DUFAN DATE.

ㅡ Marilyn Monroe once said, “we are all of us stars, we deserve to twinkle.”

Pergerakan tangan Bright di surai hitam Win berhenti tiba-tiba ketika pemuda manis yang sudah resmi menjadi kekasihnya selama 3 tahun itu, kini menoleh padanya. Ada binar penuh antusias di sepasang obsidian kecoklatan miliknyaㅡ membuatnya 100 kali terlihat lebih cantik.

“Am i one of them?”

Bright membalas tatapan itu dengan satu alis yang bertaut, sengaja menggoda. “Siapa? bintang-bintangnya?”

“Iya!”

Lalu sebuah cubitan gemas di hidung mancung Win berhasil menciptakan gelak tawa di antara keduanya, “you're my star. My only star. Is that enough, sugar pie?”

V DAYㅡ PROMPT 001. total words: 4.354 words.


“Nah, nah, nah! Tuh di situ ada lapak kosong, bisa kali kita ngemper sebentar? Tenaga gue kayaknya mulai menguap di udara deh, yang.”

Nafasnya terdengar ngos-ngosan, entah memang karena lelah atau sengaja dibuat-buat. Hari memang sudah beranjak sore, persediaan air minum di tangan juga sudah tidak begitu memadai, pun bulir-bulir keringat mulai turun menembus pelipis.

Win langsung saja menarik tangan Bright yang hampir lepas dari jangkauannya. Pemuda 18 tahun itu melenguh agak kesal, menatap pacar manisnya dengan tatapan memelas.

“Apa lagi? Masih mau ngantri satu permainan dulu baru kita duduk?” tanya Bright, lalu menghela nafas dengan pelan.

Lagu pengiring yang sudah disetting on-repeat terus berkumandang di seluruh sisi dan sudut taman bermain keluarga, Dunia Fantasi. Bright, meskipun sedang menahan kesal tapi kepalanya tidak bisa berhenti bergerak menikmati lagu tersebut, sambil hatinya ikut bernyanyi mengikuti lirik yang sedang dilantunkan.

Dan hal itu, berhasil membuat Win tersenyum tidak tahan akan kegemasan alami yang dilakukan si pacar nakal.

Win menurunkan pegangan tangannya dari lengan Bright, menuju telapak tangan pemuda itu. Disatukannya telapak tangan mereka berdua, lalu dibiarkan bertaut jari-jari yang sudah menemukan celahnya. Lalu tanpa suara, Win menggandeng Bright menuju lapak kosong yang sebelumnya ditunjuk oleh pacarnya itu. Bukan tempat duduk berwujud kursi, tapi lantai dasar Dufan yang berasal dari konblok halus. Tepat di seberang wahana hysteria.

“Iya, iya. Ayo duduk.”

Win mendudukkan tubuhnya lebih dulu, dan disusul Bright setelahnya. Sisi kanan dan kiri sudah diisi dengan anak-anak remajaㅡ laki-laki dan perempuan membentuk kerumunan, mungkin kumpulan anak-anak SMP. Semuanya menghadap ke arah wahana hysteria, dimana sabuk pengaman baru saja terpasang dan siap menembus udara dalam hitungan detik.

“Lu ngapain buka sepatu hahaha!”

Win menoleh, melirik seorang gadis dengan balutan kaos oblong berwarna putih dan celana hotpants jeans, serta sebuah snapback yang melindungi kepalanya. Suara lantang gadis itu ditujukan pada seseorang yang jadi salah satu penumpang hysteria yang sedang dipersiapkan untuk lepas landas.

“Gue takut sepatu gue mental, cuk!!! YA ALLAH INI KAPAN MULAINYA JANTUNG GUE UDAH JEDAG-JEDUG!!!” Begitu jawab si teman, seorang pemuda yang duduk di bangku paling pinggir hysteria sebelah kiri.

Win ikut menatap pemuda itu, wajahnya terlihat pucat meski dilihat dari jarak yang cukup jauh. Lalu tak lama, gadis yang tadi berteriak mulai tertawa kencang, begitu juga teman-temannya yang lain.

“MAS, MAS!!! SAYA MAU TURUN AJA, GANTIAN SAMA YANG LAIN BOLEH NGGAK!!!” Ini sih, bukan pertanyaan. Tapi pernyataan memaksa yang membuat seorang petugas wahana tertawa dari balik mic yang ia pegang.

“Waduh, nggak bisa, dek. Cuma tiga menitan kok, siap-siap ya! Selamat siang menjelang sore, selamat datang di wahana hysteria! Sebelum wahana beroperasi, mohon dicek kembali keamanan masing-masing dengan memperhatikan sabuk pengaman, apakah sudah terpasang dengan benar atau belum. Jika mengalami kesulitan dalam memasang atau memeriksa sabuk pengaman, bisa angkat tangan dan petugas kami akan menghampiri.”

Wow, keren. Perhatian Win jadi sepenuhnya terpusat pada dua mesin wahana hysteria di depan sana. Semua penumpang di atas bangku tampak sedang memeriksa sabuk pengaman masing-masing, bahkan beberapa juga ada yang melepas sepatu sama seperti seorang pemuda yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman dari sekumpulan anak SMP di sebelahnya.

“Baiklah, wahana hysteria akan beroperasi dalam hitungan lima, empat, tiga, dua, satu… Selamat menikmati!”

Dan seketika suara teriakan menggema kencang begitu dua mesin wahana hysteria melakukan lepas landas di waktu yang sama. Win ikut tertawa, beberapa orang berteriak minta ampun dari atas permainan tersebut. Terlalu fokus menyaksikan penderitaan dan euforia yang sedang disuguhkan, Win tidak sadar kalau Bright ternyata tengah menatap padanya.

Satu tangan Bright menyentuh poni Win yang sedikit basah karena keringat, “you mau ngantri hysteria juga?”

Suara berat namun lembut menyisir halus lubang telinganya. Win menoleh, “you emang berani? Tadi pas kita udah di front line power surge aja you minta puter balik.”

“You emang nggak ngeri apa ngeliat orang diputer-puter di atas gitu, ai ngeri lagi dikocok di atas terus ai muntah, yeuuu kan nggak lucu.” balas Bright, sebenernya ngeles sih, emang gue takut naik power surge hehehe. “Nanti you malu.” Iya, lanjutin aja ngelesnya Bright, nggak apa-apa.

Win hanya memasang ekspresi meledek. Dibawanya kembali seluruh atensi ke wahana hysteria yang mulai turun perlahan-lahan ke bawah, tanda waktu bermain sudah selesai. Bright belum kunjung berhenti memainkan poni Win, daripada melihat orang lain ngos-ngosan dan mengalami post-trauma pasca bermain hysteria, lebih baik ia menatap Win dari samping seperti sekarang, bukan?

Win membiarkan tangan Bright terus menyentuh rambut dan sebagian sisi wajahnya, “hauuuus…” lalu mengeluh secara spontan.

“Lo tunggu sini, jangan kemana-mana. Gue ke situ dulu, beli minum.” Kata Bright, sambil menunjuk kios CFC di samping wahana hysteria.

Lantas pemuda itu bangkit berdiri, melirik si pacar manis sambil mengulurkan sebuah kamera analog yang sedari tadi ia pegang pada Win.

“Atau mau ikut? Kita duduk bentar di sana sambil ngemil kentang goreng, hm?” tanya Bright, dengan satu alis yang bertaut.

Sebuah gelengan Win berikan sebagai jawaban, “too lazy to walk there hehehe, masih mau ngeliatin orang main hysteria, seru!”

“You mau kita ngantri hysteria abis ini?”

Lagi, Win menggeleng. “Nggak usah, lo takut kan. Nanti kita cari wahana yang bisa kita mainin barengan aja, oke?” balasnya.

Win… kalo lagi perhatian gini, lo 100 ribu kali lipat lebih cakep deh… arghhh jadi makin sayang kan gue…

“Thank you, i love you, ayang.”

Win terkekeh pelan, “nggak.” katanya, yang langsung disusul dengan aksi mendorong tubuh Bright agar segera pergi dari sana.

“Udah sana ih, hush hush!”

Win… malu. Bisa-bisanya Bright bilang i love you di tempat umum…

Unbelievable, tapi suka sih, hehehe.

. . .

Bright kira, Win benar-benar memperhatikan dirinya ketika ia menolak untuk menjajal wahana-wahana pemacu adrenalin. Bright pikir, Win sungguh-sungguh mempertimbangkan rasa deg-degannya ketika harus mengambil bagian untuk antri tepat di depan wahana-wahana yang masuk kategori ekstrim.

Ringkasnya, i should've learned, i shouldn't trust men, karena ternyata tepat pada pukul 4 sore, keduanya berpijak membentuk sebuah barisan di depan wahana tornado.

Win terlihat amat sangat antusias. Seulas senyum terus-menerus terlukis di bibirnya, dan kadang kala juga terkekeh begitu suara teriakan terdengar dari atas wahana yang sedang berputar-putar di atas sana.

Bright melirik beberapa orang yang berbaris di belakangnya. Sudah panjang, dan semuanya terlihat tidak sabaran. Kayaknya, cuma dirinya sendiri lah yang sama sekali tidak siap mental untuk mengorbankan nyawanya di atas tornado.

Mau kabur aja lah, fix. Masih ada celah untuk melarikan diri, gas nih?

Tapi sayang, suara lembut Win yang menyiratkan antusias lebih dulu menginterupsi Bright yang sedang sibuk menyusun strategi untuk meninggalkan antrian.

“Nanti kita sebelahan terus ambil bangku yang di paling pinggir, ya?”

Bright menghembuskan nafas pelan, “yang, gue nggak berani, beneran deh...”

“Nggak berani beneran atau cuma deg-degan ngeri ngeri sedap?” tanya Win.

“Bright, it's not as scary as hysteria. Trust me.”

Iya sih, tornado memang nggak semengerikan hysteria yang sensasinya kayak dilempar ke atas lalu tanpa aba-aba ditarik turun lagi ke bawah padahal jantung masih nyangkut di langit.

Tapi, untuk orang yang mentalnya tidak seberani Win yang jelas-jelas siap 86 untuk menaiki semua wahana di dunia fantasi ini, Bright cukup ciut.

Oke, Bright bukan tipikal orang yang 'takut' dengan wahana-wahana ekstrim, dulu saat perpisahan SMP, satu angkatan kelas 9 pernah berlibur bersama ke Dufan dan Bright berhasil menaklukkan hysteria, tornado, halilintar dan kora-kora meski harus berujung pusing tujuh keliling. Apalagi, jaman-jaman SMP itu adalah jaman dimana Bright masih harus membangun fame yang sempurna di depan seorang Metawin.

Dan walaupun sudah resmi berpacaran ketika mereka berlibur bersama saat kelas 9 SMP, Bright tetap merasa masih perlu menjadi 'lelaki tangguh' di depan pacarnya itu. Ya kali nolak diajak main hysteria? tornado? halilintar? kora-kora? Mau ditaruh dimana muka tampannya…

Tapi, kurang lebih tiga tahun sudah berlalu sejak mereka mengunjungi Dufan saat itu, dan ketika harus kembali berhadapan dengan wahana-wahana pencari tumbal ini, Bright belum siap. Lupa bagaimana rasanya, tidak familiar lagi dengan sensasinya.

Bright malas untuk merasakan deg-degan ketika duduk di bangku wahana, tapi jauh lebih malas menjadi bulan-bulanan Win setelah ini karena selalu menolak setiap diajak mengantri di wahana yang menantang adrenalin.

Alhasil, ia mencuri satu kecupan di bibir Win, lalu beralih menatap kerumunan orang-orang yang sedang berlari menuju bangku tornado, seolah barusan tidak terjadi apa-apa.

“Halah, tornado doang.” ujarnya sombong, sambil menjentikkan jari di depan Win, “kecil itu mah.”

Win mendecih pelan. Tangannya bergerak menyentuh kacamata hitam yang membingkai sepasang matanya, “nanti you punya kacamata disimpen dulu di tas. Kalau lupa bahaya, nanti jatuh terus rusak pas lagi main.”

Bright mengangguk, “iya, ayang. Nanti you ingetin ai lagi aja.”

Lalu tanpa aba-aba, Win langsung menarik kacamata hitam tersebut dan memasukkannya ke dalam sling bag yang berada tepat di dada bidang sang pacar.

“sekarang aja, takut gue lupa juga hehehe.”

Antrian wahana tornado masih cukup panjang, dan posisi keduanya kira-kira masih sangat jauh dan membutuhkan sekitar 2 atau 3 kloter untuk sampai pada giliran mereka. Angin sore di Dunia Fantasi terasa begitu lembut, membuat surai hitam Win bergerak lucu tertiup tekanan udara.

Bright memajukan langkahnya satu kali, lalu meletakkan dagunya tepat di atas puncak kepala Win. Dagunya bermain-main di sana, maju – mundur lalu membuat gerakan memutar sehingga Win sesekali terkekeh menahan geli.

“You nggak beneran takut naik wahana-wahana yang semacam ini, 'kan? Karna seinget ai dulu pas kita SMP, kita pernah ke sini terus you pede pede aja tuh main tornado, hysteria, kora-kora, halilintar sama anak-anak.”

Sadar tidak sadar, Win mulai menyamankan posisi di dalam dekapan Bright.

Yang ditanya hanya bergumam pelan. Satu tangannya mengelus lembut perut Win, sedangkan satu tangannya yang lain bertumpu pada pagar kayu yang membatasi setiap baris antrian.

“Waktu itu 'kan gue masih memperjuangkan image di depan lo, yang. Pokoknya gimana pun caranya, gue harus selalu terlihat keren di mata lo.”

Win melirik Bright sekilas dari samping, “terus, lo ngerasa sukses nggak?”

Kedua bahu tegap Bright terangkat, “nggak tau deh, menurut gebetan gue pas waktu itu… gue keren nggak, yah?”

Si Manis meloloskan gelak tawa renyah, sambil menepuk pipi kanan Bright sebanyak tiga kali. “Iya deh keren, pacar gue emang paling keren sedunia.”

Win memang paling bisa menciptakan seulas senyum di bibir Bright, entah bagaimanapun caranya. Bright kembali menggerak-gerakkan dagunya di atas kepala Win, lalu seuntai kalimat lolos dari belah ranum merah mudanya.

“Tapi abis itu gue pusing dan mual-mual. Tapi nggak parah sih, b ajah.” Padahal mah, pusing banget cuy… Bright bahkan pernah bersumpah untuk nggak lagi-lagi naik wahana semacam tornado dan sebangsanya seumur hidupnya.

Antrian mulai bergerak maju, tapi Bright enggan untuk melepas pelukannya. Alhasil, keduanya beranjak sedikit demi sedikit. Masih dengan posisi Bright memeluk Win dari belakang, serta kepala pemuda itu yang bertopang di atas kepala Win.

Kloter berikutnya sudah mulai memasuki arena wahana tornado, dan itu artinya giliran Bright dan Win untuk mencicipi sensasi menegangkan wahana tersebut semakin dekat.

“Abis ini mau naik apa lagi?” tanya Bright.

Win bergumam pelan, “kalau gue masih mau naik wahana yang serem-serem gini, you mau nyanggupin, nggak?”

“Sebutin dulu mau kemana lagi. Kita harus liat jam juga, udah mau jam lima ini.” balas Bright.

Win menoleh, melirik pacarnya itu dari samping, “'kan kita mau sampe malem di sini?”

“You bilang malemnya kita mau dinner di area pantai, ya!”

“Oh iya, lupa. Hmm, ada wahana yang mau lo mainin, nggak?” tanya Win.

Bright menggeleng, “gue ngikut lo aja, yang. Tapi gue rikues nanti closing nya kita naik bianglala, kayaknya keren bisa ngeliat sebagian kecil kota Jakarta dari atas.”

“Oke, boleh… Tapi abis ini gue mau main yang ringan-ringan dulu.”

Kepala Bright berpindah tempat ke bahu Win, lalu ditatapnya si Manis dari jarak yang cukup dekat. “Gajah bledug?”

“BUKAAAN!!! Emangnya gue anak bocah, apa!”

Bright tertawa kecil, lagi dan lagi mencuri ciuman kilat di bibir Win yang sedikit mengerucut.

“Oh, komedi putar?”

Lalu satu cubitan mendarat dengan sempurna di lengan si pacar, “males ah, ngantrinya panjang. Gue abis ini mau ke rumah kaca sama rumah miring, terus kita beli dumdum sebentar karna gue haus lagi. Abis ituuu kita naik ontang-anting, and then we gonna ride halilintar and you harus ikut, you nggak takut, 'kan? Terus kita naik arung jeram, eh tapi biasanya arung jeram ngantrinya tiga tahun...”

“Nanya sendiri, jawab sendiri.”

Win lagi dan lagi terkekeh, “naik niagara aja, deh. Ngantrinya nggak selama kayak ngantri arung jeram. Abis itu istana boneka!!! Nggak afdol kalau ke dufan tapi nggak ke isbon!!! Oke?!”

Bright mengangguk berulang kali bagaikan hiasan karakter scooby-doo di dashboard mobil atau kucing selamat datang di meja-meja ruko mall mangga dua.

“Oke, oke… everything for my boyfriend.”

Kloter berikutnya sudah dipersilakan memasuki arena wahana. Antrian semakin maju, itu artinya Bright dan Win akan menikmati giliran mereka setelah ini.

Lantas sambil menunggu giliran, Bright mengedarkan pandangannya menatap sekeliling. Tempat wisata dan hiburan ini memang tidak pernah sepi. Harga tiket masuk yang cukup menguras dompet bagi anak sekolahan seperti dirinya seolah bukan penghalang bagi banyak orang untuk berkunjung ke Dunia Fantasi.

Bright, rindu akan sebuah situasi dimana hatinya merasa euforia yang membuncah seperti sekarang ini. Meski harus melawan deg-degan untuk menaiki beberapa wahana pemacu adrenalin, jauh di lubuk hatinya… Bright bahagia.

Bisa menikmati hari kasih sayang berdua dengan Win setelah dua tahun kemarin hanya dihabiskan di rumah Win untuk tahun pertama, dan di rumah Bright untuk tahun kedua rasanya… luar biasa menyenangkan.

“Next time ke sini rame-rame sama barudaks seru kali, ya?”

Win yang awalnya tengah asik menyaksikan rombongan festival sore yang melintas langsung membawa fokus atensinya pada sang pacar.

Kedua sudut bibirnya terangkat, “boleh, gue juga belum jadi terus nih mau jalan-jalan berdua sama Racha. Dua minggu lagi kita udah mulai unprak by the way.”

“Tawaran short getaway dari Mamah juga belum kita ambil. Sekarang kan ke Dufan karna kemauan kita berdua buat nikmatin valentine. Berarti hadiah dari Mamah fix ke puncak aja, ya? Ke Taman Safari?” ucap Bright.

Win mengangguk pelan, “oke, sekalian silaturahmi sama kembaran lo berarti, ya?”

“Wah, gue tau nih arah pembicaraan lo kemana. Iseng ya lo, ayang… Sini gue kasih hukuman dulu.” Dengan gemas Bright merengkuh kepala Win dengan lengannya, lalu membiarkan wajah sang pacar berhadapan langsung dengan ketiaknya yang terbalut fabrik.

Bright tertawa agak keras, sempat mengundang perhatian beberapa orang yang sedang mengantri di depan dan di belakangnya, tapi Bright mana mau peduli.

“Tuh, rasakan sensasinya! Doyan kan lo nyiumin ketek gue, nih gue kasih!”

Dan di bawah sana, Win susah payah menahan sirkulasi pernafasannya. Lalu dengan segenap kekuatan yang ia punya, Win mendorong pelan lengan Bright agar menjauh dari jangkauan wajahnya.

“Anjing lo ya, bisa-bisa gue keburu pingsan sebelum naik tornado!”

Cup, upsie, hukuman tambahan. Untuk yang ke-3 kalinya Bright mencium bibir Win di tempat umum.

“Anak manis mulutnya nggak boleh kotor gitu, ah.”

Win berdecak kesal, “terus bolehnya apa dong?!”

“Bolehnya gini,” Bright kembali menangkup kedua pipi berisi Win lalu menghujani bibir si Manis dengan kecupan sebanyak lima kali. Cup, cup, cup, cup, “Satu kali lagi, yah...” dan cuppp! dan aksi Bright barusan berhasil membuat wajah Win memerah sepenuhnya.

“Bolehnya dicium dan mencium gue aja, hahay enak banget ya jadi gue.”

Dan tak terasa, kloter berikutnya pun sudah dipersilakan untuk memasuki arena wahana tornado dan itu artinya… It's Bright and Win's time!

. . .

Rumah kaca, sudah. Meski harus dihiasi dengan sedikit perdebatan karena sama-sama kesulitan mencari jalan keluar (dan naasnya, harus keluar di pintu masuk) yang mana mengundang tawa petugas wahana dan beberapa pengunjung.

Bright kini sedang duduk di atas sebuah bangku di tengah-tengah pintu keluar rumah miring dan pintu masuk wahana niagara. Matanya sibuk memandang sekitar, entah itu pengunjung yang berjalan sempoyongan begitu keluar dari rumah miring atau juga pengunjung yang pakaiannya nyaris basah kuyup seusai main niagara.

Hari semakin sore, dan langit kota Jakarta mulai dihiasi dengan warna oranye tipis bergradasi. Banyak burung berterbangan dengan bebas di atas, serta lagu khas Dunia Fantasi yang masih terus berkumandang.

“You mau, nggak?”

Oh, ternyata Win sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya, dengan satu porsi thai tea di tangan kanannya.

Bright menempelkan bibirnya pada sedotan, lalu menyesapnya hingga beberapa tegukan.

“Enak, thank you, sayang.”

Dan si 'Sayang' pun mengangguk, “kenapa nggak pernah mau sih kalau beli dumdum atau chatime satu porsi buat diri sendiri?”

“Gampang mules gue, yang. Jadinya icip-icip aja dikit punya lo.”

Decakan halus keluar dari belah bibir Win sebagai respon atas ucapan Bright barusan. Sambil menenggak thai tea kesukaannya, Win melirik wahana rumah miring yang sudah tidak terlalu ramai diisi pengunjung.

“Bii, yuk masuk ke rumah miring!”

Bright mengelus sayang surai hitam Win, lalu menatap si pemuda manis tepat di matanya, “abisin dulu itu minuman lo, kan nggak boleh bawa makanan dan minuman ke dalem sana.”

“Udah nggak apa-apa sih, ayo! Nggak ada petugas yang ngawasin kok!”

Status, anak IPA. Judul, wakil ketua OSIS dan wakil ketua kelas di waktu yang bersamaan. Hobi, ikut olimpiade sains bahkan sampai ke tingkat nasional. Kelebihan, banyak. Kekurangan, hampir nggak ada. Tapi ternyata diam-diam senang break the rules, padahal biasanya juga takut ketahuan main HP di kelas atau membuat kekacauan di sekolah.

Hmm, itulah Metawin.

Lantas, apa Bright bisa menolak?

“Ya udah, ayo,” Bright mengulurkan tangan kanannya pada Win, “tapi kalo dumdum lo jatuh di dalem jangan ngerengek ke gue, ya.”

So, there we go!!! Wahana berikutnya: Rumah Miring!

. . .

“Selamat sore dan selamat datang di wahana halilintar. Sebelum kereta halilintar beroperasi, mohon dicek kembali keamanan dan kenyamanan masing-masing, apakah besi pengaman sudah terpasang dengan benar atau belum. Jika mengalami kesulitan atau kendala untuk memasang besi pengaman, boleh tunjuk tangan dan petugas kami akan menghampiri.”

Win mengecek kembali alat pengaman yang sebenarnya adalah sebuah besi yang melindungi tubuhnya dan juga Bright, setelah merasa semua oke dan aman ia menoleh ke samping kiri untuk bertemu dengan ekspresi tegang di wajah sang pacar. Bright memejam, bibirnya tampak bergetar sesekali.

Ide untuk menjahili Bright pun muncul secara tiba-tiba.

“Bii, cek dulu itu pengamannya udah bener atau belum.”

Padahal, satu alat pengaman berlaku untuk dua penumpang. Dan Win sudah mengeceknya tadi.

“Udah.” Bright menjawab ucapan Win dengan cepat, terlalu malas berujar panjang lebar karena ia terlalu deg-degan sejak detik pertama pantatnya mendarat di bangku kereta.

Matanya masih terpejam kuat. Lalu dengan bibir yang mengulum senyum, Win menarik hidung mancung Bright dan memainkannya pelan. Membuat pemuda 18 tahun yang duduk di sampingnya itu merengek, namun masih memejam.

“Kenapa sih you tegang banget? Santai aja, santai… Tarik nafas, buang… Tarik nafas, buang...”

Bright menengadahkan kepalanya ke atas, lalu membuka pejaman matanya perlahan. Diliriknya beberapa pengunjung yang masih berdiri di barisan antrian, lalu seorang petugas yang masih mondar-mandir mengecek pengaman masing-masing penumpang wahana halilintar.

Lalu perhatiannya beralih pada Win, “aduh nggak lucu banget ini kalau nanti ada berita seorang siswa SMA ditemukan tewas setelah terjatuh dari halilintar yang sedang melaju kencang… Arghhh gue takut, kali ini beneran takut dan gue nggak bohong, gue mau turun aja, MASHHHㅡ hmpptt...”

Ucapan Bright belum selesai, tapi Win lebih dulu menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangannya.

“Tadi naik kora-kora berani, naik tornado juga berani, masa sekarang ciut lagi, sih...”

Bright melepas tangan Win dari mulutnya, “ayang hak bicara lo dicabut, don't talk to me i am angry.”

“Biiㅡ ”

“Baiklah, silakan bersiap-siap karena kereta halilintar akan beroperasi dalam hitungan lima, empat, tiga, duaㅡ”

“Siap-siap, Bii...”

“You diem, gue akan mulai marathon nyanyi lagu rohani sekarang jugㅡ”

“Satu! Selamat menikmati wahana halilintar!”

“ANJINGGGGG GUE MAU TURUN MAS!!! PLIS IZININ GUE TURUN SEKARANG JUGAAA JSHSJSJSKSJ Janji-Mu seperti fajar pagi hari yang tiada pernah terlambat bersinarrrrrr….. AAAAAAA!!!”

Bright menyanyi lagu rohani ketika naik wahana halilintar memanglah epic. Tapi, yang tidak kalah epic adalah pacar manisnya, alias Win, juga ikutan nyanyi lagu rohaniㅡ mengiringi Bright, dengan nada sopran andalannya.

In short, keduanya melakukan paduan suara dadakan di atas rel dan kereta halilintar. Keren. Saling sahut menyahut lirik lagu dan nada tinggi. Bright, yang berteriak histeris dan Win yang bernyanyi dengan sungguh-sungguh.

Mereka… Saling melengkapi, bukan?

. . .

Tepat pukul 7 malam, ketika Bright membantu Win naik ke dalam kabin bianglala. Beruntungnya, mereka berdua mendapatkan satu kabin utuh tanpa harus berbagi dengan penumpang lain. Win mengambil posisi duduk di samping kanan pintu, sedangkan Bright duduk di bangku di sisi kiri pintu.

Bianglala pun mulai bergerak, dan kabin yang ditempati oleh sepasang anak adam ini semakin lama semakin naik, membuat mata mereka dimanja total oleh pemandangan malam kota Jakarta yang didominasi kerlap-kerlip lampu penerangan di malam hari.

Ada suara ombak yang berasal dari pantai cukup terdengar.

Ada pula suara, masuki dunia fantasi dunia ajaib nan mempesona dunia sensasi penuh atraksi rekreasi tuk keluarga… alias lagi dan lagi, jingle milik Dunia Fantasi kembali menemani perjalanan Bright dan Win di atas bianglala.

“How was it?”

Perlahan tapi pasti, Win menoleh pada Bright yang ternyata sedang menatap lembut ke arahnya. Meskipun tidak terlalu terlihat jelas, Win tahu, lelakinya itu sedang tersenyum di bawah langit malam.

Kedua sudut bibir Win terangkat, “thank you for taking me here after a long time, Boo.”

Boo, it's a Boo all over again, and Bright likes it.

“Di tengah kesibukan kita masing-masing sebagai anak kelas dua belas, gue seneng banget karna ternyata masih ada kesempatan buat kita berdua liburan singkat di sini. And it such a blessing that i could spent a whole day with you, jelek.”

Bright melebarkan senyumannya, “i am happy too. Thank you for staying and being here a whole day with me, sayang.”

Suasana mendadak gloomy, Win memutuskan untuk berpindah ke samping Bright, dan langsung menangkup wajah pemuda itu sampai bibir keduanya bertukar sapa.

Kecupan-kecupan lembut Win berikan di bibir Bright, menciptakan bunyi yang sedikit berisik sehingga membuat keduanya terkekeh pelan. Bright merengkuh pinggang Win dalam satu kali gerak, membawa tubuh pacar manisnya mendekat, sambil memperdalam ciuman mereka.

Win mengulum dan sesekali menggigit bibir bawah Bright, sedangkan Bright bertugas untuk memuaskan bibir atas Win.

“Thank you for always be my favorite valentine date ever. Since we were in junior high school up until today, if there's any words that could describe how much i love you, i would gladly give them all to you. It might sound so cheesy, but… Bright,”

Win memutus ciuman mereka secara tiba-tiba dan berucap sedikit panjang tepat di depan belah bibir Bright. Ucapannya belum selesai, tapi ia sempatkan untuk menyalurkan rasa sayang lewat usapan tangannya di pipi kanan dan kiri sang pacar.

Satu kecupan kembali Win hadiahkan di bibir Bright, “thank you for staying, though we ever gave up once, but i am so happy that we're getting back together again. I haven't said this much before but… I love you, and i want this feeling to grow up along with me, inside me, until i am at my twenty, thirty, forty and until it comes the time where loving you is the last thing i can do.”

“Bright, kalau lo capek atau bosen sama gue, tolong bilang. Jangan disembunyiin sendiri. Jangan sampai tiba-tiba gue ditinggal lagi. Lo minta break lagi. Lo minta putus lagi. Gue nggak bisa.”

Hati Bright, hancur.

Ketika suara lembut Win yang awalnya penuh dengan ungkapan rasa sayang kini memelan dan disertai isakan kecil.

Rasa takut itu, masih ada. Melekat erat dalam benak sang kekasih hati.

Mau sekuat apapun Win mencoba untuk lupa, luka itu tidak bisa hilang. Masih ada, dan akan selalu ada.

Tidak ada kata selain 'menyesal' yang bisa menggambarkan suasana hati Bright saat ini. Dikecupnya satu kali bibir Win, lalu dipeluknya pemuda manis itu erat-erat.

“Masih sakit ya, Win?”

Win tidak mau bohong, alhasil ia mengangguk, “sedikit, but it will heal, sorry”

“Gue mungkin nggak bisa menjanjikan selamanya buat lo, karna nggak ada yang tau rencana Tuhan akan seperti apa di masa depan. Gue mungkin punya bayangan masa depan dimana ada lo di dalamnya, tapi gue nggak tau apakah Tuhan mempersilakan atau enggak. Tapi satu yang pasti, sayang, dengerin gue,”

Lalu Bright menangkup wajah Win, mengusap lembut sudut bibir kanan dan kiri Win dengan ibu jarinya.

“Gue akan selalu berdoa dan gue akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk lo, untuk hubungan kita ke depannya. Apapun itu, gimana pun rencana Tuhan yang udah dipersiapkan untuk kita masing-masing, gue akan terus meminta jalan terbaik buat kita berdua.”

Bright menatap Win dengan tatapan terbaik yang ia punya, “dan kejadian waktu itu, gue minta maaf yang sebesar-besarnya karna udah ninggalin luka buat lo ya, yang. Gue nyesel, banget. Dan gue akan selalu berusaha untuk menjauhkan kemungkinan dimana kita bisa balik ke keadaan seperti itu. I will try my best to make both of us the happiest and this is my promise.”

“I love you too, sayang. Thank you for always being my bestest valentine date ever.”

Dan keduanya kembali saling bertukar rasa sayang lewat sebuah ciuman panjang. Saling melumat, saling mencumbu, lebih dalam lagi.

Kabin keduanya berhenti tepat di puncak teratas, menempatkan keduanya di posisi tertinggi malam itu.

Perlahan namun pasti, Bright melepas ciuman keduanya dan berkata, “the moon is beautiful, isn't it?”

Win, overwhelmed. Ia hanya bisa menanggapi ucapan Bright dengan senyuman manis. Kepalanya kini bersandar di bahu Bright, tubuhnya terasa begitu hangat kala sang pacar memeluknya erat dari samping.

“Bright,”

Yang dipanggil menyahut dengan sebuah deheman pelan, “ya, sayang?”

“Let's try to be the better version of us tomorrow, hm?”

Bright mengangguk, mantap. “Sure,” lalu tangannya bergerak mengusap lembut rambut Win yang tertiup angin.

“Wow, gue baru sadar kalau ternyata ngeliat bintang di posisi setinggi ini, keren banget, ya?”

Win mengikuti arah pandang Bright yang kini menatap ke arah langit. Dan benar saja, bintang-bintang yang berhamburan di atas sana terlihat begitu cantik.

“We are all of us stars, we deserve to twinkle too, sayang.”

Pergerakan tangan Bright di surai hitam Win berhenti tiba-tiba ketika pemuda manis yang sudah resmi menjadi kekasihnya selama 3 tahun itu, kini menoleh padanya. Ada binar penuh antusias di sepasang obsidian kecoklatan miliknyaㅡ membuatnya 100 kali terlihat lebih cantik.

“Am i one of them?” tanya nya, penasaran.

Bright membalas tatapan itu dengan satu alis yang bertaut, sengaja menggoda. “Siapa? bintang-bintangnya?”

“Iya!”

Lalu sebuah cubitan gemas di hidung mancung Win berhasil menciptakan gelak tawa di antara keduanya, “you're my star. My only star. Is that enough, sugar pie?”

. . .

JEYI // 210212