Satu Kali Lagi?
“Satu aja… satu kali aja kesempatan buat gue m-memperbaiki s-semuanya… boleh, Win?”
Win tetap memilih bungkam. Rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili segala asa untuk membentuk sebuah jawaban. Hanya suara saliva yang melewati tenggorokan yang mengisi sepi malam itu.
“I was so impulsive that day. I was not on my right mind, i was lost, i wasㅡ”
“Bright,” akhirnya Win menjawab. Kalimat putus-putus yang terucap dari bibir Bright sukses mendorongnya untuk membuka mulut.
Bright nyaris tersenyum ketika Win membalas perkataannya, tapi sayang… Win justru membuatnya kembali harus menelan pil pahit.
“Can we stop…?”
total words: 2.953 words.
“Oh, iya, oke oke gue paham, anak-anak yang lain udah dikasih tau, Luke?”
Pulpen yang terjepit di sela jari-jari Win kerap kali menyentuh permukaan meja, menciptakan bunyi tuk… tuk… tuk… sebagai pengiring keheningan yang mendominasi di dalam kamar. Kepalanya sesekali mengangguk penuh paham seraya Luke melanjutkan ucapannya di seberang sana.
Memiliki tingkat fokus yang cukup baik, Win terus memberi kesempatan pada ketua kelas 12 IPA untuk berkicau sambil dirinya sendiri sibuk mengerjakan buku detik-detik di hadapannya.
Sebuah gumaman pelan lolos dari belah bibirnya tatkala Luke selesai menyampaikan beberapa ide, “kalau uang kas mencukupi sih, gue ayo aja. Coba nanti gue follow up ke Puimek buat ngecek buku kas. Tapi kalau kita mau beli yang lebih dari itu juga it's okay sih menurut gue, but tetep ya harus diskusi dulu ke anak-anak kelas biar fix enaknya gimana.”
Win hendak mencoret salah satu pilihan jawaban dari nomor soal 14, mata pelajaran biologi, kasus tentang persilangan gen kacang hitam dan gen kacang kuning. Tapi mendadak ragu akan jawabannya sendiri yang terpikirkan secara logika, lalu dengan sedikit grasak-grusuk Win membuka laci meja belajarnya dan mengambil selembar kertas hvs dari sana.
Sebuah garis ditarik dari sudut kiri kertas menuju sudut kanan, lalu ditarik lagi ke bawah juga ke sisi lain sampai membentuk sebuah tabel. Win memasukkan beberapa gamet yang mendukung fenotipe dari kedua jenis kacang-kacangan pada soal, lalu coba menyilangkan masing-masing gamet horizontal dengan vertikal hingga menghasilkan genotipe di setiap kolom dan baris.
Fokus Win mulai terdistraksi pada soal yang sedang dikerjakannya. Soal tentang hereditas memang cukup membutuhkan konsentrasi penuh. Pemuda manis itu memastikan kembali bahwa gamet yang sudah ia tulis tidaklah salah, Hk, hk dan hK, hk. Win melakukan persilangan terhadap masing-masing gamet sehingga menghasilkan HhKk (hitam), Hhkk (hitam), hhKk (kuning), hhkk (putih). Semua genotipe dilihat dari yang paling dominan; H itu hitam, K itu kuning dan h,k itu putih.
Win mulai memenuhi kertas hvs nya dengan coretan, hasil genotipe-nya cukup membuat pemuda itu pusing karena harus terus menyimak ucapan Luke sambil menyelesaikan soal di waktu yang bersamaan. “Oke, ini kan berarti ada dua genotipe hitam berbanding satu genotipe kuning, berbanding satu genotipe putih, jadinya...” Win menggerakkan ujung pulpennya di atas 4 pilihan jawaban yang tersedia; A, B, C atau D.
Lalu dengan percaya diri Win mencoret pilihan C dimana jawaban hitam ; kuning ; putih = 2 ; 1 ; 1.
Terlalu senang berhasil memecahkan soal, Win lalu dibuat kaget saat Luke memanggil namanya agak keras.
“Eh, ya ampun sori sori, Luke,” aduh, jadi nggak enak… padahal Luke sedang menjelaskan tentang rencana perpisahan angkatan yang akan lebih dulu dibeberkan pada kelas 12 IPA. Win menggeser kertas hvs dan buku detik-detik miliknya beserta sebuah sebuah Tipe-X yang sudah hampir habis ke sisi kiri meja belajar, sedangkan pulpennya tetap ia selipkan di sela jari-jemarinya.
Win menyandarkan punggungnya di sandaran bangku, “iya, hehehe, gue sambil ngerjain detik-detik tadi, terlalu fokus nyelesain soal jadi omongan lo yang barusan gue nggak denger, sorry… boleh diulang?”
Ternyata Luke malah tertawa ringan di tempatnya sana. Huh, syukurlah. Padahal Win sudah ambil ancang-ancang, takut Luke menegurnya. Ketua kelas 12 IPA sekaligus ketua OSIS itu mengulang kata-katanya, dan kali ini Win menyimak dengan serius.
“Kalau sama kayak angkatan kemarin, kira-kira pada mau nggak, ya? Jogja sih, budget juga nggak bakalan gede banget kayaknya.”
Luke menyahuti saran dari wakilnya itu, dan Win cuma manggut-manggut sambil sesekali berdehem.
“Emm,” Win meletakkan pulpennya di meja lalu menumpukan satu tangannya di sana, sengaja dijadikan alas bagi dagunya yang bertopang santai. “Bali is okay too, tapi mungkin butuh budget di atas budget perpisahan angkatan tahun lalu. But, it's gonna be worth the price, sih.” sambungnya.
Entah kenapa, Win seakan-akan bisa melihat Luke sedang menganggukkan kepalanya di seberang sana setelah pemuda itu berkata “yes, Bali!” atas request-nya barusan. Seulas senyum kecil terbit di bibir penuh Win.
“Oke, besok kita sama-sama coba obrolin dulu sama anak kelas ya. Kalau mereka udah oke atau ada saran lain, jadi bisa kita bawa ke rapat OSIS baru habis itu bikin proposal buat kepsek dan bagian kesiswaan.”
“Alright, segitu dulu deh rapat dadakan kita ya, Win. Udah jam setengah sebelas gila, haha, nggak berasa kita ngobrol lama juga.”
Oh, jam setengah sebelas malam? Win dengan cepat melirik jam di dinding kamar dan ya, benar saja, sekarang sudah jam setengah sebelas malam lebih sepuluh menit.
“Wow, ngebahas soal perpisahan doang ya padahal,” sahut Win.
“Hahaha, emang kalau ngobrol sama lo mah suka bikin lupa waktu.”
Jiah, mulai lagi… tapi Win tidak mau merusak mood temannya itu, alhasil ia hanya tertawa canggung sambil berujar, “ya udah, kalau gitu gue tutup ya… boleh, Luke?”
Luke berdehem penuh pengertian, “belajarnya jangan diforsir, Win. Santai tapi serius, kalau lo forsir belajar terus-terusan lo bisa burning out nanti.”
Hahaha, “iya, paham kok gue. It such a stress reliever to be honest.” katanya.
“So i was right, you've been stressed out lately.” aduh, aduh, kelihatan banget apa ya? Win jadi panik sendiri, apakah orang lain juga menyadari perubahannya belakangan ini?
“Mind to share with me? Apa ada kaitannya sama Bright yang tempo hari tiba-tiba muncul di parkiran dengan badan babak belur dan berdarah-darah?”
Bright dan babak belur, adalah dua topik yang tidak pernah hilang dari kepalanya sejak saat dimana Win meninggalkan Bright seorang diri di samping gedung SMP.
“Nope,” tapi Win sama sekali sedang tidak punya niat untuk memikirkan mantan kekasihnya itu. Berbanding dengan apa yang terucap dari mulutnya, kepala Win justru mengangguk pelan.
“Udah malem, gue tutup ya, Luke?”
“Okay, but please don't push yourself too hard, ya? Good night, Win?”
“Ehm,” berdehem pelan lalu berucap, “good night, bye.”
PIP.
Win langsung memutuskan sambungan telepon antara dirinya dan juga Luke. Mood yang awalnya sedang baik-baik saja mendadak menguap entah kemana setelah Luke menyebutkan dua topik yang paling bisa membuat Win sedih bukan main; Bright dan babak belur.
Memorinya kembali mengulang rentetan kisah yang terjadi beberapa hari lalu. Tentang bagaimana Win merasa sangat sangat hancur ketika Bright tiba-tiba muncul di depan pintu utama rumahnya di malam hari, dengan wajah penuh luka, matanya kosong.
Berulang kali sudah Win katakan pada pemuda satu itu, berhenti jadi sok jagoan, berhenti jadi anak yang ugal-ugalan, berhenti cari mati. Tapi Bright tidak pernah mau dengar, kata-kata dan rasa khawatir Win seolah hanya angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar dari telinga kiri.
Tidak penting, sia-sia.
Win ikut terluka malam itu. Mendengar Bright meminta maaf dan mengucapkan ulang tahun untuknya dengan keadaan berantakan, apakah Win sanggup untuk bersikap biasa-biasa saja?
Tapi Bright selalu mengulangi kesalahan yang sama. Lagi dan lagi menerjunkan diri ke lubang yang sama. Win lelah untuk memberitahu, karena pada akhirnya Bright memang bukan milik siapa-siapa, tapi milik pemuda itu sendiri.
Dan Win sadar, ia sudah tiba pada puncak sabarnya.
Alih-alih memperlakukan Bright dengan baik malam itu, Win malah bersikap dingin. Mungkin Bright menganggap dirinya sudah berubah, tidak ada lagi rasa sayang yang tinggal. Tapi Win tidak mau menangis malam itu, memangnya apa yang akan berubah jika ia menangis?
Keduanya akan menangis, begitu? Mereka berdua akan sama-sama menyalahkan keadaan, begitu? Atau malah saling mempertanyakan diri masing-masing, meragukan segalanya atau justru let things go as if it didn't happen, seperti biasanya?
Lalu kapan mereka bisa bertumbuh dalam kedewasaan?
Salahkah jika Win kali ini menghukum Bright dengan caranya?
Tahukah Bright, kalau Win juga merasa sakit hati?
Tahukah Bright, kalau Win selama ini juga sudah… lelah?
Sial, rasa sesak kembali datang memenuhi dada Win. Pemuda itu mencoba untuk mengais oksigen sebanyak yang ia bisa, tapi netranya malah tak sengaja beranjak pada tiga tangkai mawar merah yang sudah ia simpan di dalam sebuah vas kaca berisi air di sudut kiri meja belajar.
Tiga tangkai yang berhasil diselamatkan, tiga tangkai pertama dan terakhir dari seorang… Bright.
“Bright, please pergi dari pikiran gue,” Win mengacak frustrasi rambutnya, “you asked me to leave, right? So please do the same, leave me and my mind alone.”
Win mengusap wajahnya kasar, berusaha menepis buliran bening yang dengan lancang meronta-ronta ingin keluar dari sudut matanya.
Satu kali lagi, Win menghela nafasnya. Matanya yang semula dibuat terpejam untuk menghalau segala memori yang berbondong-bondong datang menerobos kepalanya kini ia biarkan terbuka.
Kali ini terpusat pada sebuah bingkai foto yang mengabadikan momen bahagia antara dirinya dan juga Bright. Seingat Win, ia sudah meletakkan bingkai itu dengan posisi terbalikㅡ sengaja, biar tidak terlihat. Tapi entah kenapa sekarang bingkai foto itu sudah kembali berdiri dengan lantang di tempatnya semula.
Win menatap dua orang di dalam pigura itu, tersenyum seolah mereka berhasil menggenggam masa depan yang pernah diimpikan bersama.
Win berdecak, satu alisnya bertaut penuh rasa tidak terima. “Kenapa masih bisa senyum? Ngeledek, ya? Seneng gue sama Bright gagal lagi, iya?”
BRAKKKㅡ, lalu tanpa ampun Win menjatuhkan pigura itu, membuatnya kembali pada posisi terbalik.
Kacau, Win seketika merasa dirinya kacau, lagi.
Waktu semakin larut, dan Win memutuskan untuk segera melemparkan tubuh ke atas ranjang lalu bersembunyi di balik selimut. Lambat laun, pemuda itu beranjak meninggalkan meja belajarnya. Tetapi baru sampai pada langkah ke-3, ponselnya berdering.
Mau tak mau, Win berbalik. Meraih ponselnya dengan cepat dan mengernyit begitu ia dapati nomor yang tidak terdaftar meneleponnya.
Win, paling pantang menerima telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Alhasil, sambil berdecak ia lempar kembali ponselnya ke atas meja.
Lalu kembali melangkah.
Dan berhenti lagi, saat suara dering itu sukses menginterupsi.
Enggan menerima panggilan di waktu yang hampir memasuki tengah malam, Win pun memutuskan untuk menolak panggilan tersebut. Cepat-cepat ia berusaha mematikan ponselnya, tapi sayang nomor yang sama kembali muncul di layar ponselnya.
Win, malas. Tapi jika panggilan yang sama terjadi berulang kali, sepertinya layak diberi kesempatan, kan?
Oke, Win kembali duduk di bangku meja belajarnya. Ujung ibu jarinya masih bergerak gusar di atas layar, angkat, tidak, angkat, tidak, tapi akhirnya Win menerima panggilan itu.
“S-shalom, hiks...”
Deg,
Win berhasil dibuat skakmat. Suara itu… suara yang amat sangat dirindukannya, suara Bright.
Tapi, ini nomor siapa?
Satu kali lagi Win melirik ponselnya, berusaha memastikan kalau nomor yang sedang tersambung dengan ponselnya ini bukanlah nomor Bright. Tapi panggilan 'Shalom' hanya Bright yang jadi pelaku utama. Mama, Papa dan Mick tidak pernah memanggilnya dengan nama itu.
Dan lagi, itu suara Bright.
“S-shalom, thanks, hiks...” ada tangisan yang bercampur dengan pekikan di ujung kalimat, tunggu… Bright, mabuk?!
“Bright, lo dimana?”
Yang dipanggil malah tertawa di seberang sana, tidak lama pekikan lain kembali muncul. Persis seperti orang yang sedang cegukan.
“Hehehe, Shalom,” tuh kan bener, mabuk.
“Elvino p-pakai nomor hape bartender b-buat hik… b-buat telfon S-shalom hik… karna Shalom masih b-block nomor Vino… hiks,”
Win memilih diam. Bright, pemuda itu benar-benar mabuk. Satu kesalahan lagi terjadi, Win… menyerah.
Tidak lagi ada suara yang terucap dari bibir Bright. Pemuda mabuk itu malah sibuk bergumam tidak jelas, lalu memekik tertahan di ujung gumamannya.
Sampai lima menit kemudian suara lirih Bright kembali terdengar, “S-shalom, sayang… Shalom marah, ya? Vino jahat banget, ya? Vino bikin Shalom nangis terus...”
Kali ini Bright berujar cukup jelas, sambil menangis. Tanpa sadar Win mencengkeram kuat telapak tangannya, buku-buku jarinya ikut memutih.
“S-shalom, hik… luka-luka di badan Vino udah mulai hilang, hik… hehehe, S-shalom, are you there? Say aaaaa or hi vino if you're listening to me, hik… i have something important to tell, don't leave me hanging, I'm messed up already,”
Win masih diam, membiarkan hening jadi satu-satunya jawaban yang hinggap di telinga Bright kala itu.
“S-shalom,”
“Hm,” rasanya Win mau menangis ketika isak tangis Bright kembali terdengar, pilu sekali, “hi, Vino.” sahutnya.
“Hehehe, hi, Shalom.”
Lalu Win memejamkan matanya. Rasanya konyol meladeni kekacauan orang yang sedang mabuk, tetapi di waktu yang sama rasanya juga ingin menangis dan marah. Kenapa Bright selalu saja tak pernah pikir panjang ketika melakukan suatu hal?
Mabuk, gila.
“S-shalom...”
Win menggigit kecil bibir bawahnya, “hm?”
“I am broken. I am broken outside and inside. I am broken both physically and mentally, i am genuinely broken...”
Bright mungkin mengucapkannya dalam satu tarikan nafas. Mungkin juga diucapkan dalam keadaan tidak sadar, tapi Win tetap memilih untuk mendengarkan.
Bukankah orang tidak bisa berbohong ketika mabuk? Bukankah mereka akan selalu jadi yang paling jujur ketika mabuk?
“I really am sorry for hurting you all over again,”
Tanpa sadar, Win juga sudah ikut menangis. Matanya masih terus terpejam, ia sedih dalam kesendiriannya malam itu sambil terus mendengarkan Bright, yang juga sedang hancur di seberang sana.
“Gue nggak pernah belajar, i always did the same mistake many times, i made you cry, i disappoint you again and again, i am such a failure.”
Bright menangis. Terdengar suara kepala yang sengaja dibenturkan ke meja berkali-kali, pun juga terdengar isakan lirih yang menyayat hati.
“Shalom, maaf...”
“Maaf, maaf, maaf, maaf...”
“S-shalom, sayang,”
Win berdehem pelan, “hm... say it all.”
“Hehehe, S-shalom kesayangan Vino,”
“Maaf, maaf, maaf, maaf...”
Win melirik jam dinding kamarnya, sudah jam setengah dua belas malam, dan Bright tampaknya belum mau berhenti meminta maaf.
“Shalom,”
Kepala Win mengangguk pelan, sambil setetes air matanya tumpah ia kembali menyahut, “yaaa, Vino?”
“I love you...”
Hening.
“I love you to the point I could only cry when it comes to you,” Lalu terdengar pekikan lagi di ujung kalimatnya, “hehehe, cengeng ya...”
Masih hening.
“I love you so much, it hurts...”
Tetap hening.
“Can we start… again?”
Win menggeleng, meski Bright tidak bisa lihat, ia tetap menggeleng.
Bright terkekeh miris ketika ia sadari tidak ada jawaban apa-apa darinya. Gumaman tidak jelas kembali terucap asal dari bibirnya, diiringi dengan gelak tawa hambar yang berujung isak tangis.
Win menyeka air matanya sendiri, lalu tubuhnya beranjak ke arah lemari. Ia meraih asal sebuah jaket dari dalam sana, lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di nakas samping ranjang.
“Stay there, jangan matiin teleponnya.”
Bright bergumam penuh antusias di seberang sana, “i can't sing you a lullaby tonight, i lost my guitar, sorry...”
“It's okay, Bii…” secepat mungkin Win menuruni anak tangga rumahnya, “i am going to pick you up, tunggu ya, oke?”
Hehehe, “okay, bye, Shalom,”
. . .
Situasi di dalam mobil, tadi, sama sekali tidak menolong. Bright yang mabuk berat acap kali merengek sambil meminta maaf, terus menerus, lalu menangis setelahnya.
Ini adalah kali pertama Bright mabuk, dan efeknya sudah separah ini.
Win tidak bisa menebak kira-kira berapa gelas yang berhasil pemuda itu habiskan? Dan berapa kadar alkohol minuman yang pemuda itu pesan pada si bartender yang dengan senang hati meminjamkan ponselnya pada sang mantan kekasih?
Tidak jauh berbeda dengan situasi canggung di dalam mobil, kali ini kebekuan juga tercipta di dalam kamar Win.
Win baru saja selesai membasuh bersih tubuh Bright dan memakaikan pemuda itu satu pasang piyama berwarna biru tua.
Kini keduanya berbaring saling memunggungi di balik satu selimut yang sama.
“Shalom,”
Win yang memang belum tidur dan tidak ada rencana untuk berpura-pura sudah tidur pun menjawab panggilan Bright barusan, “kenapa?”
Bukannya langsung membalas jawaban Win, Bright justru terkekeh kecil sambil memainkan jari-jarinya di ujung selimut, “Shalom is such a beautiful name.”
Ck, Win berdecak, “masih mabuk, ya?”
“Hehehe, sedikit,” Bright memberikan jeda singkat pada ucapannya, “but i am sober enough to apologize to you for what i have done.”
Hening. Rasanya lama-lama Win muak dengan segala bentuk permintaan maaf yang diucap Bright.
“I am sorry if i ever hurt you,”
“I truly am sorry if you cried everyday,”
“I am deeply sorry for everything i did to you, Shalom.”
Win menghela pelan nafasnya, “nggak capek kah minta maaf terus?” lalu kesalahannya diulang lagi, minta maaf lagi, mengulang kesalahan lagi?
“Eh, did i?”
Win mengangguk, “di telfon pas lagi mabuk berat, di mobil dan sekarang. Is that your new template, hm?”
Hehehe, “are you hate me that much, Shalom?”
Win, diam. Bungkam adalah jalan terbaik.
“Ah, i get it now,” Bright menghela berat nafasnya, ia gusar, “kesalahan gue sebesar itu, sampai lo benci sama gue kayak gini.”
Win muak. Benar-benar muak dengan kebiasaan Bright yang selalu ambil kesimpulan sendiri, sesuka hati.
Lantas Win menggulingkan tubuhnya ke sisi kiri dan menarik tubuh Bright untuk terlentang menghadap ke arahnya. Tanpa ragu, Win membungkam mulut Bright dengan sebuah ciuman. Ciuman panjang penuh amarah.
Bright diam, membiarkan Win melampiaskan emosinya lewat ciuman itu.
Seolah baru saja sadar akan apa yang ia lakukan, Win langsung menarik dirinya menjauh.
Kali ini, keduanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamar.
Keheningan kembali mendominasi ruangan itu. Win sibuk dengan asanya, dan Bright sibuk dengan segala rasa bersalahnya.
Sampai akhirnya, Bright kembali jadi pihak yang memecah keheningan.
“Satu aja… satu kali aja kesempatan buat gue m-memperbaiki s-semuanya… boleh, Win?”
Win tetap memilih bungkam. Rasanya tidak ada kata yang bisa mewakili segala asa untuk membentuk sebuah jawaban. Hanya suara saliva yang melewati tenggorokan yang mengisi sepi malam itu.
“I was so impulsive that day. I was not on my right mind, i was lost, i wasㅡ”
“Bright,” akhirnya Win menjawab. Kalimat putus-putus yang terucap dari bibir Bright sukses mendorongnya untuk membuka mulut.
Bright nyaris tersenyum ketika Win membalas perkataannya, tapi sayang… Win justru membuatnya kembali harus menelan pil pahit.
“Can we stop…?”
Win, sudah menyerah. Harusnya Bright tahu itu dan berhenti berusaha.
Lalu pemuda bernama depan Elvino itu mengangguk pelan sambil bergumam, “okay, let's stop trying.”
Inilah finalnya, dan Bright harus menghargai keputusan Win, sekalipun ia merasa sedih bukan main.
“Vino,”
Bright menyahut, “hm?”
“Kiss me,”
Tidak ada jawaban, Win tahu Bright pasti kaget dengan permintaannya barusan.
“Kiss me for the last time and proof me that the love is no longer here, between me and you,”
“Kiss me, Bright.”
. . .
JEYI // 210412.