Kali Terakhir.

Karena terkadang, berpisah dan menjadi orang asing adalah keputusan terbaik.

total words: 3.374 words.


Bright kembali ke tempat yang sama. Bangku usang satu-satunya yang ada di rooftop kembali ia duduki dengan perasaan… tenang? Well, jika dibandingkan dengan hari kemarin, kali ini Bright memang jauh lebih santai. Langit biru berhiaskan awan lagi dan lagi jadi objek mahal yang menemani kesendiriannya di ruang terbuka itu.

Bright kembali ke tempat yang sama, tapi tidak dengan rasa yang juga sama. Ada sebuncah harapan yang ia simpan dalam hatinya, semoga saja setelah urusan dengan Nana selesai ia benar-benar bisa kembali menjemput indahnya bahagia.

Meskipun apa yang kemarin sempat terjadiㅡ memergoki Win pulang bersama Luke di saat hubungan mereka masih berantakan, menjadi korban serempet lari oleh pajero sport putih tak bertanggung jawab, lima tangkai mawar merah yang dibelinya menjadi rusak dan tidak layak lalu mendapat perlakuan dingin dari sang kekasih, rasa-rasanya masih melekat jelas dalam benak seorang Bright.

Setelah semalaman tidak tidurㅡ terlalu pusing memikirkan tentang banyak hal, terlalu larut menatap wajah tenang Win ketika tidur, terlalu takut akan hari esok, akhirnya Bright berhasil mengambil sebuah keputusan mutlak.

Semua ketidakpastian antara dirinya dan juga Nana harus berakhir, bagaimanapun caranya. Bright tidak mau lagi mempertaruhkan hubungannya hanya karena kebodohan yang tidak seharusnya ia lakukan.

Bright tidak mau lagi mengorbankan apapun,

Perasaannya sendiri,

Apalagi perasaan kekasih hatinya, Win.

Ada seberkas rasa penyesalan yang bertumbuh dalam hati Bright. Keputusan awal untuk menunda-nunda jujur kepada Nana tampaknya sudah jadi bumerang, telak. Bright pikir, waktu dimana ia bisa membawa dan memperkenalkan Win sebagai pacarnya pada Nana akan datang dengan segera. Tapi apa? Kehancuran yang justru didapat.

Bright terlalu larut dalam asa, sehingga suara pintu kayu yang didorong dari arah dalam membuatnya sedikit terkejut. Kepalanya menoleh ke belakang, Nana sudah datang.

Gadis itu tersenyum lebar, wajahnya penuh binar bahagia. Perlahan-lahan langkah kakinya semakin berpijak di area rooftop, lalu dengan santai ia mendudukkan tubuh rampingnya tepat di samping Bright.

“Hai, Kak Bright.” sapa si gadis cantik.

Bright cuma mengangguk seadanya, “gue boleh langsung to the point aja nggak, Na?”

“Okay, boleh,” gadis itu masih tersenyum, “kenapa sih, Kak? Kok kayaknya Kakak serius banget?”

“Oh… atau Kakak udah mau jawab perasaan aku sekarang ya? Ya ampun, deg-degan.”

Sebuah deheman pelan lolos dari belah bibir Bright. Berbeda dengan Nana, raut bahagia dan antusias sama sekali tidak tergambar di wajahnya. Pemuda itu benar-benar sedang dalam mode yang serius.

“Gue nggak bisa, Na.”

Duh, bagaikan ada bongkahan batu yang baru saja jatuh menimpa kepalanya, Nana tidak lagi mengulas senyum lebar.

Nana menatap Bright dengan satu mata yang memicing, “aku bisa nunggu sampai Kak Bright siap buat ngejalanin semuanya sama aku.”

Lalu Bright menggeleng telak, “gue nggak bisa, Nana.” tangkasnya cepat.

“Kenapa?”

“Sebelum gue jawab kenapa, boleh gue nanya tentang suatu hal dulu sama lo?” sahut Bright penuh dominasi, dan Nana langsung mengangguk, mengiyakan.

Hening. Bright tidak langsung mengutarakan kata-katanya. Pemuda itu kembali memandang langit, berusaha mengais keyakinan dan kekuatan.

Lantas tanpa menoleh pada Nana yang duduk di sampingnya, Bright berujar, “dari mana lo dapetin surat yang lo bangga-banggain pas perayaan hari Valentine kemarin?”

Deg. Nana seolah dibuat skakmat.

Bola matanya bergerak gusar menelisik ke arah lain, mencari kata yang sekiranya tepat untuk ia sampaikan pada yang lebih tua.

“Lho, bukannya surat itu emang dari Kak Bright?”

Bright masih diam, ia tahu Nana belum selesai dengan ucapannya.

“Itu balesan dari Kakak buat aku, 'kan? Kak Bright udah baca surat yang aku taro di loker Kakak, 'kan?”

Surat pemberian dari Nana, ya? Hm, bahkan perekat pada amplopnya pun belum Bright sentuh sama sekali. Mengingat ekspresi masam pacar manisnya saat mengetahui ada surat untuknyaㅡ dari Nana, Bright otomatis tidak mau berurusan dengan itu.

Tapi… bagaimana caranya untuk menjelaskan pada gadis ini kalau Bright sama sekali tidak tahu menahu perihal surat itu? Bagaimana caranya untuk bilang 'tidak' tanpa meninggalkan kesan buruk apalagi menyakitkan?

Bright terlalu asik larut dalam pemikirannya yang berkelit, sampai-sampai ia tidak sadar kalau Nana semakin mempersempit jarak keduanya.

“Kenapa tiba-tiba Kak Bright berubah pikiran? Di surat itu ada tanda tangan Kakak lho, dan di surat itu jelas-jelas Kak Bright bilang kalau Kak Bright suka sama aku dan mau aku jadi pacar Kakak?”

“Kak Bright juga bilang kalau kak Bright selama ini nyaman sama aku, that's why you're always welcome setiap aku ngerepotin Kakak, setiap aku minta Kak Bright temenin aku ke toko sederhana, setiap ngobrol sama aku, setiapㅡ,”

Kepala Bright menoleh cepat ke arah Nana, “how did you know?” ia bahkan tidak memberi kesempatan pada Nana untuk menuntaskan kata-katanya.

Duh, pertanyaan Bright barusan sukses membuat Nana menarik tubuhnya menjauh. Perubahan raut di wajah gadis itu jelas membuat Bright mengernyitkan dahinya, bingung.

Karena seingat Bright, ia tidak membaca full surat tersebut. Ia hanya tahu kalau di kertas itu ada tanda tangannya, dan pernyataan soal dirinya yang menyatakan cinta pada Nana juga hanya ia dengar sekelebat dari mulut gadis itu saat mereka bertemu sebentar setelah acara selesai.

Masalahnya adalah, mengapa Nana seolah-olah tahu secara detail isi dari surat yang bahkan Bright ragukan keasliannya itu.

Karena demi Tuhan… ia tidak pernah membuat surat itu.

Nana memilih jalan pintas, terdiam. Benaknya seakan-akan tidak lagi bisa memproses kosa kata apa yang bisa ia suguhkan sebagai jawaban. Keringat dingin mulai merembes keluar dari pelipisnya yang tertutupi anak-anak rambut.

Bright menemukan kejanggalan.

Lantas tanpa berusaha menyakiti adik kelasnya itu, Bright akhirnya buka suara, “jawab jujur, Na. Lo yang sabotase surat itu?”

Ditanya seperti itu, akhirnya Nana menyerah. Kepalanya mengangguk ragu, ia tampak sibuk meremat jari-jemarinya sendiri.

“Karna aku pikir, kalau aku nggak mulai duluan, Kak Bright nggak akan bergerak dan kita cuma bakalan jalan di tempat, Kak.”

Bright tidak mengerti arah pembicaraan Nana. Lebih tepatnya, he refuse to understand. Helaan nafas berat terhembus dari belah ranumnya yang berwarna merah muda.

“Kapan lo sabotase surat itu? Dan gimana caranya lo bisa tau bentuk tanda tangan gue?” Masih sabar, masih bisa ditanya baik-baik.

Nana menggigit kecil bibir bawahnya, ia gugup bukan main. “Pas Kakak nemenin aku ke toko sederhana tempo hari. Pas aku minta tolong Kak Bright buat bikin tanda tangan di kertas dengan alasan aku mau milih warna pulpen yang mana yang harus aku beli.”

“Jadi, kertas yang lo kasihin ke gue itu bukan kertas coret-coretan? Itu kertas surat akal-akalan lo, Na?” Sabarnya mulai terkikis, ada rasa marah yang menyelip.

Sudah tertangkap basah, Nana cuma bisa mengangguk pasrah.

“Aku kira dengan aku bikin surat itu, Kak Bright bakalan lebih terbuka sama perasaan Kakak sendiri. Aku udah terlalu nyaman, Kak. Aku mau lebih.”

Kali ini Bright berdecak. Kata-kata yang Racha sampaikan padanya beberapa hari lalu ternyata sekarang terbukti kebenarannya.

Bukan, bukan soal dirinya yang sudah berpaling dari rasa yang ia punya untuk Win. Tapi soal celah yang tanpa sadar ia berikan pada adik kelasnya itu. Soal sinyal yang salah ketika ditangkap. Soal perasaan yang semakin bertumbuh tanpa ia sadari.

Bright sekarang sadar, ia sudah terlalu jauh mempermainkan perasaan Nana. Sekalipun tujuannya hanya untuk berteman, tapi ada batas yang tak sengaja ia lewati dengan cuma-cuma.

Bright menarik panjang nafasnya. Dirinya adalah pelaku utama dari semua kejadian yang terjadi belakangan ini, dirinya juga lah yang harus mengakhiri.

“Na, sebelumnya makasih udah jujur dan makasih untuk semua perasaan yang lo punya buat gue. Gue sangat menghargai itu semua tapi maaf, gue nggak bisa bales dengan cara yang sama,”

Bright menjeda ucapannya. Ia melirik Nana yang kini duduk menunduk.

Lalu melanjutkan kata-katanya yang belum selesai, “mungkin selama ini gue salah udah ngasih jalan yang terlalu jelas dan terbuka buat lo, sampai-sampai lo salah nangkep sinyal dari gue.”

“Gue buka hati buat lo bukan untuk lo masuk sebagai orang yang gue sayang or let's call it pacar. Nggak, Na, bukan itu maksud gue. Gue cuma mau kita berteman baik. Dengan posisi lo suka sama gue, gue nggak membatasi ruang lo untuk bisa deket sama gue, that's why gue selalu mau-mau aja setiap lo minta temenin kemana-mana, karna gue menganggap lo sebagai temen gue.”

Bright sudah tidak perduli jika kata-katanya ternyata terlalu menyakitkan bagi gadis itu. Ia harus jujur, harus meluruskan semua kesalahpahaman ini.

“Maaf, kalau gue jadi bikin lo sakit hati. Setelah ini lo berhak untuk menjauh. Gue nggak akan maksa lo buat tetep stay sebagai temen gue. Gue sekali lagi minta maaf kalau title temen ternyata nggak cukup buat lo.” Bright menyambung ucapannya.

Nana yang sedari tadi hanya diam dan menyimak akhirnya memberanikan diri untuk melirik Bright, lagi.

“Apa gue harus nunggu sampai gue naik kelas sebelas, Kak? Atau mungkin kelas dua belas? Kesannya gue masih kecil ya, karna gue masih kelas sepuluh?”

Sebuah gelengan ringan Bright berikan sebagai jawaban, “perasaan gue bukan buat lo, Na. Itu jawaban gue.”

“Atau… Kak Bright udah punya pacar, ya? Astaga… Maaf kalau ternyata selama ini aku jadi benalu di hubungan Kakak… Aku nggak tau...”

Ah, sudah ketebak, bukan? Bright pun akhirnya sekalian memilih untuk jujur pada si adik kelas.

Kepalanya mengangguk, “yes, and i love him so much.”

“Is it Kak Win?”

Satu alis Bright bertaut, bertanya-tanya. “Kenapa tiba-tiba kepikiran Win?”

“Nggak apa-apa, cuma nebak aja. Sebenernya dari pas kita ketemu Kak Win di parkiran motor waktu itu, aku langsung ada feeling. Tapi karna aku nggak pernah liat Kak Bright sama Kak Win interaksi, dugaanku jadi nggak berkelanjutan, and bold of me assumed that you're single,* maaf ya, Kak.”

“Bener, Win pacar gue,” kalau boleh jujur, hati Bright jauh lebih lega sekarang. Urusannya dengan Nana sepertinya akan menemukan titik terang. “Dan kita udah jalan mau empat tahun, tapi sekarang kami lagi sama-sama di ambang putus.”

“Kak, aku harus ketemu sama Kak Win, aku harus minta maaf langsung ke Kak Win. Aduh, pasti gara-gara aku, ya?”

Bright berdehem pelan lalu bergumam, “niat hati gue buat ngejaga perasaan kalian berdua, tapi tanpa gue sadari, gue justru jadi satu-satunya orang yang ngehancurin perasaan kalian di waktu yang sama. Jadi ini bukan salah lo, Na. Ini murni kesalahan dan kebodohan gue.”

“Lo nggak perlu ketemu Win. Biar gue yang selesain semuanya sama dia nanti. Oh iya, Na,”

Yang lebih muda menganggukkan kepalanya. Kemudian Bright kembali berbicara, “gue harap setelah ini nggak ada kesalahpahaman antara kita lagi, ya? Masalah ini clear ya, Na?”

“Iya, Kak Bright, sekali lagi aku minta maaf ya...”

Bright tersenyum tipis lalu mengacungkan ibu jarinya, “oke, sekarang lo bisa balik ke kelas. Udah mau masuk.”

“Kak Bright?”

“Ini jadwal gue cabut dari kelas, hehe. Udah sana, hati-hati turun tangganya.”

Mau nggak mau, Nana akhirnya berdiri sambil membersihkan rok seragamnya. Satu kali lagi ia lirik Bright, lalu gadis itu melambaikan tangannya pada yang lebih tua.

“Dadah, Kak Bright!”

Bright mengangguk, membalas lambaian tangan si adik kelas, “thanks, Na.”

Dan dengan itu, Nana beranjak meninggalkan rooftop. Bright memilih untuk menghabiskan waktunya di sana, lagi dan lagi bolos tampaknya sudah jadi hobby baru pemuda itu.

Bright merogoh saku kemeja seragamnya, ponselnya bergetar beberapa kali.

Oh, ada chat masuk dari Nanon.

Bri, kayaknya anak-anak kagak bisa ikut ke warkop dah. Evaluasi dirinya kapan-kapan aja gimana? Si Racha harus balik cepet, Guns mau badminton di Wadas, Mike mau nganterin bokapnya ke RS.

Lu bolos lagi? Hoki lu, kali ini sos 2 jamkos. Tapi gue mager nyusul ke rooftop, panas…

Oke, sepertinya semesta belum berpihak pada Bright untuk urusan berdamai dengan sahabat-sahabatnya. Nggak apa-apa, lagian semua hal juga butuh proses dan usaha, 'kan?

. . .

Di sinilah Bright sekarang. Di sofa usang warkop yang biasa dijadikan tempat nongkrong oleh barudaks. Bright memutuskan untuk langsung ngacir ke tempat ini seorang diri, setelah ia pastikan kalau Win akan stay di sekolah untuk beberapa waktu ke depan karena harus mengikuti rapat OSIS dadakan.

Chimon yang ngasih informasi, keduanya tidak sengaja papasan di tangga saat pulang sekolah beberapa menit lalu. Bright hendak menuju parkiran, dan sepupu dari Racha itu hendak menuju ruang OSIS yang letaknya ada di lantai 2 gedung SMA.

Bright menyesap sigaret miliknya. Sudah hisapan ke-5, dan bayang-bayang Win yang mendiami dirinya masih terus memenuhi kepala. Berulang kali ia menggeleng, berusaha mengusir rentetan memori yang membludak datang tanpa diundang.

Bright, duduk sendirian.

Rasa-rasanya, pemuda itu sudah berteman dengan yang namanya sepi, and he's okay with that. Di rumah, kesepian. Menginap di rumah Win, kesepian. Lalu di sekolah, juga kesepian.

Hidupnya sedikit banyak mengalami perubahan, apalagi ketika Bright sadar sekarang ada dinding tembus pandang yang diam-diam tumbuh di dalam dirinya. Dinding yang menjadi batas antara dirinya dan Ayah Bunda, karena kedua orang tuanya lebih sering melakukan perjalanan bisnis belakangan ini. Lalu, dinding antara dirinya dan Win, yang entah ia sendiri sangsi bisa meruntuhkannya.

Dan yang terakhir, dinding antara dirinya dan barudaks. Sejak insiden pertengkaran hebat mereka berenam beberapa waktu lalu, Bright memilih untuk menarik diri. Ada rasa takut untuk menyakiti, ada rasa segan untuk sekedar kembali ke sana.

Awalnya memang terasa sulit. Tapi lama-lama, ia terbiasa.

Bright menghela panjang nafasnya. Pemuda itu menjentikkan ujung sigaret pada sebuah asbak sehingga abu mulai rontok memenuhi area berbahan dasar kaca itu. Baru saja dirinya hendak menyesap kembali batang sigaret miliknya, segerombolan anak berseragam dengan rompi merah marun datang menghampirinya.

Komplotan dari SMA Harapan Bangsa,

Dan Bright mengenali beberapa di antaranya. Mereka pernah bertemu ketika melakukan tawuran beberapa hari lalu.

Bright sendirian,

Dan menjadi korban sendirian.

Sigaret miliknya jatuh. Orang-orang yang berada di dekat warkop dan steam motor bahkan tak bisa membantu. Terlalu takut, senjata tajam turut terlibat.

Bright tidak sempat bersiap.

Ia, sendirian.

Jatuh, sendirian.

Terluka, menjadi kotor dan berdarah, sendirian.

. . .

TW // blood ⚠️

“Sori, gue nggak bisa nolongin tadi ya, Bright. Nanti kalau elu diproses sama pihak sekolah, gue bakal kasih keterangan kalau lo diserang tiba-tiba.”

“Aduh, mana berdarahnya banyak banget lagi, elu bonyok gini Bright, gue anterin ke puskesmas dah, yuk!”

Bright menoleh pada Bang Abdul yang kelihatan gemas dan khawatir secara bersamaan. Pemilik warkop yang secara tidak langsung sudah jadi markas bagi barudaks itu mengenal Bright dengan baik, termasuk pada lima anak lainnya.

Band Abdul sibuk menyeka darah yang masih mengalir di pelipis dan sudut bibir Bright menggunakan tissue. Sedangkan si korban pengeroyokan cuma bisa terkekeh pelan, “Bang, gue bisa sendiri...”

“Kagak ada, kagak ada,” Bang Abdul mendadak punya peran jadi orang tua asuh dadakan bagi Bright. Lelaki itu tampak telaten membersihkan wajah babak belur si anak kelas 12. “Ancur banget muke lu, tong. Sakit, kagak?”

“Ya, sakit, Bang…” hehehe.

Bang Abdul kembali meringis sembari terus menyeka darah yang masih mengalir di beberapa bagian tubuh Bright, sedangkan pemuda itu cuma bisa diam, pasrah dan menurut.

Masih bersyukur, ada yang mau nolongin dia kayak gini.

“Gojek gue standby di depan Alfamart, jadi gue nyamperin aja ke sana.”

Bright tidak sengaja mendengar suara Puimek dari arah gerbang sekolah. Tanpa aba-aba ia langsung beranjakㅡ tidak memperdulikan kondisinya sendiri, untuk melangkah sampai ke depan steam motor.

Waktu semakin beranjak sore, dan Bright berhasil melihat sosok Puimek yang sedang menyebrang jalan. Gadis itu sempat melirik ke arahnya dengan tatapan aneh, bahkan mungkin sedikit kaget karena kondisi fisiknya yang tidak bisa dibilang bersih dan baik. Tapi seolah tidak mau ambil pusing, Puimek berjalan melewati Bright untuk segera tiba ke Alfamart. Menghampiri driver ojek online yang sudah menunggunya.

Puimek ternyata tidak sendirian. Bright mendapati Janhae yang ternyata tadi sedang bercakap-cakap dengan Puimek, sekarang duduk di pos satpam.

Itu artinya… rapat dadakan OSIS sudah selesai.

Lantas tanpa berpikir panjang, Bright menyebrangi jalan dan melangkah cepat memasuki area sekolah. Ia mengabaikan tatapan kaget beberapa satpam, juga Janhae yang mungkin saja berhasil melihat wajahnya yang terluka cukup parah.

Bright sama sekali nggak perduli. Yang ia perdulikan sekarang adalah Win. Ya, ia harus menemui Win sekarang juga.

Bright terus melangkah terseok-seok. Beberapa kali tubuhnya nyaris jatuh karena rasa pusing yang mendera. Tidak, dirinya tidak mau ambruk sekarang. Bright harus menemui Win, harus memperjuangkan kekasihnya, satu kali lagi.

Ya, ini akan jadi kali terakhirnya.

Kalau Win tetap tidak mau, maka mereka selesai. Hanya sampai di situ, waktu yang tercipta bagi mereka berdua.

Bright berusaha meneruskan langkahnya sampai kedua tungkainya berhenti. Win, ada di sana. Di depannya. Masih lengkap dengan seragam putih abu-abu, juga dengan dasi yang melingkari lehernya. Ada Luke yang berdiri di sisi kiri pacarnya itu, lalu Dew dan Chimon di sisi kanan Win.

Bright tidak perduli. Bahkan ketika ketiga pemuda itu menatapnya, Bright kembali melanjutkan langkah.

Dan berhenti tepat di hadapan Win.

Tanpa kata,

Hanya ada asa yang menguasai hati dan pikirannya.

Tapi ini adalah kali terakhir,

Lalu Bright dengan susah payah membuka mulutnya, dengan gemetar ia berkata, “Win,”

Namun tidak ada balasan. Bright belum menyerah, ia meneruskan ucapannya, “maaf… gue tawuran lagi.”

Pemuda itu memilih jalan buntu. Bohong, untuk kesekian kalinya ia berbohong. Bright tidak tawuran, ia dipukuli, dikeroyoki.

Tapi ini adalah jalan terbaik. Bright tahu Win sudah berada di puncak kemarahan dan kecewanya. Jadi lebih baik diakhiri dengan cara yang salah. Agar Win setelah ini tidak pergi dengan rasa bersalah.

Bright mengharapkan bentakan. Ia bahkan berharap Win akan memukulnya, melampiaskan rasa marahnya. Tapi yang Win lakukan justru membuat Bright nyaris menitikkan air mata.

Win meraih tangan kanan Bright, dan menggenggamnya kuat. Win menarik Bright mendekat, lalu ia lirik ketiga temannya, “kalian pulang duluan aja.”

Dan tanpa menunggu balasan dari Luke, Dew dan juga Chimon, Win menarik tangan Bright untuk melangkah bersamanya. Menjauh, menghindari keramaian.

Meninggalkan tanda tanya besar bagi dua pemuda di sana. Luke cuma bisa mengangguk paham, Win sudah bercerita semuanya.

Win membawa Bright menuju sebuah taman kecil di belakang gedung SMP. Bright dipersilakan duduk di atas sebuah bangku usang, di samping pohon ketapang yang menjulang tinggi.

Lalu tanpa suara Win duduk di sampingnya. Pemuda manis itu membuka tas ransel yang tersampir di bahunya, mengambil sebuah kotak kecil berisi kain kasa yang diam-diam ia simpan di tasnya.

Masih tanpa suara, Win mulai membersihkan noda darah yang mengotori wajah Bright. Tatapan matanya terkesan datar, tapi berkaca-kaca. Di detik itu Bright sadar, ia sudah tidak layak untuk Win.

He deserves better.

Dengan susah payah Bright usahakan seulas senyum kecil hadir di bibirnya. Bright membiarkan sang kekasih untuk terus membersihkan luka-lukanya, sambil tangannya sendiri terangkat menuju pipi Win yang tampak tirus. Mengusapnya pelan, penuh sayang.

“Maaf...” katanya.

Tapi Win belum mau memberikan jawaban apa-apa. Bright mengerti, kesalahannya kali ini sudah sangat tidak bisa diberi toleransi.

Lalu untuk yang terakhir kali Bright membawa kepalanya untuk bersandar di bahu Win. Membuat Win tertegun dengan pergerakan yang tiba-tiba.

Pemuda manis itu tidak protes. Bahkan ketika Bright mengusalkan wajahnya di sana, Win tetap mempersilakan. Mungkin kemeja seragamnya sudah ikut-ikutan kotor dengan noda darah.

Nggak apa-apa, nggak apa-apa, Win…

“Bright,”

Yang dipanggil bergumam pelan, “hm?”

“Mau sampai kapan lo kayak gini? Lo nggak sayang sama diri lo sendiri?”

Bright terdiam. Cukup lama, sampai akhirnya kepalanya mengangguk, “rasa sayang gue udah habis buat lo.”

“Bright, g-gueㅡ,”

“Kalau kita berhenti sampai di sini, gimana, Win? Gue nggak bisa nyakitin lo lebih dari ini. Maaf…”

Gue nggak suka ngeliat lo luka-luka kayak gini, Bright… cuma di dalam hati, Win bisa meneruskan kata-katanya.

Lalu… apakah Bright baru saja mengajukan akhir bagi hubungan keduanya?

“Will you have a better life without me?”

Enggak, Bright… please, stop.

“Gue minta maaf untuk semuanya. Gue salah, gue sangat salah di sini dan gue ikhlas,”

Bright menghela pelan nafasnya yang terasa sesak, “buat ngelepas lo.”

Bright, udah capek, ya…?

“Janji sama gue, lo akan hidup dengan baik setelah ini,” akhirnya Win membuka mulutnya, ia bersuara, ia membalas. “jangan tawuran lagi, jangan bawa diri lo sendiri ke dalam masalah, sekolah yang bener, jadi anak yang baik buat Bunda, buat Ayah.”

Bright mengangguk, ia tahu, mereka sudah menuju akhir.

“Bright,”

Satu kali lagi Bright bergumam, “iya, Win?”

“Makasih buat semuanya. Janji sama gue lo akan bahagia sekalipun tanpa gue.”

Bright tidak tahu, Win sudah berurai air mata. Pemuda itu sebisa mungkin menjaga nada bicaranya, agar tidak terdengar sedang menangis.

Lalu Win bisa merasakan Bright mengangguk di bahunya.

Untuk kali terakhir, Win mengusap lembut punggung tangan Bright yang terluka.

Win menyeka air matanya cepat-cepat. Bright bangun dari posisi bersandarnya.

Pemuda yang babak belur itu menggerakkan kepala, memberi kode kalau Win bisa meninggalkannya seorang diri di sana.

Dan Win berdiri. Menatap Bright dalam satu kali lagi, untuk yang terakhir kalinya.

Lalu tanpa kata Win berbalik, lambat laun melangkah menjauh, benar-benar pergi.

Dari posisinya Bright bisa melihat, bagaimana setiap langkah yang diambil Win untuk meninggalkan dirinya. Meninggalkan 3 tahun perjalanan mereka. Meninggalkan rasa yang sejujurnya masih ingin Bright perjuangkan.

Tapi semuanya sudah selesai.

Bright tidak mau egois kali ini.

Win butuh ruang untuk lepas darinya, dan Bright memberikannya secara ikhlas.

Win pergi,

Bersama harapan yang perlahan-lahan pupus lalu tak bersisa…

Sedangkan Bright masih tetap di sana,

Menertawakan kisah hidupnya,

Yang gagal,

Untuk kesekian kali.

. . .

JEYI // 210402.