RIVAL 🔞

Sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan ribut, Metawin kembali berhasil membuat Bright yang kepalang mabuk tertawa geli dan geleng-geleng kepala karena pemuda yang sudah di awang-awang itu baru saja membenturkan kepalanya ke pintu kamar dengan sengaja.

“APHWA MAKFHSUD LOE KHETWAIN GJUE HA?!!”

How funny, even the way he talked when he's drunk is… quite cute.

“Kamu lucu, mau nggak jadi submissive saya?”

TAGS: IMPLICIT CONTENTSㅡ rival!brightwin; harsh words, involved sex in public, drunk talk, drunk kissing, drunk sex, handjob, blowjob, chest play, doggy style, mentioning of mirror sex, VERSATILE (switch)!bw-wb 🔞 total words: 8.480 words. commissioned by: anonymous.


Astro dan Velence.

Siapa yang nggak tau dua nama perusahaan clothing terbesar yang lagi nge-hits di kota Bangkok?

Astro VS Velence.

Siapa pula yang nggak tau tentang perseteruan yang terpampang jelas di muka publik tentang persaingan ketat antar kedua clothing brands itu?

Bukan rahasia umum lagi jika Astro dan Velence selalu jadi satu-satunya eh, atau salah dua, ya? sumber masalah yang tercipta di kota Bangkok selama 2 bulan sekali. Dua Perusahaan clothing yang namanya sedang melejit di pasaran itu selalu berhasil mengisi headline-headline di beberapa media berita seperti koran, website harian dan juga di siaran radio yang bisa disimak setiap jam 9 pagi. Hectic hours.

Bukan, bukan karena lagi dan lagi dua clothing brands itu berhasil menciptakan rekor penjualan terbaru. Yah, kalau itu sih memang mereka jagonya. Tapi yang membuat masyarakat Thailand khususnya warga Bangkok geleng-geleng kepala adalah isi dari berita yang tersebar tentang dua perusahaan itu.

ă…ˇ PENJUALAN BULAN APRIL, SIAPA YANG BERHASIL MENDUDUKI TAHTA TERTINGGI KALI INI? ASTRO? VELENCE?

Dari judulnya sih, menarik. Karena memang kualitas yang diberikan kedua perusahaan itu tidak pernah main-main. Ada banyak sponsor yang memajukan karir dua perusahaan itu, tapi naas, yang justru dibahas bukanlah tentang bagaimana Astro dan Velence selalu menomorsatukan kualitas dan pelayanan terhadap pelanggan mereka. Tapi tentang siapa yang paling hebat dan siapa yang kalah dalam persaingan bulan ini.

Kompetisi ala-ala yang secara tidak langsung sudah jadi konsumsi publik pada bulan Februari dimenangkan oleh Astro. Selisih penjualan kedua perusahaan itu hanya 0,01% yang mana tidak terlalu besar tapi berhasil membuat Win kebakaran jenggot.

Pagi ini, dengan segelas kopi hangat yang sesekali ia putar di atas piring kecil, Win menatap layar laptopnya lamat-lamat.

“Website udah dicek lagi, Mix?”

Mix yang duduk di sofa ruang kerja Win pun mengangguk. Pemuda yang bekerja sebagai asisten Win sekaligus merambat sebagai sahabat baiknya itu menutup tabloid yang sejak tadi ia baca. Tubuhnya bergerak, sepasang tungkainya lambat laun melangkah menghampiri Win yang sudah satu jam duduk di balik meja kerjanya dengan mata terfokus pada layar laptop.

Ditariknya sebuah bangku yang diperuntukkan untuk tamu penting di meja kerja sang sahabat, “mendingan sekarang lo berdiri terus ngeliatin pemandangan di luar gedung deh, Win. Gue khawatir banget ngeliat lo dari tadi cuma diem sambil mandangin laptop.”

Win bergeming. Jari telunjuknya yang panjang sibuk menggulir mouse yang membuat isi di layar laptopnya bergerak cepat. Menampilkan gambar dan diagram pencapaian Velence bulan Februari kemarin.

“Udah satu jam lo ngeliatin laptop heh, apa nggak sakit itu mata lo?” lama-lama gemes juga, habisnya Win seakan-akan nggak mau mendengar perintah yang keluar dari mulut Mix.

Win kembali menggulirkan jarinya di atas mouse, “no, salah.”

Satu mata Mix memicing bingung, “maksudnya?!”

“Gue udah dua jam standby di sini.”

Lebih gila dari perkiraan Mix… Melihat sang sahabat yang merupakan CEO dari perusahaan tempatnya bekerja sekarangㅡ VELENCE. untuk mondar-mandir sambil membaca ulang hasil presentasi karyawan-karyawan, atau mendekam berjam-jam lamanya di balik layar komputer dan laptop, bukan lagi sebuah pemandangan baru.

Win adalah sosok CEO yang patut diacungi jempol. Selalu kerja dengan sepenuh hati dan maksimal. Tapi yang Mix heran, kenapa Win sering kali merasa tersaingi oleh perusahaan sebelah?

Seolah-olah seluruh hasil kerjanya yang menghabiskan banyak keringat dan air mata selalu saja kalah jika dibandingkan dengan perusahaan yang satu itu.

Dan Mix yakin, alasan utama Win sibuk dengan laptopnya pagi ini di saat jarum pendek jam baru saja melewati angka 7 adalah eksistensi perusahaan sebelah, alias Astro. Yang selalu sukses membuat bos-nya itu migrain dan overthinking.

Lantas Mix menghela nafas, “yang bener aja deh lo, Metawin...”

Yang diprotes perlahan-lahan melirik ke arahnya, satu alisnya bertaut tidak terima, “kenapa, sih? Kayak nggak pernah liat gue ambis aja?!”

“Nggak gitu,” Mix paham betul, dalam situasi seperti ini, Win tidak bisa diajak bicara pakai urat dan otak. Harus pakai hati, pelan-pelan tapi menusuk jauh ke dalam lubuk hati si bos. Bolpoin yang sejak tadi tergeletak pasrah di atas meja kerja Win pun kini berpindah ke sela jari tangan Mix.

“Tapi serius deh, Win. Nggak ada yang perlu lo khawatirin soal Astro. Maksud gue, iya… kalian emang handle perusahaan yang sama. I mean, dari ranah yang sama, target pasar bahkan items yang dirilis pun sama. Tapi lo tau sendiri, people are having their own preferences.”

Diamnya Win menjadi sinyal kalau Mix bisa melanjutkan ucapannya.

“Ibarat kata gue ini orang awam, kalau gue lagi pengen beli Velence maka gue akan beli Velence. Begitu juga sebaliknya, kalau gue lagi pengen beli Astro, ya pasti gue bakalan beli Astro. Lo paham maksud gue, 'kan?”

Ketenangan masih jelas tergambar di wajah sang CEO. Penampilan yang tidak terlalu mengintimidasi dengan balutan kemeja oranye yang lengannya sengaja digulung sampai ke siku, membuat Win terlihat cukup 'aman' untuk ukuran orang yang sedang gugup menyambut jam perilisan items terbaru dari perusahaannya.

Ya, sebuah persaingan ketat dua bulan sekali akan terjadi lagi hari ini.

Velence dan Astro akan merilis produk baru masing-masing tepat pada jam 2 siang.

“Lo nggak paham, Mix,” suara Win yang terdengar tenang pun tak luput mampu menipu Mix yang terlanjur mengenal baik siapa sosok di depannya ini. Bahkan punggung yang sudah bersandar santai di bangku pun masih cukup jelas membuat Mix sadar kalau bos-nya ini sedang dilanda stress berkepanjangan.

Mix mengembalikan bolpoin milik Win yang sempat ia mainkan sebentar tadi ke tempatnya semula.

“Then tell me, give me a solid reason kenapa lo selalu sepanik ini setiap mau rilis new items barengan sama Astro?”

Aduh, aduh, Win harus jawab apa, nih? Masa iya jawaban menjunjung tinggi jiwa kompetitor and it's all about the damn pride akan terdengar masuk akal di telinga Mix?

Bisa-bisa Win dicap sebagai bos cemen, payah atau apalah itu.

“Ya..,” terdapat jeda pada ucapannya. Win melirik Mix satu kali lagi sebelum ia alihkan atensinya menuju jendela, “karna Velence Astro punya produk yang serupa tapi tak sama? Ada kekhawatiran tersendiri di dalam diri gue, kalau-kalau Velence bakalan kalah saing di pasaran karna adanya Astro. Come on, Mix, mereka kadang naro harga di bawah kita and it sometimes makes me anxious to hell.”

Oke, masuk akal. Harga jual Astro yang lebih murah pada beberapa itemnya ternyata jadi bahan overthinking si bos besar.

Tapi setahu Mix, Velence tak pernah punya masalah dengan itu. Grafik penjualan setiap dua bulan sekali selalu menyentuh titik maksimal dan sejauh ini Velence belum pernah merasa rugi.

“Oke, oke, gue paham,” satu kali lagi, Mix akan mencoba untuk bantu menurunkan tensi si bos, “tapi kalau boleh jujur ya, Win, nggak ada satu hal pun yang bisa lo anggep serius dari adanya Astro dan segala kebetulan kenapa Velence Astro selalu rilis new items di hari dan jam yang sama. Kayak apa yang gue bilang tadi, Velence punya peminatnya sendiri so does Astro.”

Kali ini Win tidak langsung balas mendebat. Pengusaha muda itu menggaruk canggung pangkal hidungnya seolah ingin menyanggah ucapan Mix dengan modal denial.

Helaan nafas pelan terhembus dari belah bibir Win, “Februari kemarin Velence kalah dari Astro.” tandasnya.

“Dan gue nggak mau kalau sampai bulan ini Velence harus dibuat malu lagi karna kalah dalam jangka waktu dua bulan.”

Mix mengerti perasaan Win, tapi, “Velence nggak kalah, Win. Selisih penjualan bulan Februari tuh bahkan cuma nol koma satu persen. Oke, emang final result kita di bawah Astro, tapi Velence berhasil megang posisi pertama trending topics Thailand dan itu jadi kemenangan tersendiri karna kita dapet engagement.”

“It's all about pride.”

Kan, kan, kan! Mix sudah menduga kalau semua ketakutan Win memang sebatas pride semata. Untuk ukuran Mix selaku pegawai yang punya jabatan tidak terlalu tinggi di perusahaan pastilah bermain harga diri bukan porsinya.

Tapi untuk Win? Harga diri adalah segalanya.

“Winㅡ”

Win kembali menghela nafas, “no, Mix, you don't understand. Gue nggak akan pernah terima kalah dari Astro lagi, mau ditaro mana harga diri gue.”

Perilisan produk terbaru dari setiap perusahaan clothing tentunya akan jadi perbincangan hangat bagi para investor yang hampir setiap hari memantau pergerakan statistika penjualan dan minat masing-masing brand. Kalau kali ini Velence kalah saing lagi, bisa-bisa semua investor menarik diri dan berpindah ke pihak Astro.

Lantas Win mematikan laptopnya dan menenggak habis sisa kopi yang ada di dalam cangkir. Pengusaha muda itu beranjak meninggalkan bangku singgasananya, “lo refresh terus website biar nggak ngecrash. Jangan sampai pas jam dua belas, ada kendala yang butuh waktu lama untuk ngebenerinnya. Maksimal, kita cuma butuh kerja maksimal biar Velence bisa balik ke posisi pertama.”

Titah seorang Win adalah mutlak hukumnya. Oke, memangnya Mix bisa apalagi selain mengangguk mengiyakan permintaan si bos?!

Tapi… ini masih jam setengah delapan lebih, bos?????

. . .

“Bank, udah coba kamu calling staff yang handle pertemuan malam ini, apakah acara benar-benar tertutup untuk umum?”

Sebuah cermin besar yang tersimpan di ruang kerja Win memantulkan wujud seorang CEO muda yang malam ini terlihat tampan dengan balutan kemeja gelap, dasi kupu-kupu dan juga tuksedo hitam bermotif hasil karya seorang desainer ternama di Bangkok.

Rambutnya yang ditata rapi sedemikian rupa menambah kesan tampan dan mahal sosok Metawin yang akhirnya, setelah berbulan-bulan, berhasil membawa Velence kembali ke posisi pertama tangga perusahaan clothing di Thailand, mengalahkan Astro.

Lewat cermin Win melirik Bank, sekretarisnya yang juga sudah rapi dengan pakaian formal berdiri di dekat meja. Sang sekretaris mengangguk tanpa ragu, “sudah, Sir. Dan Miss Jane bilang, acara akan dimulai setengah jam dari sekarang.”

“Jane, anak buah CEO Astro?”

Bank mengangguk, “yes, Sir.”

“Oh, alright. Saya lupa kamu berteman baik dengan Jane.” Kekehan kecil namun penuh dominasi lolos dari belah bibir penuh sang pengusaha, “setengah jam lagi acara akan dimulai?”

“Yes, sir. Dan acara diperkirakan akan selesai tepat pada pukul sepuluh malam.”

Oh, shit. Jarak dari kantor Velence menuju Lupin Bar diperlukan waktu sekitar satu jam, tanpa kemacetan. Berusaha tetap terlihat tenang di depan sang sekretaris, Win pun hanya memberikan anggukan sebagai jawaban sambil sesekali merapikan tatanan tuksedonya.

“Oke, kita berangkat sekarang.”

Bank membungkukkan memberikan hormat, mempersilakan Win untuk berjalan lebih dulu. Sambil mengikuti langkah kaki sang atasan, Bank berusaha mengajak Win berbicara.

“Sir, this is such an exclusive event, am i really allowed to stay there to accompany you?” Berhubungan Mix berhalangan hadir, mau tidak mau Win meminta Bank untuk mendampinginya selama acara pertemuan berlangsung.

Win tidak ingin apa yang terjadi di pertemuan-pertemuan sebelumnya kembali terulang tahun ini. Mematung dalam kesendirian bukan lagi levelnya, jika Mix tidak bisa diandalkan tahun ini maka Win bisa menarik Bank untuk ikut bersamanya.

Tidak akan ada lagi Win yang melangkah seorang diri seperti tidak punya teman di tengah kerumunan orang berkostum formal yang asik melempar sapa, canda dan tawa. Tidak akan ada lagi Win yang cuma bisa bersenda gurau dengan sebuah sloki pemberian bartender asing yang sibuk melayani ke sana dan ke sini.

Win, jelas, akan menikmati malam ini sebagai seorang pemenang.

. . .

Ujung sepatu pantofel hitam milik Win berulang kali menciptakan bunyi tuk… tuk… tuk… dan dengan samar terdengar di tengah alunan musik khas diskotik pada umumnya. Bunyi yang terus saling beradu menjadi hiburan tersendiri bagi pemuda itu kala dirinya memasuki pintu utama bar, dan disambut oleh beberapa orang sekuriti yang siap mengantarkannya sampai ke dalam.

Win memasukkan kertas undangan ke dalam saku bagian dalam tuksedonya. Mata si pengusaha sesekali melirik Bank, memberi sinyal pada sang sekretaris untuk mendekat.

“Bank,”

Dengan sigap Bank menjawab, “yes, Sir? Do you need anything?”

“Oh, no,” kepalanya menggeleng pelan, “selain diagendakan untuk merancang clothing exhibition akhir tahun nanti, apa ada kegiatan lain untuk malam ini?”

“Tidak, Sir. Pertemuan malam ini hanya untuk membahas perencanaan pameran yang akan diselenggarakan akhir tahun.”

“Kita bisa pulang setelah rapat selesai?” tanya Win, lagi.

Bank mengangguk, “tentu bisa, Sir.”

“Oke, kalau begitu kita pulang setelah rapat selesai. Oh iya, Bank,” situasi formal dimana beberapa petinggi perusahaan clothing ternama saling duduk berdampingan melingkari sebuah meja bundar menyambut langkah kaki Win yang semakin memasuki area bar.

Win menatap acuh kumpulan orang-orang yang sejatinya merupakan saingan baginya itu, lalu mendekatkan tubuh semampainya pada si sekretaris, “go enjoy the night, drink anything you want and i would enjoy mine as well there.”

Bank mengikuti arah pandang Win yang mengarah pada beberapa pria berjas yang terlihat sedang bersenda gurau sambil bersulang sesekali di tengah-tengah bar. Paham atas apa yang diperintahkan sang bos, Bank pun mengangguk lalu menunduk undur diri.

Meninggalkan Win yang masih bergeming di tempatnya. Diliriknya sebuah jam mahal yang melingkari pergelangan tangan kirinya, oh sudah jam 8 malam rupanya.

Lantas dengan mantap ia bawa kedua tungkainya membelah keramaian. Win, tanpa basa-basi langsung mengambil posisi duduk di bangku yang kosong, tepat di samping CEO dari perusahaan clothing yang menjadi musuh besarnya belakangan iniă…ˇ Bright Vachirawit, Astro's CEO.

“Took you so long to come here, Sir?” Suara berat yang datang dari sisi kanannya memaksa Win untuk mengukir seulas senyum ramah. Win mengulurkan tangan kanannya, menjabat tangan seorang CEO perusahaan clothing seniorㅡ AGLAZEA, Off Jumpol Adulkittiporn.

“Nice to meet you again, Mr. Adulkittiporn.”

Off menyambut uluran Win tak kalah ramah. Dulu, saat Velence baru 'beroperasi', Off banyak sekali membantu Win untuk memulai karirnya itu. Off bahkan dengan senang hati menjadi investor pertama Velence saat itu, sebagai dukungan yang ia berikan untuk Win yang sudah dianggap seperti adik sendiri.

Satu alis Off bertaut penuh antusias, “hello again, Mr. Opas-iamkajorn. It is such a blessing to ever meet you again as the winner of this month's competition.” Sebuah kedipan jahil bahkan Off berikan mengiringi ucapan selamatnya.

Perkataan Off barusan jelas mengundang atensi dari beberapa petinggi perusahaan clothing yang sayangnya, tidak semua Win kenal secara personal. Seorang pria gagah dengan balutan tuksedo birunya bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Win.

Tangannya terulur, “welcome and congratulations Mr. Opas-iamkajorn.”

“Thank you so much, Mr. Wongravee Nateetorn.”

“Congratulations for winning the second place, Mr. Chivaaree.” Tiba-tiba Win termenung menahan rasa kaget yang bercampur gugup. Pasalnya, Skyㅡ CEO perusahaan clothing senior “IGLE.ZY” baru saja mengucapkan selamat atas “kalahnya” Astro pada kompetisi bulan ini dengan posisi tangan masih bersalaman erat dengan tangannya.

Win ragu-ragu menatap dua tangan yang masih saling bertautan, lalu melirik CEO Astro yang duduk di sampingnya, yang terlihat acuh sambil menenggak cairan beralkohol di dalam sebuah sloki.

Situasi di meja pun sempat lumpuh selama beberapa saat sebelum akhirnya salah seorang CEO dari perusahaan clothing yang Win tidak begitu mengenal namanya, memecah keheningan.

“Jadi juara dua bukan berarti kalah, Sir.”

Tapi si CEO Astro hanya menanggapi dengan sebuah seringai dan tawa acuh.

Cih, arogan.

Sky pun akhirnya melepaskan tautan tangannya dengan Win dan berjalan kembali ke bangku yang sempat ia tinggalkan. Jajaran-jajaran pengusaha yang didominasi oleh pria-pria matang kini tampak mulai serius membahas tentang project pameran busana yang akan dilaksanakan akhir tahun nanti.s

Beberapa kali Win menyampaikan saran dan pendapat. Entah mengapa, kali ini Win merasa jauh lebih diterima dan dianggap, uh… apakah karena Velence berhasil merebut 'piala' dua bulanan yang kerap kali jadi bahan lelucon bagi para pengusaha-pengusaha senior ini?

Entahlah, Win enggan mengambil pusing.

Saat dirasa rapat penting sudah berakhir, Win izin pamit untuk menikmati malam versinya sendiri. Setelah diledek beberapa kali oleh para petinggi perusahaan clothing senior di sana, akhirnya Win bisa membebaskan dirinya untuk segera mengambil posisi duduk di salah satu meja kosong yang berhadapan langsung dengan beberapa bartender.

“Give me one drink that could make me feel high, please, Sir.”

Katakanlah Win gila, atau sedang kehilangan batas warasnya, atau kuno mungkin lebih tepatnya? Dengan santai lelaki itu duduk di depan seorang bartender yang sedang sibuk meracik suatu minuman, lalu meminta dibuatkan minuman yang… namanya sendiri saja ia tidak tahu.

Si bartender tersenyum kecil menyambut kedatangan Win, “welcome and congratulations for your achievement this month, Mr. Opas-iamkajorn.”

Hahaha, Win baru tahu, oh... begini ternyata rasanya dihargai. Setelah bertahun-tahun lamanya ia hanya dianggap anak bawang dalam lingkaran pengusaha-pengusaha kaya yang masih asik bercengkrama di meja bundar sana. Akhirnya, malam ini, he got to stand on 'that' spot.

Win mengulas sebuah seringai di ujung bibirnya, “beritanya menyebar secepat itu?” Ah, berpura-pura polos dan sombong sedikit tidak apa, 'kan?

Si bartender tertawa seraya kepalanya mengangguk antusias, “it spreads all over social media, i guess? Once again, congratulations, Sir.”

“Penfolds Bin 707 Cabernet Sauvignon?”

“Uh?” Kedua alis Win bertaut bingung, sedangkan si bartender hanya terkekeh sambil menggoyang sebuah botol kaca berwarna hitam dengan bagian tutup botol mencolok dengan warna merah.

“Well, i don't drink usually and my alcohol tolerance is kinda ugh, not gonna say it, tapi kayaknya saya memang butuh sesuatu yang sedikit spesial, to release my stress you know, so give me anything you think it could help.”

SRRRRTTTㅡ, “give him a glass of it.”

Win menoleh ke sisi kanan dan wajahnya seketika menegang begitu sosok yang amat sangat ia hindari, kini duduk dengan angkuh di sampingnya. Alis yang bertaut karena penasaran dengan ucapan bartender barusan nyatanya mampu bertahan lama, sepasang rambut-rambut halus itu masih saling bertaut menyambut kehadiran CEO Astroă…ˇ Bright, yang terkesan tiba-tiba.

Sang bartender mengangguk paham, “how about you, Mr. Chivaaree?”

“hm,” Bright melirik Win yang terlihat risih dengan kehadirannya, “give us a pair of glasses then.” Lalu wajahnya yang angkuh itu kembali menghadap ke arah si bartender, “thank you.”

Lantas setelah Bright menyelesaikan pesanannya, sang bartender pun mulai sibuk untuk meracik dan mempersiapkan.

Bright, masih dengan wajah angkuhnya menatap lurus ke depan. Seolah-olah sengaja untuk duduk di samping Win, lalu mengabaikannya seakan-akan Win tidak ada di sana.

Win berdecak, keberadaan Bright benar-benar mengganggu baginya.

“Metawin Opas-iamkajorn,”

Win tercengang bingung, apalagi ketika Bright perlahan-lahan mulai menatap ke arahnya. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang punya kebebasan di alam liar. Sepasang obsidian gelapnya menyala, ada kilat penuh rasa tidak suka yang terpancar di sana.

“The CEO of Velence,”

Dan Win benar-benar mengutuk cara Bright berbicara. Angkuh, penuh kebencian.

“The winner of this month's competition,”

Penuh dominasi, tidak mau dianggap kalah. Bahkan dari caranya menatap pun, Win tahu, Bright adalah seseorang dengan harga diri setinggi langit.

Bright memajukan bangku putarnya mendekat ke arah Win, wajahnya yang angkuh itu miring ke sisi kanan memperlihatkan seringai penuh ejek, “how does it feel to be in the first place, hm?”

Win balas menatap Bright tak kalah tajam, seringai kecil ikut menyapa malu-malu lewat sudut bibir tebalnya, “Mr. Vachirawit Chivaaree,”

Yang dipanggil menganggukkan kepalanya.

“How does it feel to be defeated?” Win mengangkat dagunya, membuktikan kalau bukan hanya Bright yang bisa menyombongkan diri, “by me to be exact.” lanjutnya.

“The most anak bawang in that high class circle.” Dagunya mengarah pada meja yang sudah ia tinggalkan sejak beberapa menit lalu. Masih ada beberapa petinggi perusahaan clothing yang saling bertukar cerita dan canda di sana.

Bright enggan mengikuti arah pandang Win. Lelaki yang malam itu berbalutkan kemeja berwarna senada dengan yang dipakai oleh Win, juga dengan sebuah outer coklat tua, memilih untuk menyambut uluran tangan bartender yang memberikannya sebuah gelas berisi cairan berwarna gelap.

“Here's your order, Sir.”

Bright bergumam menyahuti, “thanks.” Lalu menggeser gelas yang diperuntukkan untuk Win, membiarkannya berhenti tepat di hadapan sang lawan minum.

“Kamu nggak dengerin saya ngomong, ya?”

Sambil menyesap minuman beralkohol miliknya, Bright melirik Win dengan ekor mata. Oh, si 'anak bawang' sudah selesai dengan curahan hatinya, ternyata.

Takkkă…ˇ, gelas yang dipegang Bright berhasil mendarat dengan sempurna di permukaan meja. Sang CEO dari perusahaan Astro itu melirik Win yang duduk di sebelah kirinya satu kali lagi, lalu mengangkat tangan kanannya guna memanggil bartender yang tadi sempat melayani.

Tanpa kata-kata, Bright menggeser gelasnya yang sudah kosong ke arah sang bartender. Seolah mengerti dengan maksud dari gesture si CEO, bartender itu langsung menjalankan pekerjaannya untuk mengisi ulang gelas milik si Chivaaree.

Win, semakin merasa dirinya sedang dipermainkan.

Ck, pria-pria tua yang melingkari meja bundar tempat mereka melakukan rapat beberapa saat lalu itu bahkan mampu untuk menghargai dan menganggap Win walaupun hanya sebatas formalitas belaka. Tapi lihat, Bright, laki-laki ini malah mencampakkannya? Tidak bisakah dia berpura-pura untuk sedikit menghargai harga diri Win?

Dengan perasaan kesal yang membuncah, Win mengambil gelas berisi minuman beralkohol miliknya sendiri dan menenggak seluruh cairan itu sampai habis dalam satu kali tarikan nafas. Win membanting pelan gelas dalam genggamannya ke atas meja, matanya terus berfokus pada sosok yang merupakan saingan terberatnya di dunia bisnis itu.

Hingga seorang bartender kembali menyajikan minuman untuk Bright, Win ikut-ikutan melakukan hal yang serupa, “give me more.” Katanya, penuh amarah.

Win berusaha melirik Bright lewat ujung mata, menerka-nerka bagaimana respon si CEO sombong atas kemarahannya. Tapi gilanya, Bright justru dengan santai malah kembali menikmati minumannya. Bibirnya menyesap permukaan gelas, perlahan-lahan memindahkan cairan gelap dari dalam gelas masuk ke dalam rongga mulutnya.

“I am sorry, Mr. Opas-iamkajorn, ain't your alcohol tolerance is below 40%?”

Apa-apaan ini? Si bartender yang tadi sempat menyanjungnya atas segala pencapaian Velence bulan ini, sekarang malah membuat Win malu di depan Bright?!!

Win menatap tajam bartender itu, lalu ujung bibirnya terangkat penuh percaya diri, “i was joking and you believed it?”

“God, where's the logic of me can't drink alcohol?”

Tanpa Win sadari, Bright kini tersenyum meremehkan di posisinya.

Sang bartender mengulum kecil bibirnya, ragu. Apakah ia harus menuruti permintaan Win, padahal beberapa menit lalu lelaki itu baru saja membuat pengakuan kalau dirinya memiliki level toleransi yang cukup buruk dengan berbagai jenis minuman beralkohol?

Kalau Win ends up dengan kondisi yang memprihatinkan, akankah sang bartender menjadi tersangka utama dan namanya akan tersemat di segala media pemberitaan lokal?

“I asked you to serve me one more glass,”

Win mengulang ucapannya, darah di dalam tubuhnya semakin mendidih karena ulah bartender di depannya.

Sang bartender ragu-ragu melirik Bright yang tampak acuh di tempatnya duduk. Merasa sedang dimintai jawaban, akhirnya Bright menganggukkan kepalanya, “give him more.”

Lantas dengan cepat bartender itu melakukan pekerjaannya. Meninggalkan Bright yang kembali menyesap cairan Penfolds Bin 707 Cabernet Sauvignon miliknya, juga Win yang entahlah sadar atau tidak, kini sudah menggeram sambil mengepalkan satu tangannya.

Win membuang nafas dengan keras, “why the fuck he's asking for this motherfucker's consent?”

“Because you're suck at this?”

SUCK WHAT?!! Win lagi dan lagi melirik Bright yang seolah enggan menatap balik ke arahnya, “maksudnya?”

Bright menyesap kembali tetes terakhir dari gelasnya, lalu balas menatap Win dengan tatapan angkuh yang semakin membuat Win ingin mencolok matanya dengan jari telanjang.

“You are suck at everything you do. Termasuk juga tingkat toleransi kamu dengan minuman-minuman beralkohol yang ada di sini.”

Di tengah-tengah peperangan yang terjadi lewat dua pasang sorot mata tajam yang kini saling menatap penuh dominasi, sebuah gelas kembali tersaji tepat di depan Win.

“Here's your order, Mr. Opas-iamkajorn.”

Lalu tanpa ucapan terima kasih, Win langsung menenggak seluruh cairan itu lagi dan lagi dalam satu tarikan nafas. Keduanya masih saling bertatapan, “but Velence is now at its first place again, i am one hundred percent successful to beat you.”

Ada seringai di wajah angkuh Bright, “kamu cuma hoki aja.”

That's it. Win jadi merasa tidak pernah menyesal sudah mengibarkan bendera perang pada orang ini dan perusahaannya.

Win yang merasa emosinya semakin dipermainkan pun kembali memanggil bartender. Satu kali lagi, ia meminta gelasnya untuk diisi. Dengan minuman yang sama juga dengan volume yang sama.

Otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih, bahkan Win sendiri bingung kenapa kesadarannya masih 100% penuh padahal sebelumnya Win akan selalu berakhir blackout ketika menghabiskan gelas ke-2 nya.

Bright masih menatap Win yang sudah mulai jengah dengan eksistensinya. CEO Velence itu enggan untuk balik menghadap ke arahnya dan memilih untuk menunggu minuman yang ia pesan dengan raut kesal yang mendominasi wajah tampannya.

“Never expected that Velence and Astro would be best friends and sit together just the two of you like this.”

Gun Atthaphană…ˇ CEO perusahaan clothing 'The AB:S' tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. Lelaki yang malam itu terlihat tampan, anggun dan mahal di waktu yang bersamaan melempar senyum bagi kedua pengusaha termuda di lingkaran pertemanan dimana ketiganya sama-sama bergabung di sana.

Raut bringas yang selama ini menghiasi wajah Bright hilang entah kemana, pun juga sepasang manik mata yang semula menyorotkan aura gelap kini berganti dipenuhi binar antusias.

“Hey, Kak.”

Gun membalas sapaan Bright dengan sebuah usakan gemas di kepala lelaki itu, “hello to you too, big baby.”

Demi Tuhan, Win bahkan baru tahu kalau Bright bisa tersenyum? Selebar itu? Win kira, wajah Bright memang sudah disetting jadi sangar dan menyebalkan sejak lelaki itu dilahirkan ke dunia?

“Kok baru datang, Kak? Tumben, biasanya paling cepet kalau urusan pertemuan sesama petinggi perusahaan clothing gini?”

Gun terkekeh sesaat mendengar pertanyaan bayi kecilnya itu, “malah tadinya aku sebenernya mau izin buat nggak dateng ke pertemuan malam ini. Tapi Mas mu itu lho, mana mau nggak ada aku yang nemenin.”

“Hahaha, dasar Mas Off,” tanggap Bright, “udah ketemu sama yang lain, Kak? Kita baru aja beres ngebahas soal rencana pameran busana untuk akhir tahun nanti.”

“Iya belum sempet nih, aku langsung nyamperin ke sini tadi begitu nyampe.” Gun spontan melirik ke arah Win yang terlihat clueless dengan segala percakapan yang ia lakukan bersama Bright, adik sepupu Off.

Bibir penuhnya menyunggingkan senyum maklum, lalu dengan ramah ia menepuk bahu Win, “bingung ya, Win? Hehehe, nanti tanya sendiri sama Bright ya biar nggak bingung.” Lalu lelaki dengan look mahal dan mewah itu kembali melirik Bright, “oke, kalau gitu aku mau ke table dulu, ya? Kalian baik-baik di sini, jangan berantem.”

Tiga kali tepukan akrab ikut hadir di bahu kiri Bright, “bye, bayi! Gotta catch up with you later, bye Win!”

Lalu Gun berlalu dari hadapan mereka. Win tiba-tiba berpikir, apakah dunia ini terlalu kecil hingga ternyata Brightㅡ musuh bebuyutannya, punya hubungan akrab dengan Off dan juga Gun atau… selama ini justru Win yang memang menutup mata dan telinga dari gosip publik dan menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu akan fakta yang satu itu?

Aura gelap kembali mengisi keheningan yang mendadak tercipta selepas kepergian Gun. Win yang baru sadar kalau pesanannya sudah datang, cepat-cepat langsung menenggak isinya sampai habis, hanya dalam satu kali tarikan nafas.

Sedangkan Bright hanya memilih diam sambil memainkan gelas miliknya yang sudah kosong.

Win mengusap bibirnya yang sedikit basah dengan punggung tangan. Detik demi detik berlalu, kepalanya mulai terasa pusing.

No, no, no. Win harus tetap terlihat keren di hadapan Bright.

Saat sedang berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya yang lambat laun menghilang, suara berat Bright berhasil memecah keheningan,

“So you really are good at drinking.”

Dipuji seperti itu Win rasanya ingin semakin sombong. Lantas tanpa memperdulikan Bright yang baru saja mengagumi bakat minumnya, Win kembali memanggil seorang bartender untuk satu kali lagi menyajikan minuman yang sama untuknya.

Begitu juga dengan gelas-gelas berikutnya. Win, sama sekali tidak mau terlihat lemah apalagi kalah di depan Bright.

Si CEO Astro yang merasa terpancing karena Win seolah menantangnya dengan terus-menerus meminta refill pada gelasnya pun ikut-ikutan memanggil bartender untuk melakukan hal yang sama padanya.

Si bartender yang cuma bisa pasrah pun hanya memilih untuk menurut dan mempersiapkan satu gelas lagi untuk Bright.

Sambil menunggu pesanannya datang, Bright melirik Win secara penuh. Lelaki itu sedang sibuk memainkan bibirnya di permukaan gelas, matanya tampak memejam sesekali.

So, he's drunk already, pikir Bright yang tiba-tiba dapat ide brilian untuk mengerjai si Opas-iamkajorn.

“Saya jadi penasaran, selain kamu hebat minum seperti ini, kamu hebat di bidang apa lagi?”

Win mencuri lirik lewat ekor matanya. Tidak ada lagi raut menyebalkan di wajah Bright, yang ada hanya raut penuh tanya dan garis-garis halus di dahi lelaki itu.

Bright terlihat antusias atas dirinya, uh, atau Win hanya berhalusinasi efek dari mabuk yang mulai mendominasi?

“Me? You're talking to me right now?” See? He's really really really drunk.

Bright berdehem halus, “hm, i am talking to you.”

“Hoooo, kirain sama orang lain, hehehe,” oke, Win sudah mulai ngaur. “Anyway, i am good at making people kneel down to me.”

Win yang sudah mabuk memajukan bangkunya, mendekat ke arah Bright. Lelaki itu mengukir seringai di wajahnya, “include you,” jari telunjuk Win pun seperti punya jalannya sendiri untuk menyentuh dan bermain-main sebentar di dada bidang Bright.

“Here's your order, Mr. Chivaaree.”

Bright mengalihkan pandangannya sejenak, “thanks.” Lalu mulai menenggak minumannya sedikit demi sedikit, dengan fokus yang masih sengaja ia pusatkan pada si lelaki yang sudah mabuk.

Entah mengapa, Win merasa kalau Bright terlihat jauh lebih seksi kali ini. Sorot matanya yang tajam tapi hangat di waktu yang sama, hidung mancungnya, wajah sempurnanya, jakun yang bergerak naik turun selagi cairan beralkohol melintas masuk menuju perutnya, dan uh… apa itu? Sebuah bekas luka di ujung alis kiri Bright berhasil merebut perhatian Win.

Tanpa sadar, lelaki itu mengangkat tangannya hendak menyentuh bekas luka milik Bright.

Tapi si empunya luka menepis tangannya dengan pelan, “what are you gonna do, little kid?”

“Ugh, i… iㅡ,”

Win seolah kehilangan kemampuan berbicaranya secara mendadak. Pandangannya mulai kabur perlahan-lahan tapi entahlah Bright masih saja terlihat sempurna di matanya.

“May i touch it?”

Satu alis Bright bertaut, “sentuh apa?” tanya nya, sambil memainkan jari telunjuk di permukaan gelas.

Win mendekatkan wajahnya pada Bright, berusaha memandang bekas luka di pelipis lelaki itu lebih dekat lagi. Tanpa rasa malu, Win dengan cepat mengecup bagian yang berhasil mencuri atensinya sejak tadiă…ˇ tepat di bekas luka sang rival.

“Hehehe,” si CEO Velence kembali memundurkan tubuhnya, “i kissed it.”

Oke, Bright mulai tertarik dengan permainan ini.

Bright kembali mengangkat gelasnya, hendak menghabiskan sisa minuman di sana tapi tangan Win lebih cepat mengambil alih gelas tersebut dari genggamannya.

Alih-alih protes, Bright justru membiarkan sang rival terus melakukan apa yang ia mau.

Win menempelkan bibirnya di permukaan gelas, lalu lambat laun ia menyesap cairan beralkohol milik Bright sampai habis.

“Hm, it's delicious,” tangannya tiba-tiba mengetuk keras permukaan meja, bermaksud untuk memanggil seorang bartender yang sedang berlalu lalang meracik minuman.

“Anything i can help, Sir?”

Kepala Win mengangguk berulang kali, “uhm,” ia mengulurkan gelas milik Bright pada si bartender, “give me more, please.”

Bartender itu spontan melirik Bright, menunggu jawaban. Lantas ketika kepala Bright mengangguk, sang bartender pun langsung melaksanakan pekerjaannya.

Sambil menunggu gelas ke-sekian datang, Bright kembali memecah keheningan dengan kalimat yang berhasil membuat Win terkekeh geli.

“Since you've kissed me without my consent, can i conclude that you're good at flirting? That's your hidden talent, hm?”

Sudah kepalang mabuk, Win pun semakin berpeluang melakukan hal-hal di luar kendali dirinya sendiri. But so far, he's enjoying it. So does this Chivaaree guy.

Win mendaratkan satu tangannya di atas paha kiri Bright, memberikan elusan pelan yang disertai sedikit remasan gemas di sana.

“I am good at kissing too if you're wondering.”

Satu alis Bright bertaut menantang, “oh ya?” dan dibalas dengan sebuah anggukan cepat oleh Win.

“Then prove me.”

Semakin ditantang, semakin menjadi. Yang namanya Win, mana mau mengorbankan harga dirinya demi seorang Bright. Diminta untuk membuktikan kehandalannya dalam berciuman, Win pun akhirnya berdiri, sesaat ia merapikan penampilannya.

Win masuk ke tengah-tengah kaki kanan dan kiri Bright, membawa tubuhnya mendekat hingga tak ada lagi jarak yang tersisa bagi keduanya. Tangannya mengalung, memeluk sempurna leher Bright. Win menundukkan kepalanya, wajah kedua rival ini sekarang saling berhadapan.

“Oh my God,” bukannya langsung mencium Bright seperti kesanggupannya, Win malah bergumam tepat di depan wajah sang rival. Dengan pelan, ia mengelus kepala bagian belakang dan tengkuk Bright. “Saya nggak pernah sadar, kalau kamu setampan ini.”

Ck, Metawin, Metawin…

Terlanjur hanyut dalam permainan, Bright secara spontan ikut melingkarkan satu tangannya di pinggang Win, menarik lelaki itu agar semakin rapat dengan tubuhnya.

Win memposisikan wajahnya lebih tinggi di atas Bright, tangannya menangkup sisi kiri dan kanan wajah Bright, mengangkatnya hingga mendongak dan dalam hitungan detik Win mempertemukan bibir keduanya.

Entah karena efek mabuk atau memang Win adalah seorang pencium handal, Bright rasanya mulai fanatik dengan dinamika yang tercipta di antara keduanya.

Bright semakin memeluk erat pinggang ramping Win, mengelusnya pelan selagi bibir mereka terus beradu saling memuaskan. Win melumat bibir atasnya, terasa manis, menggiurkan. Sesekali gigi kelinci lelaki itu sengaja menyengatnya dengan sebuah gigitan, lalu terkekeh ketika Bright meringis pelan tanpa mau melepaskan tautan mereka.

Bright sibuk menikmati bibir bawah Win. Disesapnya bibir penuh itu kuat-kuat, dilumatnya penuh minat hingga sesekali Win menggeram menahan nikmat.

Dua telapak tangan Win sudah menemukan jalannya untuk meremas surai hitam Bright. Sedangkan Bright mulai menguleni pinggang si musuh bebuyutan.

“Sshhh,” Win mendesah pelan, keduanya masih terus saling melumat.

Bright memiringkan kepalanya ke kanan, lalu mengubah posisi agar bibirnya kini mendominasi bibir atas Win. Bright melumat kuat bibir atas Win, lalu disesapnya sampai cairan saliva si CEO Velence mengalir masuk ke dalam celah bibirnya.

Sebuah gigitan sengaja Bright berikan di bibir atas Win, agar lelaki itu mau membuka mulut. Bright, sudah tidak sabar untuk melesakkan lidahnya masuk dan mempertemukan lidah mereka berdua untuk menyatu dan berdansa di bawah nafsu.

Win terkekeh merasa Bright mulai frustrasi di bawah dominasinya. Dengan ikhlas, ia membuka belah bibirnya dan hendak menyambut lidah Bright masuk namun sebuah tepukan di punggungnya berhasil membuat keduanya berhenti.

It's Gun Atthaphan again, awalnya Bright ingin murka karena kegiatan panasnya dengan Win diganggu, tapi because it is Gun, lelaki itu berhasil menelan bulat-bulat seluruh amarahnya.

Gun melirik Bright dan Win bergantian dengan tatapan penuh goda, “never expected that CEOs of Velence and Astro could kiss each other like this.”

“Kak...”

“Hahaha,” Gun tertawa melihat Bright merajuk, “bercanda. Oh iya, aku mau pamit duluan, masih ada kerjaan yang harus aku handle. Off masih standby di table, kok. Oh iya Bright,”

“Are you drunk?”

Bright mengangkat kedua bahunya. Dibilang mabuk, sepertinya belum tapi rasa pusing memang sudah menggerayangi kepalanya sejak tadi apalagi ketika ia berciuman dengan Win. Dibilang tidak mabuk, Bright sendiri tidak yakin.

Bibir si CEO Astro mencebik lucu, “nggak tau, tapi kayaknya belum sih, Kak.”

“Oke, oke. Kalau gitu aku pamit, ya? Bye Bright, bye Win… don't forget to use protection, okay?!”

Selepas kepergian Gun, Win terkekeh agak keras. “Use protection, use protection, emangnya kita mau ngewe apa?”

Bright mengambil gelas yang ternyata sudah terisi dan tersaji di depannya entah sejak kapan. Ia menunggu sampai Win selesai dengan tawanya.

“Kamu nggak mau ngewe sama saya?”

“Anjingggㅡ” kedua alis Win bertaut kaget, “BOLEHHH?!!”

Oh, lihat… siapa yang mendadak antusias untuk diajak naik ke level yang lebih tinggi?

Bright kembali menyesap minumannya, “jadi, kamu mau ngewe sama saya?”

Win sudah tidak tahu, apakah ini efek mabuk atau memang dirinya yang sudah terlanjur nafsu, tapi yang pasti kepalanya kini mengangguk penuh antusias.

“Beneran boleh?” bahkan ada binar yang terpancar di kedua bola matanya.

Bright berdehem pelan, “come here first,”

Satu alis Win bertaut bingung, tapi jawaban Bright selanjutnya membuat lelaki itu cepat-cepat kembali masuk ke dalam rengkuhan tubuh sang rival.

“Kiss me again.”

Keduanya kembali berciuman. Dengan mantap, Win menyambar bibir atas Bright yang seolah jadi candu baru baginya. Bright membiarkan Win mendominasi di awal, lalu beberapa detik kemudian, Bright mengambil alih permainan.

Dengan elusan penuh seduktif yang ia berikan di pinggang dan punggung Win, Bright melumat habis bibir bawah Win. Memuja bagian tersebut seolah-olah bibir Win adalah sesuatu yang berharga, indah, mempesona.

Win sesekali mendesah di cela ciuman mereka, sesekali terkekeh menikmati kerja bibir Bright yang sedang memberinya kepuasan, sambil tangannya melingkari leher jenjang sang rival, memberikan elusan di sana, penuh rasa.

Hingga di menit ke-3, Win lebih dulu menyudahi pagutan keduanya. Pengusaha muda itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, seperti seorang penjahat yang disodori senjata oleh pihak kepolisian.

Bibirnya menyunggingkan senyum penuh rasa puas, perlahan-lahan tubuhnya beranjak mundur untuk kembali duduk di bangkunya.

Bright tertawa, kepalanya menggeleng pelan melihat tingkah Win yang seolah baru saja sadar akan apa yang barusan mereka lakukan.

Tawa kecil Win berubah jadi kicauan-kicauan tidak jelas yang sesekali diselingi cegukan. Satu kali cegukan, Win tertawa. Cegukan ke-2, tertawa lagi. Cegukan ke-3, ia terkejut. Jari-jari lentiknya dengan gamblang memukul pelan bibirnya sendiri, bermaksud untuk menghilangkan cegukan yang tidak mau berhenti.

Bright, satu kali lagi, dibuat tersenyum oleh tingkah laku Win. Lelaki itu tidak pernah menyangka bahwa Win, dalam keadaan mabuk, akan jadi selucu ini. God, they even kissed twice, Bright jadi curiga reaksi seperti apa yang akan rivalnya itu berikan ketika ia sadar sepenuhnya nanti.

Ah, biar itu jadi urusan nanti. Menikmati momen mabuk bersama malam ini, tampaknya bukan ide yang buruk.

Rasa pusing yang bercampur euforia memenuhi diri Bright yang kembali menyesap minumannya. Matanya sama sekali tidak berpaling dari Win yang masih sibuk menikmati mabuknya; bernyanyi lagu indie yang melodinya ia ubah menjadi irama lagu ballad.

“Bright!!!” tiba-tiba Win berteriak menyaingi suara musik yang menggema keras di dalam bar. Lelaki itu menatap Bright dengan sepasang mata sayu, lalu tangannya diangkat, jari-jemarinya membentuk angka 3 dengan bantuan ibu jari, jari telunjuk dan juga jari kelingking.

“Hehehe,” jari-jemarinya yang membentuk angka 3 bergoyang ke kanan, ke kiri, tepat di depan wajah Bright. “Ini angka berapa, uh?”

Bright benci ditanya-tanya ketika sedang mabuk. Tapi sepertinya, Win adalah pengecualian. Lelaki itu menyipitkan matanya, berusaha mempertajam fokus yang mulai kabur untuk menghitung ada berapa jari Win yang berdiri.

“Lima?”

“AHAHAHAHAㅡ” cara Win tertawa, tanpa sadar mampu membuat ujung mata Bright terangkat, ia suka pemandangan yang sedang ia lihat dengan seksama.

“Lo nggak bisa ngitung, ya? Hahaha,” Win menggoyangkan kembali tangannya di depan wajah Bright, “ini angka dua, tau!!!”

Oh, angka 2… oke, sepertinya Bright harus belajar berhitung lagi.

Win kembali melantunkan lagu yang entah, mungkin lagu ciptaannya sendiri dan membiarkan Bright sibuk dengan gelasnya. Saat CEO Astro itu tak sengaja menengok ke arah kanan, ada sebuah botol Smirnoff yang menganggur di atas meja. Dengan santai, ia mengambil botol tersebut dan menuangkan sebagian isinya ke dalam gelas, dan meminumnya.

Bright menenggak seisi gelas hanya dalam satu kali teguk. Lelaki itu tersenyum, perasaannya seperti baru saja menjemput kata bebas.

Matanya menyisir seisi ruangan seolah sedang mencari sesuatu… atau seseorang? Sampai akhirnya, hehehe… ia tertawa senang, ada Win di sampingnya.

“Win,”

Yang dipanggil menoleh dengan cepat, bibir penuhnya mencebik sambil bergumam, “now i know,”

“Ha?” satu alis Win bertaut bingung, “tau apa? Tau rahasia gue, ya?! Tau aib gue, ya?! OH OH OH gue tau, gue tau,” Win menjeda kalimatnya, ia menunjuk-nunjuk Bright dengan jari telunjuknya, “lo tau pin ATM gue, ya?!!! Lo mau ngerampok gue, ya?!!!”

Bukannya mengelak, Bright malah menganggukkan kepalanya. Bibirnya mengulas senyum, “mau tau, nggak?”

“Tau apa?! Pin ATM gue, yaaaah itu mah gue juga tau, kali!!!” Win memijat kepalanya yang berdenyut nyeri, “tapi pin ATM gue itu gabungan tanggal ulang tahun gue, kakak gue sama ulang tahun kucing kesayangan gue yang udah meninggal, hiks… Mercy…”

Bright terdiam sebentar, sebelum akhirnya ia bersuara lagi, “bukan itu,”

“Apa dong… Lo tau soal apa? Ish, kasih tau gue, please? Kepo, kepo, kepo...”

Bright memberikan gesture lewat jari tangannya agar Win mendekat. Dengan polos, lelaki itu bangkit dari posisi duduknya dan beranjak mendekat pada Bright. Win menundukkan tubuhnya, bermaksud untuk menyambut bisikan sang rival, namun Bright lebih dulu ikut berdiri sambil merangkul bahu Win penuh dominasi.

Keduanya perlahan-lahan melangkah berdampingan, agak sempoyongan. Tapi mana perduli, usapan yang Bright berikan di bahunya mampu membuat Win serasa sedang menjelajah antariksa.

Bright sesekali mencium pipi Win. Bibirnya juga dengan jahil menjilat rahang tegas lelaki itu, membuat si empunya wajah meringis menahan tawa. Bright terus menjamah kulit leher Win dengan bibirnya, endusan demi endusan turut hadir memberi sensasi aneh namun memabukkan di seluruh tubuhnya.

Win memeluk erat pinggang Bright, sesekali mereka curi-curi kesempatan untuk berciuman, sambil membelah keramaian menuju lorong gelap yang akan membawa mereka pada sebuah ruangan berlabel surga dunia.

. . .

Sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan ribut, Metawin kembali berhasil membuat Bright yang kepalang mabuk tertawa geli dan geleng-geleng kepala karena pemuda yang sudah di awang-awang itu baru saja membenturkan kepalanya ke pintu kamar dengan sengaja.

“APHWA MAKFHSUD LOE KHETWAIN GJUE HA?!!”

How funny, even the way he talked when he's drunk is… quite cute.

“Kamu lucu, mau nggak jadi submissive saya?”

Win menghadapkan tubuhnya pada Bright. Lelaki itu membusungkan dadanya tidak terima, yang mana gesture itu secara tidak elitnya ditangkap salah oleh sistem kognitif Bright.

Dengan santainya, Bright meremas dada Win, mengais kenikmatan di sana.

Alih-alih memberontak, Win malah semakin merapatkan tubuhnya pada Bright. Ia menggigit kecil bibir bawahnya menahan desahan. Win bahkan menggenggam tangan Bright yang sedang menggerayangi dadanya, membantu lelaki itu untuk terus meremas, sama-sama mengejar nikmat.

“Ahhh… sssssh, terusss, mmhhh, enak, Bright…”

Satu tangan Bright sibuk meremas dada Win, satu tangannya yang lain meremat sensual pinggang ramping sang rival. Bibirnya kembali menemukan jalan menuju leher Win, dengan tempo lambat ia bubuhkan kecupan juga jilatan di sepanjang kulit leher lelaki itu.

“B-bright, stop,”

Bukannya menurut, Bright semakin menyudutkan Win di dinding, seraya bibirnya terus turun meninggalkan jejak saliva mulai dari perpotongan leher sampai ke jakun Win yang bergerak naik turun.

Bright mengulum biji kecil itu, menghisapnya kuat dan menggigitnya penuh rasa gemas sampai membuat Win tertawa keras.

Bibir Bright semakin turun ke bawah. Hembusan nafas lelaki itu menyapa permukaan kulit dada Win yang mulai terekspos karena dua kancing teratas kemejanya sudah lepas, entah sejak kapan.

Satu tangan Win memeluk kepala Bright, menuntun lelaki itu agar semakin dalam menjamah dadanya. Sedangkan satu tangan yang lain berinisiatif untuk membuka sisa kancing kemeja yang masih terpasang. Win menurunkan sedikit busana yang dipakainya, memudahkan akses Bright untuk mengecap setiap jengkal kulit putihnya.

“Suck it hard, Bright.”

Satu kali lagi Win membusungkan dadanya. Ia mengarahkan puting kirinya ke mulut Bright, lalu mendesah berat ketika lidah lelaki itu mulai menyentuh areola kecoklatan miliknya.

Win menengadahkan kepala, menikmati kelihaian mulut dan lidah Bright untuk memanjakan putingnya.

Dirematnya kuat-kuat surai hitam Bright yang sudah berantakan, “mmmhhh,,, so good...”

Erangan Win menjadi sinyal tersendiri bagi Bright untuk terus melanjutkan aksinya. Ia terus mengulum dan menyesap puting kiri Win seakan-akan cairan susu bisa saja keluar dari sana.

Win terus mendesah. Meskipun sesekali lelaki yang sedang ia hisap putingnya ini menahan desahannya, Bright tahu, Win menikmatinya. Menikmati permainan panas mereka berdua.

Tangan kiri Bright terangkat, menyentuh puting kanan Win dan meremasnya. Ibu jari Bright turut berkontribusi menyalurkan kenikmatan, bergerak memutar sambil menekan-nekan bagian yang mencuat gemas.

“Aaaahh, u-udah, udah, Bright,”

Kali ini Bright menurut. Lelaki itu kembali berdiri sebagaimana mestinya, dahinya sengaja ia satukan dengan milik Win. Keduanya berlomba-lomba mengais oksigen, lalu tertawa setelahnya.

Bright memeluk pinggang Win, membawanya mendekat, kembali menghujani bibir penuh Win dengan ciuman.

“Gimana, Win?”

Win bergumam, bola matanya berputar, tampak berpikir.

“I don't like being submissive, i don't like being told and i don't like obeying people's commands.” jawabnya.

Bright yang sudah kepalang bernafsu, mendesah berat. Tangannya terus menguleni pinggang ramping Win, berusaha merayu rival-nya itu.

Kecupan bertubi-tubi Bright berikan di wajah Win, “i don't like being submissive as well, i am a top just in case you're wondering.”

Bibir bawah Win mencebik mendengar jawaban Bright, “terus gimana… nggak jadi ngewe?”

“hmm,” tidak, tidak. Tidak mungkin mereka harus berhenti di tengah jalan hanya karena perkara tidak ada yang mau mengalah untuk jadi pihak bawah. Bright menyisir seluruh sisi kamar dengan matanya yang sayu, dan pandangannya berhenti di… ranjang.

“How about we tried first? I think a handjob or blowjob could help.”

Satu tangan Win menarik Bright mendekat, lalu kembali menyatukan bibir mereka ke dalam sebuah pagutan mesra.

Sambil menyudahi ciuman itu, Win menganggukkan kepalanya, let's try...”

. . .

Bright merasa sedang di surga. Celana bahannya yang turun hingga ke batas betis, kedua kaki yang mengangkang lebar dengan Win yang berlutut di tengah-tengah tampaknya akan menjadi pemandangan terindah terbaru versi Bright.

Kepala Win dengan santainya berbaring di paha kanan Bright, sedangkan tangan kanannya sibuk bergerak naik turun, mengurut dan sesekali mengocok kejantanan Bright yang sudah berdiri tegak dan mengeras.

Bright sendiri sibuk menahan desahan sambil satu tangannya bergerak mengelus surai Win. CEO Velence ternyata tidak hanya pandai dalam menyusun strategi untuk memenangkan kompetisi clothing brands setiap dua bulan sekali, tapi juga pandai untuk memberikan handjob yang sangat memuaskan meskipun hanya dengan satu tangan.

Bright menghargai setiap pergerakan tangan Win di penisnya dengan terus memanjakan rambut dan pipi tirus sang rival.

Sesekali Win menggeram ketika Bright dengan sengaja menyisir rambutnya terlalu keras, bahkan sampai menjambaknya. Geraman penuh rasa nikmat, Win menyukai kegiatannya sekarang.

“Win,”

Yang dipanggil hanya bergumam, “hm?””

“Don't you want to suck on it?”

Tentu Win paham arah pembicaraan Bright. Sudah sepuluh menit Win memberikan handjob pada penis Bright, tapi Bright belum juga menjemput putih. Alhasil, Win mengangkat kepalanya yang semula sedang santai berbaring, dibawa mendekat pada penis Bright yang masih berdiri tegak.

Ukurannya yang besar, kepala penis yang memerah serta lubang di bagian ujung yang mulai berkedut berhasil mencuri perhatian Win. Lelaki itu menurunkan tangannya menuju dua bola kembar yang menyatu dengan batang penis Bright, meremasnya lamat-lamat sambil perlahan bibirnya menghujani bagian kepala dengan kecupan.

Win mengecup kepala penis Bright sampai menimbulkan bunyi. Lidahnya sesekali ikut bermain, menjilat lembut lubang penis Bright yang sesekali terbuka, menutup, terbuka lalu menutup lagi.

Bright mengelus surai berantakan Win penuh damba, “prove me that you're an unbeatable top so you can top me tonight.”

Fuck, diberi tantangan seperti itu jelas membuat Win terangsang hebat. Tanpa aba-aba, lelaki itu memasukkan sebagian penis Bright ke dalam mulutnya. Kepala Win bergerak naik, turun, naik dan turun seraya mengulum batang tersebut penuh semangat.

Win melibatkan lidahnya untuk memuaskan Bright, pipinya kembang kempis seiring dengan tempo hisapan yang ia lakukan pada penis si musuh bebuyutan.

Win melesakkan penis Bright semakin masuk ke dalam mulutnya. Rambut Win menggelitik perut Bright yang juga sudah terekspos, Win melakukan deep throat.

“Mmmhhh, so you are also good at sucking dick, hm?”

Bright ikut membantu kepala Win untuk bergerak, “use your tongue, baby.”

Segala pujian dan afeksi yang diberikan Bright rasa-rasanya bisa membuat Win menyerah kali ini juga. Ia ingin digagahi oleh lelaki ini, tapi akal sehat Win belum mau mengibarkan bendera perdamaian. Bagaimana juga, ia adalah seorang dominan. Malam ini pun, ia harus tetap jadi dominan.

Win menjilat batang penis Bright di dalam mulutnya. Kepalanya terus bergerak naik dan turun, berusaha untuk membantu Bright menjemput putihnya.

Bright menumpukan kedua tangannya di sisi ranjang, lalu pinggulnya ikut bergerak menghujam mulut dan tenggorokan Win dengan arah yang berlawanan.

Rasanya Win ingin muntah, berulang kali ia tersedak oleh ludahnya yang bercampur batang penis Bright. Kepala penis Bright menyapa dasar tenggorokannya, memberikan sensasi nikmat yang baru kali ini Win rasakan.

Pada hujaman ke-7, Bright mengelus kelopak mata Win agar terbuka. Keduanya saling bertukar pandang, sama-sama sudah diselimuti kabut nafsu.

“I am about to cum, where do you want me to release it?”

Masih terus bergerak menghujam namun dengan tempo yang pelan.

Win menunjuk seluruh sisi wajahnya, oke, he's asking for face cumming.

Sepersekian detik berikutnya, Bright menarik keluar penisnya dari mulut Win lalu meminta Win untuk sedikit menurunkan posisi tubuhnya. Pengusaha muda itu menurut, ia menengadahkan wajahnya tepat di bawah penis Bright sedangkan si empunya penis sedang sibuk mengurut penisnya sendiri, memancing agar putih segera datang.

Pada detik ke-5, Bright menjemput putih, tepat di seluruh bagian wajah Win tanpa terkecuali.

Bright tersenyum puas melihat kondisi Win saat ini. Lelaki itu, berantakan. Tuksedo miliknya sudah tanggal entah kemana, kemeja yang dipakainya sudah turun sampai ke batas siku, he's literally top half-baked, surai hitamnya tidak lagi tertata rapi, wajahnya berkilau dipenuhi cairan putih milik Bright.

Lantas Bright mengusap cairannya di wajah Win dengan ibu jari, meratakannya sampai ke leher, dan terlihat cukup mengering.

Merasa Win sudah cukup memuaskannya, Bright akan memberi kesempatan emas untuk lelaki itu.

Perlahan, Bright menanggalkan sisa fabrik yang tersisa di tubuhnya. Kali ini, CEO Astro itu sudah telanjang bulat.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya di tengah ranjang, kakinya terbukaă…ˇ mengangkang lebar, dengan kondisi penis yang masih mengeras mengacung tegak di tengah sana.

Bright mengurut penisnya sendiri lalu ia memanggil Win, “come here, top me.” katanya.

Dan dengan cepat, Win naik ke atas ranjang. Ia melepas celana bahannya, juga dengan celana dalamnya. Penis miliknya sendiri sudah menegang, pun mengacung tegak di tengah-tengah pahanya.

Win mengocok penisnya, lalu mengarahkan kepala dan batang miliknya itu ke arah lubang senggama Bright yang berkedut minta diisi.

Diusapnya pelan paha dalam Bright, sambil dengan perlahan ia melesakkan penisnya masuk ke dalam.

Bright mengerang. Ini kali pertamanya menjadi pihak bawah. Win beranjak mengukung tubuh Bright, sambil terus berusaha masuk membelah lubang senggama Bright, Win mengajak sang rival untuk kembali berciumană…ˇ mengalihkan rasa sakit.

Bright memalingkan wajahnya sehingga bibir Win terlepas dari jangkauannya, ketika ia rasa Win berhasil masuk dan langsung menemukan titik klimaksă…ˇ prostat, yang mampu membuat Bright mendesah nikmat.

“Win, deeper, p-please, aaahhh...”

Bright berani bersumpah, menjadi submissive tidaklah seburuk yang ia pikirkan.

Maju, mundur, maju dan mundur, begitu seterusnya Win bergerak menghujam lubang senggama Bright. Keduanya saling memejamkan mata, menikmati setiap tumbukan dan gesekan yang terasa antara batang penis Win dengan dinding rektum Bright.

“B-bright, mmmhhh, jangan diketatin, okay...”

“I promise you, it won't hurt… shhhh,”

Bright menggeleng pelan. Ini… sakit, tapi terasa nikmat di waktu yang bersamaan.

Win terus mendesah, pinggulnya terus bergerak menghujam lubang senggama Bright saat dirasa putihnya juga sudah dekat.

Sambil terus bergerak konstan memuaskan lubang Bright, Win mengelus pinggang telanjang lelaki itu lalu bertanya, “mau gue keluarin dimana?”

Bright menyentuh perutnya, “di perut saya aja.”

Oke, Win mengangguk. Butuh sekitar lima kali hujaman lagi sampai akhirnya, “sssshhh, ahhh...” Win menarik keluar penisnya dan cairan putihnya mengalir deras di atas perut Bright.

Win berlutut mengangkangi tubuh Bright, penisnya yang mengacung lurus masih terus menumpahkan cairannya. Bright hanya bisa diam sambil memandang Win yang masih menikmati sisa-sisa orgasmenya, sambil tangannya mengelus pinggang telanjang Win penuh damba.

“Udah,” Win melirik penisnya yang sudah agak lemas, “it's your time to top me.”

Bright menarik halus tangan Win untuk mendekat, lalu mempertemukan bibir keduanya dalam sebuah ciuman panjang. Bright melumat bibir atas Win penuh damba, sembari tangannya mengelus sayang punggung telanjang Win.

Setelah puas, Bright melepas ciumannya, lalu menepuk sisi ranjang yang kosong, “kamu tiduran di sini, let me prepare you first,”

Mata Win sontak membulat sempurna. Kepalang nafsu untuk menggagahi Bright, sepertinya Win baru sadar kalau ia melupakan satu tahap penting sebelum melakukan seks melalui lubang anal.

Dengan sorot sayunya, Win meminta maaf, “i forgot to prepare you with my fingers, sorry...”

Bright mengangguk memaklumi, “saya ngerti, kamu keburu nafsu. It's okay, it hurts but i can manage. Now you go down first, lay down here.”

Win menurut, aura dominan Bright sungguh tidak bisa dibantah dalam bentuk apapun. Lelaki itu kini sudah berbaring di sisi ranjang yang ditunjuk Bright, dan Bright sendiri berlutut di tengah-tengah kedua kakinya yang mengangkang lebar.

Bright mengelus cincin kerut di lubang senggama Win dengan lembut, “saya akan mulai dengan satu jari, kalau kamu kesakitan, cubit bahu saya, okay?”

Win mengangguk, “yes, Sir. Please top me, please fuck me, AAAAAHHHㅡ”

Win menyesal sedikit sudah menggoda Bright, nyatanya malam itu ia digagahi dengan sempurna oleh Bright dengan berbagai macam posisi.

Ada satu hal yang baru Win sadari malam ini tentang Bright,

CEO Astro itu tidak hanya pandai membuat orang merasa terintimidasi pun juga tidak hanya pandai dalam mengurus perusahaan clothing yang katanya akan membuka cabang di luar Thailand,

Tapi juga pintar dalam hal memanjakan dan memuaskan pasangannya.

Seperti sekarang ini,

Tepat di depan standing mirror yang ada di kamar, Win dapat melihat betapa pasrah dirinya dihujam oleh Bright dari belakang.

Mirror sex and doggy style… adalah posisi ke-4 mereka bercinta malam itu.

Bercinta?

Apakah pantas malam ini menjadi awal dari benih-benih cinta di antara kedua CEO yang terkenal sebagai sepasang rival berkepanjangan?

Atau,

Besok pagi ketika bangun, mereka akan sama-sama sadar kalau…

Mereka siap mengibarkan bendera perang (lagi) karena merasa sudah saling dirugikan atas drunk sex yang mereka lakukan?

Atau,

Akan ada drunk sex drunk sex selanjutnya?

. . .

WRITTEN BY ; JEYI.