfon sekarang???
Tapi karena enggan membuat pacar nakalnya itu ngambek (lagi), Win pun melirik situasi sekitar untuk memastikan kalau keadaan benar-benar aman.
Oke, cuma ada tiga mahasiswa yang duduk sambil makan di meja pojok warung dan posisinya cukup jauh dari meja yang ditempati olehnya. Alhasil, Win pun menerima panggilan tersebut.
Sambil mencoba menenangkan diri sendiri yang kelewat gugup, Win membuka suara lebih dulu, “Bii...”
“Sayang...”
Ternyata, Win nggak merasa gugup sendirian. Dari suaranya saja, Win percaya kalau pacarnya itu sedang setengah mati menahan malu.
Satu kebiasaan kecil yang belum bisa Win hilangkan ketika panik, gugup dan takut; meremas sambil menggaruk jari-jari tangannya sendiri. He's doing it right now, sembari berpikir kalimat apa lagi yang harus ia ucapkan untuk membalas sapaan Bright barusan.
“Kenapa nelfon sekarang? Aku 'kan baru nanya doang tadi...”
Terdengar Bright menghela nafas berat di seberang sana, “aku penasaran about how you do it,”
“So the step one is...?”
Hah??? Sekarang banget, nih??? Dengan posisi Win sedang duduk di atas sebuah bangku plastik di warung ayam bakar???
Nggak, nggak, he's crazy enough for doing it in public.
“Wait, aku ke toilet dulu.”
Oke, sekarang. Tapi biarkan Win mencari tempat yang jauh lebih aman dan menjamin keselamatan dirinya lebih dulu.
Bright berdehem penuh kegugupan, “hm, kamu lagi dimana emangnya?”
“Di warung ayam bakar, tempat aku sama anak-anak biasa makan selesai kelas,” Win menjeda ucapannya. Pemuda itu menyatukan piring makan, mangkuk air cuci tangan, gelas bekas es teh manis miliknya dan juga Cinta di tengah meja.
Kemudian Win beranjak menuju kasir, membayar seluruh pesanannya dan Cinta dengan selembar uang seratus ribuan.
“Aku baru aja makan sama temenku, kelasku selesainya ngaret banget tadi, that's why aku nggak nyadar pas kamu telfon, hapenya aku simpen di kantong jaket soalnya.”
“Jaket kamu? Atau jaket aku?”
Win melirik jaket denim yang membungkus tubuh bagian atasnya, “jaket kamu, yang aku bawa merantau ke Bandung.”
“Hmm, iri dengki,” satu kali lagi, Bright menghela nafas di seberang sana, “oh to be that jacket so i can hug you all day long.”
“Nggak, nggak. Gombalan mu gagal, silakan mencoba di lain waktu.”
Bright terkekeh, “heleh, ngaku aja kalo lagi grogi...”
Ups, ketahuan deh. Secara spontan Win menggaruk pangkal hidungnya, grogi, cuy, lalu langkah kakinya semakin cepat begitu pintu toilet wilayah parkiran terlihat di ujung jalan.
Win masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang letaknya ada di paling pojok. Berhubung jam sudah kembali memasuki waktu perkuliahan, keberuntungan pun seolah berpihak pada pemuda manis itu. Toilet dalam keadaan sepi, dan kosong.
“Wait, aku atur posisi dulu.”
Bright berdehem lagi, “uhm, take your time, sayang. Make yourself at the best position, okay?”
“Hm, okay...”
Lantas Win meletakkan tasnya di atas kloset, menurunkan bagian penutupnya dan duduk di atas sana. Satu tangan masih memegang ponsel yang menempel dengan telinga sebelah kanan, lalu satu tangan yang lain sibuk meremat celana jeans yang dipakai.
Bingung harus memulai darimana.
“Sayang, udah?”
Bola mata Win bergerak gusar, melirik ke kiri juga ke kanan, berusaha menjemput rasa tenang. Berkali-kali pemuda itu menjilati bibirnya yang tiba-tiba terasa kering, tanpa sadar kakinya bergerak cepat seperti seseorang yang sedang mengayun mesin jahit.
Situasi toilet kampus yang sepi semakin menambah ketegangan yang melingkupi Win saat ini.
Susah payah ia menganggukkan kepalanya, “u-udah, tapi aku bingung mau mulainya gimana...”
“Hahaha dasar, ya udah sini biar aku yang mulai,” ketika Bright berkata bahwa dia yang akan memulai, bukannya lega, Win malah semakin grogi.
Terdengar Bright lagi dan lagi menghela nafas, kali ini terkesan agak lambat.
“Actually, i don't know if it will work or not, tapi kita coba pelan-pelan, oke?”
Pasrah, Win pun mengangguk, “o-oke...”
“Posisi kamu gimana sekarang, yang?”
“Duduk di atas kloset. Toiletnya sepi.”
Bright terkekeh ringan, “alright, alright. Sekarang coba kamu buka lebar kaki kamu. Selebar yang kamu bisa aja.”
Meski tidak terlalu terdengar, Win bergumam, oke, oke, udaaah… ucapnya, pelan.
Tapi sudah satu menit lebih berlalu, Bright tidak kunjung melanjutkan kata-katanya.
“Bii?”
Sebuah geraman terdengar di seberang sana, “aku juga bingung… biasanya kamu yang mancing aku soalnya...”
Benar juga, when it comes to sex, Win akan selalu jadi pihak penggoda yang handal. Lalu Bright akan dengan senang hati tergiur dan larut dalam permainan.
Win yang kepalang grogi setengah mati pun mulai berpikir keras, bagaimana caranya agar sesi quickie mereka kali ini bisa tetap berjalan lancar.
“Oke, oke,” pemuda manis itu mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan, “berhubung aku lagi di tempat umum, jadi kamu nggak perlu berusaha bikin aku puas. Bakalan susah bersihinnya, and wasting time banget. Jadi begitu kamu keluar satu kali, kita udahan, deal?”
Bright berdehem santai, “okay, deal.”
“Now take off your pants,” gugup, tapi tetap percaya diri, “and get yourself at the best position.”
“Ngikutin kata-kata aku tadi, ya?”
Sepasang bola mata Win memutar jengah, “buruan, udah dilepas belum celananya?”
“Udah, sayang. Udah telanjang aku sejak pertama kamu ngajakin phonesex malah.”
Damn, Win menegang hanya karena seuntai kalimat yang diucapkan pacar nakalnya.
No, no, lo nggak boleh ikutan terangsang, Win… inget… lagi di tempat umum.
Oke, tarik nafas… buang… tarik nafas lagi… buang…
“Bii, aku juga nggak tau kalo ini bakalan berhasil atau enggak, tapi kamu bisa coba dari step pertama,” ada jeda sesaat di ujung kalimat Win, “touch the head with your pretty fingers tip, please...”
Masih langkah pertama, tapi Win sudah bisa mendengar samar-samar kalau Bright mulai tinggi. Entah apa yang sedang pemuda itu lakukan di seberang sana, apakah melewati perintah Win atau tidak, satu yang pasti; Bright has turned on.
“Ssshhh… aku mainin sedikit boleh, yang?”
“Mainin kayak gimana?” sedikit berpura-pura polos, bukan masalah besar, right?
Bright menggeram lebih berat lagi, “aku kocok tititku?” Lalu terdengar desahan panjang yang berhasil membuat keringat dingin mulai keluar membasahi rambut dan pelipis si Manis. “Ahhhh, aku nggak bisa kalo cuma ngelus-ngelus dikit begini, i want more, sayang… Mhhhh,ㅡ”
“Minta yang manis coba...”
Pacar nakalnya itu tampak berdecak kecil, “Shalom, sayang… aku boleh kocok-kocok tititku? Sebentar aja, tititku udah berdiri banget, kasian dia...”
Tenang, Win… tenang…
“Boleh, tapi kocoknya pelan-pelan sambil dengerin kata-kataku, deal?”
“Ahhhhㅡ” Bright memang paling nggak bisa basa-basi. Begitu diperbolehkan untuk mengocok kejantanannya sendiri, maka pemuda itu akan langsung melakukannya. “oke, deal. Mmhhh, Win… ssshhh,”
That's it. Kayaknya Win nggak bisa kalau tetap pada posisinya, diam, sambil menikmati desahan sang kekasih. Lambat laun, tangannya yang bebas turun menyentuh kejantanannya yang masih tersembunyi di balik celana jeansnya. Karena enggan menyusahkan dirinya sendiri, Win pun memilih untuk memanjakan diri dengan mengelus-elus tepat di pusat selatan tubuhnya.
Hanya sebatas elusan, yang diselingi remasan sesekali.
“Imagine that were my hands playing on your dick, Bii...” matanya ikut terpejam, mulai hanyut dalam permainan. “Biasanya aku agak lambat kalau ngocokin kamu, sengaja, to make you suffer and enjoy at the same time. Jadi, ikutin tempo tanganku kayak biasa, jangan terlalu cepet jangan juga terlalu lama. Get it?”
“Ssshhh, y-yeshhh… Win, cepetin dikit boleh?”
“Sedikit aja. Jangan keluar dulu, Bii.”
Lagi dan lagi, Bright menggeram, “iya, e-enggak… ahhhh… remes dikit, sayang...”
Diam-diam Win meremas kejantanannya dari luar, dan di waktu yang sama ia membayangkan kalau tangannya sendiri yang sedang bermain di kejantanan milik Bright. Bergerak naik dan turun secara lambat, lalu berubah cepat di detik berikutnya.
Win dapat memotret imajinasi dimana dirinya sedang berbaring tengkurap di samping tubuh polos Bright yang berbaring terlentang di atas ranjang. Bright yang memejam penuh rasa nikmat, dan pasrah di bawah kuasa dominasinya. Dimana tangannya masih terus memberi kepuasan pada penis yang menjulang malu-malu, berulang kali menggoda Bright untuk meloloskan seuntai desahan.
Tanpa sadar Win ikut melemas. Punggungnya jatuh bersandar di dinding kloset, kepalanya menengadah menahan rasa nikmat.
Sampai sebuah desahan lolos dari ranum merah mudanya, “Bii, ahhhh,”
“Desah terus, sayang… bayangin kalau tangan kamu yang lagi ngocok titit aku, bayangin jari-jari lentik kamu lagi bergerak naik turun, ahhhh… Win, lebih ceper, sayang… Mmmhhh, ”
Gila. Ternyata doing phonesex efeknya jauh lebih dahsyat dibanding saling mengirim voice note porno.
“Sshhh, B-bii,”
Bright masih mendesah berat, tapi nggak butuh waktu lama ia membalas panggilan Win, “y-ya, sayang?”
“Lanjut ke step dua, ya?”
Bright berdehem, pertanda ia setuju untuk naik ke langkah ke-2.
“Make yourself comfortable on the bed, terus kamu ngangkang, buka kaki kamu lebar-lebar, sampai sekiranya ada ruang buat aku duduk di tengah kaki kanan dan kiri kamu,”
“U-udah, yang...”
“Coba sekarang bawa jari telunjuk tangan kiri ke lubang kamu, and let the tip in a little bit, bayangin kalau itu ujung tititku yang berusaha masuk ke sana.”
Win meremas kejantanannya semakin kuat, seiring dengan desahan Bright yang menggema seraya pemuda itu menuruti perintah Win; memasukkan ujung jari telunjuknya ke dalam lubang senggama miliknya yang sering kali digoda oleh Win ketika mereka melakukan foreplay.
Win, memang tidak pernah menjadi pihak yang mendominasi dalam 'posisi' saat bercinta, tapi sisi dominannya yang selalu berhasil membuat Bright pasrah dan bertekuk lutut, dipastikan mampu menciptakan suasana erotis apalagi ketika dengan isengnya, ia pernah hampir memasuki Bright walau hanya sebatas ujung saja.
“Aaahhh, m-masukin sayang, lebih dalem lagi… ssshhhㅡ”
“Sekarang taro hape kamu di nakas, don't stop fingering yourself, dan bawa satu tangan kamu yang bebas buat ngocok titit kamu lagi, kali ini boleh lebih cepet, terserah kamu, biar kamu cepet keluar.”
Dalam bayangan Win, Bright langsung meletakkan ponselnya di nakas sesuai perintah yang baru saja ia ucapkan. Setelah itu, Bright semakin melebarkan kaki jenjangnya, sambil terus memainkan ujung jari telunjuknya di lubang senggama, Bright kembali menangkup kejantanannya. Mengocoknya jauh lebih cepat.
Wajah Bright yang menengadah menahan nikmat, matanya yang terpejam erat, bibirnya yang digigit kuat pun tak jua luput dari benak Win. The way all the scenes feel so real in his mind.
Aaahhhhh… Win mendesah pelan, takut ada orang lain yang berada di luar bilik.
“S-sayang, Mmmhhh… Win, sayang...”
Yang dipanggil berdehem pelan, “kenapa? Udah mau keluar?”
Tanpa Win ketahui, Bright mengangguk ribut di seberang sana, “aahhhh… e-enak… enak banget… aaaaahh, m-mau keluar, aku mau keluar...”
Akhirnya… tiba juga di penghujung permainan.
“Oke, now imagine you're coming right there on my face, go on,”
“Buka dikit mulut kamu, sayang… taste my sperm sedikit, ya?”
“Okay,”
“Aahhh Win, tititku membesar banget… Mmmhhh you should see it, it's getting bigger and redder, aaaaahh...”
“Keluarin, Bii...”
Tidak butuh menunggu lama, Bright mendesah berat dan panjang, “ssshhh, aku keluar...”
“Makasih, sayang… ” kata Bright, yang terdengar begitu lelah.
Win tersenyum, “sama-sama, Bii. Sekarang bersihin badan sama sprei kamu, oke?”
“Okay, habis ini aku ambil kunci mobil terus aku on the way.”
“HAHHH??? MAU KEMANA??? KAMU MASIH LEMES BANGET ITU...”
Bright terkekeh agak keras di seberang sana, “ya ke Bandung lah??? Mau kemana lagi emangnya???”
HAH??? UDAH GILA INI MANUSIA SATU…
. . .
Nggak tau gimana ceritanya, bahkan untuk sekedar mengomel pun nggak sempat sama sekali, tapi pada kenyataannya… Bright sudah tiba di sini.
Sedang duduk santaiㅡ agak sedikit tegang, di atas sebuah sofa empuk di ruang tengah indekos kelas atas yang cukup terkenal di kota Bandung.
Bunyi slurppp terdengar samar-samar ketika cairan susu coklat panas yang dibuat Win sepuluh menit lalu masuk melintasi lidahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam, dan Win masih memilih diam sambil menatap Bright dari ambang pintu kamar.
Kedua tangan bersila di depan dada.
Bright meletakkan cangkir berisi coklat hangat buatan Win di atas meja. Hujan sedang turun mengguyur kota dengan seribu satu cerita romantisnya itu, sehingga Bright rasa… butuh penekanan yang kuat jika ia ingin kata-katanya sampai pada telinga sang kekasih hati.
“Sayang, udahan dong marahnya...”
Win berdecak pelan, “aku nggak marah, Bii. Aku cuma bingung aja kok kamu bisa beneran nekat nyamperin aku ke sini.”
“Kamu izinnya gimana ke Bunda sama Ayah?”
Bukannya langsung menjawab, Bright malah cengengesan, “tadinya aku nggak mau jujur kalau aku mau nengokin kamu ke sini, tapi kayaknya gelagat aku gampang banget dibaca sama Bunda, jadi ya… akhirnya aku jujur aja kalau aku mau nginep semalem di tempat kamu.”
“Mana ada mau nengok, mau ngajak ngewe, kali?!” haduh, haduh, jujur amat sih, kak… tapi Bright nggak kuasa untuk sekedar mengelak, ya karena memang benar, niatnya ke Bandung itu... 50% buat nengok Win, 50% lagi untuk berbuat zinah.
Ya habis gimana dong… ada kali udah setahun mereka nggak ketemu karena udah sama-sama masuk tingkat tua perkuliahan???
Win kalau lagi galak, galak banget. Bilangnya sih nggak marah, tapi Bright tahu banget kalau pacarnya itu lagi kesel banget.
Karena dirasa nggak ada kalimat yang bisa meluluhkan hati si Manis, Bright pun beranjak dari sofa dan melangkah mendekat ke arah Win yang masih bersedekap dada di ambang pintu kamar.
Di bawah minimnya cahaya lampu yang menerangi indekos mewah itu, Bright bisa melihat dengan jelas… pacarnya terlihat begitu cantik walaupun hatinya sedang dibalut emosi.
Bright berhenti tepat di depan Win. Kedua tangannya dengan mudah menemukan jalan untuk merengkuh pinggang ramping sang kekasih, menariknya mendekat sampai bagian depan tubuh mereka saling bersentuhan.
Kedua pasang mata anak adam itu bertukar pandang, dalam, terkunci rapat juga telak.
Bright menyatukan dahinya dengan milik Win, kemudian berujar lembut, “i am sorry, aku masih belum bisa ngontrol rasa kangenku,”* diusapnya penuh sayang pinggang si Manis, “the way i used to see you everyday during our school days back then, aku terbiasa apa-apa sama kamu, jadi begitu kita jauh kayak sekarang… aku banyak bingungnya.”
Win turut mengalungkan dua tangannya pada tengkuk Bright, “tapi bukan berarti kamu bisa dengan mudah bolak-balik Depok Bandung begini dong, Bii,” dielusnya pelan tengkuk sang kekasih, “kamu nyetir sendirian empat jam, emangnya nggak capek? Depok ke Bandung tuh nggak deket, anak nakal.”
Bright memejamkan mata, terkekeh pelan saat Win dengan gemas menjambak pelan surai hitamnya.
Bright bergumam, “capeknya udah nggak berasa begitu aku sampai di sini and finally meet you after a year, i guess?”
Dikecupnya lembut bibir Win, “aku bisa gila karna nahan kangen setahun sama kamu.” bisik Bright, tepat di atas permukaan ranum merah muda si pacar manis.
Win membalas kecupan Bright, kali ini dengan tempo yang lebih lambat, lumatan ikut serta mewarnai acara lepas rindu kedua insan yang selalu dimabuk asmara itu.
Sampai akhirnya mereka lupa waktu.
Sampai akhirnya, tidak ada yang tahu bagaimana dua pasang tungkai itu kini sudah berbaring dengan posisi saling menindih di atas ranjang.
Terlalu pasrah, terlampau rindu, hingga yang tersisa hanya bunyi decapan juga lidah yang saling beradu menyaingi suara hujan.
Tangan Win sudah menemukan jalannya untuk mencengkeram surai hitam Bright. Meremasnya kuat, melampiaskan rasa nikmat yang tak mampu terucap kala Bright menyesap lidahnya, menghisap salivanya dengan begitu nafsu.
Kedua kaki Win spontan melebar, membiarkan Bright semakin masuk ke tengah-tengah tubuhnya yang terlentang pasrah. Nikmatnya cumbuan Bright akan selalu jadi favorit baginya.
*“Ssshhh, Bii,”
Desahan Win sukses membuat Bright gila. Satu tahun sudah ia menahan rindu, juga nafsu yang menggebu-gebu. Malam ini, detik ini, tidak lagi akan ada jeda yang memberi jarak bagi keduanya.
Ciuman Bright turun membasahi rahang tajam Win. Lidahnya dengan percaya diri terulur, menjilat di sepanjang tulang dan berhenti tepat di cuping telinga kiri si Manis. Satu kali lagi desahan Win lolos bagaikan melodi dari musik instrumen klasik kesukaannya.
Satu kata, merdu.
Satu kata lagi, memabukkan.
Bright membasahi cuping telinga Win dengan liurnya. Memberi jejak agar semua orang tahu, Win adalah miliknya. Lalu dikulumnya tulang muda tersebut, giginya sesekali ikut menggesek di sana, membuat si Manis, lagi-lagi meloloskan desahan panjang.
“Bright, ahhh,”
Bright menggigit kecil cuping telinga sang kekasih, lalu bibirnya bergerak turun beberapa inci. Deru nafas Bright yang memburu menyapu halus lubang telinga Win, membuat si Manis meremang menahan sensasi yang sudah lama ia rindukan itu.
“Desah terus, sayang… listening to your moans is just so euphonious.” bisik Bright lembut, lalu bibirnya semakin bergerak turun, mengecap titik-titik yang bisa disentuh leluasa.
Win sudah kehilangan warasnya. Apalagi ketika bibir Bright mulai menjamah bagian dadanya. Pemuda itu mengecup dada bidang Win yang masih terbalut kain satin. Lagi dan lagi sengaja dibuat basah, oleh lidah yang bergerak memutar bermain-main di sana.
Bahkan saat Bright berusaha melepas piyama tidurnya, Win juga cuma bisa pasrah, membiarkan. Ia masih beradaptasi dengan euforia yang sempat hilang selama satu tahun ke belakang.
Win rindu perasaan ini; the best feeling ever when they're missing while hugging under the dim light.
Setelah berhasil melepas piyama atas Win, Bright melempar kain satin itu ke lantai dan matanya sedikit memicing begitu ia dapati ada sebuah standing mirror di dekat jendela yang terhubung dengan balkon.
Satu ide gila muncul di kepalanya.
Bright mengelus sayang pipi Win, meminta lelakinya itu untuk membuka mata. Si Manis, dengan mata sayunya, menatap Bright samar-samar karena sudah kepalang diselimuti nafsu.
“Sejak kapan kamu punya standing mirror?”
Spontan, Win melirik benda yang dimaksud Bright. Bibir bawahnya mencebik sedikit, bagaimana bisa Bright tiba-tiba bertanya soal cermin di tengah percumbuan panas mereka berdua?
Nyebelin.
“Sebulan lalu, aku custom di papanya temenku yang buka usaha bikin furniture rumah tangga gitu.” Win mengulurkan tangannya untuk mengelus bahu bidang Bright, “seminggu lalu aku upload ig story di depan cermin itu, kok. Yang aku selfie pakai turtle neck merah bata kado dari Bunda pas ulang tahun aku tahun lalu.”
Oh iya, Bright baru ingat kalau Win pernah mengunggah foto di depan cermin tersebut.
Lambat laun Bright kembali memusatkan atensinya pada Win. Tangannya bergerak mengelus lengan si Manis yang kini sudah telanjang, terlihat sempurna.
“Sayang,”
Dua alis Win bertaut penuh antusiasme, “hm???””
“Kamu kangen aku kasih rimming nggak, sih?”
Demi apapun, Bright… nggak bisa kasih aba-aba sedikit apa kalau mau ngomong jorok?!!
Tapi ya, nggak bisa dipungkiri, Win rindu bagaimana lidah Bright bergerak memutari lingkar kerut di lubang senggamanya.
Lantas kepala Win mengangguk pelan, “mau… mau rimming.”
“Now take off your pants and get ready,” Bright memilih kecil puting kiri Win, membuat pemuda itu merintih penuh rasa nikmat.
“Terus kamu nungging sambil menghadap ke cermin itu.”
Gila. Win bahkan sudah lupa, berapa kali ia mengucapkan kata 'gila' dalam hatinya hari ini?
Win melirik cermin yang akan jadi saksi bisu pergulatan panas mereka malam ini. Lalu kepalanya mengangguk, seraya membiarkan Bright beranjak dari posisinya untuk menanggalkan sisa fabrik yang menempel di tubuhnya.
Celana berbahan satin berwarna biru dongker miliknya sudah jatuh ke lantai. Tanpa kata, Win membawa tubuhnya untuk menungging, sambil menghadap ke cermin.
Rasanya malu setengah mati. Wajahnya benar-benar terlihat seperti seorang yang haus akan sentuhan. Sepasang matanya sayu, sedikit berair. Pipinya dipenuhi rona merah. Bibirnya basah, mengkilap, sedikit terbuka.
Win bisa melihat kalau dirinya 100% telanjang di bawah minimnya cahaya. Dua tangannya bertumpu menahan berat tubuh, dua kakinya sengaja dibuka lebar, penisnya ikut menggantung dan sesekali bergerak antusias.
Win memerah hanya dengan melihat keadaannya sendiri.
Terlalu fokus dengan dirinya, Win sampai kecolongan momen dimana Bright perlahan-lahan mendaratkan lidah di permukaan lubang senggamanya. Win menutup rapat bibirnya, menggigit kecil bibir bawahnya.
Lidah Bright bergerak memutar, sesekali menekan-nekan lubangnya seolah ingin menerobos masuk dalam hitungan detik.
Wajah Win semakin memerah. Matanya semakin dipenuhi kabut nafsu dan semuanya terlihat jelas di cermin besar itu.
Benda tak bersuara itu merekam semua aktivitas panas keduanya. Bagaimana Bright melesakkan lidahnya masuk sampai membuat Win terengah-engah, bagaimana Bright memakan habis lubang senggamanya sampai membuat Win menitikkan air mata, bagaimana Bright menjilat dinding rektumnya sampai membuat Win tak kuasa mencengkram sprei putih di bawahnya.
“Ahhhh, deeper… d-deeper, pleaseshhh...”
Dan tentu saja Bright akan menuruti. Pemuda itu melesakkan lidahnya jauh lebih dalam, mengecap dinding yang terasa manis jika disentuh ketika jatuh cinta.
Sampai akhirnya tubuh Win menegang sempurna. Ia klimaks untuk kali pertama, hari itu.
Bright membiarkan Win menikmati orgasmenya sampai selesai. Pemuda itu turun beranjak dari ranjang setelah ia berikan satu ciuman panjang di bibir penuh sang kekasih.
Bright melangkah menuju nakas yang ada di sisi ranjang, membuka laci pertama, lalu mengambil sebungkus kondom dengan varian rasa strawberry, kesukaan Win.
Melihat Win yang belum selesai dengan klimaksnya, Bright pun memasang benda silikon itu pada kejantanannya yang sudah berdiri, menjulang dengan begitu gagah.
Bright mengocok pelan kejantanannya, sambil ia duduk di sisi nakas, menatap Win yang masih gemetaran merilis spermanya.
Indah, indah sekali.
Masih sambil mengocok kejantanannya, Bright perlahan-lahan naik ke atas ranjang. Ia memposisikan tubuhnya tepat di atas tubuh Win, menggoda si Manis dengan menggesek penisnya tepat di belahan pantat pacarnya itu.
Win membuka pejaman matanya. Pemandangan Bright yang tengah bergerak maju mundur di belahan pantatnya terpampang jelas dari cermin.
Seketika, nafsu Win kembali meningkat.
Tanpa ragu, ia membawa tangan kirinya ke belakang, merebut kejantanan Bright dan memasukkannya ke dalam lubang senggama.
Bright yang sedikit kaget dengan aksi Win pun tak mau banyak bertingkah. Lantas ketika dirasa penisnya mulai masuk membelah dinding sang kekasih, Bright mengambil alih dominasi.
Keduanya saling bertatapan lewat cermin, meski Win harus memejam di detik-detik pertama Bright mulai bergerak maju dan mundur.
Dari cermin, Win bisa melihat, bagaimana memabukkannya situasi dimana mereka sedang bercinta.
Sambil bergerak maju dan mundur mencari titik nikmat sang kekasih, Bright memeluk Win dari belakang. Dikecupnya lembut tengkuk dan bahu telanjang si Manis,
“Desah, sayang… ikutin aku… aaaaahh, Bright,”
Win menelan salivanya susah payah. Bright mulai mengecup bagian atas tubuhnya, sedangkan di bawah sana… Win masih terhentak kuat mengikuti irama genjotan Bright.
Win menggeram, “Ahhhh, Bright, ahhh...”
Nikmat, sangat nikmat.
Bahkan ketika Bright, satu kali lagi, mengajaknya berciuman sambil terus bergerak konstan menghujam lubang senggamanya, Win masih mampu mendesahkan nama Bright,
“Mmmhh, feel so good, Bii… genjot lagi… aahhh...”
Bright mengecup sudut bibir Win, lalu beralih menghujani sisi tubuh Win dengan ciuman kupu-kupu, “cantiknya... pacarku cantik banget...”
Maju, mundur, maju, lalu mundur lagi... Win benar-benar dibuat tak berdaya dengan gerakan konstan Bright yang begitu nikmat.
Sambil bergerak, Bright mengelus sayang pinggang ramping Win yang terhentak menyamai genjotan penisnya.
Win yang pasrah di bawah dominasinya, Win yang susah payah menahan desah, Win yang banjir keringat dengan wajah dipenuhi kabut birahi... terlihat begitu manis di mata Bright.
Dalam keadaan apapun, Win akan selalu jadi yang paling cantik.
Yang paling manis.
Hingga sekitar tujuh kali hujaman lagi, Win kembali menjemput putih.
Bright, juga menjemput klimaks dan merilis cairan cintanya di dalam kondom yang masih terkubur di dalam lubang senggama Win.
Bright belum berhenti menghujam sang kekasih,
Masih terus bergerak menghabiskan sisa kenikmatan,
Sambil menghujani punggung telanjang Win dengan ciuman-ciuman hangat…
“Thank you, sayang, i love you.”
Dan malam itu ditutup dengan keduanya yang kembali bercumbu, sembari menjemput kantuk.
Juga disertai cerita singkat tentang apa yang terlewati selama satu tahun ini.
Keduanya masih saling merindu, dan akan selalu merindu.
. . .
WRITTEN BY: JEYI.