When We Were Us.
this is the last time of us being together…
total words: 2.829 words.
Jika Bright sudah bilang selesai, lantas apa Win punya kesempatan untuk menawarkan awal yang baru? Bisakah Win menjanjikan hal indah untuk masa depan mereka berdua? Tapi seberkas pemikiran kini menghampiri, Win sadar akan satu hal… Mengapa hanya dirinya yang berjuang? Mengapa hanya dirinya yang memohon dan mengemis? Tidakkah Bright mengharapkan masa depan dimana ada Win di dalamnya?
Atau, apakah Bright benar-benar sudah mencapai titik akhirnya? Puncak dari perjalanan 3 tahun kisah mereka?
Sudah sepuluh menit berlalu, nyatanya Win sama sekali belum mau beranjak. Kedua kakinya berdiri kelu, satu tangannya mengepal; menahan dingin, emosi dan rindu di waktu yang sama. Sedangkan satu tangannya yang lain menggenggam sebuah paper bag berwarna coklat, ada hadiah kecil pemberian Papa untuk kekasih (hampir) 3 tahunnya itu.
Bright, sudah ada di sana. Duduk di sebuah ayunan usang, bergerak mengayun mengikuti laju angin malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam tepat, ketika hitungan Win atas pergerakan ayunan yang diduduki Bright sudah memasuki angka 11.
Pemuda itu bergeming di tempatnya, sesekali terdengar gesekan antara alas sepatu yang dikenakan Bright dengan lantai dasar taman berbahan dasar semen. Tidak ada simfoni lain yang menemani, hanya suara semilir angin dengan suara dari rantai ayunan yang masih bergerak maju, mundur, maju dan mundur secara berkala. Pelan, tak ada kata buru-buru dalam setiap alunannya.
Win takut. Ia begitu takut untuk melangkah ke tempat dimana Bright sudah memposisikan dirinya di sana. Pertengkaran keduanya di hari kemarin, masih meninggalkan bekas yang cukup melukai hati kecilnya. Bagaimana intonasi Bright meninggi, bagaimana cara pemuda itu menatapnya dengan kilat amarah, bagaimana dinginnya suasana di atas motor ketika Bright mengantarkannya pulang ke rumah.
Perjalanan indah mereka selama hampir 3 tahun kini di ambang kehancuran. Win, sudah bisa merasakannya tepat di detik pertama setelah Bright mengucapkan kata 'break' untuk mereka.
Rasa hangat di sepasang obsidian hitam Bright pada hari itu… hilang. Rasa aman yang selama ini Win rasakan setiap berada di sisi Bright… sirna.
Pupus kah semuanya?
“Win,”
Dan lamunan panjang Win terpaksa buyar saat suara lembut Bright menyapanya. Tatapan mata itu, masih sama… seperti hari kemarin. Tanpa cinta, tanpa kehangatan.
Win, semakin takut.
Bright bangun dari posisi duduknya di atas ayunan. Mempersilakan Win untuk datang mendekat padanya lewat gerakan kepala, dan Win menurut. Langkah kakinya perlahan-lahan menapaki area taman komplek. Ada cukup banyak kenangan yang mereka ukir berdua di tempat ini, ada banyak tawa yang tercipta ketika mereka menghabiskan waktu di tempat ini. Dulu, ketika segalanya masih di porsi yang tepat; masih baik-baik saja.
Tapi sekarang semuanya berubah. Tidak lagi ada tawa, pun juga canda yang biasa mereka lempar pada satu sama lain. Yang ada hanya gugup, serta dinding besar tak kasat mata yang membatasi kedua anak adam yang pernah saling mencinta itu.
Win mengambil posisi duduk di atas ayunan yang bersebelahan dengan ayunan yang sebelumnya Bright duduki. Sedangkan pacarnya itu memilih untuk bersandar di tiang penyangga ayunan, satu tangannya tersimpan hangat di balik saku celana jeans yang ia kenakan. Tatapannya lurus ke depan, memandang lapangan kecil yang biasa dipakai anak-anak kecil untuk menghabiskan sore sambil bermain; tanpa ekspresi.
Bright bersikap amat sangat defensif. Sebenarnya Win tidak ingin terlalu mendramatisir kondisi mereka berdua kali ini, tapi rasanya terlalu kuat… rasa kehilangan itu mendominasi relung hatinya. Sungguh kenyamanan dan yang biasanya melingkupi keduanya seolah hilang tanpa jejak, tak menyisakan apapun yang bisa diperjuangkan.
Bright tidak lagi menatap ke arahnya, Win bukan lagi dunia bagi pemuda itu.
Bright tidak lagi mau duduk dekat dengannya, Win bukan lagi poros di hidup pemuda itu.
Bright tidak lagi menggenggam erat tangannya, Win bukan lagi pegangan bagi pemuda itu.
Win… bingung. Bagaimana bisa kesalahpahaman membawa mereka pada titik ini? Bagaimana bisa mereka bersikap layaknya orang asing yang seakan-akan tak pernah saling mengenal satu sama lain sebelumnya?
Bagaimana bisa kisah yang sudah dirajut sejak masa SMP itu kini di terantuk tanpa kejelasan di ujung jalan?
Bagaimana bisa satu kesalahan… hanya satu kesalahan, tapi mampu menghapus segala rasa dan percaya?
Maka ketika Bright tidak mau lagi melihat ke arahnya, Win tau, ia sudah tau, kalau mereka tidak lagi bisa diselamatkan.
“Itu oleh-oleh dari Papa?”
Lagi, suara Bright yang jadi pemecah keheningan malam itu. Win mengangguk, sambil mengulurkan tangannya yang memegang paper bag berisi jam tangan pada Bright.
Bright menerimanya, masih tidak mau menatap ke arah Win, sama sekali.
“Thanks, Win.”
Win sudah ingin menangis, lagi. Perasaan hatinya berantakan, gelisah, Bright yang ada di siniㅡ di dekatnya, bukan lagi Bright yang dulu ia kenal. Bukan Bright yang menyayanginya.
“Bii,”
Bright terkekeh. Tawa meremehkan lolos dari belah bibirnya begitu Win memanggilnya dengan panggilan sayang, yang dulu selalu Bright sukai… tapi tidak dengan sekarang.
Genggaman jari-jari tangan Bright pada tali paper bag pemberian Win mengerat, dalam diam ia menunggu Win melanjutkan ucapannya.
Tapi nihil… Panggilan itu menggantung, menyisakan hening tak berujung.
Merasa tidak ada hal lain yang harus mereka bicarakan, Bright menghela pelan nafasnya, lalu melirik Win sebentar.
Hanya sebentar, Bright tidak cukup sanggup untuk menatap wajah yang kini menatapnya penuh luka.
“Nanti gue telfon Papa buat bilang makasih. Gue balik dulu ya? Lo jangan kelamaan di sini, angin malem nggak bagus buat kesehatan.”
Lantas langsung berbalik, Bright membawa punggungnya untuk jadi satu-satunya objek yang bisa Win pandang dalam diam. Bright tidak merasa perlu menunggu izin dari Win untuk pergi, jadi ia lekas bergegas menjauh.
Meninggalkan Win yang sudah jatuh air matanya.
“Bright,”
Suara Win terdengar lirih, tapi tak jua mampu membuat langkah Bright berhenti.
“B-bright… hiks...”
Namun ketika lirihan Win berubah jadi isak tangis, Bright berhenti. Kedua kakinya yang beralaskan sepatu sandal berwarna hitam tak lagi lanjut menapaki langkah.
Win menangis, lagi.
Dan Bright amat sangat membenci fakta bahwa ia adalah salah satu alasan mengapa pemuda manis itu menumpahkan kesedihannya.
“Bright, kalau lo masih sayang sama gue, lo balik ke sini. Please Bright, sini...”
Win melirih untuk kesekian kalinya, dan akan terus melirih sampai Bright mau kembali padanya. Sampai Bright mau kembali menatap matanya. Sampai Bright mau untuk menggenggam erat tangannya lagi.
Tapi Bright hanya diam, membelakangi.
Win menyeka kasar wajahnya yang mulai basah dengan air mata. Pikirannya semakin kalut atas kenyataan bahwa Bright enggan untuk berbalik; apa perasaan Bright benar-benar sudah habis tak bersisa untuknya? Sedikitpun?
“Lo udah nggak ada perasaan ke gue ya, Bright? Secepat itu?” tanya Win, lagi.
Belum satu menit Win menghapus air matanya, kini butiran-butiran bening kembali menggenang di balik pelupuk mata. Pandangannya mengabur, terhalang kabut air mata.
Dan Bright… masih diam di sana.
Win lantas menundukkan wajahnya saat dirasa tak ada lagi kesanggupan untuk menahan laju air mata. Kedua tangannya terangkat menutup wajahnya yang mulai memerah dan basah. Satu isakan keras lolos, Win sudah kehilangan warasnya, lagi.
“B-bright… hiks… Bright,”
“G-gue udah selalu berusaha untuk jadi pacar yang baik buat lo, jadi pacar yang bisa lo anggap temen di waktu yang sama, g-gue nggak pernah membatasi ruang gerak lo, kebebasan lo, hobby lo dan apapun itu dan cuma k-karna satu kesalahan… karna satu kesalahan yang gue lakuin, lo buang gue, Bright?”
Isakan lain lolos, Win sudah mencapai titik tertinggi sedihnya kali ini, “lo n-ngasih kesempatan untuk orang lain di saat lo masih s-sama gue… hiks… apa g-gue emang nggak pernah ada artinya buat lo?”
“Salah gue lagi, iya, Win? Salah gue?”
Terlalu sibuk menangisi kisah cinta dan rasa sakit hatinya, Win sampai tidak sadar kalau Bright sudah berdiri di depannya. Kedua tangan Win turun perlahan, tidak lagi menutupi wajahnya yang kini saling berhadapan dengan wajah Bright.
Tetes air mata lain kembali jatuh, tapi Win tidak mengindahkannya.
Memilih untuk menyibukkan diri larut dalam tatapan dingin Bright. Memilih untuk berusaha mencairkan kilat marah di mata Bright dengan sepasang matanya yang berkabut.
“Menurut lo hubungan kita berantakan kayak sekarang ini, karna gue yang ngasih harapan ke Nana? Gitu, Win?” tanya Bright.
Pegangan si Manis pada bangku ayunan menguat. Tidak lagi ada kelembutan pada setiap tarik suara yang diucap Bright. Win tidak kenal Brightㅡ yang kini berdiri menghadap ke arahnya bukanlah Bright-nya.
“Gue tau gue salah dengan mengiyakan suruhan Puim untuk nyemangatin Luke. Gue salah, gue minta maaf untuk itu. Tapi B-bright… Harus ya lo balas gue? Lo tau sendiri, nggak ada satu orangpun di sekolah yang tau tentang kita selain Racha, seenggaknya lo paham kenapa gue harus nyemangatin Luke. G-gue nggak punya pilihan...”
Bright memilih untuk diam. Karena sesungguhnya kekecewaan yang ia rasakan kali ini bukan lagi soal apa yang terjadi di lapangan upacara sekolah tempo hari. Bukan lagi tentang Win yang lebih memilih untuk memberi semangat pada Luke, bukan… kekecewaannya kali ini jauh lebih besar dibanding hari itu.
“T-terus di hari yang sama… lo pergi sama Nana… Lo ambil balon dari dia, yang gue denger sendiri kalau lo ambil balon itu… sama aja artinya dengan lo nerima dia… P-padahal lo tau B-bright… Lo tau gue ada di situ, lo tau gue liat semuanya...”
“Apa lo nggak mikirin perasaan gue sama sekali? Apa perasaan gue nggak ada nilainya buat lo?” sambung Win, yang pada akhirnya menumpahkan segala isi hatinya.
Lagi, untuk ke-2 kalinya Bright terkekeh. Tersirat maksud meremehkan dalam tawa kecilnya, ada genangan butiran-butiran bening yang juga tersimpan di balik pelupuk matanya.
“Gue nggak pernah mikirin perasaan lo? Iya? Terus lo apa, Win? Apa pernah lo mikirin perasaan gue?” balas Bright, keras.
“Lo ngeraguin gue? Hari itu gue nggak jadi pulang bareng Luke, sedangkan lo? Lo pergi sama Nana, Bright! Lo bahkan nggak ngabarin gue sama sekali? Sekarang di antara kita, siapa yang lebih nggak perduli?!!”
Bright membuang pandangannya. Kekehan pemuda itu berubah menjadi tawa lirih, rahangnya kini mengeras, lagi dan lagi Win meragukan dirinya. Lagi dan lagi Win tidak sadar akan kesalahannya sendiri, setidaknya begitu menurut Bright.
Maka ketika Bright mengembalikan tatapannya pada Win, it's the time for him to cry, air mata Bright jatuh, untuk kali pertama, ketika di waktu yang sama tak lagi ia dapati cinta yang melingkupi keduanya.
“Lo pergi sama Luke hari ini, tanpa izin, tanpa ngasih kabar ke Mick, diem-diem dan lo masih mau membela diri, iya, Win?” intonasi suara Bright melembut, amarahnya sudah tersaingi oleh rasa sedih.
Win turut menyeka air mata di wajahnya, “d-demi Tuhan, Bright… Gue pergi sama Luke untuk urusan keperluan kelas… Gue nggak izin ke Mick karna pasti nggak akan dibolehin sama dia, atau dia bakalan ngaku ke Mama dan gue bener-bener ada di posisi nggak bisa nolak ajakan Luke...”
“Itu bukan alasan lo bisa pergi seenaknya tanpa ngasih kabar ke orang lain. Dan lo selalu berlindung di balik kalimat nggak bisa nolak ini, nggak bisa nolak itu, padahal lo bisa kalau lo mau, Win. Mungkin emang lo nya aja yang mau deket-deket sama Luke juga,”
“Ck, gue jauh dibanding sama Luke. Gue bar-bar Gue nggak punya posisi di kelas. Gue bukan orang penting dan berprestasi di sekolah, jauh, Win… Gue jauh dari kata setara sama Luke, gue sekarang ngerti kenapa lo lebih milih bohong dan pergi sama Luke...”
Win berdiri dari posisi duduknya. Ia tinggalkan bangku ayunan yang kini mengayun pelan akibat gerakan yang diciptakan Win barusan. Air matanya turun semakin deras, apalagi ketika ia tau… Bright meragukan kesetiaannya.
“Menurut lo gue mau deket-deket sama Luke karna gue tertarik sama dia? Karna dia ketua OSIS? Karna dia ketua kelas? Karna dia kesayangan guru-guru? Iya, Bright?” tanya Win.
Bright mengangkat kedua bahunya acuh, ia seka air mata yang mulai jatuh membasahi wajahnya sendiri.
“Dari awal lo emang nggak pernah percaya sama gue ya, Bright? Lo anggap apa tiga tahun kita? Sampah? Iya?”
Tatapan mata Bright kembali nyalang, “gue balikin pertanyaannya ke lo, Win. Dari awal lo emang nggak pernah percaya sama gue, 'kan? Lo ngerangkai asumsi lo sendiri tanpa tanya ke gue. Lo selalu punya jawaban atas pertanyaan lo sendiri, lo nggak pernah percaya sama gue...”
“Karna gue terlalu percaya sama lo, makanya gue nggak pernah nanya apapun ke lo, Bright. Gue percaya semua ketakutan gue cuma sebatas ketakutan yang nggak akan pernah jadi nyata. Karna apa? Karna gue tau, lo nggak akan pernah ninggalin gue. Karna yang gue tau, selama ini lo sayang sama gue… Sampai akhirnya lo pergi sama orang lain di hadapan gue, gue denger dengan telinga gue sendiri kalau lo ngasih dia harapan dan di situ gue tau… gue sadar… Ketakutan gue selama ini sekarang jadi nyata… Lo lebih memilih orang lain… Lo udah nggak sayang lagi sama gue… Loㅡ”
“ITU YANG LO BILANG LO PERCAYA SAMA GUE, WIN? DI SAAT LO JADI SATU-SATUNYA ORANG YANG GUE LIAT, LO MASIH BISA BERASUMSI KALAU GUE NGGAK SAYANG SAMA LO? IYA, METAWIN?!!”
Ucapan Win terpotong dengan teriakan Bright yang cukup keras. Genangan di balik pelupuk mata Win meningkat, lalu tumpah dengan bebas dalam hitungan detik. Sepasang mata Win masih menatap Bright, meskipun pemuda itu baru saja membentaknya.
Keduanya terdiam. Bright memutuskan kontak matanya dengan Win, membiarkan suara semilir angin kembali jadi satu-satunya sumber suara malam itu.
Sebisa mungkin Win menenangkan degup jantungnya yang terdengar ribut di balik dada, ia ingin bicara, ia ingin mengalah lagi… ia ingin meminta maaf, dan meminta Bright kembali padanya.
Katakanlah Win naif, tapi karena sudah terlanjur nyaman hidup bersama selama beberapa tahun, sudah berhasil mengukir memori indah bersama nyatanya mampu membuat Win lebih memilih menghilangkan rasa kecewanya, dan meminta Bright untuk mencintainya lagi adalah jalan terbaik.
Tidak masalah jika harus mengulang semua dari awal, Win sama sekali tidak apa-apa.
Win tidak sengaja melirik tangan Bright yang mengepal. Tangan itu memerah, bahkan bergetar. Lantas Win beranjak mendekat, hendak meraih tangan itu, ingin menggenggamnya kuat-kuat.
Tapi serasa seperti dejavu, Bright kembali menabur luka dengan cara yang sama,
“Kita sampai di sini aja ya, Win?”
namun dengan efek samping yang berbeda. Ucapan Bright barusan jauh lebih menyakitkan, dibanding apa yang harus didengar Win di parkiran sekolah.
Nafas Win kembali tercekat, Bright balik menatap matanya yang sudah berlimpah buliran kristal.
“A-apa, Bright?”
Bright tidak kalah hancur, sepasang matanya turut memerah, “kita udah sama-sama nggak bisa percaya ke satu sama lain. Hati gue sakit setiap kali gue inget lo, perasaan gue berantakan setiap kali gue ngeliat lo. Bukan lagi rasa antusias dan sayang yang gue rasain, Win, gue justru takut untuk berhadapan sama lo sekarang… takut gue sengaja atau nggak sengaja bikin lo nangis, takut lo kecewa, takut lo marah, dan itu nggak sehat...”
“Kita juga belum bisa nyelesain masalah kecil yang terlanjur jadi besar ini dengan kepala dingin. Masih ada rasa marah yang gue rasain, Win. Masih ada rasa kecewa yang gue simpen. Dan kalau kita berlindung di balik status break, gue nggak yakin kita akan berhasil. Lama kelamaan perasaan marah kita bisa jadi benci, dan gue nggak mau berakhir benci sama lo. Jadi Win,”
Kilat nyalang di mata Bright sudah hilang, berganti dengan tatapan kalah yang selama ini tidak pernah hadir satu kalipun di sepasang mata pemuda itu.
“Kita akhiri semuanya di sini ya, kita jalan masing-masing mulai sekarang...” Bright melanjutkan ucapannya, suaranya terdengar sumbang; ia sedih… terlalu sedih.
Win terdiam. Air matanya terus jatuh, seiring dengan sirkulasi pernapasannya yang terdengar gaduh.
“K-kita nggak bisa ulang sekali lagi, Bright? S-satu kali aja… Kasih gue satu kesempatan...”
Naas, Bright menggeleng. Ia belum bisa menjanjikan mereka akan kembali menjadi the old them di kesempatan ke-2 itu. Bright hanya takut… takut untuk kembali gagal, dan Win hanya akan disia-siakan di akhir.
“Gue balik ya, Win?”
Satu detik, Win tidak menjawab, Bright masih diam di tempatnya.
Lima detik, Win juga tidak menjawab, Bright mulai berbalik arah.
Sepuluh detik, Bright sudah kembali melangkah menjauh, dan Win jatuh pada posisi jongkok. Kedua kakinya bertumpu di bawah, wajahnya sengaja ia tenggelamkan di balik lipatan kedua tangannya.
Win, menangis lagi.
Menangis lebih keras, lagi.
Satu hal yang Win sesali; hanya karena satu… satu kesalahan dan satu kesalahpahaman, hubungannya hancur berkeping-keping tak menyisakan satu rasa pun yang bisa diselamatkan.
3 tahun mereka, sungguh sia-sia.
Win, sungguh-sungguh gagal mempertahankan.
Bright, sungguh-sungguh gagal memperjuangkan.
Semua ketakutan Win kini jadi nyata… Bright pergi…
3 tahun mereka, harus berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan.
3 tahun mereka…
“Ayo bangun, kita pulang. Gue antar sampai ke rumah.”
Itu suara Bright.
Bright-nya, Bright yang begitu ia sayangi.
Win menerima uluran tangan Bright, membiarkan telapak tangan besar mantan kekasihnya itu kini memberinya kehangatan. Win sudah terlalu lelah untuk meminta, jika ini memang yang terbaik menurut Bright, maka Win akan menerima.
Win selalu percaya pada Bright. Bahkan ketika Bright mematahkan hatinya seperti sekarang, Win masih terus mempercayakan langkah kakinya untuk beranjak berdampingan dengan langkah kaki Bright.
Win tidak pernah tidak percaya pada Bright, hanya saja Bright tidak bisa melihat ketulusan hatinya.
Dan ketika mereka tiba di depan gerbang rumah Win, keduanya tau, ini akan jadi akhir. Akhir dari perjalanan mereka.
Win masih enggan melepas genggaman tangan Bright, dan pemuda yang digenggam itu hanya bisa tersenyum kecil.
Satu kali lagi Bright biarkan dirinya menatap sosok yang begitu berarti baginya. Sosok yang pada akhirnya harus ia relakan, atas kegagalan keduanya.
Bright maju satu langkah, menarik Win ke dalam dekapannya, untuk terakhir kali.
Tanpa kata, tanpa ucap, tanpa rasa… Bright lepas genggaman tangan keduanya, lalu beranjak pergi meninggalkan Win sendiri di sana.
Di bawah cahaya bulan, dengan perasaan yang hancur bukan main.
Yes, this is the last time of us being together…
And we failed,
It's okay… at least we have tried.
. . .
JEYI // 210111.