We failed, again.
If you love two people at the same time, choose the second one. Because if you really loved the first, you wouldn't have fallen for the second…
But there's no second option. It's always Win, Win, and Win. Tapi bagaimana caranya untuk membuktikan kalau Bright tidak pernah sekalipun mengurangi perasaannya untuk sang kekasih?
Until this one question happened…
“So… How about us, Bright?”
total words: 5.331 words.
“Nih, untung masih ada sisa di kantin. Kebetulan emang belum ngestock lagi katanya.” Pawat memberikan satu hansaplast pada Bright yang sedang berdiri di depan wastafel, menatap pantulan dirinya yang siang itu terlihat cukup menyedihkan.
Bright bergumam pelan, tidak terlalu jelas. Jari-jarinya berulang kali menyentuh luka gores di sudut bibirnya, lalu beralih pada sebuah plester yang sudah tidak terlalu merekat di pelipisnya. Pelan-pelan Bright melepas plester tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Gila, Bri??? Luka lo lebih parah daripada gue, anjrit...”
Pawat mendekatkan kepalanya pada sang sahabat, berusaha melihat luka-luka di wajah Bright yang masih cukup segar. Sedangkan yang ditatap hanya diam, masih sambil terus menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, Bright menengadahkan tangan; meminta hansaplast yang baru saja dibeli Pawat di kantin.
Dengan cepat, Pawat menaruhnya di atas telapak tangan Bright. “Ke UKS dulu aja lah, gue kasih obat merah dulu, yok Bri?”
Tapi yang Pawat dapat hanyalah sebuah gelengan, “udah mulai kering ini, gue nggak apa-apa kok, Wat.” ujar Bright, sambil berusaha mengatur posisi hansaplast agar bisa terpasang dengan rapi di pelipisnya.
“Besok juga udah sembuh, kecil ini mah.”
Pawat berdecak, “kecil apanya, anjing? Lo nggak liat itu bibir lo bonyok juga? Serius nggak sakit?”
“Kagak,” hansaplast pun sudah terpasang dengan sempurna di pelipis Bright, “nggak seberapa ini.”
Bright memang keras kepala. Pawat tahu itu. Alhasil pemuda yang hari Rabu ini mengenakan kostum simpelㅡ celana jeans skinny berwarna hitam yang dipadukan dengan atasan kemeja kotak-kotak berbahan dasar kain flanel, pun memilih untuk mengiyakan saja kata-kata sang sahabat dan beranjak duduk di tepi wastafel.
Pawat menyila kedua tangannya di depan dada, pandangannya masih terus terpusat pada Bright.
“Nyokap bokap lo gimana, Bri, setelah liat muka lo babak belur kayak gini?” tanya Pawat.
Kali ini Bright sibuk merapikan tatanan rambutnya. Kedua alis pemuda itu bertaut, tampak menimang-nimang bagaimana posisi yang baik bagi poninyaㅡ yang memang agak sedikit panjang, agar bisa menutupi bagian pelipis kirinya.
Bright melirik Pawat lewat cermin di depannya, “bunda sama ayah lagi perjalanan bisnis ke Bandung, sampai minggu depan.”
“Jadi mereka nggak tau kalau lo lagi bonyok-bonyok begini?”
Lagi dan lagi Bright menggeleng, “enggak, mereka jalan ke Bandung sehari sebelum kita turun ke jalan.” jawabnya.
“Oh gitu,” ada jeda, Pawat belum melanjutkan kalimatnya, entah kenapa… ia ragu untuk menanyakannya. Tapi, Pawat kepalang penasaran. Ya udah lah, gas aja. “Kalau Win? Gimana respon dia setelah liat muka lo kayak gini?”
Win.
Win.
Win.
Begitu nama Win disebut, ekspresi yang semula datar di wajah Bright seolah hilang berganti dengan raut yang tak bisa dijelaskan. Pemuda itu tidak lagi melirik sahabatnya lewat cermin, ia malah kembali memandang dirinya sendiri, sambil meletakkan telapak tangan kiri dan kanannya di sisi wastafel.
Sepersekian detik setelah Racha menceramahinya dua hari lalu, Bright banyak berpikir. Benang kusut dalam benaknya semakin bertambah kusut, berantakan, tidak punya arah.
Satu pertanyaan terbesit dalam otak Bright malam itu, gimana kalau Win bener-bener udah ngeliat ig story Nana? jika Win memang sudah melihatnya, kenapa Win tidak marah? Kenapa Win tidak menunjukkan tanda-tanda kecewa, padahal ia sudah membohongi sang pacar kala itu?
Izin: nganter Bunda ke Bogor.
Realita: tawuran.
Realita 2: makan malem sama Nana, diupload ke ig story.
Kenapa Win sangat pasif dengan perasaannya sendiri?
Kenapa Win tidak mau terbuka?
Bright mendesah berat, kepalanya turut menggeleng pelan, “gue belum ketemu Win lagi sejak dua hari lalu, Wat.”
“Kok bisa? Jadi dia nggak tau soal kondisi lo? Lo bilang nggak sama dia?”
Dengan susah payah, Bright menelan salivanya. “Enggak, gue nggak punya nyali buat jujur. Win nggak suka gue tawuran, dia selalu nangis kalau tau gue turun ke jalan, gue nggak mau bikin dia nangis lagi, Wat.” kata-kata Bright terdengar pilu. Inginnya, Pawat memaklumi. Tapi jika masalah ini sudah melibatkan banyak pihak, tampaknya Pawat tidak bisa membela siapapun.
Tepukan pelan hinggap di bahu kanan Bright. Pawat seolah sedang menyalurkan kekuatan untuk sahabatnya itu, apalagi ia tahu Bright sedang sendiri. Barudaks berantakan, Nanon yang biasanya selalu jadi sohib sehidup semati Bright justru sekarang sedang menjauh. Emosinya masih menggebu-gebu, lingkup persahabatan mereka pun sedang tidak baik-baik saja.
Pawat paham, Bright butuh dukungan.
“Gue tau maksud lo baik, Bri. Lo nggak mau bikin cowok lo khawatir, tapi menurut gue… cara lo salah.”
Bright tidak langsung menjawab. Diam-diam ia mengulum bibir bawahnya, rasa pusing mulai datang menghampiri.
“Gue nggak tau ya, lo izin kayak gimana ke Win soal dua hari lalu itu, dan gue yakin lo nggak mungkin jujur kalau lo tawuran. Bisa-bisa Win langsung lari dari kelas IPA ke SOS dua cuma buat ngamanin lo. Jadi sorry sorry nih ya, Bri, gue ambil kesimpulan kalau lo pasti ngeles. Itu satu, satu kesalahan lo.”
Pawat menarik pendek nafasnya, seraya terus menatap Bright sambil menepuk pelan bahu kanan sahabatnya itu.
“Yang kedua, lo luka-luka, Bri. Lo bonyok, lo mau nyembunyiin sampai kapan? Mau nggak mau, nanti pasti lo ketemu sama dia. Hari ini OSIS yang tugas mimpin ibadah, banyak-banyak berdoa deh lo biar Win nggak jadi PL atau dengan sendirinya dia bakalan bisa ngeliat kondisi lo dari depan. Itu kesalahan lo yang kedua ye, Bri.”
“Nah yang ketiga,”
Lagi dan lagi Pawat menjeda ucapannya. Tapi seolah tahu apa yang hendak diucapkan, Bright lebih dulu berdecak dan buka suara, “soal ig story Nana, ya, 'kan? Lo bener, itu kesalahan gue yang ketiga.”
Pawat menggigit kecil bibir bawahnya. Rasa sungkan seketika menyeruak di balik dada, pemuda bertubuh agak bongsor itu sadar kalau ia sudah terlalu campur dengan urusan pribadi sang sahabat.
“Sori, Bri. Gue nggak bermaksud nyalah-nyalahin lo kayak gini, cuma gue harap lo bisa mikirin resikonya nanti bakalan kayak gimana. Lo nggak bisa nutupin semuanya lama-lama, cepat atau lambat Win pasti tau. Dan usaha lo buat bikin dia nggak khawatir akan berujung sia-sia. Win bakalan tetep kecewa sama lo, apalagi ditambah fakta lo ngeles, lo bohongin dia dengan alasan yang gue pun nggak tau.”
Pawat turun dari tepi wastafel. Pemuda itu menatap dirinya sendiri di cermin, lalu merapikan penampilannya yang sedikit berantakan.
Ditatapnya Bright lewat cermin di depan, “gue cuma bisa doain lo yang baik-baik ye, Bri. Semoga semuanya cepet beres, lo sama Win dan lo sama anak-anak. Gue nggak tega ngeliat lo pusing dan sedih sendirian kayak gini, tapi gue nggak bisa ikut campur lebih jauh, Bri.”
Sudah 2 orang yang menegurnya. Sudah 2 orang yang menyadarkannya dari sederet kesalahan yang ia perbuat. Sudah 2 orang yang mengetuk pintu hatinya.
Dan rasa bersalah di dalam hati Bright semakin besar. Rasa takut pun mulai datang menghantui.
Bright sadar ia salah mengambil langkah, dan sekarang ia seolah terjebak, tidak bisa menemukan jalan untuk bebas, untuk keluar.
“Wat,”
Yang dipanggil menolehkan kepala, alisnya bertaut satu.
“Tapi gue nggak pernah sekalipun punya niat buat nyakitin cowok gue, Wat. Gue sayang banget sama Win, tapi kenapa semua orang nggak percaya sama gue?”
Sudah Pawat duga, Bright sedang hancur. Dan kali ini, Bright benar-benar sendiri dalam kekalutannya.
Pawat memang tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi ia bisa mengusap pelan punggung Bright sambil berucap, “gue percaya sama lo. Nggak apa-apa kalau yang lain nggak percaya sama lo, lo punya gue, Bri.”
There Pawat said it all.
Selepas kalimat itu usai diucap, Bright mencelos. Beban di bahunya seakan-akan meluruh sedikit demi sedikit. Setidaknya, ia tidak lagi sendiri. Ada Pawat yang mau mendengarkan cerita dari sisinya.
“Thanks a lot, Wat. Maaf, udah bikin lo sama anak-anak khawatir dan emosi sama gue dua hari lalu.”
Pawat mengangguk, “santai, kalau anak-anak nggak khawatir itu artinya mereka nggak perduli sama lo. Kalau mereka masih emosi sekarang, nggak apa-apa, itu bukti kalau sebenernya mereka sayang banget sama lo, cuma lo nya aja yang goblok.”
“Ya udah, sekarang mending kita turun. Kebaktian mau mulai bentar lagi.”
. . .
Sial seribu sial.
Doa-doa yang dirapalkan Bright sejak pagi tampaknya tidak didengar oleh Tuhan. Bulir-bulir keringat dingin kini turun mengalir di wajahnya, seiring dengan musik dari gitar, keyboard dan cajon drum yang mulai menggema sebagai tanda ibadah rutin setiap hari Rabu akan dimulai.
Win, ada di sana. Di depan ratusan siswa yang terdiri dari anak-anak kelas 10 sampai kelas 12 yang duduk di atas terpal biru, di lapangan.
Benar apa kata Pawat, anak-anak inti OSIS mengambil peran untuk memimpin kebaktian kali ini. Chimonㅡ sepupu Racha (anak kelas 11 SOS 1), berdiri di belakang keyboard sambil membiarkan jari-jarinya menari di atas tuts. Lukeㅡ si ketua OSIS sekaligus ketua kelas 12 IPA, duduk di atas speaker seraya memainkan gitar listrik dalam dekapannya. Puimekㅡ anak kelas 12 IPA sekaligus teman dekat Win, duduk di atas speaker di samping Luke sambil memetik gitar. Sedangkan Win, berdiri di depan dengan secarik kertas berukuran kecil di tangan kirinya, dan sebuah mic di tangan kanannya. Lagi dan lagi Tuhan lebih memilih mengabulkan ucapan asal Pawat dibanding doa-doanya; Win menjadi PL (pemimpin liturgi) pada ibadah Rabu itu.
Bright menundukkan kepalanya. Sebisa mungkin, ia tidak mau Win menyadari keberadaannya. Bright menekuk kedua kaki, lalu memeluknya. Kepalanya sesekali ia tubrukkan ke tempurung lutut, berusaha untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang menyeruak dalam hatinya.
“Teman-teman semuanya, sebelum kita mulai ibadah pada hari ini, saya akan mengajak teman-teman semua beserta bapak dan ibu guru untuk tunduk dan melakukan saat teduh sejenak. Saat teduh dimulai.”
Itu suara Win. Suara yang amat sangat Bright rindukan 2 hari ke belakang. Suara yang selalu bisa membuatnya tenang, tapi tidak dengan sekarang. Mendengar suara Win, rasa takut yang dipendam Bright justru semakin besar. Rasa bersalah itu datang lagi.
Kata-kata Racha di i-Mess, ucapan-ucapan Pawat beberapa saat lalu di toilet lantai dua, kembali terngiang dalam benak Bright.
Bagaimana jika Win tau…
Bagaimana jika Win kecewa lagi…
Bagaimana jika Win lelah dan memilih untuk menyerah…
Bagaimana jika kali ini, Win lah yang meminta mereka untuk berhenti?
Tidak, Bright tidak mau. Bright tahu dirinya sudah sangat bersalah, maka setelah ibadah, atau setelah acara perayaan hari valentine selesai nanti sore, Bright akan menemui Win dan membuat pengakuan dosa.
Ya, Bright akan meminta maaf di depan Win dan mengakui semua kesalahan dan kebohongan yang sudah terlanjur ia lakukan.
“Saat teduh selesai.” Itu suara Win, lagi. Dengan perlahan, Bright membuka matanya yang terpejam.
Win tampaknya belum menyadari posisi dimana Bright duduk. Pemuda manis kesayangannya itu masih sibuk memberi kode pada para pemain musik, lalu kembali membawa mic mendekat ke mulutnya.
“Untuk mengawali ibadah kita pada hari ini, sekarang kita akan menyanyikan lagu Lebih dari Pemenang!”
Suara cajon drum dan gitar mulai terdengar. Win mengangkat kepalanya, mengedarkan pandangan dan… damn, Win kini menatap tepat ke sepasang mata Bright, yang ternyata juga sedang menatap sendu ke arah Win.
Pemuda manis itu tertegun sesaat. Matanya yang bulat pun membesar, binar bahagia hilang entah kemana. Bright terlanjur membalas tatapan Win, sehingga wajahnya yang sedikit lesu, plester di pelipis, juga sudut bibir yang agak robek, semuanya mungkin tertangkap oleh sang kekasih.
Bright tidak bisa mengelak lagi. Tidak bisa bersembunyi lagi.
Win sudah tahu, Win sudah melihatnya.
Dan jantung Bright semakin berdegup kencang, ia… takut.
. . .
Suasana lapangan upacara yang semula tidak terlalu ramaiㅡ hanya diisi oleh anak-anak OSIS dan penghuni kelas 11 SOS 1, karena ditinggal untuk beristirahat, kini mulai dipenuhi kembali oleh siswa-siswi yang mengisi posisi kosong di atas terpal biru. Spot-spot yang sempat ditinggal selama 15 menit itu kini sudah kembali berpenghuni, dan Luke selaku ketua OSIS juga sudah memposisikan diri untuk berdiri di depan, dengan sebuah mic di tangan kanannya.
“Ayo buat yang masih ada di dalam kelas, koridor, toilet atau kantin, bisa langsung kembali ke lapangan ya...”
Luke memberikan aba-aba lewat mic, tubuh tingginya yang siang itu dibalut dengan celana jeans hitam serta atasan kemeja formal berwarna ungu yang lengannya sengaja digulung sampai ke batas siku, tampak bergerak pelan memantau beberapa spot di lantai satu gedung SMA yang mungkin masih disinggahi oleh beberapa siswa.
Satu kali lagi Luke mengulang aba-aba. Guru-guru yang sebelumnya juga masih berada di dalam ruangan pun mulai berhamburan keluar dan kembali duduk di bangku panjang yang tersedia di bagian belakang.
Terpal sudah 95% terisi, itu artinya acara perayaan valentine pun bisa segera dimulai.
Win cepat-cepat menghabiskan air mineral kemasan gelas yang ada di tangannya. Perhatian pemuda manis itu beralih pada setumpuk amplop warna-warni yang berserakan di atas bangku yang Puimek pinjam dari kelas 11 SOS 1. Kalau mengikuti rundown acara, maka kegiatan pertama yang akan dilakukan adalah pembacaan surat apresiasi dan surat cinta yang sudah dikumpulkan dari kelas 10-A sampai 12 SOS 2, lalu disaring kembali yang sekiranya menurut anggota OSIS memiliki kesan yang unik dan tidak terlupakan.
Luke selaku ketua OSIS sudah mengambil alih untuk memimpin acara, sedangkan Win dan anak-anak OSIS lain sibuk membagi-bagi amplop untuk dibacakan.
“Tahun ini yang ngirim surat cinta ke OSIS meningkat dua kali lipat dibanding tahun kemarin. Anak-anak jaman sekarang nyalinya gede juga ya, jaman gue kelas sepuluh sama kelas sebelas mah, nggak berani ngirim surat alias naksir diem-diem aja, hahaha.”
Kata-kata Luke barusan membuat banyak siswa dan beberapa guru tertawa. Kecuali dua orang, Bright yang masih kalut dengan pikirannya sendiri dan juga Win yang baru saja selesai mengklaim tiga amplop untuk ia bacakan nanti.
“Ohooo bapak ketua OSIS malu-malu kucingnya pas kelas sepuluh sama kelas sebelas doang tuh, tahun ini kayaknya mah udah berani… Ya nggak, Luke?” Bu Susanㅡ wali kelas 12 IPA, yang memang akrab dengan Luke pun ikut menimpali.
Suasana di lapangan pun semakin riuh, apalagi ketika Luke membalas ucapan Bu Susan dengan kekehan kecilnya, “ah, Ibu bisa aja… Saya belum pede, Bu, hahaha.”
“Oke, karna banyaknya surat dan besarnya antusias kalian untuk mengapresiasi gebetan atau orang-orang tersayang kalian, OSIS akhirnya berhasil menyaring puluhan surat menjadi sembilan surat yang paling berkesan.”
Wajah-wajah panik pun mulai terlihat. Seolah berharap bukan surat milik mereka yang akan dibaca di depan secara blak-blakan.
“Kita akan bacain surat-surat dari kalian apa adanya, sesuai dengan apa yang tertulis di surat yang kita pegang. Kalau ada nama pengirim yang nggak tertera alias anonim, tapi nama orang spesialnya disebutkan, gue harap orang yang disebut namanya bersedia untuk berdiri dan maju ke depan sini. Karna OSIS udah nyiapin hadiah buat orang-orang spesial yang terpilih siang ini.” sambung Luke, sambil memberi kode pada Puimek untuk maju lebih dulu.
Puimek mengambil alih mic dari Luke, “oke temen-temen, amplop pertama gue buka, ya?” amplop berwarna pink pastel dengan motif bunga-bunga kecil di bagian sudutnya kini mulai dibuka perlahan-lahan. Puimek menarik keluar secarik kertas binder bermotif dari dalam sana, lalu tersenyum begitu ia dapati siapa pengirim dari surat tersebut.
“Surat pertama ternyata dari Ssing Harit, kelas sebelas SOS dua, untuk Bu Susan yang punya kebiasaan ngusir anak-anak kalau kelamaan nongkrong di sekolah, hahaha… Ibu… Maaf ya Bu, ini saya cuma bacain surat dari Harit aja nih, Bu.”
Bu Susan terkekeh sambil bertepuk tangan. Guru yang merupakan wali kelas 12 IPA sekaligus staff kesiswaan itu bangkit dari duduknya.
“Harit mana Harit? Berdiri kau Harit...”
Suara tawa menggema di lapangan upacara. Si pemilik nama alias Ssing Harit pun akhirnya pasrah dan berdiri. Pemuda itu tepat berada di tengah-tengah barisan kelas 10 dan juga kelas 12, sehingga semua siswa bisa melihat ke arahnya.
Harit malu-malu menggaruk tengkuknya, lalu menatap Bu Susan sambil cengengesan, kedua telapak tangannya menyatu di depan dada. “Ampun, Bu… Abis saya nggak punya gebetan, jadi ya udah saya bikin surat buat guru kesayangan saya aja, hehehe.”
“Nanti pulang saya traktir batagor kau, nak.” balas Bu Susan.
Galak-galak begitu, walaupun sering disebut sebagai ibu kost-nya SMA GMM, Bu Susan tetaplah guru kesayangan anak-anak. Jadi tidak heran, kenapa Harit yang notabenenya adalah anak IPS pun bisa dekat dan akrab dengan guru mata pelajaran biologi tersebut.
“Oke, oke, saya bacain dulu isi suratnya Harit buat Bu Susan, ya?”
Puimek berdehem sebentar, sambil menghela nafas panjang. Gadis itu mengambil aba-aba untuk mulai membacakan surat apresiasi milik Ssing Harit.
“Bu Susan, Harit sebenernya punya love-hate relationship sama Bu Susan. Soalnya Bu Susan galak, lebih galak daripada mami di rumah, tapi Harit sayang sama Bu Susan. Bu Susan walaupun suka ngusirin anak-anak yang nongkrong sampe sore di sekolah, tapi Bu Susan selalu ayo-ayo aja kalau diajak turing sama sebelas SOS satu ke Puncak naik motor, hehehe. Akhir bulan kita turing lagi yuk, Bu? Nanti Bu Susan naik motor Harit aja, Harit nggak bakalan lupa bawa jas hujan, oke oke? Semoga Bu Susan sehat terus ya, terimakasih sudah jadi guru yang baik buat Harit dan anak-anak lain. Kiranya Tuhan memberkati Ibu selalu, Amin… Salam sayang, Ssing Harit dari sebelas SOS satu. Maaf Bu, Harit nggak bisa gambar lope-lope, pokoknya i lope yu pul Bu Susan!!!”
Lagi dan lagi tawa riuh meramaikan acara siang itu. Bu Susan berakting layaknya orang yang sedang menangis, lalu mengucapkan terima kasih kepada Harit. Harit pun dipersilakan untuk duduk kembali, dan Puimek meminta Bu Susan untuk maju ke depan, ada hadiah dari OSIS yang menunggu.
Surat ke-2, ke-3, ke-4 sampai surat ke-8 pun akhirnya sudah dibacakan. Ada delapan orangㅡ dua guru dan enam anak kelas 11, yang kini berdiri sejajar dengan Win di depan, yang kali ini sedang memegang mic di tangan kanannya. Tersisa satu amplop di tangan, Win akan membacakan surat terakhir itu.
Perlahan tapi pasti, Win menarik keluar secarik kertas putih dari dalam amplop berwarna biru pastel di tangannya. Lalu tanpa ragu dan percaya diri, Win membuka lipatan demi lipatan kertas surat tersebut.
Jika sebelumnya Win ingin cepat-cepat menyelesaikannya acara ini, maka sekarang Win tarik kata-katanya. Well, Win memang ingin mengakhiri hari ini dengan cepat, tapi tanpa harus membaca surat yang ada di tangannya, apa bisa?
Jantung Win berdegup cepat. Tanpa sadar, pemuda manis itu menggigit kecil bibir bawahnya dan kepalanya spontan mendongak mencari keberadaan Bright.
Kekasihnya ada di sana. Bright duduk di sayap kiri lapangan, di barisan kelas 12 SOS 2. Pemuda itu hanya diam, tatapannya bahkan terlihat kosong.
Tidak ada antusias.
Tidak ada rasa khawatir.
Win bingung, apa boleh ia menutup saja surat di tangannya lalu izin pulang lebih cepat dengan alasan sakit kepala? Apakah masuk akal? Yang jelas Win ragu, ia tidak mau mengeja kata demi kata yang tertulis di sana, tapi ia harus…
Lantas Win menghirup oksigen banyak-banyak, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia bawa kepala mic untuk kembali mendekat pada mulutnya, lalu dengan canggung Win berucap,
“This is for the special one that i've liked since two years ago, the only one… Metawin. I may not be able to put such beautiful words that can impress you, but i want to prove that when i said i like you, i really mean it,” Win menjeda ucapannya, pegangannya pada badan mic menjadi semakin kuat.
Win satu kali lagi menegakkan pandangan. Satu kali lagi, ia cari sang kekasih, yang ternyata kini sedang menatapnya dengan raut wajah tak terjabarkan.
Tapi satu yang pasti, ada luka di matanya.
Ragu-ragu, Win kembali melanjutkan ucapannya. “Gue juga masih terlalu cupu untuk ngungkapin semuanya ke lo, that's why i've been keeping this all alone by myself sampai sekiranya gue bisa nemu waktu yang tepat. Dan gue rasa, ini lah waktu yang tepat. W-win,” Win kembali memberikan jeda, lalu tanpa sadar ia mencengkeram surat yang sedang dipegang.
“If you're reading this letter, now please look towards the lower right of the side where you're standing right now,”
Dengan hati tak tenang, Win membawa atensinya pada sisi kanan bawah lapangan dimana ada sebuah mobil remote berwarna merah yang melaju ke arahnya. Mobil-mobilan itu berhenti tepat di ujung sepatu converse putih yang Win kenakan. Ada sebuah coklat di atasnya, lantas Win menunduk dan mengambil coklat tersebut.
Dan tepat saat Win kembali berdiri, ia dikejutkan oleh kehadiran Luke di samping kirinya.
Ada sebuket bunga mawar merah dalam peluknya.
Dengan sebuah mic lain yang ada di tangannya, Luke berujar, “Metawin, would you be my boyfriend?”
Salah satu ketakutan terbesar Win pun pada akhirnya terjadi. Bahkan kali ini jauh lebih menyeramkan dibanding apa yang dulu pernah terbesit dalam benaknya.
Luke menembaknya secara langsung, di depan banyak orang, dan juga di depan Bright.
Bukannya menjawab pertanyaan Luke, Win malah lagi dan lagi mengedarkan pandangannyaㅡ mencari Bright.
Pemuda itu masih duduk di tempat yang sama.
Masih diam dalam ekspresi sendunya.
Tetap bergeming, seolah mati rasa.
Tidak ada hal lain yang kini jadi pusat perhatian bagi Win, hanya Bright yang hening dalam kebisuannya.
“Nggak apa-apa, nggak usah jawab sekarang ya, Win,”
“But please accept this bouquet of flowers, this is for you.”
Seolah baru saja dibuat sadar oleh kenyataan, Win pun ragu-ragu menerima buket bunga mawar merah pemberian Luke.
Kali ini Win membawa pandangannya ke arah seseorang yang baru saja menyatakan perasaan untuknya. Win tidak tega untuk menjawab di depan banyak orang, tapi Win tidak mungkin juga melewati momen ini tanpa memberi tanggapan apa-apa.
Lalu dengan senyum tulusnya, Win mengangguk,
“Selesai acara gue jawab, ya? Talk to you later, makasih untuk bunga dan coklatnya.”
Luke cuma bisa pasrah. Kepalanya mengangguk ringan sambil bibirnya berusaha untuk tersenyum. Karena sadar bahwa yang akan menyatakan perasaan bukan cuma dirinya, lantas Luke merangkul pinggang Win dan mengajaknya untuk mundur beberapa langkah ke belakang.
Hingga kehadiran sosok lain yang terasa begitu cepat berhasil mengalihkan suasana dari prosesi penembakan ala anak IPA. Seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai kini berdiri di depan.
Win tahu, sosok itu adalah Nana.
Nana.
Nana.
Nana.
Laju pernafasan Win yang belum lancar sekarang justru terasa lebih sesak. Diliriknya Bright yang duduk di tengah-tengah sana. Tidak lagi ada ekspresi sendu di wajahnya, pemuda itu justru terlihat panik.
Dalam diamnya Win menunggu apa yang akan dilakukan Nana, sambil berusaha menepis pikiran-pikiran jelek dalam otaknya.
Puimek memberikan satu mic kepada Nana, dan disambut dengan gembira oleh gadis itu.
“Halo semuanya, aku di sini bukan untuk menyatakan perasaan kayak apa yang baru aja kak Luke lakuin buat kak Win. Tapi sekarang aku mau ngejawab perasaan seseorang, yang tanda tangannya tertera di surat ini,” Nana membuka lipatan demi lipatan surat yang ada di tangan kirinya, lalu mengarahkan surat tersebut ke arah semua orang.
Walau tidak terlihat jelas, tapi beberapa orang yang duduk di barisan depan termasuk Puimek yang curi-curi pandang dari arah samping bisa melihat tanda tangan siapa yang tertera di sana.
“Buat kak Bright dari kelas dua belas SOS dua,”
Nana menggoyangkan surat di tangannya, lalu tersenyum lebar, “Nana mau jadi pacarnya kak Bright.”
Damn, this is what we called tragedi lapangan upacara jilid 2.
. . .
“Maaf, maafin gue,”
Sudah berulang kali Bright mengucapkan maaf, sudah berulang kali pula Win tidak memberikan jawaban.
Pemuda manis itu hanya bisa diam, tubuhnya yang sudah tidak lagi punya banyak tenaga dibiarkan menyandar di sisi wastafel toilet pria lantai satu.
Acara perayaan valentine sudah berakhir dua jam yang lalu. Guru-guru sudah berhamburan pulang sejak tadi, begitu juga siswa-siswi yang bukan merupakan anggota OSIS.
OSIS dipercayakan untuk membersihkan semua dekorasi dan merapikan sisa-sisa bekas acara. Kegiatan bersih-bersih pun sudah berakhir setengah jam yang lalu, sehingga Bright dan Win bisa bertemu di toilet tanpa harus berpikir orang lain akan melihat.
Win sama sekali tidak meminta Bright untuk menunggu. Win juga tidak mengirimnya pesan apapun, apalagi untuk janjian bisa bertemu seperti sekarang ini.
Bright menyendiri di toilet sejak acara berakhir. Bright bahkan mengabaikan ajakan Pawat untuk pulang. Bright membawa tubuhnya untuk menikmati waktu sendiri, lalu berpikir tentang serangkaian kekacauan yang terjadi baru-baru ini.
Sampai akhirnya tanpa diduga, Win masuk ke toilet. Dengan wajahnya yang lusuh, juga matanya yang sedikit memerah.
Bright tahu, kalau anak-anak OSIS sudah pulang sejak setengah jam lalu. Yang Bright tidak tahu adalah, ternyata Win masih tinggal di sana, di lantai yang sama dengannya.
Sama-sama menghabiskan waktu di ruang yang berbeda, lalu bertemu tanpa sengaja di waktu yang tak bisa dikira.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Bright selain maaf, maaf, dan maaf sejak Win membawa tubuhnya untuk mendekat.
Maaf atas kebohongan kemarin.
Maaf atas luka-luka di wajah dan tangannya.
Maaf atas apa yang terjadi di lapangan tadi.
Maaf untuk semuanya,
Maaf untuk air mata Win yang lagi dan lagi jatuh, tapi Bright tidak kuasa untuk menyentuhnya.
Bright yang kini berdiri setengah membungkukㅡ kedua sikunya bertumpu di sisi wastafel di samping Win, wajahnya ia sembunyikan di sana, di balik telapak tangannya, diam-diam Bright menangisi kekacauan yang masuk ke dalam hubungan mereka tanpa permisi.
Win menyeka air matanya, lalu melirik Bright yang masih terisak di sampingnya.
Win hanya bisa diam, hatinya hancur…
Lebih hancur dibandingkan saat terakhir Bright memutuskannya di taman komplek.
Win menghela panjang nafasnya, lalu berdehem serak, “ada kata-kata lain yang mau lo sampaikan ke gue selain kata maaf?”
Bright menjambak rambutnya sendiri, “jangan tinggalin gue… Lo boleh marah, lo boleh maki-maki gue, tapi gue mohon jangan tinggalin gue, Win...”
Tetes lain air mata kembali jatuh membasahi wajah Win. Bright terisak, nafasnya terasa sesak.
“G-gue bohong. Dua hari lalu g-gue bukan nemenin Bunda ke Bogor, tapi g-gue turun ke j-jalan. M-maaf,”
Lagi, Bright menarik kuat rambutnya sendiri. Sebuah usaha untuk mencari distraksi atas rasa sakit dan kalut di hatinya.
Win berdecak pelan, “padahal gue kira lo cuma bohong perkara nemenin Bunda ke Bogor yang mana kenyataannya lo malah jalan sama Nana. Tadinya gue mau cuek, gue cukup tau diri untuk nggak ngebatasin ruang gerak lo cuma karna lo pacar gue. Tapi ternyata lo bohong dua kali di hari yang sama, lo turun ke jalan, lo ngelanggar janji lo ke gue.”
Bright tidak menjawab, ia sibuk terisak, masih sambil menjambak rambutnya sendiri. Tidak bisa menyanggah pun, karena apa yang diucapkan Win benar adanya.
Helaan nafas berat kembali lolos dari belah bibir Win, lalu dengan lembut ia sentuh punggung tangan Bright, menariknya menjauh agar tidak lagi menjambak rambutnya sendiri.
Pergerakan itu mau tidak mau membuat Bright bangkit dari posisinya. Dengan pasrah ia kini berdiri berhadapan dengan Win. Tidak perduli meskipun wajahnya memerah, basah akan air mata.
Win menyentuh sudut bibir Bright, lalu beralih mengusap pelan plester yang menutupi luka di pelipisnya. Mereka saling bertukar tatap beberapa saat. Dua pasang mata yang dipenuhi kabut air mata itu bertemu pada satu titik poros, ada luka dan kecewa yang tergambar di sana.
“Did she help you?”
Pertanyaan yang pastinya hanya akan menuai luka baru. Tapi Win mau tahu, Win mau Bright jujur padanya.
Perlahan-lahan Bright menganggukkan kepalanya, “dia yang ngobatin gue. M-maaf,”
Win tidak pernah tahu, rasanya akan sesakit ini.
Bright membiarkan orang lain mengobatinya, dan orang itu adalah Nana, sosok yang punya perasaan lebih pada pemuda itu.
Masih sambil mengusap lembut sisi wajah Bright, juga masih sambil menatap mata sang terkasih, Win kembali berucap, “perasaan lo udah berubah ya, Bright? Lo udah nggak sayang lagi sama gue?”
“Enggak, enggak sama sekali, sayang. I love you so much, i love you,” Bright kembali menangis, hatinya hancur ketika kepercayaan Win untuknya lagi dan lagi seolah hilang.
“Lo percaya sama gue, 'kan? Gue s-sayang… Sayang b-banget sama lo, sayang, please hear me out,”
Bright ikut menangkup wajah Win, lalu mengusap air mata sang kekasih dengan lembut.
“Gue tau gue salah, dan gue sama sekali nggak membenarkan sikap gue kali ini. Lo berhak marah, lo berhak kecewa sama gue, gue akan dengan ikhlas nerima semuanya dan gue akan kasih kita waktu untuk sama-sama sembuh,”
Bright menjatuhkan air matanya lagi, “tapi jangan tinggalin gue, gue nggak bisa, Win...”
Win mengulum sebentar bibir bawahnya, lalu membalas ucapan Bright, “perasaan lo udah berubah.”
Kepala Bright menggeleng ribut, sangat ribut sampai rasa pusing kembali datang menyerang.
“Enggak! Sama sekali enggak, sayang.”
Tapi Win malah mengukir senyum kalah di wajahnya, “kalau perasaan lo buat gue masih sama, lo akan langsung ngasih tau ke Nana soal kita, itu janji lo, 'kan? Bukan malah ngasih dia harapan, sampai dia berani maju ke depan tadi, Bright.”
“Sekarang jawab gue, lo beneran nembak Nana tanpa sepengetahuan gue, iya?”
Lagi Bright menggeleng, “enggak, gue juga nggak tau kenapa bisa ada tanda tangan gue di surat cinta yang dia terima. Gue berani sumpah, Win.”
Kali ini Win tersenyum miris, “are you lying again?”
“Demi Tuhan, enggak, Win.”
“Kalau lo nggak ada rasa lebih sama dia, lo nggak akan ngasih celah lebih banyak buat dia, Bright… Dengan lo ngasih dia celah, lo udah nggak perduli lagi sama perasaan gue. Lama-lama rasa lo buat gue mati, terganti dengan hal baru, danㅡ”
“Kita harus ngeributin hal yang sama lagi, Win? Cuma segitu rasa percaya lo buat gue, iya?!!”
Bright berteriak. Tanpa sadar ia menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan Win.
Bright menunduk, tangannya lagi dan lagi menjambak rambutnya sendiri.
“Lo mau kita putus, Win?”
Bright kembali terisak, “tiga tahun kita sia-sia lagi?!!”
“BRIGHT!!!”
Dengan wajahnya yang memerah, mata yang berkabut, Bright kembali menatap Win, “maaf… maaf gue belum bisa perbaikin keadaan. Maaf gue belum bisa jujur ke Nana karna satu dan lain hal, maaf kalau lagi dan lagi rasa percaya lo buat gue harus hilang, maaf...”
Bright memilih untuk menunduk lagi, tidak bisa menatap wajah kecewa Win lebih lama dari batas sanggupnya.
Bright tidak lagi menjambak rambutnya. Pemuda itu hanya menunduk, telapak tangannya ia pakai untuk menumpu kedua matanya.
“Bright,”
“Lo mau tau apa jawaban gue buat Luke?”
Bright tidak menjawab, membiarkan Win melanjutkan ucapannya.
“Gue bilang ke dia, jalanin aja apa yang ada. I am not in the right state to start any relationship and he said yes,”
No, gue bohong… Gue bahkan nggak jawab apa-apa ke dia, gue jahat… gue mengabaikan perasaan dia demi lo, Bright… Tapi nggak apa-apa, hubungan kita udah terlanjur berantakan, at least seenggaknya itu jadi jawaban buat lo… Biar lo tau, gimana rasanya jadi gue yang harus nerima kenyataan kalau lo selalu ngasih harapan buat orang lain tanpa mikirin perasaan gue…
Maaf, cuma dengan cara ini gue bisa ngehukum lo, Bright…
“Kalau lo? Apa jawaban lo buat Nana?”
Masih enggan mengangkat wajahnya, Bright menjawab, “i asked her to wait. And she said yes.” Gue minta dia untuk nunggu, karna gue akan secepatnya ngasih tau yang sebenernya ke dia, tentang kita, tentang gue sama lo, Win…
“You asked her to wait? Lo beneran mau kita putus, Bright? Lo mikirin perasaan Nana sebegitunya, so how about us? How about us, Bright?!!”
“Gue minta dia untuk nunggu karna gue akan bawa lo untuk ketemu dia, gue akan jelasin semuanya tentang kita ke dia, bukan minta dia untuk nunggu kita putus dan gue berpaling ke dia!”
Win tertawa miris, alisnya bertaut satu, menantang, “oh ya? Dan lo pikir gue akan percaya? Setelah semua yang lo lakuin, lo kira gue masih bisa percaya sama lo?”
“Win,”
Bright jatuh.
Jatuh berlutut di bawah kaki Win.
Hatinya hancur…
Bright sebisa mungkin tidak meneteskan air mata. Kedua lututnya bertumpu di lantai, tubuhnya menunduk sedalam yang ia bisa. Nafas pemuda itu tersengal-sengal, penampilannya berantakan. Satu kali lagi Bright memohon pengampunan,
Tapi sebelum Bright berhasil meruntuhkan dinding di hati sang kekasih, Win lebih dulu menginterupsi.
“Berdiri, Bright. Jangan pernah berlutut lagi di depan gue.”
Itu permintaan mutlak Win. Jika Win sudah meminta, apa Bright punya kuasa untuk bilang tidak?
Bright belum mau berdiri, tapi Win menarik tangan pemuda itu untuk berdiri.
Keduanya kini kembali berhadapan. Dengan keadaan yang sama-sama jauh dari kata baik, mereka berantakan, mereka hancur.
“Jangan tinggalin gue,”
Win mengangguk, walau air matanya terus jatuh, Win tetap mengangguk, “nggak akan,”
“Tapi kali ini kita harus bener-bener sendiri dulu. Nggak apa-apa, ya? Kita nggak putus, enggak. Cuma kasih gue waktu buat maafin lo, boleh, Bright?”
Bright belum menjawab,
Lalu Win maju selangkah, membawa dirinya masuk ke dalam dekapan sang kekasih.
Win memeluk erat Bright, menaruh dagunya tepat di atas bahu kanan pemuda yang masih menitikkan air mata itu.
“Baik-baik tanpa gue, ya? Kita istirahat dulu, intropeksi diri masing-masing. Yang salah dalam hubungan ini bukan cuma lo, tapi gue juga. Gue mau belajar lagi, biar setelah ini gue bisa menyayangi lo dengan cara yang benar.”
Bright mulai membalas pelukan Win, “maaf,”
“We failed again, and that's okay...”
Win mengusap sayang punggung Bright yang bergetar, “jaga diri ya, Bright? Saat teduhnya jangan dilupain. Bright anak Tuhan, Bright anak baik...”
“Maaf, maaf, Win...”
Win mengangguk, untuk yang terakhir kali.
“Nggak apa-apa, Bright...”
Nggak apa-apa, nggak apa-apa, nggak apa-apa…
Mereka berpelukan cukup lama, sampai tangis keduanya reda. Lalu Bright melepas pelukan mereka, meraih tangan Win untuk ia genggam sekuat yang ia bisa.
“Ayo kita pulang.”
Rasanya masih sama, dan akan selalu sama…
“Ayo kita pulang, Bright.”
Ternyata rasa ini masih jadi rumah untuk berpulang, hope it will last forever…
. . .
JEYI // 210309.