Bright sudah memikirkan konsepnya matang-matang, let's just call it a Bright's plan terlalu biasa sih, tapi ya mau gimana lagi… konsepnya memang begitu. Lantas dielusnya pinggang telanjang Win dengan lembut, pemuda manis yang masih sibuk bergerak maju dan mundur di atas kedua pangkal pahanya itu, menoleh malu-malu. Matanya sayu, cantik… ada peluh yang kini turut jatuh di atas kulit perut Bright.
Alis kanan yang bergerak turunㅡ bertaut, berhasil menambah kesan penasaran dan excitement di wajah Win yang sudah nyaris basah dengan keringat. “What is it, Bii? Lo ngeganggu konsentrasi gue tau, nggak...” katanya, intonasi tersebut terdengar kesal, tapi menyimpan keingin tahuan yang besar di waktu yang sama.
total words: 8.585 words.
TW // 🔞⚠️ kinda explicit content; handjob, blowjob, fingers-sucking, chest & nipples play, over stimulation, kissing tease, praise!kink ⚠️🔞
Pacar & Ayang (LDR Jurusan) the series
sub!top!bright x dom!bot!win
Elusan tangan Bright mulai beranjak turun dari pinggang si Manis menuju paha telanjang pemuda itu, “yang, please make a list of the three places you wants to visit the most in the near future.” lalu satu tangan Bright bergerak menyentuh bagian belakang tubuh Win, memancing pacarnya itu agar kembali bergerak lembut. Sesekali Bright bahkan mencubit dua pipi berisi itu dengan gemas, “gue mau ngajak lo liburan, let's just call it a sudden escape.”
“Udah?”
Win menutup pintu kamar Bright pelan, dan melirik sesaat ke arah kasur dimana pacarnya itu sedang duduk di sana sambil merenggangkan badan. Kepalanya menganggukㅡ merespon pertanyaan Bright lalu bergumam, “udah bersih-bersihnya?”
“Udah, now your turn.”
Lagi dan lagi Win membalas ucapan Bright dengan sebuah anggukan, namun sebelum pemuda manis itu melenggang masuk ke kamar mandi, ia melirik Bright satu kali lagi, “tangkep hape gue ya, satu… dua… tiga...”
Dan, hap!!! Bright dan ketangkasannya emang nggak ada tandingan, deh! Buktinya, ponsel Win yang sempat melayang beberapa detik di udara kini sudah mendarat dengan aman dan selamat di dalam genggaman tangan pemuda itu.
Bright menghela nafas pelan, satu tangannya beralih mengelus dadanya sendiri, “kebiasaan banget ya ni anak suka lempar-lempar barang, untung nggak meleset hape lo, ayang… ya Allah...” bernafas lega, huft… untunglah.
Ya, tangkas sih tangkas. Tapi ngeri juga kalau taruhannya ponsel bermerek buah apel yang digigit sedikit di bagian ujungnya itu. Singkatnya ya, ada harga maka harus ada kualitas dan keutuhan yang dijaga pula. Kalau jatuh terus lecet, ya… sayang, lah?!
Win yang sepertinya mulai sibuk di kamar mandi, menyempatkan diri untuk terkekeh. Mungkin si Manis mendengar gumaman Bright barusan, tapi enggan merespon dengan kata dan memilih untuk tertawa sendiri di dalam sana. Bright cuma bisa menggeleng, pacarnya itu, ah bagaimana harus menjelaskannya, manis… cantik dan tampan di satu waktu yang sama… setia (wah, ini mah nggak usah diraguin lagi, berhari-hari nangis dan mohon-mohon juga udah jadi bukti kalau Win ini pacar yang setia, or let's say he's bulol; bucin tolol), lalu baik hati… pengertian… dan sedikit teledor.
Menurut Bright, tindakan Win yang melempar asal ponselnya tanpa melihat apakah benda canggih tersebut melayang dengan benar atau tidak, termasuk salah satu perbuatan yang masuk ke dalam kategori teledor.
Surai hitam Bright bergerak pelan mengikuti gerakan kepala si empunya yang menggeleng pelan, seraya membawa ponsel milik si Ayang untuk disimpan di atas nakas, di samping kasur. Bright kembali menyamankan posisi duduknya, sambil matanya melirik cermin yang menyatu dengan lemari di depan sana (berhadapan langsung dengan kasur) yang bisa memperlihatkan pergerakan Win di dalam kamar mandi. Win terbiasa tidak menutup pintu selagi dirinya ada di sana, kecuali ketika sedang mandi atau buang air. Jika hanya mencuci muka, mengganti baju, mengganti softlens, sikat gigi atau bernyanyi di depan cermin, pemuda itu jarang sekali menutup pintu.
Dan kini, Win sedang membasuh wajahnya dengan sebuah handuk kecil. Tubuh semampainya yang terbalut piyama berbahan satin berdiri di depan wastafel, menghadap cermin. Tanpa sadar, seulas senyum tipis hinggap di bibir Bright. Salah satu sudut bibirnya terangkată…ˇ nyaris sumringah, apalagi ketika matanya dengan hoki bertemu dengan sepasang obsidian kecokelatan sempurna milik sang kekasih hati.
Too many things happened in a day, begitu setidaknya menurut Bright. Bukan hanya in a day, tapi mungkin dalam kurun waktu seminggu ini, begitu banyak hal yang terjadi silih berganti.
Bertengkar; berselisih paham, saling menyalahkan, tidak mau mengalah, lalu sepakat untuk rehat sejenakă…ˇ break, yang malah membawa mereka ke penghujung hubungan keduanya; putus, berakhir.
Seluruh rangkaian memori mulai dari apa yang terjadi di lapangan sekolah sampai kepada pertumpahan air mata di depan Bunda beberapa jam lalu kembali melintas dalam benak Bright. Bergerak lambat membentuk alur, mengulas balik gambaran kisah tentang bagaimana ia menyerah pada ego, dan nyaris kehilangan sosok yang begitu disayang, amat sangat didamba. Banyak-banyak ucapan syukur membuncah dari lubuk hatinya, betapa Bright senang bukan main karena kini Win ada di sini, di depan matanya, kembali… pulang padanya.
Masih sama seperti Win yang dulu ia kenal saat detik pertama di bangku sekolah dasar. Masih sama seperti Win yang pernah memarahinya karena ketahuan merokok untuk kali pertama. Masih sama seperti Win yang sempat gemetaran dan merona malu saat keduanya melakukan ciuman pertama di usia 15 tahunㅡ ketika masih duduk di bangku kelas 9. Win-nya masih sama, tidak pernah berubah, baik dulu… maupun sekarang, di saat anak manis itu sudah memposisikan tubuhnya di atas pangkuan Bright. Those doe and shining eyes, membuat seorang Metawin berkali-kali lipat terlihat lebih menawan di mata seorang Bright.
Helaan nafas pelan lolos dari belah bibir tipis Bright, menyapa lembut wajah Win yang kini berhadapan di jarak yang bisa dibilang terlalu dekat dengan sang lawan bicara. Bright mengukir senyum yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya, sambil sengaja ia elus penuh sayang sisi kiri dan kanan tubuh bagian bawah si Manis.
“Gue yang kelamaan bengong atau gimana, sampai-sampai gue nggak nyadar kalau lo udah keluar dari kamar mandi dan tiba-tiba udah naik ke atas gue begini?”
Yang ditanya hanya memberi pergerakan lewat bahu yang terangkat pelan, memberi jeda sedikit dimana sepasang matanya seolah terkunci dengan galaksi hitam di kedua bola mata Bright. Dan di detik berikutnya Win terkekeh, satu cubitan gemas ia hadiahkan pada hidung mancung sang pacar.
“Habis mikir jorok, ya? Hayo mikirin gue dalam posisi apa?!”
Bukan Metawin namanya kalau belum menggoda Bright lewat tuduhan tidak senonohnya. Yang digoda malah tertawa, satu tangannya naik mengelus lembut surai hitam si Ayang yang sudah mulai panjang. “Kalau gue jujur, pasti lo bakalan ngeledek gue...” balasnya.
Win lantas memicingkan satu matanya, “beneran mikir jorok, ya?!! Sejak kapan hormon lo jadi segede ini sih, gueㅡ”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Win terpaksa membungkam mulut secara mendadak ketika Bright meraih tangannya yang tengah sibuk memberikan serangan gelitik di pinggang pemuda itu, lalu mengangkatnya tepat ke depan bibir. Bright memberikan tiga kali kecupan kilat di jari-jari panjang tangan si Manis, dan berakhir menempelkan telapak tangan Win di pipi kanannya. He leaned his side face on that soft palm, trying to find comfort there as if it were a home.
A home that he's willing to live in all his life.
Bright menatap Win tepat di sepasang mata cantiknya, “gue sibuk mikir, about how lucky i am that you are here. Lo balik, lo nggak pergi lagi, lo ada di deket gue, and i was about to cry… like a few minutes ago, you are not my only imagination, lo nyata, loㅡ”
Kata-kata Bright tertahan di ujung lidah. Nafasnya tercekat sesaat begitu ia rasa wajah Win semakin mendekat, mengikis jarak yang sebenarnya tidak tersisa seberapa banyak di antara mereka. Kedua tangan Win kini beranjak menangkup pipi kanan dan kiri pemuda-nya, ujung ibu jari Win bahkan bergerak lembut membentuk pola abstrak penuh sayang di pipi yang mulai tirus itu, “bawel, yaaa!!!” kata Win, yang langsung dibalas gerutuan sebal dari mulut Bright.
“You ruined the moment… the romantic feelings i was about to build, it's all ruined… kebiasaan, ya...”
“AAAAAA ya ya ya!!! Ampun… Ampun… Bii… Minta ampun…!!!”
Bukan Bright namanya jika tidak balas mengerjai sang pacar. Tangannya yang sedari tadi bebas kini bergerilya di tubuh Win, menggelitik pemuda itu tanpa kenal ampun. Membuat Win tertawa sambil meringis kegelian, tubuhnya sudah jatuh mutlak di atas tubuh Bright, kepalanya menemukan sandaran di bahu si pacar, juga kakinya yang beberapa kali bergerak gusar menendang-nendang sprei sebagai bentuk perlawanan.
“Kalau minta ampun, harus dicium dulu.” ujar Bright.
Jari-jari tangan Bright masih menyerang beberapa titik di tubuh Win, benar-benar definisi penyiksaan tanpa ampun.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Win berusaha melirik Bright yang ternyata juga sedang menatap padanya.
Satu mata Win memicing, “habisnya… what's with the sudden english, ha? and… siapa? Gue yang dicium? Mauuu… Sun sun… Sini sun...” memang bukan Win pula namanya kalau tidak punya segudang ide untuk balas membuat Bright skakmat dalam hitungan detik. Ranum merah muda Win sengaja dibuat mengerucutㅡ gestur yang dibuat selucu mungkin, sehingga Bright dengan telak menabrakkan bibirnya di sana. Tepat pada kerucut merah muda yang kini mengaduh kesakitan.
“BRIGHT!!! GIGI LO NABRAK BIBIR GUE!!!”
Win, sempat-sempatnya ia berteriak padahal Bright sudah mulai memborbardir bibirnya dengan ciuman-ciuman kecil. Merasa posisinya kurang nyaman (leher mendongak, pegal!), Win akhirnya menahan sisi kanan wajah Bright agar tidak berpaling sementara dirinya berusaha kembali duduk dengan tegak di atas tubuh Bright. Win, belum mau menyudahi acara saling berbagi kecup keduanya. Maka setelah menemukan posisi nyaman, Win mulai membalas serangan kecupan dari Bright dengan gigitan kecil setiap kali Bright meninggalkan bunyi cup di bibirnya.
Mereka terus berbagi kecupan manis, dengan posisi yang cukup intim ditemani temaram lampu tidur kamar Bright. Terus menciptakan bunyi decak di setiap sapuan bibir, merilis gelak tawa ringan yang sesekali lolos dari belah bibir keduanya.
Sampai akhirnya Win lebih dulu menyudahi sesi ciuman ringan mereka, membawa dahinya yang tertutup poni untuk menyatu dengan dahi Bright.
“Pasti besok sariawan, deh...”
Bright terkekeh sebentar, satu kecupan gemas ia berikan di sudut bibir Win tanpa aba-aba, “maafin, ya? Lagian tadi lo ngegodain gue gitu, gue gemes banget… Si gemes… Dasar gemes… Gemesnya siapa ini, hm?”
Win kembali meringis, karena kali ini Bright menarik-narik kulit pipinya, “sakit wey!!! haduh suka banget penyiksaan ya lo...” sahut Win, kesal.
“Iya, iya, maaf… hayo suaranya jangan gede-gede, nanti kedengeran sama Bunda sama Ayah.”
Win mengambil tangan Bright yang semula bermain di pipinya untuk dipegang. Jari-jari panjangnya sengaja ia masukkan di setiap sela jari-jari tangan Bright, menyatukan kesepuluh jari mereka dalam satu genggam lalu mengangkatnya agak tinggi sehingga dirinya dan juga Bright bisa melihat dengan jelas betapa compatible-nya jari-jari mereka.
Masih sambil menatap tangan keduanya yang saling menggenggam, Win kembali bergumam, “thanks to Bunda for helping us to be the us right now… nggak marahan lagi, nggak nangis-nangis lagi, nggak salah paham lagi...”
“Sayang,”
Win menoleh perlahan, tatap sayu mata Bright berhasil membuat ujung bibir Win terangkat melukis senyuman. Pemuda manis itu menggeleng, “nggak apa-apa, kita berdua salah. kita harus belajar dari pengalaman kemarin.”
Tatapannya melembut, Bright berusaha meraih tengkuk Win untuk ditariknya kemudian perlahan-lahan. Satu kecupan panjang lagi dan lagi Bright berikan di bibir penuh nan manis milik Win.
“I am sorry, i hurt you that much… masih sakit pasti, ya?” Bright ucapkan sepotong kalimat itu dengan intonasi terlembut yang ia punya, tangannya bahkan sudah menemukan jalan untuk mengelus sayang sisi kiri wajah si pujaan hati.
“It will heal, slowly… it's okay, Bii...”
Bright nyaris menangis, lagi. Metawin di depannya terlihat begitu tulus, binar bahagia terpancar di sepasang matanya. Bright diam-diam kembali menyalahkan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia menyakiti hati milik sosok yang kini duduk di atas pangkuannya?
Dan kesedihan di manik matanya berhasil mengundang perhatian si Manis. Win memiringkan kepalanya sedikit, ditatapnya penuh khawatir dua obsidian hitam yang ternyata mulai menyimpan genangan air di dalamnya.
Win mengusap sayang sudut mata Bright, berusaha membasuh genangan air mata yang terbentuk di sana, “you're hurting too… maafin gue, ya? nggak seharusnya gue ngelakuin kesalahan konyol kayak gitu lagi. Kita berdua nggak seharusnya ada di fase kayak kemarin, i was so scared, Bii… i was really really scared to the point i was afraid of sleeping that you sometimes come to my dream and make it a nightmare.”
“Did i really make it a nightmare?”
Ragu-ragu Win mengangguk, “lo minta putus berulang kali, and you're even saying that you don't want to love me anymore, even in our next life.”
Hati Bright terasa ditusuk oleh ribuan belati tajam. Win-nya sempat ketakutan, bahkan rasa takut itu turut menghantui sampai ke dalam mimpi. Bright menggigit bibir bawahnya kasar, lalu berdecak agak keras, “gimana bisa gue bikin lo jadi setakut itu, Win? Gue gagal, it was my worst failure ever, maaf...”
Lagi dan lagi Win mengangguk, ia bawa Bright ke dalam pelukan, sambil diusapnya lembut punggung tegap yang terbalut kaos oblong itu.
“Nggak apa-apa, yang terpenting sekarang lo ada di sini, balik lagi ke gue… Nggak apa-apa, Bright. Kita sama-sama berusaha buat sembuh dari luka yang kemarin, ya? Belajar dewasa sama-sama juga, belajar buat lebih saling percaya, ya, Bii, ya? it's okay, we're good now...”
Bright, pemuda itu terdiam. Begitu juga Win, matanya masih sibuk melihat bulu mata panjang Bright yang sedikit basah karena air mata, lucu, begitu kata Win dalam hati. This big baby…
“Soal Nana, gue minta maaf karna insiden pas di parkiran itu. Gue salah ambil langkah, gue terlalu marah jadinya gue seolah ngasih waktu dan harapan buat dia. Nanti gue coba pelan-pelan kasih penjelasan ke Nana ya sayang, ya?”
Win mengangguk, “kasih taunya pelan-pelan, oke? Nana baik, jangan lo bikin nangis. Kalau urusan kecewa, mungkin dia bakalan kecewa karna semingguan ini lo kasih lampu hijau ke dia.”
“Lo temenin gue, ya? Gue mau ngenalin lo properly ke dia.”
Kali ini Win menggeleng, menolak, “nggak usah aneh-aneh. Yang ada nanti Nana ngerasa dipermainin, karna dia 'kan udah liat sendiri kita barengan pas di parkiran. Gue bahkan sempet ngeledek dia sedikit juga,” jawab Win.
Oh iya, bener juga…
Hening melanda selama beberapa detik sebelum akhirnya Bright kembali bersuara, “ya udah, iya… Tapi dikenalin ke anak-anak IPS mau, 'kan?”
Bright menatapnya dengan pandangan memohon. Ada sirat percaya diri yang terselip di ekspresi wajah pemuda itu, “from scale 1-10, seberapa besar lo yakin temen-temen lo bakal nerima gue?” tanya Win.
“Uhm, mereka pasti kaget, sih. Tapi nanti paling terbiasa juga, sama kayak Racha.”
Ujung jari telunjuk Win kini bergerak turun membuat jalur tak kasat mata mulai dari pelipis, pipi, dagu, leher sampai ke dada Bright yang masih terbungkus fabrik. Win sudah menemukan jalannya untuk menggambar pola abstrak di kanvas kesayangannyaㅡ tubuh Bright. Win itu… nggak bisa gambar, makanya terkadang sering uring-uringan kalau ada tugas menggambar virus, struktur DNA dan RNA yang bahkan cuma modal garis, atau struktur tubuh katak yang dipakai untuk bahan praktikum biologi tempo hari tapi kalau urusan gambar-menggambar di atas tubuh Bright, tentu itu kegiatan favoritnya.
“Gue seneng deh sama Racha, dia baik.” kedua pasang obsidian beda warna itu kembali bersirobok, Bright tersenyum.
“Selama kita berantem itu, gue banyak curhat ke Racha. Dia nggak bias ngebelain gue, dia bahkan ngata-ngatain gue karna nggak bisa nahan emosi. Iya, Racha baik. Makanya anak-anak sayang sama dia, she's the queen of the group.”
Satu tangan Win yang lain turut mendapatkan akses menuju lengan Bright, dielusnya pelan bagian itu, “i know… Racha beberapa kali juga laporan ke gue soal keadaan lo, kapan-kapan gue mau ajak Racha jalan-jalan, ah. Mau traktir dia pokoknya, boleh 'kan?”
Memang tidak ada momen paling indah selain pacarnya bisa akur dan berteman baik dengan sahabat dekatnya. Lantas dengan mantap Bright menjawab pertanyaan Win dengan anggukan, “boleh, nanti gue bantuin pilih hari yang pas biar kalian bisa jalan berdua, harus ngecek jadwal kelas juga soalnya, yang.”
“Alright, oke, makasih ya, pacar?”
Senyum di wajah Bright kian lebar, degupan jantung di balik dadanya pun semakin berdebar, “anything for you, sayang.”
Kedua bibir mereka kembali bertemu dan saling memagut mesra. Win menangkup wajah Bright, membuat si pacar kini sedikit menengadah, sambil sesekali ia berikan elusan sayang di sana, guna membentuk tempo agar ciuman keduanya tidak berantakan. Beberapa kali pula kepalanya dimiringkan ke kanan, berusaha memperdalam ciuman mereka.
Sedangkan tangan Bright kini sudah mendarat cantik di sisi paha kanan dan kiri si Ayang, mengusapnya lembut di sanaă…ˇ naik, turun, bahkan turut menepuknya pelan sesekali.
Cup,
Ciuman keduanya terputus, namun tidak dengan intensitas tatapan mereka. Bright membawa punggungnya untuk bersandar di headboard kasur, memaksa tubuh Win ikut bergerak di atasnya selama ia mengatur posisi ternyaman.
Mengabaikan gairah yang mulai terbakar, saat kedua pusat tubuh mereka saling bergesekan pelan. Meski masih terbungkus celana training dan juga celana piyama, tak bisa bohong, gelora nafsu mulai menjalar membentuk dominasi.
Tapi baik Bright ataupun Win, sama-sama belum mau menaikkan tensi yang sudah terlanjur naik. Masih mau saling tatap, saling mengutarakan isi hati satu sama lain.
Win mengusap sudut bibir Bright, dimana terdapat sedikit cairan saliva yang tersisa di sana.
“Nanon? Pawat? Mike? First? Guns? Mereka bakal ngerjain lo nggak ya kalau nanti lo jujur ke mereka...” Win bertanya sambil terus mengusap lembut sudut bibir Bright dengan ujung ibu jarinya. Sebuah kegiatan yang menyenangkan, Win suka akan sensasinya.
Ah, Win pasti berpikir tentang tradisi tak tertulis yang sudah jadi budaya yang musti dijunjung tinggi bagi kaum IPS. Anak IPS pantang akur sama anak IPA. Secara tidak langsung, juga merupakan sebuah larangan bagi anak IPS untuk punya pacar dari kelas lintas jurusan.
Sebenarnya, sih… Anak IPA tidak punya aturan macam-macam seperti apa yang ditekuni anak IPS, tapi karena tensi bendera perang yang sudah terlanjur berkibar begitu terasa nyata, mau nggak mau, setuju nggak setuju, anak IPA pun mengikuti alur.
Hih, aneh-aneh aja anak SMA jaman sekarang.
Melihat raut khawatir di wajah Win, Bright pun berinisiatif untuk menggoda pacar manisnya itu.
Tapi sebelum melancarkan aksinya, satu tangan Bright dikerahkan untuk menarik tubuh Win agar semakin menempel dengan tubuhnya; itu artinya… pusat tubuh mereka mau tidak mau kembali bertemu sapa dalam sebuah gesekan berdurasi kurang lebih 6 detik. Win meringis, menggigit kecil bibir bawahnya.
“Jangan ngegesek dulu, masih mau ngobrol...” katanya, penuh permohonan.
Bright terkekeh pelan, “enak sih, hehehe...” terlalu jujur, sih, tapi ya begitulah Bright.
Tangan kiri Win kini bertumpu pada sisi headboard, menghalangi ruang gerak sang pacar di sisi kanan, “nanti aja, ya? Sekarang jawab gue dulu, lo bakal dikerjain nggak kalau nanti akhirnya lo beneran ngenalin gue sebagai pacar lo ke anak-anak?” tanya Win.
“Kayak apa yang pernah gue bilang, paling gue ditelanjangin di lapangan upacara.”
Raut khawatir di wajah Win sudah berubah menjadi raut tak suka. Dua alisnya bertaut penuh penolakan, ada gurat-gurat halus di dahi, serta bibir bawahnya yang turut mencebik lucu.
Win bergerak lagi di atas pangkuan Bright, membuat bagian selatan tubuh keduanya untuk ke-sekian kali saling bergesekan.
“Nggak boleh,” kepalanya menggeleng kuat, surai hitamnya ikut bergerak penuh semangat, “mendingan nggak usah go public aja lah, daripada lo telanjang di depan orang-orang.”
Bright merapikan sedikit tatanan rambut Win. Beberapa helai rambut si Manis ia selipkan di atas cuping telinga pacarnya itu, “bolehnya telanjang di depan lo aja, ya?” tanya Bright, telak, berniat menggoda.
Tapi apa yang dilakukan Win setelahnya, justru berhasil membuat Bright sedikit tergelak, nyaris batuk-batuk dan merusak momen karena terlalu dibuat kaget.
Win, menarik kaos oblong yang dipakainya, sampai terlepas lalu melemparnya asal ke lantai.
“Ya, iya? Gue kan pacar lo? Dan ini...” Win mundur sedikit, kemudian menunduk dan menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah dada Bright, sambil bergumam samar-samar di sana, “... punya gue. Cuma punya gue, Bii.”
Win, too smooth Win, you're too smooth…
Tapi Bright bisa apa selain terkekeh? Pasrah menerima hidung Win yang mulai mengendus-endus bagian dadanya. Bright menunduk, menyaksikan pacarnya yang semakin asik bermain di sana.
“Nggak mau berbagi, ya? Sedikit aja nggak mau?” Bright sempat-sempatnya kembali melempar pertanyaan penuh godaan. Sambil mengelus sayang tengkuk Win, ia menunggu si Manis menjawab ucapannya.
Win menggigit kecil puncak noktah kecokelatan kanan milik Bright, lalu kembali duduk dengan tegak. “Nggak mau, nggak akan pernah mau dan nggak boleh. Pokoknya nggak boleh.”
“Sedikit aja nggak boleh? Segini deh,” Memang sifat isengnya tidak habis-habis, kini Bright membuat sebuah gestur dengan menyatukan ujung jari telunjuk dan ibu jarinya, “Segini aja, kok? Harus bagi-bagi rejeki lho, Ayang...”
“MAKSUD LO REJEKI???” uh, galak, takut.
Ah, lucunya… Bright tidak tahan untuk tidak menarik wajah kesal Win dan menghujani bibir yang mengerucut lucu itu dengan ciuman kupu-kupu, “bercanda, udah jangan manyun gitu, gemes banget tau, nggak? Pamali ah yang, lo bikin jantung gue melorot terus.”
“Tapi gue dari tadi nanya serius, Bii? Kalau anak-anak yang lain tau, gimana? Nanti nyebar nggak tuh ke angkatan atas?”
Bright tampak berpikir sebentar, “Nanti deh gue omongin sama anak-anak. Ya, lagian, yang pacaran 'kan kita, kenapa yang harus ribet malah orang lain?”
“Ya, mau gimana lagi… Emang begitu, 'kan? Tahun lalu juga pas kak Mild sama bang Thanat ketahuan pacaran, bang Thanat abis disuruh nyabutin rumput lapangan pake gunting kuku sambil telanjang dada sama anak IPS. It might happened to you as well dan gue nggak setuju.”**
Decakan keras lolos dari belah bibir Bright, “budaya jurusan tai kucing.”
Lalu tanpa aba sebuah sentilan keras mendarat di bibir yang baru saja mengumpat, “heh, mulutnya kasar ya… nggak suka ah.” omel Win.
“Sukanya begini, 'kan?”
Dan lagi… terjadi… kedua bibir yang sejatinya sudah mulai membengkak itu justru kembali bertemu sapa sambil sesekali bertukar saliva.
Kali ini, Win sedikit kelabakan karena Bright mulai melibatkan nafsu di setiap lumatannya. Tensi yang sejak awal sudah tinggi, kini semakin menjulang. Gairah yang sempat ditekan kuat, kini dibiarkan menguap.
Win tidak lagi menghalang-halangi ruang gerak Bright, juga tidak lagi meminta mereka untuk memperlambat tempo permainan karena Win sama saja seperti pacar nakalnya… sudah terbakar antusias.
“... mmhh,” seuntai desah pelan terucap dari mulut Win kala Bright justru sedang sibuk mengulum bibir bawahnya.
Kedua mata yang sengaja tetap dibuka, membuat Win bisa dengan jelas melihat nafsu yang menggebu-gebu di wajah Bright. Pacarnya itu memilih untuk memejam, menikmati setiap lumatan dan decap basah yang terus mereka lakukan bergantian, tanpa kenal lelah.
Diam-diam Win mengulas senyum, setengah merasa bangga karena Bright kini tunduk pada nafsu akan dirinya, of course his name is Win for a reason, dan setengah merasa haru karena sama seperti Bright… ia bersyukur karena akhirnya mereka tidak jadi berpisah.
Bright kini ada di bawahnya, terkurung dalam dekapannya yang hangat; sedang bercumbu mesra melewati detik demi detik yang semakin membawa waktu menuju tengah malam, sedang mengulum bibir bawahnya penuh semangat, bahkan sesekali mengemis meminta saliva untuk dipindah ke mulutnya sendiri.
At this point he just love Bright so much. To the point that he gave up, let a moan slipped out of his mouth when Bright changed their position, memenjarakan geraknya dalam sebuah kungkungan penuh dominasi, membuat Win berbaring di kasur dengan posisi setengah duduk, dua kaki terbuka lebară…ˇ mengangkang pasrah memberi ruang untuk Bright menumpu lutut kanan dan kirinya di sana, serta kedua tangan yang sudah menemukan jalannya menuju bahu bidang sang pacar, mendekapnya erat, menariknya mendekat.
Sekarang giliran Win yang mendominasi. Bright tidak lagi mengulum bibir bawahnya, tapi pemuda itu dengan sengaja menghentikan semua pergerakan seraya membiarkan bibirnya sedikit terbuka, memberi waktu bagi paru-paru untuk mengais oksigen secukupnya. Pun menunggu si pacar manis untuk meraup daun bibirnya telak.
Bright membuka pejaman matanya, langsung bertemu dengan sepasang mata sayu milik Win yang sudah dipenuhi kabut nafsu. Tersenyum sebentar, ia beri kehangatan pada si Manis dengan mengusap sayang pinggangnya yang masih terbalut kain satin.
Bright menjauhkan sedikit wajahnya ketika Win justru sudah siap untuk meraup kembali bibirnya. Satu alis Win memicing bingung, ada tanda tanya besar yang secara transparan tergambar di dahinya yang mulai dibasahi peluh.
Satu kecupan kilat mendarat di bibir atas Win, lalu keduanya kembali pada posisi saling berhadapan.
“Masih mau ngobrol atau kita step up?” Bright bertanya dengan wajah penuh kuriositas.
Win mendesah pelan karena bisa-bisanya Bright bertanya di saat gairah sudah nyaris merenggut seluruh akal sehatnya. Desahan kesal kini berubah jadi sebuah seringai yang diam-diam membuat Bright jadi semakin antusias. Lalu pada tiga detik setelahnya, Win kembali menarik wajah Bright mendekat. Habis sudah jarak di antara keduanya, apalagi ketika deru nafas Win meninggalkan jejak di telinga sampai ke tengkuk sang pacar, juga sebuah kecupan nakal yang menyusul di detik berikutnya.
“Ngobrolnya mau kayak gini aja, nggak? Sambil gue isep-isep cuping telinga lo, kayak gini...” lidah Win lantas terjulur menjilati cuping telinga yang kini memerah padam. Dengan pelan ia raup lapisan kulit tipis itu, memasukkan sebagian cuping telinga Bright ke dalam mulutnya untuk dihisap dan dikulum lembut.
Bright, merinding sebadan-badan.
Win tidak senakal ini ketika terakhir kali mereka making out di kamar besar Win, pada hari ulang tahun Bright. Lebih tepatnya, pada kali pertama mereka untuk menaikkan level keintiman yang lebih dari sekedar ciuman panas (yang sejatinya sudah sering mereka bagi sejak masih kelas 1 SMA).
Lidah dan gigi-gigi rapi itu bergantian memanjakan cuping telinga Bright. Bahkan sesekali daging bibirnya ikut serta memberi sensasi panas di sana. Tangan Win sendiri kini sudah beranjak bermain-main di surai hitam Bright, yang sudah mulai acak-acakan.
Win meremas rambut Bright, mendapati sang pacar menegang di atasnya adalah salah satu goals yang selalu ingin Win penuhi. And here he is now, membiarkan nafas beratnya terhembus menggelitik telinga Bright, “Mmmhh… does it feel good?” kemudian mendesah, sambil meledek ketahanan si lawan main lewat pertanyaannya.
“Kayaknya lo keenakan banget ya, sampai nggak bisa bales omongan gue… Mau diisep lagi, Bii?”
“Demi Tuhan, mulut lo, Ayang… ahh,ㅡ” mengerang, Bright hanya bisa mengerang pasrah ketika Win dengan jahil mulai memainkan telinganya yang lain dengan jari-jarinya yang panjang. Mulutnya kembali melahap cuping telinga Bright yang sejak tadi sudah ia manjakan; memuaskan Bright di 2 titik di waktu yang sama adalah salah satu kelebihan pemuda manis itu. And Win is so proud of himself for this.
Merasa sudah cukup dijahili, kini Bright berpikir untuk melakukan secuil pembalasan. Pemuda 18 tahun itu menumpukan kedua tangannya di samping tubuh Win, lalu menjauhkan wajahnya dari jangkauan si Manis. Win menekuk kecil bibirnya di kala ia rasa tak ada lagi sesuatu yang memenuhi organ oralnya. Netranya menatap Bright kesal.
“Kenapa sama mulut gue? Kewalahan, ya? Apa keenakan diisep-isep gitu? Sini gue isep lagi,”
Win hendak meraih kembali cuping telinga Bright dengan mulutnya, tapi Bright lebih dulu menghindar. Mau tidak mau, Win mundur, menyandarkan kepalanya di headboard kasur (masih) sambil menatap Bright dengan kesal.
“Nggak bosen ngisep cuping telinga gue doang? Ngisep yang lain aja, gimana?” oalah, Bright. Asu kowe.
Remember when Win said his name is Win for a reason? Dalam hitungan detik pun jiwa penantangnya bisa bangkit tanpa aba, terbukti dari ekspresi kesal di wajahnya yang kini berubah jadi ekspresi menantang.
Win mengulum bibir bawahnya, sedangkan kedua tangannya sibuk memilin dan mengelus jahil cuping telinga kanan dan kiri milik Bright. Membuat pacarnya itu lagi dan lagi mengerang berat. Alisnya bertaut, berpura-pura seolah tengah memikirkan sesuatu.
“Ngisep apa yah...”
And there's Bright holding his breath, harusnya ia sadar kalau pacar nakalnya ini… bisa jadi luar biasa nakal kalau diberi celah.
Dan tanpa persiapan apa-apa, Bright lengah total dan berujung pasrah ketika Win menarik satu tangannya. Jari-jari Win beranjak meraih jari telunjuk Bright, mengusapnya sebentar dengan ujung ibu jarinya.
Tatapan keduanya kini beradu jauh lebih intens, “oh, jarinya Bright yah yang mau diisep?” berpura-pura polos di atas ranjang, juga adalah salah satu kelebihan seorang Metawin.
Lantas tanpa bisa mengelak apalagi menghindar, Bright yang sudah terlanjur deg-degan setengah mampus, cuma bisa memejam kala mulut Win lagi dan lagi melumpuhkan seluruh sistem motoriknya. Bright dapat merasakan sensasi hangat dan geli yang bercampur jadi satu ketika perlahan-lahan Win mulai mengulum jari telunjuknya.
Lidah pemuda manis itu pun tidak tinggal diam. Benda lunak tak bertulang itu sesekali menjilati dan membasahi jari telunjuk Bright yang terus bergerak maju – mundur – maju – mundur di dalam goa hangat si Manis.
“Nshsshwenak B-bii?” tanya Win, tidak begitu jelas, karena masih sibuk membiarkan mulutnya mengocok habis jari sang pacar.
Bright membuka pejaman matanya, bibirnya ia tekan sekuat mungkin, takut mendesah di waktu yang tak bisa ia duga.
Tidak mau bohong, Bright pun mengangguk, dengan susah payah.
“Mulut lo kenapa enak banget, Win? Hm? Kita jarang lho begini, tapi lo kayaknya udah handal banget? Enak Win, iya? Enak ngisep jari gue kayak gini? Enㅡ mhhh, ahh,”
Mendesah juga pada akhirnya. Rangsangan yang diberikan Win memang bukan abal-abal. Rasa-rasanya, Bright sudah mulai diajak terbang and was about to reach the 9th cloud… untouched.
Bright baru saja akan kembali menghayati kuluman Win pada jarinya, tapi Win lagi-lagi menggagalkan semuanya. Tanpa permisi, si Manis melepaskan jari Bright dari jangkauan mulutnya, lalu menjilat seduktif sisi bibirnya yang dihiasi air liur. Bright bahkan nyaris memperoleh putih, tapi Win sepertinya belum puas bermain-main.
Bright menatap Win pasrah, “kenapa, kok udahan?”
“Burung merpati lo udah berisik, Bii...”
Lantas dengan polosnya Bright melirik sesuatu yang ternyata sudah ereksi dari balik fabrik yang membungkus kedua kakinya. Bright memegang adik kecilnya, menepuk-nepuk pelan si 'ganteng' bermaksud untuk menidurkannya kembali.
“Ganteng, jangan berulah dulu, laki gue belum selesai pemanasannya.” begitulah cara Bright menasihati Bright kecil.
Memang butuh kerja sama yang baik, makanya Bright tidak henti-henti menepuk dan mengusap lembut ereksinya.
Dan satu kali lagi, ya… satu kali lagi, Bright dibuat jantungan oleh tingkah Win. Bagaimana tidak jantungan mendadak, kalau Win tiba-tiba mendorong tubuh Bright sampai pemuda itu terbaring terlentang, pasrah, dengan Win yang perlahan-lahan kembali merangkak naik ke atas tubuhnya.
Win menekuk kedua kaki Bright, menuntun sepasang kaki jenjang itu untuk mengangkang lebar. Tanpa suara, Win menarik turun celana training yang dipakai sang pacar, melepasnya pelan-pelan dan melemparnya asal ke lantai. Sama seperti apa yang ia lakukan pada kaos oblong pemuda itu.
Bright sudah nyaris telanjang. Hanya menyisakan pakaian dalam pemuda itu, yang kini sudah dibanjiri cairan pre-cum. Lalu dengan segala tingkah ajaibnya, Win berbaring di tengah-tengah kaki Bright, membawa wajahnya untuk sejajar dengan sebuah gundukan besar yang menjulang malu-malu dari balik si calvin klein abu-abu.
Win mengetuk-ngetuk gundukan itu dengan ujung jari telunjuknya, “mau diisep juga nggak si ganteng?” tanya nya, sambil melirik Bright yang sedang susah payah memendam lenguhan.
“Mau dimanjain juga nggak titit lo?” tanya Win, lagi, kali ini jauh lebih frontal dan membuat Bright kalah dengan nafsunya.
Bibir pemuda itu terbuka, merilis nafas berat ketika tangan Win perlahan-lahan mulai membebaskan penisnya dari satu-satunya fabrik yang tersisa di tubuhnya.
Lagi lagi Bright dibuat pasrah, mengangkat satu persatu kaki dibantu tangan Win untuk melepas pakaian dalamnya. Kini, si ganteng sudah berdiri dengan tegak, gagah, dan berani.
Win memandang kejantanan Bright penuh kagum. Bibirnya sengaja ia tempelkan di benda yang menjulang itu, tidak ada kecupan, jilatan apalagi lumatan. Win hanya menempelkan daun bibirnya di sana, menyatu dengan cairan pre-cum yang mulai mengalir sedikit demi sedikit.
“Mulut lo bener-bener, yang… M-mulut lo, mhhhㅡ yes,”
Bright mendesah, lagi. Win dengan beraninya membuka mulut, menyesap cairan kental yang turun membasahi batang kemaluan Bright. Win menyesapnya berulang kali, lagi dan lagi, sehingga pergerakan mulut Win semakin intens di sana, membuat Bright pada akhirnya menjemput putih, benar-benar tanpa sentuhan berarti.
Dengan sigap, Win menutup lubang di penis Bright dengan ibu jarinya. Menghalangi satu-satunya jalur dimana Bright bisa merilis orgasmenya. Win membawa tubuhnya untuk merangkak lagi di atas tubuh polos Bright, masih dengan ibu jarinya yang dengan tega menghentikan laju spermanya.
Win menatap Bright seduktif, “tumben keluarnya cepet banget?” tanya nya.
Bright lantas berdecak agak keras, “dengan lo main-main kayak tadi, terus dengan mulut kotor lo, lo berekspektasi gue keluar dua jam lagi?” balas Bright.
Dibalas seperti itu, Win pun sengaja menaik-turunkan ibu jarinya di lubang penis Bright. Membuat sperma pemuda itu keluar sedikit, lalu tertahan – keluar lagi, lalu tertahan kembali.
“Yang, t-tangan lo...”
“You choose one, mau keluar di mulut gue tapi untouched, i mean… tanpa effort dari tangan gue, atau mau keluar di luar tapi sambil gue kocok?”
Nafasnya tercekat. Kaget. Pilihan yang sulit…
Win menekan-nekan ibu jarinya di lubang penis Bright, seolah memaksa seluruh sperma milik sang pacar untuk kembali masuk. Ekor matanya kembali melirik Bright, “atau mau ditahan kayak gini aja, biar nggak jadi keluar?” tanya Win, lagi.
Bright susah payah menelan salivanya, sebelum ia putuskan untuk menarik satu tangan Win untuk mendekat. Karena tak tega melihat si pacar yang mulai frustrasi, Win pun menurut. Tubuhnya menunduk sedikit, meski butuh usaha lebih besar karena tangannya yang satu masih sibuk menutup lubang penis Bright.
“Mau cium dulu,”
Once a baby, forever a baby… Win menggeleng sesaat, lalu ia pertemukan bibirnya dengan bibir Bright. Kembali saling mencumbu, melumat, menyalurkan perasaan masing-masing.
“Udah, sekarang jawab pertanyaan gue tadi.”
Ah, sial. Mau tidak mau, Bright memang harus memilih.
“Emang kalau gue keluar di mulut lo, lo oke oke aja? Terakhir lo ngisep gue kan itu gue pakai kondom. Ya doyan lah… Ini gue nggak pakai apa-apa, Yang.”
Oh iya, bener juga. Win yang terlalu semangat ingin step up keintiman pun jadi pikir-pikir lagi. Terakhir ia memberikan blow job pada Bright, pacarnya itu memakai kondom, rasa stroberi. Dan Win tidak perlu repot-repot menyicipi cairan putih Bright.
Tapi kali ini… ya, sekalian nyoba gimana rasanya kalau nggak pakai pengaman. Untuk bahan pertimbangan ke depannya, kalau-kalau suatu saat nanti mereka akan berbagi hangat lagi.
Win menarik nafas panjang sebentar, lalu menghembuskannya perlahan, “kalau rasanya aneh, nanti gue buang ke wastafel.” jawab Win.
“Kalau ternyata lo cocok sama rasanya? Mau lo apain?”
Aduh, ini kok jadi gue lagi yang dibuat ketar-ketir… begitu pikir Win dalam hati.
Bright mengusap pelan tangan Win yang masih ia pegang, “gue nggak mau maksain sesuatu yang sekiranya bikin lo nggak nyaman, ya? Kalau emang belum siap step up buat nelen-nelen gitu, ya nggak usah… nanti biar gue keluar di luar, kayak waktu itu.”
“Kita harus sama-sama enak, sama-sama nyaman, secara nggak langsung ini juga proses buat kita belajar, Yang...” sambung Bright.
Oke, oke, Win paham. Setengah dari hatinya, Win ragu untuk menelan habis cairan sperma Bright karena demi Tuhan… kayaknya ia belum cukup dewasa untuk menginjak fase tersebut. Tapi setengah dari hatinya yang lain, Win… penasaran. Kalau tidak dicoba sekarang, maka Win bisa kepikiran berhari-hari lamanya.
Bright kembali mengelus pelan lengan Win, “tangannya bisa dilepas nggak, Yang? Ini beneran sakit lho nahan klimaks begini...”
Ya ampun, lupa…!!!
Lalu tanpa menjawab pertanyaan Bright perihal nyaman dan tidak nyaman, akan dikemanakan cairan spermanya jika ternyata tidak suka atau akan dibiarkan tertelan kah jika cocok dengan rasanya, Win langsung memposisikan tubuhnya untuk kembali berbaring tengkurap di tengah-tengah kaki Bright yang (masih) mengangkang lebar, lalu dilepasnya ibu jari yang sedari tadi menutup lubang penis sang pacar, dan bloop tanpa aba-aba Win langsung memasukkan setengah kemaluan Bright ke dalam mulutnya.
Bright… kaget. Tapi kuluman Win yang mulai mendominasi penisnya, mampu membuat Bright lagi-lagi tak berkutik.
Di bawah sana, Win sedang bersemangat mengulum penis Bright yang kian membesar. Bright sendiri cuma bisa pasrah, jari-jari kakinya mengeriting seiring dengan laju naik – turun yang dilakukan Win di pusat tubuhnya.
“Win, sayang… mmmhh, pelan-pelan, yang… nanti lo keselek, ahhhh, damnㅡ”
Tapi Win tidak mau dengar. Dengan santainya si Manis terus membawa mulutnya naik, lalu turună…ˇ mengulum penis Bright seolah itu adalah permen kaki yang dulu selalu ia beli di kantin saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Win membawa satu tangannya menuju penis Bright, lebih tepatnya pada bagian yang tidak bisa masuk ke dalam mulut Win (karena pemuda manis itu belum tahu bagaimana baiknya melakukan deep throat). Jari-jari panjangnya mulai meremas bagian yang terekspos, sekalian menyalurkan tenaga agar Bright cepat merilis spermanya (yang sempat tertahan, tadi).
Entah sadar atau tidak, Bright menjatuhkan kedua tangannya di rambut Win. Tangan kanan, sibuk mencengkeram seberkas surai hitam Win, berusaha menyalurkan nikmatnya. Sedangkan tangan kiri,
“Arghhhh, B-bii...”
Sibuk menarik rambut Win di sisi yang lain, membuat pemuda manis itu sempat kehilangan tempo dan penis Bright lepas begitu saja dari mulutnya.
Bright terkekeh sebentar, lalu meminta maaf. Tidak lagi-lagi ia menjambak rambut pacar manisnya itu, tapi kedua tangannya sekarang sibuk membantu kepala Win untuk bergerak naik – turun mencari tempo, dan di waktu yang sama guna memuaskan birahinya.
“Gue m-mau keluar, Yang… mhhhㅡ,”
Diberi sinyal seperti itu, Win semakin cepat mengulum penis Bright sambil sesekali menjilatinya. Rasanya… tidak begitu enak jika dibanding ketika Bright memakai kondom tempo hari. Tapi kali ini bukan soal rasa yang Win cari, tapi sensasi. Sensasi gila dan menyenangkan yang bisa ia dapat ketika organ oralnya menemukan jalan untuk menikmati penis pacarnya itu.
Win menarik bibirnya, dan berhenti tepat di ujung penis Bright. Kepalanya tampak memerah, lucu, dengan lubang kecil yang berkedut siap merilis putih. Win tidak lagi mengulum kemaluan si pacar, tapi kini ia gunakan mulutnya untuk mencium kepala penis Bright, lalu disusul dengan aksi menghisap kuat agar sperma Bright cepat keluar.
Win mengocok penis Bright beberapa kali, sampai akhirnya,
“WINNNN…. AHHHHHH, enak… e-enak banget, Win, s-sayang…. hhhh, mhhhㅡ”
Bright terlalu hanyut dalam putihnya, sampai-sampai tidak sadar kalau Win sudah berlari menuju kamar mandi. Butuh waktu sekitar satu menit lebih sampai Bright bisa membuka matanya sedikit demi sedikit. Nikmat orgasmenya belum hilang, tapi ia sadar kalau Win sudah tidak ada di kasur dan insting Bright langsung terpusat pada si Manis.
Lantas dengan tergopoh-gopoh, Bright berusaha bangkit dari kasur dan menyusul Win ke kamar mandi.
“Udah dibuang, Yang?”
Win menoleh, menatap Bright dengan tubuh polosnya berdiri penuh khawatir di ambang pintu, lalu menggeleng.
Bright masuk ke dalam kamar mandi dan berhenti tepat di sebelah Win. Ia menengadahkan telapak tangan kanannya di depan dagu Win, sedangkan tangan kirinya terangkat untuk mengusap sayang surai berantakan pacarnya itu.
Bright tau, Win masih menyimpan cairan spermanya di dalam mulut.
“Buang aja, jangan dipaksa, sayang.”
Lagi, Win menggeleng. Mengabaikan wajahnya yang justru mulai memerah.
“Win,”
Lalu dengan pasrah, Win memuntahkan sedikit cairan sperma milik Bright dari mulutnya. Sedangkan sisanya yang lain, ia telan, benar-benar habis ia telan.
Win menjilat sudut bibirnya, berusaha mencari sisa sperma yang mungkin saja masih memenuhi wajahnya.
Bright menyentil pelan dahi lebar Win, “bikin panik pacarnya aja, deh.”
“Nyehehe, abisnya gue mual beneran tadi, mau gue muntahin semua, sayang banget… ya udah, setengah gue muntahin, setengah gue habisin.” jawab Win.
Bright menghadapkan tubuhnya ke arah cermin, menatap dirinya dan Win bergantian di sana.
“Hasil gigitan lo lumayan juga, ya.” gumam Bright, sambil memperhatikan bercak kemerahan di dadanya, hasil gigitan Win beberapa waktu lalu.
Win cuma bisa terkekeh, lalu ia menunduk mendekati bahu telanjang Bright, dan menghadiahkan tiga kali kecupan nakal di sana.
Si Manis beranjak untuk berdiri di belakang Bright. Fortunately, Bright memang 2 sentimeter lebih pendek darinya, jadi Win bisa dengan leluasa mengukung tubuh telanjang si pacar dari belakang.
Win mencuri sebuah kecupan panjang di tengkuk Bright, lalu beralih menuju perpotongan lehernya. Laju bibir Win berhenti tepat di depan telinga Bright, lalu dilumatnya pelan cuping lembut itu.
“Now my turn, Bii.”
Satu gigitan kecil di bahu Bright, lalu Win beranjak melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Pemuda itu mulai membuka piyama satin yang sejak tadi masih membungkus utuh tubuhnya, berusaha menanggalkan seluruh fabrik yang tersisa sebelum ia kembali melempar tubuhnya sendiri ke atas kasur.
Setelah tidak ada satu benang pun yang tersisa di tubuh semampai itu, Win kembali naik ke atas kasur. Matanya melirik malu-malu pada pakaiannya dan pakaian Bright yang tergeletak dengan naas di lantai. Win membawa tubuhnya untuk bersandar di headboard, lalu tangannya dengan spontan merentang lebar ketika Bright merangkak masuk dalam dekapannya.
Bright menghujani wajah lelah Win dengan ciuman-ciuman gemas, membuat si Manis tersenyum dan sesekali melepaskan tawa kecilnya.
Win menangkup pipi Bright dan mendorongnya pelan, menatap pemuda tampan kesayangannya itu penuh kelembutan, “does it feel good?” tanya Win.
Bright mengangguk, lalu wajahnya menunduk, hendak meraup bibir merah muda si Manis, namun Win lebih dulu memalingkan pemandangan sambil terkekeh, “jawab dulu yang bener, from scale 1-10 seberapa puasnya lo tadi? Biar gue tau, buat pelajaran ke depannya...”
Satu tangan Bright mengusap lembut surai hitam Win, “if there's any words can top the PERFECT, i will probably use that, lo hebat, pacar gue yang paling hebat,”
Lalu bibir keduanya kembali bertemu. Seolah saling mengais rindu setelah dipisah oleh jarak dan waktu. Win tersenyum di sela ciumannya, lalu dengan perlahan ia pasrah ketika Bright mundur melepas ciuman keduanya.
“Jam berapa sih sekarang?” Bright melirik pada jam berbentuk bulatㅡ putih, dan menggantung di dinding, yang kini menunjukkan pukul 1 dinihari.
“Jam 1, Yang. Kenapa? Ngantuk, ya?”
Win mengangguk, “sedikit, tapi nggak apa-apa, gue bisa tahan.” balasnya.
“How about cuddles?”
Salah satu mata Win memicing, bibirnya mencebik sedikit, lucu, “you dapet orgasme, terus i enggak?”
Bright terkekeh pelan, dicurinya satu kecupan lagi di bibir penuh Win.
“Nggak gitu, sayang. Karena keliatannya lo capek banget, ya kita cuddling aja, sambil gue puasin lo nya juga.”
Oh, oke, tawaran yang menarik. Jadi Win nggak perlu kerja keras kayak tadi, 'kan?
“Contohnya?” tanya Win.
“Kayak gini,” Win nyaris saja memekik ketika Bright menarik turun tubuhnya, membuat posisi Win kini kembali berbaring setengah duduk, sama seperti beberapa saat lalu.
Satu tangan Win refleks terangkat, menunggu kehadiran Bright kembali dalam peluknya. Dan benar saja, beberapa detik kemudian Bright kembali masuk dalam dekapan Win, dengan kepalanya yang kini bersandar di dada si Manis.
Tangan Win bermain dengan leluasa di rambut Bright, mencengkeramnya lalu menariknya sesekali, apalagi ketika bibir Bright kini mulai menjamah noktah kecokelatannya, di sebelah kanan.
Win menekan bibirnya, belum ingin mendesah, meski Bright sudah mulai menghisap putingnya.
Tangan kanan Bright tak tinggal diam. Perut Win adalah target utamanya. Lantas sambil memberi kepuasan di dada si Manis, Bright pun turut mengusap lembut perut Win dengan telapak tangannya.
Tubuh Win mulai bergerak gelisah. Hisapan Bright di putingnya kini berubah menjadi lumatan. Bright yang juga sudah kembali terbakar gairah kini mulai menaiki tubuh Win, bibirnya terus menikmati noktah kecokelatan si Manis kelaparan.
“B-bii, aaahhh, jangan digigit gitu,”
Namun Bright tidak mendengar. Ia tau jelas, dalam kata Win menolak, tapi dalam tindakan… Win meminta lebih. Win berulang kali mendesah memohon agar Bright tidak menyertakan giginya lagi ketika sedang mengulum putingnya, tapi respon tubuh si Manis justru bertolak belakang. Tangannya semakin mendorong kepala Bright agar semakin dalam melahap putingnya, dadanya juga kian mengangkat, memberi sinyal agar Bright tidak berhenti.
“Mmmhhh, s-sakit… Aaaaah, B-bi, e-enak...”
Bright terkekeh pelan, lalu mendongak menatap Win dari bawah, “yang bener dong, sakit atau enak?”
Win, dengan kilatan nafsu di kedua matanya, balas menatap Bright penuh tantang.
Satu tangannya sengaja Win arahkan untuk meremas dada kirinya, “sini, nyusu di sebelah kiri juga dong,”
Anjingggggg…. Win…. Ayang, ya Allah…. Kenapa hari ini nakal banget, sih…. Bright pusing, bisa-bisa ia akan meminta jatah setiap hari nantinya.
“Kalau gue ketagihan nyusu sama lo gini, jangan salahin gue kalau nanti gue minta jatah terus ya, Yang...”
Win terkekeh pelan, lalu meraih kepala Bright untuk segera meraup puting kirinya.
Bright mulai melakukan aksi menyusunya. Menyusu layaknya bayi yang kehausan. Bright mengulum dan menghisap puting kiri Win seolah-olah akan keluar air susu dari sana.
Sedangkan Win yang mulai rileks dan menyukai aktifitas ini, turut menyalurkan afeksi pada sang pacar dengan mengelus sayang pipi dan surai hitamnya secara bergantian selagi Bright terus mengulum nafsu puting kirinya.
“Iya, kalau cuma nyusu begini aja mah, setiap hari juga gue kasih, asal tau waktu.”
Diam-diam, Bright tersenyum ketika sedang sibuk membangkitkan gairah si Manis. Satu tangan Bright berusaha mencari jalan menuju penis Win. Begitu dapat, ia langsung mengurut penis yang sudah setengah menegang itu, sambil terus menghisap puting kiri pacar manisnya itu.
Win memejam, desah demi desah mulai lolos dari belah bibirnya, “Diisep sambil dikocok barengan gini tuh emang enak banget ya, Bii...”
“Mmmhhh, ya Tuhan, mulut lo enak banget...”
Win sibuk mendesah, dan Bright sibuk memberi kepuasan. Satu tangan Bright yang bebas kini mulai menjamah puting kanan Win, turut memberi afeksi di sana.
Win, his most prettiest boyfriend deserves it. He deserves to get pleasure at three different places at once, di penisnya, di puting kanannya, juga di puting kirinya.
“Aaaah, B-bright… Mau keluar… I wanna cum...”
Dan ketika dirasa tubuh Win mulai gemeteran, juga penis dalam genggamannya mulai membesar, Bright menghentikan segala pergerakannya.
Tidak ada lagi hisapan dan kuluman di puting kiri Win. Tidak ada lagi pelintiran lembut di puting kanan Win. Juga, tidak ada lagi kocokan bertempo di penis besar Win.
Win lantas menatap Bright penuh tanya, “B-bi?!!”
Tapi sebuah seringai di sudut bibir si pacar, justru menjadi alarm tanda bahaya bagi Win. Win, cuma bisa pasrah terutama ketika Bright mulai beranjak dan duduk di sampingnya. Mata pemuda itu menatap iba pada penis Win yang masih berdiri tegak, sudah memerah, siap meluncurkan sperma dalam hitungan detik kalau saja Bright tidak mengerjainya.
“Gimana rasanya pas mau orgasme, malah diisengin?” tanya Bright.
Win tertawa tak terima, “Bright, demi apa sih, lo balas-balasan gini mainnya?”
“Try and get your pleasure alone by yourself. Do whatever you want, make me satisfied as well, kalau gue nggak puas liat lo, itu artinya lo nggak boleh klimaks.”
“BRIGHT??!!!”
Satu kecupan Bright curi di bibir penuh Win, “ssstt, jangan berisik, sayang. Nanti Bunda sama Ayah denger.”
Anjingggg… Emang Bright anjing….
“You gotta begging me for more, i'd gladly give you anything, anything…. literally anything, Win. But i wanna see your face when you ask for it, beg for it,”
Lalu tanpa menunggu Bright menyelesaikan ucapannya, Win langsung naik ke atas tubuh Bright. Ia duduk di atas pangkuan si pacar, bergerak gusar bagai orang kesetanan mencari nikmat.
Win menggesek penisnya dengan penis Bright. Mengais sensasi menyenangkan dari sana, lalu tangannya ikut berbaur, mengocok kedua penis itu bersamaan.
Dalam hati Bright meringis, Win selalu bisa memenuhi ekspektasinya. Bahkan lebih. Win selalu lebih dari apa yang ia harapkan.
Tapi Bright, tidak akan semudah itu memberi orgasme untuk si Manis. Win sudah banyak mengerjainya tadi, dan sekarang adalah giliran Bright.
Tanpa sadar, Win mulai menemukan asik-nya sendiri. Ada sensasi luar biasa ketika ia terus menerus bergerak naik turun, seolah sedang menunggangi penis Bright. Padahal, ia hanya sibuk menggesek penis keduanya, sambil mengocoknya dalam gerak dan tempo yang sama.
Win tertawa sesekali, ini… asik. Menyenangkan.
Dan saat dirasa putih itu kembali dekat, Win menatap Bright dengan tatap penuh nafsu, lagi dan lagi harus memohon… agar diberi izin untuk bisa menjemput putihnya.
Penis Win sudah berkedut, cairan pre-cum sudah mulai keluar dari lubang penisnya, tapi lagi dan lagi Bright menggeleng.
Win, gagal orgasme, lagi.
Helaan nafas berat terhembus dari belah bibirnya. Ia lelah, tapi ia ingin setidaknya orgasme satu kali saja…
“Ayo, coba cara lain, Win, sampai gue ngebolehin lo keluar.”
Lalu tanpa suara (kepalang lelah), Win pun mengubah posisinya menjadi berjongkok tepat di atas penis Bright. Win, berjongkok selebar yang ia bisa. Lantas dengan ragu, ia mundurkan sedikit tumpuan tangannya tepat di samping paha kanan dan kiri Bright, membuat tubuh bagian bawahnya sedikit mencondong ke depan, mencari friksi lewat gesekan antara belahan pantatnya dengan ujung penis Bright.
“Sayang, kita janji nggak akan masuk dulu sampai lulus SMA, lho...”
Win mengangguk, tanpa menghentikan gerakannya di atas penis Bright.
“Cuma gesek-gesek doang, kok...”
Oh, oke. Bright sudah panas dingin, takut kalau-kalau Win bablas memasukkan penisnya ke dalam lubang anal pemuda manis itu.
Beberapa kali kepala penisnya nyaris masuk ke dalam lubang Win, namun Win dengan cepat kembali bergerak, menggesek mencari nikmat.
“Posisi gini enak juga,” entahlah, Win sadar atau tidak saat mengucapkannya.
Bright terkekeh, tangannya beranjak menyentuh kedua kaki jenjang Win, membantu si Manis untuk bergerak.
“By the way, lo pasti lupa bawa lays rumput lautnya, deh.” kata Bright, sambil sesekali memejam menahan nikmat ketika Win dengan sengaja beberapa kali berusaha memasukkan penisnya ke dalam lubang, lalu ditariknya lagi keluar.
Win berdehem pelan, “nggak perlu lays juga kita udah hampir dua jam make out gini,”
Merasa tidak cukup hanya dengan cara menggesekkan belah pantatnya dengan penis Bright, Win pun memutuskan untuk membungkuk dan meraup puting kanan Bright dengan lapar.
Bagian tubuh Win masih terus bergerak, kali ini ia kembali mempertemukan penisnya dengan penis Bright, lalu menggeseknya sesuai gerak tubuhnya.
Win mengikuti cara Bright ketika pemuda itu menikmati putingnya. Win menjilati noktah kecokelatan yang sudah menegang itu beberapa kali, lalu mengulumnya dan sesekali menghisapnya kuat.
“Pinternya pacar gue… Such a fast learner, the most prettiest man ever, hebat di atas ranjang, knows how to make me satisfied, cantik… manis… kesayangan Bright,”
Dipuji seperti itu, Win semakin bersemangat. Dengan berani ia kulum puting kanan Bright lebih kuat lagi, lalu ia beranjak untuk menangkup wajah Bright dan mempertemukan kembali bibir keduanya.
Bright dan Win kembali berciuman, lebih panas, lebih intim karena puncak gairah keduanya seolah sudah berhasil didaki. Bagian bawah tubuh Win pun masih bergerak, maju, mundur, mencari nikmat.
“Ahhh, Bii… Ahhhh,”
Ciuman keduanya terlepas. Win kini mendongak, membusungkan dadanya, membiarkan Bright mulai mengeksplor rahang, dagu, leher, dada, dan kembali ke puting kirinya.
“Mmhhh, Bright… Ya Tuhan… Aahhhㅡ”
Semakin kuat menghisap, semakin kuat pula desahan yang keluar dari mulut Win.
Tangan Win kembali merambat naik mencengkeram kuat rambut Bright. Menyalurkan kenikmatan kala gigi Bright bermain-main di noktahnya.
“Ayo gerak lagi sendiri.”
Bright? Sialan? Lo???
Ya sudah, sudah kepalang nafsu, Win pun kembali membiarkan Bright bersandar di headboard, selagi dirinya sibuk menunggangi paha sang pacar, sambil sesekali menyatukan penis keduanya untuk dikocok bersamaan.
Win, sedang berusaha keras. Dan Bright, sedang menatap Win dalam diam. Win selalu cantik dan manis dalam keadaan apapun, apalagi ketika sedang telanjang dan bermain cukup liar di atasnya, seperti sekarang ini.
Wajahnya yang memerah, bibirnya yang terbuka mengalunkan desahan lembut, juga rambutnya yang ikut bergerak mengikuti tempo permainan.
Cantik, luar biasa cantik…
Tiba-tiba, Bright teringat sesuatu.
“Oh iya, katanya Mamah mau ngasih tiket buat short getaway?”
Win, masih sambil bekerja, menganggukkan kepalanya, “iyah, lo pilih deh mau ke Dufan atau Taman Safari, gue ikut aja...”
“Aahhhㅡ,”
Tangan Bright menjalar mengusap lembut punggung polos Win, “Dufan aja, yuk?”
Bright, sudah lama punya keinginan untuk mengajak Win menikmati kencan di ibu kota. Dan diam-diam, Bright juga sebenarnya punya keinginan untuk memberikan kejutan ulang tahun untuk pacarnya itu. Lantas ketika Mama menawarkan tiket liburan, Bright jadi berpikir untuk rutin membawa Win jalan-jalan setiap minggu, dan puncaknya adalah sehari sebelum ulang tahun Win, ia akan membawa pacarnya itu dinner eksklusif.
Ah, ya, benar. Bright juga bisa minta bantuan Mama dan Bunda.
Ya, Bright yakin dengan rencananya. Ia sudah memikirkan konsepnya matang-matang, jalan-jalan lalu ditutup dengan makan malam eksklusif, berdua. Let's just call it a Bright's plan, terlalu biasa sih, tapi ya mau gimana lagi… konsepnya memang begitu. Lantas dielusnya pinggang telanjang Win dengan lembut, pemuda manis yang masih sibuk bergerak maju dan mundur di atas kedua pangkal pahanya itu, menoleh malu-malu. Matanya sayu, cantik… ada peluh yang kini turut jatuh di atas kulit perut Bright.
Alis kanan yang bergerak turunㅡ bertaut, berhasil menambah kesan penasaran dan excitement di wajah Win yang sudah nyaris basah dengan keringat. “What is it again, Bii? Lo ngeganggu konsentrasi gue tau, nggak...” katanya, intonasi tersebut terdengar kesal, tapi menyimpan keingin tahuan yang besar di waktu yang sama.
Elusan tangan Bright mulai beranjak turun dari pinggang si Manis menuju paha telanjang pemuda itu, “yang, please make a list of the three places you wants to visit the most in the near future.” lalu satu tangan Bright bergerak menyentuh bagian belakang tubuh Win, memancing pacarnya itu agar kembali bergerak lembut. Sesekali Bright bahkan mencubit dua pipi berisi itu dengan gemas, “gue mau ngajak lo liburan, let's just call it a sudden escape.”
.
.
.
“Boleh nyusu lagi, nggak?”
Seolah sudah terbiasa dengan omongan kotor Bright, Win pun mengangguk. Seuntai senyum tersampir di wajahnya, menyambut Bright yang baru saja kembali dari kamar mandi setelah beres dengan urusannya; membersihkan tubuhnya dan juga tubuh Win dari sisa-sisa sperma dan keringat.
Win mengatur posisi lebih dulu, sebelum membiarkan Bright kembali masuk dalam peluknya.
“Yang kiri aja ya, Bii? Yang kanan udah agak bengkak, soalnya...”
Bright mengangguk, lalu tanpa basa-basi mulai meraup puting kiri Win, kembali memberi kepuasan di satu titik itu.
Sedangkan Win, matanya sibuk melirik ke arah nakas. Bibirnya kembali mengukir senyum saat melihat ada karet gelang yang tergeletak di sana. Susah payah Win mengambilnya, sedikit membuat Bright merengek ketika putingnya terlepas tanpa disengaja dari jangkauan mulut Bright.
“Gue kuncir apel, ya?”
Bright terlalu sibuk menyusu, hanya mampu merespon dengan anggukan pelan.
Dan yah, malam itu ditutup dengan Bright yang tertidur di atas tubuh Win lengkap dengan rambutnya yang dikuncir seperti apel.
Juga ditutup dengan Win yang sibuk menyanyikan lullaby sambil mengusap punggung polos dan rambut Bright, agar pemuda itu semakin lelap dalam tidurnya.
Juga, ditutup dengan sebuah janji; bahwa pembahasan tentang aktivitas di atas ranjang, berakhir di atas ranjang. Besok ketika bangun di pagi hari, Bright dan Win akan kembali bersikap seperti biasanya.
Bright, si anak IPS yang terkadang petakilan dan bar-bar.
Win, si anak IPA yang ambis, dan sibuk dengan segala kegiatan organisasi juga tugas-tugas eksaktanya.
.
.
.
JEYI // 210130.