Break.

words: 1.9k+ words.


Kalau saja Win punya kesanggupan lebih, mungkin kata akhir sudah terucap dari ranumnya. Tapi apa daya… Win terlalu sayang, pada Bright dan serangkaian memori yang sudah terlanjur mereka ukir bersama.


Perhitungan waktu seorang Bright, untuk kali pertama… salah besar.

Bright pikir, nggak bakalan sampai satu jam lamanya untuk menemani Nana ke toko sederhana guna membeli beberapa barang yang katanya besok harus gadis cantik itu bawa demi memenuhi kebutuhan tugas kesenian. Memang sih, mereka hanya menghabiskan waktu 10-15 menit di toko sederhana di jalan raya nusantara, tapi ternyata ada beberapa barang yang kebetulan out of stock di sana. Alhasil, Bright dan Nana harus mengelilingi komplek perumnas untuk mencari tempat fotokopian yang mungkin saja menjual barang-barang tersebut.

Langit cukup mendung, ketika motor Bright memasuki wilayah sekolah untuk menuju parkiran. Dan betapa malang nasib pemuda itu, saat dari jarak yang cukup jauh… Bright bisa melihat jelas eksistensi pacar manisnya yang sedang berdiri menyandar pada dinding parkiran; dengan tas ransel merahnya yang tersampir di bahu kiri, dan tangan kanannya yang sengaja disimpan di dalam saku celana seragam abu-abu.

Dan yang lebih parah adalah… Win ternyata menyadari kedatangannya bersama Nana yang duduk di jok belakang motornya.

Sebisa mungkin Bright mengatur ekspresi biasa-biasa saja di wajahnya. Walaupun cuma dirinya sendiri yang tau, kalau jantung yang posisinya ada di balik dada kini sedang berdentum nggak karuan tanpa irama yang jelas.

Semakin waktu berjalan semakin dekat pula radius yang memisahkan ketiganya. Win masih berdiri di posisinya, enggan untuk berpindah bahkan ketika motor Bright melewatinya untuk berhenti di spot yang tepat. Sepasang mata Win bergerak gusar melihat ke arah pacarnya itu. Bright mematikan mesin motor, diiringi dengan Nana yang agak kesulitan untuk turun dari sana.

Bagaikan patung yang fungsinya cuma sebagai penghias jalan, Win tetap bertahan dalam diamnya. Pun saat Bright mengulurkan tangan untuk membantu Nana turun, Win juga masih bergeming. Seolah tak terganggu dengan apa yang sedang ia lihat. Seolah biasa-biasa saja. Seolah tidak masalah dengan apapun yang sedang disaksikan oleh matanya.

Meski lagi dan lagi cuma Win seorang dan Tuhan yang tau… untuk kali pertama, ia kecewa pada dirinya sendiri because he has no strength left to even scream his disappointment out loud. Cuma bisa diam. Cuma bisa membiarkan, juga merelakan.

“Eh, hai kak Win!”

Pun cuma bisa pasrah, ketika dirinya harus memaksakan senyuman saat Nana menyapanya dengan sopan. “Hai, dek.” Win menyahuti sapaan Nana dengan lembut, “makin deket aja nih kayaknya, hehehe...” lalu menyambung ucapannya sendiri.

Makin deket aja nih kayaknya… begitu ya, Win?

Nana yang digoda seperti itu hanya bisa tersenyum malu-malu. Rona merah turut memberi warna di kedua pipi tirusnya.

Sedangkan Bright, pemuda itu seolah mati rasa ketika Win mengucapkan kalimat tersebut. Makin deket aja nih kayaknya… begitukah kelihatannya? Hanya sebatas itu rasa percaya Win padanya?

Tapi Bright bisa apa, status hubungan keduanya yang terlanjur dirahasiakan dari semua orang di sekolah (kecuali Racha) membuat Bright harus membiarkan kata-kata itu masuk meninggalkan jejak di telinganya. Tanpa bisa mengelak. Tanpa bisa membela diri.

Bright duduk di atas jok motornya dengan posisi menyamping. Menghadap ke arah Win dan Nana yang kini berdiri saling berhadapan satu sama lain.

“Masih proses kak, hehe… Kalau jodoh ya, ah nggak tau deh kak… Malu… Dijalanin aja dulu sekarang mah.”

“Ya nggak, kak Bright?”

Dan Bright baru menyadari kesalahannya. Ia menyesal tidak mengaku soal dirinya dan juga Win pada Nana kemarin, atau setidaknya… Bright bisa menolak Nana baik-baik dengan alasan yang masuk akal. Bright tau ia gegabah, dengan memanfaatkan keadaan dan situasi hatinya yang berantakan di hari kemarinㅡ Bright terpaksa melibatkan Nana dalam masalahnya bersama Win, yang mana hal tersebut justru membuat semuanya bertambah kacau.

Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, Bright melirik Win yang masih mengukir senyum di bibir penuhnya. Seolah sama sekali tak terganggu dengan apa yang baru didengarnya.

Ketakutan Bright rasanya tak berbuah apa-apa. Karena kelihatannya, Win tidak perduli. Win biasa-biasa saja. Dan sekarang Bright berpikir, apa Win sudah tak ada lagi rasa padanya?

Dengan canggung, Bright menggeleng pelan. Ada tawa kecil terselip dalam geraknya, “udah sana, katanya mau pesen ojek online.”

“Oh iya, lupa!!!”

Nana lantas mengedepankan tas ranselnya, dan mencari ponsel dari dalam sana. Setelah dapat, gadis itu langsung mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online yang akan mengantarkannya sampai ke rumah. Begitu seorang driver menerima pesanannya, Nana kembali melirik Win yang tengah menatap gamang aspal yang mereka injak.

“Kak Win kok masih di sini? Nunggu ojek online juga, ya?” tanya Nana, ramah.

Win balas menatap gadis itu. Kepalanya menggeleng pelan, seadanya, “masih nunggu Mamaku jemput. Paling masih di jalan. Udah dapet driver?” balas Win.

Sebuah anggukan Nana berikan sebagai jawaban, “udah kak, lumayan deket ternyata driver nya standby di sekitaran pombensin. Sebentar lagi jugaㅡ”

“Atas nama Mbak Nana?”

Seorang driver ojek online datang menghampiri ketiganya. Motor vario keluaran terbaru milik sang driver sengaja diparkir di pinggir parkiran.

Nana yang belum sempat menyelesaikan ucapannya pun kini beralih memandang seorang Bapak berjaket hijau.

“Pak Abdul, ya?”

Driver itu mengangguk, “iya, bener, Mbak. Dengan Mbak Nana, ya?”

“Iya, Pak…”

“Sudah bisa berangkat sekarang, Mbak?”

Kini giliran Nana yang mengangguk, “bisa, Pak,” tatapan gadis cantik itu beralih pada Bright, “Kak Bright, aku pulang dulu, ya? Makasih untuk traktiran es krimnya!”

Lalu beralih juga pada Win, si kakak kelas dari jurusan IPA, “Kak Win, aku pamit pulang, ya? Kak Win hati-hati pas pulang nanti, oke?”

Win mengangguk sopan, “makasih ya, dek.” jawabnya.

“Dadah kak Bright!!! Dadah Kak Win!!!”

Dan tak lama setelah itu, Nana naik ke atas motor dan berlalu bersama driver ojek online yang menerima orderannya. Meninggalkan Win yang kini menunduk, menahan air mata. Juga meninggalkan Bright dengan sejumput pikiran-pikiran negatifnya.

Win memang ingin sekali menangis. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tujukan pada sang pacar, ada banyak jawaban yang ia harapkan dari pacarnya itu tapi Win tidak ingin menangis sekarang, tidak di depan Bright.

Jadi pertanyaan yang terucap dari bibirnya hanyalah satu;

“Lo mau kita udahan, Bright?”

Hanya satu pertanyaan itu. Hanya satu kalimat itu yang bisa membuat Bright bangkit dari atas motornya. Tanpa sadar tangannya mengepal kuat. Berusaha menahan gejolak amarah yang siap meledak kapan saja.

Bright cuma tidak menyangka, dari banyak kata yang bisa disampaikan sebagai pembuka konversasi keduanya di tengah kekacauan hati masing-masing, justru kalimat itu yang keluar dari mulut Win?

Bright melangkah cepat dan nyalang mendekati Win. Pemuda itu berhenti tepat di depan pacar manisnya itu.

Pacar.

Pacar, ya?

Apakah Win masih bisa ia sebut sebagai pacarnya ketika percakapan mereka hari ini selesai?

Susah payah Bright menelan salivanya. Susah payah pula ia menghirup oksigen di sekitarnya. Berusaha menekan dalam-dalam amarah yang mencekam, sambil menghembuskan nafas dengan tempo pelan yang diharap mampu memberi ketenangan.

“Win,”

Yang dipanggil menengadahkan kepalanya. Win membawa dua pasang mata yang dulu selalu melempar rasa bahagia dan candu untuk saling terkunci satu sama lain. Meski ada yang berubah di obsidian beda warna milik keduanya. Meski rasanya sudah tidak sama. Meski dengan susah payah Win terus menahan laju kristal bening dari pelupuk matanya.

“Lo kasih kesempatan buat Nana, Bright?”

Lagi-lagi karena sebuah keteledoran. Salah paham mengacaukan semuanya. Bahkan merusak kepercayaan mereka.

Bright menggeleng kuat, “nggak, Win. Gue sama sekali nggak kasih kesempatan buat Nana. Lo percaya gue, 'kan?”

“Terus kenapa dia bisa bilang gitu ke lo? Kenapa dia bilang masih berproses? Itu artinya masih ada harapan buat dia bisa dapetin hati lo, Bright.”

Bright tau, bahkan sangat tau, Metawin-nya tidak pernah bisa dibalas dengan emosi yang setimpal. Jika sudah seperti ini, harus ada satu yang mengalah di antara keduanya.

“Lo capek sama gue ya, Bright?”

Namun belum sempat Bright menurunkan egonya, Win sudah menembaknya dengan kalimat yang kembali membuat amarah Bright memuncak.

“Cuma segitu rasa percaya lo sama gue, Win? Dari tadi yang lo ucapin cuma gue yang seolah-olah beneran mau berhenti. Kayak gue yang jahat di sini. Sekarang gue tanya ke lo ya Win, ya,”

Bright menjeda ucapannya. Lidahnya terasa kelu seketika, tapi ia tidak terima dipojokkan sebegininya oleh Win.

“Jangan-jangan lo yang sebenernya mau berhenti? Lo bosen sama gue, Win? Lo nggak sayang lagi sama gue?”

Hanya satu pertanyaan itu. Hanya satu kalimat itu yang berhasil membuat Win lengah, sehingga satu tetes cairan bening mengalir bebas membasahi wajahnya.

Win, menangis.

Untuk kali pertama, ia menangis di depan Bright.

Menangisi hubungan keduanya. Menangisi hilangnya kepercayaan yang pernah Bright berikan padanya. Menangisi segala kemungkinan buruk yang mungkin saja akan terjadi setelah ini pada kelanjutan kisah cinta keduanya.

Win mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya yang memerah dan kembali dibanjiri air mata kini terpusat telak pada sepasang obsidian hitam milik Bright.

“Gue bahkan nggak jadi pulang bareng Luke kemarin demi menjaga perasaan lo, dan lo bilang gue udah bosen sama hubungan ini? Gue udah nggak sayang lagi sama lo, iya, Bright?”

Fuck. Bright, lo salah langkah.

Lo terlalu gegabah akan semuanya, Bright. Lo ngebiarin ego lo menang tanpa pikir panjang. Lo memanfaatkan keadaan dengan alasan menenangkan diri tapi di waktu yang sama lo justru melukai hati Win… Pacar macam apa lo, Bright…

Bright hendak meraih tangan Win untuk digenggam, tapi pemuda manis itu lebih dulu menghindar. Kakinya mundur satu langkah. Jarak di antara keduanya semakin terlihat jelas.

“Lo nggak cerita ke gue soal remedial ulangan ekonomi, padahal gue selalu cerita ke lo tentang apapun yang terjadi sama gue di kelas, tentang tugas-tugas gue, tentang temen-temen sekelompok gue, tentang ujian yang nggak ada habisnya… Terus lo pergi sama Nana tanpa ngasih kabar ke gue, lo bahkan kasih harapan ke dia, lo ngajak gue ketemuan hari ini jam empat tapi apa… lo pergi sama Nana, lo enak-enakan makan es krim sama dia… Lo yang udah nggak sayang lagi sama gue, Bright...”

“Kenapa lo nggak bilang, Win? Lo cuma mau menempatkan gue sebagai satu-satunya yang salah kan di sini?” hm, kacau.

Win kembali menyeka air matanya, “lo ngehubungin gue aja enggak, Bright.”

“Harus gue? Harus gue terus yang mulai percakapan, Win? Lo nggak ada usaha sama sekali untuk mulai? Kalau gue nggak ngehubungin lo, lo juga punya hak untuk nggak ngehubungin gue duluan, iya Win? Begitu maksud lo?”

Win… tidak lagi menjawab. Bright, baru saja membentaknya. Win cukup sadar, ada amarah besar yang tersalurkan lewat kata-katanya, lewat nada bicaranya.

Untuk kali pertama, Bright marah padanya.

Satu tetes air mata kembali jatuh mengalir di pipi Win. Hatinya, sakit. Mereka sama-sama sedang diselimuti kecewa. Tapi Win tidak ingin kehilangan Bright. Win ingin memperbaiki semuanya, termasuk hubungan mereka berdua.

Win mengambil nafas dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Win tau, keduanya bersalah. Dirinya salah, Bright pun sama. Jika Bright belum mau mengutarakan kata maaf, maka biarkan Win yang melakukannya kali ini.

Kata 'maaf' adalah yang utama; pembuka jalan, penengah segalanya.

Win ingin Bright tau, kalau ia amat sangat menyayangi pemuda itu.

Win baru saja akan meraih tangan Bright untuk digenggam, baru saja akan mengucapkan kata maaf, tapi Bright lagi dan lagi menghentikan semuanya.

Dengan satu kalimat,

Yang membuat Win kecewa bukan main.

“Kita break aja dulu ya, Win? Sama-sama nenangin diri dan perbaiki hati masing-masing.”

Lalu, apa Win bisa menolak? Jika Win menyanggah, pertengkaran mereka yang sejatinya hanya mempertaruhkan ego akan terus berlanjut.

Win tidak menolak.

Tidak juga mengiyakan.

Lalu Bright melangkah menuju motornya, meraih satu helm milik Win dari dalam bagasi. Bright menyerahkan helm tersebut pada Win.

“Ayo pulang, nanti keburu hujan. Gue nggak mau lo sakit.”

Dan Win lagi lagi menurut. Ia pakai helm itu di kepalanya. Ia naik, dan duduk di jok belakang motor Bright.

Untuk kali pertama, Win tidak menyukai jok empuk motor Bright. Tidak juga menyukai tangannya yang spontan memeluk pinggang Bright. Pun tidak menyukai kepalanya yang selalu menemukan jalan untuk bersandar di bahu bidang sang kekasih.

Sebab kali ini Win tidak bisa memastikan, apakah Bright masih berstatus pacarnya atau tidak.

3 tahun mereka, sia-sia.

Emosi dan amarah punya jalan untuk menang…

Win gagal berjuang,

Bright gagal mengusahakan.

. . .

JEYI // 210107.