𝙅𝙀𝙔⋆

•|| Bright for my Win ♡

ă…ˇ (Pajak Jadian!)

Satu kali lagi, kisah singkat di hari Kamis; tentang barudaks dan si ayang.

total words: 4.268 words.


“Sini, gue bawain.” Bright, dengan penampilannya yang khas; kemeja seragam sudah keluar dari celana abu-abu langsung mengangkat pantatnya secara tiba-tiba begitu ia melihat Win sudah sampai di anak tangga terakhir. Tangannya terulur, telapak menengadah.

Win menghela pelan nafasnya, sambil menyerahkan sebuah paper bag berwarna coklat pada Bright.

“Gue nggak heran kalau gue bentar lagi diangkat jadi duta piket dua belas ipa.”

Soleram, soleram, soleram… muncul rona kemerahan di wajah si Manis saat kata-kata tersebut terucap dari mulutnya. Bibir bagian bawah mencebik spontan, ada garis-garis tipis di sepanjang dahinya.

Bright yang tidak bisa menahan gemas dan di waktu yang sama juga tidak bisa melampiaskan rasa gemasnya, lantas cuma bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil. Tangan kirinya terulur meraih pipi kanan Win, mengusapnya kecil dan diakhiri dengan dua kali tepukan pelan di tempat yang sama.

“Yang ikhlas, sayang...”

Lagi dan lagi, Win menghembuskan nafas beratnya. Pada detik berikutnya, si Manis melirik ke sisi kiriă…ˇ pelataran kelas 10 A, B, C lalu ke sisi kanană…ˇ ruang musik, kelas 11 SOS 1 dan ruang komputer untuk memastikan bahwa sudah tidak ada lagi siswa yang berkeliaran. Win juga melirik ruang kepala sekolah dan bagian kesiswaan di belakangnya, aman, sepertinya guru-guru juga sudah meninggalkan wilayah sekolah.

Kini Win menoleh menatap Bright di depannya, lalu tanpa pikir panjang ia raih tangan kiri Bright yang bebas dan menggenggamnya. Sela-sela jari mereka saling menyambut jemari demi jemari, bertautan erat.

Win menarik kecil tangan sang pacar, lalu mengajak pemuda itu untuk melangkah, “ayo, cepetan, gue laper...” katanya.

Genggaman keduanya semakin erat, Bright sesekali mengusap lembut punggung tangan Win.

“Emang tadi anak-anak kelas lo sama sekali nggak ada yang nawarin bantuan buat beresin kelas?” Bright bertanya, ketika langkah kaki mereka nyaris mendekati gerbang pelataran gedung SMA.

Terdengar helaan nafas berat (lagi) dari sisi Win.

“Ada. Puimek sama Mix nawarin bantuan tapi pas kelas udah nggak begitu berantakan. Tinggal yang minor-minor gitu, jadinya ya gue bilang nggak usah.* I can do it all alone. *Lagian, kenapa nggak pada nanya dari awal sih, pas gue masih grasak-grusuk bolak-balik ngambil sapu, pel, sama buang sampah.”

Oh, oke, oke. Ternyata lagi kesel beneran.

Kondisi gerbang SMA yang sudah agak tertutup, membuat Bright harus melepas tautan tangan keduanya lalu mendorong gerbang tersebut hingga terbuka sedikit lebih lebar. Bright kembali meraih tangan Win untuk digenggam, sepasang anak adam itu kini melangkah berdampingan melewati wilayah gedung SD.

“Kadang, ya, nggak semua hal itu harus sejalan sama apa yang kita mau. Contohnya kayak tadi yang lo bilang, pas lo masih grasak-grusuk kesana kesini dan anak-anak kelas nggak ada yang nawarin bantuan, bukan berarti mereka nggak peduli. Ada banyak orang yang lebih seneng melakukan apa-apa tuh sendiri. Jadi pas ditanyain butuh bantuan apa nggak, mereka jelas bilang nggak, and it's their choice. You have to deal with that.”

Ucapan Bright masuk bagaikan sebuah palu yang mengetuk hati kecilnya. Tapi rasa kesal yang masih terasa mendidih di balik dada, jelas membuat Win menarik nafas panjang lalu berucap, “dan gue nggak termasuk ke dalam kelompok orang-orang itu. I need help, kelas berantakan banget, dan gue harus kerja sendiri.”

“Then you should've asked them. Ajak mereka buat beresin kelas bareng-bareng, tell them with words, jangan dipendem sendiri seolah-olah mereka bakalan ngerti sama isi hati lo.” balas Bright, yang namanya baru aja berubah jadi Bright Teguh.

Win terdiam. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap dari belah bibirnya. Genggamannya di tangan Bright sesekali mengendur, tapi pemuda tampan di sampingnya itu dengan sigap menyatukan lagi telapak tangan mereka.

“Emangnya tadi chaos banget?” tanya Bright, sambil menggeser gerbang pembatas antara koridor samping gedung SMP dengan parkiran. Kakinya perlahan-lahan berpijak di anak tangga berbahan dasar semen, “hati-hati, sayang.”

Win mengangguk seadanya, “nggak banget-banget sih, cuma kan sampah-sampah bekas bubur kertas tuh dimana-mana, terus lantai kelas lumayan kotor kena cipratan cat air sama wantex, itu definisi chaos yang tepat buat gue hari ini.”

Masih sambil terus berjalan dan bergandengan tangan menyusuri lapangan parkir yang sudah sepi, Bright kembali membuka percakapan.

“Tadi lo bikin prakarya apa?”

Win bergumam pelan, “wujud pemandangan gitu, sih. Basic banget, cuma gunung, langit sama sawah. But it took so many colors, jadi ya udah… gitu deh.”**

“Puas nggak sama hasil karya sendiri?” tanya Bright, lagi.

Sebuah anggukan Win berikan sebagai respon, “tapi lebih puas kalo lo lagi nyusu ke gue sih, Bright.”

OALAAAAAH, ASUUU.

Lantas dengan susah payah Bright menelan salivanya. Genggamannya pada tangan Win semakin kuat, pemuda itu menggeram pelan.

“Plis, ini beda konteks, plis, plis, halah anjing gue kepikiran.”

Win tertawa kecil, memancing Bright dan membuat pacarnya itu kewalahan memanglah kink baru bagi si Manis. Ada kesenangan tersendiri ketika melihat lelakinya itu panas dingin. Lucu. Pipi tirusnya merona merah.

“Masih punya jatah satu kali kok minggu ini, mau kapan?” lanjut terus ya, Win?

Bright lagi dan lagi menggeram, “malem minggu aja.”

“Di rumah gue atau di rumah lo? Papa sama Mama kayaknya hari Sabtu mau ke Surabaya, urusan kerja. Gue sama adek jaga rumah berdua.”

Keduanya menepi sedikit ke atas trotoar di pinggir jalan. Bright memerhatikan jalanan yang cukup ramai, mencari waktu yang tepat bagi keduanya untuk menyebrang.

Lalu tanpa sengaja, sepasang mata Bright bertemu dengan sepasang manik kecoklatan milik Win yang ternyata masih menatap ke arahnya; menunggu jawaban.

Dua bola mata Bright memutar jengah, kalau sudah urusan ranjang, kadang Win memang tidak bisa ditahan.

Decakan pelan lolos dari belah ranum merah muda Bright, “iya, iya, di rumah lo.”

“Mumpung sepi, ayo nyebrang.” lanjut Bright, sambil menarik tangan Win untuk menyebrang jalan dengan hati-hati.

Ketika sampai di seberang, Bright langsung berbelok ke arah kanan menuju warkop alias markas barudaks yang letaknya ada di belakang steam motor. Tapi sebelum Bright meneruskan langkah, Win menarik tangan pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam gang kecil tepat di depan gerbang utama sekolah.

“Beli teh pucuk dulu, Boo.”

The boo comeback stage, hahay!

Oke, oke, Bright pun dengan senyumnya mengusap gemas surai hitam Win, “padahal habis ini mau jajan minum juga, tapi teh pucuk is a must, ya?”

Cepat-cepat Win mengangguk, bibirnya mengukir senyum lebar sampai sudut kedua mata pemuda manis itu tertarik membentuk bulan sabit.

Dua alis Win turut bergerak naik turun, “iya, lah. I can't live without teh pucuk, and you know it.”

Teh pucuk >>>>> Bright. Kasian.

Begitu sampai di warung yang tempo hari mereka sambangi, Win membuka pintu lemari pendingin dan mengambil satu botol teh pucuk dari dalam sana. Tubuhnya berbalik menoleh pada Bright yang kini bersandar di gerbang rumah warga, tampak sedang mengotak-atik ponselnya sambil menunggu.

“Mau juga, nggak? Coca cola? Sprite?”

Yang ditanya lantas menegakkan posisi berdirinya. Ponselnya cepat-cepat ia simpan di saku celana, lalu beranjak menghampiri sang pacar di depan lemari pendingin.

“Coca cola aja,” sahutnya. Bright mengambil dua bungkus kacang sukro rasa original dari rak makanan ringan, “Bu, teh pucuknya satu, coca cola satu, sama sukro yang gede dua bungkus. Jadi piro, Bu?”

Seorang wanita berdaster motif bunga-bunga dengan sebuah kipas anyaman di tangannya beranjak keluar dari dalam warung. Ibu penjaga warung itu mengambil sebuah plastik kresek putih dan memberikannya pada Bright.

“Teh pucuk lima ribu, coca cola lima ribu, sukro dua bungkus lima belas ribu.. Semuanya jadi dua puluh lima ribu.”

Win yang diam-diam mendengar percakapan antara Bright dan Ibu penjaga warung spontan merogoh saku kemeja seragamnya, tapi sang pacar lebih cepat menghentikan geraknya.

“Gue aja, sekalian nyari receh.” ucap Bright, sambil menyerahkan plastik kresek putih berisi satu botol teh pucuk, satu botol coca-cola dan dua bungkus kacang sukro pada Win, “nih, tolong pegang dulu sebentar.”

Satu lembar uang lima puluh ribuan berhasil diambil dari dompet hitam yang sengaja disimpan di saku celana seragam abu-abu Bright. Benda tipis bernominal cukup besar bagi anak sekolahan itu kini berpindah kekuasaan ke tangan Ibu penjaga warung.

“Kembaliannya dua puluh lima ribu ya, Mas.” kata si Ibu, seraya mengulurkan dua lembar uang sepuluh ribuan dan selembar uang lima ribuan. Bright mengangguk dengan senyum alim andalannya, “makasih banyak, Bu.”

“Let's go kita ketemu barudaks,” Bright menggandeng tangan Win lagi, seolah-olah tangan Win adalah sebuah benda mahal yang tak boleh hilang dari jangkauannya.

Keduanya pun melangkah di pinggir jalan dengan hati-hati. Butuh sekitar tujuh langkah lagi untuk segera tiba di tempat steam motor, depan warkop.

“Nanti ordernya mau dari hape gue atau hape lo?” tanya Win.

“Bebas, pakai hape gue boleh, pakai hape lo juga boleh.”

“NAAAAH NI DIA DUO ARTIS KITA UDAH DATENG.”

Jhah, itu suara Pawată…ˇ paling besar, paling berisik, paling terdengar seperti mengejek. Pemuda yang kemeja seragamnya kurang lebih sama seperti Bright alias sudah keluar dari sarangnya, kini bangkit dari posisinya yang semula duduk di sofa lusuh sambil mengupas kuaci milik First dengan gigi-giginya.

“Selamat datang di kerajaan bawah laut, tuan muda Bright dan pujaan hatinya, tuan muda Metawin.” Pawat dan segala ledekan garingnya menyambut kedatangan Bright dan juga Win.

Pemuda itu bahkan menunduk, meniru gaya seorang staff istana kerajaan saat menyambut tamu-tamu penting. Win cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Pawat. Such an unique person.

Bright juga ikut geleng-geleng kepala. Bedanya, pemuda itu meraih plastik kresek berisi jajanan dari tangan Win, lalu mengambil sebungkus kacang sukro dari sana dan melemparinya ke Pawat.

“Anjing, harta karun ini, gengs.” lalu dengan senyum lebarnya Pawat berbalik menghadap anak-anak lain yang juga geleng-geleng kepala melihat tingkah teman mereka yang satu itu.

Pawat tertawa girang, “lumayan buat gantiin sukro yang tempo hari abis sama Racha, hehehe.”

Racha yang sedang anteng-antengnya mengunyah kuaci berdecak pelan, “Nanon yang ngabisin ya, kampret.” lalu melempar beberapa kulit kuaci dan tepat mengenai tangan Pawat.

Merasa namanya disebut-sebut, Nanon yang awalnya sedang push rank dengan posisi duduk setengah berbaring di sofa pun refleks mendongak, menoleh pada Racha yang duduk di sampingnya.

“Yang terakhir makan si Guns ya, anjrit.”

“ANJINGGGG GUE LAGI DIEM MALAH DIBAWA-BAWA.”

Yang namanya barudaks, memang paling bisa membangun suasana. Merasa acara penyambutan sepasang sejoli fenomenal ini sudah cukup, First yang duduk di lantai sambil mengupas kuaci pun menepuk-nepuk lahan sofa yang kosong.

“Sini, Win, duduk di samping Nanon.” katanya.

Win melirik Bright seolah meminta persetujuan. Yang ditanya pun mengangguk, melepas genggaman tangan mereka lalu mempersilakan Win untuk melangkah memasuki teras warkop lalu duduk di sofa, di samping Nanon.

Merasa semua anggota sudah lengkap, Nanon pun menyudahi kesibukannya. Pemuda itu melempar asal ponselnya ke atas meja, lalu mengambil sebuah korek api gas milik Guns dan satu batang sigaret dari sana.

Nanon melirik Bright yang sudah mengambil posisi duduk di atas jok motor vespa keluaran terbaru milik Mike.

“Sebat nggak, cuy?” tanya nya.

Bright melirik Win, meminta izin. “Boleh, nggak?”

Yang dimintai izin memberikan sebuah anggukan pelan, “iya, boleh. Hari ini belum nyebat, 'kan?”

“Belum, lebih tepatnya gue belum nyebat dari tiga hari yang lalu.” sahut Bright, sambil beranjak menuju pelataran teras warkop, lalu meletakkan plastik kresek berisi jajanan yang ia bawa ke atas meja.

Nanon memberikan satu batang sigaret beserta korek api gas milik Guns pada Bright, lalu Bright membakar ujung sigaret yang sudah dalam posisi terjepit di antara bilah bibirnya.

Bright menghembuskan asap pertamanya, lalu berbalik dan kembali duduk di jok motor Mike.

“Win, nggak nyebat juga?” tanya Nanon, sembari menawarkan satu batang sigaret lainnya.

Sambil meloloskan asap keduanya, Bright menyahut. “Jangan macem-macem lo, bodat.”

Mike yang sedari tadi sibuk mengupas kuaci dengan ujung kukunya menoleh melirik Win, “emang nggak nyebat atau karna jaga image sebagai anak IPA, Win?”

Win lantas menggelengkan kepalanya, “emang nggak nyebat aja, Mike. Lagian anak kelas gue banyak kok yang suka nyebat. Bahkan kalau sekalinya ada jamkos, mereka suka melipir ke balkon belakang perpus buat nyebat.” jawab Win, sekalian memberikan penekanan bahwa anak IPA tidaklah se-nerdy itu.

Masih sambil mengupas kuaci-kuaci yang diambil dari dalam mangkuk, Mike kembali melayangkan sebuah pertanyaan.

“Ketua kelas lo nyebat nggak, Win? Kan image dia sempurna banget tuh, kayak nggak ada jelek-jeleknya pisan itu laki satu.”

“Luke?” sahut Win, dan langsung dibalas dengan anggukan santai oleh Mike. Win terkekeh pelan, mengambil tiga buah kuaci dari dalam mangkuk lalu mengupasnya menggunakan tangan.

“Nyebat kok dia. Tapi nggak sesering Bright, sih.”

“Belain teroooos emang laki lo cabang IPA tuh keren banget ya di mata lo.” jhah, cemburu.

Win terkekeh lagi, kali ini agak sedikit keras. Tiga kuaci yang sudah terkupas kini masuk ke dalam mulut Win, “tapi gue sukanya sama Bright, no need to worry, ganteng.”

“JHAHHHH...”

“Punya alergi gue sama bulol.” sambung Pawat.

First yang memang tidak terlalu banyak bicara, dan kebetulan sedang sibuk-sibuknya mengupas kuaci dengan gigi pun tampaknya ingin berkontribusi dalam konversasi mereka.

“Apaan tuh bulol?” tanya First.

“Bucin tolol, First.” kali ini Win yang menjawab.

First pun menoleh lugu ke arah Win, alisnya bertaut satu. “Emangnya lo tolol kayak Bright ya, Win? Kan lo anak IPA?”

Bright menepuk kepalanya sendiri, lalu menggeleng. Sembari menghisap sigaret di jepitan jari telunjuk dan jari tengahnya, ia bergumam pelan dalam hatinya, goblokkkkk anjrit.

“First, lu diem-diem bisa bikin emosi juga, ya?” Racha pun tidak habis pikir dengan ucapan First barusan.

Gadis itu mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan, ingin mengambil sebotol coca-cola dari dalam plastik yang ada di atas meja.

“Buat gue boleh, nggak?” tanya nya, sambil melirik Win dan Bright bergantian.

Win mengarahkan dagu lancipnya ke arah Bright, “you ask him, Cha. Itu punya dia.”

Sambil mengedipkan kedua matanya pada Bright yang sedang asik menghisap sigaret, Racha mengulangi pertanyaannya, “boleh, nggak? Boleh ya, Bri? Ya? Ya? Ya?”

Melihat Racha yang biasanya bar-bar kini sedang bertingkah lucu untuk mendapatkan izinnya, membuat Bright mau tak mau menyuarakan kekehan pelan. Pemuda itu menghembuskan asap terakhir pada sigaret yang baru saja terlepas dari hisapan bibirnya, lalu batang tembakau yang sudah kecil itu sengaja ia jatuhkan ke bawah dan diinjak sampai mati apinya.

“Pilih mau itu, atau chatime?”

Pertanyaan Bright spontan membuat Racha meletakkan kembali botol coca-cola itu ke atas meja. Sepasang matanya yang berbinar membuat Bright gemas dan langsung mengacak surai hitam nan panjang milik gadis itu, lalu beranjak mengambil posisi duduk di samping Win, di atas sofa.

Bright merogoh saku celana seragam abu-abunya, mengambil sebuah ponsel canggih dari dalam sana.

“Sebenernya tujuan gue ngajakin kalian semua kumpul di sini dengan formasi lengkap tuh, ya buat ngejajanin kalian. Gue sama Win mau berterima kasih karna kalian mau nerima dan welcome sama hubungan kita berdua,” Bright menjeda ucapannya, tangannya sibuk mengotak-atik sebuah aplikasi hijau dan menggulir layarnya untuk menemukan menu pilihan.

“Pizza Hut triple box dua cukup nggak, sih?” sambungnya.

Guns nyaris tersedak kuaci yang sedang ia kunyah, “anjir, makan besar kita!”

Bright menggeleng jengah, “lebay lo, buruan… Mau gue order, nih. Cukup kagak triple box nya dua?”

“Tiga aja nggak, sih? Soalnya kan kita nggak makan nasi, biar sekalian kenyang.” balas Win, yang juga mulai sibuk menggulir layar ponselnya.

“Cukup, cukup. Haduh, jadi enak gue… Kebetulan udah lama ngidam PH cuma belum kesampean terus.”

Itu suara Racha, gadis itu memang lah seorang addict kalau sudah berurusan dengan pizza.

Bright mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu melempar ponsel miliknya ke atas meja sesaat setelah seorang driver mengambil pesanannya.

“Minumnya chatime aja, nggak apa-apa ya, guys? Atau kalian ada rikues mau mesen minum yang lain? It's okay, bills on me.” itu kata Win, yang kini mengalihkan fokusnya dari layar ponsel ke satu persatu barudaks yang juga menatapnya penuh antusias.

“CHATIME AJA!!!” Ceilah, kompak bener kayak vocal group.

Win terkekeh pelan sambil mengangguk santai. Begitu selesai memilih menu untuknya dan juga Bright, ia memberikan ponselnya pada Nanon yang duduk di sampingnya.

“Pilih masing-masing aja ya, kalau mau pakai tambahan topping boleh banget, diperhatiin aja details-nya.” ujar Win.

Nanon bersiul kegirangan sambil menggerakkan ibu jarinya di layar ponsel milik Win. “Beneran bebas, nih?”

Win mengangguk, “iya, pilih aja yang kalian mau.”

“Tapi gue maunya elo, Win.”

PLAKKK!!!

Satu pukulan yang cukup keras mendarat di kepala bagian belakang Nanon. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Bright?!

“MONYEEEEET!!!”

Satu pukulan lagi mendarat di bahu Nanon, “ELU MONYET!!!” balas Bright, dengan wajah garangnya.

Win yang tahu kalau Nanon hanya bercanda, langsung menangkup wajah sang pacar. Berkali-kali Win berusaha agar atensi Bright terfokus padanya. Kedua obsidian beda warna itu kini saling bersirobok. Sepasang bola mata Win membulat lebar, lalu kepalanya menggeleng pelan.

Bright paham akan maksud Win. Pemuda itu menghela nafas berat, lalu melepas tangan Win dari wajahnya.

“Iya, iya, sorry.” for being quite rude.

Nanon yang sudah selesai menentukan varian rasa kesukaannya, mengoper ponsel milik Win pada Mike yang duduk di lantai paling pinggir.

Pemuda berlesung pipi itu melirik Bright. Tatapannya tampak seperti orang yang sedang serius.

Nanon menggeleng pelan, “pantesan aja sempet putus, lo nya cemburuan abis kayak gini.” jiakh, skakmat.

“Goblok lu Non, mancing emosi macan yang lagi tidur aja lu.” sahut Pawat, masih sambil mengupas kulit kuaci dengan giginya.

Selanjutnya, ke-8 orang di sana saling berbagi tawa dan cerita sembari ponsel milik Win terus dioper sampai kepada Pawat, sebagai yang terakhir mendapat kesempatan untuk menentukan varian rasa chatime pilihannya.

Makanan dan minuman pun sudah dipesan, lantas mereka hanya perlu menunggu. Butuh waktu sekitar dua puluh menit sampai dua orang driver ojek online menghampiri mereka.

8 muda-mudi calon penerus bangsa yang kini duduk melingkari meja teras warkop, mulai melahap makanan dan minuman yang tersaji di depan mereka. Tidak lupa mengenyampingkan mangkuk berisi kuaci yang ternyata merupakan ucapan terima kasih dari Bu Intan untuk First karena sudah membantunya siang tadi, satu persatu slice pizza dan snack-snack yang tersedia pun mulai lenyap masuk ke dalam perut.

“Mmkasihhㅡ bbanyakh ya, Bhrii, Winn...” sebisa mungkin Racha mengucapkan terima kasih walaupun mulutnya masih penuh dengan makanan.

Win yang kebetulan baru menelan habis kentang gorengnya, cuma bisa mengangguk sambil tersenyum.

“Sama-sama, Acha...”

Lalu ucapan terima kasih berikutnya datang dari Pawat, First, Nanon, Guns dan juga Mike.

Sambil meneguk chatime miliknya, Pawat melirik Bright dan Win bergantian. Pemuda itu berdehem pelan sebelum menyuarakan sebuah pertanyaan.

“Win, tapi gue kepo, deh. Nanya-nanya soal lo sama Bright boleh, nggak?”

Win mengangguk, mengiyakan pertanyaan Pawat, “boleh dong, tanya aja...”

“Gue cubit titit lo ye, Paw, kalo nanyain soal hal-hal privasi gue sama Win.”

Bright, dan mulut kotornya. Win lagi dan lagi cuma bisa geleng-geleng kepala atas kelakuan pacarnya itu.

“Kagak, anjrit. Gue aja masih trauma kalo inget banyak banget cupang di badan lo tempo hari.”

“Tolol Pawat segala diperjelas, hahaha.” itu suara Mike, padahal mulutnya masih asik mengunyah tapi rasanya belum afdol kalau belum mengatai temannya yang satu itu.

“Emang nih, Pawat asu.” sahut Bright.

“Si Bri gue liat-liat kagak ada upaya menjaga wibawa banget ye di depan lakinya.” itu kata Guns, sembari menjilat jari-jarinya yang dipenuhi bumbu kentang goreng.

“Ngapain jaga wibawa, dah… Orang Win udah tau luar dalem gue.”

“TAEEEEE TADI LU BILANG JANGAN NANYA-NANYA HAL PRIVASI, EH SEKARANG MALAH LU SENDIRI YANG BAHAS-BAHAS URUSAN PRIVASI LU, BODAT.” Kalau ini suara Racha, yang sebenarnya agak ngeri-ngeri sedap berada di tengah tujuh laki-laki yang kadang kosa kata mereka pun kerap kali di luar batas.

Pawat meneguk sekali lagi minumannya, “kampret ini gue kapan nanyanya?!”

“Boleh sekarang, tanya aja, Wat.” sahut Win.

“Gue sejujurnya masih takjub dengan fakta kalo kalian itu pacaran, soalnya selama bertahun-tahun temenan sama Bright, gue nggak pernah ngerasa ada hawa-hawa kalo ini bocah edan diem-diem lagi jatuh cinta. Padahal Bright juga cokiber njir, kalo di kelas. Setiap cewek ada giliran duduk sebangku sama dia, dan Bright oke oke aja dengan itu. Kayak… seolah-olah nggak ada hati yang lagi dia jaga.”

Bright melirik Win yang ternyata sedang mengulas senyum sambil mendengar kata demi kata yang diucapkan Pawat. Mulutnya sibuk mengunyah, diam-diam hatinya bergemuruh menerka-nerka jawaban seperti apa yang akan keluar dari mulut sang pacar.

“Gue tau kok dia banyak yang suka. Gue juga tau, kalo selama ini temen sebangku Bright berubah-ubah dan gue juga tau kalo cowok gue ini cokiber di kelasnya. Bright selalu cerita ke gue, dan gue oke-oke aja dengan itu. He can be friends with anyone, karna kalo di sekolah ya, kita masing-masing aja, Wat. Kalo di rumah, atau di luar wilayah sekolah baru deh tuh, kita bisa pacaran kayak kebanyakan orang.”

Wow, keren.

“Lo nggak jealous apa, Win? Apalagi yang soal adek kelas pernah nembak Bright terang-terangan tempo hari, lo nggak marah atau gimana, gitu?” lanjut Pawat, masih penasaran.

Win menghela pelan nafasnya, “gue bukan tipikal orang yang gampang cemburu dan Bright tau itu. Apalagi selama ini juga, gue sama dia selalu cerita tentang apapun yang kita hadapi di sekolah. Bright emang pacar gue, tapi di saat yang sama, dia juga temen buat gue. Dan kita punya batasan privasi masing-masing. Kalo soal Nana, gue sebenernya juga nggak cemburu yang gimana gitu, cuma kebetulan kita pernah lack in communication, dan ini cukup parah, jadinya ya sempet break, bahkan sampai putus, but all is okay now, hehehe.”

Wow, keren (2).

“Enak banget ya kalo pacaran tapi rasa temen gitu. Oh iya, berarti ini kalian pacaran dari SMP, ya?” kali ini Nanon yang angkat bicara.

Win mengangguk, “iya, dari kelas sembilan.”

“Gila, mantep. Siapa tuh yang nembak?” First, diam-diam kepo juga, ya?

Bright meneguk minumannya cepat-cepat, lalu bersiap menjawab pertanyaan First.

“Kagak ada, pokoknya gue sama Win emang udah pendekatan tuh sejak awal masuk SMP. Kebablasan nyaman, ya pas kelas sembilan gue sama dia kayak sama-sama made a simple commitment gitu, gue nyaman nih sama lo, lo juga nyaman sama gue, mau nggak kita jalan bareng-bareng? Ya kurang lebih kayak gitu, nah sejak hari dimana kita bikin komitmen, hubungan yang kita jalanin kayak naik kelas gitu lah, tapi rasanya belum kayak orang pacaran karna kita nggak pegangan tangan, kita nggak malu-malu gitu kayak orang jatuh cinta, beneran kayak temen deket yang tingkat intensnya tuh naik satu level.”

“Enggak, enggak,” Win menyahuti ucapan panjang Bright barusan, “eh bener sih, kurang lebih kayak gitu, tapi yang bikin gue sama Bright akhirnya sepakat kalo hubungan kita itu lebih dari temen ya, pas ada suatu hari dimana Bright cemburu abis sama temen gue dari kelas lain, di situ kita agak ribut sedikit dan akhirnya sama-sama bilang sayang.”

Wow, keren (3).

Bright terkekeh pelan, lalu dengan manja menaruh kepalanya di atas bahu kanan Win. “Iya, drama juga ye kalo dipikir-pikir kisah kita berdua.”

“Terus kalo nggak ada tanggal pasti jadian, gimana caranya kalian ngerayain anniversary?” tanya Guns.

Bright mengambil satu potong kentang goreng, lalu mengunyah dan menelannya dengan cepat.

“Pas kita ciuman bibir untuk pertama kali.” jawab Bright.

Win, diam-diam sedang menahan malu. Ia yakin pasti pipinya sudah penuh dengan rona kemerahan.

“Njir, kapan tuh?”

“Kepo lu, anjing.”

Win menyentil pelan bibir Bright, membuat pemuda yang sedang bersandar di bahunya itu mengerucutkan bibir sintalnya.

“Konyol sih, kalo diinget-inget. Tepatnya itu, pas kita lagi belajar bareng buat try out provinsi. Kita sama-sama pusing dan udah capek sama soal-soal yang lagi dikerjain, akhirnya gue ngide aja buat belajar ciuman biar rasa bosen kita hilang terus bisa lanjut belajar buat try out lagi.”

Ucapan Win berhasil membuat ke-6 orang di sana termangu. Sedikit banyak tidak menyangka, kalau Win yang selama ini selalu jadi kebanggaan sekolah pun punya sisi dominan pada hubungan asmaranya dengan Bright.

“Demi apa lo yang inisiatif?!!” tanya Racha.

“Serius, gue yang ngajakin. Dan sejak itu, gue sama Bright sepakat kalau kita resmi jadian di tanggal kita ciuman bibir pertama kali.”

Wow, keren (4).

“Agak kaget ya, bund. Oke, oke, satu pertanyaan lagi.”

Win menautkan satu alisnya. Menunggu Pawat melanjutkan ucapannya.

“Udah sampai mana sih, tahap kepercayaan ke satu sama lain?”

Pawat menggantungkan ucapannya. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, “ngerti nggak sih… maksud gue tuh kayak, udah seberapa besar kalian percaya ke satu sama lain, gitu.”

“Oh,”

Win baru saja akan menjawab, tapi Bright lebih dulu menyela, sambil berusaha meraih sesuatu dari dalam tas ranselnya.

“Ngasih tau soal gue dapet surat cinta, is that counted as trust?”

Hening. Suasana menjadi hening mendadak.

Bright dengan penuh percaya diri memperlihatkan tiga amplop yang katanya berisi surat cinta pada Win.

Diam-diam, Racha, Nanon, Pawat, First, Guns dan Mike menahan nafas takut jika akan terjadi perang dunia di depan mata mereka.

Tapi ternyata yang terjadi adalah, Win dengan antusias melirik ketiga amplop tersebut.

“Gue dapet beberapa surat cinta di loker. Emangnya, kirim-kiriman surat menjelang valentine udah dimulai, ya? Kok gue nggak tau?”

Win menatap Bright tepat di mata. Lagi dan lagi, satu alisnya memicing.

“Tumben tahun ini pada berani ngasih ke lo. Dari siapa aja?” balas Win.

Bright lantas membaca satu persatu surat di tangannya, mencari nama pengirim yang mungkin saja tertera di sudut atas atau bawah.

“Yang dua anonim,” dua amplop dari anonim itu kini berpindah ke tangan Win.

“Yang satu, yang paling lucu amplopnya… dari Nana.”

Pelan-pelan, Bright coba mengangkat pandangannya. Win masih menatap amplop merah muda di tangan Bright dan suasana di sana masih hening, seolah tidak ada yang berani buka suara selain dua lakon utama kisah di sore ini.

Melihat Bright yang mendadak diam, dan juga Win yang belum angkat bicara, Nanon pun berusaha memecah keheningan.

“Emangnya event buat valentine udah ditentuin, Win? Kok udah bisa kirim-kirim surat begini? Biasanya tiga hari sebelum perayaan, deh?”

Win seolah tersadar dari lamunannya. Pemuda manis itu berdehem pelan, lalu membawa atensinya pada Nanon.

“Hm, udah bisa. Tahun ini OSIS buka kategori kirim surat apresiasi seminggu sebelum perayaan. Minggu depan habis unprak 'kan udah tanggal empat belas, jadi minggu depan kita ada event setelah kebaktian di hari Rabu.”

“Wadoooh, harus cepet-cepet kirim buat si doi, nih.” sahut Guns.

“Bukannya kemarin lo ditolak, Guns? HAHAHA.” Racha tertawa keras setelah menyelesaikan ucapannya.

“Diam kau, wanita!”

Win menghela nafas pendek, “pengumumannya udah dipasang di mading depan ruang BP. Untuk details event, kalian bisa cek di sana besok.”

Menyadari ada perubahan hawa di sekitar, Bright pun menyimpan surat dari Nana beserta dua surat anonim di tangan Win ke dalam tas ranselnya. Lalu di detik berikutnya, ia meraih tangan kanan Win dan menggenggamnya.

“You okay, sayang? Tenang aja, gue nggak bakalan baca surat-suratnya, kok.”

Win tersenyum. Lagi dan lagi, hanya seulas senyum yang bisa menyelamatkannya.

Kepala si Manis mengangguk singkat, “i am totally okay, hehehe.”

Yeah, at least for now, i am totally okay, Bright.

. . .

ă…ˇ JEYI // 210302.

THE STRUGGLES.

total words: 3.068 words.


“Ih, wow… Keren. Ini namanya apa, yang?” sebuah benda berbahan dasar kacaㅡ berbentuk tabung, kini ada di dalam genggaman Bright. Pemuda itu dengan hati-hati memerhatikan benda tersebut, matanya berbinar cerah.

Win meraih sehelai kain lap yang masih bersih dari pundak Bright, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding putih laboratorium.

“Itu namanya tabung reaksi. Ukurannya beda-beda, yang lo pegang itu ukuran sepuluh sentimeter, paling sering dipakai pas praktikum biologi sama kimia.” Enggan membuat pacarnya itu bingung, Win pun menjelaskan seadanya.

Lalu si Manis mengulurkan tangan, telapaknya di posisi menengadah. “Sini, mau gue bersihin dulu.”

Tabung reaksi itu pun berpindah tempat dari tangan Bright menuju tangan Win dalam hitungan detik. Bright kembali mengedarkan pandangannya, melirik satu persatu alat-alat praktikum yang terpajang di dalam sebuah lemari penyimpanan berbahan dasar kayu.

Srtttt,

Sebuah bangku ditarik, Win duduk di sana. Matanya ikut mengawasi setiap gerak-gerik sang pacar, sambil tangannya sibuk membersihkan tabung reaksi menggunakan ujung kain lap bermotif bunga-bunga.

“Di hari dimana kita putus, gue sama Luke pergi ke toko perlengkapan kimia di nusantara. Itu juga dadakan, karna kita harus ngeganti beberapa alat laboratorium yang rusak termasuk sepuluh tabung reaksi dan empat gelas ukur,” tubuhnya tidak lagi berpijak pada bangku. Sepasang sepatu converse hitam yang dipakainya mulai menapak di lantai dan berhenti tepat di samping Bright.

Win meraih sebuah rak tabung reaksi dari dalam lemari penyimpanan. Memasukkan kembali tabung yang sudah bersih, lalu mengambil yang lainnya untuk mendapat perlakuan yang sama. Matanya tanpa sengaja melirik ke arah sang pacar yang terlihat lebih tertarik dengan alat-alat praktikum, daripada mendengar celotehan yang keluar dari mulutnya.

It's okay, tapi Win masih ingin melanjutkan, “ketua kelas sebelas ipa ada perubahan jadwal praktikum, makanya konfirmasi ke bu Kristin itu juga sebenernya mendadak. Harusnya jadwal mereka pakai lab itu akhir bulan, tapi ternyata ada revisi agenda gitu, beberapa universitas bakal kunjungan buat promosi ke anak-anak kelas sebelas, jadinya jadwal praktikum mereka dimajuin dan kebetulan gue sama anak-anak emang belum sempet gantiin barang-barang yang rusak,” Win menjeda kata-katanya.

Satu tabung sudah bersih dan dikembalikan ke tempatnya, lalu Win mengambil tabung reaksi lain untuk dibersihkan. “Jadi yah, mau nggak mau gue sama Luke sebagai ketua dan wakil ketua kelas punya tanggung jawab untuk beresin semuanya. Dan kita sekalian nyari katak juga, karna lusanya dua belas ipa ada praktikum bedah katak.”

Bright bergeming, tapi kepalanya menoleh sedikit melirik Win yang masih berkonsentrasi penuh membersihkan tabung-tabung reaksi untuk digunakan nanti.

Tertarik dengan topik pembicaraan keduanya, Bright pun buka suara. “Lo ikut praktikum dalam keadaan patah hati gitu, yang? Bisa fokus emangnya?”

Hari kedua pasca putus, hari dimana razia bulanan berlangsung. Hari dimana Win sendirilah yang menyita chargeran ponsel Bright, tanpa kata, tanpa senyum penuh ledekan.

Hari yang sama dimana Bright memberanikan diri untuk mengajak Win bersaat teduh berdua, lalu ditutup dengan sebuah melodi klasik dari senar gitar milik Bright.

Hari dimana, Bright bersedih dalam diam ketika wajah Win yang sudah tidur memenuhi layar ponselnya. Win tidur dengan perasaan berat malam itu.

Lantas, Win tersenyum tipis, tak lama suara kekehan terdengar samar-samar.

Satu tabung reaksi lagi sudah bersih, Win mengambil tabung yang lain untuk dibersihkan seadanya.

“Mau gimana lagi? Kabur jelas bukan pilihan,” ujarnya. Tangan kiri Win beralih membuka salah satu pintu bilik lemari penyimpanan, sebuah gelas ukur kini ada dalam genggamannya.

Win memberikan gelas ukur tersebut pada Bright, tidak lupa bersama sebuah kain lap lain yang sedari tadi menggantung di saku celana seragamnya.

“Please help me to clean it up.”

Bright menuruti ucapan sang pacar tanpa protes. Meskipun alisnya masih saling bertaut menampung bingung, dan oh… jangan lupakan guratan halus yang terukir di dahinya, seolah belum puas mendengar Win bercerita panjang lebar.

Sambil membersihkan tabung reaksi yang lain, Win sempatkan diri untuk melirik lembut Bright yang mulai serius mengelap gelas ukur di tangannya.

“Gue nggak bisa kabur dengan alasan apapun, Bright. Mau pake alasan mules? basi, itu kata kunci andalan anak ips.”

“HAAAAㅡ njing,” Bright mengumpat pasca dibuat skakmat, matanya melirik jengah ke arah Win dan pemuda manis itu malah menjulurkan lidahㅡ mengejek.

“Mau beralasan lagi nggak enak badan? Nggak bisa, selama lo nggak harus berbaring di bed rumah sakit so you're healthy. Dan satu-satunya yang bisa gue lakuin adalah, yep… pake jas lab dan ikut praktikum.” Win pun menyambung ucapannya, berusaha menjawab rasa tidak puas sang pacar.

“Walaupun beberapa kali i had to deal with people asked me why my eyes were both red and swollen, hahaha.”

Helaan nafas pelan terhembus dari belah bibir Bright. Merasa gelas ukur di tangannya sudah bersih, Bright menaruh benda tersebut di samping rak tabung reaksi. Satu tangannya sambil menggenggam kain lap, ia tumpu di sisi lemari. Sedangkan satu tangan yang lain kini hinggap di pelipis Win, menyingkirkan beberapa anak rambut yang nyaris masuk ke dalam mata cantik sang pacar.

“You punya rambut udah agak panjang, nggak ditegur emangnya?” tanya Bright, sebisa mungkin menghapus energi negatif yang bisa saja memancing perasaan gloomy keduanya.

Tidak, Bright tidak mau merusak momen pertama dimana mereka bisa berduaan seperti sekarang ini di sekolah setelah sekian lama.

Win bergumam, “hari sabtu mau potong rambut, mau temenin gue, nggak?” tanya nya, tanpa membalas tatapan Bright.

Masih sambil memainkan jari-jarinya di rambut Win, Bright pun mengangguk, menyetujui. “Gue juga mau potong rambut, ah.”

Satu tabung lagi sudah bersih, dan Win kembali mengambil tabung lain untuk dibersihkan. Pemuda manis itu tersenyum kecil mendengar ucapan sang pacar yang ingin mengikuti jejaknya untuk memangkas rambut, lalu ia bawa fokusnya pada sosok tampan yang ternyata masih setia menatap ke arahnya itu.

“Jangan pendek-pendek, nanti gantengnya ilang.”

Bright spontan melepas bando plastik berwarna hitam yang sedari tadi menahan poninya, lalu beralih mengacak-acak surai kehitaman miliknya sendiri.

“Tapi lumayan ini, yang… Suka kecolok gitu mata gue.”

Lagi, Win tertawa kecil, “iya, oke, nanti ikut potong rambut.” balasnya, lalu kembali meraih rak tabung reaksi ke-2 dan bersiap untuk membersihkan tabung-tabung lain yang menggantung di sana.

Bright masih terus memusatkan seluruh atensinya pada si Manis. Pacarnya itu tidak lagi mengeluarkan suara, sepasang netra kecoklatan sempurna miliknya tampak berkonsentrasi penuh. Entah sadar atau tidak, bibir bawahnya turut mencebik. Tipikal seorang Metawin ketika sedang fokus mengerjakan sesuatu.

Lalu Bright tanpa aba-aba meringkas surai bagian depan Win dan menyisirnya ke belakang. Bando plastik hitam yang sebelumnya bersarang di kepalanya, kini terpasang di surai hitam sang pacar.

Tiga tepukan manis Bright hadiahkan di atas kepala Win, “biar nggak ngeganggu itu poninya.”

Gelengan kepala diberikan sebagai respon, dan setelahnya Win bergumam pelan, “thank you, Bii.”

“Sama-sama, sayang.”

Merasa sudah cukup menikmati keindahan seorang Metawin dari samping, kini Bright kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru laboratorium. Kepalanya mengangguk antusias sesekali, dan hal tersebut tentu tidak luput dari pandangan Win. Begitu selesai membersihkan tabung ke-3 dari rak tabung reaksi ke-2 pagi itu, Win menoleh mengikuti arah pandang Bright.

“Kenapa, kok diem? Kayak nggak pernah liat tengkorak aja.”

Ada sebuah alat peraga organ bagian dalam tubuh dan kerangka manusia yang diwujudkan menjadi sebuah tengkorak di sudut ruangan. Keberadaan tengkorak itu berhasil mengundang perhatian Bright, yang memang keseharian pemuda itu hanya berkutat pada hal-hal berbau geografi dan sejarah, ataupun pusing memikirkan perekonomian negara dan segepok uang ghaib bernominal luar biasa.

Bright baru saja akan melangkah mendekati tengkorak tersebut, tapi Win lebih cepat mundur satu langkah sehingga aksesnya untuk berjalan terhalangi.

“Jangan iseng deh tangannya,”

Bright diam, bibirnya mengerucut lucu.

“Mau liat dari deket doang, plis boleh ya, ya?”

Tapi yang didapat justru sebuah gelengan mantap, “udah nggak usah, sekarang lo bantuin gue buat nyebarin masing-masing satu rak tabung reaksi di satu meja. Di sini 'kan ada empat meja panjang, jadi lo siapin delapan rak. Setiap satu meja panjang dihitung dua meja, jadi dapetnya juga dua rak. Oke?”

Win mulai mengeluarkan satu persatu rak tabung reaksi dari salah satu bilik kecil di lemari penyimpanan, dan menggesernya mendekati Bright.

“Sambil dibersihin kalau sekiranya menurut lo ada tabung yang kotor. Nih,” kata Win, seraya menyerahkan dua rak tabung reaksi pada sang pacar.

“Ini kain lapnya. Inget ya ganteng, satu meja panjang dapetnya dua rak tabung, okie dokie?”

Lantas dengan anggukan pelan dan pasrah, Bright berucap, “njeh, ndoro...” yang dibalas cengengesan oleh si Manis. “Anything for my boyfriend.” sambungnya, sambil membiarkan kedua tungkainya mulai berjalan menuju meja terdekat.

Bright pun melakukan apa yang diminta oleh Win. Satu persatu tabung reaksi yang agak berdebu mulai dibersihkan secara menyeluruh. Satu meja panjang kini sudah dilengkapi dengan dua rak tabung reaksi, lalu Bright kembali menuju lemari dan mengambil dua rak lainnya.

“Pegang tabungnya jangan kenceng-kenceng ya, Bii… Gampang banget pecah, agak rentan soalnya.” ujar Win memperingati.

Bagaikan anak kecil yang baru saja dinasihati, Bright menganggukkan kepalanya berulang kali. Surai hitamnya yang sudah panjang dan agak berantakan ikut bergerak lucu. Dan tentu saja, hal tersebut tak luput dari pandangan Win.

Win meletakkan tabung terakhir yang ia bersihkan dengan hati-hati di tempatnya, lalu beranjak mendekati Bright.

Keduanya kini berdiri berdampingan, Win mengelus sayang punggung Bright yang kala itu masih dibalut jakpet denim kesayangannya.

“Be careful with them, masih ada empat lagi di lemari. Gue mau nyiapin sesuatu dulu di belakang.” ucapnya, masih sambil mengelus pelan punggung tegap Bright.

Lagi dan lagi pemuda itu hanya mengangguk, tanda paham. Tapi kali ini ia menoleh sesaat sambil mengerucutkan bibirnya.

“Cium dulu.”

“Ngarep lu.” Win membalas ucapan Bright dengan cepat, lalu ia berbalik dan melangkah meninggalkan Bright yang masih sibuk membersihkan tabung reaksi sambil memanyunkan bibirnya.

Sad boy…

Setelah urusan dengan meja panjang ke-2 selesai, Bright kembali beranjak menuju lemari untuk mengambil dua rak berikutnya. Terdengar suara grasak-grusuk dari balik lemari, tapi Bright memilih untuk tidak mengintip Win yang entah sedang melakukan apa di sana dan memutuskan untuk membawa dua rak tabung reaksi di tangannya pada meja ke-3.

Satu persatu tabung pun mulai dibersihkan, tapi Win belum kunjung kembali dari balik lemari.

Satu alis Bright tertaut, “sayangggg?!” lalu ia coba untuk memanggil sang pacar.

Samar-samar Win menyahut, “apaaa???”

“Mau cium, ayang...” fix, ngeselin.

Setelah itu terdengar decakan kesal yang sudah jelas berasal dari Win, dan Bright cekikikan karenanya.

“Nggak ada ya, jangan ngide aneh-aneh di lingkungan sekolah, deh.” sahut Win, agak berteriak.

“Tapi waktu itu kita ciuman di toilet, yang. Sepuluh menit.”

Bocah gemblung…

“BRIGHT LO BISA DIEM NGGAK, SIH?! ATAU GUE GUYUR PAKE AQUADES, MAU?!” kan, kan, marah kan.

Win berteriak, lagi. Bright tertawa kesenangan.

Lima menit kemudian, Win melangkah tergopoh-gopoh keluar dari balik lemari penyimpanan menuju wastafel di dekat pintu masuk laboratorium, dengan sebuah jerigen besar di dalam dekapannya. Jerigen tersebut diletakkan di sisi wastafel, lalu Win membersihkan kemeja seragamnya yang sedikit kotor karena debu.

Bright baru saja meletakkan rak tabung reaksi terakhir di meja panjang ke-4. Setelah memastikan bahwa semua tabung sudah bersih dari debu, Bright memantapkan langkahnya menghampiri Win yang sedang kesusahan membuka penutup jerigen putih berukuran 20 liter, berbentuk kotak.

“Keras banget?” tanya nya.

Win mengangguk ngos-ngosan. Lalu dengan santai Bright menggeser jerigen tersebut ke arahnya, “sini, gue bukain.”

Dan, blashhh… tidak pakai tenaga pun, Bright bisa membuka penutup jerigen itu.

“Gampang banget, anjrit. Cemen lo...”

Namun Win enggan menjawab. Pemuda manis itu beranjak menuju lemari penyimpanan dan mengambil dua gelas ukur dari sana. Setelah itu, ia kembali memposisikan dirinya di samping Bright, di depan wastafel.

Bright mengamati pergerakan sang pacar dengan antusias. Perlahan tapi pasti, Win mulai membersihkan satu gelas ukur menggunakan cairan dari dalam jerigen tersebut.

“Kenapa nggak dicuci pake air kran aja, yang?” tanya nya.

Win memberikan sebuah gelengan pelan, “semua alat di sini harus dicuci pake cairan aquades. Ini namanya aquades, air murni yang bebas mineral.”

“What's the difference? Bukannya sama-sama air?” tanya Bright lagi, penasaran.

Diam-diam Win mengagumi rasa ingin tahu Bright yang besar, alhasil ia tersenyum tipis sambil jari telunjuknya bergerak mengetuk pelan jerigen di depan mereka.

“Tingkat kemurniannya. Alat-alat praktikum di sini harus selalu dipakai dalam keadaan bersih dan dikembalikan ke tempatnya juga dalam keadaan bersih. Jadinya, kita harus cuci alat-alat tersebut pake cairan ini, aquades. Karna air ini nggak mengandung mineral atau zat-zat apapun, jadi menjamin kebersihan alat-alat yang kita gunain. Kalau air biasa yang asalnya dari kran, mereka mengandung mineral dan partikel terlarut. Ada kalsiumnya, ada magnesium, ada selenium, natrium ada jugaㅡ”

“Dah lah gue kagak ngerti.” terlalu pusing dengan penjelasan Win, Bright pun memotong ucapan pacarnya itu.

Lagi dan lagi Win hanya bisa tertawa. Bright itu, tipikal orang yang penasaran. Tapi ketika diberi penjelasan panjang lebar, pemuda itu sering merasa pusing duluan. Sama seperti saat Bright penasaran dengan bagaimana cara Win menyelesaikan PR fisikanya.

Tentang mengapa volume air mengalir harus dihitung. Tentang kecepatan buah yang jatuh dari pohon, lalu menggelinding sejauh beberapa meter, juga harus dihitung.

Atau tentang mengapa harus repot-repot menghitung volume dan kecepatan air yang keluar melalui lubang-lubang di ember padahal hanya perlu menutup lubang-lubang tersebut dengan lakban hitam?!

“Ya intinya begitu, kita selalu disaranin untuk nyuci alat-alat praktikum pakai aquades. If you ask for what reason, ya itu… biar bersih, pokoknya.”

Merasa tidak nyambung dengan bahasa-bahasa aneh dunia sains, Bright pun cuma bisa manggut-manggut merespon ucapan Win. Ia lalu menyandarkan tubuhnya di sisi wastafel, duduk dengan hati-hati di sana.

Sedangkan Win, pemuda manis itu kembali melangkah menuju lemari penyimpanan dan mengambil dua gelas ukur lain dari sana. Win meletakkan dua gelas ukur di meja panjang ke-2, “Bii, tolong bantu cuciin, ya...” Yang tentu saja langsung diiyakan oleh Bright.

Bright mulai mencuci dua gelas ukur yang dititipkan Win dengan cairan aquades. Selagi dirinya mengerjakan permintaan sang pacar, sebuah pemikiran terbit tanpa permisi dalam benaknya.

Satu gelas ukur sudah bersih, Bright meletakkan gelas tersebut di samping dua gelas ukur yang sebelumnya sudah dicuci oleh Win.

Lalu, Bright kembali meneruskan aktivitasnya, sambil menyuarakan pemikiran yang beberapa detik lalu sempat singgah di benaknya.

“Beb,”

“Here we go again. You and your ugly pet names.” Win menyahut, empat gelas ukur lain kini diletakkan ke dalam wastafel.

Bright terkekeh singkat. Jadi teringat akan perjuangannya dulu membuat Win terbiasa dengan panggilan 'ayang' untuknya.

“Cande, beb, eh ayang maksudnya hehehe. Gue mau nanya deh, yang.”

Sambil mencuci gelas ukur yang baru saja dibawanya tadi, Win menganggukkan kepala, sebagai tanda ia memberi kesempatan pada Bright untuk menyampaikan pertanyaannya.

“Tadi 'kan kata lo, nanti kemungkinan besar lo bakalan meriksa urine punya temen lo, emangnya lo nggak jijik, gitu? This is urine we are talking about.”

Win meletakkan gelas yang sudah bersih, lalu mulai mencuci gelas ukur berikutnya.

“Nggak, lah. Urine pertama biasanya nggak bau, sih… dan harusnya masih bersih juga. Ya semoga nanti gue dapetnya yang bagus deh, dan bener-bener urine pertama.” jawabnya.

Bright pun mengangguk paham, meskipun dalam hati ia merapalkan doa agar Win tidak mendapat urine milik ketua kelas XII-IPA.

Amit-amit dah, gue ogah banget cemburu gara-gara air pipis doang… nggak banget, not my style pokoknya.

Ya tuhan, tapi plis banget ini mah… Jangan sampe Win dapet urine nya Luke… Jangan ya Tuhan, plis…

“Kayaknya taro di lab aja deh, gue takutnya kalo ditinggal di kelas nanti botolnya pada jatoh-jatohan terus urine nya tumpah kemana-mana.”

Hening.

Alias hening part 1.

Itu kayak… Suara Dew?!?!

“Bener juga, amit-amit deh kalau beneran ada yang tumpah di kelas.”

Sebentar, itu kayak… Suara Puimek?!?!

“Ya udah, nanti gue langsung kabarin di grup kelas biar anak-anak langsung nyimpen botol urine mereka di lab begitu sampe sekolah.”

HAH, ITU KAYAK… SUARA LUKE.

Bright dan Win secara tiba-tiba malfungsi, dan segala kegiatan cuci mencuci gelas ukur pun berhenti mendadak. Keduanya bertatapan, bingung harus berbuat apa.

Sekarang kondisinya adalah, ada seorang anak kelas 12 IPA dan seorang anak kelas 12 SOS 2 di dalam laboratorium biologi dan kimia, padahal kedua kelas itu terkenal tidak akur.

Lalu di luar laboratorium, ada 3 anggota aliansi 12 IPA yang mungkin akan tiba di depan pintu laboratorium dalam hitungan 5… 4… 3…

Ponsel Bright yang sedari tadi bersemayam di dalam saku celana seragam bergetar. Nama Nanon muncul sebagai id caller. Merasa sudah tidak bisa berpikir jernih, Bright pun cepat-cepat mengangkat panggilan tersebut.

“Bri, anjinggg gue lagi jalan di belakang tiga anak ipa ini menuju lab. Lo dimana, anjing? Jangan bilang lo sama Win masih di dalem lab?”

Menelan ludah dengan susah payah, Bright pun menjawab ucapan Nanon yang terdengar seperti bisik-bisik, “nyet, lo lari buruan ngeduluin mereka terus langsung masuk ke lab.”

Anjinggggg…. Panik, lur.

“Gue rasa lu udah gila, Briㅡ”

“Buruan, kampret. Cuma lo ini satu-satunya penyelamat gue!!!”

PIP

Sambungan telepon pun terputus. Bright clueless abis, apakah Nanon akan mengikuti ide gilanya untuk mendahului 3 anak IPA dan masuk ke dalam lab atau berbalik arah meninggalkan dirinya dalam nestapa.

Belum sempat Bright memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana, suara pintu laboratorium yang dibuka secara paksa menjadi pertanda kalau bala bantuan dari sorga sudah tiba.

Kedatangan Nanon yang tiba-tiba di laboratorium jelas membuat Win bingung. Same goes to Luke, Dew dan Puimek yang mendadak mempercepat langkah mereka.

Ketiga anak 12 IPA sudah tiba di ambang pintu, bersamaan dengan aksi gila Nanon yang menundukkan kepala Bright secara paksa ke bawah kran di wastafel, sambil membuka cepat kran tersebut.

Air mengalir deras membasahi rambut Bright. Lalu dengan polosnya, Nanon melempar senyum pada Win, Luke, Dew dan Puimek seraya tangannya terus bergerak menggaruk dan memijat kepala sahabatnya itu.

“Maaf, guys. Gue numpang keramasin Bright, ya? Dia belum keramas dari seminggu lalu, jadi tadi pas gue minjem helm dia, helm nya bau banget, anjir.”

Semua orang… speechless.

Termasuk Bright, si korban pengeramasan dadakan oleh Nanon yang kini pasrah kepalanya diguyur air kran.

Nanon yang gugup pun berusaha mencari alasan lain agar suasana menjadi rileks. Matanya dengan gusar melirik ke sana kemari hanya untuk menemukan tas dan helm pribadi milik Bright yang tergeletak di meja pengawas lab, di samping kiri pintu masuk.

“Tuh helmnya, bau banget sumpah…” oke, semangat, Nanon.

Lantas demi mendukung akting Nanon yang secara tak langsung sudah jadi dewa penyelamat baginya pagi ini, Bright pun mematikan kran air dan mendongak menatap sahabat konyolnya itu dari bawah.

“Mana shampoo-nya, goblok?” tanya Bright.

Walau dalam hati, ia sibuk mengolok-olok dirinya sendiri. Tolollll… Bisa-bisanya gue temenan sama Nanon…

Lagi dan lagi, dengan tampang inosennya, Nanon berujar, “di warung biasa lagi abis, Bri. Udah lah, gue keramasin pake aer aja.”

Dan pagi itu ditutup dengan aksi mencengangkan dari dua pentolan 12 SOS 2. Win, diam-diam tertawa melihat pacarnya jadi bulan-bulanan Nanon. Tidak pernah satu kalipun terbesit dalam pikirannya, kalau Bright akan melindungi diri dengan cara seperti ini.

Tapi ya, mau gimana lagi… Win belum ada inisiatif untuk buka-bukaan perihal hubungannya bersama Bright pada anak-anak kelasnya, terutama pada 3 orang yang sedang menatap bingung pada Bright yang kembali pasrah dikeramasi oleh Nanon di bawah kran air.

Liat aja nih yeee, kejadian pagi ini pasti nggak akan dilupain begitu aja. Apalagi kalo barudaks tau, bah… tamat lah riwayat Bright dan juga Nanon...

. . .

JEYI // 210218.

ㅡ Marilyn Monroe once said, “we are all of us stars, we deserve to twinkle.”

Pergerakan tangan Bright di surai hitam Win berhenti tiba-tiba ketika pemuda manis yang sudah resmi menjadi kekasihnya selama 3 tahun itu, kini menoleh padanya. Ada binar penuh antusias di sepasang obsidian kecoklatan miliknyaă…ˇ membuatnya 100 kali terlihat lebih cantik.

“Am i one of them?”

Bright membalas tatapan itu dengan satu alis yang bertaut, sengaja menggoda. “Siapa? bintang-bintangnya?”

“Iya!”

Lalu sebuah cubitan gemas di hidung mancung Win berhasil menciptakan gelak tawa di antara keduanya, “you're my star. My only star. Is that enough, sugar pie?”

V DAYă…ˇ PROMPT 001. total words: 4.354 words.


“Nah, nah, nah! Tuh di situ ada lapak kosong, bisa kali kita ngemper sebentar? Tenaga gue kayaknya mulai menguap di udara deh, yang.”

Nafasnya terdengar ngos-ngosan, entah memang karena lelah atau sengaja dibuat-buat. Hari memang sudah beranjak sore, persediaan air minum di tangan juga sudah tidak begitu memadai, pun bulir-bulir keringat mulai turun menembus pelipis.

Win langsung saja menarik tangan Bright yang hampir lepas dari jangkauannya. Pemuda 18 tahun itu melenguh agak kesal, menatap pacar manisnya dengan tatapan memelas.

“Apa lagi? Masih mau ngantri satu permainan dulu baru kita duduk?” tanya Bright, lalu menghela nafas dengan pelan.

Lagu pengiring yang sudah disetting on-repeat terus berkumandang di seluruh sisi dan sudut taman bermain keluarga, Dunia Fantasi. Bright, meskipun sedang menahan kesal tapi kepalanya tidak bisa berhenti bergerak menikmati lagu tersebut, sambil hatinya ikut bernyanyi mengikuti lirik yang sedang dilantunkan.

Dan hal itu, berhasil membuat Win tersenyum tidak tahan akan kegemasan alami yang dilakukan si pacar nakal.

Win menurunkan pegangan tangannya dari lengan Bright, menuju telapak tangan pemuda itu. Disatukannya telapak tangan mereka berdua, lalu dibiarkan bertaut jari-jari yang sudah menemukan celahnya. Lalu tanpa suara, Win menggandeng Bright menuju lapak kosong yang sebelumnya ditunjuk oleh pacarnya itu. Bukan tempat duduk berwujud kursi, tapi lantai dasar Dufan yang berasal dari konblok halus. Tepat di seberang wahana hysteria.

“Iya, iya. Ayo duduk.”

Win mendudukkan tubuhnya lebih dulu, dan disusul Bright setelahnya. Sisi kanan dan kiri sudah diisi dengan anak-anak remajaă…ˇ laki-laki dan perempuan membentuk kerumunan, mungkin kumpulan anak-anak SMP. Semuanya menghadap ke arah wahana hysteria, dimana sabuk pengaman baru saja terpasang dan siap menembus udara dalam hitungan detik.

“Lu ngapain buka sepatu hahaha!”

Win menoleh, melirik seorang gadis dengan balutan kaos oblong berwarna putih dan celana hotpants jeans, serta sebuah snapback yang melindungi kepalanya. Suara lantang gadis itu ditujukan pada seseorang yang jadi salah satu penumpang hysteria yang sedang dipersiapkan untuk lepas landas.

“Gue takut sepatu gue mental, cuk!!! YA ALLAH INI KAPAN MULAINYA JANTUNG GUE UDAH JEDAG-JEDUG!!!” Begitu jawab si teman, seorang pemuda yang duduk di bangku paling pinggir hysteria sebelah kiri.

Win ikut menatap pemuda itu, wajahnya terlihat pucat meski dilihat dari jarak yang cukup jauh. Lalu tak lama, gadis yang tadi berteriak mulai tertawa kencang, begitu juga teman-temannya yang lain.

“MAS, MAS!!! SAYA MAU TURUN AJA, GANTIAN SAMA YANG LAIN BOLEH NGGAK!!!” Ini sih, bukan pertanyaan. Tapi pernyataan memaksa yang membuat seorang petugas wahana tertawa dari balik mic yang ia pegang.

“Waduh, nggak bisa, dek. Cuma tiga menitan kok, siap-siap ya! Selamat siang menjelang sore, selamat datang di wahana hysteria! Sebelum wahana beroperasi, mohon dicek kembali keamanan masing-masing dengan memperhatikan sabuk pengaman, apakah sudah terpasang dengan benar atau belum. Jika mengalami kesulitan dalam memasang atau memeriksa sabuk pengaman, bisa angkat tangan dan petugas kami akan menghampiri.”

Wow, keren. Perhatian Win jadi sepenuhnya terpusat pada dua mesin wahana hysteria di depan sana. Semua penumpang di atas bangku tampak sedang memeriksa sabuk pengaman masing-masing, bahkan beberapa juga ada yang melepas sepatu sama seperti seorang pemuda yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman dari sekumpulan anak SMP di sebelahnya.

“Baiklah, wahana hysteria akan beroperasi dalam hitungan lima, empat, tiga, dua, satu… Selamat menikmati!”

Dan seketika suara teriakan menggema kencang begitu dua mesin wahana hysteria melakukan lepas landas di waktu yang sama. Win ikut tertawa, beberapa orang berteriak minta ampun dari atas permainan tersebut. Terlalu fokus menyaksikan penderitaan dan euforia yang sedang disuguhkan, Win tidak sadar kalau Bright ternyata tengah menatap padanya.

Satu tangan Bright menyentuh poni Win yang sedikit basah karena keringat, “you mau ngantri hysteria juga?”

Suara berat namun lembut menyisir halus lubang telinganya. Win menoleh, “you emang berani? Tadi pas kita udah di front line power surge aja you minta puter balik.”

“You emang nggak ngeri apa ngeliat orang diputer-puter di atas gitu, ai ngeri lagi dikocok di atas terus ai muntah, yeuuu kan nggak lucu.” balas Bright, sebenernya ngeles sih, emang gue takut naik power surge hehehe. “Nanti you malu.” Iya, lanjutin aja ngelesnya Bright, nggak apa-apa.

Win hanya memasang ekspresi meledek. Dibawanya kembali seluruh atensi ke wahana hysteria yang mulai turun perlahan-lahan ke bawah, tanda waktu bermain sudah selesai. Bright belum kunjung berhenti memainkan poni Win, daripada melihat orang lain ngos-ngosan dan mengalami post-trauma pasca bermain hysteria, lebih baik ia menatap Win dari samping seperti sekarang, bukan?

Win membiarkan tangan Bright terus menyentuh rambut dan sebagian sisi wajahnya, “hauuuus…” lalu mengeluh secara spontan.

“Lo tunggu sini, jangan kemana-mana. Gue ke situ dulu, beli minum.” Kata Bright, sambil menunjuk kios CFC di samping wahana hysteria.

Lantas pemuda itu bangkit berdiri, melirik si pacar manis sambil mengulurkan sebuah kamera analog yang sedari tadi ia pegang pada Win.

“Atau mau ikut? Kita duduk bentar di sana sambil ngemil kentang goreng, hm?” tanya Bright, dengan satu alis yang bertaut.

Sebuah gelengan Win berikan sebagai jawaban, “too lazy to walk there hehehe, masih mau ngeliatin orang main hysteria, seru!”

“You mau kita ngantri hysteria abis ini?”

Lagi, Win menggeleng. “Nggak usah, lo takut kan. Nanti kita cari wahana yang bisa kita mainin barengan aja, oke?” balasnya.

Win… kalo lagi perhatian gini, lo 100 ribu kali lipat lebih cakep deh… arghhh jadi makin sayang kan gue…

“Thank you, i love you, ayang.”

Win terkekeh pelan, “nggak.” katanya, yang langsung disusul dengan aksi mendorong tubuh Bright agar segera pergi dari sana.

“Udah sana ih, hush hush!”

Win… malu. Bisa-bisanya Bright bilang i love you di tempat umum…

Unbelievable, tapi suka sih, hehehe.

. . .

Bright kira, Win benar-benar memperhatikan dirinya ketika ia menolak untuk menjajal wahana-wahana pemacu adrenalin. Bright pikir, Win sungguh-sungguh mempertimbangkan rasa deg-degannya ketika harus mengambil bagian untuk antri tepat di depan wahana-wahana yang masuk kategori ekstrim.

Ringkasnya, i should've learned, i shouldn't trust men, karena ternyata tepat pada pukul 4 sore, keduanya berpijak membentuk sebuah barisan di depan wahana tornado.

Win terlihat amat sangat antusias. Seulas senyum terus-menerus terlukis di bibirnya, dan kadang kala juga terkekeh begitu suara teriakan terdengar dari atas wahana yang sedang berputar-putar di atas sana.

Bright melirik beberapa orang yang berbaris di belakangnya. Sudah panjang, dan semuanya terlihat tidak sabaran. Kayaknya, cuma dirinya sendiri lah yang sama sekali tidak siap mental untuk mengorbankan nyawanya di atas tornado.

Mau kabur aja lah, fix. Masih ada celah untuk melarikan diri, gas nih?

Tapi sayang, suara lembut Win yang menyiratkan antusias lebih dulu menginterupsi Bright yang sedang sibuk menyusun strategi untuk meninggalkan antrian.

“Nanti kita sebelahan terus ambil bangku yang di paling pinggir, ya?”

Bright menghembuskan nafas pelan, “yang, gue nggak berani, beneran deh...”

“Nggak berani beneran atau cuma deg-degan ngeri ngeri sedap?” tanya Win.

“Bright, it's not as scary as hysteria. Trust me.”

Iya sih, tornado memang nggak semengerikan hysteria yang sensasinya kayak dilempar ke atas lalu tanpa aba-aba ditarik turun lagi ke bawah padahal jantung masih nyangkut di langit.

Tapi, untuk orang yang mentalnya tidak seberani Win yang jelas-jelas siap 86 untuk menaiki semua wahana di dunia fantasi ini, Bright cukup ciut.

Oke, Bright bukan tipikal orang yang 'takut' dengan wahana-wahana ekstrim, dulu saat perpisahan SMP, satu angkatan kelas 9 pernah berlibur bersama ke Dufan dan Bright berhasil menaklukkan hysteria, tornado, halilintar dan kora-kora meski harus berujung pusing tujuh keliling. Apalagi, jaman-jaman SMP itu adalah jaman dimana Bright masih harus membangun fame yang sempurna di depan seorang Metawin.

Dan walaupun sudah resmi berpacaran ketika mereka berlibur bersama saat kelas 9 SMP, Bright tetap merasa masih perlu menjadi 'lelaki tangguh' di depan pacarnya itu. Ya kali nolak diajak main hysteria? tornado? halilintar? kora-kora? Mau ditaruh dimana muka tampannya…

Tapi, kurang lebih tiga tahun sudah berlalu sejak mereka mengunjungi Dufan saat itu, dan ketika harus kembali berhadapan dengan wahana-wahana pencari tumbal ini, Bright belum siap. Lupa bagaimana rasanya, tidak familiar lagi dengan sensasinya.

Bright malas untuk merasakan deg-degan ketika duduk di bangku wahana, tapi jauh lebih malas menjadi bulan-bulanan Win setelah ini karena selalu menolak setiap diajak mengantri di wahana yang menantang adrenalin.

Alhasil, ia mencuri satu kecupan di bibir Win, lalu beralih menatap kerumunan orang-orang yang sedang berlari menuju bangku tornado, seolah barusan tidak terjadi apa-apa.

“Halah, tornado doang.” ujarnya sombong, sambil menjentikkan jari di depan Win, “kecil itu mah.”

Win mendecih pelan. Tangannya bergerak menyentuh kacamata hitam yang membingkai sepasang matanya, “nanti you punya kacamata disimpen dulu di tas. Kalau lupa bahaya, nanti jatuh terus rusak pas lagi main.”

Bright mengangguk, “iya, ayang. Nanti you ingetin ai lagi aja.”

Lalu tanpa aba-aba, Win langsung menarik kacamata hitam tersebut dan memasukkannya ke dalam sling bag yang berada tepat di dada bidang sang pacar.

“sekarang aja, takut gue lupa juga hehehe.”

Antrian wahana tornado masih cukup panjang, dan posisi keduanya kira-kira masih sangat jauh dan membutuhkan sekitar 2 atau 3 kloter untuk sampai pada giliran mereka. Angin sore di Dunia Fantasi terasa begitu lembut, membuat surai hitam Win bergerak lucu tertiup tekanan udara.

Bright memajukan langkahnya satu kali, lalu meletakkan dagunya tepat di atas puncak kepala Win. Dagunya bermain-main di sana, maju – mundur lalu membuat gerakan memutar sehingga Win sesekali terkekeh menahan geli.

“You nggak beneran takut naik wahana-wahana yang semacam ini, 'kan? Karna seinget ai dulu pas kita SMP, kita pernah ke sini terus you pede pede aja tuh main tornado, hysteria, kora-kora, halilintar sama anak-anak.”

Sadar tidak sadar, Win mulai menyamankan posisi di dalam dekapan Bright.

Yang ditanya hanya bergumam pelan. Satu tangannya mengelus lembut perut Win, sedangkan satu tangannya yang lain bertumpu pada pagar kayu yang membatasi setiap baris antrian.

“Waktu itu 'kan gue masih memperjuangkan image di depan lo, yang. Pokoknya gimana pun caranya, gue harus selalu terlihat keren di mata lo.”

Win melirik Bright sekilas dari samping, “terus, lo ngerasa sukses nggak?”

Kedua bahu tegap Bright terangkat, “nggak tau deh, menurut gebetan gue pas waktu itu… gue keren nggak, yah?”

Si Manis meloloskan gelak tawa renyah, sambil menepuk pipi kanan Bright sebanyak tiga kali. “Iya deh keren, pacar gue emang paling keren sedunia.”

Win memang paling bisa menciptakan seulas senyum di bibir Bright, entah bagaimanapun caranya. Bright kembali menggerak-gerakkan dagunya di atas kepala Win, lalu seuntai kalimat lolos dari belah ranum merah mudanya.

“Tapi abis itu gue pusing dan mual-mual. Tapi nggak parah sih, b ajah.” Padahal mah, pusing banget cuy… Bright bahkan pernah bersumpah untuk nggak lagi-lagi naik wahana semacam tornado dan sebangsanya seumur hidupnya.

Antrian mulai bergerak maju, tapi Bright enggan untuk melepas pelukannya. Alhasil, keduanya beranjak sedikit demi sedikit. Masih dengan posisi Bright memeluk Win dari belakang, serta kepala pemuda itu yang bertopang di atas kepala Win.

Kloter berikutnya sudah mulai memasuki arena wahana tornado, dan itu artinya giliran Bright dan Win untuk mencicipi sensasi menegangkan wahana tersebut semakin dekat.

“Abis ini mau naik apa lagi?” tanya Bright.

Win bergumam pelan, “kalau gue masih mau naik wahana yang serem-serem gini, you mau nyanggupin, nggak?”

“Sebutin dulu mau kemana lagi. Kita harus liat jam juga, udah mau jam lima ini.” balas Bright.

Win menoleh, melirik pacarnya itu dari samping, “'kan kita mau sampe malem di sini?”

“You bilang malemnya kita mau dinner di area pantai, ya!”

“Oh iya, lupa. Hmm, ada wahana yang mau lo mainin, nggak?” tanya Win.

Bright menggeleng, “gue ngikut lo aja, yang. Tapi gue rikues nanti closing nya kita naik bianglala, kayaknya keren bisa ngeliat sebagian kecil kota Jakarta dari atas.”

“Oke, boleh… Tapi abis ini gue mau main yang ringan-ringan dulu.”

Kepala Bright berpindah tempat ke bahu Win, lalu ditatapnya si Manis dari jarak yang cukup dekat. “Gajah bledug?”

“BUKAAAN!!! Emangnya gue anak bocah, apa!”

Bright tertawa kecil, lagi dan lagi mencuri ciuman kilat di bibir Win yang sedikit mengerucut.

“Oh, komedi putar?”

Lalu satu cubitan mendarat dengan sempurna di lengan si pacar, “males ah, ngantrinya panjang. Gue abis ini mau ke rumah kaca sama rumah miring, terus kita beli dumdum sebentar karna gue haus lagi. Abis ituuu kita naik ontang-anting, and then we gonna ride halilintar and you harus ikut, you nggak takut, 'kan? Terus kita naik arung jeram, eh tapi biasanya arung jeram ngantrinya tiga tahun...”

“Nanya sendiri, jawab sendiri.”

Win lagi dan lagi terkekeh, “naik niagara aja, deh. Ngantrinya nggak selama kayak ngantri arung jeram. Abis itu istana boneka!!! Nggak afdol kalau ke dufan tapi nggak ke isbon!!! Oke?!”

Bright mengangguk berulang kali bagaikan hiasan karakter scooby-doo di dashboard mobil atau kucing selamat datang di meja-meja ruko mall mangga dua.

“Oke, oke… everything for my boyfriend.”

Kloter berikutnya sudah dipersilakan memasuki arena wahana. Antrian semakin maju, itu artinya Bright dan Win akan menikmati giliran mereka setelah ini.

Lantas sambil menunggu giliran, Bright mengedarkan pandangannya menatap sekeliling. Tempat wisata dan hiburan ini memang tidak pernah sepi. Harga tiket masuk yang cukup menguras dompet bagi anak sekolahan seperti dirinya seolah bukan penghalang bagi banyak orang untuk berkunjung ke Dunia Fantasi.

Bright, rindu akan sebuah situasi dimana hatinya merasa euforia yang membuncah seperti sekarang ini. Meski harus melawan deg-degan untuk menaiki beberapa wahana pemacu adrenalin, jauh di lubuk hatinya… Bright bahagia.

Bisa menikmati hari kasih sayang berdua dengan Win setelah dua tahun kemarin hanya dihabiskan di rumah Win untuk tahun pertama, dan di rumah Bright untuk tahun kedua rasanya… luar biasa menyenangkan.

“Next time ke sini rame-rame sama barudaks seru kali, ya?”

Win yang awalnya tengah asik menyaksikan rombongan festival sore yang melintas langsung membawa fokus atensinya pada sang pacar.

Kedua sudut bibirnya terangkat, “boleh, gue juga belum jadi terus nih mau jalan-jalan berdua sama Racha. Dua minggu lagi kita udah mulai unprak by the way.”

“Tawaran short getaway dari Mamah juga belum kita ambil. Sekarang kan ke Dufan karna kemauan kita berdua buat nikmatin valentine. Berarti hadiah dari Mamah fix ke puncak aja, ya? Ke Taman Safari?” ucap Bright.

Win mengangguk pelan, “oke, sekalian silaturahmi sama kembaran lo berarti, ya?”

“Wah, gue tau nih arah pembicaraan lo kemana. Iseng ya lo, ayang… Sini gue kasih hukuman dulu.” Dengan gemas Bright merengkuh kepala Win dengan lengannya, lalu membiarkan wajah sang pacar berhadapan langsung dengan ketiaknya yang terbalut fabrik.

Bright tertawa agak keras, sempat mengundang perhatian beberapa orang yang sedang mengantri di depan dan di belakangnya, tapi Bright mana mau peduli.

“Tuh, rasakan sensasinya! Doyan kan lo nyiumin ketek gue, nih gue kasih!”

Dan di bawah sana, Win susah payah menahan sirkulasi pernafasannya. Lalu dengan segenap kekuatan yang ia punya, Win mendorong pelan lengan Bright agar menjauh dari jangkauan wajahnya.

“Anjing lo ya, bisa-bisa gue keburu pingsan sebelum naik tornado!”

Cup, upsie, hukuman tambahan. Untuk yang ke-3 kalinya Bright mencium bibir Win di tempat umum.

“Anak manis mulutnya nggak boleh kotor gitu, ah.”

Win berdecak kesal, “terus bolehnya apa dong?!”

“Bolehnya gini,” Bright kembali menangkup kedua pipi berisi Win lalu menghujani bibir si Manis dengan kecupan sebanyak lima kali. Cup, cup, cup, cup, “Satu kali lagi, yah...” dan cuppp! dan aksi Bright barusan berhasil membuat wajah Win memerah sepenuhnya.

“Bolehnya dicium dan mencium gue aja, hahay enak banget ya jadi gue.”

Dan tak terasa, kloter berikutnya pun sudah dipersilakan untuk memasuki arena wahana tornado dan itu artinya… It's Bright and Win's time!

. . .

Rumah kaca, sudah. Meski harus dihiasi dengan sedikit perdebatan karena sama-sama kesulitan mencari jalan keluar (dan naasnya, harus keluar di pintu masuk) yang mana mengundang tawa petugas wahana dan beberapa pengunjung.

Bright kini sedang duduk di atas sebuah bangku di tengah-tengah pintu keluar rumah miring dan pintu masuk wahana niagara. Matanya sibuk memandang sekitar, entah itu pengunjung yang berjalan sempoyongan begitu keluar dari rumah miring atau juga pengunjung yang pakaiannya nyaris basah kuyup seusai main niagara.

Hari semakin sore, dan langit kota Jakarta mulai dihiasi dengan warna oranye tipis bergradasi. Banyak burung berterbangan dengan bebas di atas, serta lagu khas Dunia Fantasi yang masih terus berkumandang.

“You mau, nggak?”

Oh, ternyata Win sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya, dengan satu porsi thai tea di tangan kanannya.

Bright menempelkan bibirnya pada sedotan, lalu menyesapnya hingga beberapa tegukan.

“Enak, thank you, sayang.”

Dan si 'Sayang' pun mengangguk, “kenapa nggak pernah mau sih kalau beli dumdum atau chatime satu porsi buat diri sendiri?”

“Gampang mules gue, yang. Jadinya icip-icip aja dikit punya lo.”

Decakan halus keluar dari belah bibir Win sebagai respon atas ucapan Bright barusan. Sambil menenggak thai tea kesukaannya, Win melirik wahana rumah miring yang sudah tidak terlalu ramai diisi pengunjung.

“Bii, yuk masuk ke rumah miring!”

Bright mengelus sayang surai hitam Win, lalu menatap si pemuda manis tepat di matanya, “abisin dulu itu minuman lo, kan nggak boleh bawa makanan dan minuman ke dalem sana.”

“Udah nggak apa-apa sih, ayo! Nggak ada petugas yang ngawasin kok!”

Status, anak IPA. Judul, wakil ketua OSIS dan wakil ketua kelas di waktu yang bersamaan. Hobi, ikut olimpiade sains bahkan sampai ke tingkat nasional. Kelebihan, banyak. Kekurangan, hampir nggak ada. Tapi ternyata diam-diam senang break the rules, padahal biasanya juga takut ketahuan main HP di kelas atau membuat kekacauan di sekolah.

Hmm, itulah Metawin.

Lantas, apa Bright bisa menolak?

“Ya udah, ayo,” Bright mengulurkan tangan kanannya pada Win, “tapi kalo dumdum lo jatuh di dalem jangan ngerengek ke gue, ya.”

So, there we go!!! Wahana berikutnya: Rumah Miring!

. . .

“Selamat sore dan selamat datang di wahana halilintar. Sebelum kereta halilintar beroperasi, mohon dicek kembali keamanan dan kenyamanan masing-masing, apakah besi pengaman sudah terpasang dengan benar atau belum. Jika mengalami kesulitan atau kendala untuk memasang besi pengaman, boleh tunjuk tangan dan petugas kami akan menghampiri.”

Win mengecek kembali alat pengaman yang sebenarnya adalah sebuah besi yang melindungi tubuhnya dan juga Bright, setelah merasa semua oke dan aman ia menoleh ke samping kiri untuk bertemu dengan ekspresi tegang di wajah sang pacar. Bright memejam, bibirnya tampak bergetar sesekali.

Ide untuk menjahili Bright pun muncul secara tiba-tiba.

“Bii, cek dulu itu pengamannya udah bener atau belum.”

Padahal, satu alat pengaman berlaku untuk dua penumpang. Dan Win sudah mengeceknya tadi.

“Udah.” Bright menjawab ucapan Win dengan cepat, terlalu malas berujar panjang lebar karena ia terlalu deg-degan sejak detik pertama pantatnya mendarat di bangku kereta.

Matanya masih terpejam kuat. Lalu dengan bibir yang mengulum senyum, Win menarik hidung mancung Bright dan memainkannya pelan. Membuat pemuda 18 tahun yang duduk di sampingnya itu merengek, namun masih memejam.

“Kenapa sih you tegang banget? Santai aja, santai… Tarik nafas, buang… Tarik nafas, buang...”

Bright menengadahkan kepalanya ke atas, lalu membuka pejaman matanya perlahan. Diliriknya beberapa pengunjung yang masih berdiri di barisan antrian, lalu seorang petugas yang masih mondar-mandir mengecek pengaman masing-masing penumpang wahana halilintar.

Lalu perhatiannya beralih pada Win, “aduh nggak lucu banget ini kalau nanti ada berita seorang siswa SMA ditemukan tewas setelah terjatuh dari halilintar yang sedang melaju kencang… Arghhh gue takut, kali ini beneran takut dan gue nggak bohong, gue mau turun aja, MASHHHㅡ hmpptt...”

Ucapan Bright belum selesai, tapi Win lebih dulu menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangannya.

“Tadi naik kora-kora berani, naik tornado juga berani, masa sekarang ciut lagi, sih...”

Bright melepas tangan Win dari mulutnya, “ayang hak bicara lo dicabut, don't talk to me i am angry.”

“Biiㅡ ”

“Baiklah, silakan bersiap-siap karena kereta halilintar akan beroperasi dalam hitungan lima, empat, tiga, duaㅡ”

“Siap-siap, Bii...”

“You diem, gue akan mulai marathon nyanyi lagu rohani sekarang jugㅡ”

“Satu! Selamat menikmati wahana halilintar!”

“ANJINGGGGG GUE MAU TURUN MAS!!! PLIS IZININ GUE TURUN SEKARANG JUGAAA JSHSJSJSKSJ Janji-Mu seperti fajar pagi hari yang tiada pernah terlambat bersinarrrrrr….. AAAAAAA!!!”

Bright menyanyi lagu rohani ketika naik wahana halilintar memanglah epic. Tapi, yang tidak kalah epic adalah pacar manisnya, alias Win, juga ikutan nyanyi lagu rohaniă…ˇ mengiringi Bright, dengan nada sopran andalannya.

In short, keduanya melakukan paduan suara dadakan di atas rel dan kereta halilintar. Keren. Saling sahut menyahut lirik lagu dan nada tinggi. Bright, yang berteriak histeris dan Win yang bernyanyi dengan sungguh-sungguh.

Mereka… Saling melengkapi, bukan?

. . .

Tepat pukul 7 malam, ketika Bright membantu Win naik ke dalam kabin bianglala. Beruntungnya, mereka berdua mendapatkan satu kabin utuh tanpa harus berbagi dengan penumpang lain. Win mengambil posisi duduk di samping kanan pintu, sedangkan Bright duduk di bangku di sisi kiri pintu.

Bianglala pun mulai bergerak, dan kabin yang ditempati oleh sepasang anak adam ini semakin lama semakin naik, membuat mata mereka dimanja total oleh pemandangan malam kota Jakarta yang didominasi kerlap-kerlip lampu penerangan di malam hari.

Ada suara ombak yang berasal dari pantai cukup terdengar.

Ada pula suara, masuki dunia fantasi dunia ajaib nan mempesona dunia sensasi penuh atraksi rekreasi tuk keluarga… alias lagi dan lagi, jingle milik Dunia Fantasi kembali menemani perjalanan Bright dan Win di atas bianglala.

“How was it?”

Perlahan tapi pasti, Win menoleh pada Bright yang ternyata sedang menatap lembut ke arahnya. Meskipun tidak terlalu terlihat jelas, Win tahu, lelakinya itu sedang tersenyum di bawah langit malam.

Kedua sudut bibir Win terangkat, “thank you for taking me here after a long time, Boo.”

Boo, it's a Boo all over again, and Bright likes it.

“Di tengah kesibukan kita masing-masing sebagai anak kelas dua belas, gue seneng banget karna ternyata masih ada kesempatan buat kita berdua liburan singkat di sini. And it such a blessing that i could spent a whole day with you, jelek.”

Bright melebarkan senyumannya, “i am happy too. Thank you for staying and being here a whole day with me, sayang.”

Suasana mendadak gloomy, Win memutuskan untuk berpindah ke samping Bright, dan langsung menangkup wajah pemuda itu sampai bibir keduanya bertukar sapa.

Kecupan-kecupan lembut Win berikan di bibir Bright, menciptakan bunyi yang sedikit berisik sehingga membuat keduanya terkekeh pelan. Bright merengkuh pinggang Win dalam satu kali gerak, membawa tubuh pacar manisnya mendekat, sambil memperdalam ciuman mereka.

Win mengulum dan sesekali menggigit bibir bawah Bright, sedangkan Bright bertugas untuk memuaskan bibir atas Win.

“Thank you for always be my favorite valentine date ever. Since we were in junior high school up until today, if there's any words that could describe how much i love you, i would gladly give them all to you. It might sound so cheesy, but… Bright,”

Win memutus ciuman mereka secara tiba-tiba dan berucap sedikit panjang tepat di depan belah bibir Bright. Ucapannya belum selesai, tapi ia sempatkan untuk menyalurkan rasa sayang lewat usapan tangannya di pipi kanan dan kiri sang pacar.

Satu kecupan kembali Win hadiahkan di bibir Bright, “thank you for staying, though we ever gave up once, but i am so happy that we're getting back together again. I haven't said this much before but… I love you, and i want this feeling to grow up along with me, inside me, until i am at my twenty, thirty, forty and until it comes the time where loving you is the last thing i can do.”

“Bright, kalau lo capek atau bosen sama gue, tolong bilang. Jangan disembunyiin sendiri. Jangan sampai tiba-tiba gue ditinggal lagi. Lo minta break lagi. Lo minta putus lagi. Gue nggak bisa.”

Hati Bright, hancur.

Ketika suara lembut Win yang awalnya penuh dengan ungkapan rasa sayang kini memelan dan disertai isakan kecil.

Rasa takut itu, masih ada. Melekat erat dalam benak sang kekasih hati.

Mau sekuat apapun Win mencoba untuk lupa, luka itu tidak bisa hilang. Masih ada, dan akan selalu ada.

Tidak ada kata selain 'menyesal' yang bisa menggambarkan suasana hati Bright saat ini. Dikecupnya satu kali bibir Win, lalu dipeluknya pemuda manis itu erat-erat.

“Masih sakit ya, Win?”

Win tidak mau bohong, alhasil ia mengangguk, “sedikit, but it will heal, sorry”

“Gue mungkin nggak bisa menjanjikan selamanya buat lo, karna nggak ada yang tau rencana Tuhan akan seperti apa di masa depan. Gue mungkin punya bayangan masa depan dimana ada lo di dalamnya, tapi gue nggak tau apakah Tuhan mempersilakan atau enggak. Tapi satu yang pasti, sayang, dengerin gue,”

Lalu Bright menangkup wajah Win, mengusap lembut sudut bibir kanan dan kiri Win dengan ibu jarinya.

“Gue akan selalu berdoa dan gue akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk lo, untuk hubungan kita ke depannya. Apapun itu, gimana pun rencana Tuhan yang udah dipersiapkan untuk kita masing-masing, gue akan terus meminta jalan terbaik buat kita berdua.”

Bright menatap Win dengan tatapan terbaik yang ia punya, “dan kejadian waktu itu, gue minta maaf yang sebesar-besarnya karna udah ninggalin luka buat lo ya, yang. Gue nyesel, banget. Dan gue akan selalu berusaha untuk menjauhkan kemungkinan dimana kita bisa balik ke keadaan seperti itu. I will try my best to make both of us the happiest and this is my promise.”

“I love you too, sayang. Thank you for always being my bestest valentine date ever.”

Dan keduanya kembali saling bertukar rasa sayang lewat sebuah ciuman panjang. Saling melumat, saling mencumbu, lebih dalam lagi.

Kabin keduanya berhenti tepat di puncak teratas, menempatkan keduanya di posisi tertinggi malam itu.

Perlahan namun pasti, Bright melepas ciuman keduanya dan berkata, “the moon is beautiful, isn't it?”

Win, overwhelmed. Ia hanya bisa menanggapi ucapan Bright dengan senyuman manis. Kepalanya kini bersandar di bahu Bright, tubuhnya terasa begitu hangat kala sang pacar memeluknya erat dari samping.

“Bright,”

Yang dipanggil menyahut dengan sebuah deheman pelan, “ya, sayang?”

“Let's try to be the better version of us tomorrow, hm?”

Bright mengangguk, mantap. “Sure,” lalu tangannya bergerak mengusap lembut rambut Win yang tertiup angin.

“Wow, gue baru sadar kalau ternyata ngeliat bintang di posisi setinggi ini, keren banget, ya?”

Win mengikuti arah pandang Bright yang kini menatap ke arah langit. Dan benar saja, bintang-bintang yang berhamburan di atas sana terlihat begitu cantik.

“We are all of us stars, we deserve to twinkle too, sayang.”

Pergerakan tangan Bright di surai hitam Win berhenti tiba-tiba ketika pemuda manis yang sudah resmi menjadi kekasihnya selama 3 tahun itu, kini menoleh padanya. Ada binar penuh antusias di sepasang obsidian kecoklatan miliknyaă…ˇ membuatnya 100 kali terlihat lebih cantik.

“Am i one of them?” tanya nya, penasaran.

Bright membalas tatapan itu dengan satu alis yang bertaut, sengaja menggoda. “Siapa? bintang-bintangnya?”

“Iya!”

Lalu sebuah cubitan gemas di hidung mancung Win berhasil menciptakan gelak tawa di antara keduanya, “you're my star. My only star. Is that enough, sugar pie?”

. . .

JEYI // 210212

total words: 4.211 words.


“Yakin, nggak?”

“Eh, udah selesai, yang?” bukannya menjawab pertanyaan Win, Bright justru mengajukan pertanyaan lain. Tubuhnya yang semula duduk di bangkuㅡ yang memang sengaja ditaruh di depan kelas sedang memainkan kunci motor dengan jari-jarinya, kini bangkit berdiri.

Win, satu kali lagi, mengecek kondisi kelas XII-IPA yang sudah kosong, rapi dan bersih. Selaku ketua piket di hari Kamis yang naasnya 2 anggota kelompok tidak masuk, dan sisanya sudah pulang lebih dulu, Win harus memastikan kelas dalam keadaan sempurna sebelum ditinggal pulang.

Setelah memastikan kalau semua aman, Win kemudian menutup pintu kelas secara perlahan. Sepasang netra kecoklatannya kini mengarah pada Bright yang berdiri di hadapannya. Lengkap dengan senyum lebar yang membuat ujung kedua mata pemuda itu tertarik ke atas.

“Udah. Sekarang kita mau langsung ke warkop?”

Bright mengangguk. Satu tangannya beralih meraih tangan kanan Win dan menggandengnya erat, “iya, yuk? Anak-anak udah pada ngumpul semua kata Racha.” balasnya.

Keduanya mulai melangkah berdampingan melewati kelas XII-SOS 1 yang letaknya bersebelahan dengan kelas XII-IPA. Sudah tidak ada murid di dalam kelas, di kantin, di pelataran lantai 2 maupun di toilet. Guru-guru juga sudah berhamburan pulang sejak tadi, hanya tersisa 2 guru di sebuah ruangan besar di seberang kantin, dan Bright yakin tidak akan ada yang sempat melihatnya bergandengan tangan dengan Win ketika melewati ruangan tersebut.

Satu persatu anak tangga mulai dilewati. Ini adalah kali pertama mereka berdua berani berjalan bersama bahkan bergandengan tangan saat masih di lingkungan sekolah. Entahlah, Win tidak tau maksud dari Bright melakukan ini semua. Yang jelas, Win tidak bisa mengelak bahwa sekarang ada ribuan kupu-kupu imajiner yang berterbangan di perutnya.

Sesekali Win melirik tangan mereka yang saling bertaut. Masing-masing jari menemukan tempatnya untuk berlindung. Lalu tanpa sadar, Win tersenyum diam-diam, bisa gengsi kalau ketahuan Bright ia sedang jatuh cinta untuk yang ke-sekian kali.

“Nanti kalau ditanyain yang macem-macem sama bocah gue, nggak usah dijawab serius ya, yang? Bercandain aja, malah kalau perlu lo diemin aja mereka.” atensi Win yang semula sedang mengagumi bagaimana kedua tangan mereka sedang saling menggenggam kini diarahkan menuju si lawan bicara.

Satu matanya memicing, bingung, “yang ada nanti gue dikira nggak sopan, terus gue nggak direstuin deh sama mereka?”

Koridor utama gedung SMA sudah dilewati, dua pasang kaki yang terbalut sepatu converse beda warnaă…ˇ Bright dengan warna abu-abu, sedangkan Win dengan warna putih, kini sama-sama menyudahi langkah dan berdiri tepat di depan gerbang SMA. Bright mengelus punggung tangan Win dengan ibu jarinya, lalu satu tangannya yang lain terangkat untuk mengusap sayang surai hitam sang pacar.

“Dengan atau tanpa restu mereka, gue bakalan tetep pacaran sama lo.” kata Bright, terkesan sangat percaya diri.

Cih, lagi ngegombal apa gimana nih si pencetan remote?

Sebuah tepukan keras mendarat di pantat Bright yang terbungkus celana seragam abu-abu, “nggak boleh lho hoes before bros...” balas Win.

Bright tertawa kecil lalu kembali mengajak Win untuk meneruskan langkah kaki mereka. Hari sudah beranjak sore, gedung SD yang kini terpajang di sisi kanan jalan pun juga terlihat mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang lalu-lalang di sana.

“Kalian tuh sama pentingnya buat gue.”

Ucapan Bright yang terkesan tiba-tiba membuat Win mau tidak mau kembali melirik lelakinya itu, langkah mereka masih terus bertambah satu persatu, memasuki kawasan gedung SMP sambil menikmati semilir angin sore. “do i?”

“Hm?” Bright ikut menoleh, membalas tatapan Win.

Lantas ketika obsidian mereka saling bersirobok, Win melanjutkan kata-katanya. “Gue sama temen-temen lo, do we really in the same position?”

Bright mengangguk mantap, “kalau gue selama hampir tiga tahun ini lebih dominan ke pacar gue, mereka pasti udah uring-uringan nyari tau siapa pacar gue… siapa orang yang berani-beraninya ngerebut perhatian gue dari mereka.”

“Eh, sayang… Hati-hati,”

Win hampir saja terjegal langkah kakinya sendiri karena tak memperhatikan dua anak tangga di depannya. Untung saja, Bright memperingati.

“Tapi lo liat sendiri, 'kan? Bahkan Racha aja kaget bukan main pas akhirnya lo ngaku ke dia kalau selama ini kita pacaran diem-diem.”

Hm, masuk akal, sih.

Padahal menurut Win, selama ini Bright lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Tapi ternyata, pemuda itu bisa mengatur waktu sedemikian rupa agar waktunya bersama Win cukup, begitu juga untuk teman-temannya.

“Mungkin nanti anak-anak bakalan lebih kaget lagi pas tau kita udah jalan hampir tiga tahun gini. Paling gue digebuk pakai sapu lidi, sih...”

Win memperlambat langkah kakinya. Aduh, digebuk, katanya? Lalu tanpa sadar ia meremat tangan Bright agak kuat.

“Sayang?”

“Uhm, Bright, apa nggak usah ngaku aja, ya?”

Bright menghentikan langkahnya ketika kaki-kaki mereka sudah memijak konblok parkiran, “kenapa? Kok tiba-tiba?” tanya nya.

“Gue takut lo beneran digebuk sama temen-temen lo. Nggak usah aja, yuk? Gimana kalau kita pulang sekarang, ya, ya, ya, oke?”

Dalam hati Bright berteriak kegirangan. Jiakhhh, khawatir nih ayangque ceritanya… Jadi malu xixixi. Tapi ya namanya juga Bright, apalagi masih di lingkungan sekolah yang mana beberapa staff, petugas kebersihan dan juga satpam masih berkeliaran ke sana kemari di sekitar mereka, mana mau dia senyum-senyum manja untuk menunjukkan perasaannya?

Alhasil, pemuda itu hanya cengengesan. (Cengengesan kesenangan).

“Kalau mereka kebangetan gebuknya, gue bales kok satu-satu. Liat aja.” jawab Bright, sedikit banyak berhasil menenangkan hati sang pacar.

Lalu tanpa sadar, Win kembali menarik tangan Bright untuk melangkah bersamanya. Kayaknya tadi ada yang keliatan gugup, kok sekarang malah semangat ya biar cepet-cepet sampai ke warkop? Ya udah it's ok lah, Bright jadi semakin tidak sabar memperkenalkan Win sebagai pacarnya pada bocah tongkrongan.

Tapi, sebuah elusan di punggung tangan Win menjadi indikasi kuat kalau Bright ingin menyampaikan sesuatu, namun masih bimbang. Akhirnya Win berdehem, “ngomong aja. I am all ears.” ucapnya, yang begitu paham kalau pacarnya itu ragu untuk menyuarakan kalimatnya.

Bright menatap Win tepat di mata, “Don't you want us to open up to your classmates too?”

Dan Win tidak langsung menjawab. Hembusan nafas berat lolos dari belah ranum merah mudanya.

Ia tahu, sangat tahu kalau pertanyaan ini kelak akan dilemparkan juga padanya. And it's the time.

Seulas senyum tipis singgah di wajah Win, “Gue nggak sedeket itu sama anak-anak kelas, yang deket pun cuma beberapa, and you knows who, tapi menurut gue mereka nggak usah tau, lah. Our relationship is not something they can freely consume.” ujar Win, tegas, telak.

Bright sudah pernah bilang, belum? Kalau ia bisa jatuh cinta berulang kali pada Win setiap harinya, seolah-olah cintanya di hari kemarin belum cukup, and he will try his best to give the boyfriend the biggest and eternal love he deserves.

Lagi pula, Win memang bukan tipikal orang yang suka mengumbar-ngumbar kemesraan apalagi status hubungan. Dan Bright, tahu itu.

“Hmm, bener juga, ya...” Bright tidak langsung menyelesaikan ucapannya. Pemuda itu kembali menggandeng erat tangan Win dan mengajaknya untuk meneruskan langkah. Kanan, kiri, kanan, kiriㅡ tap… tap… tap… Dua pasang kaki jenjang itu melangkah seirama.

“Hubungan kita bukan sesuatu yang bisa dinikmatin sama orang lain. Tapi, Yang,”

Win bergumam kecil, menyahuti ucapan Bright yang lagi dan lagi tidak diselesaikan dalam satu kali tarikan nafas.

“I didn't ask you to come and meet my friends for them to consume our things, lho ya… Let's just say, gue cuma mau membuat semuanya jadi jelas, about us especially, jadi seenggaknya kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi di depan temen-temen gue,”

“I want us to have a very very very normal days when my friends are around. So we can talk, laugh, and be loud about anything together.” Sambung Bright, yang langsung dibalas dengan anggukan oleh sang pacar.

Win dengan senyum lebarnya membalas, “i know, and that's why i agreed to do this. I trust you, boo.”

Sudah jalan hampir 3 tahun, sudah terbiasa dengan aksi saling cium, peluk, bahkan berbagi hangat di ranjang nyatanya belum cukup membuat Bright mampu mengontrol degup jantungnya setiap kali Win menyatakan perasaannya secara live. Rasanya seperti… ada ribuan kupu-kupu imajiner yang berterbangan bebas di balik dada sampai perutnya, deg-degan, banget, gila, ya Tuhan…

Dan Bright harus susah payah menyembunyikan senyum malu-malunya, apalagi ketika keduanya sudah dekat dengan pos satpam gerbang utama sekolah.

“Eh, Win biasanya udah pulang naik ojek online atau dijemput pakai mobil...”

Pak Dadi, Satpam sekolah yang memang biasanya suka menemani Win untuk ngobrol saat menunggu jemputan, kini berdiri dari posisi duduknya. Kumis yang sudah memutih serta cincin batu akik yang menghiasi jari-jari menjadi pertanda kalau Pak Dadi memang sudah memasuki kategori usia dewasa madya menuju dewasa akhir.

Win terkekeh kecil, ia mengajak Bright sebentar untuk memberi salam pada Pak Dadi.

“Iya, nanti pulangnya bareng Bri, Pak. Udah bilang Mamah tadi, hehehe.”

Pak Dadi tidak mudah mengingat nama dan visualisasi orang, tapi Win adalah pengecualian karena mereka sering bertukar obrolan di pos satpam hampir setiap sore. Jadi, Pak Dadi tidak terlalu mengenal Bright. Apalagi Bright memang bukan tipikal murid yang senang standby di pos satpam sepulang sekolah.

“Oh, dititipin ke nak Bri ya sama Mamah?” tanya Pak Dadi.

Sekarang giliran Bright yang menjawab, “Iya, lagi dijadiin supir nih sayanya, Pak.”

“Yah, nak Bri bisa aja ngelucunya. Yowes, saya mau ke toilet dulu. Gerbang sekolah ditutup habis maghrib ya, Win, nak Bri.”

Win mengacungkan ibu jarinya, “oke, Pak! Ini mau nemenin Bri jajan dulu ke warung depan hehehe, dadah Pak Dadi!”

Maka ketika Pak Dadiă…ˇ satpam senior di sekolah, benar-benar berlalu menjauh, Bright kembali mengajak Win melangkah. Keduanya berhenti tepat di depan gerbang utama, menengok kanan dan kiri, menunggu sampai kondisi jalan sedikit sepi agar bisa menyebrang.

“Warkop yang di belakang steam motor itu bukan, sih?” tanya Win, selagi kepalanya sibuk memperhatikan jalanan.

Bright berdehem singkat, “iya, di samping warung yang pas hari pertama MOPD kita borong jajanan karna lupa beli malemnya itu, Yang.”

“Oh yang sekalian beli teh pucuk itu bukan, sih? Eh, udah agak kosong, ayo nyebrang!”

Keduanya mengeratkan genggaman tangan mereka, lalu memberi tandaă…ˇ lambaian tangan, untuk meminta jalan pada beberapa pengendara yang berlalu-lalang.

Dua pasang sepatu converse beda warna itu mulai menapak di atas pasir yang dipenuhi batu-batu kerikil, berbelok menuju sebuah warung yang sebelumnya mereka bicarakan.

“Iya, di sini, mau apa lagi selain teh pucuk?” Bright membuka pintu lemari pendingin di warung tersebut, lalu mengambil satu botol teh pucuk dari dalam sana.

Mata pemuda itu beralih melirik Win yang ternyata sedang memilah-milah beberapa snack di rak bagian depan warung.

“Apa, yah… Gue belum terlalu laper, sih.”

Masing-masing pasang mata bertemu, lalu Win berujar, “teh pucuk aja, Boo.”

Bright terkekeh pelan, kepalanya menggeleng seraya ia raih dompet di saku celana seragamnya.

“What's with the sudden 'Boo'?” tanya nya, sambil berjalan menuju bagian samping warung, “teh pucuknya satu, Bu.” selembar uang sepuluh ribu rupiah kini berpindah tangan, dan setelah mengambil kembalian serta mengucapkan terima kasih, Bright kembali menghampiri Win.

“Hm? Kok nggak jawab?”

Bukannya merespon pertanyaan sang pacar, Win justru berpaling untuk merebut botol teh pucuk itu dari genggaman Bright. “Give it to me,” katanya.

Ya Tuhan, gemes… Coba liat… Pipi tofunya merah… Mau gigit, arghhh… Tapi Bright ingat, mereka masih berada di ruang publik. Lantas pemuda itu kembali menggandeng tangan Win tanpa menuruti permintaan si pacar manis. Satu botol teh pucuk yang masih tersegel rapat itu kini ada di tangan kanannya.

“Iye, nyokap gue ke ITC sendirian naik angkot sih tadi katanya, ntar lah abis ini kelar gue nyusul ke ITC.”

“Gue jadi keinget pas gue diajak ke akhirat sama Bright, lu semua harus tau dia bener-bener kesetanan bawa motornya anjing anjing anjinggg kenapa juga gue harus papasan sama dia di parkiran pas dia lagi patah hati coba? Monyeeeettt...”

“Gue masih kagak nyangka dia beneran punya pacar… Tapi apa ceweknya nggak galau ye nanti kalau kita udah mulai sibuk unprak, tryout, dll? Bakalan dinomorduain fix sama si Bright.”

Yang pertama, kayaknya… itu suara Guns. Lalu yang kedua, yang sekalian curhat soal aksi kebut-kebutan Bright di atas motor tempo hari… sudah jelas Pawat. Dan yang terakhir sebelum suara tawa menggelegar dari arah kiri depan, itu suara Nanon.

Bright bisa mendengar jelas kalau teman-temannya itu sedang membicarakannya. Bright semakin deg-degan, hanya butuh beberapa langkah lagi untuk dirinya dan Win masuk ke pelataran steam motor yang menjadi satu-satunya akses menuju warkop alias markas ke-2 mereka, setelah rumah Bright (yang akan memasuki tahun ke-2 sebagai markas utama anak tongkrongan).

Bright melirik Win satu kali lagi, “nanti langsung nyamperin Racha aja ya kalau grogi.”

Win mengangguk pelan, “iya, aduh… gue gugup banget...”

Lalu dengan jahil, Bright mencuri satu kecupan kilat di pipi Win, “it's okay, sayang. Yuk!”

Dan suara tawa yang semula terdengar begitu riuh mendadak hilang berganti hening, ketika Bright dan Win muncul di depan 6 penghuni kelas XII-SOS 2, dengan tangan yang saling bertaut erat.

Semua pasang mataă…ˇ Racha, Nanon, Pawat, First, Guns dan Mike, menatap kaget ke arah dua bintang utama di balik kisah tak terduga sore itu. Racha speechless, karena Bright ternyata sungguh-sungguh membawa Win ke tengah-tengah mereka.

Nanon yang semula duduk setengah berbaring di sofa lusuh yang ada di teras warkopă…ˇ di sebelah Racha, langsung menegakkan posisi tubuhnya. Sebungkus kacang sukro di tangan kirinya sudah ia alihkan ke atas meja yang penuh dengan abu rokok, asbak, dan juga beberapa korek api gas.

Pemuda berlesung pipi itu berdehem, “ini nggak lagi razia bulanan, kan?” ealah, Nanon…

Mendengar kata 'razia', Guns refleks menyingkirkan asbak dan korek api gas miliknya dari atas meja.

Dan aksi konyol teman-temannya itu berhasil membuat Bright tertawa agak keras. Lalu dalam hati ia bergumam, “gobloooookkk….”

Sedangkan Win, pemuda itu kepalang bingung, dan bola matanya kini membulat. Dalam benaknya ia berpikir, “ini seriusan gue dikira mau razia bulanan?” oke, maka ketika Bright pernah bercerita kalau teman-teman tongkrongannya itu agak sedikit aneh, Bright benar-benar mengatakan yang sesungguhnya.

Pawat yang juga baru sadar kalau korek api gas hijau neon miliknya ada di atas meja, cepat-cepat meraih benda tersebut dan memasukkannya asal ke dalam tas.

“B-bright,”

“Eh bocah, ini pacar gue.”

Hening jilid 2.

Kecuali Racha tentunya. Gadis itu beralih mengambil sebungkus kacang sukro milik Nanon, lalu mulai melahapnya satu persatu. Menimbulkan bunyi krenyes… krenyes… yang berhasil merebut atensi ke-5 temannya.

Mike yang duduk di lantai di samping Guns, langsung melirik Racha yang terkesan santai di tengah peristiwa mendebarkan kali ini.

“Gue liat-liat kok lu nggak kaget ya, Cha?”

Racha mengangkat bahunya acuh tak acuh, “karna gue udah tau, kali???”

“HAHHHH??!” kali ini Nanon, Pawat, Guns, Mike dan First kayaknya bisa membentuk sebuah vokal grup. Berteriak di waktu yang sama, dengan nada do di titik yang berbeda-beda.

First yang sejak tadi mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi merebut sebungkus kacang sukro dari jangkauan tangan Racha. Snack ringan favorit mereka bertujuh (satu geng) itu kini berpindah tangan ke tangan Pawat.

“Lo tau dari kapan, anjrit?!” tanya First.

Racha tidak langsung menjawab. Gadis cantik itu melirik Bright dan Win yang belum beranjak di posisi mereka. “Boleh gue kasih tau, nggak?” tanya nya.

Bright menoleh pada Win, lalu dielusnya penuh sayang punggung tangan sang pacar, “boleh nggak, Yang?”

Dan Win mengangguk, memberikan kesempatan pada Racha untuk membeberkan apa yang gadis itu tahu tentang keduanya.

Lantas Racha melirik Nanon yang duduk di samping kanannya, lalu bergantian melirik Pawat, First, Guns dan Mike, “jadi gini guys,”

5 detik

10 detik

15 detik

20 detik

Tapi Racha belum juga melanjutkan kalimatnya. Gadis itu sengaja menggantungkan kata-katanya di ujung lidah, dan tawanya meledak begitu Nanon berdecak sambil mengumpat.

“Lama banget nungguin lu anjrit.” katanya, lalu Nanon bawa seluruh atensinya pada kedua peran utama yang ternyata masih bergandengan erat.

“Bri, jadi soal cuitan-cuitan lo di twitter tentang Metawin waktu itu bener?”

Satu mata Win memicing bingung, Bright pernah ngomongin gue di twitter apa gimana, sih? tanpa sadar bibir bawahnya mencebik lucu.

“Cuitan apa, Non?” tanya Win.

Perhatian Nanon kini beralih pada Win, “Bri pernah ngatain lo gila di twitter, Win.”

ANJINGGGGG SI TOLOLLLLL lagi dan lagi cuma bisa mengumpat dalam hati ya, Bright?

Win melirik Bright sekilas, lalu kembali memusatkan seluruh perhatiannya pada Nanon.

“Gila gimana maksudnya, Non?”

PLAKKK, itu ulah Racha. Sebuah tepukan yang cukup keras gadis itu berikan di paha kiri Nanon.

“Nggak mungkin anjrit si Bright ngatain Win gila? Lu nggak tau kan temen lu itu sebucin apa sama Win? Lu nggak usah ngadi-ngadi ya, canis lupus familiaris!”

Nanon meringis pelan sambil mengusap-usap pahanya. Tenaga perempuan memang tidak bisa diragukan. Apalagi tenaga Racha kalau lagi nyiksa temen-temennya! Beuh… Mantap.

“Tapi emang Bright bilang Metawin gila, tau… Gue nggak bohong!!!” masih ya, Nanon? Iya, masih.

Pemuda yang sedang meringis itu melempar pandangan pada Bright, “lo nggak ada niat buat nolongin temen lo ini, Bri?”

“Tapi arti gila yang gue maksud di twitter itu bukan ngatain cowok gue gila beneran, anjinggg.” balas Bright, mulai resah dengan sahabatnya yang satu itu. Bisa-bisa acara go public yang sudah ia susun baik-baik ini berubah jadi chaos cuma karena kicauan Nanon.

Win semakin dibuat bingung dengan keadaan. Ia kira, dirinya hanya perlu mengaku pada teman-teman tongkrongan Bright perihal hubungan mereka, lalu menjawab pertanyaan yang mungkin saja akan terucap lalu pulang dengan perasaan lega.

Tapi sepertinya takdir lagi dan lagi senang mengerjainya seperti ini.

Win berdehem pelan, berusaha mengais ketenangan. Masih dengan pandangan yang tertuju pada Nanon, ia berkata, “terus Bright ngomongin gue kayak gimana lagi, Non?”

Dan sebuah telapak tangan yang menyelimuti tangannya kini semakin menggenggam erat.

Tapi Win tidak peduli.

“Pokoknya waktu itu Bri ngetweet dua kali, Win. Dua-duanya buat lo, tapi yang ngatain lo gila tuh cuma satu kali, di tweet yang pertama. Nah, ya udah akhirnya gue chat personal ke Bri. Gue nanya kan, eh apaan nih maksudnya? Lo ada urusan apa sama Metawin anak IPA? Terus,ㅡ”

Nanon menjeda ucapannya. Di tengah keheningan yang melanda, serta suara tegukan coca cola yang asalnya dari Racha, Nanon kembali melirik Bright yang mulai melempar tatapan mematikan padanya. Tapi ya sudah, mau gimana. Nanon juga tidak tahu apa-apa. Ia hanya mengucapkan apa yang sebenarnya terjadi, lalu dimana letak salahnya?

Alhasil, Nanon melanjutkan perkataannya.

“Ya karena semua orang tau kalau jurusan IPS sama IPA di sekolah kita nggak akur, ya gue omelin lah si Bri. Gue bilang aja kayak gini, woy lu jangan macem-macem dah mending sekarang lu jelasin kenapa tiba-tiba lu nyerocos tentang Metawin anak IPA. Nah, cerita lah dia ke gue. Katanya, pas malem itu dia lagi ada rapat anak muda di rumah lo karna lo anak pak RT komplek. Terus, lo disuruh pergi ke warung buat beli jajanan, in short Bri bilang kalau yang bikin dia marah-marah di twitter itu karna lo ternyata pake sendal dia terus pas balik sendalnya nggak ikut balik karna di tengah jalan lo dikejar anjing dan sendalnya Bri lo kasihin ke anjingnya. Gitu, Win.”

LIAT AJA LO NANON TOLOLLLLLL

Win terdiam. Ucapan panjang kali lebar Nanon barusan membuatnya ingin tertawa keras. Win memang pernah mengaku kalau Bright ini jago berakting. Tapi, Win tidak pernah tahu kalau Bright sejago, sehandal dan se-profesional itu. Bisa-bisanya Bright membuat karangan yang begitu apik…

Korban akting Bright:

Yang pertama, Dew. Dan dengan polosnya, pemuda itu percaya-percaya saja.

Yang kedua, Nanon. Dan dengan polosnya juga, ia percaya-percaya saja.

Lalu Win tersenyum kecil. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Bright, lalu menghadiahi tiga kali tepukan gemas di puncak kepala pemuda itu.

“Cowok gue ternyata emang jago banget akting, hm? Jadi aktor aja apa, yah?” lalu tangannya turun mencubit pelan pipi kanan Bright.

Hening jilid 3.

“Ayanggg, stop. Sakit...”

“AYANGGG??!” Tuh, kan. Geng anak tongkrongan ini memang sudah cocok untuk membentuk grup vokal. Lagi dan lagi mereka berteriak dengan kompak, saling tukar pandangan melempar tanya. Kecuali Racha tentunya.

Gadis itu tertawa agak keras, lalu beranjak meraih sebungkus kacang sukro yang sempat berpindah tangan beberapa kali. Punggung rampingnya yang terbalut baju seragam dan jaket denim itu kini bersandar nyaman di sandaran sofa.

Satu butir kacang sukro dikunyah, untuk ke-sekian kali menciptakan suara di tengah keheningan yang melanda.

“Baru denger Bri manggil Win pake ayang aja udah kaget lu pada. Bayangkan lu semua jadi gue, yang disuruh nemuin mereka di atap perpustakaan terus nyaris mergokin mereka ciuman bibir. Ouch no, my poor eyes.”

“CIUMAN BIBIR??!” kan, kan, kan.

Pawat berdehem pelan, berusaha mencari waras yang sempat mengawang beberapa menit. Pemuda itu menatap Bright dan Win bergantian. Seolah masih tidak percaya kalau Brightă…ˇ sahabat bar-barnya, cokiber anak XII-SOS 2, idola adik kelas, biang keributan antar XII-SOS 2 dan XII-SOS 1, leader di setiap kegiatan tawuran antar sekolah yang mereka lakukan, target omelan guru-guru, pentolan tim futsal sekolah yang selama ini tak pernah kelihatan punya indikasi naksir dengan orang lain ternyata berpacaran dengan Metawin?!

Metawin anak kelas XII-IPA yang punya jabatan sebagai wakil ketua OSIS dua tahun berturut-turut? Yang sering diikutsertakan dalam olimpiade sains tingkat kota, provinsi sampai ke tingkat nasional? Yang punya wibawa ketika melakukan sidak dan razia dadakan ke setiap kelas? Yang auranya begitu kuat saat memimpin kegiatan MOPD dan LDKO? Yang tidak lain dan tidak bukan merupakan kesayangan guru-guru?

Unbelievable, Pawat nggak percaya.

“Gue kira lo jadi sama adek kelas yang tempo hari nembak lo di lapangan pake balon merah? Dan lo Win, bukannya lo lagi dipepet sama Luke, ya?” tanya Pawat, to the point.

Mendengar nama 'Luke', Bright agak sedikit terpancing. Tapi ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya yang lalu. Tidak, cukup satu kali hubungannya dengan Win berantakan bahkan nyaris hancur.

Lantas untuk memperlihatkan tanda kepemilikan, Bright melepas genggaman tangannya dengan Win, lalu merengkuh tubuh semampai Win di bagian pinggang. Bright mengelus pelan pinggang ramping itu, dan Win spontan menyentuh tangan Bright di pinggangnya lalu mengelusnya pelan.

“Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Nana. Nanti bakalan ada gopub jilid dua dimana gue akan jujur ke dia, kalau gue udah punya pacar. Tapi gue sama Win sepakat untuk nggak ngasih tau siapa pacar gue ini. Itu keputusan kita berdua. Dan soal Luke, kagak, Win juga nggak ada hubungan apa-apa sama itu orang. Udah, puas?”

Pawat? Puas begitu saja? Tentu tidak.

“Abis jilid dua, bakalan ada gopub jilid tiga dong ke anak-anak IPA?”

Win menggeleng, kini giliran si Manis yang menjawab pertanyaan Pawat.

“Kita nggak akan buka-bukaan ke anak kelasan gue. Jadi, yang tau tentang gue sama Bright di sekolah ya cuma kalian dan gue harap kalian bisa bantu gue sama Bright, biar hubungan kita nggak ketahuan sama anak-anak lain, terutama angkatan-angkatan atas, ya?”

Mike meminta dua butir kacang sukro pada Racha, mengunyahnya berantakan lalu mengajukan satu pertanyaan pada dua sejoli di depan sana.

“Terus ini ngapain kalian ngaku ke kita-kita? Hati-hati lho, Guns mulutnya ember.”

“Anjing lo.”

Lalu Mike tertawa ringan, melihat Guns memasang ekspresi kesal pada wajahnya.

“Win sama kalian itu sama pentingnya di hidup gue. Dan gue mau, semua orang penting dalam hidup gue bisa berjalan berdampingan. Nikmatin waktu sama-sama. Seneng bareng, susah bareng. Dan biar nggak ada jarak juga antara sahabat-sahabat gue dan pacar gue. Biar kalian tau, Win punya gue, dan kalian juga punya gue. Seimbang. Itu porsi bahagia versi gue.”

Pengakuan Bright barusan sedikit banyak membuat geng tongkrongan tersipu senang. Well yes, tidak ada satupun yang tahu kalau Bright punya kekasih. Tapi jika melihat sahabat mereka bahagia bersama kekasihnya, masa iya mereka mau melarang?

“Lu jangan membuat gue ingin menangis ya, bangsat.” ujar Nanon.

First menenggak es teh manis miliknya buru-buru, “hareudang euy, hareudang.”

Lalu Pawat menghembuskan nafas lega. Pemuda itu ikut menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.

“Gaya lo Bright, udah kayak yang pacaran lama aja dah.” kata Pawat.

“Orang udah jalan mau tiga tahun.” Racha pun menyahuti ucapan teman-temannya.

“TIGA TAHUN??!”

Hening jilid 4.

“Bisa-bisanya udah jalan mau tiga tahun tapi nggak keliatan gerak-gerik lo, heh celengan ayam?!” ucap Mike, yang langsung meninggalkan posisi duduknya dan beranjak menghampiri Bright dan Win.

Mike berdiri di samping si anak IPA, lalu tangannya sengaja ia angkat dan ditaruh di bahu lebar pemuda manis /slash/ kekasih sahabatnya itu.

“Bright, sekarang lo buka seragam lo beserta daleman-dalemannya, terus lo cuciin motor kita sampai bersih. Pakai selang air biasa, jangan minjem ke steam motor. Sini Win, kita ngemil sukro sambil nontonin cowok lo.”

Lalu Mike 'menyeret' Win ke tempat dimana sebelumnya ia bersama yang lain duduk mendengar pengakuan dadakan. Win cuma bisa pasrah, kalau sudah begini mau membela sang pacar pun juga susah.

Alhasil, Win hanya bisa menatap iba pada Bright dan mulai duduk di samping Racha.

Pawat yang bersemangat untuk ikut mengerjai Bright pun langsung berlari kecil mencari selang air milik Bang Abdul (pemilik warkop) dan memberikannya pada Bright.

“Ayo dong Bang Jago, buka bajunya...” itu kata First, yang diam-diam menyimak pengakuan, diam-diam semangat untuk menyiksa Bright.

“Win, nggak apa-apa kan cowok lo kita kasih pelajaran dulu?” tanya Guns.

Win tersenyum kecil, “iya, boleh, Guns. Tapi nggak harus dibuka semua 'kan dalemannya?”

“Semuanya lah, Win. Masih mending ini di depan kita-kita. Kalau yang tau satu sekolah, bisa-bisa Bright ditelanjangin di lapangan upacara. Boleh, 'kan?”

“Mhh, harus semuanya, ya?”

“Iya, Metawin… Emang kenapa, sih?” kali ini, Nanon yang menyahut.

Bright terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala melihat Win mulai berbaur dengan sahabat-sahabatnya. Ia melangkah mendekati sang pacar, lalu mulai melucuti satu persatu seragam dan kaos putih polos yang dipakainya, dan menyerahkannya pada Win.

“ANJING, DADA LO KENAPA UNGU-UNGU GITU, BRIGHT?” kali ini Racha yang dibuat kaget. Ia tahu kalau pasangan IPS dan IPA ini memang bulol (alias bucin tolol) tapi, Racha tidak pernah tahu kalau mereka bisa jadi sangat agresif?!

Sambil melepas ikat pinggang berlogo OSIS SMA, Bright tertawa sambil menepuk pelan puncak kepala Win.

“Ulah cowok gue lah, siapa lagi?”

“Guns, tadi lo nanya 'kan kenapa Win keberatan kalau gue buka baju semua-muanya?” sambung Bright, seraya mulai melepas sepatu dan kaos kakinya.

Bright sudah setengah telanjang. Bagian tubuh atasnya polos, dan hanya menyisakan celana seragam yang sama sekali tidak dibuka.

Lalu Bright mulai menyalakan kran air, dan siap untuk mencuci motor barudaks sampai bersih dan kinclong.

Sambil mengguyur motor First, Bright satu kali lagi menoleh pada keenam sahabatnya, termasuk Win yang duduk di tengah Racha dan Nanon.

“Karna bagian bawah, itu aset cowok gue.”

ANJINGGGGGGG

. . .

JEYI // 210209

Bright sudah memikirkan konsepnya matang-matang, let's just call it a Bright's plan terlalu biasa sih, tapi ya mau gimana lagi… konsepnya memang begitu. Lantas dielusnya pinggang telanjang Win dengan lembut, pemuda manis yang masih sibuk bergerak maju dan mundur di atas kedua pangkal pahanya itu, menoleh malu-malu. Matanya sayu, cantik… ada peluh yang kini turut jatuh di atas kulit perut Bright.

Alis kanan yang bergerak turunㅡ bertaut, berhasil menambah kesan penasaran dan excitement di wajah Win yang sudah nyaris basah dengan keringat. “What is it, Bii? Lo ngeganggu konsentrasi gue tau, nggak...” katanya, intonasi tersebut terdengar kesal, tapi menyimpan keingin tahuan yang besar di waktu yang sama.

total words: 8.585 words.

TW // 🔞⚠️ kinda explicit content; handjob, blowjob, fingers-sucking, chest & nipples play, over stimulation, kissing tease, praise!kink ⚠️🔞 Pacar & Ayang (LDR Jurusan) the series sub!top!bright x dom!bot!win

Elusan tangan Bright mulai beranjak turun dari pinggang si Manis menuju paha telanjang pemuda itu, “yang, please make a list of the three places you wants to visit the most in the near future.” lalu satu tangan Bright bergerak menyentuh bagian belakang tubuh Win, memancing pacarnya itu agar kembali bergerak lembut. Sesekali Bright bahkan mencubit dua pipi berisi itu dengan gemas, “gue mau ngajak lo liburan, let's just call it a sudden escape.”


“Udah?”

Win menutup pintu kamar Bright pelan, dan melirik sesaat ke arah kasur dimana pacarnya itu sedang duduk di sana sambil merenggangkan badan. Kepalanya menganggukㅡ merespon pertanyaan Bright lalu bergumam, “udah bersih-bersihnya?”

“Udah, now your turn.”

Lagi dan lagi Win membalas ucapan Bright dengan sebuah anggukan, namun sebelum pemuda manis itu melenggang masuk ke kamar mandi, ia melirik Bright satu kali lagi, “tangkep hape gue ya, satu… dua… tiga...”

Dan, hap!!! Bright dan ketangkasannya emang nggak ada tandingan, deh! Buktinya, ponsel Win yang sempat melayang beberapa detik di udara kini sudah mendarat dengan aman dan selamat di dalam genggaman tangan pemuda itu.

Bright menghela nafas pelan, satu tangannya beralih mengelus dadanya sendiri, “kebiasaan banget ya ni anak suka lempar-lempar barang, untung nggak meleset hape lo, ayang… ya Allah...” bernafas lega, huft… untunglah.

Ya, tangkas sih tangkas. Tapi ngeri juga kalau taruhannya ponsel bermerek buah apel yang digigit sedikit di bagian ujungnya itu. Singkatnya ya, ada harga maka harus ada kualitas dan keutuhan yang dijaga pula. Kalau jatuh terus lecet, ya… sayang, lah?!

Win yang sepertinya mulai sibuk di kamar mandi, menyempatkan diri untuk terkekeh. Mungkin si Manis mendengar gumaman Bright barusan, tapi enggan merespon dengan kata dan memilih untuk tertawa sendiri di dalam sana. Bright cuma bisa menggeleng, pacarnya itu, ah bagaimana harus menjelaskannya, manis… cantik dan tampan di satu waktu yang sama… setia (wah, ini mah nggak usah diraguin lagi, berhari-hari nangis dan mohon-mohon juga udah jadi bukti kalau Win ini pacar yang setia, or let's say he's bulol; bucin tolol), lalu baik hati… pengertian… dan sedikit teledor.

Menurut Bright, tindakan Win yang melempar asal ponselnya tanpa melihat apakah benda canggih tersebut melayang dengan benar atau tidak, termasuk salah satu perbuatan yang masuk ke dalam kategori teledor.

Surai hitam Bright bergerak pelan mengikuti gerakan kepala si empunya yang menggeleng pelan, seraya membawa ponsel milik si Ayang untuk disimpan di atas nakas, di samping kasur. Bright kembali menyamankan posisi duduknya, sambil matanya melirik cermin yang menyatu dengan lemari di depan sana (berhadapan langsung dengan kasur) yang bisa memperlihatkan pergerakan Win di dalam kamar mandi. Win terbiasa tidak menutup pintu selagi dirinya ada di sana, kecuali ketika sedang mandi atau buang air. Jika hanya mencuci muka, mengganti baju, mengganti softlens, sikat gigi atau bernyanyi di depan cermin, pemuda itu jarang sekali menutup pintu.

Dan kini, Win sedang membasuh wajahnya dengan sebuah handuk kecil. Tubuh semampainya yang terbalut piyama berbahan satin berdiri di depan wastafel, menghadap cermin. Tanpa sadar, seulas senyum tipis hinggap di bibir Bright. Salah satu sudut bibirnya terangkată…ˇ nyaris sumringah, apalagi ketika matanya dengan hoki bertemu dengan sepasang obsidian kecokelatan sempurna milik sang kekasih hati.

Too many things happened in a day, begitu setidaknya menurut Bright. Bukan hanya in a day, tapi mungkin dalam kurun waktu seminggu ini, begitu banyak hal yang terjadi silih berganti.

Bertengkar; berselisih paham, saling menyalahkan, tidak mau mengalah, lalu sepakat untuk rehat sejenakă…ˇ break, yang malah membawa mereka ke penghujung hubungan keduanya; putus, berakhir.

Seluruh rangkaian memori mulai dari apa yang terjadi di lapangan sekolah sampai kepada pertumpahan air mata di depan Bunda beberapa jam lalu kembali melintas dalam benak Bright. Bergerak lambat membentuk alur, mengulas balik gambaran kisah tentang bagaimana ia menyerah pada ego, dan nyaris kehilangan sosok yang begitu disayang, amat sangat didamba. Banyak-banyak ucapan syukur membuncah dari lubuk hatinya, betapa Bright senang bukan main karena kini Win ada di sini, di depan matanya, kembali… pulang padanya.

Masih sama seperti Win yang dulu ia kenal saat detik pertama di bangku sekolah dasar. Masih sama seperti Win yang pernah memarahinya karena ketahuan merokok untuk kali pertama. Masih sama seperti Win yang sempat gemetaran dan merona malu saat keduanya melakukan ciuman pertama di usia 15 tahunㅡ ketika masih duduk di bangku kelas 9. Win-nya masih sama, tidak pernah berubah, baik dulu… maupun sekarang, di saat anak manis itu sudah memposisikan tubuhnya di atas pangkuan Bright. Those doe and shining eyes, membuat seorang Metawin berkali-kali lipat terlihat lebih menawan di mata seorang Bright.

Helaan nafas pelan lolos dari belah bibir tipis Bright, menyapa lembut wajah Win yang kini berhadapan di jarak yang bisa dibilang terlalu dekat dengan sang lawan bicara. Bright mengukir senyum yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya, sambil sengaja ia elus penuh sayang sisi kiri dan kanan tubuh bagian bawah si Manis.

“Gue yang kelamaan bengong atau gimana, sampai-sampai gue nggak nyadar kalau lo udah keluar dari kamar mandi dan tiba-tiba udah naik ke atas gue begini?”

Yang ditanya hanya memberi pergerakan lewat bahu yang terangkat pelan, memberi jeda sedikit dimana sepasang matanya seolah terkunci dengan galaksi hitam di kedua bola mata Bright. Dan di detik berikutnya Win terkekeh, satu cubitan gemas ia hadiahkan pada hidung mancung sang pacar.

“Habis mikir jorok, ya? Hayo mikirin gue dalam posisi apa?!”

Bukan Metawin namanya kalau belum menggoda Bright lewat tuduhan tidak senonohnya. Yang digoda malah tertawa, satu tangannya naik mengelus lembut surai hitam si Ayang yang sudah mulai panjang. “Kalau gue jujur, pasti lo bakalan ngeledek gue...” balasnya.

Win lantas memicingkan satu matanya, “beneran mikir jorok, ya?!! Sejak kapan hormon lo jadi segede ini sih, gueㅡ”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Win terpaksa membungkam mulut secara mendadak ketika Bright meraih tangannya yang tengah sibuk memberikan serangan gelitik di pinggang pemuda itu, lalu mengangkatnya tepat ke depan bibir. Bright memberikan tiga kali kecupan kilat di jari-jari panjang tangan si Manis, dan berakhir menempelkan telapak tangan Win di pipi kanannya. He leaned his side face on that soft palm, trying to find comfort there as if it were a home.

A home that he's willing to live in all his life.

Bright menatap Win tepat di sepasang mata cantiknya, “gue sibuk mikir, about how lucky i am that you are here. Lo balik, lo nggak pergi lagi, lo ada di deket gue, and i was about to cry… like a few minutes ago, you are not my only imagination, lo nyata, loㅡ”

Kata-kata Bright tertahan di ujung lidah. Nafasnya tercekat sesaat begitu ia rasa wajah Win semakin mendekat, mengikis jarak yang sebenarnya tidak tersisa seberapa banyak di antara mereka. Kedua tangan Win kini beranjak menangkup pipi kanan dan kiri pemuda-nya, ujung ibu jari Win bahkan bergerak lembut membentuk pola abstrak penuh sayang di pipi yang mulai tirus itu, “bawel, yaaa!!!” kata Win, yang langsung dibalas gerutuan sebal dari mulut Bright.

“You ruined the moment… the romantic feelings i was about to build, it's all ruined… kebiasaan, ya...”

“AAAAAA ya ya ya!!! Ampun… Ampun… Bii… Minta ampun…!!!”

Bukan Bright namanya jika tidak balas mengerjai sang pacar. Tangannya yang sedari tadi bebas kini bergerilya di tubuh Win, menggelitik pemuda itu tanpa kenal ampun. Membuat Win tertawa sambil meringis kegelian, tubuhnya sudah jatuh mutlak di atas tubuh Bright, kepalanya menemukan sandaran di bahu si pacar, juga kakinya yang beberapa kali bergerak gusar menendang-nendang sprei sebagai bentuk perlawanan.

“Kalau minta ampun, harus dicium dulu.” ujar Bright.

Jari-jari tangan Bright masih menyerang beberapa titik di tubuh Win, benar-benar definisi penyiksaan tanpa ampun.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Win berusaha melirik Bright yang ternyata juga sedang menatap padanya.

Satu mata Win memicing, “habisnya… what's with the sudden english, ha? and… siapa? Gue yang dicium? Mauuu… Sun sun… Sini sun...” memang bukan Win pula namanya kalau tidak punya segudang ide untuk balas membuat Bright skakmat dalam hitungan detik. Ranum merah muda Win sengaja dibuat mengerucutㅡ gestur yang dibuat selucu mungkin, sehingga Bright dengan telak menabrakkan bibirnya di sana. Tepat pada kerucut merah muda yang kini mengaduh kesakitan.

“BRIGHT!!! GIGI LO NABRAK BIBIR GUE!!!”

Win, sempat-sempatnya ia berteriak padahal Bright sudah mulai memborbardir bibirnya dengan ciuman-ciuman kecil. Merasa posisinya kurang nyaman (leher mendongak, pegal!), Win akhirnya menahan sisi kanan wajah Bright agar tidak berpaling sementara dirinya berusaha kembali duduk dengan tegak di atas tubuh Bright. Win, belum mau menyudahi acara saling berbagi kecup keduanya. Maka setelah menemukan posisi nyaman, Win mulai membalas serangan kecupan dari Bright dengan gigitan kecil setiap kali Bright meninggalkan bunyi cup di bibirnya.

Mereka terus berbagi kecupan manis, dengan posisi yang cukup intim ditemani temaram lampu tidur kamar Bright. Terus menciptakan bunyi decak di setiap sapuan bibir, merilis gelak tawa ringan yang sesekali lolos dari belah bibir keduanya.

Sampai akhirnya Win lebih dulu menyudahi sesi ciuman ringan mereka, membawa dahinya yang tertutup poni untuk menyatu dengan dahi Bright.

“Pasti besok sariawan, deh...”

Bright terkekeh sebentar, satu kecupan gemas ia berikan di sudut bibir Win tanpa aba-aba, “maafin, ya? Lagian tadi lo ngegodain gue gitu, gue gemes banget… Si gemes… Dasar gemes… Gemesnya siapa ini, hm?”

Win kembali meringis, karena kali ini Bright menarik-narik kulit pipinya, “sakit wey!!! haduh suka banget penyiksaan ya lo...” sahut Win, kesal.

“Iya, iya, maaf… hayo suaranya jangan gede-gede, nanti kedengeran sama Bunda sama Ayah.”

Win mengambil tangan Bright yang semula bermain di pipinya untuk dipegang. Jari-jari panjangnya sengaja ia masukkan di setiap sela jari-jari tangan Bright, menyatukan kesepuluh jari mereka dalam satu genggam lalu mengangkatnya agak tinggi sehingga dirinya dan juga Bright bisa melihat dengan jelas betapa compatible-nya jari-jari mereka.

Masih sambil menatap tangan keduanya yang saling menggenggam, Win kembali bergumam, “thanks to Bunda for helping us to be the us right now… nggak marahan lagi, nggak nangis-nangis lagi, nggak salah paham lagi...”

“Sayang,”

Win menoleh perlahan, tatap sayu mata Bright berhasil membuat ujung bibir Win terangkat melukis senyuman. Pemuda manis itu menggeleng, “nggak apa-apa, kita berdua salah. kita harus belajar dari pengalaman kemarin.”

Tatapannya melembut, Bright berusaha meraih tengkuk Win untuk ditariknya kemudian perlahan-lahan. Satu kecupan panjang lagi dan lagi Bright berikan di bibir penuh nan manis milik Win.

“I am sorry, i hurt you that much… masih sakit pasti, ya?” Bright ucapkan sepotong kalimat itu dengan intonasi terlembut yang ia punya, tangannya bahkan sudah menemukan jalan untuk mengelus sayang sisi kiri wajah si pujaan hati.

“It will heal, slowly… it's okay, Bii...”

Bright nyaris menangis, lagi. Metawin di depannya terlihat begitu tulus, binar bahagia terpancar di sepasang matanya. Bright diam-diam kembali menyalahkan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia menyakiti hati milik sosok yang kini duduk di atas pangkuannya?

Dan kesedihan di manik matanya berhasil mengundang perhatian si Manis. Win memiringkan kepalanya sedikit, ditatapnya penuh khawatir dua obsidian hitam yang ternyata mulai menyimpan genangan air di dalamnya.

Win mengusap sayang sudut mata Bright, berusaha membasuh genangan air mata yang terbentuk di sana, “you're hurting too… maafin gue, ya? nggak seharusnya gue ngelakuin kesalahan konyol kayak gitu lagi. Kita berdua nggak seharusnya ada di fase kayak kemarin, i was so scared, Bii… i was really really scared to the point i was afraid of sleeping that you sometimes come to my dream and make it a nightmare.”

“Did i really make it a nightmare?”

Ragu-ragu Win mengangguk, “lo minta putus berulang kali, and you're even saying that you don't want to love me anymore, even in our next life.”

Hati Bright terasa ditusuk oleh ribuan belati tajam. Win-nya sempat ketakutan, bahkan rasa takut itu turut menghantui sampai ke dalam mimpi. Bright menggigit bibir bawahnya kasar, lalu berdecak agak keras, “gimana bisa gue bikin lo jadi setakut itu, Win? Gue gagal, it was my worst failure ever, maaf...”

Lagi dan lagi Win mengangguk, ia bawa Bright ke dalam pelukan, sambil diusapnya lembut punggung tegap yang terbalut kaos oblong itu.

“Nggak apa-apa, yang terpenting sekarang lo ada di sini, balik lagi ke gue… Nggak apa-apa, Bright. Kita sama-sama berusaha buat sembuh dari luka yang kemarin, ya? Belajar dewasa sama-sama juga, belajar buat lebih saling percaya, ya, Bii, ya? it's okay, we're good now...”

Bright, pemuda itu terdiam. Begitu juga Win, matanya masih sibuk melihat bulu mata panjang Bright yang sedikit basah karena air mata, lucu, begitu kata Win dalam hati. This big baby…

“Soal Nana, gue minta maaf karna insiden pas di parkiran itu. Gue salah ambil langkah, gue terlalu marah jadinya gue seolah ngasih waktu dan harapan buat dia. Nanti gue coba pelan-pelan kasih penjelasan ke Nana ya sayang, ya?”

Win mengangguk, “kasih taunya pelan-pelan, oke? Nana baik, jangan lo bikin nangis. Kalau urusan kecewa, mungkin dia bakalan kecewa karna semingguan ini lo kasih lampu hijau ke dia.”

“Lo temenin gue, ya? Gue mau ngenalin lo properly ke dia.”

Kali ini Win menggeleng, menolak, “nggak usah aneh-aneh. Yang ada nanti Nana ngerasa dipermainin, karna dia 'kan udah liat sendiri kita barengan pas di parkiran. Gue bahkan sempet ngeledek dia sedikit juga,” jawab Win.

Oh iya, bener juga…

Hening melanda selama beberapa detik sebelum akhirnya Bright kembali bersuara, “ya udah, iya… Tapi dikenalin ke anak-anak IPS mau, 'kan?”

Bright menatapnya dengan pandangan memohon. Ada sirat percaya diri yang terselip di ekspresi wajah pemuda itu, “from scale 1-10, seberapa besar lo yakin temen-temen lo bakal nerima gue?” tanya Win.

“Uhm, mereka pasti kaget, sih. Tapi nanti paling terbiasa juga, sama kayak Racha.”

Ujung jari telunjuk Win kini bergerak turun membuat jalur tak kasat mata mulai dari pelipis, pipi, dagu, leher sampai ke dada Bright yang masih terbungkus fabrik. Win sudah menemukan jalannya untuk menggambar pola abstrak di kanvas kesayangannyaㅡ tubuh Bright. Win itu… nggak bisa gambar, makanya terkadang sering uring-uringan kalau ada tugas menggambar virus, struktur DNA dan RNA yang bahkan cuma modal garis, atau struktur tubuh katak yang dipakai untuk bahan praktikum biologi tempo hari tapi kalau urusan gambar-menggambar di atas tubuh Bright, tentu itu kegiatan favoritnya.

“Gue seneng deh sama Racha, dia baik.” kedua pasang obsidian beda warna itu kembali bersirobok, Bright tersenyum.

“Selama kita berantem itu, gue banyak curhat ke Racha. Dia nggak bias ngebelain gue, dia bahkan ngata-ngatain gue karna nggak bisa nahan emosi. Iya, Racha baik. Makanya anak-anak sayang sama dia, she's the queen of the group.”

Satu tangan Win yang lain turut mendapatkan akses menuju lengan Bright, dielusnya pelan bagian itu, “i know… Racha beberapa kali juga laporan ke gue soal keadaan lo, kapan-kapan gue mau ajak Racha jalan-jalan, ah. Mau traktir dia pokoknya, boleh 'kan?”

Memang tidak ada momen paling indah selain pacarnya bisa akur dan berteman baik dengan sahabat dekatnya. Lantas dengan mantap Bright menjawab pertanyaan Win dengan anggukan, “boleh, nanti gue bantuin pilih hari yang pas biar kalian bisa jalan berdua, harus ngecek jadwal kelas juga soalnya, yang.”

“Alright, oke, makasih ya, pacar?”

Senyum di wajah Bright kian lebar, degupan jantung di balik dadanya pun semakin berdebar, “anything for you, sayang.”

Kedua bibir mereka kembali bertemu dan saling memagut mesra. Win menangkup wajah Bright, membuat si pacar kini sedikit menengadah, sambil sesekali ia berikan elusan sayang di sana, guna membentuk tempo agar ciuman keduanya tidak berantakan. Beberapa kali pula kepalanya dimiringkan ke kanan, berusaha memperdalam ciuman mereka.

Sedangkan tangan Bright kini sudah mendarat cantik di sisi paha kanan dan kiri si Ayang, mengusapnya lembut di sanaă…ˇ naik, turun, bahkan turut menepuknya pelan sesekali.

Cup,

Ciuman keduanya terputus, namun tidak dengan intensitas tatapan mereka. Bright membawa punggungnya untuk bersandar di headboard kasur, memaksa tubuh Win ikut bergerak di atasnya selama ia mengatur posisi ternyaman.

Mengabaikan gairah yang mulai terbakar, saat kedua pusat tubuh mereka saling bergesekan pelan. Meski masih terbungkus celana training dan juga celana piyama, tak bisa bohong, gelora nafsu mulai menjalar membentuk dominasi.

Tapi baik Bright ataupun Win, sama-sama belum mau menaikkan tensi yang sudah terlanjur naik. Masih mau saling tatap, saling mengutarakan isi hati satu sama lain.

Win mengusap sudut bibir Bright, dimana terdapat sedikit cairan saliva yang tersisa di sana.

“Nanon? Pawat? Mike? First? Guns? Mereka bakal ngerjain lo nggak ya kalau nanti lo jujur ke mereka...” Win bertanya sambil terus mengusap lembut sudut bibir Bright dengan ujung ibu jarinya. Sebuah kegiatan yang menyenangkan, Win suka akan sensasinya.

Ah, Win pasti berpikir tentang tradisi tak tertulis yang sudah jadi budaya yang musti dijunjung tinggi bagi kaum IPS. Anak IPS pantang akur sama anak IPA. Secara tidak langsung, juga merupakan sebuah larangan bagi anak IPS untuk punya pacar dari kelas lintas jurusan.

Sebenarnya, sih… Anak IPA tidak punya aturan macam-macam seperti apa yang ditekuni anak IPS, tapi karena tensi bendera perang yang sudah terlanjur berkibar begitu terasa nyata, mau nggak mau, setuju nggak setuju, anak IPA pun mengikuti alur.

Hih, aneh-aneh aja anak SMA jaman sekarang.

Melihat raut khawatir di wajah Win, Bright pun berinisiatif untuk menggoda pacar manisnya itu.

Tapi sebelum melancarkan aksinya, satu tangan Bright dikerahkan untuk menarik tubuh Win agar semakin menempel dengan tubuhnya; itu artinya… pusat tubuh mereka mau tidak mau kembali bertemu sapa dalam sebuah gesekan berdurasi kurang lebih 6 detik. Win meringis, menggigit kecil bibir bawahnya.

“Jangan ngegesek dulu, masih mau ngobrol...” katanya, penuh permohonan.

Bright terkekeh pelan, “enak sih, hehehe...” terlalu jujur, sih, tapi ya begitulah Bright.

Tangan kiri Win kini bertumpu pada sisi headboard, menghalangi ruang gerak sang pacar di sisi kanan, “nanti aja, ya? Sekarang jawab gue dulu, lo bakal dikerjain nggak kalau nanti akhirnya lo beneran ngenalin gue sebagai pacar lo ke anak-anak?” tanya Win.

“Kayak apa yang pernah gue bilang, paling gue ditelanjangin di lapangan upacara.”

Raut khawatir di wajah Win sudah berubah menjadi raut tak suka. Dua alisnya bertaut penuh penolakan, ada gurat-gurat halus di dahi, serta bibir bawahnya yang turut mencebik lucu.

Win bergerak lagi di atas pangkuan Bright, membuat bagian selatan tubuh keduanya untuk ke-sekian kali saling bergesekan.

“Nggak boleh,” kepalanya menggeleng kuat, surai hitamnya ikut bergerak penuh semangat, “mendingan nggak usah go public aja lah, daripada lo telanjang di depan orang-orang.”

Bright merapikan sedikit tatanan rambut Win. Beberapa helai rambut si Manis ia selipkan di atas cuping telinga pacarnya itu, “bolehnya telanjang di depan lo aja, ya?” tanya Bright, telak, berniat menggoda.

Tapi apa yang dilakukan Win setelahnya, justru berhasil membuat Bright sedikit tergelak, nyaris batuk-batuk dan merusak momen karena terlalu dibuat kaget.

Win, menarik kaos oblong yang dipakainya, sampai terlepas lalu melemparnya asal ke lantai.

“Ya, iya? Gue kan pacar lo? Dan ini...” Win mundur sedikit, kemudian menunduk dan menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah dada Bright, sambil bergumam samar-samar di sana, “... punya gue. Cuma punya gue, Bii.”

Win, too smooth Win, you're too smooth…

Tapi Bright bisa apa selain terkekeh? Pasrah menerima hidung Win yang mulai mengendus-endus bagian dadanya. Bright menunduk, menyaksikan pacarnya yang semakin asik bermain di sana.

“Nggak mau berbagi, ya? Sedikit aja nggak mau?” Bright sempat-sempatnya kembali melempar pertanyaan penuh godaan. Sambil mengelus sayang tengkuk Win, ia menunggu si Manis menjawab ucapannya.

Win menggigit kecil puncak noktah kecokelatan kanan milik Bright, lalu kembali duduk dengan tegak. “Nggak mau, nggak akan pernah mau dan nggak boleh. Pokoknya nggak boleh.”

“Sedikit aja nggak boleh? Segini deh,” Memang sifat isengnya tidak habis-habis, kini Bright membuat sebuah gestur dengan menyatukan ujung jari telunjuk dan ibu jarinya, “Segini aja, kok? Harus bagi-bagi rejeki lho, Ayang...”

“MAKSUD LO REJEKI???” uh, galak, takut.

Ah, lucunya… Bright tidak tahan untuk tidak menarik wajah kesal Win dan menghujani bibir yang mengerucut lucu itu dengan ciuman kupu-kupu, “bercanda, udah jangan manyun gitu, gemes banget tau, nggak? Pamali ah yang, lo bikin jantung gue melorot terus.”

“Tapi gue dari tadi nanya serius, Bii? Kalau anak-anak yang lain tau, gimana? Nanti nyebar nggak tuh ke angkatan atas?”

Bright tampak berpikir sebentar, “Nanti deh gue omongin sama anak-anak. Ya, lagian, yang pacaran 'kan kita, kenapa yang harus ribet malah orang lain?”

“Ya, mau gimana lagi… Emang begitu, 'kan? Tahun lalu juga pas kak Mild sama bang Thanat ketahuan pacaran, bang Thanat abis disuruh nyabutin rumput lapangan pake gunting kuku sambil telanjang dada sama anak IPS. It might happened to you as well dan gue nggak setuju.”**

Decakan keras lolos dari belah bibir Bright, “budaya jurusan tai kucing.”

Lalu tanpa aba sebuah sentilan keras mendarat di bibir yang baru saja mengumpat, “heh, mulutnya kasar ya… nggak suka ah.” omel Win.

“Sukanya begini, 'kan?”

Dan lagi… terjadi… kedua bibir yang sejatinya sudah mulai membengkak itu justru kembali bertemu sapa sambil sesekali bertukar saliva.

Kali ini, Win sedikit kelabakan karena Bright mulai melibatkan nafsu di setiap lumatannya. Tensi yang sejak awal sudah tinggi, kini semakin menjulang. Gairah yang sempat ditekan kuat, kini dibiarkan menguap.

Win tidak lagi menghalang-halangi ruang gerak Bright, juga tidak lagi meminta mereka untuk memperlambat tempo permainan karena Win sama saja seperti pacar nakalnya… sudah terbakar antusias.

“... mmhh,” seuntai desah pelan terucap dari mulut Win kala Bright justru sedang sibuk mengulum bibir bawahnya.

Kedua mata yang sengaja tetap dibuka, membuat Win bisa dengan jelas melihat nafsu yang menggebu-gebu di wajah Bright. Pacarnya itu memilih untuk memejam, menikmati setiap lumatan dan decap basah yang terus mereka lakukan bergantian, tanpa kenal lelah.

Diam-diam Win mengulas senyum, setengah merasa bangga karena Bright kini tunduk pada nafsu akan dirinya, of course his name is Win for a reason, dan setengah merasa haru karena sama seperti Bright… ia bersyukur karena akhirnya mereka tidak jadi berpisah.

Bright kini ada di bawahnya, terkurung dalam dekapannya yang hangat; sedang bercumbu mesra melewati detik demi detik yang semakin membawa waktu menuju tengah malam, sedang mengulum bibir bawahnya penuh semangat, bahkan sesekali mengemis meminta saliva untuk dipindah ke mulutnya sendiri.

At this point he just love Bright so much. To the point that he gave up, let a moan slipped out of his mouth when Bright changed their position, memenjarakan geraknya dalam sebuah kungkungan penuh dominasi, membuat Win berbaring di kasur dengan posisi setengah duduk, dua kaki terbuka lebară…ˇ mengangkang pasrah memberi ruang untuk Bright menumpu lutut kanan dan kirinya di sana, serta kedua tangan yang sudah menemukan jalannya menuju bahu bidang sang pacar, mendekapnya erat, menariknya mendekat.

Sekarang giliran Win yang mendominasi. Bright tidak lagi mengulum bibir bawahnya, tapi pemuda itu dengan sengaja menghentikan semua pergerakan seraya membiarkan bibirnya sedikit terbuka, memberi waktu bagi paru-paru untuk mengais oksigen secukupnya. Pun menunggu si pacar manis untuk meraup daun bibirnya telak.

Bright membuka pejaman matanya, langsung bertemu dengan sepasang mata sayu milik Win yang sudah dipenuhi kabut nafsu. Tersenyum sebentar, ia beri kehangatan pada si Manis dengan mengusap sayang pinggangnya yang masih terbalut kain satin.

Bright menjauhkan sedikit wajahnya ketika Win justru sudah siap untuk meraup kembali bibirnya. Satu alis Win memicing bingung, ada tanda tanya besar yang secara transparan tergambar di dahinya yang mulai dibasahi peluh.

Satu kecupan kilat mendarat di bibir atas Win, lalu keduanya kembali pada posisi saling berhadapan.

“Masih mau ngobrol atau kita step up?” Bright bertanya dengan wajah penuh kuriositas.

Win mendesah pelan karena bisa-bisanya Bright bertanya di saat gairah sudah nyaris merenggut seluruh akal sehatnya. Desahan kesal kini berubah jadi sebuah seringai yang diam-diam membuat Bright jadi semakin antusias. Lalu pada tiga detik setelahnya, Win kembali menarik wajah Bright mendekat. Habis sudah jarak di antara keduanya, apalagi ketika deru nafas Win meninggalkan jejak di telinga sampai ke tengkuk sang pacar, juga sebuah kecupan nakal yang menyusul di detik berikutnya.

“Ngobrolnya mau kayak gini aja, nggak? Sambil gue isep-isep cuping telinga lo, kayak gini...” lidah Win lantas terjulur menjilati cuping telinga yang kini memerah padam. Dengan pelan ia raup lapisan kulit tipis itu, memasukkan sebagian cuping telinga Bright ke dalam mulutnya untuk dihisap dan dikulum lembut.

Bright, merinding sebadan-badan.

Win tidak senakal ini ketika terakhir kali mereka making out di kamar besar Win, pada hari ulang tahun Bright. Lebih tepatnya, pada kali pertama mereka untuk menaikkan level keintiman yang lebih dari sekedar ciuman panas (yang sejatinya sudah sering mereka bagi sejak masih kelas 1 SMA).

Lidah dan gigi-gigi rapi itu bergantian memanjakan cuping telinga Bright. Bahkan sesekali daging bibirnya ikut serta memberi sensasi panas di sana. Tangan Win sendiri kini sudah beranjak bermain-main di surai hitam Bright, yang sudah mulai acak-acakan.

Win meremas rambut Bright, mendapati sang pacar menegang di atasnya adalah salah satu goals yang selalu ingin Win penuhi. And here he is now, membiarkan nafas beratnya terhembus menggelitik telinga Bright, “Mmmhh… does it feel good?” kemudian mendesah, sambil meledek ketahanan si lawan main lewat pertanyaannya.

“Kayaknya lo keenakan banget ya, sampai nggak bisa bales omongan gue… Mau diisep lagi, Bii?”

“Demi Tuhan, mulut lo, Ayang… ahh,ㅡ” mengerang, Bright hanya bisa mengerang pasrah ketika Win dengan jahil mulai memainkan telinganya yang lain dengan jari-jarinya yang panjang. Mulutnya kembali melahap cuping telinga Bright yang sejak tadi sudah ia manjakan; memuaskan Bright di 2 titik di waktu yang sama adalah salah satu kelebihan pemuda manis itu. And Win is so proud of himself for this.

Merasa sudah cukup dijahili, kini Bright berpikir untuk melakukan secuil pembalasan. Pemuda 18 tahun itu menumpukan kedua tangannya di samping tubuh Win, lalu menjauhkan wajahnya dari jangkauan si Manis. Win menekuk kecil bibirnya di kala ia rasa tak ada lagi sesuatu yang memenuhi organ oralnya. Netranya menatap Bright kesal.

“Kenapa sama mulut gue? Kewalahan, ya? Apa keenakan diisep-isep gitu? Sini gue isep lagi,”

Win hendak meraih kembali cuping telinga Bright dengan mulutnya, tapi Bright lebih dulu menghindar. Mau tidak mau, Win mundur, menyandarkan kepalanya di headboard kasur (masih) sambil menatap Bright dengan kesal.

“Nggak bosen ngisep cuping telinga gue doang? Ngisep yang lain aja, gimana?” oalah, Bright. Asu kowe.

Remember when Win said his name is Win for a reason? Dalam hitungan detik pun jiwa penantangnya bisa bangkit tanpa aba, terbukti dari ekspresi kesal di wajahnya yang kini berubah jadi ekspresi menantang.

Win mengulum bibir bawahnya, sedangkan kedua tangannya sibuk memilin dan mengelus jahil cuping telinga kanan dan kiri milik Bright. Membuat pacarnya itu lagi dan lagi mengerang berat. Alisnya bertaut, berpura-pura seolah tengah memikirkan sesuatu.

“Ngisep apa yah...”

And there's Bright holding his breath, harusnya ia sadar kalau pacar nakalnya ini… bisa jadi luar biasa nakal kalau diberi celah.

Dan tanpa persiapan apa-apa, Bright lengah total dan berujung pasrah ketika Win menarik satu tangannya. Jari-jari Win beranjak meraih jari telunjuk Bright, mengusapnya sebentar dengan ujung ibu jarinya.

Tatapan keduanya kini beradu jauh lebih intens, “oh, jarinya Bright yah yang mau diisep?” berpura-pura polos di atas ranjang, juga adalah salah satu kelebihan seorang Metawin.

Lantas tanpa bisa mengelak apalagi menghindar, Bright yang sudah terlanjur deg-degan setengah mampus, cuma bisa memejam kala mulut Win lagi dan lagi melumpuhkan seluruh sistem motoriknya. Bright dapat merasakan sensasi hangat dan geli yang bercampur jadi satu ketika perlahan-lahan Win mulai mengulum jari telunjuknya.

Lidah pemuda manis itu pun tidak tinggal diam. Benda lunak tak bertulang itu sesekali menjilati dan membasahi jari telunjuk Bright yang terus bergerak maju – mundur – maju – mundur di dalam goa hangat si Manis.

“Nshsshwenak B-bii?” tanya Win, tidak begitu jelas, karena masih sibuk membiarkan mulutnya mengocok habis jari sang pacar.

Bright membuka pejaman matanya, bibirnya ia tekan sekuat mungkin, takut mendesah di waktu yang tak bisa ia duga.

Tidak mau bohong, Bright pun mengangguk, dengan susah payah.

“Mulut lo kenapa enak banget, Win? Hm? Kita jarang lho begini, tapi lo kayaknya udah handal banget? Enak Win, iya? Enak ngisep jari gue kayak gini? Enㅡ mhhh, ahh,”

Mendesah juga pada akhirnya. Rangsangan yang diberikan Win memang bukan abal-abal. Rasa-rasanya, Bright sudah mulai diajak terbang and was about to reach the 9th cloud… untouched.

Bright baru saja akan kembali menghayati kuluman Win pada jarinya, tapi Win lagi-lagi menggagalkan semuanya. Tanpa permisi, si Manis melepaskan jari Bright dari jangkauan mulutnya, lalu menjilat seduktif sisi bibirnya yang dihiasi air liur. Bright bahkan nyaris memperoleh putih, tapi Win sepertinya belum puas bermain-main.

Bright menatap Win pasrah, “kenapa, kok udahan?”

“Burung merpati lo udah berisik, Bii...”

Lantas dengan polosnya Bright melirik sesuatu yang ternyata sudah ereksi dari balik fabrik yang membungkus kedua kakinya. Bright memegang adik kecilnya, menepuk-nepuk pelan si 'ganteng' bermaksud untuk menidurkannya kembali.

“Ganteng, jangan berulah dulu, laki gue belum selesai pemanasannya.” begitulah cara Bright menasihati Bright kecil.

Memang butuh kerja sama yang baik, makanya Bright tidak henti-henti menepuk dan mengusap lembut ereksinya.

Dan satu kali lagi, ya… satu kali lagi, Bright dibuat jantungan oleh tingkah Win. Bagaimana tidak jantungan mendadak, kalau Win tiba-tiba mendorong tubuh Bright sampai pemuda itu terbaring terlentang, pasrah, dengan Win yang perlahan-lahan kembali merangkak naik ke atas tubuhnya.

Win menekuk kedua kaki Bright, menuntun sepasang kaki jenjang itu untuk mengangkang lebar. Tanpa suara, Win menarik turun celana training yang dipakai sang pacar, melepasnya pelan-pelan dan melemparnya asal ke lantai. Sama seperti apa yang ia lakukan pada kaos oblong pemuda itu.

Bright sudah nyaris telanjang. Hanya menyisakan pakaian dalam pemuda itu, yang kini sudah dibanjiri cairan pre-cum. Lalu dengan segala tingkah ajaibnya, Win berbaring di tengah-tengah kaki Bright, membawa wajahnya untuk sejajar dengan sebuah gundukan besar yang menjulang malu-malu dari balik si calvin klein abu-abu.

Win mengetuk-ngetuk gundukan itu dengan ujung jari telunjuknya, “mau diisep juga nggak si ganteng?” tanya nya, sambil melirik Bright yang sedang susah payah memendam lenguhan.

“Mau dimanjain juga nggak titit lo?” tanya Win, lagi, kali ini jauh lebih frontal dan membuat Bright kalah dengan nafsunya.

Bibir pemuda itu terbuka, merilis nafas berat ketika tangan Win perlahan-lahan mulai membebaskan penisnya dari satu-satunya fabrik yang tersisa di tubuhnya.

Lagi lagi Bright dibuat pasrah, mengangkat satu persatu kaki dibantu tangan Win untuk melepas pakaian dalamnya. Kini, si ganteng sudah berdiri dengan tegak, gagah, dan berani.

Win memandang kejantanan Bright penuh kagum. Bibirnya sengaja ia tempelkan di benda yang menjulang itu, tidak ada kecupan, jilatan apalagi lumatan. Win hanya menempelkan daun bibirnya di sana, menyatu dengan cairan pre-cum yang mulai mengalir sedikit demi sedikit.

“Mulut lo bener-bener, yang… M-mulut lo, mhhhㅡ yes,”

Bright mendesah, lagi. Win dengan beraninya membuka mulut, menyesap cairan kental yang turun membasahi batang kemaluan Bright. Win menyesapnya berulang kali, lagi dan lagi, sehingga pergerakan mulut Win semakin intens di sana, membuat Bright pada akhirnya menjemput putih, benar-benar tanpa sentuhan berarti.

Dengan sigap, Win menutup lubang di penis Bright dengan ibu jarinya. Menghalangi satu-satunya jalur dimana Bright bisa merilis orgasmenya. Win membawa tubuhnya untuk merangkak lagi di atas tubuh polos Bright, masih dengan ibu jarinya yang dengan tega menghentikan laju spermanya.

Win menatap Bright seduktif, “tumben keluarnya cepet banget?” tanya nya.

Bright lantas berdecak agak keras, “dengan lo main-main kayak tadi, terus dengan mulut kotor lo, lo berekspektasi gue keluar dua jam lagi?” balas Bright.

Dibalas seperti itu, Win pun sengaja menaik-turunkan ibu jarinya di lubang penis Bright. Membuat sperma pemuda itu keluar sedikit, lalu tertahan – keluar lagi, lalu tertahan kembali.

“Yang, t-tangan lo...”

“You choose one, mau keluar di mulut gue tapi untouched, i mean… tanpa effort dari tangan gue, atau mau keluar di luar tapi sambil gue kocok?”

Nafasnya tercekat. Kaget. Pilihan yang sulit…

Win menekan-nekan ibu jarinya di lubang penis Bright, seolah memaksa seluruh sperma milik sang pacar untuk kembali masuk. Ekor matanya kembali melirik Bright, “atau mau ditahan kayak gini aja, biar nggak jadi keluar?” tanya Win, lagi.

Bright susah payah menelan salivanya, sebelum ia putuskan untuk menarik satu tangan Win untuk mendekat. Karena tak tega melihat si pacar yang mulai frustrasi, Win pun menurut. Tubuhnya menunduk sedikit, meski butuh usaha lebih besar karena tangannya yang satu masih sibuk menutup lubang penis Bright.

“Mau cium dulu,”

Once a baby, forever a baby… Win menggeleng sesaat, lalu ia pertemukan bibirnya dengan bibir Bright. Kembali saling mencumbu, melumat, menyalurkan perasaan masing-masing.

“Udah, sekarang jawab pertanyaan gue tadi.”

Ah, sial. Mau tidak mau, Bright memang harus memilih.

“Emang kalau gue keluar di mulut lo, lo oke oke aja? Terakhir lo ngisep gue kan itu gue pakai kondom. Ya doyan lah… Ini gue nggak pakai apa-apa, Yang.”

Oh iya, bener juga. Win yang terlalu semangat ingin step up keintiman pun jadi pikir-pikir lagi. Terakhir ia memberikan blow job pada Bright, pacarnya itu memakai kondom, rasa stroberi. Dan Win tidak perlu repot-repot menyicipi cairan putih Bright.

Tapi kali ini… ya, sekalian nyoba gimana rasanya kalau nggak pakai pengaman. Untuk bahan pertimbangan ke depannya, kalau-kalau suatu saat nanti mereka akan berbagi hangat lagi.

Win menarik nafas panjang sebentar, lalu menghembuskannya perlahan, “kalau rasanya aneh, nanti gue buang ke wastafel.” jawab Win.

“Kalau ternyata lo cocok sama rasanya? Mau lo apain?”

Aduh, ini kok jadi gue lagi yang dibuat ketar-ketir… begitu pikir Win dalam hati.

Bright mengusap pelan tangan Win yang masih ia pegang, “gue nggak mau maksain sesuatu yang sekiranya bikin lo nggak nyaman, ya? Kalau emang belum siap step up buat nelen-nelen gitu, ya nggak usah… nanti biar gue keluar di luar, kayak waktu itu.”

“Kita harus sama-sama enak, sama-sama nyaman, secara nggak langsung ini juga proses buat kita belajar, Yang...” sambung Bright.

Oke, oke, Win paham. Setengah dari hatinya, Win ragu untuk menelan habis cairan sperma Bright karena demi Tuhan… kayaknya ia belum cukup dewasa untuk menginjak fase tersebut. Tapi setengah dari hatinya yang lain, Win… penasaran. Kalau tidak dicoba sekarang, maka Win bisa kepikiran berhari-hari lamanya.

Bright kembali mengelus pelan lengan Win, “tangannya bisa dilepas nggak, Yang? Ini beneran sakit lho nahan klimaks begini...”

Ya ampun, lupa…!!!

Lalu tanpa menjawab pertanyaan Bright perihal nyaman dan tidak nyaman, akan dikemanakan cairan spermanya jika ternyata tidak suka atau akan dibiarkan tertelan kah jika cocok dengan rasanya, Win langsung memposisikan tubuhnya untuk kembali berbaring tengkurap di tengah-tengah kaki Bright yang (masih) mengangkang lebar, lalu dilepasnya ibu jari yang sedari tadi menutup lubang penis sang pacar, dan bloop tanpa aba-aba Win langsung memasukkan setengah kemaluan Bright ke dalam mulutnya.

Bright… kaget. Tapi kuluman Win yang mulai mendominasi penisnya, mampu membuat Bright lagi-lagi tak berkutik.

Di bawah sana, Win sedang bersemangat mengulum penis Bright yang kian membesar. Bright sendiri cuma bisa pasrah, jari-jari kakinya mengeriting seiring dengan laju naik – turun yang dilakukan Win di pusat tubuhnya.

“Win, sayang… mmmhh, pelan-pelan, yang… nanti lo keselek, ahhhh, damnㅡ”

Tapi Win tidak mau dengar. Dengan santainya si Manis terus membawa mulutnya naik, lalu turună…ˇ mengulum penis Bright seolah itu adalah permen kaki yang dulu selalu ia beli di kantin saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Win membawa satu tangannya menuju penis Bright, lebih tepatnya pada bagian yang tidak bisa masuk ke dalam mulut Win (karena pemuda manis itu belum tahu bagaimana baiknya melakukan deep throat). Jari-jari panjangnya mulai meremas bagian yang terekspos, sekalian menyalurkan tenaga agar Bright cepat merilis spermanya (yang sempat tertahan, tadi).

Entah sadar atau tidak, Bright menjatuhkan kedua tangannya di rambut Win. Tangan kanan, sibuk mencengkeram seberkas surai hitam Win, berusaha menyalurkan nikmatnya. Sedangkan tangan kiri,

“Arghhhh, B-bii...”

Sibuk menarik rambut Win di sisi yang lain, membuat pemuda manis itu sempat kehilangan tempo dan penis Bright lepas begitu saja dari mulutnya.

Bright terkekeh sebentar, lalu meminta maaf. Tidak lagi-lagi ia menjambak rambut pacar manisnya itu, tapi kedua tangannya sekarang sibuk membantu kepala Win untuk bergerak naik – turun mencari tempo, dan di waktu yang sama guna memuaskan birahinya.

“Gue m-mau keluar, Yang… mhhhㅡ,”

Diberi sinyal seperti itu, Win semakin cepat mengulum penis Bright sambil sesekali menjilatinya. Rasanya… tidak begitu enak jika dibanding ketika Bright memakai kondom tempo hari. Tapi kali ini bukan soal rasa yang Win cari, tapi sensasi. Sensasi gila dan menyenangkan yang bisa ia dapat ketika organ oralnya menemukan jalan untuk menikmati penis pacarnya itu.

Win menarik bibirnya, dan berhenti tepat di ujung penis Bright. Kepalanya tampak memerah, lucu, dengan lubang kecil yang berkedut siap merilis putih. Win tidak lagi mengulum kemaluan si pacar, tapi kini ia gunakan mulutnya untuk mencium kepala penis Bright, lalu disusul dengan aksi menghisap kuat agar sperma Bright cepat keluar.

Win mengocok penis Bright beberapa kali, sampai akhirnya,

“WINNNN…. AHHHHHH, enak… e-enak banget, Win, s-sayang…. hhhh, mhhhㅡ”

Bright terlalu hanyut dalam putihnya, sampai-sampai tidak sadar kalau Win sudah berlari menuju kamar mandi. Butuh waktu sekitar satu menit lebih sampai Bright bisa membuka matanya sedikit demi sedikit. Nikmat orgasmenya belum hilang, tapi ia sadar kalau Win sudah tidak ada di kasur dan insting Bright langsung terpusat pada si Manis.

Lantas dengan tergopoh-gopoh, Bright berusaha bangkit dari kasur dan menyusul Win ke kamar mandi.

“Udah dibuang, Yang?”

Win menoleh, menatap Bright dengan tubuh polosnya berdiri penuh khawatir di ambang pintu, lalu menggeleng.

Bright masuk ke dalam kamar mandi dan berhenti tepat di sebelah Win. Ia menengadahkan telapak tangan kanannya di depan dagu Win, sedangkan tangan kirinya terangkat untuk mengusap sayang surai berantakan pacarnya itu.

Bright tau, Win masih menyimpan cairan spermanya di dalam mulut.

“Buang aja, jangan dipaksa, sayang.”

Lagi, Win menggeleng. Mengabaikan wajahnya yang justru mulai memerah.

“Win,”

Lalu dengan pasrah, Win memuntahkan sedikit cairan sperma milik Bright dari mulutnya. Sedangkan sisanya yang lain, ia telan, benar-benar habis ia telan.

Win menjilat sudut bibirnya, berusaha mencari sisa sperma yang mungkin saja masih memenuhi wajahnya.

Bright menyentil pelan dahi lebar Win, “bikin panik pacarnya aja, deh.”

“Nyehehe, abisnya gue mual beneran tadi, mau gue muntahin semua, sayang banget… ya udah, setengah gue muntahin, setengah gue habisin.” jawab Win.

Bright menghadapkan tubuhnya ke arah cermin, menatap dirinya dan Win bergantian di sana.

“Hasil gigitan lo lumayan juga, ya.” gumam Bright, sambil memperhatikan bercak kemerahan di dadanya, hasil gigitan Win beberapa waktu lalu.

Win cuma bisa terkekeh, lalu ia menunduk mendekati bahu telanjang Bright, dan menghadiahkan tiga kali kecupan nakal di sana.

Si Manis beranjak untuk berdiri di belakang Bright. Fortunately, Bright memang 2 sentimeter lebih pendek darinya, jadi Win bisa dengan leluasa mengukung tubuh telanjang si pacar dari belakang.

Win mencuri sebuah kecupan panjang di tengkuk Bright, lalu beralih menuju perpotongan lehernya. Laju bibir Win berhenti tepat di depan telinga Bright, lalu dilumatnya pelan cuping lembut itu.

“Now my turn, Bii.”

Satu gigitan kecil di bahu Bright, lalu Win beranjak melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Pemuda itu mulai membuka piyama satin yang sejak tadi masih membungkus utuh tubuhnya, berusaha menanggalkan seluruh fabrik yang tersisa sebelum ia kembali melempar tubuhnya sendiri ke atas kasur.

Setelah tidak ada satu benang pun yang tersisa di tubuh semampai itu, Win kembali naik ke atas kasur. Matanya melirik malu-malu pada pakaiannya dan pakaian Bright yang tergeletak dengan naas di lantai. Win membawa tubuhnya untuk bersandar di headboard, lalu tangannya dengan spontan merentang lebar ketika Bright merangkak masuk dalam dekapannya.

Bright menghujani wajah lelah Win dengan ciuman-ciuman gemas, membuat si Manis tersenyum dan sesekali melepaskan tawa kecilnya.

Win menangkup pipi Bright dan mendorongnya pelan, menatap pemuda tampan kesayangannya itu penuh kelembutan, “does it feel good?” tanya Win.

Bright mengangguk, lalu wajahnya menunduk, hendak meraup bibir merah muda si Manis, namun Win lebih dulu memalingkan pemandangan sambil terkekeh, “jawab dulu yang bener, from scale 1-10 seberapa puasnya lo tadi? Biar gue tau, buat pelajaran ke depannya...”

Satu tangan Bright mengusap lembut surai hitam Win, “if there's any words can top the PERFECT, i will probably use that, lo hebat, pacar gue yang paling hebat,”

Lalu bibir keduanya kembali bertemu. Seolah saling mengais rindu setelah dipisah oleh jarak dan waktu. Win tersenyum di sela ciumannya, lalu dengan perlahan ia pasrah ketika Bright mundur melepas ciuman keduanya.

“Jam berapa sih sekarang?” Bright melirik pada jam berbentuk bulatㅡ putih, dan menggantung di dinding, yang kini menunjukkan pukul 1 dinihari.

“Jam 1, Yang. Kenapa? Ngantuk, ya?”

Win mengangguk, “sedikit, tapi nggak apa-apa, gue bisa tahan.” balasnya.

“How about cuddles?”

Salah satu mata Win memicing, bibirnya mencebik sedikit, lucu, “you dapet orgasme, terus i enggak?”

Bright terkekeh pelan, dicurinya satu kecupan lagi di bibir penuh Win.

“Nggak gitu, sayang. Karena keliatannya lo capek banget, ya kita cuddling aja, sambil gue puasin lo nya juga.”

Oh, oke, tawaran yang menarik. Jadi Win nggak perlu kerja keras kayak tadi, 'kan?

“Contohnya?” tanya Win.

“Kayak gini,” Win nyaris saja memekik ketika Bright menarik turun tubuhnya, membuat posisi Win kini kembali berbaring setengah duduk, sama seperti beberapa saat lalu.

Satu tangan Win refleks terangkat, menunggu kehadiran Bright kembali dalam peluknya. Dan benar saja, beberapa detik kemudian Bright kembali masuk dalam dekapan Win, dengan kepalanya yang kini bersandar di dada si Manis.

Tangan Win bermain dengan leluasa di rambut Bright, mencengkeramnya lalu menariknya sesekali, apalagi ketika bibir Bright kini mulai menjamah noktah kecokelatannya, di sebelah kanan.

Win menekan bibirnya, belum ingin mendesah, meski Bright sudah mulai menghisap putingnya.

Tangan kanan Bright tak tinggal diam. Perut Win adalah target utamanya. Lantas sambil memberi kepuasan di dada si Manis, Bright pun turut mengusap lembut perut Win dengan telapak tangannya.

Tubuh Win mulai bergerak gelisah. Hisapan Bright di putingnya kini berubah menjadi lumatan. Bright yang juga sudah kembali terbakar gairah kini mulai menaiki tubuh Win, bibirnya terus menikmati noktah kecokelatan si Manis kelaparan.

“B-bii, aaahhh, jangan digigit gitu,”

Namun Bright tidak mendengar. Ia tau jelas, dalam kata Win menolak, tapi dalam tindakan… Win meminta lebih. Win berulang kali mendesah memohon agar Bright tidak menyertakan giginya lagi ketika sedang mengulum putingnya, tapi respon tubuh si Manis justru bertolak belakang. Tangannya semakin mendorong kepala Bright agar semakin dalam melahap putingnya, dadanya juga kian mengangkat, memberi sinyal agar Bright tidak berhenti.

“Mmmhhh, s-sakit… Aaaaah, B-bi, e-enak...”

Bright terkekeh pelan, lalu mendongak menatap Win dari bawah, “yang bener dong, sakit atau enak?”

Win, dengan kilatan nafsu di kedua matanya, balas menatap Bright penuh tantang.

Satu tangannya sengaja Win arahkan untuk meremas dada kirinya, “sini, nyusu di sebelah kiri juga dong,”

Anjingggggg…. Win…. Ayang, ya Allah…. Kenapa hari ini nakal banget, sih…. Bright pusing, bisa-bisa ia akan meminta jatah setiap hari nantinya.

“Kalau gue ketagihan nyusu sama lo gini, jangan salahin gue kalau nanti gue minta jatah terus ya, Yang...”

Win terkekeh pelan, lalu meraih kepala Bright untuk segera meraup puting kirinya.

Bright mulai melakukan aksi menyusunya. Menyusu layaknya bayi yang kehausan. Bright mengulum dan menghisap puting kiri Win seolah-olah akan keluar air susu dari sana.

Sedangkan Win yang mulai rileks dan menyukai aktifitas ini, turut menyalurkan afeksi pada sang pacar dengan mengelus sayang pipi dan surai hitamnya secara bergantian selagi Bright terus mengulum nafsu puting kirinya.

“Iya, kalau cuma nyusu begini aja mah, setiap hari juga gue kasih, asal tau waktu.”

Diam-diam, Bright tersenyum ketika sedang sibuk membangkitkan gairah si Manis. Satu tangan Bright berusaha mencari jalan menuju penis Win. Begitu dapat, ia langsung mengurut penis yang sudah setengah menegang itu, sambil terus menghisap puting kiri pacar manisnya itu.

Win memejam, desah demi desah mulai lolos dari belah bibirnya, “Diisep sambil dikocok barengan gini tuh emang enak banget ya, Bii...”

“Mmmhhh, ya Tuhan, mulut lo enak banget...”

Win sibuk mendesah, dan Bright sibuk memberi kepuasan. Satu tangan Bright yang bebas kini mulai menjamah puting kanan Win, turut memberi afeksi di sana.

Win, his most prettiest boyfriend deserves it. He deserves to get pleasure at three different places at once, di penisnya, di puting kanannya, juga di puting kirinya.

“Aaaah, B-bright… Mau keluar… I wanna cum...”

Dan ketika dirasa tubuh Win mulai gemeteran, juga penis dalam genggamannya mulai membesar, Bright menghentikan segala pergerakannya.

Tidak ada lagi hisapan dan kuluman di puting kiri Win. Tidak ada lagi pelintiran lembut di puting kanan Win. Juga, tidak ada lagi kocokan bertempo di penis besar Win.

Win lantas menatap Bright penuh tanya, “B-bi?!!”

Tapi sebuah seringai di sudut bibir si pacar, justru menjadi alarm tanda bahaya bagi Win. Win, cuma bisa pasrah terutama ketika Bright mulai beranjak dan duduk di sampingnya. Mata pemuda itu menatap iba pada penis Win yang masih berdiri tegak, sudah memerah, siap meluncurkan sperma dalam hitungan detik kalau saja Bright tidak mengerjainya.

“Gimana rasanya pas mau orgasme, malah diisengin?” tanya Bright.

Win tertawa tak terima, “Bright, demi apa sih, lo balas-balasan gini mainnya?”

“Try and get your pleasure alone by yourself. Do whatever you want, make me satisfied as well, kalau gue nggak puas liat lo, itu artinya lo nggak boleh klimaks.”

“BRIGHT??!!!”

Satu kecupan Bright curi di bibir penuh Win, “ssstt, jangan berisik, sayang. Nanti Bunda sama Ayah denger.”

Anjingggg… Emang Bright anjing….

“You gotta begging me for more, i'd gladly give you anything, anything…. literally anything, Win. But i wanna see your face when you ask for it, beg for it,”

Lalu tanpa menunggu Bright menyelesaikan ucapannya, Win langsung naik ke atas tubuh Bright. Ia duduk di atas pangkuan si pacar, bergerak gusar bagai orang kesetanan mencari nikmat.

Win menggesek penisnya dengan penis Bright. Mengais sensasi menyenangkan dari sana, lalu tangannya ikut berbaur, mengocok kedua penis itu bersamaan.

Dalam hati Bright meringis, Win selalu bisa memenuhi ekspektasinya. Bahkan lebih. Win selalu lebih dari apa yang ia harapkan.

Tapi Bright, tidak akan semudah itu memberi orgasme untuk si Manis. Win sudah banyak mengerjainya tadi, dan sekarang adalah giliran Bright.

Tanpa sadar, Win mulai menemukan asik-nya sendiri. Ada sensasi luar biasa ketika ia terus menerus bergerak naik turun, seolah sedang menunggangi penis Bright. Padahal, ia hanya sibuk menggesek penis keduanya, sambil mengocoknya dalam gerak dan tempo yang sama.

Win tertawa sesekali, ini… asik. Menyenangkan.

Dan saat dirasa putih itu kembali dekat, Win menatap Bright dengan tatap penuh nafsu, lagi dan lagi harus memohon… agar diberi izin untuk bisa menjemput putihnya.

Penis Win sudah berkedut, cairan pre-cum sudah mulai keluar dari lubang penisnya, tapi lagi dan lagi Bright menggeleng.

Win, gagal orgasme, lagi.

Helaan nafas berat terhembus dari belah bibirnya. Ia lelah, tapi ia ingin setidaknya orgasme satu kali saja…

“Ayo, coba cara lain, Win, sampai gue ngebolehin lo keluar.”

Lalu tanpa suara (kepalang lelah), Win pun mengubah posisinya menjadi berjongkok tepat di atas penis Bright. Win, berjongkok selebar yang ia bisa. Lantas dengan ragu, ia mundurkan sedikit tumpuan tangannya tepat di samping paha kanan dan kiri Bright, membuat tubuh bagian bawahnya sedikit mencondong ke depan, mencari friksi lewat gesekan antara belahan pantatnya dengan ujung penis Bright.

“Sayang, kita janji nggak akan masuk dulu sampai lulus SMA, lho...”

Win mengangguk, tanpa menghentikan gerakannya di atas penis Bright.

“Cuma gesek-gesek doang, kok...”

Oh, oke. Bright sudah panas dingin, takut kalau-kalau Win bablas memasukkan penisnya ke dalam lubang anal pemuda manis itu.

Beberapa kali kepala penisnya nyaris masuk ke dalam lubang Win, namun Win dengan cepat kembali bergerak, menggesek mencari nikmat.

“Posisi gini enak juga,” entahlah, Win sadar atau tidak saat mengucapkannya.

Bright terkekeh, tangannya beranjak menyentuh kedua kaki jenjang Win, membantu si Manis untuk bergerak.

“By the way, lo pasti lupa bawa lays rumput lautnya, deh.” kata Bright, sambil sesekali memejam menahan nikmat ketika Win dengan sengaja beberapa kali berusaha memasukkan penisnya ke dalam lubang, lalu ditariknya lagi keluar.

Win berdehem pelan, “nggak perlu lays juga kita udah hampir dua jam make out gini,”

Merasa tidak cukup hanya dengan cara menggesekkan belah pantatnya dengan penis Bright, Win pun memutuskan untuk membungkuk dan meraup puting kanan Bright dengan lapar.

Bagian tubuh Win masih terus bergerak, kali ini ia kembali mempertemukan penisnya dengan penis Bright, lalu menggeseknya sesuai gerak tubuhnya.

Win mengikuti cara Bright ketika pemuda itu menikmati putingnya. Win menjilati noktah kecokelatan yang sudah menegang itu beberapa kali, lalu mengulumnya dan sesekali menghisapnya kuat.

“Pinternya pacar gue… Such a fast learner, the most prettiest man ever, hebat di atas ranjang, knows how to make me satisfied, cantik… manis… kesayangan Bright,”

Dipuji seperti itu, Win semakin bersemangat. Dengan berani ia kulum puting kanan Bright lebih kuat lagi, lalu ia beranjak untuk menangkup wajah Bright dan mempertemukan kembali bibir keduanya.

Bright dan Win kembali berciuman, lebih panas, lebih intim karena puncak gairah keduanya seolah sudah berhasil didaki. Bagian bawah tubuh Win pun masih bergerak, maju, mundur, mencari nikmat.

“Ahhh, Bii… Ahhhh,”

Ciuman keduanya terlepas. Win kini mendongak, membusungkan dadanya, membiarkan Bright mulai mengeksplor rahang, dagu, leher, dada, dan kembali ke puting kirinya.

“Mmhhh, Bright… Ya Tuhan… Aahhhㅡ”

Semakin kuat menghisap, semakin kuat pula desahan yang keluar dari mulut Win.

Tangan Win kembali merambat naik mencengkeram kuat rambut Bright. Menyalurkan kenikmatan kala gigi Bright bermain-main di noktahnya.

“Ayo gerak lagi sendiri.”

Bright? Sialan? Lo???

Ya sudah, sudah kepalang nafsu, Win pun kembali membiarkan Bright bersandar di headboard, selagi dirinya sibuk menunggangi paha sang pacar, sambil sesekali menyatukan penis keduanya untuk dikocok bersamaan.

Win, sedang berusaha keras. Dan Bright, sedang menatap Win dalam diam. Win selalu cantik dan manis dalam keadaan apapun, apalagi ketika sedang telanjang dan bermain cukup liar di atasnya, seperti sekarang ini.

Wajahnya yang memerah, bibirnya yang terbuka mengalunkan desahan lembut, juga rambutnya yang ikut bergerak mengikuti tempo permainan.

Cantik, luar biasa cantik…

Tiba-tiba, Bright teringat sesuatu.

“Oh iya, katanya Mamah mau ngasih tiket buat short getaway?”

Win, masih sambil bekerja, menganggukkan kepalanya, “iyah, lo pilih deh mau ke Dufan atau Taman Safari, gue ikut aja...”

“Aahhhㅡ,”

Tangan Bright menjalar mengusap lembut punggung polos Win, “Dufan aja, yuk?”

Bright, sudah lama punya keinginan untuk mengajak Win menikmati kencan di ibu kota. Dan diam-diam, Bright juga sebenarnya punya keinginan untuk memberikan kejutan ulang tahun untuk pacarnya itu. Lantas ketika Mama menawarkan tiket liburan, Bright jadi berpikir untuk rutin membawa Win jalan-jalan setiap minggu, dan puncaknya adalah sehari sebelum ulang tahun Win, ia akan membawa pacarnya itu dinner eksklusif.

Ah, ya, benar. Bright juga bisa minta bantuan Mama dan Bunda.

Ya, Bright yakin dengan rencananya. Ia sudah memikirkan konsepnya matang-matang, jalan-jalan lalu ditutup dengan makan malam eksklusif, berdua. Let's just call it a Bright's plan, terlalu biasa sih, tapi ya mau gimana lagi… konsepnya memang begitu. Lantas dielusnya pinggang telanjang Win dengan lembut, pemuda manis yang masih sibuk bergerak maju dan mundur di atas kedua pangkal pahanya itu, menoleh malu-malu. Matanya sayu, cantik… ada peluh yang kini turut jatuh di atas kulit perut Bright.

Alis kanan yang bergerak turunㅡ bertaut, berhasil menambah kesan penasaran dan excitement di wajah Win yang sudah nyaris basah dengan keringat. “What is it again, Bii? Lo ngeganggu konsentrasi gue tau, nggak...” katanya, intonasi tersebut terdengar kesal, tapi menyimpan keingin tahuan yang besar di waktu yang sama.

Elusan tangan Bright mulai beranjak turun dari pinggang si Manis menuju paha telanjang pemuda itu, “yang, please make a list of the three places you wants to visit the most in the near future.” lalu satu tangan Bright bergerak menyentuh bagian belakang tubuh Win, memancing pacarnya itu agar kembali bergerak lembut. Sesekali Bright bahkan mencubit dua pipi berisi itu dengan gemas, “gue mau ngajak lo liburan, let's just call it a sudden escape.”

. . .

“Boleh nyusu lagi, nggak?”

Seolah sudah terbiasa dengan omongan kotor Bright, Win pun mengangguk. Seuntai senyum tersampir di wajahnya, menyambut Bright yang baru saja kembali dari kamar mandi setelah beres dengan urusannya; membersihkan tubuhnya dan juga tubuh Win dari sisa-sisa sperma dan keringat.

Win mengatur posisi lebih dulu, sebelum membiarkan Bright kembali masuk dalam peluknya.

“Yang kiri aja ya, Bii? Yang kanan udah agak bengkak, soalnya...”

Bright mengangguk, lalu tanpa basa-basi mulai meraup puting kiri Win, kembali memberi kepuasan di satu titik itu.

Sedangkan Win, matanya sibuk melirik ke arah nakas. Bibirnya kembali mengukir senyum saat melihat ada karet gelang yang tergeletak di sana. Susah payah Win mengambilnya, sedikit membuat Bright merengek ketika putingnya terlepas tanpa disengaja dari jangkauan mulut Bright.

“Gue kuncir apel, ya?”

Bright terlalu sibuk menyusu, hanya mampu merespon dengan anggukan pelan.

Dan yah, malam itu ditutup dengan Bright yang tertidur di atas tubuh Win lengkap dengan rambutnya yang dikuncir seperti apel.

Juga ditutup dengan Win yang sibuk menyanyikan lullaby sambil mengusap punggung polos dan rambut Bright, agar pemuda itu semakin lelap dalam tidurnya.

Juga, ditutup dengan sebuah janji; bahwa pembahasan tentang aktivitas di atas ranjang, berakhir di atas ranjang. Besok ketika bangun di pagi hari, Bright dan Win akan kembali bersikap seperti biasanya.

Bright, si anak IPS yang terkadang petakilan dan bar-bar.

Win, si anak IPA yang ambis, dan sibuk dengan segala kegiatan organisasi juga tugas-tugas eksaktanya.

. . .

JEYI // 210130.

Masih dengan tangannya yang mengelus lembut punggung si kekasih hati, Win berucap… yakin dan sungguh-sungguh, “i have seen the best of you and the worst of you, and i wholeheartedly choose both.” lantunan suara lembut itu menggelitik telinga Bright yang berada di dekat bibir si Manis.

“Glad it was not an end for us, it's actually an and...”

total words: 5.942 words.

Pengalaman terbaik memanglah kegagalan. Ada 2 hal yang menyebabkan kegagalan, setidaknya dalam kamus hidup Bright. The first is; when you're tired of fighting. And the second is; when you thought it was the best decision even though it's 101% not.


Langit bergradasi oranye menjadi pemandangan indah yang menyambut kedatangan Bright dan Win di garasi besar kediaman si anak IPS. Padahal, kegiatan belajar-mengajar di sekolah sudah berakhir pada jam dua siang lebih sepuluh menit, tapi keduanya justru melipir ke restoran spesialisasi makanan chinese di jalan siliwangi untuk membelikan sayur capcay kesukaan Bunda, walaupun mereka tau kalau Bunda sudah masak banyak menu makanan. Ini ide dari Win, yang ternyata adalah kebiasaan pemuda manis itu untuk membawa makanan setiap kali berkunjung ke rumah si mantan kekasih hati. (sedih)

Win memberikan helm berwarna cokelat tua miliknya pada Bright, dan pemuda itu langsung meraihnya lalu mengaitkannya pada spion motor.

“Nanti pas gue mau pulang, tolong ingetin helm ya? Takut kelupaan.” Ujar Win, sambil merapikan sedikit tataan rambutnya yang berantakan.

Bright mengangguk, “ketinggalan juga nggak apa-apa, rumah kita cuma beda belokan.” balasnya.

Bener juga, sih… tapi 'kan situasi dan kondisi saat ini udah nggak kayak dulu lagi… Win nggak bisa seenaknya bolak-balik ke rumah Bright…

Win tidak lagi menjawab, membuat Bright melirik si Manis yang kini berdiri canggung di belakang motor. Bright mencabut kunci motor dari lubangnya, “langsung masuk aja, Win. Biasanya juga bablas nggak pake nungguin gue.”

Tersirat senyuman awkward di wajah si pemuda manis, “nggak enak, hehehe. Uhm, Bright?”

Yang dipanggil kini menautkan satu alis, melantunkan kata tanya 'apa?' lewat gestur tubuhnya.

“B-bunda udah tau, ya?”

Oh, the bunny is curious. Tak mau menutupi apapun dari Win, pada akhirnya Bright mengangguk pelan.

“Iya, Bunda udah tau.”

Lalu Bright melangkah menjauhi motornya yang sudah terparkir apik di garasi, turut mempersilakan sang tamu untuk ikut beranjak bersamanya menaiki anak tangga menuju pintu utama.

“Sejak kapan Bunda tau?” sampai di puncak anak tangga, dan satu pertanyaan kembali terucap dari bibir Win.

Perlahan namun pasti, Bright buka pintu utama rumahnya. Mengajak Win masuk seolah ini adalah kali pertama si pemuda manis berkunjung ke sana; canggung, terasa asing.

Keduanya pun melangkah memasuki ruang tamu. Suara gaduh yang berasal dari ruang makan menjadi pertanda kalau Bunda mungkin kini berada di ruangan tersebut.

Sesekali Win melirik Bright yang berjalan sedikit lebih cepat di depannya. Masih menunggu jawaban dari si tunggal pemilik rumah yang kini ia pijak.

“Di hari yang sama kita putus, gue langsung kasih tau Bunda.” lebih tepatnya, gue nangis-nangis ke Bunda…

Win tercekat. Jika Bunda sudah tau soal kandasnya hubungan mereka di hari yang sama ketika keduanya sepakat untuk berakhir, lebih tepatnya saat Win mau tidak mau pasrah menyetujui keinginan Bright, itu artinya… mungkin saja Bunda memintanya datang hari ini adalah untuk membahas perkara tersebut.

Terlalu larut dalam pikirannya, Win tidak sadar kalau sekarang dirinya sudah memasuki area ruang makan kediaman Bright. Lamunan pemuda manis itu buyar ketika ia dengar Bright menyapa sang Bunda.

“Bunda, Bright pulang...” biasanya tidak seperti itu. Jika Win ikut pulang bersamanya, maka kalimat yang terucap dari bibir Bright adalah; “Bunda, anak-anak ganteng pulang… LAPEEERRR!!!” tapi sekarang semuanya tidak lagi sama. Hanya ada kalimat Bright pulang… dan,

“Ada Win, Bunda.” sambungnya.

Ya, bukan lagi kita, tapi Bright yang namanya akan disebut lebih dulu, lalu nama Win yang diucap setelahnya. Ada detik yang menjeda. Ada pemisah bagi keduanya.

Bunda yang awalnya sibuk menata piring di atas meja makan langsung menoleh ketika ia dengar suara lembut sang anak. Seulas senyum lebar terlukis di wajah cantik Bunda, menyambut kedatangan anak-anaknya.

“Anak-anak Bunda udah pulang… Nggak kedengeran suara motornya, Bri?”

Bright hanya mengangkat kedua bahu, lalu berlalu menuju dapur untuk mencuci tangan. Bunda lantas menghela nafas pelan melihat tingkah si tunggal yang main melenggang pergi melewatinya, kembali dibuat bingung… ada apa lagi dengan anaknya itu.

Perhatian Bunda beralih pada Win yang berdiri, diam, di tempatnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pemuda manis itu biasanya akan langsung mengambil posisi duduk di salah satu bangku meja makan (yang sudah diklaim sebagai miliknya) dan mengagumi masakan Bunda yang tersaji di sana.

Hari ini Win terlihat cukup canggung.

“Win,”

Win sedikit meremat kantong plastik yang ia pegang, “hai, Bunda...” lalu tersenyum, sambil beranjak mendekati Bunda.

“Bawa apa itu, nak?”

Win melirik kantong plastik di tangannya, lalu terkekeh kecil sebelum menjawab pertanyaan Bunda.

“Capcay siliwangi, Bunda… hehehe...”

Bunda menggeleng pelan, lalu matanya menatap si Manis penuh selidik, “kamu nggak mau makan masakan Bunda, ya? Makanya mampir ke siliwangi beli capcay… Bunda jadi sedih deh...”

“EHHH ENGGAK, BUNDA!!! Bukan begitu, justru Win tadi ngajak Bri mampir ke siliwangi beli capcay ini spesial buat Bunda...”

Win sengaja mengangkat kantong plastik berisi capcay restoran chinese langganan Bunda, “Bunda 'kan suka banget… Jadi Win kepikiran buat mampir, terus beli. Bunda mau makan capcaynya kapan aja bebas, Bunda… Terserah, Bunda.” Sambung Win, cemas dan takut bercampur jadi satu, khawatir Bunda salah tangkap akan maksud Win membawakan lauk untuknya.

Lalu dengan wajah sendunya Bunda melirih, “hari ini Win mau makan masakan Bunda, 'kan?”

“Iya dong!!! Masakan Bunda 'kan paling enak sedunia!!!”

Tawa geli kini memenuhi ruang makan. Bunda tak kuasa menahan rasa antusiasnya melihat Win yang terlihat begitu grogi, tapi sangat menggemaskan. Lantas Bunda meraih kantong plastik berisi dua porsi capcay itu dari tangan si Manis, “makasih banyak, anak manis...”

Dan sejatinya, Bright menyaksikan interaksi Bunda dan Win dari dapur diam-diam. Tanpa sadar, ujung bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum kecil. Bunda… Wanita itu selalu bisa mencairkan suasana. Bunda pasti tau kalau Win merasa canggung, tidak bisa bersikap sebebas biasanya dan Bunda berusaha untuk menggoda anak itu. Mengembalikan mood yang sudah seharusnya hadir di rumah ini.

Dan setelah berdiam diri selama beberapa menit di posisinya, Bright pun akhirnya melangkah menghampiri keduanya. Dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya.

Bunda yang sadar akan kedatangan Bright kembali berusaha untuk mencairkan suasana, “Bunda mau nyimpen capcay dari Win dulu, sama Bunda mau bikinin kalian minum di dapur. Bri mau minum apa, anak ganteng?”

Dengan ekspresi datarnya Bright menjawab, “apa aja, terserah Bunda, Bri pasti minum.”

Bunda sedikit berdecak atas kelakuan sang anak yang tampak aneh, seolah tidak begitu senang dengan keberadaan Win di rumah mereka. Tak mau terlalu lama memikirkan sikap si tunggal, Bunda kini mengalihkan perhatiannya pada Win.

“Anak manis, mau minum apa, sayang? Jus mangga kayak biasa mau, nak?”

Satu anggukan Win berikan, “boleh Bunda, makasih banyak Bunda cantik...”

“Sama-sama, sayang. Bri, ganti baju dulu gih sana ajak Win ya, oke?”

Dari posisinya berdiri, Bright melirik Bunda yang seperti sengaja mengatur semuanya. Namun Bunda tetap acuh, pandangannya terus terfokus pada anak pertama ketua RT di komplek mereka itu.

“Bunda, Win nggak usah ganti baju. Paling habis makan malam Win juga pulang...”

Lagi, Bunda seolah sudah punya rencana tersendiri. Wanita itu tidak menjawab ucapan Win. Tangannya terangkat mengusap lembut lengan si Manis yang terlindungi oleh hoodie berwarna hitam.

“Naik dulu sama Bri ke atas, ya… Bunda siapin minum dulu, abis itu kita doa makan bersama, terus kita makan malem di sini. Bunda tunggu, boys!”

Dan setelah itu Bunda langsung berlalu menuju dapur. Meninggalkan kedua anak adam yang kini diselimuti rasa canggung luar biasa. Bright dengan perasaan aneh dan pergumulannya sendiri; deg-degan dengan acara sidang yang akan dilakukan Bunda mungkin setelah makan malam. Win dengan perasaan segan yang membuat pemuda manis itu bingung harus merespon seperti apa.

Keduanya, benar-benar tampak seperti orang asing.

Bright akhirnya berdehem memecah keheningan, lalu mempersilakan Win untuk naik lebih dulu menuju kamarnya, “naik duluan, Win. Gue mau ngobrol sebentar sama Bunda.”

“Boleh kah?”

Bright mengangguk, “boleh, bersih-bersih dulu sedikit sekalian, handuk yang biasa lo pake ada di lemari. Bajunya bebas, terserah lo mau pake baju gue atau baju lo yang emang sengaja ditinggal di sini. Tapi mungkin agak di bawah-bawah, ketumpuk sama baju-baju gue.”

“Oke, gue ke atas duluan ya, Bright?”

Tidak lagi ada jawaban berupa kata-kata yang diberikan Bright. Hanya sebuah anggukan pelan, juga tatapan sendu yang mengiringi langkah Win menaiki anak tangga menuju kamar si empunya di lantai dua.

Nyatanya, Bright tidak ingin mengobrol dengan Bunda seperti alasan yang ia beri pada Win. Nyatanya, pemuda itu hanya mengubah posisinya menjadi bersandar pada ujung meja makan, satu tangannya bertumpu pada meja sambil membuat ketukan-ketukan asal seakan ikut menghitung langkah kaki si Manis. Sepasang obsidian hitam miliknya terus menatap lurus pada sosok itu, sosok yang sudah mencapai anak tangga terakhir dan mulai beranjak ke arah kiri menuju kamarnya.

Ya, Bright hanya ingin menghindar.

Sampai kehadiran Bunda yang tiba-tiba duduk di salah satu bangku di dekat Bright, membuat si tunggal terjengkat kaget.

“Bunda kenapa suka menampakkan diri tiba-tiba, sih...”

Bunda hanya bisa menggeleng, lalu meraih tangan Bright untuk dihadiahi elusan singkat.

“Kenapa nggak ikut Win ke atas?” tanya Bunda.

Bright menghela pelan nafasnya, “we are not in a good condition again, Bunda.”

“Oh ya? Kenapa lagi? Kayaknya beberapa hari lalu Bunda denger kamu telfonan sama Win, deh. Bunda kira kalian balikan...”

Kini, giliran Bright yang menggeleng, “waktu itu kita saat teduh bareng. Dan Bright juga sempet mikir kalau kita bakalan baik-baik aja, tapi ternyata sifat jelek Bright belum hilang, Bunda.”

“Sifat jelek?”

Bright berdehem, disusul sebuah anggukan singkat, “Kemarin Bright liat Win dateng ke sekolah sama orang yang paling nggak Bright suka.” jawab si tunggal, menggebu-gebu.

Elusan tangan Bunda kini naik menyentuh lengan sang putera, “oke, terus? Apa Win tau kalau kamu ngeliat dia dateng sama orang yang nggak kamu suka?”

“Tau ataupun enggak, nggak akan mengubah fakta kalau Win dijemput sama orang lain, Bunda...”

Bunda tertawa mendengar jawaban Bright, dicubitnya pelan lengan yang sebelumnya ia tenangkan dengan beberapa kali elusan itu. “Katanya udah putus, kok masih cemburu, hm?”

“BUNDAAA…!!!”

Benar bukan… Walaupun sudah menginjak usia 18 tahun, Bright tetaplah putera kecil bagi Bunda. Bayi besarnya. Kesayangannya.

Lantas Bunda menarik tangan Bright agar pemuda itu bangkit dari sisi meja, “nanti kita obrolin sama-sama. Kita cari jalan tengahnya, baiknya bagaimana. Sekarang, right now… you go up young master. Ganti baju, temenin Win. Bunda tunggu di sini.”

Ya sudah, jika Bunda sudah bersabda, apa Bright bisa membantah? Bright 'kan anak Bunda…

. . .

“Mau ganti softlens?”

Suara lembut Bright yang tanpa aba-aba hadir di dekatnya, membuat Win terpaksa harus berhenti mengucak matanya yang terasa gatal. Win menoleh ke sisi kanan, hanya untuk mendapati Bright kini berdiri di sampingnya, sedang membuka kran dari wastafel.

Win bergeser sedikit, memberi ruang bagi si empunya kamar untuk membasuh wajahnya.

“Gue nggak bawa softlens hari ini.” jawab si Manis.

Bright mulai sibuk membubuhkan busa di wajahnya. Terkesan mengabaikan Win yang berdiri di sampingnya, tak berniat untuk keluar dari kamar mandi kamar Bright sama sekali.

Win membenarkan sedikit letak kacamata baca yang dipakainya. Tubuhnya sengaja ia sandarkan di sisi dinding, satu tangannya turut masuk bersembunyi di saku celana seragam abu-abu miliknya. Matanya menatap Bright yang masih membersihkan wajahnya. Diam-diam, Win melirih, amat sangat merindukan suasana seperti ini.

Suasana tenang dimana ia dan Bright akan sama-sama menggunakan kamar mandi sebelum pergi tidur. Terbiasa mencuci muka bersama, sikat gigi bersama, kumur-kumur dengan larutan penyegar bersama, lalu saling menatap wajah satu sama lain lewat cermin di depan mereka.

Kebiasaan sebelum tidur yang pasti akan dilakukan jika keduanya bermalam di kediaman satu sama lain.

Bright kembali menyalakan kran air, lalu membersihkan busa-busa di wajahnya. Tidak lama setelah itu, Bright sudah bisa membuka kedua matanya dan langsung dihadapkan dengan seseorang yang kini sedang menatapnya melalui cermin. Sepasang mata bulat nan sendu di balik lensa bening yang terpasang di wajahnya, berhasil membuat jantung Bright berdetak cepat. Sangat cepat. Lebih cepat dari biasanya.

Dan keduanya kian larut pada dalamnya rasa yang tersimpan di balik dua pasang obsidian beda warna itu. Ada banyak kata yang tersirat lewat tatap masing-masing, meski tanpa suara, ada rindu dan penyesalan yang sama-sama disampaikan dalam diam.

Mata itu,

Mata yang menatap Win nyalang di malam tanggal 6 Januari. Menatap Win marah. Menatap Win nanar, tanpa menampung ampun dan kesempatan.

Win masih ingat bagaimana pertengkaran mereka di taman malam itu. Masih ingat juga akan kerasnya dinding hati Bright kala itu. Masih melekat jelas dalam benaknya betapa Bright tidak mau memberikan kesempatan.

Semuanya tersusun rapi bagai sebuah film pendek, kembali berputar memanggil memori yang masih segar.

Mata itu,

Dulunya selalu tersenyum, membentuk bulan sabit, indah… penuh rasa.

Mata itu,

Satu minggu yang lalu memerah, menahan luka dan amarah, tidak ada sabit yang terbentuk, tidak ada binar yang terselip…. tanpa rasa.

Mata itu,

Hari ini terlihat sendu. Masih tidak tampak sabit di ujungnya, tidak juga ada rasa yang singgah… tidak terbaca.

Jika boleh jujur, walaupun keduanya sudah sama-sama mau bicara pada satu sama lain, Win masih menyimpan lukanya sendiri. Ia harus menahan luapan emosi di balik dadanya seorang diri. Tidak ada yang tau soal rasa yang ditanggung, tidak ada yang paham soal duka yang dipikul, hanya dirinya dan Tuhan yang mengerti sebesar apa porsinya, sedalam apa lubang yang tercipta.

Mata itu,

Mata yang dirindukannya. Yang kini dalam diam menguncinya di sebuah titik mutlak, tanpa kata, tanpa rasa.

Win tidak bisa. Ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan fakta kalau Bright sudah benar-benar berdiri di kutub yang berbeda dengannya. Win tidak ingin jadi Utara yang jauh dari Selatan. Win, tidak bisa… Ia tidak terbiasa dengan situasi dimana dirinya tidak lagi dicinta oleh Bright.

Lagi-lagi faktor terbiasa.

Ketergantungan ada karena terbiasa.

Dan diamnya Bright yang menjadi bukti bahwa tak ada lagi makna tertinggal, kini Win memutuskan untuk mengalihkan pandangan dan segera bergegas meninggalkan kamar mandi. Termasuk Bright, yang lagi dan lagi ditinggal seorang diri.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Bright akhirnya beranjak menyusul Win yang sudah keluar dari kamar mandi lebih dulu. Win terlihat sedang memilih baju mana yang bisa ia pakai kali ini. Meski sadar akan eksistensi Bright di sekitarnya, Win tetap memilih abai. Karena baginya, diam adalah pilihan terbaik ketika dihadapkan dengan sebuah situasi dimana ia takut untuk maju, tapi terlalu percaya diri untuk mundur.

Rasanya pada Bright, masih ada. Jelas… it has to be Bright and will always be Bright, baginya.

Tapi terlalu takut maju, enggan bertepuk sebelah tangan. Juga terlalu percaya diri untuk mundur, karena meskipun tanpa rasa… Win tau… Fokus mata Bright masih lah untuknya.

Bright duduk di tepi kasur, lagi dan lagi menyaksikan Win yang mulai mengangkat satu persatu pakaian lipat di lemarinya.

“piyama lo yang bahan satin ada di pojok sebelah kiri.” ragu-ragu, Win melirik Bright lewat ekor matanya.

Tangannya bergerak menelisik bagian pojok kiri lemari. Mengangkat satu persatu pakaian lipat di sana sampai berhasil ia temukan sepasang piyama satin miliknya, lalu diambilnya setelan pakaian tidur itu.

“Mau ganti di kamar mandi atau di sini aja kayak biasa?”

Win berbalik, melangkah mendekat pada kasur besar milik Bright.

“Di sini aja.”

Dan Bright hanya mengangguk. Pemuda 18 tahun itu pun memberi kesempatan pada Win untuk mengganti pakaiannya, sedangkan ia sendiri beranjak menuju lemari untuk mencari pakaian ganti untuknya sendiri.

Sampai sebuah suara menginterupsi Bright dari aktivitasnya,

“Ackkk, aishhh!!!”

Lalu Bright terkekeh kecil melihat kejadian lucu di depan matanya. Win, tengah berusaha melepas hoodie hitam yang ia pakai tapi lupa melepas kacamata yang masih terpasang di tempatnya. Alhasil, Bright pun menahan gerak tangan si Manis, menurunkannya sedikit, dan beralih melepas tangkai kacamata dari lipatan telinga Win.

“Kebiasaan, dilepas dulu kacamatanya, baru buka baju.” ujar Bright, lalu menyimpan kaca mata baca milik Win di meja kecil di samping kasur.

Malu, malu banget rasanya… mau nangis…

“Makasih.” ya sudah, singkat, padat, jelas. Namanya juga kepalang malu ya, Win?!

Bright cuma bisa menggeleng menahan gemas. Ingin memeluk, nggak bisa. Ingin mencium, udah gila, kali?!! Ya sudah… Berbalik kembali mencari pakaian di lemari memang pilihan terbaik untuk saat ini ya, Bright?

. . .

(akan dijabarkan doa makan malam secara agama kristiani oleh Bunda-nya Bright, jika ada readers non-kris yang ingin melewati bagian doa, harap segera discroll ke bawah untuk satu paragraf ini ya, terima kasih!)

“... kiranya Tuhan mau berkati segala aktivitas yang kami lakukan dari pagi kami membuka mata sampai pada malam hari ini, sehingga tiba waktunya bagi kami sekeluarga untuk bisa duduk bersama-sama di tempat ini, bersatu melipat tangan dan bersyukur atas berkat dan kasih karunia Tuhan yang tidak pernah berhenti mengalir dalam hidup saya, dalam hidup anak saya Bright, dalam hidup anak saya Metawin dan keluarganya, sehingga juga kami bisa bersiap untuk menikmati berkat-Mu yang tersaji di depan kami saat ini… Tuhan, apa yang kami makan dan apa yang kami minum semuanya berasal daripada-Mu saja, kiranya apa yang kami nikmati pada malam hari ini bisa menjadi berkat dan sumber kekuatan bagi kami sekeluarga. Tuhan, tolong lindungi Ayah kami tercinta, selaku kepala keluarga yang mungkin sekarang masih sibuk dengan pekerjaannya, kiranya Tuhan mau senantiasa memberi kekuatan dan hikmat kebijaksanaan bagi beliau agar terus bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan pada anak-anakNya. Berkati juga Mama, Papa dan Mick yang sekarang ada di rumah yang berbeda dengan kami, kiranya Tuhan mau berkati segala sesuatu yang mereka lakukan. Demikianlah doa yang jauh dari kata sempurna kami naikkan ke hadirat-Mu ya Bapa, di dalam nama Tuhan Yesus, Tuhan dan Juruselamat kami, kami berdoa dan mengucap syukur, Amin.”

Kesepuluh jari yang dilipat bertautan kini sudah lepas seutuhnya. Mata yang sempat memejam kini sudah terbuka. Di depan ketiganya, lebih tepatnya di atas meja makan, kini tersaji beberapa menu makan malam masakan Bunda. Meja makan yang besar kali ini hanya ditempati oleh tiga orang; Bunda di bangku tunggal tempat biasa Ayah duduk, sedangkan Bright dan Win duduk berdampingan, seperti sedia kala.

Seolah masih membawa kebiasaan lama, Win tanpa ragu mengabaikan piringnya dan mengambil piring kosong milik Bright kemudian ia isi dengan satu cakupan sendok nasi.

Win menoleh ke sisi Bright, “cukup, nggak?”

“Tolong tambahin sedikit aja lagi...”

Win mengangguk, “oke.”

Lalu Win beralih mengambil mie goreng seafood buatan Bunda dengan garpu, dan menuangkannya pada piring milik Bright. “Mau pakai potongan baksonya juga?” tanya Win.

Dan Bright, hanya bisa mengangguk.

“Mau apa lagi? Sapo tahu mau nggak, Bii?”

Bii,

Bii,

Bii,

Bii...

Win seolah baru saja disambar geledek di siang bolong. Tangannya yang semula memegang sendok di sebuah mangkuk besar berisi sapo tahu kini mengapung di udara, matanya beralih melirik piring yang sudah hampir penuh dengan nasi dan lauk-pauk.

“Lo ngapain ngambilin makan buat Bright, Win… Astaga… Nggak bisa konsentrasi sedikit aja, apa???”

Karena sudah terlanjur bersikap layaknya 'pacar' dari si mantan kekasih, Win pun menghela pelan nafasnya dan berusaha terlihat baik seakan tidak ada hal aneh yang baru saja terjadi. Kepala si Manis menoleh ke arah Bright yang cuma bisa diam di posisi duduknya.

“Mau nggak sapo tahu?” dan Win pun mengulang pertanyaannya.

Bright melirik Bunda sesaat, tapi Bunda hanya tersenyum kecil sambil melanjutkan kunyahannya pada sebuah apel yang tinggal separuh.

Lantas dengan canggung, Bright mengangguk, “sedikit aja, Win...”

“Okeee.”

Dan ketika piring makan Bright sudah terisi dengan nasi, mie goreng seafood dan juga sapo tahu, Win pun menyerahkan piring makan itu pada Bright.

Lalu tanpa kata, Win mulai mengisi piring makan miliknya sendiri.

“Win, sayang,”

Suara lembut Bunda menginterupsi gerakan tangan Win yang sedang menuangkan nasi ke piringnya. Dibalasnya tatapan Bunda dengan lembut, “ya, Bunda?”

Sambil membalik piring makannya di atas meja, Bunda pun melanjutkan ucapannya, “Win nginep semalem ya di sini, sayang… Habis makan, Bunda mau ngobrol sama Win sama Bright, boleh?”

Tuhkaaan… Pasti mau disidang, nih…

Tapi yang namanya Win, mana bisa menolak permintaan Bunda cantiknya ini. Alhasil dengan pasrah ia mengangguk, “oke, Bunda...”

“Ya udah, ini Bunda langsung kabarin Mamah ya, kalau kamu nginep di tempat Bunda malem ini? Mamah di rumah, 'kan ya, nak?”

Masih dengan senyum manisnya, Win menjawab, “iya, Mamah di rumah, kok, Bunda.”

Dan sesudah itu, Bunda mulai sibuk dengan ponselnya; memberi kabar pada keluarga Win sedangkan Win mulai sibuk mengisi piring makannya.

“Kata Mamah, kamu mau diinepin di sini sebulan juga nggak masalah, hahaha...”

Ya ampun, iya lah nggak masalah… 'Kan Mamah nggak tau kalau gue sama Bright udah putus… keluh Win, dalam hati.

“Mamah kayaknya seneng-seneng aja kalau Win diculik orang, jadinya di rumah porsi makannya bisa diirit, deh.” sahut Win, sambil memasukkan suapan pertama ke mulutnya.

Bunda hanya tertawa kecil, “hush, jangan ngomong sembarang. Kalau gitu, Bunda ke kamar sebentar, ya? Selamat makan anak-anak Bunda...”

Dan lagi… Terjadi…

Bright dan Win, kini hanya bisa makan dalam diam. Suasana di ruang makan pun sepi, keheningan diisi dengan suara dentingan sendok dan garpu yang menyentuh piring.

. . .

Ketiganya kini duduk berhadapan di ruang keluarga. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih satu setengah jam untuk makan malam, kini Bunda mulai menatap Bright dan Win yang lagi dan lagi harus duduk berdampingan, secara bergantian.

Kedua anak adam itu khawatir luar biasa. Bright, walaupun ia sudah tau kalau 'momen' ini akan tiba pun tetap saja merasa gugup. Bright bahkan tidak bisa mengira-ngira, pertanyaan seperti apa yang akan dilayangkan oleh sang Bunda kepada dirinya dan juga Win.

Win, tidak kalah gugup. Pikirannya melanglang buana memikirkan how their conversation will go, karena Bunda belum mengucapkan apa-apa, padahal sudah hampir sepuluh menit berlalu mereka habiskan untuk duduk di sofa yang berhadapan dalam diam.

Namun di detik berikutnya Bunda berdehem. Lagi dan lagi senyum manis tidak lupa hadir di wajahnya yang masih tampak begitu muda padahal usianya sudah hampir memasuki kepala 4.

“Win, Bunda sudah tau kalau kamu dan anak Bunda sudah sama-sama sepakat untuk menyudahi hubungan kalian. Walaupun Bunda sendiri menyayangkan sekali ya, nak… Sudah mau 3 tahun 'kan ya, nanti tanggal sembilan belas? Bunda jadi sedih deh, berarti Bunda nggak akan masak-masak lagi sama Mamah buat ngerayain hari jadi kalian berdua,”

“Tapi nggak apa-apa, kalau itu yang terbaik buat kalian, Bunda bisa apa...” sambung Bunda, seraya terus mengamati gerak-gerik dua anak tampan itu.

Bright, masih sama… terlihat tanpa rasa.

Win, pemuda manis itu mulai meremat jari-jari tangannya.

Bunda masih terus menatap Win, tapi anak manis itu memilih untuk tetap menunduk.

Bunda belum melanjutkan ucapannya, tapi pergerakan tangan Win yang terangkat menuju wajahnya sendiri berhasil menciptakan kuriositas tersendiri bagi Bunda.

Lalu terdengar isakan putus-putus.

“Win?”

Jika tadi hanya satu tangan yang bergerak menghapus air mata di wajahnya, kini dua tangan Win sudah menangkup wajahnya sendiri.

Bright masih diam. Hatinya… sakit. Bahkan dalam diamnya pun, ia masih membuat Win menangis.

Bunda turut membiarkan Win menumpahkan sakitnya, memberikan waktu pada si Manis untuk meneteskan air matanya.

Sampai dirasa isakannya mulai mereda, Win dengan lugas membersihkan jejak air mata di wajahnya. Menghela nafas dalam, lalu memberanikan diri untuk membalas tatapan Bunda… yang begitu lembut padanya.

“B-bunda...”

“Iya, sayang… Win, anak Bunda...”

Win kembali menyeka air matanya yang tak sengaja jatuh menuruni pipi, “t-tolong bilang ke B-bright… tolong bilang k-ke Bright… Kalau Win masih s-sayang… Win nggak mau nyerah, W-win nggak mau Bright berhenti percaya sama Win… W-win mohon, B-bunda...”

Bunda terhenyak. Melihat Win menangis dan memohon di hadapannya, padahal Bright ada di sana, duduk tepat di samping si anak yang menangis… Tapi rasanya Win terlalu takut, takut untuk mengatakannya langsung pada Bright.

“Win t-tau Win salah, Bunda… Semua masalah memang berawal dari W-win. Tapi Win udah minta m-maaf… Berulang kali Win u-udah minta maaf ke Bright, t-tapi Bright nggak mau, hiks...”

“Bukan gue nggak mau, Win. Kita emang udah nggak bisa lanjut. That's the point.”

Win melirik ke sisi kanan, menatap Bright dengan sepasang matanya yang dipenuhi genangan buliran bening.

“Kenapa? Kenapa nggak bisa? B-bilang ke gue alesan lo nggak bisa lanjut tuh apa, Bright?!!”

Dipojokkan seperti ini, amarah Bright sedikit terpancing. Tapi ia sudah janji pada dirinya sendiri… tidak boleh ada lagi bentakan, tidak boleh ada lagi emosi. Jadi Bright menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan, lalu membalas tatapan Win. Lurus. Mutlak.

“Gue nggak bisa, Win. Setiap gue ngeliat mata lo, gue marah. Gue kecewa. Gue nggak bisa jamin ini akan berlangsung sementara. Gue takut, gue khawatir kalau cara gue memandang lo nggak akan pernah bisa sama lagi. Gue takut, Win.”

Dengan kasar Win kembali menghapus air matanya. Ia pastikan matanya bisa menatap Bright dengan jelas. Win tidak mau genangan air mata itu menghalangi kesempatannya untuk memandang Bright… tidak, tidak mau. Maka dengan serampangan ia terus-menerus berusaha menghilangkan buliran kristal dari pelupuk matanya.

Dan hal tersebut berhasil membuat Bright kalah, lagi. Ia tidak mau melihat Win menyiksa dirinya sendiri. Maka diraihnya kedua tangan Win, untuk digenggam.

“Matanya nanti sakit. Udah, udah.”

“B-bright,”

Yang dipanggil menautkan salah satu alisnya, “ya, Win?”

“B-bright… tolong liat mata gue, kita buktiin ya, apa lo masih marah sama gue… A-apa lo masih kecewa sama gue...”

Inginnya, Bright menolak. Tapi melihat Win yang lagi dan lagi memohon, Bright tidak punya kuasa untuk menolak.

Lantas Bright mengangguk, ditatapnya sepasang mata sayu milik Win. Mata itu… mata yang tidak pernah gagal membuatnya jatuh cinta. Sejak dulu, bahkan sampai detik ini.

“M-masih marah, Bii?”

Mata itu… mata yang dahulu selalu jual mahal, kini mengemis… dan memohon.

“Masih, y-ya? Maaf...”

Lantas Win memutuskan tatapan mereka secara sepihak. Pemuda manis itu kembali menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangan yang kini menangkup di sisi kiri dan kanan pipinya.

Dan Bright, pertahanannya sudah runtuh. Ia menyandarkan tubuhnya dengan keras di sandaran sofa, lalu menutup kedua matanya dengan lengan kanan.

Bunda yang melihat pergumulan kedua anaknya jadi tidak tega. They went through a lot. Jadi Bunda putuskan untuk mendekat pada keduanya. Mengambil posisi duduk di tengah-tengah, membiarkan Bright dan Win sama-sama meredakan emosi sesaat mereka.

Satu tangan Bunda bergerak mengelus sayang punggung Win, dan satu tangannya yang lain turut mengusap bahu bidang sang anak.

“Bright, Win, Bunda nggak mau terlalu ikut campur masalah kalian, tapi Bunda di sini mau membantu anak-anak Bunda supaya ketemu jalan tengahnya. Karna dari yang Bunda liat hari ini, Win masih mau berjuang sama Bright, dan dari apa yang Bunda liat beberapa hari lalu, Bright juga masih mau berjuang sama Win.”

“Tapi, kalau Bunda boleh tanya, masalah apa yang sampai bikin kalian akhirnya sepakat untuk berpisah?” sambung Bunda.

Bright berdehem, lalu tanpa mengubah posisinya, pemuda itu menjawab pertanyaan sang Bunda, “Bright cemburu sama temen sekelas Win, Bunda. Orang yang nggak Bright suka.”

“Tapi Luke cuma temen gue, Bright,” Win beralih menatap Bright sesaat, lalu tak lama ia bawa pandangannya pada Bunda, “Luke cuma temen sekelas Win, Bunda… Dan Win sama sekali nggak ada keinginan untuk deket sama Luke lebih dari temen.”

“Gue liat lo berangkat sekolah bareng Luke kemarin.” ucap Bright, jauh lebih tenang dibanding sebelumnya.

Win menggeleng pelan, “kemarin mobil gue bannya bocor di depan smansa. Dan gue nggak sengaja ketemu Luke yang baru keluar dari komplek rumahnya, dan dia nawarin gue untuk berangkat bareng karna gue nggak mungkin nunggu Pak Indra dateng buat handle mobil. Udah, lo salah paham lagi… Lo ambil kesimpulan sendiri lagi tanpa mau nanya ke gue, tanpa mau dengerin penjelasan gue.”

Kali ini, Bright diam. Lo salah paham lagi… lo ambil kesimpulan sendiri lagi tanpa mau nanya… tanpa mau dengerin penjelasan… and that's on point, bukannya Win yang tidak mau jujur, bukannya Win yang sudah tidak sayang, bukannya Win yang sudah tidak perduli. Tapi Bright yang tidak mau dengar, tidak mau percaya, tidak mau bertanya.

Being in Bright's position is honestly not easy, too. Ini adalah kali pertama hubungan keduanya mengalami masalah besar. Ini adalah kali pertama, keduanya berjumpa dengan rasa ragu. And it's all okay, hidup akan selalu berjumpa dengan pengalaman baru yang tak bisa dikira. Bright yang terbiasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling mencinta pun merasa goyah, sempat berpikir apakah Win sudah lelah… Apakah Win pernah memikirkan perasaanya?

Tapi apa yang terjadi di taman dan juga apa yang terjadi pada hari ini menjadi tanda, bahwa cintanya berbalas, cintanya tidaklah sia-sia. Win bahkan berani memohon berulang kali… dan tidak seharusnya Bright meragukan Win untuk hal-hal yang ditakutinya selama ini.

Bright lantas meraih satu tangan Bunda dan menggenggamnya kuat, ia bawa tangan itu mendekati wajahnya, Bright menundukă…ˇ membebankan semua rasa penyesalan di punggung tangan sang Bunda.

“Bright terlalu larut dengan ketakutan Bright sendiri… Bright terlalu takut sampai Bright lupa untuk mikirin gimana perasaan Win, Bright nyesel, Bunda...”

Bunda meletakkan kepalanya tepat di atas kepala sang anak, Bright… anaknya, sedang belajar jadi dewasa. Dan penyesalan anak itu kini jadi pertanda bahwa mungkin saja Bright sudah sadar akan kesalahannya sendiri.

“Nggak ada manusia di dunia ini yang bebas dari kesalahan. Semua orang pernah buat salah, termasuk Bunda. Tapi selain kita harus terima kalau kita ini manusia berdosa, kita juga harus belajar untuk terima apa-apa saja dan bagaimana bentuk kesalahan kita. Bright, anak Bunda yang paling ganteng… Sekarang dengerin Bunda, Bunda mau tanya, apa masih ada lagi kesalahan Win yang belum bisa Bright maafin?”

Bright menggeleng, “Win udah minta maaf terus ke Bright, tapi Bright yang nggak pernah mau perduli. Bright salah udah ambil langkah, Bright salah udah nentuin keputusan sendiri...”

“Jadi sekarang Bright tau 'kan ya, nak, kalau dalam hubungan itu bukan lagi tentang siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Sekecil apapun kecurigaan, harus diomongin baik-baik. Kalian berdua sama-sama menjalani hubungan serius, itu artinya Win punya hak dan kewajiban dalam hubungan kalian dan demikian juga Bright, harus sama-sama percaya, sama-sama menghargai.”

“Cemburu itu wajar. Wajar sekali. Cemburu itu tanda sayang, tapi jangan sampai rasa cemburu yang tadinya tanda sayang berubah jadi rasa marah dan rasa ragu. Itu nggak baik. Itu artinya Bright nggak percaya sama Win, begitupun sebaliknya.”

Win, diam.

Bright juga diam.

Bunda tersenyum kecil, setidaknya tensi di antara kedua anaknya sudah tidak lagi tinggi.

“Bright mau janji sama Bunda dan sama Win, kalau mulai sekarang, Bright nggak akan mudah cemburu lagi karna Bright punya rasa percaya yang besar sama Win ya, sayang ya? Kalau ada hal yang bikin Bright nggak nyaman, Bright bisa bilang ke Win baik-baik tanpa harus melukai perasaan Win. Win juga, sayang, dengerin Bunda. Kalau nanti-nanti Bright curigaan lagi sama Win, atau mudah cemburu sama Win, ambil sisi positifnya aja ya, nak… Itu artinya Bright sayang sama Win, habis itu Win sertakan nama Bright dan pergumulan kalian dalam doa. Apapun kesalahan yang kalian lakukan, akui dan belajar saling memaafkan, oke?”

“Bunda tau, anak-anak Bunda ini anak-anak Tuhan yang baik. Yang selalu punya kasih sama seperti kasih Tuhan buat anak-anakNya. Sekarang Bright, Win, liat Bunda,”

Kedua anak yang dipanggil pun mengangkat pandangan mereka, sempat memandang satu sama lain untuk sesaat (dengan mata masing-masing yang dipenuhi genangan) lalu keduanya beralih menatap Bunda.

Bunda menyatukan kedua tangan Win untuk bergabung dengan tangannya dan juga tangan Bright. Ketiga pasang tangan itu saling bertumpu, mencuri genggam satu sama lain.

“Sekarang kita berdoa, ya? Sama-sama minta maaf dan bilang makasih sama Tuhan. Biar Bunda yang pimpin doa, nanti sebelum tidur kalian saat teduh bersama, dan bisa doa masing-masing.”

Bunda melirik Bright yang hidungnya sudah memerah. Dengan gemas, Bunda mencium hidung mancung itu.

Lalu Bunda melirik Win yang pipinya juga memerah. Maka dengan gemas pula, Bunda mencium pipi kanan si anak manis.

“Lucunya anak-anak baik ini...”

“Oke, kita bersatu dalam doa.”

. . .

Waktu sudah akan memasuki jam setengah sembilan malam ketika Bright menekan tombol send pada ponselnya. Sudah sekitar dua puluh menit keduanya sibuk dengan ponsel mereka, walaupun sudah berbaikan, sudah puas menangis di depan Bunda, dan sudah sama-sama bergelung di balik selimut yang sama.

Win di sisi kiri kasur, dengan posisi membelakangi si teman tidur, sama sekali tidak bisa menahan senyum ketika sebuah pesan singkat masuk ke dalam ruang obrolannya bersama Bright.

Lantas si Manis pun mulai mengetikkan pesan balasan. Diam-diam, ia curi-curi pandang ke sisi kanan kasur dimana Bright juga melakukan hal yang sama; berbaring dengan posisi membelakangi, sambil menggenggam ponsel canggih miliknya.

Oke, the message has been sent!

Lalu Win membawa tubuhnya untuk bersandar di headboard kasur. Melirik Bright yang masih asik senyum-senyum sendiri, dan hendak mengetik pesan balasan untuk Win.

Namun belum sempat Bright mendaratkan ujung ibu jarinya di layar ponsel, Win lebih dulu memecah keheningan di antara mereka.

“Bright, here, cuddle with me.”

Bright membalik posisi tidurnya, memandang Win dengan posisi terlentang. Satu matanya memicing, “gue belum bales chat lo tapi, yang...”

“Kita kayak orang bener tau nggak, sih. Tidur sebelahan, tapi malah chattingan. Nggak asik ah, nggak mau, gue mau meluk lo, mau cium-cium lo, sini… mauㅡ”

Belum rampung semua ucapan Win, Bright sudah lebih dulu merangkak masuk ke dalam dekapan Win. Dipeluknya pacarnya itu erat-erat, demi Tuhan… Masalah sebesar apapun yang akan menantinya di masa depan, Bright…. tidak akan pernah lagi melepas Win. Bright tidak akan menyakiti hati Win lagi. Bright akan belajar jadi dewasa untuk dirinya sendiri, untuk Win, dan juga untuk kelangsungan hubungan keduanya.

Bright menyatukan wajahnya dengan perpotongan leher jenjang si Ayang. Win pun tidak protes, dengan penuh sayang ia berikan elusan lembut di sepanjang punggung Bright yang malam itu terbalut kaos oblong berwarna abu-abu.

Win menyandarkan sebagian sisi wajahnya tepat di atas kepala Bright, “Win sayang Bright...” bisiknya, pelan.

Bright terkekeh, lalu mencuri satu kecupan panjang di leher Win, “Bright lebih sayang Win… Maaf, kemarin-kemarin Bright udah bikin Win nangis terus.”

Masih dengan tangannya yang mengelus lembut punggung si kekasih hati, Win berucap… yakin dan sungguh-sungguh, “i have seen the best of you and the worst of you, and i wholeheartedly choose both.” lantunan suara lembut itu menggelitik telinga Bright yang berada di dekat bibir si Manis.

“Glad it was not an end for us, it's actually an and...”

Dengan gerakan cepat yang tak sempat diantisipasi oleh Win, Bright kini naik ke atas tubuh si Manis, berusaha memenjara gerak bebas kekasihnya agar tak bisa menghindar. Wajah keduanya saling berhadapan di jarak yang amat sangat dekat. Aroma mint yang menguar dari mulut keduanya, memberi sensasi hangat di permukaan wajah masing-masing.

Win mengusap pipi tirus Bright penuh sayang, “kita sama-sama belajar untuk memperbaiki diri ya, Bii? Gue nggak bohong, gue sayang banget sama lo...”

Bright semakin menunduk, memiringkan wajahnya dan memagut bibir Win dalam satu kali gerak. Win yang juga merindukan pacar nakalnya ini, dengan senang hati membalas ciuman dan pagutan Bright.

Setelah cukup lama saling melumat, Bright melepas ciumannya, “pelan-pelan, kita belajar dari awal pelan-pelan nggak apa-apa ya, Win?”

Win mengangguk, menyetujui. Seulas senyum lebar terlukis di wajah Win yang luar biasa cantik malam itu. Di bawah cahaya redup kamar Bright, Win mengalungkan kedua tangannya di leher sang kekasih.

“Kiss me again? Deeper, and nonstop, please?”

Win bertanya dengan tone suara yang lembut. Jari-jari panjangnya bergerak memberikan elusan kecil di tengkuk lelakinya.

Bright tidak langsung mengiyakan. Pemuda itu tampak berpikir sesaat, sebelum tanpa aba lagi ia balik posisi keduanya. Win, kaget. Dalam hitungan detik, ia sudah duduk di atas perut Bright.

Satu tangan Bright memeluk pinggang ramping Win, mengelusnya pelan, mengajaknya mendekat. Win yang mengerti akan gestur tersebut pun langsung menunduk, menyelipkan kedua tangannya tepat di bawah leher Bright, lalu meraup bibir sang kekasih dalam satu kali gerak.

Berbagi ciuman lembut dan terkesan sedikit terburu-buru setelah melalui pergolakan batin antar satu sama lain, adalah yang terbaik.

Baik Bright dan Win kini sama-sama menyalurkan perasaan mereka; rindu, cinta, dan kelegaan dalam pagutan panjang tak perduli waktu.

Win berkali-kali memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, berusaha membuat ciuman mereka jadi lebih dalam… jauh lebih dalam lagi.

Satu tangan Bright bergerak mengusap punggung Win yang terbalut piyama berbahan satin. Memberikan tempo di sana, agar Win bisa menyesuaikan laju ciuman mereka.

Win meraih bibir atas Bright untuk ia gigit, ia tahan dengan bibirnya sendiri selama kurang lebih sepuluh detik. Win terkekeh sebentar ketika ia dengar Bright merengek, “iya, iya ini dicium lagi.”

Lalu mereka kembali berciuman. Menikmati malam yang kian larut. Menikmati usapan-usapan sensual yang saling dijadikan umpan meski tak ada niat untuk melakukan lebih dari sekedar ciuman.

Bright beberapa kali memasukkan tangannya ke dalam piyama Win, berusaha menjelajah punggung halus itu dengan telapak tangannya. Hanya usapan lembut, Bright hanya menghadiahi Win usapan lembut di punggung polosnya.

Kaki keduanya turut bertaut di balik selimut.

Malam indah yang dinantikan akhirnya tiba… Win tidak pernah salah, ketika ia mantapkan hati untuk selalu percaya pada Bright.

Kunci dalam hubungan, rasa percaya, 'kan?

Baiklah, biarkan Bright dan Win belajar untuk sama-sama melimpahkan rasa percaya pada satu sama lain.

It's over, it really is over.

Yes,

The war is over.

. . .

JEYI // 210116.

It's not that the love is no longer here, it's just me being afraid that someday i will break him into pieces over again, it's just me… and my own worries. ㅡ Bright.

total words: 3.425 words.

Air mata Win adalah bukti kegagalannya. Sebab dari awal Bright sudah pernah janji pada dirinya sendiri, tidak akan pernah… satu kalipun… tidak akan pernah ia buat pemuda manisnya menangis. Hampir 3 tahun sudah ia pertaruhkan janjinya itu. Apapun… apapun akan ia lakukan untuk Win, tapi ketika rasa percaya dan cintanya yang besar digoyahkan, Bright kini bertanya-tanya mencari validasi, siapa yang gagal di sini? Win, ataukah dirinya yang terlalu gegabah dengan rasa cemburu? Dan pertanyaannya terjawab ketika Win untuk pertama kalinya menangis. Menangisi kisah mereka yang hancur dalam hitungan detik. Menangisi rasa ragu yang kian jadi pembatas.

Seperti apa kata janjinya beberapa tahun silam… air mata Win adalah kegagalan baginya. Bright sadar, ia sudah gagal memperjuangkan Win dan juga janji-janjinya sendiri.


Udara malam yang terasa begitu dingin rasanya tak mampu membujuk Bright untuk segera pulang ke rumah. Tepat sesaat setelah ia antar sang terkasih sampai ke depan gerbang rumahnya, Bright justru membawa langkah kakinya kembali ke taman; tempat dimana beberapa menit yang lalu ia singgahi bersama Win. Untuk bicara, untuk bertengkar, untuk meluapkan emosi masing-masing, dan untuk berpisah.

Bright duduk di ayunan yang samaă…ˇ yang sempat ia duduki ketika menunggu kedatangan Win. Satu tangannya menggenggam kuat rantai ayunan; menggerakkan benda itu secara perlahan sampai tubuhnya ikut terayun menerjang dinginnya angin malam. Sedangkan satu tangannya yang lain sibuk menggenggam ponsel dimana ruang obrolannya dengan Win masih terpampang jelas di sana.

Ya, Bright baru saja mengirimkan beberapa pesan singkat pada pemuda manis itu. More like the last messages, sebelum mereka benar-benar akan bersikap layaknya seperti orang asing, di hari esok.

Sepasang manik mata Bright masih menatap… menunggu Win membalas serangkaian pesan darinya. Dan seketika, bayang-bayang pertengkaran keduanya tadi kembali melintas dalam benaknya.

Bright ingat, bagaimana Win memohon lewat tatapannya.

Bright juga ingat, bagaimana kilat penuh rasa takut itu turut hadir di balik sepasang obsidian kecokelatan yang dulu selalu terlihat cantik. Bright tidak mau munafik, bahkan ketika di ujung rasa sedihnya, Win masih terlihat cantik. Sempurna.

Win akan selalu jadi definisi sempurna yang mutlak dalam kamus hidup Bright.

Bright ingat, bagaimana Win menangis di depannya. Menangisi semuanya. Menangisi kegagalan mereka. Menangisi kesempatan yang rasanya begitu sulit untuk digapai.

Bright tau, Win masih ingin memperjuangkan hubungan keduanya. Bright tau, Win masih begitu menyayanginya. Dan Bright juga tau, ia sudah salah langkah dengan mengakhiri kisah mereka; perjalanan panjang keduanya.

Hanya karena rasa cemburu, hanya karena rasa marah dan kecewa yang terlalu besar, Bright rela mengorbankan perasaan Win… juga perasaannya sendiri.

Bright sadar akan kesalahannya, tapi air mata Win adalah jawaban… bahwa keduanya sudah kalah.

Mereka bahkan bertengkar sambil menangis. Tidak satu kalipun mereka coba untuk bicara baik-baik, dan malah membiarkan amarah lagi dan lagi menguasai diri.

Bright hanya terjebak; dengan rasa cemburu dan janjinya di masa lalu.

Janji untuk tidak akan pernah membuat Win menangis.

Janji untuk selalu jadi salah satu alasan di balik senyum lebar pemuda manis itu.

Dan janji untuk benar-benar berhenti, apabila ia gagal menggenapi kata-katanya.

Karena ketika setetes air mata jatuh membasahi wajah Win, di situ Bright sadar… Ia sudah kalah, dan sudah jadi alasan di balik peliknya luka.

Sekalipun ia masih sayang,

Sekalipun ia masih sangat mencinta.

Bright hanya naif, dengan perasaannya sendiri.

Drrrttt…

Lamunan panjang Bright buyar begitu saja ketika ponsel yang ada di dalam genggamannya bergetar. Ia menatap layar ponselnya sedikit lebih lama, dimana ada foto sebuah pemandangan di waktu senja (hasil jepretan tangan Win) terpajang di sana, sambil mengingat betapa antusiasnya si Manis saat memamerkan hasil tangkapannya lewat kamera ponsel milik Bright.

“Gila… Baru kali ini tangan gue nggak gemeteran pas ngefoto sesuatu. Bright, Bright!!! Liat, deh… Bagus, 'kan? Cepat bilang bagus atau no indomie goreng for you tonight.”

Bright bahkan masih ingat, betapa cantiknya wajah Win saat itu. Masih ingat betapa lebarnya senyum yang singgah menemani senja mereka kala itu.

“Gue jadiin lockscreen, ya?!!”

Bright tidak pernah bilang 'tidak' pada permintaan pacarnya itu. Win jarang sekali meminta, hingga tiba waktunya dimana si Manis harus meminta maka yang bisa Bright lakukan hanyalah mengabulkan.

It was taken 2 years ago, yet Bright never changed his lockscreen at all.

Bahkan ketika hubungan mereka sudah resmi berakhir hari ini, Bright tidak ada niat untuk menggantinya dengan foto atau objek lain. Biarkan itu jadi kenangan, yang bisa dilihat dan dikagumi kapanpun ia mau.

Dan begitu Bright sadar kalau ponselnya bergetar akibat pesan balasan dari Win yang baru saja datang, pemuda itu langsung menegakkan posisi duduknya di atas ayunan. Jantungnya berdegup tak karuan, takut Win tersinggung dengan kata demi kata yang ditulisnya.

Ibu jari tangan kanan Bright bergerak menggeser layar ponsel, dan nafasnya tercekat ketika ia baca satu persatu pesan balasan dari Win.

bright, belajar buat persiapan ujian-ujian kelulusan ya, jaga kesehatan :)

i loved u too, and i really do

see u on top, bright :)

Sudah dibuat menangis, sudah dibuat kecewa, sudah dibuat sakit hatinya, tapi Win masih bisa memberikan semangat untuknya.

Bright jadi semakin berpikir, does he even deserve an angel like Win?

Lantas Bright mengunci kembali ponselnya. Merasa tidak lagi layak untuk mengirimkan balasan. Menyimpannya kembali dalam genggaman kuat. Membawa tubuhnya untuk kembali bergerak pelan di atas ayunan, berusaha mengalihkan sesak yang sama sekali tak mau pergi di balik dada.

“Gue juga nggak tau kenapa gue bisa jadi semarah ini, Win. Maaf, gue bener-bener minta maaf...”

Hanya bisa bergumam, hanya bisa berucap tanpa ada balas. Rasa sesal ternyata sudah datang, mengejeknya atas segala hal yang Bright lakukan belakangan ini.

Bright menyesal, sudah menghancurkan segalanya.

Bright menyesal, sudah menutup kesempatan bagi Win untuk mengungkapkan pembelaan.

Bright menyesal, sudah memenangkan egonya, lalu membiarkan rasa sayangnya perlahan-lahan terkikis habis hanya karena ketakutannya sendiri.

Dan satu kali lagi ia menangis, seorang diri… menangisi hancurnya masa depan yang sudah ia rencanakan; dimana ada Win di dalamnya.

Menyesali hari-hari yang akan datang, dimana rasanya tidak akan lagi sama. Tidak lagi ada Win yang menemani. Tidak lagi ada rasa antusias untuk melewati hari.

Yang ada hanya emosi ketika Win hadir di depan mata, yang ada hanya amarah begitu ia lihat sepasang mata Win, tapi saat Bright hanya sendiri… yang ada hanya sedih, juga rasa yang tertinggal.

Bright, bukannya sudah tidak sayang, bukan sudah tidak perduli. Bright hanya terlalu khawatir, jika rasa marahnya akan bertahan untuk waktu yang lama dan kelak akan berubah jadi sesuatu yang tidak ia inginkan; yaitu benci dan pupusnya rasa percaya.

Bright hanya takut, jika memilih untuk bertahan, ia akan lebih sering mencurigai Win. Akan lebih sering menaruh asa dan ragu. Bright tidak mau, ia tidak mau hubungannya dengan Win menjadi tidak sehat.

Dan menurut Bright, berpisah adalah jalan terbaik.

Meski masalah mereka nyatanya tidak tuntas, meski sesungguhnya perasaan mereka masih lah sama.

Tidak ada yang berubah, setidaknya untuk sekarang.

Tapi nasi sudah terlanjur jadi bubur. Ketidakstabilan emosi yang belakangan ini mengganggu perasaan Bright nyatanya berhasil menuntun pemuda itu untuk satu kali bersikap gegabah, tanpa perduli akan rasa sakit dan sesal yang sudah menanti.

Malam ini, Bright menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang sudah terjadi.

Bright menunduk. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Lalu tanpa diminta, ucapan-ucapan lirih Win yang meminta kesempatan kembali terngiang dalam memori.

Bright dibuat jauh lebih menyesal. Bagaimana bisa ia membuat Win ada di posisi itu; posisi meminta dengan pasrah, memohon dengan tangis namun di saat yang sama, Bright justru mematahkan hatinya. Dengan alasan; sudah jadi yang terbaik.

Sudah jadi yang terbaik… ya?

Lalu kenapa Bright malah terisak? Di tengah taman seorang diri, menangisi kebodohannya.

Satu pukulan hinggap di kepalanya, Bright membenci dirinya sendiri.

“Goblok! Dasar goblok! Bisa-bisanya lo lebih nurutin sakit hati lo daripada dengerin penjelasan Win! Goblok, lo goblok banget, Bright!”

Satu pukulan kembali hinggap di sisi lain kepalanya, “Lo liat dia nangis, Bright? Lo liat dia sampe harus mohon-mohon sama lo? Lo bisa bikin dia ngemis kesempatan, padahal harusnya lo yang ngemis, Bright! Bukan Win!”

“Bukan Win… Lo udah hancurin hati dia… Lo bikin dia nangis, Bright… L-lo….”

Pukulan di kepalanya berubah jadi jambakan pelan yang cukup keras. Bright menarik beberapa helai rambutnya, mencari distraksi dari rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

“Kenapa lo harus kemakan sama rasa takut lo sih, Bright? Kenapa??!!”

Bright kini larut dalam kecewanya. Terlalu larut sampai tidak sadar kalau ponselnya sudah bergetar berulang kali; pertanda ada telepon masuk. Bright terlalu sibuk menyalahkan dirinya sendiri, hingga tak sengaja ponselnya jatuh dan membuat pemuda itu berhenti menjambak surai hitamnya.

Mamah Cantik

Dan jantung Bright berdetak begitu cepat, terlalu cepat sampai rasanya akan meledak ketika ia dapati kontak Mama Win muncul sebagai id caller.

Bright menunduk dan meraih ponselnya. Mengatur sirkulasi pernapasannya sesaat, sebelum ia terima panggilan itu.

“Halo, Mah? A-ada apa?” masih gugup, masih sumbang suaranya.

Mama terdengar menghela nafas di seberang sana, “Bri, di luar nggak hujan, kan? Ini kamu udah di rumah?”

Hujan? Ada apa lagi ini…

Bright menggeleng pelan, menjawab 2 pertanyaan Mama sekaligus. “Nggak ujan, Mah. I-iya, ini Bright udah di rumah. Mah, kenapa? Mamah tumben nelfon dadakan gini?”

“Win pingsan. Mimisan juga. Mama kira kamu sama Win habis pergi kemana gitu, terus hujan-hujanan, soalnya kan izinnya tadi cuma ke taman tapi kok lama banget… Ya udah, Mama pikir kalian jalan-jalan malem nyari martabak kayak biasa. Tapi ini Win begitu buka pintu rumah langsung ambruk, Bri...”

Win pingsan.

Win mimisan.

Win sakit, lagi.

Tanpa sepengetahuan Mama, Bright kembali menarik rambutnya. Lagi-lagi ia siksa perasaan Win sebegitu parah.

“M-mah… B-bright ke rumah, ya?”

“Nggak usah, nak. Udah malam. Besok aja ketemu di sekolah ya, Win biar istirahat dulu mau Mama pantau semalaman. Dia dari kemarin ini lho udah ngedrop, nggak tau juga kenapa… tiba-tiba sakit, demam tinggi. Besok Mama yang antar Win dulu ke sekolah ya, nak? Nggak apa, sayang?”

Bright mengangguk. Memangnya bisa apalagi selain mengangguk?

“Maafin Bright, Mah. Bright nggak berhasil buat jagain Win.”

“Hush, apa sih kamu nih ngomongnya… Nak Bri selalu berhasil jagain anak Mama, kok. Makanya Mama sayang banget sama kamu. Udah, sekarang kamu istirahat juga ya, Win biar Mama yang urusin.”

Bright lagi dan lagi mengangguk pelan, “makasih banyak, Ma...”

“Sama-sama anak Mama. Selamat malam nak Bri.”

Dengan air mata yang kembali jatuh di pipinya, Bright menjawab, “selamat malam, Mam.”

PIP.

Selesai sudah sambungan telepon antara (hampir jadi calon) ibu mertua dan menantunya itu. Bright merasa dadanya semakin sesak, dan ia butuh Bundanya.

. . .

Bright melangkah memasuki ruang tamu rumahnya dengan pelan. Waktu sudah semakin malam, tapi suara di ruang makan menjadi pertanda bahwa orang rumah belum masuk ke kamar dan pergi tidur.

Mungkin Ayah baru pulang, jadi Bunda sibuk menyiapkan makan malam, begitu pikir Bright.

Namun begitu Bright mengintip sedikit, ternyata Bundanya hanya seorang diri di sana. Sedang memilah makanan apa saja yang bisa disimpan di kulkas agar tidak basi.

Bright melangkah mendekati sang Bunda,

Lalu menunduk di depan wanita cantik yang sudah melahirkannya 18 tahun silam itu. “Bright salah, Bright gagal, Bunda. Maafin Bright...” kata-kata Bright secara tidak sengaja membuat Bunda yang sedang membereskan meja makan spontan menghentikan rangkaian aktivitasnya.

Bunda menyampirkan kain serbet bermotif kotak-kotak merah di bahunya, diusapnya bahu sang tunggal dengan penuh kelembutan.

“Kenapa, anak Bunda?”

Dan ketika sang Bunda mengelus pelan wajahnya yang masih basah akibat air mata, Bright kembali menangis, pelan.

“Bright bikin Win nangis. Bright ngecewain Win. Bright harus apa, Bunda?”

Bunda yang bingung karena sang putera tiba-tiba menangis terisak di depannya hanya bisa menautkan alis. Bunda biarkan anaknya itu menyelesaikan isakannya lebih dulu, lalu dengan lembut ditangkupnya wajah sembab itu.

Bright, anak lelakinya. Anaknya yang begitu lucu. Anaknya yang manja, yang kini sedang beranjak dewasa.

Bunda ingat betul, Bright bahkan sudah bisa cerewet di usianya yang baru memasuki 2 tahun. Bright pintar membangun suasana dengan teriakan acaknya, entah ketika memanggil cicak, atau ketika kakak-kakak sepupunya menjahilinya.

Bright adalah anaknya yang ceria.

Dan kali pertama Bright menangis adalah ketika ia gagal memenangkan lomba sepak bola antar komplek dan tidak jadi membawakan piala untuk sang Bunda.

Bright adalah anaknya yang lembut dan penyayang. Semua miliknya, adalah kesayangannya.

Termasuk juga sosok yang baru saja disebut-sebut si tunggal sambil menangis.

Bunda tau, amat sangat tau, betapa Bright menyayangi pacar manisnya itu.

Ibu jari Bunda bergerak mengusap lembut wajah tampan Bright yang dikotori jejak air mata, “bayi besarnya Bunda,” panggilnya, dan dibalas dengan isakan putus-putus yang lolos dari belah bibir tipis sang anak.

“The meeting didn't go well?” tanya Bunda.

Bright mengangguk dalam tangkupan kedua telapak tangan Bunda, “B-bright bikin Win nangis… B-bright gagal… B-bright u-udah ngecewain W-win… Bunda… hiks,”

Tidak tega melihat wajah sang anak yang semakin memerah dan semakin dibanjiri air mata, Bunda langsung merengkuh bayi besarnya itu ke dalam sebuah pelukan. Hangat… Bright akhirnya bisa merasakan hangat setelah beberapa jam ini ia disiksa dengan perasaan dan egonya sendiri. Bright menyandarkan kepalanya di bahu Bunda, membiarkan wanita cantik itu mengelus punggungnya penuh sayang.

“Mind to tell Bunda? Karna anak Bunda juga lagi nangis-nangis, nih… Kenapa, sayang?”

Bright tidak langsung menjawab. Pemuda itu masih sibuk menangis, Bunda semakin tidak tega.

Lantas Bunda melepas pelukannya, kembali menangkup wajah sang tunggal dan mengusapnya penuh kasih sayang, “Bright duduk dulu, Bunda buatin teh hangat, ya?” kata Bunda, sambil mendorong pelan tubuh Bright untuk duduk di salah satu kursi meja makan.

Bright duduk dalam diam, dan Bunda yang sedang membuat teh hangat di dapur secara sembunyi-sembunyi melirik ke arah sang anak yang kini menunduk di balik tangkupan tangannya sendiri.

Bright bahkan beberapa kali menjambak rambutnya, membuat Bunda yakin… anaknya sedang tidak baik-baik saja.

“Diminum pelan-pelan,” kata Bunda, seraya ikut duduk di bangku di samping si tunggal.

Bright, menurut. Diam-diam Bunda tersenyum kecil, melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. Bunda mengelus sayang punggung Bright, putera kecilnya. Ya, Bright akan selalu jadi putera kecilnya.

“Bunda tungguin sampai Bright mau bicara, ya? Besok pun nggak apa-apa, kapanpun anak Bunda mau cerita, Bunda pasti dengerin.”

Tegukan terakhir baru saja melintasi kerongkongan Bright, lalu ia letakkan cangkir berisi teh hangat yang tersisa sedikit di atas meja. Bright, dengan wajah sembabnya, kini duduk menghadap sang Bunda.

“Bright sama Win putus.”

Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, Bunda membelalakan matanya. Apa Bright kini sedang bercanda? Di waktu yang hampir memasuki tengah malam? Masih bisa bercanda?

Sepasang mata Bright kembali memburam karena genangan air mata, “Bright yang mutusin Win, Bunda… B-bright ngehancurin hati Win… Win pasti benci banget sama Bright sekarang...”

Tidak ingin menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi antara sang anak dengan kekasihnya, Bunda pun meraih satu tangan Bright untuk digenggam. Berusaha memberikan ketenangan pada putera kecilnya yang terlihat begitu kalut.

“Bright, anak Bunda...”

Susah payah Bright membalas tatapan sang Bunda. Susah payah juga Bright berusaha menahan laju air matanya.

“Bright sayang sama Win, iya, nak?” tanya Bunda, lagi.

Bright mengangguk, mutlak.

Satu tangan Bunda bergerak mengusap sayang surai hitam Bright yang sudah berantakan, “kalau Bright sayang sama Win, kenapa Bright putusin Win? Win ada salah sampai buat Bright kecewa dan nggak bisa maafin Win?”

Yang sebenarnya Bunda sendiri ragu, apa benar kesalahan Win begitu fatal sampai-sampai anaknya yang cinta mati pada pemuda manis itu tidak lagi memberikan pintu maaf?

Satu gelengan Bright berikan sebagai pembuka jawaban, “B-bright yang salah, Bunda. Bright gegabah...”

“Beberapa hari ini Bright ada masalah sama Win, bukan masalah besar tapi karna kita sama-sama emosi dan kecewa, masalahnya jadi besar. Bright cemburu, Win cemburu. Tapi kita sama-sama nggak siap untuk bicara berdua,”

Satu tetes air mata kembali jatuh di pipi Bright, “karna setiap Bright berhadapan sama mata Win, yang Bright rasain cuma marah. Sampai akhirnya Bright nggak bisa ngomong baik-baik, dan malah bikin Win nangis. Win nangis, Bunda… Win nangis...”

Anaknya… hilang arah.

Dari setiap kata yang diucapnya, Bunda tau kalau Bright sedang berada di ambang ketakutannya.

“Dan tadi setelah Bright berantem sama Win, Bright antar Win ke rumahnya. Terus Bright balik lagi ke taman, karna Bright rasa Bright butuh waktu sendiri. Untuk merenungi semua kesalahan Bright, semua kekacauan yang harusnya nggak Bright lakuin… Dan tadi, t-tadi… Mamah nelfon B-bright, Mamahㅡ”

“W-win pingsan, Bunda… Win mimisan… Win sakit, dan semuanya gara-gara Bright.”

Anaknya… kembali terisak.

Bright, putera kecilnya, tidak pernah sesedih ini. Bahkan ketika gagal di beberapa pertandingan sepak bola ataupun musik, putera kecilnya tidak lagi pernah menangis.

Anaknya… sedang terluka.

“Kalau aja Bright nggak gegabah… Kalau aja Bright bisa sabar sedikit lagi sampai rasa marah Bright reda, pasti semuanya nggak akan jadi kacau kayak sekarang… B-bunda, W-win… Win...”

Anaknya… menangis lagi.

Bunda paham, di usianya yang belum memasuki 20 tahun, Bright pasti masih kesulitan untuk menjaga kestabilan emosinya. Bunda ingin tau secara lengkap permasalahan kedua anaknya itu, tapi biar Bright yang menceritakannya jika sudah siap.

“W-win bahkan sampai mohon-mohon ke Bright sambil nangis… Tapi B-bright, Bright terlalu marah dan nggak nggak perduli sama perasaan Win… Win pasti sakit banget, Bunda… B-bright udah nyakitin Win… B-bright bikin Win nangis...”

Anaknya… berantakan. Hatinya tidak lagi tersusun rapi.

Sebisa mungkin Bunda berikan senyuman terbaiknya. Bunda ingin Bright tau, sefatal apapun kegagalan hubungannya dengan Win, Bunda tetap akan ada di sisi sang anak. Bunda tidak akan menyalahkan Bright, tidak juga akan menyalahkan Win. Bunda baru dengar dari sisi Bright, rasanya tidak adil jika tidak mendengar dari sisi Win.

Tapi Bunda tau, Bright butuh waktu untuk bernafas. Sampai sesak di dadanya hilang, sampai amarahnya mereda.

Bunda bantu sang anak untuk menghapus jejak air matanya. Bunda usap berulang bahu dan punggung Bright agar anaknya itu bisa bernafas dengan benar lagi.

Bunda tepuk pelan lengan si tunggal yang malam itu mengenakan hoodie hitam.

“Bright, anak Bunda,”

Meski masih sedikit terisak, Bright tetap menjawab panggilan sang Bunda, “Besok bawa Win ke rumah, ya? Bunda mau bicara sama kalian berdua. Bunda harus dengar dari sisi Win juga, biar Bunda bisa bantu cari titik tengahnya, enaknya bagaimana, ya, sayang?”

“Bright belum siap, Bunda. Bright masih terus kepikiran gimana Win nangis di depan Bright...”

Bunda mengangguk pelan penuh pengertian, “Bunda rasa Win juga butuh waktu untuk pulih. Sama kayak anak Bunda yang ganteng ini, Win pasti juga butuh waktu buat bernafas dengan benar. Bright, masih sayang sama Win, nak?”

“Karna Bright terlalu sayang, makanya Bright minta putus, Bunda… Bright takut kalau semakin hari bukannya hubungan kami yang semakin baik, tapi Bright malah semakin kecewa. Bright takut suatu hari nanti Bright melihat Win dengan rasa yang nggak lagi sama. Bright takut kalau setiap harinya Bright malah akan curiga terus. Bright nggak mau, Bright nggak mau perasaan Bright buat Win berubah...”

Anaknya… kalah dengan rasa tidak percaya diri pun juga menyerah pada rasa takutnya sendiri.

Lagi, Bunda mengangguk paham, “Win juga sayang banget ya sama Bright? Win sampai mohon-mohon ya, sayang?”

Dan Bright hanya bisa mengangguk, lalu mengangkat kedua bahunya kemudian.

“Tapi mungkin sekarang Win udah nggak sayang lagi sama Bright. Mungkin Win udah kecewa sama Bright. B-bright udah jahat banget sama Win...”

“Bright sayang sama Win, nak?” lagi, Bunda mengulang pertanyaannya.

Satu tetes air mata kembali jatuh membasahi wajah si tunggal, “sayang, dan akan selalu sayang.”

“Oke, kalau gitu… Minggu depan bawa Win kesini, ya? Kita bahas soal ini lagi minggu depan, ya sayang?”

Bright tampak menimbang-nimbang permintaan Bunda. Bagaimanapun, hubungan keduanya bukan hanya tentang mereka berdua; Bright dan Win. Tapi juga tentang keluarga kedua belah pihak yang sudah saling berhubungan baik.

Ya, semuanya bukan lagi hanya tentang dirinya dan juga Win.

Ada hati Bunda, Ayah, Mama, Papa dan juga Mick yang harus mereka jaga dan pikirkan.

Dan akhirnya Bright pun mengangguk.

Bunda mengulas senyum manisnya, lalu mengusap sayang pipi Bright yang terasa begitu lembab, “sekarang Bright istirahat, ya? Cuci muka dulu, terus saat teduh. Berdoa sama Tuhan, minta maaf, minta pertolongan. Semoga besok perasaan anak Bunda yang ganteng ini bisa terasa lebih lega dan lebih baik, oke?”

“Jangan menyesali apapun, nak. Percayalah, pilihan apapun yang Bright ambil itu sudah dengan campur tangan Tuhan. Mungkin dengan adanya masalah ini, Bright sama Win bisa sama-sama belajar mendewasakan diri, to be a better version of both of you, oke?”

“Nggak apa-apa, nak. All is well, Bright sama Win sama-sama anak baik, Tuhan pasti kasih jalan terang buat anak-anak kesayangan Bunda, ya sayang, ya?”

Dengan gemas, Bunda menghapus lelehan terakhir air mata di wajah sang putera, “udah, cukup ya nangisnya, capek. Nanti Ayah denger, besok ditanya-tanya, lho… Sekarang go go go, time is up! Anak kecil nggak boleh bobo malem-malem.”

Bright pun bangkit berdiri dari posisi duduknya. Bunda satu kali lagi menepuk sayang punggung tegap Bright sebelum sang anak benar-benar beranjak menuju kamarnya di lantai 2.

“Good night, anak Bunda. See you tomorrow! Dielap dulu ingusnya itu, yaaa!”

Bright hanya bisa terkekeh kecil, lalu mengangguk.

“Good night, Bunda… Thank you...”

Anaknya… tetaplah seorang putera kecil yang masih suka tersesat jalannya. Tidak apa, Bunda have got you, bayi besar.

All is well, all is well, Bright…

It's okay, everything will be better for sure.

. . .

JEYI // 210113.

this is the last time of us being together…

total words: 2.829 words.

Jika Bright sudah bilang selesai, lantas apa Win punya kesempatan untuk menawarkan awal yang baru? Bisakah Win menjanjikan hal indah untuk masa depan mereka berdua? Tapi seberkas pemikiran kini menghampiri, Win sadar akan satu hal… Mengapa hanya dirinya yang berjuang? Mengapa hanya dirinya yang memohon dan mengemis? Tidakkah Bright mengharapkan masa depan dimana ada Win di dalamnya?

Atau, apakah Bright benar-benar sudah mencapai titik akhirnya? Puncak dari perjalanan 3 tahun kisah mereka?


Sudah sepuluh menit berlalu, nyatanya Win sama sekali belum mau beranjak. Kedua kakinya berdiri kelu, satu tangannya mengepal; menahan dingin, emosi dan rindu di waktu yang sama. Sedangkan satu tangannya yang lain menggenggam sebuah paper bag berwarna coklat, ada hadiah kecil pemberian Papa untuk kekasih (hampir) 3 tahunnya itu.

Bright, sudah ada di sana. Duduk di sebuah ayunan usang, bergerak mengayun mengikuti laju angin malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam tepat, ketika hitungan Win atas pergerakan ayunan yang diduduki Bright sudah memasuki angka 11.

Pemuda itu bergeming di tempatnya, sesekali terdengar gesekan antara alas sepatu yang dikenakan Bright dengan lantai dasar taman berbahan dasar semen. Tidak ada simfoni lain yang menemani, hanya suara semilir angin dengan suara dari rantai ayunan yang masih bergerak maju, mundur, maju dan mundur secara berkala. Pelan, tak ada kata buru-buru dalam setiap alunannya.

Win takut. Ia begitu takut untuk melangkah ke tempat dimana Bright sudah memposisikan dirinya di sana. Pertengkaran keduanya di hari kemarin, masih meninggalkan bekas yang cukup melukai hati kecilnya. Bagaimana intonasi Bright meninggi, bagaimana cara pemuda itu menatapnya dengan kilat amarah, bagaimana dinginnya suasana di atas motor ketika Bright mengantarkannya pulang ke rumah.

Perjalanan indah mereka selama hampir 3 tahun kini di ambang kehancuran. Win, sudah bisa merasakannya tepat di detik pertama setelah Bright mengucapkan kata 'break' untuk mereka.

Rasa hangat di sepasang obsidian hitam Bright pada hari itu… hilang. Rasa aman yang selama ini Win rasakan setiap berada di sisi Bright… sirna.

Pupus kah semuanya?

“Win,”

Dan lamunan panjang Win terpaksa buyar saat suara lembut Bright menyapanya. Tatapan mata itu, masih sama… seperti hari kemarin. Tanpa cinta, tanpa kehangatan.

Win, semakin takut.

Bright bangun dari posisi duduknya di atas ayunan. Mempersilakan Win untuk datang mendekat padanya lewat gerakan kepala, dan Win menurut. Langkah kakinya perlahan-lahan menapaki area taman komplek. Ada cukup banyak kenangan yang mereka ukir berdua di tempat ini, ada banyak tawa yang tercipta ketika mereka menghabiskan waktu di tempat ini. Dulu, ketika segalanya masih di porsi yang tepat; masih baik-baik saja.

Tapi sekarang semuanya berubah. Tidak lagi ada tawa, pun juga canda yang biasa mereka lempar pada satu sama lain. Yang ada hanya gugup, serta dinding besar tak kasat mata yang membatasi kedua anak adam yang pernah saling mencinta itu.

Win mengambil posisi duduk di atas ayunan yang bersebelahan dengan ayunan yang sebelumnya Bright duduki. Sedangkan pacarnya itu memilih untuk bersandar di tiang penyangga ayunan, satu tangannya tersimpan hangat di balik saku celana jeans yang ia kenakan. Tatapannya lurus ke depan, memandang lapangan kecil yang biasa dipakai anak-anak kecil untuk menghabiskan sore sambil bermain; tanpa ekspresi.

Bright bersikap amat sangat defensif. Sebenarnya Win tidak ingin terlalu mendramatisir kondisi mereka berdua kali ini, tapi rasanya terlalu kuat… rasa kehilangan itu mendominasi relung hatinya. Sungguh kenyamanan dan yang biasanya melingkupi keduanya seolah hilang tanpa jejak, tak menyisakan apapun yang bisa diperjuangkan.

Bright tidak lagi menatap ke arahnya, Win bukan lagi dunia bagi pemuda itu.

Bright tidak lagi mau duduk dekat dengannya, Win bukan lagi poros di hidup pemuda itu.

Bright tidak lagi menggenggam erat tangannya, Win bukan lagi pegangan bagi pemuda itu.

Win… bingung. Bagaimana bisa kesalahpahaman membawa mereka pada titik ini? Bagaimana bisa mereka bersikap layaknya orang asing yang seakan-akan tak pernah saling mengenal satu sama lain sebelumnya?

Bagaimana bisa kisah yang sudah dirajut sejak masa SMP itu kini di terantuk tanpa kejelasan di ujung jalan?

Bagaimana bisa satu kesalahan… hanya satu kesalahan, tapi mampu menghapus segala rasa dan percaya?

Maka ketika Bright tidak mau lagi melihat ke arahnya, Win tau, ia sudah tau, kalau mereka tidak lagi bisa diselamatkan.

“Itu oleh-oleh dari Papa?”

Lagi, suara Bright yang jadi pemecah keheningan malam itu. Win mengangguk, sambil mengulurkan tangannya yang memegang paper bag berisi jam tangan pada Bright.

Bright menerimanya, masih tidak mau menatap ke arah Win, sama sekali.

“Thanks, Win.”

Win sudah ingin menangis, lagi. Perasaan hatinya berantakan, gelisah, Bright yang ada di siniă…ˇ di dekatnya, bukan lagi Bright yang dulu ia kenal. Bukan Bright yang menyayanginya.

“Bii,”

Bright terkekeh. Tawa meremehkan lolos dari belah bibirnya begitu Win memanggilnya dengan panggilan sayang, yang dulu selalu Bright sukai… tapi tidak dengan sekarang.

Genggaman jari-jari tangan Bright pada tali paper bag pemberian Win mengerat, dalam diam ia menunggu Win melanjutkan ucapannya.

Tapi nihil… Panggilan itu menggantung, menyisakan hening tak berujung.

Merasa tidak ada hal lain yang harus mereka bicarakan, Bright menghela pelan nafasnya, lalu melirik Win sebentar.

Hanya sebentar, Bright tidak cukup sanggup untuk menatap wajah yang kini menatapnya penuh luka.

“Nanti gue telfon Papa buat bilang makasih. Gue balik dulu ya? Lo jangan kelamaan di sini, angin malem nggak bagus buat kesehatan.”

Lantas langsung berbalik, Bright membawa punggungnya untuk jadi satu-satunya objek yang bisa Win pandang dalam diam. Bright tidak merasa perlu menunggu izin dari Win untuk pergi, jadi ia lekas bergegas menjauh.

Meninggalkan Win yang sudah jatuh air matanya.

“Bright,”

Suara Win terdengar lirih, tapi tak jua mampu membuat langkah Bright berhenti.

“B-bright… hiks...”

Namun ketika lirihan Win berubah jadi isak tangis, Bright berhenti. Kedua kakinya yang beralaskan sepatu sandal berwarna hitam tak lagi lanjut menapaki langkah.

Win menangis, lagi.

Dan Bright amat sangat membenci fakta bahwa ia adalah salah satu alasan mengapa pemuda manis itu menumpahkan kesedihannya.

“Bright, kalau lo masih sayang sama gue, lo balik ke sini. Please Bright, sini...”

Win melirih untuk kesekian kalinya, dan akan terus melirih sampai Bright mau kembali padanya. Sampai Bright mau kembali menatap matanya. Sampai Bright mau untuk menggenggam erat tangannya lagi.

Tapi Bright hanya diam, membelakangi.

Win menyeka kasar wajahnya yang mulai basah dengan air mata. Pikirannya semakin kalut atas kenyataan bahwa Bright enggan untuk berbalik; apa perasaan Bright benar-benar sudah habis tak bersisa untuknya? Sedikitpun?

“Lo udah nggak ada perasaan ke gue ya, Bright? Secepat itu?” tanya Win, lagi.

Belum satu menit Win menghapus air matanya, kini butiran-butiran bening kembali menggenang di balik pelupuk mata. Pandangannya mengabur, terhalang kabut air mata.

Dan Bright… masih diam di sana.

Win lantas menundukkan wajahnya saat dirasa tak ada lagi kesanggupan untuk menahan laju air mata. Kedua tangannya terangkat menutup wajahnya yang mulai memerah dan basah. Satu isakan keras lolos, Win sudah kehilangan warasnya, lagi.

“B-bright… hiks… Bright,”

“G-gue udah selalu berusaha untuk jadi pacar yang baik buat lo, jadi pacar yang bisa lo anggap temen di waktu yang sama, g-gue nggak pernah membatasi ruang gerak lo, kebebasan lo, hobby lo dan apapun itu dan cuma k-karna satu kesalahan… karna satu kesalahan yang gue lakuin, lo buang gue, Bright?”

Isakan lain lolos, Win sudah mencapai titik tertinggi sedihnya kali ini, “lo n-ngasih kesempatan untuk orang lain di saat lo masih s-sama gue… hiks… apa g-gue emang nggak pernah ada artinya buat lo?”

“Salah gue lagi, iya, Win? Salah gue?”

Terlalu sibuk menangisi kisah cinta dan rasa sakit hatinya, Win sampai tidak sadar kalau Bright sudah berdiri di depannya. Kedua tangan Win turun perlahan, tidak lagi menutupi wajahnya yang kini saling berhadapan dengan wajah Bright.

Tetes air mata lain kembali jatuh, tapi Win tidak mengindahkannya.

Memilih untuk menyibukkan diri larut dalam tatapan dingin Bright. Memilih untuk berusaha mencairkan kilat marah di mata Bright dengan sepasang matanya yang berkabut.

“Menurut lo hubungan kita berantakan kayak sekarang ini, karna gue yang ngasih harapan ke Nana? Gitu, Win?” tanya Bright.

Pegangan si Manis pada bangku ayunan menguat. Tidak lagi ada kelembutan pada setiap tarik suara yang diucap Bright. Win tidak kenal Brightă…ˇ yang kini berdiri menghadap ke arahnya bukanlah Bright-nya.

“Gue tau gue salah dengan mengiyakan suruhan Puim untuk nyemangatin Luke. Gue salah, gue minta maaf untuk itu. Tapi B-bright… Harus ya lo balas gue? Lo tau sendiri, nggak ada satu orangpun di sekolah yang tau tentang kita selain Racha, seenggaknya lo paham kenapa gue harus nyemangatin Luke. G-gue nggak punya pilihan...”

Bright memilih untuk diam. Karena sesungguhnya kekecewaan yang ia rasakan kali ini bukan lagi soal apa yang terjadi di lapangan upacara sekolah tempo hari. Bukan lagi tentang Win yang lebih memilih untuk memberi semangat pada Luke, bukan… kekecewaannya kali ini jauh lebih besar dibanding hari itu.

“T-terus di hari yang sama… lo pergi sama Nana… Lo ambil balon dari dia, yang gue denger sendiri kalau lo ambil balon itu… sama aja artinya dengan lo nerima dia… P-padahal lo tau B-bright… Lo tau gue ada di situ, lo tau gue liat semuanya...”

“Apa lo nggak mikirin perasaan gue sama sekali? Apa perasaan gue nggak ada nilainya buat lo?” sambung Win, yang pada akhirnya menumpahkan segala isi hatinya.

Lagi, untuk ke-2 kalinya Bright terkekeh. Tersirat maksud meremehkan dalam tawa kecilnya, ada genangan butiran-butiran bening yang juga tersimpan di balik pelupuk matanya.

“Gue nggak pernah mikirin perasaan lo? Iya? Terus lo apa, Win? Apa pernah lo mikirin perasaan gue?” balas Bright, keras.

“Lo ngeraguin gue? Hari itu gue nggak jadi pulang bareng Luke, sedangkan lo? Lo pergi sama Nana, Bright! Lo bahkan nggak ngabarin gue sama sekali? Sekarang di antara kita, siapa yang lebih nggak perduli?!!”

Bright membuang pandangannya. Kekehan pemuda itu berubah menjadi tawa lirih, rahangnya kini mengeras, lagi dan lagi Win meragukan dirinya. Lagi dan lagi Win tidak sadar akan kesalahannya sendiri, setidaknya begitu menurut Bright.

Maka ketika Bright mengembalikan tatapannya pada Win, it's the time for him to cry, air mata Bright jatuh, untuk kali pertama, ketika di waktu yang sama tak lagi ia dapati cinta yang melingkupi keduanya.

“Lo pergi sama Luke hari ini, tanpa izin, tanpa ngasih kabar ke Mick, diem-diem dan lo masih mau membela diri, iya, Win?” intonasi suara Bright melembut, amarahnya sudah tersaingi oleh rasa sedih.

Win turut menyeka air mata di wajahnya, “d-demi Tuhan, Bright… Gue pergi sama Luke untuk urusan keperluan kelas… Gue nggak izin ke Mick karna pasti nggak akan dibolehin sama dia, atau dia bakalan ngaku ke Mama dan gue bener-bener ada di posisi nggak bisa nolak ajakan Luke...”

“Itu bukan alasan lo bisa pergi seenaknya tanpa ngasih kabar ke orang lain. Dan lo selalu berlindung di balik kalimat nggak bisa nolak ini, nggak bisa nolak itu, padahal lo bisa kalau lo mau, Win. Mungkin emang lo nya aja yang mau deket-deket sama Luke juga,”

“Ck, gue jauh dibanding sama Luke. Gue bar-bar Gue nggak punya posisi di kelas. Gue bukan orang penting dan berprestasi di sekolah, jauh, Win… Gue jauh dari kata setara sama Luke, gue sekarang ngerti kenapa lo lebih milih bohong dan pergi sama Luke...”

Win berdiri dari posisi duduknya. Ia tinggalkan bangku ayunan yang kini mengayun pelan akibat gerakan yang diciptakan Win barusan. Air matanya turun semakin deras, apalagi ketika ia tau… Bright meragukan kesetiaannya.

“Menurut lo gue mau deket-deket sama Luke karna gue tertarik sama dia? Karna dia ketua OSIS? Karna dia ketua kelas? Karna dia kesayangan guru-guru? Iya, Bright?” tanya Win.

Bright mengangkat kedua bahunya acuh, ia seka air mata yang mulai jatuh membasahi wajahnya sendiri.

“Dari awal lo emang nggak pernah percaya sama gue ya, Bright? Lo anggap apa tiga tahun kita? Sampah? Iya?”

Tatapan mata Bright kembali nyalang, “gue balikin pertanyaannya ke lo, Win. Dari awal lo emang nggak pernah percaya sama gue, 'kan? Lo ngerangkai asumsi lo sendiri tanpa tanya ke gue. Lo selalu punya jawaban atas pertanyaan lo sendiri, lo nggak pernah percaya sama gue...”

“Karna gue terlalu percaya sama lo, makanya gue nggak pernah nanya apapun ke lo, Bright. Gue percaya semua ketakutan gue cuma sebatas ketakutan yang nggak akan pernah jadi nyata. Karna apa? Karna gue tau, lo nggak akan pernah ninggalin gue. Karna yang gue tau, selama ini lo sayang sama gue… Sampai akhirnya lo pergi sama orang lain di hadapan gue, gue denger dengan telinga gue sendiri kalau lo ngasih dia harapan dan di situ gue tau… gue sadar… Ketakutan gue selama ini sekarang jadi nyata… Lo lebih memilih orang lain… Lo udah nggak sayang lagi sama gue… Loㅡ”

“ITU YANG LO BILANG LO PERCAYA SAMA GUE, WIN? DI SAAT LO JADI SATU-SATUNYA ORANG YANG GUE LIAT, LO MASIH BISA BERASUMSI KALAU GUE NGGAK SAYANG SAMA LO? IYA, METAWIN?!!”

Ucapan Win terpotong dengan teriakan Bright yang cukup keras. Genangan di balik pelupuk mata Win meningkat, lalu tumpah dengan bebas dalam hitungan detik. Sepasang mata Win masih menatap Bright, meskipun pemuda itu baru saja membentaknya.

Keduanya terdiam. Bright memutuskan kontak matanya dengan Win, membiarkan suara semilir angin kembali jadi satu-satunya sumber suara malam itu.

Sebisa mungkin Win menenangkan degup jantungnya yang terdengar ribut di balik dada, ia ingin bicara, ia ingin mengalah lagi… ia ingin meminta maaf, dan meminta Bright kembali padanya.

Katakanlah Win naif, tapi karena sudah terlanjur nyaman hidup bersama selama beberapa tahun, sudah berhasil mengukir memori indah bersama nyatanya mampu membuat Win lebih memilih menghilangkan rasa kecewanya, dan meminta Bright untuk mencintainya lagi adalah jalan terbaik.

Tidak masalah jika harus mengulang semua dari awal, Win sama sekali tidak apa-apa.

Win tidak sengaja melirik tangan Bright yang mengepal. Tangan itu memerah, bahkan bergetar. Lantas Win beranjak mendekat, hendak meraih tangan itu, ingin menggenggamnya kuat-kuat.

Tapi serasa seperti dejavu, Bright kembali menabur luka dengan cara yang sama,

“Kita sampai di sini aja ya, Win?”

namun dengan efek samping yang berbeda. Ucapan Bright barusan jauh lebih menyakitkan, dibanding apa yang harus didengar Win di parkiran sekolah.

Nafas Win kembali tercekat, Bright balik menatap matanya yang sudah berlimpah buliran kristal.

“A-apa, Bright?”

Bright tidak kalah hancur, sepasang matanya turut memerah, “kita udah sama-sama nggak bisa percaya ke satu sama lain. Hati gue sakit setiap kali gue inget lo, perasaan gue berantakan setiap kali gue ngeliat lo. Bukan lagi rasa antusias dan sayang yang gue rasain, Win, gue justru takut untuk berhadapan sama lo sekarang… takut gue sengaja atau nggak sengaja bikin lo nangis, takut lo kecewa, takut lo marah, dan itu nggak sehat...”

“Kita juga belum bisa nyelesain masalah kecil yang terlanjur jadi besar ini dengan kepala dingin. Masih ada rasa marah yang gue rasain, Win. Masih ada rasa kecewa yang gue simpen. Dan kalau kita berlindung di balik status break, gue nggak yakin kita akan berhasil. Lama kelamaan perasaan marah kita bisa jadi benci, dan gue nggak mau berakhir benci sama lo. Jadi Win,”

Kilat nyalang di mata Bright sudah hilang, berganti dengan tatapan kalah yang selama ini tidak pernah hadir satu kalipun di sepasang mata pemuda itu.

“Kita akhiri semuanya di sini ya, kita jalan masing-masing mulai sekarang...” Bright melanjutkan ucapannya, suaranya terdengar sumbang; ia sedih… terlalu sedih.

Win terdiam. Air matanya terus jatuh, seiring dengan sirkulasi pernapasannya yang terdengar gaduh.

“K-kita nggak bisa ulang sekali lagi, Bright? S-satu kali aja… Kasih gue satu kesempatan...”

Naas, Bright menggeleng. Ia belum bisa menjanjikan mereka akan kembali menjadi the old them di kesempatan ke-2 itu. Bright hanya takut… takut untuk kembali gagal, dan Win hanya akan disia-siakan di akhir.

“Gue balik ya, Win?”

Satu detik, Win tidak menjawab, Bright masih diam di tempatnya.

Lima detik, Win juga tidak menjawab, Bright mulai berbalik arah.

Sepuluh detik, Bright sudah kembali melangkah menjauh, dan Win jatuh pada posisi jongkok. Kedua kakinya bertumpu di bawah, wajahnya sengaja ia tenggelamkan di balik lipatan kedua tangannya.

Win, menangis lagi.

Menangis lebih keras, lagi.

Satu hal yang Win sesali; hanya karena satu… satu kesalahan dan satu kesalahpahaman, hubungannya hancur berkeping-keping tak menyisakan satu rasa pun yang bisa diselamatkan.

3 tahun mereka, sungguh sia-sia.

Win, sungguh-sungguh gagal mempertahankan.

Bright, sungguh-sungguh gagal memperjuangkan.

Semua ketakutan Win kini jadi nyata… Bright pergi…

3 tahun mereka, harus berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan.

3 tahun mereka…

“Ayo bangun, kita pulang. Gue antar sampai ke rumah.”

Itu suara Bright.

Bright-nya, Bright yang begitu ia sayangi.

Win menerima uluran tangan Bright, membiarkan telapak tangan besar mantan kekasihnya itu kini memberinya kehangatan. Win sudah terlalu lelah untuk meminta, jika ini memang yang terbaik menurut Bright, maka Win akan menerima.

Win selalu percaya pada Bright. Bahkan ketika Bright mematahkan hatinya seperti sekarang, Win masih terus mempercayakan langkah kakinya untuk beranjak berdampingan dengan langkah kaki Bright.

Win tidak pernah tidak percaya pada Bright, hanya saja Bright tidak bisa melihat ketulusan hatinya.

Dan ketika mereka tiba di depan gerbang rumah Win, keduanya tau, ini akan jadi akhir. Akhir dari perjalanan mereka.

Win masih enggan melepas genggaman tangan Bright, dan pemuda yang digenggam itu hanya bisa tersenyum kecil.

Satu kali lagi Bright biarkan dirinya menatap sosok yang begitu berarti baginya. Sosok yang pada akhirnya harus ia relakan, atas kegagalan keduanya.

Bright maju satu langkah, menarik Win ke dalam dekapannya, untuk terakhir kali.

Tanpa kata, tanpa ucap, tanpa rasa… Bright lepas genggaman tangan keduanya, lalu beranjak pergi meninggalkan Win sendiri di sana.

Di bawah cahaya bulan, dengan perasaan yang hancur bukan main.

Yes, this is the last time of us being together…

And we failed,

It's okay… at least we have tried.

. . .

JEYI // 210111.

words: 1.9k+ words.


Kalau saja Win punya kesanggupan lebih, mungkin kata akhir sudah terucap dari ranumnya. Tapi apa daya… Win terlalu sayang, pada Bright dan serangkaian memori yang sudah terlanjur mereka ukir bersama.


Perhitungan waktu seorang Bright, untuk kali pertama… salah besar.

Bright pikir, nggak bakalan sampai satu jam lamanya untuk menemani Nana ke toko sederhana guna membeli beberapa barang yang katanya besok harus gadis cantik itu bawa demi memenuhi kebutuhan tugas kesenian. Memang sih, mereka hanya menghabiskan waktu 10-15 menit di toko sederhana di jalan raya nusantara, tapi ternyata ada beberapa barang yang kebetulan out of stock di sana. Alhasil, Bright dan Nana harus mengelilingi komplek perumnas untuk mencari tempat fotokopian yang mungkin saja menjual barang-barang tersebut.

Langit cukup mendung, ketika motor Bright memasuki wilayah sekolah untuk menuju parkiran. Dan betapa malang nasib pemuda itu, saat dari jarak yang cukup jauh… Bright bisa melihat jelas eksistensi pacar manisnya yang sedang berdiri menyandar pada dinding parkiran; dengan tas ransel merahnya yang tersampir di bahu kiri, dan tangan kanannya yang sengaja disimpan di dalam saku celana seragam abu-abu.

Dan yang lebih parah adalah… Win ternyata menyadari kedatangannya bersama Nana yang duduk di jok belakang motornya.

Sebisa mungkin Bright mengatur ekspresi biasa-biasa saja di wajahnya. Walaupun cuma dirinya sendiri yang tau, kalau jantung yang posisinya ada di balik dada kini sedang berdentum nggak karuan tanpa irama yang jelas.

Semakin waktu berjalan semakin dekat pula radius yang memisahkan ketiganya. Win masih berdiri di posisinya, enggan untuk berpindah bahkan ketika motor Bright melewatinya untuk berhenti di spot yang tepat. Sepasang mata Win bergerak gusar melihat ke arah pacarnya itu. Bright mematikan mesin motor, diiringi dengan Nana yang agak kesulitan untuk turun dari sana.

Bagaikan patung yang fungsinya cuma sebagai penghias jalan, Win tetap bertahan dalam diamnya. Pun saat Bright mengulurkan tangan untuk membantu Nana turun, Win juga masih bergeming. Seolah tak terganggu dengan apa yang sedang ia lihat. Seolah biasa-biasa saja. Seolah tidak masalah dengan apapun yang sedang disaksikan oleh matanya.

Meski lagi dan lagi cuma Win seorang dan Tuhan yang tau… untuk kali pertama, ia kecewa pada dirinya sendiri because he has no strength left to even scream his disappointment out loud. Cuma bisa diam. Cuma bisa membiarkan, juga merelakan.

“Eh, hai kak Win!”

Pun cuma bisa pasrah, ketika dirinya harus memaksakan senyuman saat Nana menyapanya dengan sopan. “Hai, dek.” Win menyahuti sapaan Nana dengan lembut, “makin deket aja nih kayaknya, hehehe...” lalu menyambung ucapannya sendiri.

Makin deket aja nih kayaknya… begitu ya, Win?

Nana yang digoda seperti itu hanya bisa tersenyum malu-malu. Rona merah turut memberi warna di kedua pipi tirusnya.

Sedangkan Bright, pemuda itu seolah mati rasa ketika Win mengucapkan kalimat tersebut. Makin deket aja nih kayaknya… begitukah kelihatannya? Hanya sebatas itu rasa percaya Win padanya?

Tapi Bright bisa apa, status hubungan keduanya yang terlanjur dirahasiakan dari semua orang di sekolah (kecuali Racha) membuat Bright harus membiarkan kata-kata itu masuk meninggalkan jejak di telinganya. Tanpa bisa mengelak. Tanpa bisa membela diri.

Bright duduk di atas jok motornya dengan posisi menyamping. Menghadap ke arah Win dan Nana yang kini berdiri saling berhadapan satu sama lain.

“Masih proses kak, hehe… Kalau jodoh ya, ah nggak tau deh kak… Malu… Dijalanin aja dulu sekarang mah.”

“Ya nggak, kak Bright?”

Dan Bright baru menyadari kesalahannya. Ia menyesal tidak mengaku soal dirinya dan juga Win pada Nana kemarin, atau setidaknya… Bright bisa menolak Nana baik-baik dengan alasan yang masuk akal. Bright tau ia gegabah, dengan memanfaatkan keadaan dan situasi hatinya yang berantakan di hari kemarinㅡ Bright terpaksa melibatkan Nana dalam masalahnya bersama Win, yang mana hal tersebut justru membuat semuanya bertambah kacau.

Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, Bright melirik Win yang masih mengukir senyum di bibir penuhnya. Seolah sama sekali tak terganggu dengan apa yang baru didengarnya.

Ketakutan Bright rasanya tak berbuah apa-apa. Karena kelihatannya, Win tidak perduli. Win biasa-biasa saja. Dan sekarang Bright berpikir, apa Win sudah tak ada lagi rasa padanya?

Dengan canggung, Bright menggeleng pelan. Ada tawa kecil terselip dalam geraknya, “udah sana, katanya mau pesen ojek online.”

“Oh iya, lupa!!!”

Nana lantas mengedepankan tas ranselnya, dan mencari ponsel dari dalam sana. Setelah dapat, gadis itu langsung mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online yang akan mengantarkannya sampai ke rumah. Begitu seorang driver menerima pesanannya, Nana kembali melirik Win yang tengah menatap gamang aspal yang mereka injak.

“Kak Win kok masih di sini? Nunggu ojek online juga, ya?” tanya Nana, ramah.

Win balas menatap gadis itu. Kepalanya menggeleng pelan, seadanya, “masih nunggu Mamaku jemput. Paling masih di jalan. Udah dapet driver?” balas Win.

Sebuah anggukan Nana berikan sebagai jawaban, “udah kak, lumayan deket ternyata driver nya standby di sekitaran pombensin. Sebentar lagi jugaㅡ”

“Atas nama Mbak Nana?”

Seorang driver ojek online datang menghampiri ketiganya. Motor vario keluaran terbaru milik sang driver sengaja diparkir di pinggir parkiran.

Nana yang belum sempat menyelesaikan ucapannya pun kini beralih memandang seorang Bapak berjaket hijau.

“Pak Abdul, ya?”

Driver itu mengangguk, “iya, bener, Mbak. Dengan Mbak Nana, ya?”

“Iya, Pak…”

“Sudah bisa berangkat sekarang, Mbak?”

Kini giliran Nana yang mengangguk, “bisa, Pak,” tatapan gadis cantik itu beralih pada Bright, “Kak Bright, aku pulang dulu, ya? Makasih untuk traktiran es krimnya!”

Lalu beralih juga pada Win, si kakak kelas dari jurusan IPA, “Kak Win, aku pamit pulang, ya? Kak Win hati-hati pas pulang nanti, oke?”

Win mengangguk sopan, “makasih ya, dek.” jawabnya.

“Dadah kak Bright!!! Dadah Kak Win!!!”

Dan tak lama setelah itu, Nana naik ke atas motor dan berlalu bersama driver ojek online yang menerima orderannya. Meninggalkan Win yang kini menunduk, menahan air mata. Juga meninggalkan Bright dengan sejumput pikiran-pikiran negatifnya.

Win memang ingin sekali menangis. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tujukan pada sang pacar, ada banyak jawaban yang ia harapkan dari pacarnya itu tapi Win tidak ingin menangis sekarang, tidak di depan Bright.

Jadi pertanyaan yang terucap dari bibirnya hanyalah satu;

“Lo mau kita udahan, Bright?”

Hanya satu pertanyaan itu. Hanya satu kalimat itu yang bisa membuat Bright bangkit dari atas motornya. Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Berusaha menahan gejolak amarah yang siap meledak kapan saja.

Bright cuma tidak menyangka, dari banyak kata yang bisa disampaikan sebagai pembuka konversasi keduanya di tengah kekacauan hati masing-masing, justru kalimat itu yang keluar dari mulut Win?

Bright melangkah cepat dan nyalang mendekati Win. Pemuda itu berhenti tepat di depan pacar manisnya itu.

Pacar.

Pacar, ya?

Apakah Win masih bisa ia sebut sebagai pacarnya ketika percakapan mereka hari ini selesai?

Susah payah Bright menelan salivanya. Susah payah pula ia menghirup oksigen di sekitarnya. Berusaha menekan dalam-dalam amarah yang mencekam, sambil menghembuskan nafas dengan tempo pelan yang diharap mampu memberi ketenangan.

“Win,”

Yang dipanggil menengadahkan kepalanya. Win membawa dua pasang mata yang dulu selalu melempar rasa bahagia dan candu untuk saling terkunci satu sama lain. Meski ada yang berubah di obsidian beda warna milik keduanya. Meski rasanya sudah tidak sama. Meski dengan susah payah Win terus menahan laju kristal bening dari pelupuk matanya.

“Lo kasih kesempatan buat Nana, Bright?”

Lagi-lagi karena sebuah keteledoran. Salah paham mengacaukan semuanya. Bahkan merusak kepercayaan mereka.

Bright menggeleng kuat, “nggak, Win. Gue sama sekali nggak kasih kesempatan buat Nana. Lo percaya gue, 'kan?”

“Terus kenapa dia bisa bilang gitu ke lo? Kenapa dia bilang masih berproses? Itu artinya masih ada harapan buat dia bisa dapetin hati lo, Bright.”

Bright tau, bahkan sangat tau, Metawin-nya tidak pernah bisa dibalas dengan emosi yang setimpal. Jika sudah seperti ini, harus ada satu yang mengalah di antara keduanya.

“Lo capek sama gue ya, Bright?”

Namun belum sempat Bright menurunkan egonya, Win sudah menembaknya dengan kalimat yang kembali membuat amarah Bright memuncak.

“Cuma segitu rasa percaya lo sama gue, Win? Dari tadi yang lo ucapin cuma gue yang seolah-olah beneran mau berhenti. Kayak gue yang jahat di sini. Sekarang gue tanya ke lo ya Win, ya,”

Bright menjeda ucapannya. Lidahnya terasa kelu seketika, tapi ia tidak terima dipojokkan sebegininya oleh Win.

“Jangan-jangan lo yang sebenernya mau berhenti? Lo bosen sama gue, Win? Lo nggak sayang lagi sama gue?”

Hanya satu pertanyaan itu. Hanya satu kalimat itu yang berhasil membuat Win lengah, sehingga satu tetes cairan bening mengalir bebas membasahi wajahnya.

Win, menangis.

Untuk kali pertama, ia menangis di depan Bright.

Menangisi hubungan keduanya. Menangisi hilangnya kepercayaan yang pernah Bright berikan padanya. Menangisi segala kemungkinan buruk yang mungkin saja akan terjadi setelah ini pada kelanjutan kisah cinta keduanya.

Win mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya yang memerah dan kembali dibanjiri air mata kini terpusat telak pada sepasang obsidian hitam milik Bright.

“Gue bahkan nggak jadi pulang bareng Luke kemarin demi menjaga perasaan lo, dan lo bilang gue udah bosen sama hubungan ini? Gue udah nggak sayang lagi sama lo, iya, Bright?”

Fuck. Bright, lo salah langkah.

Lo terlalu gegabah akan semuanya, Bright. Lo ngebiarin ego lo menang tanpa pikir panjang. Lo memanfaatkan keadaan dengan alasan menenangkan diri tapi di waktu yang sama lo justru melukai hati Win… Pacar macam apa lo, Bright…

Bright hendak meraih tangan Win untuk digenggam, tapi pemuda manis itu lebih dulu menghindar. Kakinya mundur satu langkah. Jarak di antara keduanya semakin terlihat jelas.

“Lo nggak cerita ke gue soal remedial ulangan ekonomi, padahal gue selalu cerita ke lo tentang apapun yang terjadi sama gue di kelas, tentang tugas-tugas gue, tentang temen-temen sekelompok gue, tentang ujian yang nggak ada habisnya… Terus lo pergi sama Nana tanpa ngasih kabar ke gue, lo bahkan kasih harapan ke dia, lo ngajak gue ketemuan hari ini jam empat tapi apa… lo pergi sama Nana, lo enak-enakan makan es krim sama dia… Lo yang udah nggak sayang lagi sama gue, Bright...”

“Kenapa lo nggak bilang, Win? Lo cuma mau menempatkan gue sebagai satu-satunya yang salah kan di sini?” hm, kacau.

Win kembali menyeka air matanya, “lo ngehubungin gue aja enggak, Bright.”

“Harus gue? Harus gue terus yang mulai percakapan, Win? Lo nggak ada usaha sama sekali untuk mulai? Kalau gue nggak ngehubungin lo, lo juga punya hak untuk nggak ngehubungin gue duluan, iya Win? Begitu maksud lo?”

Win… tidak lagi menjawab. Bright, baru saja membentaknya. Win cukup sadar, ada amarah besar yang tersalurkan lewat kata-katanya, lewat nada bicaranya.

Untuk kali pertama, Bright marah padanya.

Satu tetes air mata kembali jatuh mengalir di pipi Win. Hatinya, sakit. Mereka sama-sama sedang diselimuti kecewa. Tapi Win tidak ingin kehilangan Bright. Win ingin memperbaiki semuanya, termasuk hubungan mereka berdua.

Win mengambil nafas dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Win tau, keduanya bersalah. Dirinya salah, Bright pun sama. Jika Bright belum mau mengutarakan kata maaf, maka biarkan Win yang melakukannya kali ini.

Kata 'maaf' adalah yang utama; pembuka jalan, penengah segalanya.

Win ingin Bright tau, kalau ia amat sangat menyayangi pemuda itu.

Win baru saja akan meraih tangan Bright untuk digenggam, baru saja akan mengucapkan kata maaf, tapi Bright lagi dan lagi menghentikan semuanya.

Dengan satu kalimat,

Yang membuat Win kecewa bukan main.

“Kita break aja dulu ya, Win? Sama-sama nenangin diri dan perbaiki hati masing-masing.”

Lalu, apa Win bisa menolak? Jika Win menyanggah, pertengkaran mereka yang sejatinya hanya mempertaruhkan ego akan terus berlanjut.

Win tidak menolak.

Tidak juga mengiyakan.

Lalu Bright melangkah menuju motornya, meraih satu helm milik Win dari dalam bagasi. Bright menyerahkan helm tersebut pada Win.

“Ayo pulang, nanti keburu hujan. Gue nggak mau lo sakit.”

Dan Win lagi lagi menurut. Ia pakai helm itu di kepalanya. Ia naik, dan duduk di jok belakang motor Bright.

Untuk kali pertama, Win tidak menyukai jok empuk motor Bright. Tidak juga menyukai tangannya yang spontan memeluk pinggang Bright. Pun tidak menyukai kepalanya yang selalu menemukan jalan untuk bersandar di bahu bidang sang kekasih.

Sebab kali ini Win tidak bisa memastikan, apakah Bright masih berstatus pacarnya atau tidak.

3 tahun mereka, sia-sia.

Emosi dan amarah punya jalan untuk menang…

Win gagal berjuang,

Bright gagal mengusahakan.

. . .

JEYI // 210107.

latar: sekolah anak SMA!brightwin 1.2k+ words


Win menepati janjinya pada Racha. Masih dengan bibir yang berulang kali meniup-niup jari telunjuknya yang nggak sengaja tergores cutter saat tengah membantu guru-guru mendekorasi nasi tumpeng, beberapa saat lalu. Langkah kaki pemuda itu terkesan santai, tapi rasa excited yang meletup-letup di balik dada untuk menyaksikan pacarnya tanding futsal semakin membuat Win ingin cepat-cepat tiba di lapangan.

Kedatangannya disambut oleh Dew, View dan Mix yang sedang duduk di atas speaker. Dew bergeser sedikit, memberi ruang pada sang sahabat untuk ikut duduk di sana.

“Udah kasih semangat belum buat Luke?” bisik Dew terlampau keras, Mix dan View yang nggak sengaja mendengar pun hanya bisa tertawa meledek.

Win berdecak pelan, “ogah ah, nanti digosipin yang nggak-nggak lagi sama lo.”

“Win, nggak boleh gitu sama partner in crime di kelas. Cepet, teriakin Luke tuh! Kasih semangat! Tadi dia nyetak gol sekali lho buat IPA...”

Win yang awalnya masih menatap Dew dengan tatapan malas pun kini mulai mengalihkan pandangannya ke arah lapangan.

“Emang skor udah berapa-berapa, Dew?” tanya Win, dengan mata yang mendelik ke sana dan ke sini, mencari keberadaan Brightㅡ yang ternyata sedang mengatur strategi untuk berdiri di dekat gawang milik 12 SOS 2.

“2-2, Win. Lo nggak mau IPA kalah dari IPS, kan? Mendingan sekarang lo kasih support yang maksimal buat Luke… Please, gue nggak mau kelas kita kalah dari IPS. Malunya bisa seumur hidup, Win...”

Ya, begini lah. Win terjebak di sebuah situasi yang cukup sulit, dimana ia harus memberikan dukungan penuh untuk kelasnya sendiri (XII-IPA) dan di saat yang sama jelas ia harus memberikan dukungan pada sang pacar yang statusnya merupakan murid dari kelas seberang, XII-SOS 2.

Tapi, nggak mungkin kan kalau Win lebih memilih menyemangati Bright daripada kelasnya sendiri? Mau dikata apa?? Mau dimusuhi satu kelas?

Alhasil, Win berdiri dan menggapai mic yang sedang dipakai Puim untuk bercakap-cakap selaku komentator pertandingan. Sialnya, Puim nggak langsung menyerahkan mic tersebut begitu aja, gadis itu malah melirik Win dengan tatapan menggoda sambil sesekali menjulurkan lidahnyaă…ˇ meledek si wakil ketua kelas.

“Ow, Ow… Kayaknya ada yang mau nyemangatin ayang beb nya nih...”

Suara Puim yang tersalurkan lewat mic dan dapat didengar oleh siapapun di seluruh penjuru gedung SMA GMM pun berhasil membuat beberapa pemain futsal yang tengah bertanding di tengah lapangan pun menoleh. Bright yang kebetulan berdiri nggak begitu jauh dari gawang, sehingga membuat pemuda itu berada di jarak yang juga cukup dekat dengan Win yang sedang berdiri di tepi koridor pun ikut mengukir ekspresi bingung di wajahnya.

Win, nggak sengaja bertukar pandang dengan Bright. Baru saja ia akan melempar senyum guna memberikan semangat pada sang pacar, suara Puim kembali menginterupsi.

“Luke, liat kesini bentar bisa kali….”

Luke yang nggak tahu-menahu kenapa namanya tiba-tiba disebut pun cuma bisa pasrah dan menengok ke arah koridor dimana beberapa anak kelas 12-IPA berkumpul di sana. Termasuk Win.

“Abis ini Luke harus cetak gol lagi buat IPA ya, nih biar tambah semangat, ayang beb nya mau menyampaikan sepatah dua patah kata… Ihiy, nih Win...”

Win yang udah nggak bisa berkutik pun cuma bisa menerima uluran mic dari Puim dengan pasrah. Pemuda itu menarik dalam nafasnya, gugup total… bukan karena ia harus memberikan semangat pada Luke secara terang-terangan di depan umum, tapi karena di sana ada Bright, di tengah lapangan itu ada pacarnya, yang entah akan merespon seperti apa ketika Win benar-benar harus menyemangati orang lain di depan mata kepalanya sendiri.

Satu senggolan di tangannya yang berasal dari Dew menjadi isyarat kalau Win sudah seharusnya bangun dari lamunan singkat. Satu kali lagi ia tarik dalam nafasnya, lalu membawa seluruh atensi pada sosok Luke yang ternyata sedang menatap ke arahnya.

Win mulai membawa ujung mic mendekati bibirnya, lalu dengan lantang dan dengan seuntai senyum lebar (yang begitu diusahakan hadir di wajahnya), Win mengangkat satu tangannya dengan kelima jari yang dikepal kuat, “Luke!!! Semangat!!! Lo pasti bisa!!! IPA pasti menang!!!”

Di tengah lapangan, Luke tersenyum. Kepalanya menggeleng pelan menahan gemas, melihat Win yang begitu antusias memberinya dukungan.

Di tengah lapangan yang sama juga, Bright mengepalkan kedua tangan. Kepalanya ikut menggeleng pelan, menahan kesal karena bukan dirinya lah yang mendapat dukungan itu. Win, pacarnya, menyemangati pemuda lain yang jelas-jelas punya perasaan pada pacar manisnya itu.

Untuk kali pertama, Bright tertinggal 1 angka. Dan Luke, unggul jauh di atasnya.

“Kalau IPA menang, gue dapet hadiah apa, Win?” wow, ternyata Luke membalas ucapannya.

Win, salah tingkah. Bukan salah tingkah karena dirundung bahagia, tapi salah tingkah karena ia semakin terjebak dalam situasi yang nggak diinginkan.

Susah payah Win kembali melirik Bright yang ternyata sudah kembali mengatur posisinya di tengah lapangan. Beberapa pemain pun kembali mengatur strategi, meskipun Luke masih berusaha keras memusatkan fokusnya pada sang gebetan hati.

“Nanti pulang sekolah bareng gue ya, Win? Kalau IPA menang… Oke?!” sambung Luke.

Merasa nggak punya pilihan lain, Win pun mengangguk, “Oke!!! Tapi janji harus menang, ya?!”

Dan pertandingan pun kembali berlanjut. Dengan situasi yang memanas di tengah lapangan, Bright beberapa kali terkena pelanggaran. Win, panik. Bright pasti akan marah besar padanya.

Tapi memangnya Win bisa apa?

Sampai akhirnya pertandingan antara 12 IPA melawan 12 SOS 2 pun berakhir, dengan skor 3-2 yang dimenangkan oleh 12 IPA.

Win, semakin panik. Itu artinya ia harus menepati janjinya. Untuk pulang sekolah bersama dengan Luke.

Suara riuh di lapangan pun semakin menjadi-jadi ketika Puim dan beberapa anak 12-IPA menyanyikan yel-yel khas sebagai simbol kemenangan. Win juga ikut bernyanyi, harus terlihat senatural mungkin karena menang sewajarnya ia ikut bahagia atas kemenangan tim futsal 12-IPA. Namun di saat yang sama, ia harus kembali bersusah payah mencari Bright yang ternyata sedang duduk di tepi lapangan. Dengan sebuah handuk di tangannya, ia mengelap keringatnya seorang diri.

Bright, melirik ke arahnya. Ada kilat kecewa yang tergambar jelas di sepasang netra hitamnya.

Win memberikan kode pada Bright, meminta pacarnya itu untuk naik ke toilet lantai 2 dan menemuinya di toilet pria, bilik ke-3 tempat dimana mereka biasa bertemu.

Tapi Bright malah bergeming di posisinya. Tidak mengindahkan kode dari Win sama sekali.

Sampai akhirnya Win hendak melangkah lebih dulu, bermaksud memancing Bright agar mengikutinya, tapi keributan lain kembali tercipta ketika seorang anak perempuan membawa sebuah balon berwarna merah di tangannya datang ke tengah lapangan.

Anak perempuan itu meminta mic dari Puim, dan Puim dengan senang hati menyerahkan mic tersebut pada Nana, seorang gadis cantik dari kelas X-B.

Nana memposisikan tubuhnya menghadap ke arah Bright,

“Kak Bright, walaupun kak Bright kalah tapi bukan berarti aku nyerah, lho. Kak Bright, aku Nana dari kelas sepuluh B. Aku udah lama suka sama kakak, sejak kakak ikut bantuin kakak-kakak OSIS di sesi PBB pas angkatanku lagi MOS dan kebetulan kak Bright handle kelompok aku, aku ngerasa kagum sama kakak. Kak Bright, kakak mau nggak jadi pacarku?”

Nana, cantik… Bertutur kata lembut, dan lucu.

Tanpa sadar Bright tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. Melangkah sedikit demi sedikit mendekati gadis itu, lalu berhenti tepat di depannya.

“Makasih ya, Nana. Balonnya gue ambil, ya?”

“Eh, kak… Kalau kakak ambil balonnya berarti kakak nerima aku lho…” Balas Nana, yang berhasil membuat Bright tertawa.

Lalu tanpa basa-basi, Bright langsung meraih balon tersebut. Membuat Nana terperanjat kaget di posisinya berdiri.

“Gue ganti baju dulu. Kita pulang bareng, ya?”

Kita pulang bareng ya…

Oke, jika Win saja bisa pulang sekolah bersama Luke, kenapa Bright nggak bisa melakukan hal serupa dengan Nana?

Pada akhirnya Bright berlalu dari lapangan. Meninggalkan Nana yang masih speechless di tempatnya, juga meninggalkan Win yang clueless di posisi duduknya.

Semuanya, kacau.

. . .

JEYI // 200105