A Little Secret In Japan 🔞

“Hokkaido 'kan tinggi, maksudnya… cukup jauh dari pusat negara Jepang, so what made you choose this place to spend the whole days of your escape?”

Bright menyunggingkan seulas senyum tipis di wajahnya. Ia melirik si lelaki private tour guide yang berdiri tepat di sebelahnya, cantik dan berwibawa di waktu yang bersamaan.

Kali ini tawa kecil Bright menjadi jawaban pertama yang si private tour guide terima malam itu.

“it reminds me a lot of how cute my childhood dream was. Gue dulu punya cita-cita buat keliling Jepang sama orang yang gue sayang, but unlucky me… i am an orphan now so i have no one.”

“That's a secret anyway,” sambungnya.

Si private tour guide balas menoleh, satu alisnya bertaut penuh kuriositas. “So, why did you tell me? Isn't that your secret?”

“Sometimes it just feels right when you're become an open book to strangers,”

“Why?”

Bright menghela pelan nafasnya. Sebagian atensi ia pusatkan pada si private tour guide, sebagian lagi ia simpan untuk menerka-nerka jawaban seperti apa yang bisa ia berikan saat ini.

“Because we only met once?”

tags: (NSFW🔞)ㅡ tourist!bright x private tour guide!win, contains explicit contents, adult-talks, strangers to lovers, rough kissing, chest play, public sex, dirty talks, blowjob. total words: 13.451 words. commissioned by: anonymous.


(Bandara New-Chitose, Sapporo, 9:00 PM GMT+9)

“So, jadinya kamu beli JR Pass?”

Kedatangan Bright malam itu di bandara Chitoseă…ˇ Sapporo, disambut oleh seorang pemuda manis bergigi kelinci yang tubuh tingginya terlihat mungil tenggelam dalam balutan jaket berbulu.

Sebelumnya, Bright tidak tahu akan seperti apa wujud dan rupa sang private tour guide yang disarankan oleh Mikeㅡ teman kuliahnya. Tapi berhubung pemuda ini sempat menyebutkan nama Mike, ya… mau nggak mau membuat Bright percaya-percaya saja kalau si pemuda bergigi kelinci ini adalah seseorang yang dimaksud oleh sang teman.

Keramaian yang mendominasi di bandara ibu kota kepulauan Hokkaido itu tampak belum akan menemui surutnya, padahal waktu sudah memasuki jam 9 malam. Sambil menarik kopernya yang tidak terlalu besar, Bright melirik si tour guide man lalu berdehem pelan, “sempet googling gitu, katanya bakalan lebih hemat untuk turis yang short escape kayak gue gini.”

Beneran kok, Bright memang sempat mengais beberapa informasi lewat internet yang menurut dia akan bisa dijadikan pedoman selama melarikan diri ke negeri sakura, Jepang. Dan dari beberapa holiday vlog yang ia tonton di youtube, memang penggunaan JR Pass sangat dianjurkan bagi turis luar negeri yang akan berlibur di sana. Apalagi status kedatangan Bright di sana adalah sebagai temporary visitor.

Si pemandu wisata menyahutinya dengan sebuah anggukan, “oke, keren banget ya kamu nyempetin buat nyari tau dulu soal apa-apa aja yang kamu butuhin selama melarikan diri ke Jepang, padahal kamu bisa chat saya directly at least sebulan sebelum kamu datang ke sini,”

“I can tell you the things that you might need while on vacation here.”

Duh, iya sih… Sebenernya Mike juga sudah ngasih saran agar Bright lebih dulu menghubungi temannya ini untuk perkenalan singkat yang sudah pasti akan disambung dengan pembahasan kecil tentang apa-apa saja yang mungkin akan Bright butuhkan selama di Jepang, termasuk apa-apa saja agenda yang mungkin akan mereka lakukan selama 14 hari ke depan.

Tapi ya, katakanlah Bright terlalu gengsi karena harus menghubungi orang yang tidak ia kenal lebih dulu, which is it's prohibited things to do in his own dictionary, atau anggaplah ia ingin memberi surprise untuk dirinya sendiri agar bisa menentukan first impression tentang si pemandu wisata once they're met here in Sapporo.

Ya, walaupun terlambat banget sih, dan lagi sebenernya ini dadakan banget... Bright bahkan awalnya tidak yakin kalau teman dari Mike ini akan menyanggupi pekerjaan yang diberikan secara super duper dadakan.

Tidak mau mengakui keteledorannya secara eksplisit, Bright cuma bisa garuk-garuk kepala sambil mencari alasan logis, “it's not a big thing, i can do it by myself,”

“Jadi dimana gue bisa nebus Japan Rail Pass gue?” sambungnya, seraya kepalanya celingak-celinguk mencari tempat yang memang diperuntukkan bagi para turis mancanegara yang hendak menebus JR Pass mereka.

Masih sambil melangkah berdampingan membelah keramaian, si pemandu wisata kembali berujar, “kamu tau 'kan, JR Pass tipe mana yang harus kamu beli supaya nggak sia-sia selama kamu stay di Sapporo?”

Pertanyaan si pemandu wisata sontak membuat Bright menghentikan langkah. Pemuda yang malam itu terbalut busana khas musim dingin ala-alaㅡ sesekali giginya melakukan bruxism, memicingkan satu alisnya, “wait, wait. Jadi bener kalau nggak semua Japan Rail Pass bisa dipake di Jepang?”

Nggak lucu 'kan, kalau ternyata Bright harus kesandung masalah padahal belum sampai satu jam dia menapakkan kaki di negeri sakura?

Si pemandu wisata yang malam itu terbalut celana jeans skinny berwarna putih, juga bagian atas tubuhnya yang diselimuti sebuah jaket abu-abu lalu ditimbun dengan jaket khas musim dingin, turut menghentikan langkah. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Bright berbalik, menghadap pada sang klien yang akan ia kawal selama 14 hari ke depan itu.

Kepalanya mengangguk pelan, “bukan nggak bisa kepake, tapi Jepang itu punya beberapa kota yang transportasi umumnya nggak semua tercakup di bawah naungan Japan Railways, jadi kamu harus order yang sekiranya akan lebih berguna di kota yang kamu pilih. And in this case, you are in Hokkaido for now, Sir.”

Bright terdiam, tidak langsung menjawab. Si pemandu wisata yang bisa melihat kalau Bright mendadak nge-blank, beranjak untuk mendekati sang turis, “kenapa? Jangan bilang kamu nggak tau tentang hal sedasar ini?”

Sebenarnya, pantang hukumnya bagi seorang pemandu wisata untuk melakukan judgement seperti itu pada turis yang akan dilayani. Tapi berhubung Mike pernah bilang kalau ia bisa menganggap Bright sebagai teman, because luckily they're at the same ageㅡ kata Mike, jadinya, ya… sebisa mungkin ia akan berkomunikasi layaknya sebagaimana dua orang teman sedang saling bertukar obrolan.

Lantas si pemuda pemandu wisata mengulurkan telapak tangannya yang menengadah ke depan Bright, “let me see, biar saya tau exchange order apa yang kamu pegang sekarang.” katanya.

Bright mendesah pelan, niatnya untuk melepas penat, healing, sekaligus bersenang-senang selama di Jepang seolah lenyap entah kemana. Enggan membuat si pemandu wisata semakin cerewet, Bright pun merogoh tas selempang kecilnya dan mengambil exchange order miliknya dari sana.

“Gue milih yang Whole Japan Rail Pass, karna gue pikir ini bakalan bisa dipake buat semua wilayah di Jepang.”

Si pemandu wisata mengambil alih kertas exchange order dari tangan Bright dan membacanya perlahan-lahan. Kepala pemandu wisata itu sesekali bergerak membentuk anggukan, suara deheman pelan lolos dari belah bibirnya, “oh iya, nama saya Win. Saya nggak sempet nanyain ke Mike, apakah dia sudah pernah memperkenalkan nama saya ke kamu atau belum. Dan kata Mike, kita seumuran, so it's okay kalau kamu mau bicara informal sama saya selama kamu jadi tanggung jawab saya di sini.”

Bright menatap canggung tangan kanan si pemandu wisataă…ˇ namanya Win, yang tiba-tiba terulur di depannya. Seumur hidupnya, baru kali ini Bright menyesal tidak punya skill yang mumpuni untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang asing. Ia jadi bingung sendiri bagaimana harus menyikapi perkenalan yang dilakukan oleh Win, yang secara implisit juga merupakan teman baik dari Mike.

Sampai ia lihat tangan Win bergoyang pelan seolah sedang memanggil-manggil. Oke, oke, take it easy, Bright. Lo cuma perlu angkat tangan kanan lo, dan bales uluran tangan dia. Terus sebutin nama lo, then ya udah, beres deh semuanya, clear, batinnya sibuk merancang kewarasan yang tiba-tiba malfungsi.

Lantas sambil menatap Win dengan setumpuk kecanggungan yang mendominasi, Bright membalas uluran tangan itu, “Bright.”

Hahaha, Win terkekeh pelan, ada pola bulan sabit yang terbentuk di kedua sudut matanya, “saya udah tau nama kamu dan juga beberapa hal tentang kamu yang sengaja dibocorin sama Mike dengan alasan biar saya bisa pantau kamu selama di sini. Saya juga tau kalau sekarang kamu niatnya liburan sambil ngobatin patah hati, right?”

Bright memutar jengah sepasang bola matanya, “that's none of your business.” Cepat-cepat, ia sudahi acara perkenalan singkat mereka.

“Mike terlalu khawatir karna kata dia, nggak biasanya kamu mumet terus ngide kabur ke luar negeri. Paling jauh juga, nyari gudeg ke Jogja. Itu aja berhasil bikin satu tongkrongan panik bukan main,”

Demi Tuhan, setelah ini Bright akan buat reminder di ponselnya kalau 2 minggu lagi, dia akan mencincang Mike hidup-hidup.

“Jadinya ya, let's say that Mike lagi nitipin kamu ke saya.” sambung Win, masih dengan senyum manisnya yang justru membuat Bright super duper jengkel.

Bright, paling nggak suka privasinya diketahui orang lain. Kalau Mike atau Guns nggak sengaja mergokin dia nyebat cuma karena kesal nilai tugasnya berantakan, pasti dua orang itu akan membuat spekulasi sendiri dan berujung overthinking nggak jelas. Dan sekarang, kasus serupa justru terjadi lagi.

Bright, memang sedang patah hati. Hubungannya dengan sang mantan yang sudah terjalin selama 3 tahun yang ia kira bisa bertahan lama, ternyata kandas juga. Tapi… Bright tidak segila itu untuk melarikan diri ke Jepang cuma karena hatinya sedang terluka.

Sebenarnya sudah sangat lama Bright ingin menjajaki kaki di negeri sakura, bahkan pergi ke Jepang adalah salah satu goals yang pernah ia tulis di buku hariannya ketika masih kecil. Jadi ya, mumpung ada 'momen'-nya, sekalian trobos aja.

Tapi kayaknya, Mike lagi dan lagi overthinking dan membuat cerita seolah-olah perjalanannya kali ini adalah untuk menghibur diri. Ckckck, ya nggak sepenuhnya salah sih, tapi Bright nggak se-sad boy itu, kali?!!

Dan berhubung Win sudah terlanjur tahu soal agenda patah hatinya, mau nggak mau Bright mengakui, “sebenernya healing emang salah satu tujuan gue cabut ke sini. Tapi gue mau healing ya bukan cuma karna gue lagi patah hati, gue nggak se-cupu itu. Buat apa keluar budget banyak cuma buat kabur karna lagi galau?”

Satu kali lagi Win terkekeh, “jangan salah lho, beberapa turis yang pernah pakai jasa saya juga pernah ngaku kalau mereka dateng ke sini ya buat ngeredain patah hati, or life is just too stressful, so yes… they got the reason right there.”

“Sapporo is a beautiful place and you are lucky that you are here during winter. Sapporo could be a place to heal your pain and make you happy all over again.” sambung Win, yang cuma direspon dengan sebuah deheman dingin oleh Bright.

Satu mata Win memicing memandang Bright yang kelihatannya sangat tidak approachable, terbukti dari atensi pemuda itu yang kini melanglang buana menyisir seluruh sisi bandara seolah-olah sedang mencari sesuatu.

Oh iya, astaga! Win sampai lupa! Kebablasan dan terlalu asik menyelami sifat si turis eksklusif, Win malah mengabaikan kertas exchange order milik Bright yang masih ia pegang.

“Oh iya, soal exchange order punya kamu, sebenernya nggak apa-apa kalau kamu tetep mau pakai yang ini, karna transportasi umum di Hokkaido yang tercakup sama jangkauan Japan Railways juga banyak, jadi nggak akan sia-sia. Cuma berarti pas kamu order ini, kamu kena harga yang cukup jauh lebih mahal dibanding kalau kamu pilih yang opsi single city pass, yang cuma akan berlaku di Sapporo atau JR Hokkaido Rail Pass, yang bisa kamu pakai untuk keliling berbagai tempat di Hokkaido,”

Win belum selesai dengan ucapannya, “kalau yang tipe ini, sayang banget untuk jatah wilayah lain yang pastinya bakalan nganggur, kecuali setelah dari sini kamu masih mau keliling Nagoya atau Osaka, dalam kurun waktu empat belas hari setelah kamu aktivasi JR Pass kamu.”

Bright tampak menimbang-nimbang penjelasan Win barusan, “bisa di-refund, nggak? Terus kalau gue mau beli yang versi khusus buat keliling Hokkaido aja, bisa?”

Win mengangguk, “bisa, tapi untuk refund sendiri nanti uang kamu bakalan dipotong sepuluh persen dan untuk kamu order yang baru, kemungkinan akan lebih mahal dibanding kalau kamu order secara online sebelumnya.”

Ah, udahlah, Bright sama sekali nggak mau memusingkan soal tragedi JR Pass yang terlanjur salah beli ini. Alhasil, entah sadar atau tidak, Bright langsung menggamit satu lengan Win dan mengajak pemuda itu untuk segera melangkahă…ˇ lagi, membelah keramaian setelah keduanya sempat melipir selama beberapa menit.

“Gue males kalau harus pakai acara refund-refund segala,” suara roda dari koper yang ditarik agak cepat turut menemani langkah kaki mereka malam itu, “wasting time banget, jadi nggak apa-apa lah pakai yang ini aja. Tapi beneran 'kan, yang tipe ini bisa dipergunain juga selama gue di sini?”*

Win cuma bisa pasrah. Bola matanya sesekali mengerling bingung, sambil tungkainya terus berusaha menyamakan langkah kaki Bright yang terlampau lebar. Kepala si pemandu wisata itu mengangguk menyahuti pertanyaan Bright barusan, “bisa, no need to worry about that.”

“Oke, kalau gitu sekarang lo temenin gue ke sales office nya buat nukerin ini.” Kayaknya sih… Bright sadar kalau tangannya masih setia menggamit lengan Win ketika mereka melangkah berdampingan. Tapi, pemuda itu memilih abai dan langsung merebut kertas exchange order miliknya dari jangkauan si pemandu wisata rekomendasi dari Mike itu.

“Apa aja yang harus gue siapin buat nebus JR Pass gue?” tanya Bright.

Win yang mulai ngos-ngosan karena dibawa melangkah cepat pun tiba-tiba menghentikan langkah. Wajahnya yang semula sumringah sekalipun Bright meresponnya agak judes pun, kini berganti jadi datar. Tangannya yang bebas dengan refleks menarik lengan Bright yang masih melingkari miliknya, membuat si turis eksklusif itu berbalik menghadap ke arahnya dengan wajah bingung.

“Bright,”

Bukannya membalas panggilan tersebut, Bright hanya mengangkat satu alisnya sebagai respon.

“Yang jadi private tour guide di sini itu saya, kenapa malah kamu yang nyeret-nyeret tangan saya kayak gini? Dan lagi, kita salah jalan. Sales office Japan Railway bukan lewat sini.”

Dalam hati Bright meringis, hadeeeeh… padahal baru nyampe, masalah udah segunung aja..

Tidak lagi punya energi untuk menjaga imej di depan Win, Bright pun mengulas senyum innocent di wajahnya.

“Ya udah iya, maaf, ini jadi kita harus lewat mana, Win?”

Toh, dirinya cuma akan menghabiskan waktu selama 14 hari bersama pemandu wisata manis ini. Apa salahnya untuk belajar beradaptasi secara kilat demi menjunjung bahagia yang bisa ia dapatkan selama refreshing di Sapporo, 'kan?!

Be another version of you for the next 14 days here, habis itu… Lo bisa balik jadi diri lo yang unreachable kayak biasanya, oke, Bright?

“Follow me,” ujar Win, yang mulai jengah dengan tingkah laku aneh Bright.

Seolah benar-benar sudah bertekad untuk jadi the other version of he himself selama di Jepang, Bright pun totalitas dalam menjalani misinya untuk bersenang-senang. Kepalanya mengangguk penuh antusiasme, “oke, let's go!”

“Siapin paspor asli kamu, nanti kamu bakalan diminta untuk ngisi form identitas dan keaslian data diri kamu akan dicek lewat paspor.”

Karena status Win sekarang adalah private tour guide, jadi tidak ada salahnya 'kan kalau ia berinisiatif untuk 'membimbing' turisnya yang satu ini, yang kayaknya agak sedikit nyeleneh dibanding turis-turis yang ia layani sebelumnya.

Lagi lagi Win menengadahkan tangan, “give me your passport, biar kamu nggak keteteran nanti pas udah sampai di tempat penukaran.”

Dengan semangat, Bright mencari paspor miliknya dan memberikannya pada Win.

“Uhm, Win,”

Win yang baru saja hendak kembali melangkah, kini memicingkan satu alis tebalnya, “kenapa, Bright? Ada pertanyaan?”

Sambil mengangguk, Bright berkata, “can i hold your hand, again?”

“Biar gue nggak hilang, hehehe. Lo udah liat sendiri 'kan, gue anaknya agak nyeleneh. Gue nggak mau nyusahin lo aja, kalau pahit-pahitnya gue hilang di bandara, nanti lo juga yang repot, hehehe.”

Benar juga sih, kayaknya semakin malam Bright memang semakin jadi nyeleneh. Pasalnya, beberapa waktu lalu, pemuda itu masih bersikap dingin dan cuek. Tapi baru-baru ini, pemuda itu berubah jadi sedikit ceria dan banyak omong.

Win jadi bingung sendiri, kenapa Mike nggak pernah bilang kalau Bright bisa membelah diri dari segi sifat seperti ini?!!

Tidak mau membuang-buang waktu karena hari semakin beranjak malam dan sayangnya Win sama sekali belum makan karena menunggu kedatangan si turis eksklusif ini, kepalanya lambat laun mengangguk, mengiyakan.

“Thanks, Win!”

Lalu dalam hitungan detik, Bright langsung menggamit lengan kiri Win sedangkan tangan kirinya sibuk menarik koper yang rodanya kembali berputar dan bersuara mengiringi langkah kaki mereka malam itu.

. . .

“Oke, ini access card kamar kamu, dan kamu bisa masuk ke dalam sekarang, terus istirahat. Besok pagi saya akan datang ke sini lagi, kita diskusi soal lokasi-lokasi di sini dan kamu bisa pilih tempat mana aja yang mau kamu datangi.”

Ujung sepatu musim dingin yang dipakai Bright baru saja berhenti tepat di sebuah pintu kamar hotel berbintang 4ă…ˇ dengan nomor 221.

Bright menoleh, “nggak mau masuk dulu, Win? Istirahat sebentar, mungkin? Atau nginep sekalian, it's almost midnight anyway,”

Yang ditanya menggeleng singkat, “dormitory saya nggak begitu jauh dari sini. It's okay, masuk gih, it must be a long day for you.”

Jelas… sangat-sangat longggg day! Perjalanan dari Indonesia menuju Hokkaido bukanlah perjalanan singkat yang biasa ia lakukan seperti agenda short escape-nya dari Jakarta menuju Bandung, atau dari Jakarta menuju Jogja. It took so long, sampai-sampai kakinya baru terasa pegal di jam segini. Rasa lelah juga mulai menggerayangi tubuhnya yang sesekali menggigil kedinginan.

Win tersenyum melihat Bright yang masih kesusahan beradaptasi dengan suhu minus di Hokkaido. Rasanya… seperti melihat kembali dirinya sendiri di bulan-bulan pertama ia memantapkan hati untuk meneruskan pendidikan di salah satu universitas yang ada di sini.

Tangannya terangkat mengusap pelan lengan kanan si turis, “penghangat ruangannya jangan lupa dinyalain. Kalau kamu nggak sanggup mandi malam ini, nggak apa-apa, bersih-bersih seadanya aja.”

“Oh iya, satu lagi,”

Semakin malam, Bright semakin dibuat menggigil. Kesotoyannya akan dugaan kalau Hokkaido tidak akan sedingin apa kata orang-orang, nyatanya mampu membungkam mulut pemuda itu untuk menahan gemeletuk yang bisa mempermalukan dirinya sendiri di depan si pemandu wisata.

Bright cuma bisa membalas ucapan Win dengan satu mata yang memicing, mempersilakan pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya.

“Biasanya, di hotel ini disediain sleep robe hangat yang bisa kamu pakai buat tidur. Tidurnya usahain pakai jaket yang lebih tebal daripada yang kamu pakai sekarang, terus yang paling penting ya itu… heater nya jangan sampai lupa kamu nyalain.”

Bright cuma bisa mengangguk pelan. Kepala dan lidahnya terasa kelu, sulit untuk merespon nasihat yang diucap Win untuknya.

Satu kali lagi Win mengelus lengan Bright yang terbalut sebuah jaket, “good night, see you tomorrow.”

Tidak mau terlihat sombong dengan tidak membalas ucapan selamat malam dari Win, Bright memaksakan diri untuk membuka belah bibirnya. Susah payah ia menahan dinginnya udara sambil berusaha menyuarakan kata-katanya,

“Thank you for accompanying me today, Win. See you tomorrow dan hati-hati di jalan.”

. . .

Nyatanya, hari ke-2 Bright di Sapporo tidak semulus yang diharapkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang waktu setempat ketika kelopak matanya perlahan-lahan terbuka menyambut cahaya. Sambil berusaha mengumpulkan nyawa, Bright merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit dan pegal luar biasa. Kakinya bergerak serampangan di balik selimut, hasrat untuk melanjutkan tidur seketika meningkat ke level yang jauuuh lebih tinggi.

Tok… Tok… Tok…

Suara ketukan di pintu bahkan tak diindahkannya. Bright malah menarik selimut untuk kembali menutupi seluruh tubuhnya, dari ujung kaki sampai kepala. Tubuh sepanjang 183 sentimeter itu menggulung malas di atas ranjang.

Tok… Tok… Tok…

Ah, buat apa Mike pagi-pagi datang ke apartemennya? Mau numpang sarapan lagi? Harus berapa kali Bright bilang, kalau apartemennya bukanlah warteg umum yang bisa Mike singgahi kapanpun pemuda itu kelaparan?!!

Tok… Tok… Tok…

“MIKEEEEE!!! GUE MASIH NGANTUK ANJINGGGG!!!” Meluap sudah kesabarannya.

Mau nggak mau Bright kembali memaksa sepasang kelopak matanya untuk terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat gorden kamar cukup membuat ia tersadar kalau hari sudah beranjak siang.

Tunggu, tunggu. Ini bukan kamarnya.

That sudden realization sukses membuat Bright mengubah posisinya menjadi duduk dengan rasa panik yang membuncah. Matanya menelisik ke segala arah, dan berhenti pada sebuah koper hitam yang ada di bawah meja, di sudut kamar.

Fuck, he's faaaaar away from home, Bright baru ingat kalau ia sedang melarikan diri ke negeri orang.

Tok… Tok… Tok…

Aduh, siapa sih yang jam segini ngetuk-ngetuk pintu kamarnya?

“Aduh, kalau petugas hotel gimana ya… Gue nggak ngerti bahasa Jepang. Kemarin aja yang jadi juru bicara dadakan 'kan siㅡ Win, wait! wait! wait! Jangan-jangan itu Win.”

Sambil grasak-grusuk sana-sini, Bright mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, di samping ranjang. Ibu jarinya bergerak cepat di atas layar, membuka salah satu ruang obrolan yang berhasil menjawab rasa penasarannya kali ini.

Win (tour guide): • Bright, saya on the way ke hotel ya… • Kamu mau breakfast di resto hotel atau coba keliling di sekitar hotel, biar saya temenin • Bright, kamu belum bangun? Saya sudah di depan kamar kamu… • What a great night then, Sir. Happy to know that you're sleeping well. Saya turun dulu kalo gitu, takutnya kamu kelewatan jam breakfast hotel jadi saya mampir ke minimarket buat beliin kamu sarapan, okay? • Will be there in 20! • Bright, belum bangun?

Bubble chat terakhir terkirim sekitar 7 menit lalu. Cepat-cepat Bright menendang selimutnya sampai jatuh ke lantai, lalu beranjak turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu kamar.

Sudah tidak bisa berpikir jernihă…ˇ kombinasi jetlag, ngantuk, antusias, membuat Bright acuh dengan penampilan bangun tidurnya yang ugh, agak berantakan.

Pemuda itu membuka pintu kamar hotel perlahan-lahan, dan eksistensi Win dengan dua plastik besar di tangan kiri dan kanannya menjadi pemandangan indah pertama yang ia lihat hari itu.

Win tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat Bright yang seperti orang linglung. Rambutnya berantakan, beberapa garis terjiplak mulus di wajahnya, bibir bawah yang sedikit mencebik entah apa tujuannya, berhasil meyakinkan Win kalau si turis nyeleneh ini benar-benar baru bangun dari tidurnya.

“Good morning, Sir.” sapanya.

Bright turut membalas senyum Win, sambil membuka pintu lebih lebar lagi, “pagi, Win. Masuk, masuk.”

Keduanya pun melangkah memasuki kamar hotel yang ditempati Bright untuk 13 hari ke depan. Win berjalan lebih dulu, dan Bright mengikuti di belakang.

“Laper banget, Bright, sampai kamu nyeduh ramen lagi semalem?”

ANJRIT, Bright baru sadar kalau kamar hotelnya agak terlihat seperti kapal pecah; sampah ramen di atas meja, beberapa bungkus snack dan botol susu berserakan dimana-mana, aduh… pagi-pagi udah mempermalukan diri sendiri aja sih lo, Bright?!!

“Ya ampun sori, Win, sori. Semalem gue kedinginan banget tuh, ya udah gue inisiatif aja nyari hangat dari kuah sama uap ramen, terus karna kepedesan ya gue lanjut minum susu deh tuh empat botol. Semalem gue juga nggak langsung bisa tidur, jadinya gue nonton film sambil ngabisin sisa jajanan yang ada di tas gue.”

Bright langsung tancap gas untuk membereskan kekacauan yang ia sebabkan seorang diri. Mulai dari memungut bungkus-bungkus snack dan botol susu, lalu membuang sampah bekas ramen ke tempat sampah.

Win cuma bisa maklum dengan kondisi Bright sekarang. Sudah ia bilang, Bright ini persis dirinya ketika 5 tahun silam memutuskan untuk menetap di Hokkaidoă…ˇ masih kaget, masih bingung.

Lalu Win melangkah menuju meja yang sudah bersih, meletakkan plastik belanjaan yang dibawanya di sana.

Sambil menunggu Bright merapikan ranjang, Win mengeluarkan beberapa makanan dari dalam sana.

“Kamu udah kelewatan jam breakfast hotel. Perutnya diganjel dulu pakai ini, nggak apa-apa ya?”

Bright yang tengah sibuk menarik sprei putih, menyempatkan waktu untuk melirik Win yang sedang menata beberapa makanan di meja. Bright juga bisa melihat ada the iconic onigiri di sana.

“Waduh, Win, jadi ngerepotin gini. Sori, ya...”

“Mana ada ngerepotin, lagian Mike juga udah bilang kalau kamu emang langganan bangun siang. Jadi nggak heran deh, walaupun lagi nggak di rumah sendiri, kebiasaan yang satu itu akan tetep kamu bawa kemana-mana, because i do, hahaha.”

Bright yang sedang melipat selimut pun mulai tertarik dengan obrolan pagi mereka, “lo juga langganan bangun siang? Kok sekarang bisa bangun pagi?”

“Because i have work to do? And it's being your private tour guide.”

Setelah selesai dengan urusan ranjang yang berantakan, Bright kini melangkah menghampiri Win yang sedang melipat plastik bekas tempat belanjaan. Matanya seketika berbinar dan cacing-cacing di perutnya mendadak menggelar konser akbar begitu ia lihat ada 6 onigiri, 3 rice box berisi ayam katsu mayonaise dan saus keju, juga beberapa botol kopi, susu dan yoghurt tersaji di atas meja.

Ada juga beberapa bungkus makanan ringan di sana, “ini semuanya buat gue, Win?”

“Nggaaaaak,” Win mengambil dua onigiri lalu menggenggamnya agak kuat, “yang dua ini punya saya, sama yoghurt stroberi ini, ” satu botol yoghurt pun juga langsung diambil alih oleh si pemandu wisata, “punya saya juga. Saya belum sarapan, hehehe. Karna mikirnya harus bawa kamu keliling dari pagi setelah breakfast, jadi pagi-pagi banget saya berangkat dari dormitory ke sini.”

Aduh, gue jadi nggak enak hati... Win, sudah pakai effort penuh untuk bangun pagi dan datang ke sini, sedangkan dirinya malah tidur dengan nyenyak dan baru bangun di jam segini.

Entah disadari atau tidak, Bright mengangkat tangan kirinya dan mengelus lembut punggung tegap Win, “sekali lagi maaf ya, hari kedua berantakan banget.”

Entah disadari juga atau tidak, Win langsung membalas ucapan Bright barusan dengan anggukan tanpa meminta pemuda itu untuk berhenti mengelus punggungnya.

“Sisanya boleh buat kamu. Berhubung saya nggak tau kamu sukanya rasa apa, jadi untuk onigirinya saya beli masing-masing rasa ada dua. Yang ini isi tuna, yang satunya isi ayam, the most sold out flavors here, hahaha.”

Bright hendak mengambil satu bungkus onigiri dengan varian rasa ikan tuna, tapi gerakannya terpaksa berhenti karena ada tangan lain yang menahan.

Kepalanya menoleh menatap Win, “oh, yang ini punya lo juga? Okayㅡ”

“Enggak, bukan,” jawaban Win semakin membuat Bright memicingkan mata, ada perasaan bingung yang ikut singgah, “kamu mandi dulu sana, biar seger terus sarapannya juga nggak sambil nahan ngantuk.”

“I will wait here, go go go!”

Aduh, Mike kok nggak pernah bilang kalau punya temen… selucu ini?!!

. . .

“Kayaknya hari ini nggak usah kemana-mana dulu deh, Win,”

Win yang semula sedang sibuk memainkan ponselnya sambil duduk di atas sebuah bangku yang menghadap langsung ke arah balkon hotel, secara spontan menoleh untuk melihat Bright yang baru saja keluar dari kamar mandi… dengan penampilan yang mampu membuat dirinya kesusahan menelan ludah sendiri.

Win, kaget. Kaget banget, gila! Oke, siapa yang nggak bakalan kaget kalau tiba-tiba disuguhkan pemandangan tubuh semampai nan polos dengan handuk yang melilit di bagian pinggang sampai ke lutut. Oke, oke, ini point yang lebih parah lagi; buliran-buliran air kerap mengalir membasahi wajah sampai ke lehernya. Surai hitam masih tampak setengah basah, lalu si empunya tubuh dengan santainya sambil bersiul ria melangkah melewati Win, menuju koper yang disimpan di bawah meja.

Bright berjongkok di sana, mengobrak-abrik isi kopernya, melempar beberapa pasang baju secara serampangan ke atas ranjang.

Kepala Win menggeleng dengan sendirinya, “dia sadar nggak sih, gue ini orang asing buat dia???” STRESSSSS, Win cuma bisa bertanya-tanya dalam hati, karena kelihatannya Bright belum ada inisiatif untuk sadar diri kalau pemuda itu tidaklah sendirian di dalam kamar.

“Badan gue masih agak sableng sedikit nih, Win, kepala gue juga rada pusing, kayaknya emang gue kampungan banget nggak bisa adaptasi cepet sama suhu di sini,”

Masih asik mengacak-acak kopernya, masih asik melempar beberapa potong pakaian dalam ke atas ranjang, “oh iya, karna berarti hari ini kita nggak bakalan kemana-mana, gue boleh pakai piyama aja, Win?”

“Bright,” akhirnya Win buka suara.

Yang dipanggil pun menyempatkan waktu sesaat untuk menoleh ke arah Win, satu alisnya bertaut naik, “yes?”

“Kamu nggak kedinginan, telanjang begitu keluar dari kamar mandi?”

Hehehe, tawa kecil keluar dari belah bibir sintal Bright, lantas sambil menggaruk canggung pelipis kirinya, ia menyahut, “dingin, banget, hehehe...”

“Tapi tadi gue lupa bawa baju ke kamar mandi, terus ya, terus.. gue nggak mau keliatan norak banget kalau menggigil gemeteran di depan lo, malu abis...”

Win mendesah berat, aduh, aduh, emang deh pride cowok tuh nggak yang bisa ngalahin!

Lalu tanpa pikir panjang, Win beranjak dari bangku yang sejak tadi ia duduki selagi menikmati brunch sambil menunggu Bright mandi, kemudian melangkah menuju sebuah lemari yang letaknya ada di sudut ruangan.

Bright tidak bisa menduga-duga apa yang sedang Win lakukan, bahkan ia pun baru sadar kalau ada lemari di sana. Masih dengan posisi berjongkok di depan koper miliknya, Bright terus memandang setiap pergerakan si pemandu wisata pilihan Mike itu, sampai Win akhirnya berbalik dengan sebuah bathrobe berwarna putih di tangannya.

“Bright, di dalem sini ada bathrobe sama sleep robe,” Win melangkah menghampiri Bright sambil membuka lipatan demi lipatan kain handuk yang dipegangnya, “kayaknya semalam saya udah bilang ke kamu, deh, kalau hotel ini nyediain sleep robe dan kamu bisa pakai itu selama kamu nginep di sini.”

Win mengulurkan tangannya di depan Bright, menunggu pemuda itu untuk segera mengambil alih bathrobe di tangannya, “kalau kamu buka lemari itu, kamu bakalan nemuin satu pasang sleep robe dan satu pasang bathrobe, nih ambil,” sambungnya.

Bright yang lagi dan lagi nggak tau harus menyembunyikan kesialannya juga rasa malu yang tiba-tiba menyeruak di tengah percakapan keduanya pun cuma bisa garuk-garuk kepala sambil cengengesan.

Pemuda itu lantas berdiri dari posisi berjongkok, nyaris membuat lilitan handuk yang melingkari pinggangnya lepas karena terlalu banyak gaya. Lalu diambilnya bathrobe tersebut, “gue kayaknya teler banget semalem, Win, udah nggak nyambung sama kata-kata lo… Sori, ya?”

Kepala Win mengangguk pelan, “understandable, mata kamu juga udah lima watt banget pas kita dinner kemarin.” Lalu fokusnya ia alihkan ke sudut ruangan yang lain, memastikan kalau Bright tidak melupakan nasihatnya yang satu itu.

“Glad that you didn't forget about the heater.”

Itu dia, itu point yang paling penting. Kalau Bright lupa menghidupkan mesin penghangat ruangan, Win bisa jamin kalau si turis akan mengawali hari sebagai pasien di UGD rumah sakit.

Win baru saja hendak mengembalikan atensinya pada Bright, tapi satu kali lagi… ia dibuat nyaris terperanjat. Satu lagi pertanyaan klasik, siapa sih yang nggak kaget kalau tiba-tiba disuguhkan pemandangan half-bugil di depan mata?!!

Bright dengan santainya sedang menarik celana tidur yang masih menyangkut di batas paha, bagian atas tubuhnya terekspos bebas. Bathrobe yang tadi diberikan Win sudah tergeletak pasrah di atas ranjang.

Dalam hati, Win meringis, kenapa sih… Mike nggak pernah bilang kalau temennya se-absurd ini?!!

Ya sudah, mau diapakan lagi. Pada akhirnya Win pun harus menelan bulat-bulat segala rasa terkejutnya dan membiarkan turis eksklusif itu mulai memakai atasan. Kakinya sengaja ia bawa ke arah meja, mempersiapkan makanan yang akan disantap oleh Bright setelah ini.

Satu onigiri tuna, satu rice box chicken mayonnaise, dan juga satu kaleng kopi kemasan. Win membuka segel dan penutup rice box, pun juga membuka segel kaleng agar Bright bisa langsung menikmatinya.

“Sekarang kamu habisin ini dulu, udah saya siapin ada satu rice box ayam mayonaise sama satu kaleng kopi. Onigirinya buat makanan penutup, okay?”

Untungnya, Bright sudah selesai memakai baju, jadi Win nggak perlu repot-repot lagi untuk sport jantung. Bright yang memang sudah lapar puuuolll pun langsung melangkah mendekati Win.

“Sisanya saya simpen di kulkas mini ini,” kata Win sambil menunjuk sebuah kulkas kecil di samping meja, “rice box nya bisa kamu hangatin lagi pas nanti kamu mau makan sore atau malam.”

“Oh iya, hampir lupa,” cepat-cepat Win meraih sebuah tas jinjing miliknya yang disimpan di meja dekat lemari, kemudian mengambil sebuah paper bag berukuran sedang dari sana.

“This is for you,”

Sebuah jaket dengan aksen bulu-bulu sebagai pelengkap yang memang didesain khusus untuk digunakan saat musim dingin. Bright belum menerimanya, masih menatap jaket itu dari jarak yang cukup jauh.

Satu alisnya memicing, “jaket gue 'kan masih ada, Win. Itu juga paling tinggal nunggu kering biar bisa dipake lagi buat besok kita keliling Sapporo. Gue punya waktu seharian untuk jemur jaket gue di depan mesin heater, santai aja boss, no need to worry.”

Tapi Win enggan menuruti kata-kata Bright. Pemuda itu malah meletakkan jaket beserta paper bag dengan nama toko yang tertera di sana, lalu kembali menuju meja, “you go eat first, setelah itu kita diskusi soal tempat-tempat yang mau kamu datengin selama di sini.”

Oke, tampaknya Win mulai jengah dengan segala tingkah laku Bright yang agak sedikit susah diatur. Padahal, belum genap 2 hari mereka bertemu, tapi entah kenapa Bright merasa oke oke saja untuk menjadi dirinya yang apa adanya di depan si pemandu wisata.

Entah karena doktrin yang disuntikkan Mike di otaknya, kalau Bright bisa menganggap Win sebagai seorang teman yang mewarnai short escape-nya selama di Jepang instead of looking at him as a tour guide, atau memang pada dasarnya saja mereka sudah sama-sama nyambung satu sama lain.

Ah, nggak tau lah. Belum dua hari woooyyy, masa udah mau langsung making conclusion, sih?! Rutuk Bright dalam hati.

Pada akhirnya Bright pun menurut. Pemuda itu yang tanpa sadar masih menggigil beberapa kali, mengambil posisi duduk pada sebuah bangku di depan meja. Tangannya meraih sumpit yang sudah dibuka dan dipersiapkan oleh Win, lalu mulai menyantap sesuap demi sesuap nasi beserta ayam katsu yang diselimuti mayonaise.

Sedangkan Win ikut mengambil posisi duduk pada sebuah bangku yang ada di samping meja. Tubuhnya menyerong menatap Bright yang tampak sangat menikmati menu brunch-nya itu.

“Gue baru tau,” meski mulutnya masih dipenuhi makanan, Bright kayaknya nggak mau kehilangan kesempatan untuk membangun momen di tengah-tengah kesempitan, “kalau kenikmatan dari makanan itu emang paling enak pas dimakan di tempat asalnya.”

Satu suapan lagi baru saja masuk ke dalam mulut Bright, “makanan kayak gini 'kan banyak di minimarket-minimarket di Indonesia, dan menurut gue yang emang agak sedikit pemilih when it comes to foods, punya mereka udah bisa dibilang enak. The bestest food to eat when you're hungry at the most kepepet dan bingung mau makan apa times.”

“Tapi ternyata ada yang lebih enak di atas standard yang menurut gue udah enak,”

Bright memasukkan satu suap nasi lagi ke dalam mulutnya, “ini, asli punya Jepang emang yang paling enak, valid. You can't say otherwise.”

Melihat Bright menyukai menu makanan yang ia pilih, Win pun tak kuasa untuk menahan senyum. Pemuda itu menganggukkan kepalanya singkat, “syukurlah kalau ternyata lidah kamu masuk sama taste lidah Japanese. There's still lots of food you should try once we're finally going outside tomorrow.” balas Win.

“Ramen juga banyak kan di Indonesia, but you should try at least once Sapporo's ramen. They're the best of the best, i can guarantee.”

Sambil menikmati makanannya, Bright menyahut, “oh ya?”

Win mengangguk penuh antusias, “besok saya ajak kamu ke kedai ramen favorit saya.”

“Your favorite?”

“Yes,” tiba-tiba rasa bumbu dari kuah ramen yang biasa ia makan bersama teman-teman kuliahnya terasa di ujung lidah, “my favorite all the time.”

Dan Bright tidak lagi menimpali. Pemuda itu memilih fokus untuk menghabiskan rice box nya, lalu ditutup dengan menenggak kopi beserta onigiri yang sudah menanti.

Atensi Win ikut teralih ke arah balkon. Matahari sudah pada posisi mutlaknya di atas langit, namun kekuatan sinar nyatanya tak cukup mampu untuk menyalurkan kehangatan karena semakin siang, justru udara semakin dingin.

Ngomong-ngomong soal suhu udara, Win jadi teringat sesuatu.

“Bright, kalau kamu mau ngejemur jaket kamu yang basah kemarin, langsung jemur di balkon aja nggak usah dipaksain di depan heater.”

Yang bener aja, Win??? Lagi turun salju begini, masa iya jemur baju di balkon?!!

Merasa kalau otaknya tidak sebodoh itu, Bright pun mengelak dengan tawa kecil, “yang ada malah tambah lembab nggak sih? 'Kan lagi turun salju begini, Win…”

Oh iya, Win nyaris lupa kalau Bright terbiasa dengan iklim tropis yang jelas jauh berbeda dengan iklim di sini.

“Justru di sini jemuran tuh bakalan lebih cepet kering pas lagi musim dingin begini, Bright.”

Kedua bola mata Bright membulat tak percaya, “masa iya?! Kok bisa??? Ilmu dari mana anjir semakin dingin udara semakin jemuran cepet kering???”

Bright jadi sangsi sendiri, ini gue lagi dikerjain karna gue agak keliatan planga-plongo apa gimana, sih?!

“Yaaah, dia nggak percaya,” tubuhnya secara mendadak berdiri, melangkah menuju ranjang untuk mengambil jaket yang memang sengaja Win beli untuk Bright, “pokoknya kamu jemur jaket kamu yang basah kemarin di balkon. Terus untuk hari ini, kamu pakai yang ini dulu. Baru dibeli tadi pagi sih, but it's fine for you to wear it now.”

Bright memandang jaket yang terulur di hadapannya. Sedikit banyak bertanya-tanya, kenapa Win harus repot-repot membelikan jaket untuknya?

“Nggak usah overthinking gitu deh,” Win meletakkan jaket itu di atas paha Bright, “mungkin karna kamu kecapekan semalem, jadi kamu belum sadar kalau di sini tuh dingin banget. Kamu nyadar nggak sih, itu bibir kamu gemeteran?”

Hah? Masa iya??! Cepat-cepat Bright mengatupkan bibirnya dan ya, benar, bibirnya bergerak-gerak kecil sampai deretan gigi di dalam ikut bergemeletuk.

Win membuka pintu kulkas mini, mengambil sebotol yoghurt strawberry dari sana. Pemuda itu kembali duduk di bangkunya, menyerong menghadap Bright yang juga sedang menenggak kopi miliknya.

“Oke, Bright, jadi hari ini kamu mau me time aja, ya? Berarti saya izin pulang begitu kita selesai ngobrol soal lokasi-lokasi yang mau kamu datengin selama di sini.”

Bright menganggukkan kepalanya, “iya, kayaknya nyawa sama badan gue masih agak kepisah gitu deh, rasanya masih capeeeek banget, even showering didn't help,”

“Alright, oke deh, kalau gitu sekalian saya bahas sekarang aja ya, biar kamu bisa cepet istirahat lagi setelah ini.”

Bright tidak langsung menjawab, tapi ia memberi waktu bagi Win untuk menjalankan pekerjaannya sebagai seorang tour guide.

Sambil menikmati kopi di tangannya, Bright diam-diam memerhatikan Win yang sedang merogoh sling bag berwarna hitam miliknya. Hingga sepersekian detik kemudian, sebuah kertas brosur berukuran A5 turut hadir di atas meja.

“The flyer is fully written in english because i usually worked for foreigners, tapi untuk ngejelasin ke kamu sekarang, saya akan pakai bahasa negara kita aja, is that okay?”

“Atau, kamu mau saya jelasin pakai bahasa Jepang?” sambung Win, yang langsung dibalas dengan kerlingan jengah kedua mata Bright.

Win terkekeh, dirinya sendiri bingung apakah situasi mereka kali ini bisa disebut sebagai bonding time? Kalau iya, buat apa mereka bonding? Ain't they're strangers after all? Dan kalau nggak bisa disebut bonding, kayaknya mereka agak sedikit sudah melewati batas antara seorang pemandu wisata dengan turisnya.

Imagine you're watching your customer's almost half-naked body with a towel on, bought foods for them and having meals together right here (in his room), then talk in a very very very informal way… that's not how Win usually does his job.

Sedikit banyak Win juga sebenarnya nggak menyangka, kalau mereka akan nyambung secepat ini. Sifat dingin Bright yang kemarin sempat ia temui di bandara pun, rasanya menguap dan hilang entah kemana.

Yang ada hanya Bright, dengan segala tingkah nyelenehnya.

“Lo biasanya nge-guide kemana aja, Win? Ini semuanya pasti lo datengin?” isi dari brosur yang diberikan Win mulai menarik perhatian Bright. Pasalnya, ia tidak begitu tahu-menahu tentang seluk beluk negara Jepang, apalagi kali ini tujuannya adalah kepulauan Hokkaido yang sangat jauh dari pusat kota negeri sakura itu.

Bright juga tidak begitu perduli dengan perjalanan 'kabur'-nya selama 14 hari ini, pemuda itu hanya ingin mencari bebas dan ruang untuk bernafas, melepas penat yang sudah berhari-hari mengurung perasaan juga ruang geraknya.

Bright, bahkan dengan konyolnya harus meminta bantuan Mike mengobrak-abrik lemari di kamar apartemennya demi mencari jaket yang sekiranya layak untuk dipakai selama di Jepang. Oke, katakanlah dirinya naif, tapi Bright memang merahasiakan rencana liburannya ke Jepang dari sang sahabat karena rencana awal adalah; ia akan berlibur bersama si mantan kekasih.

Tapi sayang, hubungan mereka kandas sebelum bulan keberangkatan tiba. Jadi, terpaksa, Mike harus tahu… karena Bright melupakan fakta kalau Hokkaidoㅡ wilayah tujuannya, ternyata sudah memasuki musim dingin.

Dan dengan tak kalah konyol, Mike malah mengambil kesimpulan kalau Bright ingin menyembuhkan patah hati dengan cabut ke Jepang, dan Bright cukup malas untuk memberikan klarifikasi.

Sebuah gumaman pelan terdengar meluncur dari ranum merah muda Win, “karna sebenernya bisnis trip saya ini ya, bisnis official. Kami punya kantor yang menaungi semua pemandu wisata, and mostly are students like me.”

“Jadi, bisnis trip kami menyediakan pilihan tour yang fleksibel dengan permintaan klien, tapi biasanya sih untuk tujuh hari enam malam, atau delapan hari tujuh malam dan sisanya mereka mau jalan-jalan sendiri dan kebetulan karna saya masih dianggap junior di kantor, saya kebanyakan handle trip untuk keluarga atau kelompok skala kecil and yes, we are going to all of the places there.”

“Tapi karna case kamu adalah single trip dan saya jadi private tour guide kamu, jadi kamu bisa milih tempat mana aja yang mau kamu datengin. Dan untuk harinya, kamu juga bisa milih mau kapan aja, it's all on you.”

Satu alis Bright bertaut, atensinya beralih dari kertas brosur menuju Win, “kok jadi fleksibel ngikutin kemauan gue? Emang nggak diatur sama kantor?”

“Enggak,” kepalanya lantas menggeleng pelan, “it's my private job as well, kebetulan saya memang lagi ambil cuti karna bulan depan ada ujian dan Mike ngehubungin saya mendadak tiga hari sebelum kedatangan kamu ke sini.”

Hm, Bright jadi agak dibuat bingung dengan sistem liburannya kali ini. Pasalnya, ia memang berniat liburan seorang diriă…ˇ setelah hubungannya kandas, tapi Mike dengan segala ide ajaibnya malah menyuruh Bright memakai jasa Win sebagai pemandu wisata pribadi. Biar nggak nyasar, biar nggak aneh-aneh, soalnya orang kalo lagi patah hati suka error dikit otaknya, begitu kata Mike ketika mengantarkannya ke bandara Soekarno-Hatta.

“Hm, Win,”

Kali ini, Bright terdengar serius dengan intonasinya yang seolah meminta perhatian. Win menyahutinya dengan sebuah anggukan.

“Sebenernya gue dateng ke sini selain karna emang mau nyari suasana baru sekalian healing, gue juga mau pakai jatah tiket yang udah terlanjur gue beli sekitar tiga atau bulan lalu, nggak tau tepatnya kapan, gue lupa.”

Oh? Jadi sebenarnya Bright memang sudah merencanakan perjalanan ini?

“Oke, terus kenapa Mike baru ngehubungin saya mendadak tiga hari sebelum kamu berangkat ke sini?”

Bright terkekeh kecil, “ya karna dia juga baru tau kalau gue mau ke Jepang pas nggak sengaja dia mergokin koper gue di ruang tengah apartemen.”

“Tadinya gue sengaja nggak mau ngasih tau dia sama temen gue yang lain kalau gue mau ke sini, karna emang the exact plan was that i and my ex supposed to come here together to celebrate our anniversary in a few days, tapi sialnya kami malah putus di tengah jalan. Tiket buat dia, dia yang pegang dan tiket buat gue yang berhasil bawa gue sampai ke sini, duduk di depan lo sekarang.”

Jadi, Bright datang ke sini karena sudah terlanjur beli tiket? And he supposed to enjoy Sapporo along with his ex?

“Poor you, i am so sorry it happened to you, Bright.”

Alih-alih sedih, Bright justru mengulas senyum sambil satu kali menenggak kopi dari dalam kaleng. Kepalanya mengangguk singkat, “i am totally okay, dan mumpun ada momennya, sekalian aja gue bablas terbang sendirian ke sini.”

“So, that's why Mike agak sedikit panik pas nitipin kamu ke saya, dan itu juga alasan kenapa Mike ngehubungin saya tiba-tiba?”

“Yes, kind of,”

“Oh iya, Win, terus soal bayaran gimana ya? Mike belum ada bahasan soal ini dan gue emang nggak ada niat pakai tour guide dari awal, so how do i send you the money?” sambung Bright.

Win mengetuk-ngetuk ujung jarinya di atas meja, “it's a free then? Karna saya juga lagi nggak dalam masa wajib tugas, Mike minta tolong ke saya sebagai seorang teman, so how about you call it an exclusive holiday with a special friend?”

“Special friend?”

“Yes,” Win menjeda ucapannya sambil tertawa kecil, “Me.”

“Your most unexpected friend who will be by your side during your fourteen days in Sapporo?” sambung Win.

Sedikit banyak Bright merasa beruntung, Win adalah sosok yang mudah mencairkan suasana, mampu memulai obrolan dan membangun komunikasi yang baik. Bahkan si pemandu wisata tak ragu untuk mengalamatkan dirinya sebagai seorang teman bagi Bright yang baru kali ini ia temui. Well, ucapan Win nggak sepenuhnya bisa ia bantah sih, selain satu kalimat yang tidak ia setujui sama sekali.

“Nggak bisa gratis gitu dong, Win. Lo bener-bener bantuin gue banget dari kemarin pas gue sampai di Chitose, dan hari ini lo bahkan nyamperin gue ke sini and see...” Bright menjeda ucapannya, atensi pemuda itu kembali pada sebuah rice box yang sudah kosong di atas meja. “You even bought me foods.”

“Then be my personal tour guide for real for these fourteen days, okay?”

Tapi sayang, Win malah menggeleng, “saya punya etika pekerjaan yang harus saya junjung tinggi, Bright. Saya masih dalam masa cuti dan kalau ketahuan rekan kerja saya yang lain karna saya bawa kamu keliling Sapporo, it would be a big problem for me. Anggap aja saya teman yang kebetulan tinggal di sini dan bersedia untuk nemenin kamu, kemanapun kamu mau.”

Aduuuuh, tapi gue yang nggak enak, Win???

“Atau gini deh,” Bright menarik bangkunya mendekat pada posisi Win, lalu mengangkat kertas brosur promotion Hokkaido tour pemberian pemuda itu, “oke fine, if it's about that gue nggak bisa ngelarang lo. Tapi gimana kalau misalnya i pay for your breakfast, lunch and dinner while we're together these fourteen days?”

“Bright, nggak usahㅡ”

Bright menggeleng kuat, “No, no, no. It's my responsibility to take care of yours too sebagai ganti lo nggak mau dibayar. Impas, 'kan?”

Kalau keduanya tetap saling bersikukuh, lantas siapa yang mau mengalah? Padahal, Win benar-benar ikhlas untuk tidak dibayar. Toh, jalan-jalan bersama Bright bisa mengisi waktu luangnya selama cuti menunggu jadwal ujian, right?

Tapi wajah si turis yang memelas memohon persetujuan pun akhirnya sukses membuat Win luluh. Pemuda yang kesehariannya sibuk kuliah sambil mengambil paruh waktu sebagai seorang pemandu wisata itu pun mengangguk ringan, “it's a yes then.”

“Okeeeee...” diam-diam Bright tersenyum tipis sambil kembali melirik kertas brosur di tangannya, “mau kemana kita besok?”

Keduanya pun mulai berdiskusi tentang lokasi-lokasi yang disarankan Win serta masukan-masukan dari Bright, seperti tempat apa yang bisa membuat pemuda itu merasa rileks dan nyaman, lalu berlanjut pada obrolan-obrolan ringan sampai Win akhirnya tahu soal hobby juga rutinitas si turis eksklusif.

“You will get lots of beautiful pictures once we're at Akarenga.” ujar Win.

Belum bisa membayangkan Akarenga itu seperti apa, Bright pun cuma bisa mengangguk sambil mengacungkan ibu jari, “let's see.”

. . .

“Taman ini membelah dan memisahkan kota Sapporo bagian Utara dan Selatan.”

Langkah dua pasang kaki yang memijak trotoar bersalju terus melaju menyisir sebuah taman besar yang letaknya ada di pusat kota, Taman Odori Sapporo namanyaă…ˇ Sapporo Odori Park.

Bright kerap kali kesusahan mengangkat kakinya yang terlalu sering nyaris terperosok ke dalam salju, dan Win selalu bersedia mengulurkan tangan untuk membantu si turis yang ternyata baru satu kali ini merasakan yang namanya berjalan di atas salju.

Karena sudah berkali-kali hampir jatuh, jadi ya, daripada harus mempermalukan diri sendiri di depan banyak pengunjung taman, Bright akhirnya dengan sepenuh hati menggamit lengan Win persis seperti saat keduanya baru bertemu di bandara Chitose kemarin.

Win, cuma bisa pasrah, membiarkan lengannya terus dipeluk erat oleh Bright, seraya bibirnya terus bergumam memberikan penjelasan singkat pada si turis tentang lokasi yang sedang mereka singgahi sekarang.

“Taman ini juga punya menara ala-ala menara Eiffel.”

Dinginnya suhu udara dan sulitnya berjalan di atas salju nyatanya tak mampu menghalangi niat Bright untuk mengagumi keindahan taman Odori ketika malam menjemput. Kata Win, taman ini akan terlihat seribu kali lebih cantik di malam hari karena akan ada cahaya lampu warna-warni yang menerangi di sepanjang jalan.

Dan benar saja, mata Bright benar-benar sedang dimanjakan oleh keindahan tersebut.

“Oh ya?” tanya Bright, yang sangat antusias mendengar kata demi kata keluar dari belah bibir Win.

Kepala Win mengangguk ringan, “namanya Sapporo TV Tower, kita butuh jalan sedikit lebih jauh untuk bisa sampai ke sana.”

“Okay, let's go there. I am gonna take a lot of pictures of if.”

“Nanti mau sekalian gue fotoin, Win? I am such a professional photographer for your information.”

Hahaha, nggak tahu kenapa, suara tawa Win mendadak punya magnet tersendiri di telinga Bright. It started since yesterday to be honest, ketika akhirnya mereka melanjutkan hari dengan bertukar obrolan seputar kehidupan perkuliahan, bagaimana bertahan hidup sendirian di Jepang juga agenda tak terduga dimana menonton serial Netflix akhirnya terlaksana sambil menjemput petang.

Win banyak tertawa kemarin, dan Bright berani bersumpah… cara Win tertawa; how his lips suddenly rose up, the way his eyes formed a crescent moon and those pair of red cheekies… it's so beautiful.

Wait, wait, tapi masa iya sih? Masa iya, Bright berhasil merasakan jutaan kupu-kupu imajiner kembali terbang di balik dadanya hanya dalam kurun waktu dua hari?

Apa ini yang namanya move on?

Nggak mungkin… Bright bukanlah tipikal player yang sehabis putus cinta akan langsung mencari pengganti.

Tapi, will Win be his first exception this time?

Atau… ini cuma efek bahagia sesaat yang singgah karena akhirnya ia punya teman ngobrol sedekat dan senyaman ini setelah perjalanan cintanya kandas?

Bright terlalu lama beradu argumentasi dengan pikirannya sendiri sampai ia tidak sadar kalau kakinya sudah dipaksa berhenti melangkah. Pemandangan sebuah menara dengan kelap-kelip lampu hias yang menyala, menyambut kedatangan Bright di salah satu tempat favorit yang ada di taman Odori.

Sapporo TV Tower…

Ini lah tempatnya. Tempat dimana akhirnya Bright merasakan jantungnya berdegup cepat, ketika matanya tak sengaja menangkap cantiknya bentuk mata dan bulu mata Win saat menatap lurus menara di depannya. Di bawah langit malam, dan di tengah keramaian, Bright berani mengakui satu hal, ia… tertarik pada si pemandu wisata.

. . .

Akarenga (Sapporo Red bricks), Sapporo Beer Museum, Moerenuma Park, Shiroi Koibito Park, lalu melipir ke Otaru dan menikmati indahnya malam di atas sebuah kanal bersejarah di sana, mampir ke tempat-tempat makan rekomendasi Win, menyantap ramen di sebuah kedai yang sudah jadi langganan si pemandu wisata, kemudian menikmati hari di pusat perbelanjaan Sapporo, tampaknya sudah cukup menguras energi Bright selama 12 hari ini.

Dan selama 12 hari di Sapporoă…ˇ Hokkaido, tidak ada satu hari pun terlewat tanpa kehadiran Win di kamar hotelnya.

Kalau Bright sedang tidak ada mood untuk keluar hotel, maka pemuda itu akan meminta Win untuk datang menemaninya melewati hari; sarapan bersama, makan siang bersama, tea time ketika sore bersama, lalu makan malam bersama.

Meskipun Bright hanya sibuk menonton serial Netflix, sedangkan Win beberapa kali terlihat serius dengan agenda belajarnya untuk menyambut ujian, Bright tetap merasa senang karena ada Win di sisinya.

Dan di hari ke-12 ini, lagi lagi Bright meminta Win datang ke kamar hotel. Semalam sudah ia sampaikan di ruang obrolan mereka berdua, kalau hari ini sampai dua hari ke depan, Bright tidak ingin pergi kemanapun.

Ia hanya ingin menghabiskan waktu di kamar hotel, bersama Win, walau keduanya akan disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Bright tidak perduli, yang penting ada Win di depan matanya, itu sudah jauh lebih dari sekedar cukup.

2 hari lagi, Bright akan kembali ke Indonesia.

2 hari lagi, akan jadi hari terakhir baginya untuk bertemu Win.

Dan Bright, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Selama 10 hari setelah mengakui perasaannya, Bright semakin dibuat kalang kabut karena nyatanya rasa deg-degan itu masih ada. Rasa bahagia ketika tangannya menggandeng Win, masih ada. Rasa malu ketika Win tertawa atas lelucon garingnya, masih ada.

Bright tidak mau terlarut apalagi tertipu oleh perasaannya kali ini, jadi ia putuskan untuk membuktikan semuanya sekarang.

Tepat di jam 7 malam, tanggal 21 Februari.

Bright akan membuktikan perasaannya, apakah ia benar-benar jatuh cinta secepat ini… atau kehadiran Win hanyalah sebatas distraksi atas luka lama yang belum sembuh seutuhnya.

Katanya, Win sudah dalam perjalanan. Menunggu kehadiran si pemandu wisata untuk mengetuk-ngetuk pintu kamar, rasanya tidak pernah semendebarkan ini.

Katakanlah Bright gila. Tapi berbekal bahan obrolan mereka tempo hari, Bright berhasil menemukan fakta kalau hari ini adalah hari ulangtahun Win.

Dan Bright mau memberikan kesan romantis untuk pemuda yang ia rasa sudah berhasil menghuni sebagian tempat di dalam hatinya itu.

Malam ini Bright terlihat sempurna dengan balutan celana jeans tebal dan sebuah jaket pemberian Win yang melekat pas di tubuhnya.

Lampu kamar sudah dalam keadaan mati. Hanya ada cahaya kecil yang berasal dari lilin yang menyala di atas kue tart yang siang tadi Bright beli di sebuah toko kue di dekat hotel.

Jantungnya berdegup cepat, kakinya terasa lemas, gugup menanti kehadiran Win yang entah akan memberikan respon seperti apa begitu pemuda itu melihat semua kejutan yang ia siapkan.

Bright mondar-mandir di depan ranjang, dalam diam menghitung mundur sampai sekiranya terdengar suara ketukan di pintu kamar.

“Duh, bakalan digampar nggak ya gue kalau tiba-tiba bilang suka ke dia?”

“Lagian aneh banget sih gue… aneh banget, fix aneh paling aneh sedunia kenapa bisa naksir sama orang asing dalam hitungan hari? Gue rasa gue bukan lagi cuma sekedar aneh, tapi gue gila... ya, bener, pasti gue udah gila.”

“Tapi kalau gue nggak coba hari ini ya, mau kapan lagi??? Dua hari lagi gue balik… it's probably gonna be our last meeting. Fuck,”

Tok… tok… tok…

Dalam hati Bright berteriak, ANJRITTTT UDAH DATENG??? CEPET AMAT???

Terlalu sibuk panik sendiri, Bright sampai mengabaikan ketukan di pintu yang semakin lama semakin keras. Bahkan Win beberapa kali memanggil namanya, tapi Bright seolah-olah malfungsi mendadak.

Panik, gugup, excited, takut, semua berkolaborasi jadi satu menciptakan kelumpuhan mendadak yang terjadi pada semua organ tubuhnya. Bright menatap ke arah pintu dengan ragu, haruskah ia beranjak sekarang?

“Bright hey, are you there?”

Aduh, gimana, nih…

Tok… tok… tok…

“Bright?”

Bright menghela nafas panjang, lalu terdiam sebentar. Setelah dirasa nyalinya sudah berkumpul, pemuda itu pun memantapkan langkah menghampiri pintu. Tangannya menggenggam daun pintu kuat-kuat, kemudian dengan perlahan ia turunkan benda tersebut.

Lalu dibukanya pintu itu, menampilkan ekspresi bingung di wajah Win sesaat setelah pemuda itu menyadari kamar dalam keadaan gelap.

“Bright?” Salah satu alisnya bertaut naik, matanya menelisik kondisi kamar lalu melirik lorong hotel yang tampaknya tidak mengalami pemadaman listrik. “Lampu kamar kamu bermasalah? Saya ke bawah dulu kalau gitu, buat konfirmasi ke pegawai hotel.”

Win baru saja akan berbalik untuk beranjak menuju lift, tapi Bright lebih dulu meraih pergelangan tangannya. Ekspresi gugup di wajah Bright menambah rasa penasaran dalam diri Win. Lantas pemuda itu mengusap pelan punggung tangan yang menggenggam tangannya, “are you sick?”

Namun Bright menggeleng, “masuk dulu, Win. Kita ngobrol di dalam, ya?”

“Okay...” akhirnya Win pun melangkah memasuki kamar lebih dulu. Bright menutup pintu kamar hotel dengan pelan, kemudian menyusul langkah kaki si pemandu wisata yang kini berhenti tepat di dekat ranjang.

Bright gugup bukan main, sepertinya Win sudah berhasil menemukan rencananya. Sang tamu pada malam itu berdiri dalam diam, memandang sebuah kue ulang tahun yang lengkap dengan 2 lilin menyala di atasnyaă…ˇ angka 23.

Lalu dengan keberanian yang terasa semakin menipis, Bright beranjak menuju meja untuk mengambil kue itu. Sebisa mungkin, ia tekan rasa gugupnya dalam-dalam, momen indah malam ini tidak boleh rusak. Apapun alasannya.

Bright tersenyum, langkah kakinya berhenti tepat di depan Win.

“Well, i think i am lucky enough to come here at the most right time so i can celebrate your birthday tonight, gue nggak tau punya keberanian dari mana untuk nyiapin ini semua tapi gue dengan sadar dan sepenuh hati mengikuti kemauan hati gue to make it happen for you.”

Bright mengulum kecil bibir bawahnya. Masih gugup, matanya bahkan tak sanggup ia angkat untuk sekedar melirik Win yang berdiri di depannya. Cahaya di atas dua buah lilin menjadi satu-satunya fokus bagi si turis.

“Maaf juga karna gue lancang udah ngide bikin kejutan kecil-kecilan gini tanpa persetujuan dari lo, maaf kalau gue seolah-olah mau punya momen berharga sama lo, maaf kalau nyatanya gue terbawa perasaan untuk naruh hati buat loㅡ”

“Bright,”

Mau tidak mau Bright mengangkat pandangannya. Dua pasang obsidian beda warna miliknya dan Win kini saling bertukar pandang, “iya, Win?”

“No, you just can not,”

Dang it, bukankah itu bentuk penolakan secara halus? Tapi Bright sudah janji untuk tidak menyerahkan. Apapun jawaban Win, Bright akan tetap mengungkapkan semuanya hari ini. Ia ingin pulang ke Indonesia dengan perasaan tenang dan lega.

Lantas Bright berdehem pelan, “it is okay if we don't ends up together, i am just trying to tell you about my feeling. I just want you to know that i am falling for you, Win.”

“It started at the third day of my arrival here, i guess? When we walked around Odori Park, the hands holding moment giving me new excitement and feelings, i wasn't sure about it yet until the days after, we became really close then all i can say is, i fell… i fell for you.”

Win terpaku di tempatnya berdiri. Pernyataan tiba-tiba dari Bright mampu membuat pemuda itu malfungsi dalam hitungan detik. Matanya dengan telak berusaha menyelami manik mata Bright, berusaha mencari kebohongan di sana yang naas tak bisa ia temukan sama sekali.

Ada binar penuh harapan di sepasang mata yang pernah menatapnya dingin di hari pertama mereka bertemu. Ada seberkas ketulusan yang tersampir di sana, tapi Win tahu, bukan jalan seperti ini yang mereka mau.

Kemudian tawa sarkas meluncur bebas dari belah bibirnya. Rasa canggung dan gugup yang sempat singgah kini menguap entah kemana. Sambil mengalihkan pandangannya ke sisi lain, Win berujar, “it hasn't even been a month since we got to know each other, Bright. How could you be so sure about it? Bisa aja kamu cuma terbawa suasana sesaat karna kamu baru putus cinta? It's okay, it's just a temporary feeling and you gotta forget about it once you're back to Indonesia. Saya ini cuma pelarian semata, nggak apa-apa, nanti kamu pasti lupa.”

“Lo bukan pelarian, Win,”

Lagi dan lagi Win menggeleng kuat. Entah kenapa pernyataan Bright menjadi trigger tersendiri bagi pemuda itu. Ada emosi yang terselip pada penggal kata demi kata yang diucap, ia tidak suka dengan arah pembicaraan mereka kali ini.

Win menghela kasar nafasnya, “I am, Bright. Gimana bisa kamu jatuh cinta sama saya cuma dalam hitungan hari? Nggak masuk akal, tolong jangan buat semuanya jadi tambah berantakan, please?”

Niat hati untuk menyampaikan rasa sukanya pada Win malah berujung dengan emosi yang naik ke ubun-ubun. Kata-kata Win yang seakan-akan menganggap Bright hanya menjadikan dirinya sebagai pelarian semata pun sukses membuat pemuda itu ikut terpantik emosi. Bright dengan kesal meletakkan kembali kue ulang tahun yang belum sempat ditiup lilinnya. Langkah kaki pemuda itu bergerak cepat menghampiri Win, tangannya mencengkram bahu kanan dan kiri dan si pemandu wisata.

“Liat gue, Win,”

Tapi naas, Win justru menggeleng pelan.

“Liat mata gue selama gue bicara,”

“Saya nggak mau,” Win menaikkan volume suaranya, “tolong bersikap profesional, Bright. Kamu ini turis yang pakai jasa saya sebagai pemandu wisata selama kamu di sini. Hanya itu, jangan melebih-lebihkan situasi kita yang sebenarnya nggak serumit itu.”

“Lo bilang lo nggak mau dianggap pemandu wisata selama nemenin gue? Lo bilang, lo maunya dianggap teman, teman spesial, terus kenapa sekarang lo malah menarik diri dan bikin situasi kita berdua kayak orang asing, Win?”

Sepasang mata Win mulai berair. Demi Tuhan, ia tidak suka pembicaraan ini.

Kemudian, dengan segenap keberanian yang ia punya, Win membalas tatapan Bright dengan bahu yang mulai bergetar, “ain't we really are strangers after all?” tanya nya.

“Please, please… jangan mempersulit situasi kita, Bright.”

Bright mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak mengharapkan respon Win yang seperti ini, sama sekali tidak. “Kenapa lo menganggap pernyataan gue tadi malah mempersulit posisi kita? Kalau lo emang nggak ada perasaan lebih sama gue, bilang Win, tinggal bilang kalau lo nggak mau.”

“Say it,”

Win tetap diam membisu. Air mata mulai menetes dari sudut matanya.

“Bilang kalau lo nggak suka sama gue, biar gue bisa berhenti. Lo nggak mau situasi kita semakin sulit, 'kan? Setelah berhari-hari lamanya lo bawa bahagia baru dalam hidup gue, setelah berhari-hari lo bisa bikin gue lupa dengan luka gue di masa lalu, setelah berhari-hari lo sukses meyakinkan gue kalau gue baru aja jatuh cinta lagi, lo punya hak untuk menolak gue, Win. Bilang, tolong bilang secara gamblang di depan mata gue.”

Win tetap memilih diam. Kepalanya menunduk, isakannya mulai terdengar. Bright bingung, benar-benar bingung. Kalau Win memang tidak ada rasa untuknya, lantas kenapa susah sekali untuk menolak Bright secara gamblang?

Kenapa Win lebih memilih diam?

“Lo cuma punya dua pilihan, Win. Tolak gue, atau kasih gue kesempatan.”

Win mulai meremat jari-jemarinya, ia tidak suka nada bicara Bright malam ini.

Diamnya Win semakin membuat Bright putus asa. Lambat laun, pemuda itu memajukan langkahnya kian rapat dengan si pemandu wisata. Satu tangannya meraih dagu Win, mengangkatnya sampai kedua pasang mata mereka kembali bertemu pandang.

Bright menatap Win dengan ungkapan putus asa yang besar di matanya, dan hal tersebut membuat Win kehilangan pertahanan dirinya.

Sambil menahan bibirnya yang terus bergetar, Win berujar, “saya nggak bisa, Bright.”

“Sedikit pun nggak ada rasa buat gue, Win? Setelah kita saling bertukar afeksi beberapa hari ini, sedikit pun nggak ada?” Bright terdengar begitu putus asa.

Satu kali lagi Win mengabaikan pertanyaannya. Mulut pemuda itu kembali bungkam seribu bahasa.

“Atau lo sebenernya cuma khawatir gue anggap sebagai pelampiasan? Hm?”

Bola mata Win bergerak gusar ketika kalimat itu terucap dari bibir Bright. Seolah tebakannya tepat sasaran, Bright kini mulai mengusap lembut kedua pipi Win yang sudah basah karena air mata.

Bright tersenyum, “i can make sure that i didn't lie when i said i've fallen for you,”

Tatapan Bright kian melembut, “and i will try to make things work between us.”

“May i kiss you?”

Win, masih diam. Matanya terus menatap mata Bright yang memancar rasa frustrasi. Ia masih berusaha mencari celah kebohongan pada mata itu, tapi sayang… sedikitpun tidak Win temui kepalsuan di balik obsidian hitam milik Bright.

Win berusaha mencari, satu kali lagi.

Kemudian kepalanya mengangguk memberi izin, dan dalam hitungan detik… bibir keduanya bertemu dalam sebuah pagutan panjang.

Bright menciumnya begitu dalam. Hasrat ketulusan yang bercampur keputusasaan mendominasi ciuman keduanya. Bibir sintal Bright melumat bibir atas Win penuh gairah. Bunyi kecipak basah mulai terdengar seiring dengan kuluman yang ia lakukan secara bergantian pada bibir atas dan bawah Win.

Win, pasrah. Tidak jua membalas namun enggan melepaskan. Bibirnya ia biarkan terbuka selagi Bright mencumbunya mesra. Lidahnya juga ia berikan ketika Bright meminta di dalam sana. Win, sesekali membalas lumatan Bright kecupan-kecupan kecil. Tangannya tanpa sadar sudah menemukan jalan untuk memeluk erat punggung tegap Bright.

“Mmmhh,” Win tidak sengaja mendesah begitu Bright tanpa ragu menghisap saliva yang keluar dari sudut bibirnya.

Win memejamkan mata, ciuman Bright belum berhenti. Perlahan-lahan bibir si turis turun menjamah rahang tegas Win, membasahinya dengan jejak air liur menuju cuping telinga. Tangan Bright ikut serta memuaskan pemandu wisata itu dengan diberikannya usapan sensual di pinggangnya, seraya bibirnya mulai mencumbu basah cuping telinga Win.

Win meremas jaket yang dipakai Bright, bibirnya sebisa mungkin ia gigit agar tidak meloloskan desahan.

Bright menggigit kecil cuping telinganya, lalu terkekeh pelan di sana, “jangan ditahan, i love hearing your moans.”

Lalu bibir Bright kembali turun, kali ini menyentuh perpotongan leher Win. Kecupan-kecupan kecil berulang kali dibubuhi di sana. Win mengerang, kakinya mulai terasa lemas. Pemuda itu berusaha mencari pegangan agar tidak jatuh selagi tubuhnya diberi nikmati, dan dalam waktu singkat Win memutuskan untuk memeluk pinggang Bright, sedangkan tangan yang satunya memeluk lembut bahu bidang si turis.

Win sesekali merilis erangannya, matanya kian sayu seiring lidah Bright yang juga ikut serta meramaikan permainan. Bright bukan lagi hanya menciumi kulit lehernya, tapi menjilat, mencumbu, menghisap sambil sesekali menjahili Win dengan gigitan-gigitan kecil yang sukses membuat pemuda manis itu merintih penuh rasa nikmat.

Mabuk kepayang. Hanya satu kata itu yang mampu mendeskripsikan bagaimana keadaan Win saat ini. Pemuda manis itu memilih untuk terus menikmati. Membiarkan mulut handal Bright terus menghujaninya dengan kepuasan.

Win semakin dibuat gila. Hasratnya untuk mendesah kuat semakin besar. Namun sebelum itu semua terjadi, Win lebih dulu menarik wajah Bright dari perpotongan lehernya dan kembali menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman hangat.

Kali ini Win yang memimpin, ia ingin mendominasi. Ia ingin Bright juga menikmati kepuasan yang setimpal. Bibirnya yang tebal mulai mengulum bibir bawah Bright, berusaha mengais nikmat sambil tangannya mengelus lembut tengkuk pemuda itu.

Bright diam-diam mulai terpancing nafsu. Tangannya dengan lancang menyelinap masuk menembus pakaian berlapis Win sampai telapaknya berhasil merasakan lembutnya kulit tubuh si pemandu wisata.

Selagi Win melumat bibirnya, Bright terus membawa tangannya naik sampai bertemu padatan di dada pemuda manis itu. Ibu jari Bright bergerak memutar, tepat di atas puncak dada Win yang merespon positif atas rangsang yang ia beri.

Win melepaskan ciumannya. Ia baru saja akan mendesahkan nama Bright ketika bayang-bayang seseorang secara mendadak lewat melintas dalam benaknya.

Dalam hitungan detik Win mendorong kuat tubuh Bright.

Membuat si turis menatapnya bingung, penuh tanda tanya.

Win bisa merasakan jantungnya yang bertalu-talu. Hatinya menangis pilu, dadanya bergerak naik turun menahan emosi juga nafsu di waktu yang bersamaan.

Ada kecewa di sepasang netra kecoklatan milik Win, Bright dapat melihatnya dengan jelas.

Win berusaha merapikan kembali tatanan pakaiannya. Bibirnya masih gemetaran hebat, kepalanya seakan sedang berputar kuat.

Benaknya bertanya-tanya, bagaimana bisa… bagaimana bisa ia terbawa suasana sampai melampaui batas? Bagaimana bisa ia bertindak gegabah dengan menikmati setiap sentuhan Bright di tubuhnya?

Bagaimana… bagaimana bisaㅡ

“Win,”

ă…ˇ Ia mengkhianati hatinya sendiri.

Win mengusap wajahnya kasar, lalu kembali menatap Bright dengan ekspresi dingin.

“I am sorry if it might hurting your pride, but saya sudah tidak single, saya punya kekasih, Bright.”

“And it would be better if i leave now,”

“Anggap yang tadi tidak pernah terjadi di antara kita berdua. Saya nggak bisa balas perasaan kamu, itu jawaban saya.”

Tapi sebelum Win berhasil keluar dari kamar hotel, Bright lebih dulu menahan tangannya. Satu kali lagi, Win dibuat lumpuh dengan segala perlakuan Bright.

Tangannya digenggam kuat. Ada luka di balik sepasang mata sang turis.

Dalam hati Win memohon ampun, karena kali ini… dia lah yang menjadi alasan di balik rasa kecewa seorang Bright.

“I am sorry i've crossed the line,” kata Bright, terdengar pilu.

“Gue janji nggak akan ganggu lo lagi setelah ini, tapi gue mohon… gue mohon dengan sangat, stay, stay di sini malam ini, seenggaknya untuk yang terakhir kali.”

“I need someone to lean on, i need someone to talk to.” Bright terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya, “gue nggak akan mengulang kesalahan yang tadi gue lakukan. Gue cuma butuh lo buat stay malam ini, tolong kasih gue kesempatan satu kali lagi untuk merasa layak. Gue gagal di hubungan gue yang lalu, dan gue gagal lagi kali ini,”

“Jadi gue mohon dengan sangat, temenin gue malam ini aja, Win, please?”

Karena ini adalah hal terakhir yang bisa Win lakukan untuk Bright, akhirnya pemuda manis itu mengangguk setuju. Tas selempang kecilnya yang tersampir di bahu ia simpan di atas meja. Win membawa langkah kakinya menuju jendela kamar, memandang suasana malam hari di pusat ibu kota kepulauan Hokkaido itu.

Situasi canggung nyatanya belum mampu dilumpuhkan meski waktu terus berjalan. Win melirik Bright yang duduk di tepi kasur dengan perasaan kacau.

Win tidak tega, tapi ia bisa apa?

Renggangnya hubungan yang ia jalin bersama sang kekasih ternyata sukses membuat Win nyaris membuka hati untuk Bright. Win sendiri tidak bisa bohong kalau ia juga terlanjur nyaman dengan eksistensi dan segala bentuk afeksi yang Bright berikan padanya.

Tapi Win masih tahu diri, ia masih punya kekasih yang harus ia jaga hati dan perasaannya. Walau dirinya sendiri sangsi, apakah rasa yang ia miliki masih sama… terhitung sudah dua bulan lamanya tidak saling menghubungi, tapi juga tak ada kata berpisah yang terucap sehingga membuat Win mau tidak mau terjebak di situasi yang serba salah.

Ingin rasanya Win merengkuh tubuh Bright yang terlihat ringkih malam ini.

Tapi lagi dan lagi, ia tidak bisa.

“Bright, sini,”

Yang dipanggil menoleh dengan ragu. Matanya menatap Win sedikit takut. Tapi yang ditatap justru mengulas senyum, seraya mengulang kalimatnya yang meminta Bright untuk mendekat.

Kepalanya mengangguk ringan, “it's okay, come here...”

Bright pun menyerah. Tubuhnya dengan sengaja ia bawa beranjak menghampiri Win. Keduanya kini berdiri berdampingan, menatap atap-atap bangunan yang kian dipenuhi salju.

“Hokkaido 'kan tinggi, maksudnya… cukup jauh dari pusat negara Jepang, So what made you choose this place to spend the whole days of your escape?”

“Selain karna alasan sayang tiket yang kamu bilang tempo hari itu, ya...” sambungnya, berusaha memecah keheningan, melenyapkan kecanggungan.

Bright menyunggingkan seulas senyum tipis di wajahnya. Ia melirik si lelaki private tour guide yang berdiri tepat di sebelahnya, cantik dan berwibawa di waktu yang bersamaan.

Kali ini tawa kecil Bright menjadi jawaban pertama yang si private tour guide terima malam itu.

“it reminds me a lot of how cute my childhood dream was. Gue dulu punya cita-cita buat keliling Jepang sama orang yang gue sayang, but unlucky me… i am an orphan now so i have no one.”

“That's a secret anyway,” sambungnya.

Si private tour guide balas menoleh, satu alisnya bertaut penuh kuriositas. “So, why did you tell me? Isn't that your secret?”

“Sometimes it just feels right when you're become an open book to strangers,”

Strangers, ya… bukankah takdir mereka hanya sebatas jadi orang asing bagi satu sama lain?

Tidak mau bablas melibatkan perasaan dalam benaknya, Win pun kembali bertanya, “why?”

Bright menghela pelan nafasnya. Sebagian atensi ia pusatkan pada si private tour guide, sebagian lagi ia simpan untuk menerka-nerka jawaban seperti apa yang bisa ia berikan saat ini.

“Because we only met once?”

Because they only met once. Dua hari lagi Bright akan kembali ke Indonesia, Win juga akan kembali pada kehidupannya seperti sesaat sebelum Bright datang secara mendadak dan mengobrak-abrik hatinya.

Time will make them forget, time will make them realize that they meant to be strangers.

. . .

“Harus banget kita baru mulai pas temen lo dateng?” Suara Bright mulai nggak enak didengar, ya… Nanon bisa maklum sih, pasalnya sudah dua jam mereka cuma leha-leha di pinggir lapangan.

Nanon meringis kecil dalam senyumnya, “Sori deh, sori… abisnya gue nggak enak udah terlanjur janji kalau temen gue ini bakalan ngeliat kita main dari menit awal pertandingan. Tapi nggak tau nih, janjinya sih jam empat udah nyampe, tapi sampai sekarang malah belum keliatan sama sekali.”

Alhasil Bright cuma bisa berdecak. Anak-anak lain kebetulan nggak ada yang protes, seolah-olah merasa nggak dirugikan padahal mereka sudah standby di lapangan sejak jam 1 siang. Entah iming-iming apa yang disuguhkan Nanon sehingga semua orang di sana mau-mau saja untuk menurut.

Bright yang mulai bosan pun memilih untuk memainkan ponsel. Kantor tempatnya bekerja sedang melakukan family gathering di sebuah tempat wisata di kawasan Puncak. Berhubung masih setia dengan status jomblonya, Bright pun mangkir dari agenda tersebut dan lebih memilih untuk ikut sparing futsal dengan teman-teman dari SMA Nanon, rekan kerjanya yang juga mangkir dari acara tahunan kantor.

Ketika dirasa hari semakin beranjak sore, Bright yang sudah tidak ada nafsu untuk bermain bola pun langsung menyambar tas ranselnya yang tergeletak di atas sebuah bangku panjang. Nanon yang melihat Bright mulai badmood pun jadi tak enak hati.

“Mau balik, Bright?”

Bright mengangguk acuh, “mau nyuci mobil aja lah gue, daripada luntang-lantung nggak jelas di sini.”

“Oke...” Nanon bisa apalagi selain membiarkan Bright bangkit dari posisi duduknya dan bersiap untuk segera hengkang dari sana, “sori banget ya, Bright. Hati-hati di jalan lo.”

“NANOOOOON!!!”

Belum sempat Bright benar-benar meninggalkan lapangan, sebuah suara yang tak begitu asing berhasil merebut atensinya.

Seorang lelaki dengan penampilan modisnya berlari terseok-seok mendekat ke arah mereka.

Lalu keduanya kembali bertemu tatap, setelah 3 tahun lamanya saling memutus kontak.

“Win?”

“Bright?”

Nanon yang melihat interaksi antara Bright dan teman SMA-nya yang sudah berjam-jam ditunggu kedatangannya pun cuma bisa melongo bingung. Satu matanya memicing, alisnya ikut bertaut.

“Loh, kalian saling kenal?”

Suara Nanon seolah angin lalu bagi keduanya. Entah keberanian dari mana, Bright langsung meraih pergelangan tangan kiri Win dan menyeret langkah kaki lelaki itu untuk mengikutinya…

Menuju ruang ganti.

. . .

“Ssshhh, mmmhh, B-bright,”

Terlalu rindu, terlalu bersemangat. Bright tanpa ragu membawa Win masuk ke dalam sebuah bilik ruang ganti dan menyudutkan lelaki itu di dinding. Bright mengangkat kedua tangan Win, mengurungnya tepat di atas kepala sang mantan pemandu wisata.

Satu hal yang membuat Bright berani melakukan ini; Mike bilang, Win sudah putus dengan kekasihnya seminggu setelah kepulangan Bright ke Indonesia, 3 tahun lalu. Tapi karena gengsi yang terlalu dijunjung tinggi dan terlanjur sudah saling terikat janji untuk sama-sama menutup lembaran selama keduanya menghabiskan waktu di Sapporo, Bright pun tidak berusaha untuk menghubungi Win kembali.

Dan sekarang, Bright tidak bisa menahannya lagi.

Win cuma bisa mendesah di bawah dominasi Bright. Sedangkan lelaki yang sedang dimabuk rindu itu terlihat begitu fokus mencumbu perpotongan leher Win.

Kekehan pelan lolos dari belah bibir penuh milik Win, “are we really gonna do this here?”

Bright menggeram ringan di tengah aktivitasnya, “Aren't you high already?” tanya nya.

Win semakin mengangkat kepalanya, memberi akses lebih luas lagi agar Bright bisa menjamah lehernya.

Bright menarik bibirnya menjauh dari tubuh Win, keduanya kini saling bertatapan dalam jarak yang cukup dekat.

Sepasang mata sayu Bright memancarkan rindu yang teramat dalam, “still can't believe you're here.” lalu tangannya mengusap sayang pipi Win yang mulai dipenuhi rona merah.

“I miss you so much, Win.”

Win, terkekeh lagi, “kalau beneran kangen, do me as you wish here, dong...”

“Yang bener aja!” Bright berdecak pelan melihat Win mengerlingkan matanya genit, “gue kangen sama lo in a normal way, don't twist my feelings to be the wrong one.”

Win menaikkan satu alisnya, menantang, “you sure you don't wanna touch me here? Remember our last time in Sapporo? We almost had sex that night,” lalu ujung jari telunjuknya mulai menyentuh bagian dada Bright, bermain pelan di sana membentuk berbagai macam pola yang secara tidak langsung berhasil memancing nafsu birahi Bright.

Rindu dan nafsu yang bercampur jadi satu, berbahaya bukan?

Bright meraih tangan Win yang sedang asik bermain di dadanya. Menggenggamnya erat, lalu mencium di bagian punggung penuh sayang, “it still feels like a dream,” katanya.

Win tersenyum simpul, ia bisa maklum kenapa Bright jadi se-linglung ini karena kedatangannya yang terkesan tiba-tiba di Indonesia. Apalagi, keduanya ternyata masih sama-sama saling menyimpan rasa, bagaimana Bright tidak merasa overwhelmed?

Diraihnya pipi kanan Bright lalu dielusnya penuh kelembutan, “i am here now, and will not go anywhere ever again.”

Bright kembali mengangkat tangan Win dan mengurungnya tepat di atas kepala. Bright dengan lapar meraup bibir Win, seolah mencari waras kalau eksistensi Win bukanlah halusinasi semata.

Bright terus mengulum bibir atas dan bawah Win bergantian, membuat lelaki manis itu mendesah pasrah penuh kenikmatan.

Satu tangan Win yang bebas mengusap seduktif tengkuk Bright. Sesekali jarinya dengan santai merangkak naik, meremat surai hitam yang bisa dijangkau.

“Mmmmhㅡ” Win mulai kehilangan keseimbangan, apalagi ketika lidah Bright dengan percaya dirinya melesak masuk membelah rongga hangat Win dan bermain-main di dalam sana. Satu persatu gigi disapanya, beberapa kali Bright bahkan menyesap cairan saliva yang jatuh di atas lidah.

Win semakin hilang waras ketika ciuman Bright turun menjamah cuping telinganya. Desahan berat turut lelaki itu berikan selagi ranumnya mengulum tulang muda yang kian memerah ketika dijilat.

Lalu cumbuan Bright turun menyentuh tengkuk Win. Tubuh si mantan pemandu wisata itu semakin terpojok dengan eksistensi Bright yang kian menempel dengan tubuhnya. Kecup, jilat, hisap adalah tiga kegiatan yang terus Bright repetisi di tengkuk si lelaki manis.

Hilangnya kewarasan membuat Bright mulai bergerak sedikit nakal, pusat tubuhnya dengan telak menggesek pusat tubuh Win yang sudah mengeras.

Win tidak lagi sanggup menahan desahan. Persetan dengan orang-orang yang mungkin akan keluar masuk ruang ganti selagi dirinya dan Bright sedang sama-sama mengejar nikmat. Win mendekatkan bibirnya pada telinga Bright, ia mendesah berat di sana, he wants more.

Tidak kuasa dengan pergerakan Bright yang semakin membuatnya pusing tujuh keliling, Win tanpa aba-aba menangkup kejantanan Bright yang masih terbalut celana futsal dalam satu genggaman tangan. Win meremasnya, membuat si empunya meringis menahan nikmat.

“W-win, ahhh...”

Win terus meremas-remas kejantanan Bright dengan tempo konstan, “Bright, may i?”

Bright yang sedang asik menikmati remasan tangan Win pada penisnya pun menyahut, “mau apa, hm?”

Kali ini Win dengan nakalnya mengelus-elus ereksi Bright dari luar, “saya cium, saya hisap, saya jilat, boleh?”

“apanya, hm?”

Dua bola mata Win mengerling malas, kalau Bright bisa mengerjainya, maka Win juga akan melakukan hal yang sama.

Win meremas kejantanan Bright satu kali lagi, “i wanna do something to your kontol, please?”

Bright terkekeh, tidak pernah menyangka kalau Win bisa melakukan dirty talk ketika sudah dikuasai nafsu.

“Lha ini dari tadi kamu udah remes-remes kontol aku, 'kan? Belum cukup emangnya?”

Sialan, Win jadi terjebak dalam permainannya sendiri.

Masih sambil meremas kejantanan Bright, Win kembali berujar, “kamu nggak mau kalau kontolnya aku jilat-jilat gitu?”

Gila, Win benar-benar gila. Seluruh tubuh Bright rasanya meremang dalam hitungan detik.

“Oke, oke, aku kalah,” Bright dengan cepat mengambil posisi duduk di atas kloset. Kakinya ia buka lebar membentuk posisi mengangkang, ekspresi yang mewarnai wajahnya terlihat begitu bersemangat dan menantang, “do whatever you want to my kontol, dear.”

Lalu tanpa pikir panjang Win langsung berlutut di tengah-tengah kaki Bright yang mengangkang lebar. Pelan-pelan ia turunkan celana futsal beserta dalaman Bright hingga ke batas lutut. Kejantanan Bright kini berdiri tegak tepat di depan wajahnya; menjulang, gagah, memabukkan.

Tanpa sadar Win tertegun. Lorong di sepanjang kerongkongannya seolah tersumbat hingga saliva terjebak di ujung lidah. Matanya yang bulat menatap minat bentuk kejantanan Bright yang penuh, padat, sempurna. Lidahnya terjulur menjilat bibir bawahnya sendiri, Win terbuai dengan pemandangan di depan matanya.

Seulas senyum tipis terukir di wajah Bright ketika Win terlihat begitu menyukai kejantanannya. Karena si Manis tak kunjung bergerak, ide yang sedikit nakal tiba-tiba terbesit dalam benaknya.

Bright memundurkan posisi duduknya, membuat kejantanannya secara tidak langsung ikut bergerak. Pupil mata Win menunjukkan aktivitasnya dengan terus memantau setiap pergerakan Bright, entah itu saat Bright dengan sengaja bergoyang ke kiri maupun ke kanan, Win tidak melepas pandangannya sedikitpun.

Tawa kecil lolos dari belah bibir Bright, lelaki itu menyentuh surai halus kecoklatan milik Win sambil mengelusnya pelan, “like it very much, hm?”

Masih enggan mengalihkan atensinya pada hal lain, Win menganggukkan kepalanya. Bibir bawahnya ia gigit menahan nafsu.

Bright membawa wajah Win mendekat pada kejantanannya. Ujung kepala si junior kini menyentuh belah bibir Win, Bright sengaja bergerak kecil di sana, menggoda si Manis.

“Don't you want to lick it?” masih terus bergerak bermain-main di permukaan bibir Win, Bright dengan sengaja tidak langsung melesakkan sang junior untuk masuk ke dalam rongga hangat si mantan pemandu wisata yang pernah membuatnya jatuh cinta secara kilat saat di Jepang.

Win yang semakin terbawa nafsu dan suasana pun dengan percaya diri membuka mulutnya, memisahkan bilah atas dan bawah ranum merah muda miliknya dan hendak meraup ujung kejantanan Bright tapi naas, Bright malah menyumpal mulutnya dengan ibu jari.

Sepasang mata Win kini menatap lurus pada Bright yang duduk di atasnya, alisnya bertaut penuh tanda tanya.

Bright tersenyum, ibu jarinya semakin ia lesakkan masuk membelah rongga hangat Win. Membuat si empunya mulut tertegun kaget akan sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.

Satu tangan Bright mengelus sayang pipi tirus Win, “learn to lick my finger first, then you gotta get the whole dick for you.”

Dijanjikan surga dunia seperti itu, mana bisa Win menolak? Mulutnya tanpa pikir panjang mulai bergerak maju dan mundur, mencari nikmat dengan mengulum ibu jari Bright penuh semangat.

Win terus mengulum jari yang agak gemuk itu seraya menatap Bright dengan mata sayunya.

Cantik. Win terlihat begitu cantik saat berserah di bawah kuasa birahi.

“You did well, suck it more,”

Gila. Win semakin menggila.

Saat dirasa ibu jarinya sudah sangat basah, Bright mendorong pelan wajah Win sampai jarinya keluar dari mulut si Manis. Peluh mulai membasahi wajah dan rambut Win, kesan seksi semakin tergambar jelas pada perawakan lelaki itu.

“How was it? Am i good enough at sucking?” tanya Win, penuh harap-harap cemas.

Hehehe, sudah dibuat melayang setinggi ini, mana mungkin kuluman Win tidak enak?

Lantas Bright menganggukkan kepalanya, memberikan senyum terbaiknya sore itu pada si pujaan hati yang amat sangat dirindu, “come here, let me kiss you,”

Win menaikkan posisi tubuhnya yang sejak tadi berlutut penuh damba di tengah-tengah kaki Bright. Wajahnya ditangkup oleh sepasang telapak tangan besar yang berhasil membawa bibirnya bertemu dengan bibir yang pernah membuatnya mabuk kepayang di sebuah kamar hotel di kawasan Sapporoă…ˇ 3 tahun lalu.

Setelah puas saling mencium, menyesap, mengulum dan ketika dirasa cairan saliva sudah cukup banyak berkumpul di ujung lidah, Bright menyudahi ciuman mereka. Garis air liur membentang membentuk jembatan halus di antara kedua ranum yang baru saja melepas rindu.

Bright mengusap belah bibir Win dengan ibu jarinya, lalu dengan perlahan ia bawa wajah Win mendekati kejantanannya, “get your own pleasure now, babe.”

Dan dengan komando tersebut, Win dengan semangat yang menggebu-gebu langsung meraup kejantanan Bright. Wajahnya perlahan-lahan bergerak naik – turun – naik – turun, sambil tangannya ikut andil untuk memuaskan nafsu birahi lelaki itu. Win mengurut batang kejantanan Bright yang tidak bisa masuk ke dalam mulutnya, multitasking adalah skill utama lelaki manis itu.

Kelopak mata Bright sesekali memejam menahan nikmat. Pergerakan mulut dan tangan Win di pusat tubuhnya terasa begitu sempurna. Kakinya mulai melembek seiring dengan lidah Win yang ikut serta membasahi batang kebanggaannya.

Bright hanya bisa meremas surai berantakan Win, sambil terus mendesah pertanda ia menikmati, “aaahh, such a good boy right here, mmmhhㅡ”

Tidak ingin Win kelelahan karena harus bergerak sendiri, Bright pun perlahan-lahan ikut memaju-mundurkan pinggulnya berlawanan arah dengan kuluman mulut Win.

Hentakan pertama,

Hentakan kedua,

Terus bergerak menghujam nyaris menyentuh lorong yang lebih dalam lagi, lebih hangat lagi.

Bibir Bright terus mengerang keenakan, matanya kerap mengunci mata Win yang bertambah sayu dalam satu titik mutlak.

Pemandangan Win yang sedang disumpal oleh batang kejantanannya tampak begitu menggiurkan, such a beautiful view for Bright.

Bright ikut membantu kepala Win untuk bergerak naik dan turun. Keduanya saling sahut-sahutan desahan, tidak perduli apakah ada yang mendengar di luar pintu bilik.

“Sshhh, Win,” pinggul Bright terus bergerak konstan mencari nikmat, “i am close, i am c-close...”

Win mendorong tubuh Bright agar kembali duduk di kloset dan berhenti menghujam mulutnya. Kejantanan Bright kian membesar di dalam sana, lalu Win menarik bibirnya dan berhenti tepat di kepala kejantanan lelaki itu.

Disesapnya bagian ujung yang semakin besar, merah, dan berkedut itu kuat-kuat. Win berusaha menyedot cairan putih Bright agar segera keluar.

“Mau dikeluarin dimana, Win?”

Masih sambil menikmati mainan kesukaannya, Win menunjuk seluruh bagian wajahnya, “m-mwukha s-shaya, uhuk...”

Oho, he's asking for face-cumming.

Butuh sekitar lima kali sesapan lagi, Bright menarik kejantanannya dari jangkauan mulut Win dan langsung merilis putih tepat di wajah lelaki manis itu.

Kedua pipinya, dahi, hidung, bibir kini sudah dipenuhi cairan putih milik Bright. Seraya membiarkan Bright menyelesaikan orgasmenya, Win diam-diam menjulurkan lidah untuk mengecap rasa milik si mantan turis.

Kinda sweet tho, batinnya. Mungkin belakangan ini Bright sedang banyak mengonsumsi makanan manis atau buah-buahan.

Lima menit berlalu, akhirnya Bright selesai dengan pelepasannya.

Win tersenyum, lalu meraih tissue dari dalam tas dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi cairan sperma. Bright ikut membantu si Manis untuk mengatasi kekacauan yang mereka buat sore itu.

“Thank you, Win,”

Anggukan menjadi balasan atas ucapan Bright barusan. Setelah bersih, Win berdiri dan menangkup wajah Bright agar menengadah menghadapnya. Win mencium bibir Bright bertubi-tubi sampai menimbulkan bunyi cup, cup, cup.

Keduanya tertawa, rindu sudah tersalurkan begitu sempurna.

“Let's fix ourselves. Saya mau liat kamu main futsal.”

Setelah membersihkan kejantanannya, Bright kembali memakai dalaman beserta celana futsalnya. Lelaki itu meraih tangan kiri Win dan menggenggamnya erat.

“Aku. Coba belajar ngomong pakai 'Aku', Win. Sama pacar sendiri lebih enak pakai aku kamu, hehehe.”

Win memicingkan satu matanya, “emangnya kita pacaran?”

“Strangers pamali half-ngewe apalagi di publik kayak gini, Win.”

Damn, Bright and his naughty side.

Lantas Win tertawa. Tangannya terangkat menyeka peluh yang membasahi pelipis sang kekasih hati, “nggak ada pernyataan resmi tapi nggak apa-apa, deh. Kalau gitu, let's go outside, pacar?”

“I love you, thank you for coming back to me...”

Win mengangguk, ia sama bahagianya dengan Bright, “i love you too, thank you for waiting for me to come home.”

. . .

WRITTEN BY : JEYI.