My Dear Script-Writer.

🔞 EXPLICIT CONTENTS; not-so-quickie and car sex, sex toys, a little bit drunk!sex, grinding, multiple-orgasm, blowjob, handjob, over-stimulation, dirty vocabs (using some of local porn words such a k/n/t/l, ng/w/e etc), contains male pregnancy (M-PREG) issue, baby blues cases and all. code pair: brightwin. words : 8.376 words.

Please, be a wise reader. If you're under 18 and not comfortable with explicit contents, do not read this whole oneshot. Thank you.


There's a single word that Win ever put in one of his famous script, right on the last page of his well-written story,

Metanoia…

(n.) the journey of changing one's mind, heart, self or way of life.


“Let's get a lot of awards this year, especially for Metanoia and for our highest paid actor… Bright Vachirawit, uhmㅡ”

Soju, vodka, whisky, dan beberapa makanan ringan berserakan asal di atas meja berbentuk persegi panjang yang sudah berjam-jam dihuni oleh orang-orang yang cukup berperan penting dalam dunia perfilman Indonesia. Terhitung sudah ada enam botol soju yang kosong tak bersisa di sana, juga di waktu yang sama menampilkan enam botol minuman beralkohol lainnya yang masih tersegel apik.

Satu botol Smirnoff vodkaㅡ no. 21 berukuran besar sudah kosong, tetapi masih menyisakan dua botol lainnya yang ternyata masih utuh, penuh. Serta empat botol whisky dengan merk yang berbeda masih terpajang manis di tengah meja, tiga sudah dibukaㅡ nyaris habis, dan satu botol lagi masih dalam keadaan terkunci rapat.

Chaos, hanya satu kata itu yang mampu menggambarkan keadaan, dimana Bright sekarang duduk di salah satu bangku yang ada di ujung meja sebuah resto dan bar mewah di kawasan Kemang.

Ah, ternyata waktu semakin beranjak malam dan sudah memasuki pukul sebelas, ketika tak sengaja Bright edarkan pandangannya untuk melirik beberapa kru film dan produksi, serta orang-orang penting di balik layar yang memiliki peran penting untuk film layar lebar yang kali ini ia bintangi bersama seorang aktris rookie, dengan usia cukup jauh di bawahnya.

“Hey, y-you o-okay?” Bright sebenarnya canggung untuk menyampaikan kuriositasnya, tapi seseorang yang kini duduk di hadapannya tampak harus diberi sengatan agar tidak hilang kesadarannya.

Seorang lelaki dengan balutan sweater oversized berwarna hitam melirik Bright dengan cepat, kemudian ia sedikit oleng saat mendengar suara sang aktor papan atas kesayangan seluruh warga negara samar-samar mengetuk gendang telinganya dengan sopan. Kepalanya mengayun kecil ke bawah, alis sebelah kirinya memicing, bibir bawahnya yang penuh itu mencebik bak seorang anak kecil yang kehilangan permen manisnya.

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Bright, karena jujur ia sendiri bingung apakah masih berada di ambang sadar atau tidak.

Sepasang kelopak matanya yang sedikit tertutup, terbuka, lalu tertutup lagi dan terbuka setelahnya, cukup memberi penjelasan bahwa lelaki itu sudah nyaris seratus persen kehilangan kesadaran.

Bright terkekeh kecil, melihat sosok tersebut seolah berusaha untuk menjawab pertanyaannya, namun rasa high-nya yang masih mendominasi justru menahan laju ucapnya di ujung lidah.

Ekspresi wajah lelaki itu berubah dalam hitungan detik. Kali ini, ia buat raut menggemaskan bak anak kucing kehausan mencari susu. Oh, jangan lupakan jari telunjuknya yang panjang kini bergerak lucu naik dan turun menunjuk tepat pada bagian dadanya.

Bertanya melalui gestur singkat, apakah Bright sedang bicara kepadanya atau justru bertanya pada orang lain. Atau mungkin… ia hanya terlanjur halusinasi semata.

“Iya, bener, saya ngomong sama kamu.” ujar Bright, yang dibalas anggukan paham oleh sosok yang masih menatapnya dengan tatapan khas anak kucing.

Lucu, Bright bergumam dalam hatinya. Sengaja ia tatap si lelaki manis yang berperan sebagai penulis naskah film yang dibintanginya itu se-lama yang ia bisa. Lelaki dengan sweater hitam itu masih mengangguk-angguk kecil, namun temponya sudah sedikit melambat, lalu mengaduh keras sambil memejam saat kepala bagian belakangnya tidak sengaja bertabrakan dengan dinding yang ada di belakang.

“Aiiiishhh... Ughh, sakiiiit...”

Bright spontan beranjak dari bangku yang ia duduki. Langkahnya sedikit sempoyonganㅡ pengaruh alkohol, tapi ia tetap berusaha untuk menahan bobot tubuhnya sendiri lalu segera mengambil posisi duduk di samping si penulis naskah yang masih mengaduh sambil mencebikkan bibir.

Bright tertawa sebentar sambil terus memandang lelaki itu, lalu tangannya bergerak untuk meraih tangan halus yang semula masih sibuk mengusap-usap kepalanya sendiri yang mungkin masih terasa sakit.

Tangan Bright kini bertugas memberi usapan lembut di sana, di bagian yang baru saja membentur dinding, membuat si penulis naskah kembali menatapnya dengan sepasang mata yang mengerjap lucu.

“Sakit, kah?” tanya nya.

Lelaki manis itu mengangguk pasrah, memiringkan kepalanya sedikit untuk merasakan lebih dalam usapan tangan Bright di kepalanya, “sakiiiiit...” sahutnya lirih, “tapi kalau diusap-usap sama kamu, kayak gini... sakitnya hilang… wooosshhh… hilang, kan?!”

Demi Tuhan, Bright tidak pernah tahu jika efek samping mabuk seseorang bisa... membuatnya jadi selucu ini. Se-menggemaskan ini.

Si penulis naskah tersenyum kecil sambil sesekali menduselkan sisi wajahnya di telapak tangan Bright yang kini sudah menempel di pipinya, “tangan kamu wangi.”

“Bright, limit sewa bar kita tinggal satu jam lagi. Beberapa kru sudah mau pamit, kamu masih mau di sini atau mau ikut di mobil saya? Kamu mabuk, anyway.”

Bright yang masih asik memberikan usapan kecil di wajah si penulis naskah dengan ibu jarinya, langsung menoleh saat suara sutradara film menginterupsi. Matanya mengerjap beberapa kali saat tak sengaja ia dapati sang sutradara sedang melirik dirinya dan juga si penulis naskah secara bergantian.

“Nggak begitu mabuk, Mas. Saya masih kuat bawa mobil sendiri.”

Lalu pandangannya beredar melirik beberapa kru yang sudah hilang kesadaran dan menjadikan meja sebagai bantal darurat bagi mereka, juga beberapa kru yang tidak minum tampak sedang bicara satu sama lain, lalu yang lain juga sedang bersiap-siap untuk segera meninggalkan bar.

Ah, ya, benar juga. Rupanya Bright baru sadar kalau tim produksi film memang hanya menyewa bar untuk durasi 6 jam, dan akan berakhir tepat pada pukul 12 malam. Bar ini adalah milik sahabat dari sutradara film, yang kebetulan juga menjadi tempat pertemuan pertama antara sutradara, dua pemeran utamaㅡ Bright salah satunya, juga satu orang penulis naskah yang memang sudah jadi kebanggaan tersendiri bagi rumah produksi yang mengambil alih proyek film layar lebar ini.

“Win mabuk banget, ya?”

Bright kembali melirik Winㅡ si penulis naskah, sesaat, “iya, Mas. Mas Win bawa mobil nggak, ya?” balas Bright yang langsung dibalas gelengan oleh sang sutradara.

“Tadi berangkat ke sini nya barengan sama saya. Tapi kayaknya, saya nggak bisa ngedrop Win ke unit apartemennya. Mobil saya penuh, nih.”

Bright baru saja akan membalas ucapan sang sutradara saat gerakan Win yang terkesan tiba-tiba membuat jantungnya seolah loncat dari tempatnya.

Bright bahkan harus memundurkan sedikit wajahnya hanya untuk memberi ruang bagi si penulis naskah nan manis itu agar bisa bersandar dengan nyaman di bahu kirinya. Tingkat kesadaran Bright yang sebelumnya bahkan tidak mencapai 65%, kini seolah kembali pulih dan membuatnya tersadar pada level persentase tertinggi.

“Kamu wangi huhuhu... Aku suka... Mau cium cium cium... Mwaaah... Mmhh wangi huuuueee!!!”

Berguling di lantai tampaknya bukan pilihan yang buruk, tapi Bright jelas tidak bisa melakukannya sekarang walaupun sosok yang sejak awal pertemuan mereka beberapa bulan lalu itu sibuk memasang ekspresi datar di wajahnya, kini malah beringsut melingkarkan kedua tangan di pinggang Bright sambil sesekali mencium bahu dan rahangnya.

Ya, Win yang beberapa bulan lalu ditemuinya secara eksklusif adalah sosok lelaki muda yang enggan memasang ekspresi di wajahnya.

Tapi Win yang sekarang…

Ciuman pertama di bahu, cukup membuat mata Bright mengerjap kaget.

Ciuman kedua masih tetap di bahu, cukup membuat Bright harus menahan hembusan nafasnya selama beberapa detik.

Ciuman ketiga di rahang atasㅡ dekat telinga, mulai membuat Bright kesulitan untuk menelan ludah.

Dan yang terakhir… ciuman di rahang bawahㅡ dekat dengan ujung bibir, ternyata mampu membuat aktor kesayangan semua orang itu kehilangan akal sehat dan mencuri satu kecupan lebih dulu di bibir penuh yang kini mengerucut bingung.

Satu mata Win yang tengah terpejam memicing, merasa linglung untuk sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum lebar sambil memajukan wajahnya, “mau dicium lagiiii ya, ya, ya....!!!”

Diberi kesempatan, mana bisa menolak? Bright pun bersiap untuk memajukan kembali wajahnya, sambil otaknya bekerja menyusun sebuah strategi tentang bagaimana caranya untuk menikmati bibir ranum itu lebih dalam dari sekedar kecupan biasa, namun lagi dan lagi suara sang sutradara film harus membuatnya mundur beberapa sentimeter. Kemudian dahi Win jatuh tepat di bawah dagunya.

“Hm, Bright, saya titip Win sama kamu, boleh? Alamat unitnya nanti saya kirim lewat chat. Mabuk banget dia, biasanya toleransi alkoholnya tinggi, tapi tumben banget ini dia udah ngawang...”

Bright melirik Win yang mulai bernafas dengan teratur dalam dekapannya, lalu kembali memusatkan seluruh atensi pada sang sutradara, “boleh, Mas. Sekalian saya mau pamit sekarang aja deh, mumpung kesadaran saya juga udah full.”

“Oh boleh, boleh, sebentar,” pria dengan busana kasual yang dilengkapi snapback putih di atas kepalanya itu tampak mulai sibuk mengotak-atik ponselnya. Hingga satu menit berlalu, ia kembali menatap si aktor papan atas, “udah saya share loc, ya? Unitnya ada di Gardenia Building tower H, nanti minta bantuan security aja pas kamu udah sampai. Win terkenal di kawasan apartemennya, hahaha.”

Bright mengangguk pelan saat ia merasa ada getaran di saku celananya.

Diliriknya satu kali lagi sosok manis yang tampaknya sudah benar-benar kehilangan kesadaran itu. Deru nafasnya terdengar beraturan, tenang, membuat Bright tidak tega untuk membangunkannya.

Oke, beri waktu sekitar sepuluh menit sampai setidaknya lelaki yang sedang mabuk itu bergerak sedikit untuk mengubah posisi tidurnya. Ya, menunggu bukanlah hal yang sulit bagi Bright. He can manage.

Drrrrrtt,

Perhatian Bright teralihkan pada sebuah ponsel yang tergeletak pasrah di samping botol soju yang sudah kosong. Pikiran Bright kembali mundur pada apa yang terjadi sekitar satu jam setelah semua pesanan datang ke meja reservasi mereka. Win yang sudah amat sangat akrab dengan tim produksi filmㅡ karena beberapa kali terlibat di dalam project film dan drama yang sama, langsung mengambil dua botol soju tanpa izin dan meminumnya bagaikan seseorang yang sudah berpuasa tanpa berbuka selama satu minggu lamanya, dan tak ada satu orang pun yang melayangkan protes akan tindakan tersebut.

Sudah menghabiskan nyaris dua botol sendiri, Win bahkan masih sempat meminta satu gelas whisky yang sudah dicampur dengan beberapa tetes air pada salah seorang kru film yang duduk di sampingnya.

Di balik wajahnya yang manis, ternyata Win merupakan seorang peminum alkohol yang... ya, cukup payah. Setidaknya itu yang ada di pikiran Bright, karena nyatanya lelaki yang ia ketahui lebih dewasa di atasnya beberapa tahun itu sudah hilang sadar padahal botol sojunya yang kedua belum habis sepenuhnya.

Bright melirik sedikit layar ponsel Win yang masih menyala, dan salah satu matanya memicing kala ia mendapati nama Joss Way-Ar, seorang sutradara papan atas, terpampang jelas di sana.

Joss pernah mengajaknya bekerja sama untuk sebuah project web drama beberapa tahun lalu, dan ya, as expected bukan jika sebuah drama berhasil meraih kesuksesan besar saat terjadi kolaborasi antara sutradara papan atas sekelas Joss Way-Ar dan juga aktor mapan, berbakat sekelas Bright Vachirawit?

Bright yang kepalang penasaran pun mulai menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel milik Win, namun gerakannya terpaksa berhenti saat Win tiba-tiba mengubah posisinya menjadi duduk, masih dengan wajah yang terayun ke kiri dan kanan, juga sepasang matanya yang masih menutup rapat.

Atensi Bright tentu berpaling pada sosok yang tiba-tiba terbangun itu. Bibir ranumnya mulai mencebik lucu seraya tangan putihnya yang terbalut sweater hitam turut bergerak menepuk-nepuk seolah sedang mencari sesuatu di atas meja.

Bright bergerak mendekat, menjitak pelan dahi lebar yang tertutup helai rambut sehingga membuat sang korban melirih keras, “kenapa aku ditonjoooook!!!”

Astaga… ditonjok, katanya?!

Bright terkekeh pelan sebelum menjawab racauan si penulis naskah, “kamu ngapain gebuk-gebuk meja, hm? Mejanya ngapain emangnya?”

Win terdiam, bibirnya tak lagi mencebik, namun terlukis beberapa guratan di dahinya. Sosok manis ini tampak sedang berpikir keras.

Lalu, kepalanya menoleh ke arah meja. Dua kelopak matanya sudah terbuka, dan kepalanya bergerak miring ke arah kiri.

Bright sengaja tidak mengajak Win bicara lagi. Tingkah Win saat sedang mabuk ternyata sudah menempati posisi teratas dalam list 'hal-hal gemas yang ingin dilihat setiap hari', miliknya. Sedangkan Win di sampingnya mulai mengalihkan pandangan kembali pada Bright.

Bibir si Manis lagi dan lagi mengerucut, sepasang matanya mulai berkaca-kaca, “Mejanya nakaaaaal...”

That's it, tidak lagi ada kekuatan yang tersisa untuk menahan tawa. Bright tertawa dengan lebar, dan tentu racauan Win yang cukup keras disadari oleh beberapa kru dan artis yang belum beranjak dari posisi duduk mereka. Suasana yang sebelumnya tidak begitu ramai pun berhasil dibuat ricuh hanya karena racauan Win barusan. Semuanya tertawa, termasuk Bright, kecuali Win yang terlihat bingung sambil menggaruk pelan kepalanya.

Win menoleh ke arah lain hanya untuk bertemu pandang dengan beberapa pasang mata yang masih sibuk tertawa dengan lepas. Bibir ranumnya digigit pelan, seiring dengan atensinya yang perlahan kembali ia fokuskan pada sosok Bright.

Satu tangan Win meraih lengan hoodie hitam yang dipakai Bright, kedua alisnya saling bertautan, “aku lagi diketawain, yaaa?!” suaranya yang lembut bak anak kecil, membuat tawa Bright mereda dan berujung senyum kecil terlukis manis di wajahnya.

Bright mengusak pelan surai hitam Win, “mereka ngetawain aku.” jawab Bright, lembut.

“Mau pulang?”

“Eum???”

Bright menghela pelan nafasnya, usapan tangannya di rambut Win masih terus berlanjut, “pulang, yuk?”

Kini, giliran Win yang menghela nafas. Sosok manis itu terdiam sebentar, sebelum akhirnya ia menggeleng ringan, “ke rumah kamu, ya?” tanya nya, tentu dengan sepasang mata bulatnya yang mengerjap lucu.

Tidak ingin berargumen lebih jauh, dan Bright juga sudah cukup mengantuk karena hari semakin larut pun akhirnya mengangguk pasrah seraya beranjak dari posisi duduknya.

“Oke. Kita pulang ke rumahku.”

Yang langsung dibalas dengan tepukan meriah oleh Win, juga disertai dengan kekehan kecil pertanda ia sedang bahagia. Sangat bahagia.

Bright membantu Win untuk mengemas barang bawaannya, termasuk ponsel yang tadinya tergeletak pasrah di tengah meja. Lagi dan lagi Bright harus menahan nafas saat Win yang kini sudah berdiri di sampingnya langsung menggandeng tangannya dengan semangat.

Ditambah, lelaki manis itu melirik ke arah kru dan artis yang masih duduk di tempat mereka sambil menjulurkan lidah seolah-olah sedang meledek.

Tak ada yang bisa Bright lakukan selain menggeleng saat Win dengan kebiasaan mabuknya mulai memasuki fase kacau yang berhasil membuat semua orang di sana tertawa puas.

Bright pun pamit, lalu mulai membawa Win melangkah sehati-hati mungkin menuju parkiran.

Hah.., Bright tidak pernah menyangka, kalau pesta perayaan berakhirnya periode syuting film layar lebar yang ia bintangi akan berujung dengan pemandangan sosok manis penulis naskah yang sudah ia lirik sejak kali pertama mereka bertemu, kini duduk pasrah di bangku penumpang, di sampingnya.

. . .

“Arghhh... Deeper, please?”

Dengan terpaksa, Bright harus menghela nafas kasar berulang kali hanya untuk menghadapi sosok Win yang kini tengah bergerak gusar di bangku penumpang.

Sejak detik pertama Win duduk di sampingnya, Bright sudah merasa ada yang tidak beres dengan lelaki tersebut, karena beberapa kali ia dapati keringat dingin mengalir membasahi wajahnya.

AC mobil dalam keadaan menyala, bahkan Bright harus beberapa kali menghembuskan nafas lewat mulut hanya untuk merasakan sensasi hangat dari sana. Dan juga, racauan-racauan sensual yang entah, bagaimana bisa kata-kata tersebut terucap begitu saja dari bibir manis Win mulai mendominasi keheningan di dalam mobil.

Di lampu merah ketiga, Bright mau tidak mau melirik Winㅡ untuk yang kesekian kali, yang ternyata sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak dapat Bright jabarkan dengan kata-kata.

Wajahnya tampak memerah, meski Bright tak begitu bisa melihatnya. Sepasang mata bulat itu juga tampak berkaca-kaca, sambil sesekali tangan cantik miliknya bergerak meremas ujung sweater yang ia kenakan.

“Deeper, please...”

Meracau lagi, dan Bright mulai bingung harus merespon seperti apa.

Suara klakson dari arah belakang mulai terdengar, pertanda lampu hijau sudah menyala dan Bright harus segera tancap gas. Bangunan apartemen tempatnya tinggal masih cukup jauh, membuat Bright mulai dilanda rasa tak nyaman saat Win yang duduk di sampingnya terus menerus meracau dengan kalimat yang berhasil membuat Bright ikut-ikutan berkeringat dingin.

Ia terus berusaha fokus dengan jalanan, namun Win yang mulai mengubah posisi duduknyaㅡ menjadi sedikit mengangkang dengan kedua kaki yang sengaja dibuat naik ke bangku, berhasil membuat Bright berdecak kecil.

Lantas dipelankan laju mobilnya, lalu ia bawa tangannya untuk mengusap surai hitam Win dengan lembut, “is everything okay there?”

Win menggeleng pelan, “my vibrator is now lowbat. I feel really… really… really empty.”

Wait, what the fuck?!

Bright nyaris menginjak pedal rem secara mendadak saat kalimat yang tak pernah ia sangka-sangka akan terucap begitu lancar dari mulut Win.

Masih berusaha untuk fokus mengemudi, Bright pun membalas ucapan Win tanpa menengok ke arahnya sama sekali.

Helaan nafas berat terhembus dari bibir sintalnya, “pardon me, your what?”

Win mendengus pelan, “vibrator,” lalu melirih setelahnya. “Mainanku lowbat, huuuueeee...”

Win yang sedang mabuk lalu disandingkan dengan Win bersama mainan-nya, adalah dua hal yang ternyata tak bisa Bright handle sebegitu mudah.

Melanjutkan percakapan yang sejatinya not safe for himself tampaknya bukanlah pilihan yang tepat, alhasil Bright memilih untuk tetap mengemudi dengan satu tangan, sedangkan tangan yang satunya masih terus memberikan usapan lembut di surai hitam Win yang terus melantunkan racauan-racauan delapan belas coret yang, zuzur aja, cukup membuat Bright pusing tujuh keliling.

“Kamuㅡ,”

Bright menoleh sebentar, “ya?”

“Lubangku rasanya nggak enak,”

Demi apapun yang ada dunia ini, bisa nggak sih satu kali aja, Win nggak bikin Bright berasa sport jantung terus-terusan? Not Safe For Bright, hey, ini tuh!

“Tolong keluarin ini dari lubangku, please?”

Sial, sial, beribu sial. Tatapan mata bak anak kucing itu lagi yang Win jadikan sebagai senjata agar Bright tak punya kuasa untuk mengelak.

Bright berdecak pelan, keringat dingin semakin membasahi sebagian sisi wajahnya, “tahan sebentar bisa, kah? Saya lagi nyetir.”

Win melirih lagi, “nggak mauuu... Sakit tauuuu kalau cuma dibiarin diem di dalam sini...” gerakan lelaki itu semakin terlihat tidak nyaman, gelisah.

“I wanna get the pleasure too...”

“Aku mau kamu,”

Oh, shit, here we go again. Bright enggan berdebat, tentu saja… memangnya apa yang bisa diharapkan dari berdebat dengan orang mabuk?! Si aktor kini mulai membawa tangan kirinya menuju resleting celana jeans biru muda yang dipakai Win.

Tetap hati-hati, walaupun hati kecilnya ingin menolak dan berhenti. Tapi Bright tahu, rasanya dibuat sesak ketika sedang tinggi-tingginya itu… menyebalkan, tidak enak.

Win yang menyadari bahwa Bright kesulitan menurunkan resletingnya hanya dengan satu tangan pun berinisiatif untuk kembali mengubah posisi duduknya menjadi berjongkok, di atas bangku penumpang. Tidak ada keinginan sama sekali untuk membuka celana jeansnya seorang diri, Win pun memilih untuk membantu tangan Bright menurunkan sedikit demi sedikit resletingnya sampai ke bawah.

“Aku buka celananya semua?”

Jika kebiasaan mabuk Win seperti ini, Bright bersumpah untuk tak akan pernah membiarkan lelaki manis ini untuk pergi minum seorang diri lain kali.

Bright memutar kemudinya ke arah kiri, mulai memasuki jalan utama yang akan membawa mereka ke kawasan gedung apartemen aktor muda itu berada.

Bright mendesah pasrah, “sampai ke batas lutut aja, oke?” jawabnya, yang langsung dibalas anggukan semangat oleh Win.

Dengan begitu, Win pun mulai menurunkan celananya sampai lutut, sesuai dengan apa yang diminta Bright. Sambil menunggu Win selesai melakukan pekerjaannya, Bright pun kembali membawa tangannya untuk memberikan usapan lembut di surai hitam Winㅡ menyalurkan ketenangan.

“Udaaaah!”

Bright tak langsung menjawab ucapan Win. Aktor tampan itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke segala sisi, hanya untuk memastikan keadaan cukup aman bagi mobilnya untuk menepi.

Tidak butuh waktu lama, Bright akhirnya berhasil memarkirkan mobilnya di sebuah pelataran komplek kosong yang belum selesai dibangun. Ia memundurkan sedikit bangkunya, disusul dengan bangku Win yang juga ia mundurkan sedikit.

Ditatapnya Win satu kali lagi. Lelaki manis itu tampak rileks dengan posisi tubuh berjongkok, agak mengangkang dengan bagian bawah tubuhnya yang sudah terekspos seutuhnya.

Bright menarik nafas panjang. Berpikir keras apakah ia harus melakukan ini atau tidak, karena Bright paham dengan dirinya sendiri, tentang dirinya yang lemah akan godaan, ia takut keadaan ini akan membawa keduanya berlabuh pada keadaan yang mungkin akan disesali kemudian hari.

Namun, raut wajah Win yang lagi dan lagi bagaikan anak kucing mengemis belas kasihan ternyata mampu mengambil alih seluruh akal sehat yang tertanam dalam otak Bright.

“Mau di posisi kamu begini, atau kita pindah ke bangku belakang?”

Win tampak mengerjap beberapa kali, berusaha mencerna pertanyaan Bright, lalu pada detik berikutnya ia rengkuh leher sang aktor dengan cepat dan mempertemukan bilah bibir keduanya.

Bright cukup terkejut. Bukan lagi rahasia umum jika Bright adalah seorang pencium yang handal. Ada banyak sekali adegan ciumanㅡ mulai dari kecupan kupu-kupu tanpa nafsu sampai gaya berciuman yang disertai desahan serta lelehan saliva yang jatuh menjuntai sampai ke leher. Dari ciuman yang biasa-biasa saja, sampai ke ciuman yang pernah membuat lawan mainnya turn on pun sudah Bright lakukan.

Tapi tak pernah satu kalipun Bright dibuat terkejut, seperti sekarang ini.

Bright, awalnya, tidak pernah melibatkan perasaan dalam setiap adegan ciuman yang dilakukannya karena ia tahu, ia harus profesional dan bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Tapi rasa ketertarikan yang sejak awal sudah bersemayam dalam diri Bright ketika bertemu secara perdana dengan Metawin Opas-iamkajorn si penulis naskah terkenal seantero negeri, berhasil membuat Bright untuk kali pertama merasa ada ribuan kupu-kupu imajiner berterbangan di balik perutnya apalagi saat Win semakin memperdalam ciuman mereka.

Satu tangan Win memeluk erat leher Bright, sedangkan tangan yang satunya lagi mulai bergerak naik meremas surai hitam sang aktor yang mulai berantakan.

Bright berulang kali membawa wajahnya ke kanan dan kiri, berusaha menikmati lumatan kasar Win di bibirnya dengan tetap menjaga tempo permainan mereka.

Bright memajukan tubuhnya, membuat punggung Win sedikit membentur pintu mobil. Satu tangan Bright memeluk pinggang si penulis naskah, “you are drunk,” yang 95% sadar di sini hanya Bright, jadi sebisa mungkin pemuda itu berusaha menekankan pada Win kalau ia dalam keadaan mabuk, saat ini.

Ucapan Bright yang bergetar tepat di depan permukaan bibir Win membuat lelaki manis itu terkekeh pelan. Ciuman Win beranjak membasahi pipi kiri Bright, lalu turun ke rahangnya, “drunk sex is awesome sometimes,” mabuk, tapi masih bisa menjawab.

Tensi seksual di dalam mobil semakin tinggi, Bright dan birahinya mulai terbawa arus yang diciptakan oleh Win.

Kepala Bright mengangguk pelan, membenarkan dan mengiyakan ucapan Win barusan, “vibrator kamu mau dikeluarin atau kamu mau double penetrasi?” sahut Bright, memancing.

Win yang awalnya sibuk menjilati rahang Bright pun mulai menghentikan aksinya. Gerakan lidahnya di kulit sang aktor tidak lagi terasa, Win membawa tubuhnya yang sedikit sempoyongan untuk berhadapan dengan Bright yang secara tidak langsung mendukungnya dari atas, tentu tanpa melepas pelukannya dari leher jenjang pemuda tampan itu.

Satu mata Win memicing, “kamu emangnya kuat ngedorong kalau double penetrasi?” lalu Bright tertawa setelahnya.

Bright mengusap seduktif pinggang polos si penulis naskah, “kamu terlalu banyak ngomong dan terlalu nyambung untuk ukuran orang mabuk.” katanya, sambil menunduk, mendekatkan wajahnya pada perpotongan leher Win.

“Mmmhhh,ㅡ kamu nggak mau ngasih tanda di leher aku?” Tidak ada jawaban, yang terdengar hanyalah decakan pelan yang disusul dengan kekehan senang dari mulut Win ketika Bright mulai menjamah lehernya dengan mulut, gigi dan lidah.

Bright mengecup salah satu titik di leher Win, mengecupnya sampai basah lalu dihisap kuat bagian tersebut. Kaki kiri Bright sudah jatuh ke bagian belakang, berusaha menopang berat tubuhnya sendiri sedangkan kaki kanannya kini berpangku di sisi kiri tubuh Win, di atas bangku penumpang.

Sambil menghisap dalam kulit leher Win, Bright diam-diam mempertemukan dua selatan di bawah sana. Dua kejantanan yang masih terlindungi oleh fabrik; Winㅡ dengan celana dalamnya dan Bright dengan celana jeansnya kini saling bertukar afeksi, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang lagi dan lagi membuat Win mendesah keras.

“I wanna taste your special little baby, ahhhㅡ”

Bright menaikkan wajahnya, meraup daun telinga Win untuk dikulum dalam mulutnya.

Masih sambil menggesekkan kejantanannya pada kejantanan Win di bawah sana, Bright bergumam pelanㅡ tepat di atas daun telinga Win, “he's not a little baby, he's kinda big, wanna touch?”

Perlahan-lahan Bright menurunkan celana dalam Win, membuangnya asal ke bangku belakang.

Win meremas surai hitam Bright kuat, “mau, tapi nantiㅡ” lalu menarik kepala Bright menjauh dari lehernya, membuat wajah keduanya kembali berhadapan dalam jarak yang begitu dekat.

“Aku mau ciuman lagi, boleh?”

Seulas senyum kecil terbit di wajah Bright yang mulai dipenuhi kabut gairah, pemuda itu mengangguk, “look, who is this beautiful man below me?” jari-jari tangan Bright bergerak halus mengusap pipi Win, “cantiknya, siapa laki-laki paling cantik yang ada di dunia ini?” tanya Bright, satu kali lagi.

Win tertawa kecil, ia memajukan sedikit tubuhnya kemudian mencuri satu kecupan kilat di bibir Bright, “Metawin. He's the prettiest human alive.” jawabnya.

Bright mengangguk menyetujui, “betul,” keduanya kembali berciuman singkat, “Metawin, laki-laki paling cantik yang ada di dunia ini.” Rasa-rasanya, Bright seolah kembali menjemput mabuknya.

Keduanya terdiam. Baik Win maupun Bright sama-sama tidak membuka suara, hanya sibuk memandangi eksistensi masing-masing. Sepersekian sekon berikutnya, Bright mengendus pipi kanan Win lalu menciumnya gemas.

“Win,”

Masih sambil terus menatap Bright dengan mata sayunya, Win bergumam pelan, menyahuti panggilan Bright barusan.

“Are you sober enough?”

Win tertawa. Tawanya semakin menggelegar, tatapan matanya bertambah sayu.

Kemudian Bright berdehem, “masih mabuk ternyata.”

“Aku sadar….” Pemuda manis itu meracau, “sedikit, segini,” lalu ia menyatukan ujung ibu jari dan jari telunjuknya.

Senyuman penuh ledekan nan terkesan sayu di waktu yang bersamaan ikut hadir menghiasi wajah si penulis naskah, ia bergumam pelan, “aku cukup sadar untuk melakukan ini sama kamu, Bright. Please don't think about anything unless you're planning something to make me go high tonight.”

Bright menggeleng pelan, lalu berusaha menjauh dan kembali duduk di bangku kemudi. “Saya nggak bisa kalau kamu dalam keadaan nggak sadar penuh kayak gini.” Sebisa mungkin, Bright tetap mengutamakan consent. Walaupun sudah terlanjur diajak meninggi, sang aktor tidak mau jika hanya dirinya yang menikmati.

Suara tawa mulai mengisi keheningan di dalam mobil. Kali ini Win tertawa, kepalanya bahkan sampai terantuk ke jendela beberapa kali.

“Dari tadi aku bisa jawab ucapan-ucapan kamu yet you still have the audacity to say that I am too drunk? How funny...”

Jawaban Win berhasil menarik perhatian Bright. Pemuda yang nyaris kehilangan akal sehatnya itu kembali melirik Win yang ternyata sedang menatap ke arahnya, “terus kenapa pas masih di bar tadi kayaknya kamu mabuk banget? Sutradara bilang, toleransi alkohol kamu tinggi.”

Win mengangguk ringan, “I am.”

“Tapi kamu tadi bener-bener kelihatan mabuk, Win.”

“Yes, i was drunk, tapi nggak separah itu, tipsy tipsy sedikit lah...” jawabnya sambil memejamkan mata. Win membawa kepalanya untuk bersandar di jok mobil, mengistirahatkan tubuhnya sebentar di sana.

“Kalau nggak begitu, aku nggak akan bisa pulang. Gini-gini aku juga bisa belajar akting, sedikit, biar mereka percaya.”

Well, so this script writer is not that drunk…

“Terus kamu ngapain pakai vibrator?”

Yang ditanya cuma bisa menggelengkan kepala, pejaman matanya kini terbuka. “My job sucks,” yang diam-diam diaminkan Bright sebagai alasan kalau lelaki itu butuh pelampiasan untuk merilis rasa stressnya karena pekerjaan.

“Now how about you suck on my dick? It's hurtssss...”

“And he wants you,”

Gila, Metawin memang gila.

Sekarang giliran Bright yang mabuk kepayang atas ucapan-ucapan seduktif pria itu.

Lantas tanpa sadar Bright melirik ke arah bawah, memerhatikan kejantanan Win yang sudah berdiri, dan sedikit bergerak pelan meminta perhatian.

Satu kali lagi Bright memandang Win yang sedang merintih pelan, tanpa sepengetahuan Bright ternyata lelaki itu mulai menjamah penisnya secara mandiri, mengocoknya pelan, menjemput rasa nikmat.

Bright berdecak, “kamu nyuruh saya buat ngisepin kamu tapi kamunya malah asik main sendiri.” Bright, gila…

Win terkekeh kencang, lalu ia menarik tangannya menjauh dari sana, dari penisnya yang sudah berdiri tegak. Win bahkan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, “i am not touching myself, Sir.”

“Wants me to help you?” tanya Bright.

Kepala Win mengangguk cepat, tanpa ragu, “isep sampai aku keluar di mulut kamu, ya?”

Gila, Metawin, gila…

Bright menghirup oksigen banyak-banyak sebelum menghembuskannya secara asal. Sudah terlanjur tinggi, Bright pun menunduk di atas tubuh Win, membuka lebih lebar lagi kedua kaki si penulis naskah yang berjongkok di atas bangku.

Bright masuk ke tengah-tengah, lalu menangkup kejantanan Win dengan tangan kanannya. Mengusapnya pelan, sambil sesekali memberi remasan di sana.

“Win, are you fine with dirty words?” ujung ibu jari tangan Bright berhasil menyentuh lubang di kejantanan Win, diusapnya pelan bagian tersebut.

Win yang sedang memejam menahan desahan kini melirik Bright di bawah sanaㅡ di tengah kedua pahanya yang sedang mengangkang lebar. Kepalanya lambat laun mengangguk, “kontol? Kamu kapan mau isep kontol aku? He's hurting, don't play too long...”

Gila.

Bright menurunkan tangkupan telapak tangannya menuju buah zakar si penulis naskah, lalu kepalanya semakin menunduk, Bright kini memasukkan ujung kejantanan Win ke dalam mulutnya.

Bermain-main sebentar di sana, membasahinya dengan saliva lalu Bright mulai mengulum penis yang mulai memerah itu. Kepala Bright tetap mendongak, keduanya masih terus bertukar pandang.

Win tersenyum kecil, senyum penuh nafsu. Kedua tangannya merengkuh kepala Bright, memberi usapan sayang di surai hitam pemuda itu, lalu mendorongnya lebih dalam lagi sampai ujung penis si penulis naskah kini masuk ke dalam tenggorokan si aktor.

“Ahhh… enak… mulut kamu enak banget, mmmhhh, yessshh...”

Win mengerang. Tubuhnya mulai gemetaran saat dirasa putih mulai mendekat. Win masih terus menatap sepasang mata Bright, sambil membiarkan pemuda itu terus bergerak naik dan turun di atas penisnya, bahkan sesekali lidahnya turut hadir mengisi absensi dalam kegiatan panas mereka malam itu.

“Jilat, suck on my dick,”

Bright menurut, ia membawa keluar penis Win dari mulutnya lalu menjilati batang kejantanan itu dari atas hingga ke bawah, tidak ada satu bagian pun yang terlewat.

“Enak, aaahh… ya Tuhan, enak banget… i am about to die, fuckㅡ”

Masih sambil mengulum kecil penis Win, Bright berujar, “saya masukin lagi, ya? Kamu mau keluar di mulut saya, 'kan?”

“Mmmhh,,, yessshㅡ” susah payah Win mengatur laju nafasnya, “yes, Sir, please,”

Dan dengan itu, Bright memasukkan kembali penis Win ke dalam mulutnya. Bright mengulum benda lunak itu dengan penuh perasaan, sebisa mungkin ia ingin Win merasakan kenikmatan yang takkan pernah bisa ia temui di mulut orang lain. Hanya mulut Bright, hanya mulutnya yang bisa membuat Win mendesah bahkan hampir menangis seperti sekarang ini.

Penis Win semakin membesar di dalam mulut Bright, ia semakin dekat.

“M-mau keluar...”

Bright bergumam pelan, menghantarkan sengatan di sepanjang penis Win yang berhasil membuat si empunya menggigit kuat bibir bawahnya.

Butuh sekitar lima kuluman lagi, Win finally got his orgasm inside Bright's mouth.

Tiga menit berlalu, Win mengusap pelan kedua pipi Bright lalu mendorong wajah si aktor agar penisnya bisa menjemput kata bebas. Pasca orgasme, Win membawa wajah Bright untuk mendekat, kemudian kembali mempertemukan bibir mereka.

Win mengulum bibir atas dan bawah Bright bergantian, berusaha memberi kenikmatan pada organ oral si aktor ternama.

Terbuai dengan arus ciuman yang seolah tak mau berhenti, Bright pun merengkuh pinggang Win dan membawanya pindah ke bangku belakang dengan hati-hati.

Bright membaringkan Win di bawahnya, keduanya masih terus berciuman, semakin kuat, semakin dalam.

“Ssshh, u-udah...”

Bright menurut, ia melepas tautan bibir keduanya dan membiarkan Win meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Sambil menunggu Win menetralkan laju pernafasannya, Brightㅡ dengan posisi berjongkok dan mengangkang di atas tubuh Win, pun dengan hati-hati melepas satu persatu fabrik yang masih melekat di tubuhnya.

Win, dalam keheningan, menatap minat Bright yang sedang melucuti pakaian tepat di atasnya. Pemuda itu sedang kesusahan, dengan posisi berjongkok seperti itu, ia harus segera menelanjangkan dirinya. Tapi Bright tidak sedikitpun memutus kontak mata mereka.

Dan Win, diam-diam menyukai posisi ini.

Brightㅡ mengangkang penuh dominasi di atasnya.

Dua menit. Butuh waktu selama dua menit sampai Bright benar-benar polos tanpa busana. Di atas Win, yang masih terus bertatapan dengannyaㅡ air liur mulai mengalir lewat sudut bibirnya.

Bright membawa ujung kejantanannya mendekat pada bibir Win, mengusap-usap permukaan ranum merah muda itu dengan ujung penisnya.

“I am only go down for you,”

Lalu dengan sedikit dorongan, Bright berusaha membuka belah bibir Win menggunakan penisnya. “Mau jilat? Mau isep-isep punya saya?”

Posisi ini… gila.

Perlahan-lahan Win membuka bibirnya. Ia menjulurkan lidahnya, berusaha mengecap kepala penis Bright yang berada tepat di depannya.

“But don't let your teeth touch mine, or else we're gonna stop.”

Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir Win. Lelaki itu mulai meraup penis Bright, membawanya masuk sedalam yang ia bisa.

Tidak ingin mempersulit pekerjaan si penulis naskah, Bright yang sedang berjongkokㅡ mengangkang di atas Win, kini mulai bergerak maju dan mundur. Membawa penisnya untuk menembus rongga hangat itu.

Kedua tangan Bright menangkup kepala Win, turut membantunya untuk bergerak mengikuti irama.

“Do you like it?” tanya Bright, lalu Win hanya bisa memberikan jawaban berupa gumaman yang berhasil membuat tubuh Bright bergetar hebat. “Penis saya keluar masuk mulut kamu kayak gini, yes… that's how you do it,”

“Selain pinter nulis naskah buat film, ternyata kamu juga pinter muasin punya saya kayak gini, ya… mmmmhhh, iya, enak… enak banget, ahhh,”

Win pasrah di bawah dominasi Bright. Tanpa sadar, ia sendiri juga sangat menikmatinya.

“Kamu jadi mau double penetrasi? Ngewe dengan metode kayak gitu, itu kesukaan kamu, iya?”

Bright semakin mempercepat gerakannya, penisnya semakin masuk, dalam, hampir menyentuh tenggorokan Win.

Butuh satu tusukan lagi untuk Bright menyentuh dasar tenggorokan si penulis naskah.

“Saya boleh diem dulu? Kamu jilat penis saya, ya? Nanti saya gerak lagi.”

Dan tentu saja Win menurut. Ia mulai menjilati batang penis Bright di dalam mulutnya. Nafsunya semakin meningkat pesat, apalagi ketika Bright menatapnya penuh minat, dikuasai kabut nafsu dari atas sana.

Bright mengusap sayang pipi Win, “boleh saya bergerak sekarang?”

Kepala Win mengangguk pelan, dan sepersekian sekon setelahnya, Bright kembali menghujam mulut Win dengan penisnya.

Tanpa ampun, tanpa kenal kata berhenti, dan tanpa sadar kalau Win baru saja menjemput putihnya yang ke-2, dan tidak butuh waktu lama… Bright mengeluarkan sebagian spermanya di dalam mulut Win, lalu sebagian yang lain disemburkan di wajah pria manis itu.

Membuat lelehan putih kental mulai turun membasahi pipi Win, menuju sudut bibirnya, dagunya, leher, dan berakhir di dada polosnya.

Bright diam-diam mengagumi Win yang tampak cantik dan seksi di bawahnya, dengan nafas yang agak terengah-engah juga dengan jejak cairan sperma yang meninggalkan rona mengkilap di beberapa bagian wajahnya.

Waktu semakin larut, keduanya belum mau berhenti. Menit demi menit berlalu, sampai posisi sudah beberapa kali berganti.

Bright sesekali memejamkan mata, tubuhnya sudah bisa rileks bersandar di bangku dengan Win yang berada di atasnya. Win sedang fokus mengendarainya, bergerak naik dan turun, membawa penisnya semakin dalam menembus lubang anusnya.

Bright mengelus lembut punggung telanjang Win, memberikan afeksi agar si Manis mau terus bergerak cepat, “terus, terussshhh, aaaahhh… enak, Win, you're really good at this, pinternya, cantiknya...”

Dipuji seperti itu, Win cepat-cepat menangkup wajah Bright dan kembali mempersatukan bibir keduanya. Saling bergantian melumat bibir bawah dan atas satu sama lain, sama-sama bertukar saliva, sama-sama bermain lidah.

Win yang sudah tidak kuat lagi, langsung melepas ciuman mereka. Kepalanya menengadah, pinggulnya terus bergerak menggenjot naik dan turun, “mau keluar… M-mau k-keluar lagi, Bright...”

Bright menghampiri ceruk leher Win, satu kali lagi mencium dan memberikan tanda di sana. Mengendusnya samar-samar, sambil menunggu Win menjemput putihnya yang ke-4, dan Bright dengan putihnya yang ke-3.

“Ahhhh, ya Tuhanku, enak… penuh… dalem… AHHHHHㅡ”

“Cantik, you're the prettiest tonight, cum for me.”

Bright pikir, mereka sudah selesai.

Nyatanya, Win kembali mengajaknya bertukar posisi sehingga Win kini berbaring (lagi) di bangku, dan Bright di atasnya.

Tanpa kata, hanya dengan seuntai seringai penuh makna, Win menggenggam batang kemaluan milik Brightㅡ memberikan pijatan lembut, bahkan sesekali meremasnya, lalu menuntunnya untuk perlahan-lahan masuk ke dalam lubang senggama Win yang masih berkedut haus akan sentuhan.

Win, meminta untuk diisi lagi.

Sakit sekali kepala Bright rasanya. Harus melihat posisi Win yang kini kembali berbaring terlentang pasrah, dengan kedua kaki yang mengangkang lebar menunggu Bright untuk kembali bergabung dalam pergulatan panas mereka.

Bright… masuk lagi.

Ya sudah, Bright bisa apa, selain membuat Win mendesah nikmat tanpa berniat untuk menarik keluar vibrator tetap dibiarkan bersemayam di dalam tubuhnya, membuat Win menjambak helai demi helai rambutnya saat ujung kejantanan Bright berhasil menembus pusat tubuhnya, juga membuat Win menangis menahan nikmat saat Bright berulang kali mengubah posisi dan bertanya “sudah mau keluar?”

Win, sosok penulis naskah yang tak mau menebar senyum padanya di kali pertama mereka berjumpa pun kini nyatanya bertekuk lutut memohon klimaks yang sampai dua jam lalu sudah ia dapatkan berulang kali. Win, ia mau lagi dan lagi.

Win, sosok penulis naskah yang jasanya sudah berhasil membuat beberapa judul film naik daun, berhasil meyakinkan Bright bahwa, having sex in a fucking car while drunk is beyond good, sexy and amazing.

. . .

“Saya hamil.”

Sepuluh menit lalu, Bright masih memejam, membiarkan sentuhan demi sentuhan make-up hinggap di seluruh sisi wajahnya. Lima menit lalu, Bright pun masih memejam bahkan nyaris tertidur saat seorang stylist mulai merapikan tatanan rambutnya.

Tiga menit lalu, Bright masih merasakan deru nafasnya yang teratur, berhembus dalam damai, sebelum suara dering ponselnya yang sengaja ia taruh di meja rias berdering tanda ada panggilan masuk.

Sang manajer yang memberikan ponsel itu padanya, setelah membisikkan perihal id caller yang ternyata Winㅡ sosok penulis naskah yang sudah tiga bulan ini menjalin hubungan tanpa status dengannya.

Bright izin pamit sebentar untuk mengangkat telepon, dan ketika izin sudah berhasil dikantongi, aktor tampan itu beranjak untuk melangkah meninggalkan restroom untuk mencari tempat teraman selama dirinya berkomunikasi dengan Win.

Namun, kalimat pertama Win yang menyambut di telinganya justru berhasil membuat Bright tertegun. Ujung sepatunya bahkan belum sampai pada petak lantai target destinasinya, tapi dengan terpaksa ia harus berhenti melangkah.

Bright mengatur sebentar nafasnya, “coba diulang.”

“Saya hamil.”

Win-nya… hamil? Tunggu, ia sedang tidak bermimpi, 'kan?!

Mereka memang tidak menjalin hubungan apapun, selain sama-sama sanggup untuk datang ke unit masing-masing demi menjemput rasa puas ketika butuh. Kejadian di mobil Bright beberapa bulan lalu nyatanya menjadi awal yang cukup baik bagi hubungan keduanya.

Ya, awalnya Win memang mengamuk karena ia terbangun di sebuah kamar besar dengan nuansa abu-abu yang sangat bukan tipenya, juga dengan balutan piyama putih yang menutupi banyak bekas keunguan yang tinggal di beberapa bagian tubuhnya. Padahal, Win sudah meminta untuk diantar pulang ke unit apartemen miliknya sendiri sesaat setelah mereka mengakhiri kegiatan bercinta di dalam mobil.

Ditambah, Win tidak begitu kenal siapa Brightㅡ saat itu, selain ia tahu kalau Bright adalah tokoh utama yang akan memainkan peran Gilang, dalam film berjudul “Metanoia; Unconscious Love” yang seluruh skenarionya adalah hasil pemikiran dan tulisannya, tanpa pula pernah bermimpi akan terbangun di atas sebuah ranjang plus di bawah selimut tebal yang sama dengan sosok aktor papan atas itu.

Namun, ya, namanya juga Bright. Tidak ada kata gagal dalam hidupnya, termasuk dalam strategi untuk mendekati sosok penulis naskah manis itu.

Dan sekarang, Win-nya hamil?!

Tak ada lagi yang bisa Bright lakukan selain tersenyum lebar. Sudut matanya sampai tertarik, sebagai tanda betapa besar dan tulusnya senyuman itu.

“Oh God, i am soㅡ”

“And do you think i want to keep this baby alive?”

Bright bahkan belum sempat melanjutkan kalimat, tapi Win sudah lebih dulu memutus luapan bahagianya.

Bright mengusap wajahnya dengan kasar, “Win,”

“Kamu dimana?”

“Lokasi pemotretan, Win,”

Terdengar desahan berat di seberang sana, “saya nggak bisa, Bright.”

Bright kembali menghela nafas dengan gusar, “kamu dimana?”

“Di rumah sakit. Saya mau cari cara untuk gugurㅡ”

“No. Tolong share loc kamu sekarang ada dimana, aku susul, oke? We need to talk.”

Win tidak lagi menjawab. Terjadi keheningan selama beberapa detik sampai akhirnya suara isakan berhasil membuat Bright panik bukan main.

“Kamu cari tempat duduk dulu di sana, oke? Aku harus minta izin dulu, baru aku bisa samperin ke rumah sakit. Aku janji nggak akan lama, jangan nangis, ya, Win, ya?”

“Jangan ngebut.”

Bahkan di sela isakan dan rasa kesalnya pun, Win masih sempat selipkan rasa khawatir. Bright tersenyum dibuatnya lalu mengangguk, meski Win tidak bisa lihat.

“See you, sayang.”

. . .

Maraknya berita yang beredar di portal berita dan sosial media membuat Win yang awalnya sudah dijadwalkan untuk cek kandungan pun harus membatalkan janjinya dengan sang dokter dan langsung bergegas menuju kantor agensi tempat Bright bernaung.

Begitu juga Bright, yang hari ini sudah dijadwalkan untuk menghadiri sebuah acara on-air di sebuah stasiun televisi pun harus memutar balik arah mobilnya untuk kembali ke kantor agensi.

Bright belum sempat membuka sosial media apapun, namun pesan singkat yang dikirim oleh sang manajer cukup membuat Bright paham akan keributan yang terjadi pagi ini.

Foto-foto kebersamaan dirinya dan juga Win di sebuah rumah sakit, beredar luas di internet tanpa bisa dihentikan. Serta spekulasi-spekulasi masyarakat yang menambah pamor berita tersebut menjadi trending.

Mungkin, ya, mungkin ini sudah saatnya semua orang tahu bahwa dirinya terlibat dalam sebuah hubungan dengan seorang penulis naskah, yang juga punya nama besar di kalangan masyarakat.

Tidak ada jalan untuk menghindar,

Tidak ada celah untuk melarikan diri.

. . .

Udara di hari pertama bulan Desember harusnya bisa dihirup dengan penuh sukacita oleh Bright, karena bulan Desember adalah bulan kelahirannya.

Jika tahun-tahun sebelumnya ia akan dihujani event menjelang dan after birthday oleh teman, keluarga dan penggemar justru tahun ini Bright harus nikmati dengan rasa cemas yang tak hilang sejak semalam.

Bright sama sekali belum beranjak dari posisi setengah berbaringnya, dengan satu tangan yang menopang kepala, serta tangannya yang lain terus bergerak memberi usapan lembut pada perut besar sang suami.

Bright turut mendaratkan beberapa kali ciuman hangat pada dahi Win yang menampilkan guratan di sana, pertanda bahwa si manis kesayangannya itu tidak tidur dengan tenang. Lalu, pandangannya beralih pada sebuah bingkai foto besar yang sengaja ia pasang di dindingㅡ foto pernikahannya dengan Win, yang diadakan secara sederhana, pada minggu ketiga di bulan April.

Win diprediksi akan melahirkan pada minggu terakhir bulan ini, dan, ya… mungkin inilah penyebab dari rasa cemas yang membludak dalam diri Bright.

Jika seumur hidupnya hanya ada beberapa hal yang membuat Bright panik sampai tak bisa tidur, seperti saat akan mengikuti ujian nasional, uji casting di agensi, dan gala premiere film perdananya beberapa tahun silam, maka kali ini Bright harus kembali mengalami hal serupa.

Bukan lagi tentang dirinya sendiri, tapi tentang sang pujaan hati yang dalam hitungan hari akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia.

Waktu baru saja melewati pukul empat pagi, dan Bright sama sekali belum bisa menjemput kantuknya. Pikirannya sibuk melanglang buana memikirkan kemungkinan buruk apa saja yang bisa menimpa Win pasca melahirkan nanti; apakah Win sanggup untuk bertaruh nyawa di ruang operasi, apakah Win dan bayi mereka akan selamat, apakah hanya salah satu saja yang bisa diselamatkan, apakahㅡ

“Hey,”

Lamunan Bright buyar seketika saat seuntai suara serak menyadarkannya. Ditatapnya wajah sang suami yang kini sedang berusaha menyesuaikan netra dengan cahaya lampu remang-remang di kamar mereka, juga bibirnya yang mengerucut lucu seperti anak kecil.

Bright tidak tahan untuk tidak menghujani bibir ranum itu dengan ciuman. Membuat Win turut tertawa dan pasrah ketika sang suami mulai memperdalam ciuman mereka.

Sampai beberapa menit berlalu dan keduanya belum ada niat untuk berhenti. Namun, Bright sempat mengubah posisinya untuk lebih mendekat pada sang pujaan hati, membuat Win harus membawa satu tangannya untuk melindungi perut besarnya saat Bright bergerak semakin dekat.

“Maaf, sayang,”

Win tersenyum kecil sambil mengangguk. Sebelum Bright kembali berbaring, Win menyempatkan diri untuk mengusap pipi lelakinya, membuat sang suami bertahan pada posisinya sambil memejam menikmati usapan lembut yang membuat rasa hangat menjalar di seluruh tubuh.

Sambil melindungi perut besarnya, Win memajukan sedikit tubuhnya untuk melumat bibir atas dan bibir bawah Bright bergantian, “Papi kenapa belum tidur, hm?” tanya Win selepas ciuman dalam mereka berakhir.

Bright tersenyum, belakangan ini Win memang sering memanggilnya 'Papi' dengan intonasi yang dibuat selucu mungkin, seolah-olah bukan Win yang tengah berbicara, melainkan si kecil yang juga sudah aktif menendang pelan ketika Bright mengajaknya bicara dari luar.

“Iya, sebentar lagi aku tidur.”

Win berdecak pelan, “ini udah pagi, ya.”

Bright tertawa, lalu kembali ia usap surai hitam Win sehingga membuat pria manis itu kembali memejamkan mata.

“Prediksi minggu terakhir, ya?” tanya Bright.

Tanpa membuka pejaman matanya, Win mengangguk, “tapi kata dokter bisa lebih cepat, bisa juga lebih lama dari waktu yang diprediksi.”

“Kalau lahiran tanggal dua puluh tujuh bisa, nggak?”

Win terkekeh, “maunya kamu itu mah, biar ulang tahunnya samaan sama si adek.”

Satu kecupan kembali Bright hadiahkan pada pangkal hidung mancung Win, “nggak apa-apa, kapan aja, sekuat kamu. Asal kamu sama si adek bisa selamat.”

Win kini membuka pejaman matanya. Pemandangan pertama yang ia dapat adalah sorot mata Bright yang tampak cemas. Win menghela pelan nafasnya, ia paham, bahwa sang suami mulai merasa takut dengan proses persalinan yang akan terjadi dalam hitungan hari.

Sebisa mungkin, Win ukir senyum di wajahnya, “takut, ya?” tanya nya, yang langsung dibalas anggukan pasrah oleh Bright.

“Jangan tinggalin aku.”

Win terkekeh, “biasanya kalau habis lahiran tuh bisa jadi gendut, tau. Emangnya kamu masih mau sama aku, kalau aku jadi gendut?”

Niat hati hanya bercanda dan menggoda, namun anggukan ribut yang Bright berikan sebagai respon justru semakin membuat Win yakin bahwa suaminya itu benar-benar sedang dilanda rasa takut yang luar biasa besar.

“Aku nggak akan kemana-mana, Bright.”

Bibir bawah Bright mencebik, “jangan buat janji sekarang, aku takut beneran lho ini.”

Win kembali terkekeh. Dikecupnya satu kali lagi bibir sintal Bright sebelum ia beringsut masuk ke dalam dekapan hangat sang suami, “i love you, thank you.”

. . .

Bright pikir, ucapan Win tempo hari soal dirinya yang tidak akan pergi kemana-mana bisa ditepati dengan benar oleh pria manis itu. Nyatanya, satu minggu setelah proses persalinan berjalan dengan lancar dan diperbolehkan untuk pulang ke rumah, Win malah langsung disibukkan dengan segudang aktivitas yang sempat tertunda sembilan bulan lamanya.

Bright hanya bisa geleng-geleng kepala saat lagi dan lagi Win tak berniat sama sekali untuk membuatkan susu saat Axelㅡ anak pertama mereka, laki-laki, menangis karena haus.

Juga pada saat Axel demam untuk pertama kalinya, Win juga bersikap seolah tidak peduli dan membiarkan Bright merawat Axel sendiri, meski sesekali ditemani oleh Ibu dari Bright.

Jika Bright tak salah hitung, ini sudah bulan keempat sejak Axel lahir, dan Bright yakin, Win bahkan tak tahu bagaimana rupa sang anak karena pria manis itu, satu kalipun, tidak pernah menjalankan tugasnya sebagaimana seorang ayah pada anaknya.

Win, dengan jati dirinya sebagai seorang penulis naskah, kembali dibebani oleh setumpuk ide dan permintaan yang secara khusus diberikan oleh beberapa sutradara besar, termasuk Joss Way-Ar yang dulu sempat membuat seorang Win stress, menangis setiap hari karena semua naskahnya dianggap gagal.

Namun sekarang, lihat, Joss justru sibuk menarik hati Win agar dapat bekerja sama dengannya untuk menggarap sebuah film layar lebar.

Axel baru bisa tidur setelah Bright bawa ke balkon apartemen, untuk menikmati hembusan angin malam di sana. Tidak baik memang untuk kesehatan sang anak, namun Bright rasa ia juga perlu menikmati udara segar setelah berbulan-bulan dilimpahi beban untuk mengurus dan merawat Axel seorang diri.

“Bright,”

Yang dipanggil namanya langsung menoleh, dan mendapati Win yang sudah berganti pakaian dengan piyama merah marun kesayangannya juga dengan laptop yang didekapnya begitu erat kini berdiri menghadap ke arahnya.

Sedang tidak ingin membahas masalah yang ada, Bright pun hanya diam menunggu Win melanjutkan ucapan.

“Aku manggil kamu kok nggak nyaut?”

Pria manis itu meletakkan laptopnya di atas meja, “aku ngomong sama manusia atau patung, sih?!”

Bukan hanya tidak mau mengurus anak mereka, sejak pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, Win juga berubah menjadi sosok yang tempramen dan keras kepala.

Tidak bisa dibantah, tidak suka diabaikan namun senang berlaku sesuka hati.

Mama bilang, Win mungkin saja mengalami baby blues. Karena menurut Mama, sejatinya, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Jika Bright amat sangat menyayangi Axel, maka Win juga pasti akan melakukan hal yang sama. Apalagi, Win lah yang melahirkan anak mereka ke dunia ini.

Bright menghela panjang nafasnya, “maaf.”

Win berdecak. Memandang kesal ke arah Bright selama beberapa detik sebelum ia bawa tubuh semampainya untuk duduk di atas sofa.

“Besok aku harus ke Bandung. Ada meeting penting sama klien untuk project film yang target rilis awal tahun depan.”

Apa? Bandung, katanya?!

Bright mulai melangkah masuk dan beranjak mendekati Win, “kamu mau ninggalin aku sama Axel?”

“Axel?”

Bahkan nama anak mereka sendiri pun, Win tak berniat untuk mengingatnya. Bright tidak tahu apa yang ada di benak Win, atau apa yang menyebabkan suaminya jadi seperti ini, tapi… empat bulan sudah berlalu dan tampaknya Bright tak bisa lagi menahan amarahnya.

“Win,”

Pria manis itu baru saja akan membuka laptop saat Bright kini berdiri tepat di sampingnya. Win mendongak, dengan salah satu alis yang memicing.

“Baru dua hari lalu Axel keluar dari rumah sakit karna keteledoran kamu yang nggak bisa cegah dia jatuh dari tempat tidur, dan sekarang kamu mau ninggalin anak kamu demi kerjaan?”

“Dia jatuh bukan karna aku!”

“Tapi kamu sama sekali nggak berusaha untuk nyelamatin Axel waktu dia jatuh di bawah kaki kamu, kan? Kamu malah diem, anak kamu udah nangis nahan sakit, dan kamu malah nyelonong pergi begitu liat aku masuk kamar. Itu yang kamu bilang Axel jatuh bukan karna kamu, iya?” balas Bright, yang disertai penekanan pada setiap ucapannya.

Kejadian Axel yang jatuh dari tempat tidur tempo hari benar-benar membuat Bright mempertanyakan kondisi rumah tangga mereka saat ini.

Bright berhenti sementara dari dunia keartisannya hanya untuk menjalani tugas sebagai orang tua tunggal, sedangkan Win dengan semangatnya yang menggebu kembali bekerja sebagai penulis naskah tanpa pernah mengingat bahwa ia punya anak yang masih bayi dan butuh perhatian lebih.

“Kamu nyalahin aku? Sekarang, kamu berani nyalahin aku setelah apa yang kamu lakukan ke aku? Iya, Bright?”

Bright terdiam, saat Win balas membentak.

“Aku hamil karna kecelakaan, aku hamil di luar nikah, aku nggak bisa kerja selama sembilan bulan karna mood yang berubah-ubah, aku nggak bisa nulis selama sembilan bulan, aku nggak bisa nyalurin ideku selama sembilan bulan, aku nanggung dia selama sembilan bulan di dalam perutku, sedangkan selama aku hamil, kamu masih bisa syuting dan tour ke sana sini, dan sekarang kamu limpahin semua kesalahan ke aku?!”

Yang Bright ingat, terakhir kali Win menangis, adalah saat Axel pertama kali menangis di dalam dekapannya. Setelah itu, Win tidak pernah menangis lagi karena terlalu sibuk bekerja, dan sekarang, sosok manis itu kembali menangis sesaat setelah ia mengakhiri kalimatnya.

Bersamaan dengan itu, Axel yang awalnya sedang tidur dalam gendongan Bright pun ikut menangis. Begitu keras sampai Bright sendiri kesulitan untuk menenangkan sang anak.

Bright berusaha mengayunkan tubuhnya untuk membuat Axel tenang, namun semakin waktu berlalu, Axel justru menangis semakin kencang.

Bright juga ikut menangis. Setelah ia tahan berbulan-bulan, akhirnya Bright menangis hari ini. Bersama sang buah hati yang belum mau menjemput tenang.

“Ssshh, ssshh, Axel sini sama Papa, nak.”

Suara lembut Win yang disertai isakan membuat Bright menoleh cepat dan mendapati sang suami sudah berdiri di sampingnya. Tanpa melirik Bright sama sekali, Win mengulurkan tangannya pada sang anak dan dengan cepat Axel turut merentangkan tangan untuk berpindah pelukan.

Untuk kali pertama, Win akhirnya membiarkan Axel berada di dalam pelukannya.

Tangisan pemuda kecil itu mulai berhenti seiring waktu berjalan, ditemani dengan bibir Win yang terus melantunkan sebuah lagu sambil sesekali mencium pelipis si jagoan kecil.

Win masih menangis, dengan Axel yang sudah kembali menjelajah alam mimpi dalam dekapnya.

Dan Bright bersumpah, tidak ada pemandangan yang bisa menandingi betapa indahnya ketika Win menimang Axel penuh rasa sayang.

Satu hal yang Bright percaya, semua hal bisa berubah.

Hati, dimana awalnya ia dan Win hanya terjebak pada situasi mabuk setelah pesta perayaan berakhirnya proses syuting film layar lebar mereka.

Pikiran, dimana awalnya ia hanya berpikir untuk selalu jadi seorang aktor papan atas yang mampu menyabet gelar juara di setiap acara penghargaan.

Serta pandangan akan hidup, dimana jika Win dan Axel tidak pernah datang dalam hidupnya, mungkin Bright tak pernah bermimpi untuk punya keluarga kecil yang dilimpahi cinta dan bahagia.

Namun nyatanya, semua berubah setelah Win masuk dalam hidupnya, juga setelah Axel hadir ke dunia.

Metanoia, ya, hidup Bright sudah mengalami perubahan itu. Dan Bright bersyukur film yang mempertemukan dirinya dengan Win juga memiliki judul yang serupaㅡ Metanoia; Unconscious Love, dimana Win adalah sosok yang menulis naskahnya.

Satu kali lagi Bright bersyukur,

Karena ia memiliki Win sebagai suaminya.

Thank you… My Dear Script Writer…

. . .

JEYI // 210319.