The Last Goodbye.

“Pernah nggak sih… kalian terpaksa harus berhenti dari segala aktivitas yang sedang dijalani, termasuk berhenti mengejar satu-satunya orang yang dianggap tempat berpulang?”

Atau…

Pernah nggak sih, kalian ada di titik dimana… everything seems impossible and unreachable?

Karena kali ini, ada dua anak adam yang punya kisah untuk dibagi…

tags: lovers to exes, move on issues, one-sided love, ditinggal nikah. ㅡ COMMISSIONED.


“Bisa nggak sih satu kali aja, kamu dengerin aku?”

Suara itu. Suara itu datang lagi, untuk yang kesekian kali di malam hari Bright.

“Lagi dan lagi kita ngeributin hal kecil yang seharusnya nggak perlu dibesar-besarin, Mas!”

Lagi, suara lirih yang dibarengi isakan kecil itu melintas dalam relung memorinya. Mau tidak mau, Bright harus membuka pejaman mata. Samar-samar, netra kehitaman miliknya bertemu dengan cahaya lampu yang ternyata masih menyala sejak tadi.

Dadanya melengos. Kepalanya menggeleng pelan, sembari ia coba paksa tubuhnya untuk segera duduk. Meninggalkan meja kerja dan setumpuk berkas-berkas berserakan yang ketika Bright tidak sengaja melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sial, gue ketiduran lagi.

Bright berusaha mengumpulkan nyawa yang terasa masih mengambang di awang-awang. Begitu kesadarannya penuh, ia edarkan telapak tangannya di atas mejaㅡ mencari kacamata baca yang entah melipir kemana.

“Harus berapa malam lo ketiduran di sini, Bright?” lagi dan lagi, pertanyaan yang sama keluar dari bilah bibirnya.

Ya, untuk kesekian kali, Bright mempertanyakan dirinya sendiri.

Ah, dapat! Lantas dengan cepat Bright memasang kacamatanya, dan langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas tumpukan berkas data keuangan perusahaan.

Satu mata Bright memicing begitu ia dapati nama Mike muncul di bar notifikasi ponselnya. Cepat-cepat ia klik notifikasi tersebut, ruang obrolan antara dirinya dan juga sang sahabat yang sekaligus merupakan atasannya di kantor pun terbuka.

besok kita meeting santai jam 11 ya bri, dateng ke kantor gak usah pagi2 amat. schedule besok kita cuma meeting mau ngebahas soal perjalanan bisnis ke Semarang buat minggu depan

Pesan itu masuk ke ponselnya sekitar satu jam lalu. Dua ibu jari Bright bergerak gusar di atas layar, bimbang apakah etis jika ia mengirim pesan balasan di jam segini?

Bahkan terkadang Bright masih sulit memposisikan Mike sebagai sahabat atau atasannya. Terbiasa bicara formal saat di kantor nyatanya mau nggak mau mengajak Bright untuk menumbuhkan rasa segan dan dinding tipis antara dirinya dan juga Mike.

Alhasil, Bright kembali mengunci layar ponselnya. Mengabaikan niat untuk mengirim pesan balasan, lalu beranjak dari kursi kerja yang sudah berhari-hari menggantikan tugas kasur sebagai media yang Bright gunakan untuk bermalam.

Bright berhenti di ambang pintu. Kepalanya menoleh menelisik seluruh sisi ruang kerjanya; seolah mencari sesuatu yang sudah hilang, tapi masih meninggalkan memori yang tidak pupus ditelan usia.

Ruang kerjanya kosong, dan cukup berantakan. Bright tidak punya waktu untuk sekedar leha-leha untuk merapikan ruangan tersebut, pun juga tidak kuasa untuk tinggal terlalu lama di sana.

Tapi Bright tidak pernah bisa menghindar. Selalu ada kenangan yang memanggil untuk terus diingat-ingat. Ruangan ini, ruangan kesukaan Bright.

Pun juga ruangan yang meninggalkan luka di hati pria berusia 34 tahun itu.

Bright menghela panjang nafasnya, lalu mematikan lampu yang sudah berjam-jam dibiarkan menyala. Pintu kayu berwarna putih itu kini tertutup rapat.

Bright, memilih beranjak menuju kamarnya.

. . .

“Gue juga nggak paham, Mike. Suara-suara dia dateng lagi, hampir setiap malem.”

Ting,

Tak.

Sosok yang duduk tepat di seberang Bright meletakkan cangkir berisi kopi miliknya, di atas sebuah piring kecil di atas meja. Pria yang siang itu terbalut kemeja putih polos dan diperlengkapi jas biru dongker itu mengulum bibirnya sendiri sambil menyimak kata demi kata yang terucap dari bibir sang sahabat.

Bright sendiri mengedarkan pandangannya ke arah jendela pantry, memandang acuh gedung-gedung pencakar langit di luar sana. Slurppp… satu sesap lagi mampir di cangkirnya. Bright menikmati kopi instan yang lima belas menit lalu ia buat dalam diam.

Tuk, tuk, tuk,

Mike mengetuk-ngetuk meja pantry dengan ujung jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Mungkin nggak sih kalau sebenernya lo lagi kangen?”

Bright menoleh cepat ke arah Mike, satu matanya kini memicing, “i think no? Come on, Mike, it's been seven years since we broke up.” balasnya, tidak setuju dengan perkataan Mike barusan.

Mike berdecak pelan. Pria berperawakan bak seorang model itu memutar arah bangku yang ia duduki, menghadap ke arah Bright. Kaki kanannya sengaja ia pangku di atas paha kiri, dua jarinya masih asik membangun tempo tak, tuk, tak, tuk di atas meja.

“Ya karna it's been seven years, Bright, udah tujuh tahun lo pendam semuanya sendiri. Ini semua cuma masalah waktu, dan mungkin aja ini udah saatnya buat lo meledak? Stop being denial ass won't hurt your pride, toh it doesn't mean you would go straight to meet him today.” sahut Mikeㅡ pria itu kebetulan sedikit banyak paham soal kisah cinta Bright yang bisa dibilang… gagal.

Bright menyesap kopinya lagi. Masih sambil menatap kosong jendela kaca di depannya, ia berujar, “takdir gue nggak sebagus itu kalau berkaitan sama dia, Mike. Gue bahkan nggak yakin kalau gue punya kesempatan buat ketemu lagi sama dia.”

Kali ini, giliran Mike yang menghela panjang nafasnya. Pria itu tidak berpengalaman dengan hal-hal krusial seperti ini; singkatnya, kisah cinta Mike bisa dikatakan mulus bagai jalan tol. Jadi, ia tidak begitu bisa membantu Bright atas kisah cinta gagal sahabatnya itu.

“Kapan terakhir kalian saling kontakan? Oke, i won't ask about the phone calls between you two, so kapan terakhir kali kalian saling kirim chat?”

Lagi, Bright membawa pandangannya ke arah Mike. Pria yang siang itu sudah menanggalkan jasnyaㅡ hanya menyisakan kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai ke batas siku, mulai menggeser bangku yang ia duduki kembali mendekati meja pantry. Bright meletakkan cangkir berisi kopi yang sedari tadi dipegangnya ke atas sebuah piring kecil, di atas meja.

Bright menggaruk kecil pelipisnya yang sebenarnya tidak gatal, “di hari gue sama dia putus.”

“The day he moved out from your apartment? Oh, pasti lo nanya-nanya ya dia pindah kemana gitu, to make sure he found a better and comfortable place, since you guys were living together.”

Tapi Bright malah menggelengkan kepalanya, “perdebatan hebat kita hari itu, that was our last interaction.” jawabnya.

Keduanya terdiam. Baik Bright maupun Mike sama-sama memilih untuk tidak langsung mengumpan ucapan. Mike masih terus menatap pilu sang sahabat, sedangkan Bright meneguk sisa kopi di cangkirnya.

“Bright,”

“Hm?”

“Gue emang sedikit banyak tau soal percintaan lo yang gagal tujuh tahun lalu, dan gue cukup mengerti kenapa sampai detik ini lo belum mau memulai step yang sama lagi. Tapi lo belum pernah ceritain soal titik duduk kenapa lo sama dia memutuskan buat berpisah, and since it happened seven years ago, and i think you're in a stable state now to answer, gue boleh tau alasan pastinya, Bright?”

Yang ditanya masih terdiam. Atensinya perlahan-lahan berpusat pada Mike. Tapi Bright belum mau meloloskan sepatah katapun.

Mike mengangguk seolah memberi pemahaman, “gue nggak maksa. Kalau lo masih belum mau ngasih tau gue, nggak apa-apa. Take things easy, i know it's hard for you personally.”

Bright menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. Kedua tangannya berpangku di atas meja.

“Gue nggak tau apakah hal ini terjadi juga sama pasangan-pasangan lain, tapi saat itu, gue dan Win sama-sama di puncak kejenuhan kita. We were both tired mentally and physically at all aspects in our lives. Pekerjaan, finansial yang saat itu belum bisa dibilang stabil, kesibukan dan prioritas kita masing-masing,”

Bright menjeda ucapannya. Mike masih menyimak, tidak mau mendesak Bright untuk langsung bercerita secara lengkap.

“Win cuma cerita aja ke gue soal keluh kesah dia saat itu but damn the stupid me at my twenty seven, gue malah menuduh dia lelah dengan gue, dengan hidup gue dan dia, dengan cara kita untuk terus jalan sama-sama. And how dumb i was that time… I put all the blame on him, i asked him to leave if he's tired.” lanjut Bright.

Lalu dengan senyum kecil yang mampir di sudut bibirnya, Bright kembali berucap, “he cried, he asked me to stop too, then he left.”

Yah, masalah jenuh akan hidup yang salah tafsir jadi masalah jenuh akan hubungan yang dijalani. Sedang sama-sama jenuh dan tidak bisa berpikir jernih, lalu mengambil keputusan yang tidak diharapkan.

Mike tidak bisa menyalahkan Bright, tidak juga bisa menyalahkan mantan kekasih sang sahabat, Win. Pernah mengenal dan berteman dengan Win sejak lulus kuliah, mau nggak mau membuat Mike ikut mempelajari bagaimana pria manis itu bertingkah laku dan bertutur kata.

Win, adalah definisi sempurna paling mutlak dalam kamus hidup Bright. Mike tahu itu. Bright akan selalu mengutamakan Win di daftar prioritas hidupnya, Mike juga tahu itu. Dan Mike paham, dalam sebuah hubungan pasti ada yang namanya titik jenuh, yang Mike tidak mengerti adalah kenapa… kenapa Bright dan Win bisa sampai pada titik gelap yang menjadi pemisah bagi keduanya?

Dan kenapa, kenapa tidak ada yang berusaha untuk mempertahankan? Apakah 5 tahun hubungan mereka tidak pernah ada nilainya?

“Terus lo gimana sekarang, Bright?”

Kedua bahu Bright terangkat acuh tak acuh, “jujur, gue nggak tau. Usaha untuk ngehindarin segala topik yang berkaitan sama dia udah gue lakuin, Mike. And i think it worked, cuma gue nggak ngerti aja kenapa belakangan ini kepingan-kepingan pertengkaran gue sama Win selalu aja dateng. I am not asking for it, so why...”

Mike mengalihkan pandangannya dari Bright menuju cangkir kopinya yang ternyata masih sisa setengah. Situasi pantry kantor yang sepiㅡ hanya ada mereka berdua, membuat Mike lebih leluasa dan santai untuk bertanya-tanya. Mike kembali menyesap kopinya, lalu beberapa detik kemudian ia tatap lagi Bright yang kini tampak asik memainkan cangkir kopinya.

“Lo nggak mau coba nyari Win lagi, Bright?”

Satu alis Bright bertaut, “buat apa? Ngajak balikan? Nggak deh, Mike. Udah nggak punya muka gue rasanya di depan dia.”

Mike terkekeh pelan mendengar jawaban Bright. Pria berusia 35 tahun menggeser cangkir kopinya, lalu ikut menumpukan tangan di atas meja.

“Gue nggak segila itu untuk nyuruh lo balikan sama Win. Apa ya, mungkin lebih ke reunian mantan? Karna dari apa yang lo ceritain tadi, gue rasa perasaan kalian untuk satu sama lain ya belum selesai. Win pergi dengan keadaan capek, marah dan kecewa. Nggak ada salahnya kalau lo mau make things up sama dia.” jawab Mike sekenanya, yang kurang lebih Bright setujui walau dalam hati.

Bright kembali menghela pelan nafasnya yang entah, tiba-tiba terasa jauh lebih berat.

“Gue pernah melakukan hal gila. Gue ngecek apakah nomornya masih sama dan masih aktif, terus gue coba lacak gps-nya, just to find out he's now leaving in his old condominium.”

BRAKKK

Tanpa aba-aba Mike menggebrak meja yang jadi pembatas bagi keduanya. Membuat Bright harus mengatur nafas karena terkejut.

“Bisa nggak sih, Mike, nggak usah gebrak-gebrak meja kayak gitu?”

Tapi yang ditanya malah menggeleng ribut. Mike bahkan bertepuk tangan seadanya seolah baru saja menemukan ide cemerlang.

“Nggak, nggak, kali ini gue nggak bisa santai. Bright,”

Aduh, nggak enak nih perasaan gue… “Lo datengin aja kondonya? Go tell him the truth kalau lo sebenernya masih sayang sama dia!”

Kan, aneh-aneh aja, kan?!

Bright berdecak pelan lalu menggeleng, “i would rather not showing up again after what i've done seven years ago, Mike.”

“His feelings matters. Gue nggak bisa tiba-tiba dateng ke dia dengan alasan apapun. Gue sama dia bener-bener lost contact setelah hari itu. I don't even sure if he still saved my number or not.” sambung Bright.

Kali ini, giliran Mike yang berdecak ketika Bright membubuhi tanda titik di akhir kalimatnya.

“Your feelings matters too, Bright. Oke lah, lo nggak perlu ujug-ujug ngajak dia untuk mulai semuanya dari awal lagi, at least give him the closure he deserves. Kalau memang hubungan kalian udah seharusnya selesai hari itu, then say goodbye properly. Lima tahun kalian lewatin sama-sama lho, Bright. You both were there during the lowest phase of your lives, then you guys can leave each other in a proper way.”

“Cukup, Bright. It's been seven years you're battling with your own well-being.”

Fuck, sekarang gue kepikiran banget sama omongan Mike.

Kalau gue sama Win emang nggak bisa balik kayak dulu, seenggaknya kita sama-sama layak untuk berpisah secara baik-baik, 'kan?

. . .

Dan di sinilah Bright sekarang.

Tidak, bukan di tempat yang disarankan Mike, tapi di depan sebuah bangunan besar dimana dulu mereka biasa menghabiskan sore bersama setelah pulang kuliah, juga merupakan sebuah destinasi yang paling sering mereka kunjungi ketika hari Sabtu tiba untuk merilis seluruh rasa lelah pasca bekerja di kantor selama lima hari penuh.

Sebuah supermarket yang tidak mengalami banyak perubahan sejak terakhir kali Bright menginjakkan kaki di tempat ini, delapan tahun lalu.

Masih terasa sama,

Masih ramai,

Masih punya cerita yang tak terlupa.

Bright menghirup nafas banyak-banyak sebelum menghembuskannya secara perlahan. Ditatapnya sekeliling yang dipenuhi mobil terparkir. Semua masih sama, bahkan pos satpam yang ada di sudut parkiran yang dahulu selalu jadi tempat bagi dirinya dan juga Win untuk berteduh menunggu hujan pun masih ada.

Rasanya seperti nostalgia,

Seolah baru saja pulang ke rumah.

Bright membenarkan letak kacamata hitamnya, lalu memastikan mobil mercedes-benz keluaran terbaru miliknya sudah terkunci dan terparkir dengan sempurna.

Lalu pria itu melangkah membelah lapangan parkir. Memantapkan kedua kakinya untuk berpijak menuju lobby utama.

Bright tidak tahu harus melakukan apa di dalam sana. Tidak ada tujuan pasti yang tersemat di benaknya, hanya saja… ia ingin menjemput rasa yang masih tinggal.

Rasanya untuk Win,

Yang masih bertumbuh meski tidak lagi berbalas.

“Terima kasih, silakan masuk, selamat berbelanja.” Bright menyunggingkan senyum pada seorang petugas keamanan yang baru saja selesai memeriksa tubuh dan barang bawaannya.

Bright membalas ucapan terima kasih si petugas, lalu pamit untuk masuk ke dalam supermarket.

Jika di luar supermarket tidak banyak yang berubah, maka berbeda dengan apa yang sekarang Bright lihat. Bagian dalam supermarket mengalami banyak perubahan, termasuk sudah tidak adanya lemari lemari pendingin es krim yang biasa menjemput di ambang pintu masuk.

Banyak yang berubah di sini,

Tapi tidak dengan perasaan Bright.

Bright mengambil asal sebuah troli dari sisi kiri pintu masuk. Mendorong kereta itu perlahan-lahan, melewati rak demi rak yang menyajikan perlengkapan bayi.

Hati Bright mencelos. Dulu, ia dan Win pernah punya mimpi yang sama. Mereka ingin mengadopsi seorang bayi laki-laki di panti asuhan, lalu ketiganya akan menghabiskan sore di supermarket ini dengan berbelanja keperluan bayi. Kaos kaki warna-warni dengan berbagai karakter lucu, piyama bayi berlengan panjang dan pendek yang tampak cantik seolah mengejek Bright yang tengah mendorong troli seorang diri.

Bright melewati bagian itu. Ia beranjak menuju rak-rak yang menyajikan perlengkapan mandi seperti sabun, shampoo dan sikat gigi.

Dulu, lagi lagi harus bercerita tentang apa yang pernah terjadi di masa lalu, baik Bright maupun Win sama-sama sering bertengkar hanya karena pilihan pasta gigi. Bright ingin rasa mint, sedangkan Win ingin yang rasa original. Atau perkara shampoo, Bright ingin yang memiliki aroma kuat, sedangkan Win ingin yang memiliki aroma menenangkan.

Lagi-lagi seolah sedang menjemput nostalgia.

Bright kembali melewati bagian tersebut. Troli masih kosong, Bright tidak tahu harus mengisinya dengan apa.

Lalu pria itu berbelok menuju rak-rak yang menyajikan makanan-makanan ringan. Bright berhenti di ujung, enggan masuk lebih jauh ketika kenangan manis kembali menyeruak dalam benaknya.

Dulu, Win selalu menagih jatah makan cokelatnya yang hanya berjumlah 3 kali dalam satu bulan. Dan ketika si pria manis ingin menjemput kesempatannya untuk bisa makan cokelat, maka Bright akan selalu ditarik bagai orang tua yang dipaksa anaknya untuk mengintip hasil gambar yang baru saja mereka selesaikan.

Bedanya, kala itu Win sangat senang menarik-narik ujung hoodie hijau tua yang dipakai Bright. Mengajak lelakinya itu untuk memilih cokelat mana yang boleh ia ambil. Lalu dengan sepasang mata yang berbinar, Win memohon pada Bright untuk mengambil dua bungkus. Dengan alasan klasik; pasti nanti akan dimakan berdua.

Lantas Bright bisa apa?

Menolak?

Jangan harap.

Dan di sinilah Bright sekarang. Tanpa sadar ia sudah menghentikan langkah kaki tepat di depan rak yang menyajikan banyak sekali bungkus cokelat beda merk.

Bright lagi dan lagi terdiam. Dalam hati ia bergumul, mengapa kenangan harus membawanya ke sini?

Dan kali ini, tanpa seseorang yang menemani.

Bright menghela nafas panjang, sebelum tangan kanannya terulur untuk meraih satu bungkus cokelat kesukaan mereka berdua yang ada di bagian paling depan.

Namun naas, belum sempat Bright menyentuh bungkus cokelat itu, ada tangan lain yang ternyata juga ingin mengambil bungkus cokelat yang sama.

Refleks, Bright menoleh.

Dan jantung Bright rasanya seperti berhenti berdetak.

Nafasnya seolah tercekat di ujung tenggorokan.

He's here.

Win-nya kembali, Win-nya ada di sini.

Bright terkejut bukan main. Pria itu mendadak tidak bisa mengatur laju nafasnya. Kehilangan ritme detak jantungnya. Bright malfungsi.

Tapi tidak dengan Win.

Pria manis itu memang sempat terdiam, tapi beberapa detik kemudian ada seulas senyum di wajahnya.

Wajah yang begitu Bright rindukan, wajah yang tampak lebih bahagia jauuuuuuh dari kali terakhir Bright berhadapan dengan wajah itu.

Win beralih melirik bungkus cokelat yang nyaris mereka ambil secara bersamaan.

“Hm, mau ambil cokelat yang sama, ya?”

Lantas dengan canggung Bright mengangguk. Susah payah ia mengusahakan seulas senyum untuk hadir di sudut kiri dan kanan bibirnya.

“E-eh, i-iya, Win. Kamu mau ambil? Nggak apa-apa, d-duluan aja.”

Win terkekeh sesaat, lalu mengangguk. Tangan kanannya meraih bungkus cokelat tersebut lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang ia genggam di tangan kirinya.

“Thank you, Bright.”

Damn, it's a Bright now. Not a Mas Bright anymore.

Tidak mau ambil pusing, Bright pun membalas ucapan terima kasih Win dengan sebuah anggukanㅡ lagi.

Bright tidak lagi buka suara. Pria itu sibuk membingkai wajah manis Win dalam memorinya.

Biarkan ini jadi kenangan yang baru, pikirnya.

Sedangkan Win spontan melirik bagian tubuh belakang Bright. Seolah mencari sesuatu sampai salah satu alis pria manis itu bertaut.

Mau tidak mau, Bright ikut melirik ke arah belakang.

“Nyari apa, Win?”

Yang ditanya bergumam pelan, “kamu sendirian, Bright?”

Deg.

Satu pertanyaan. Hanya satu pertanyaan dari Win tapi rasanya sudah mampu menjungkirbalikkan hati dan perasaan Bright.

Lantas dengan canggung, Bright menggaruk tengkuknya, “iya, aku sendirian. Kamu, Win?”

“Sayang,”

DEG!!!

Seorang wanita bertubuh mungil muncul dari belakang Win. Wanita berambut panjang itu merengkuh lengan kanan Win, lalu beralih melihat ke arah Bright.

“Aku udah milih beberapa yang lucu, sih. Nanti kamu liat sendiri deh, kaos kaki baby nya lucu-lucu.” secepat kilat wanita itu kembali memusatkan tatapannya pada Win.

Win mengangguk dengan senyumnya. Sebuah usapan lembut penuh sayang Win berikan di puncak kepala wanita itu, “ya udah nanti kita pilih bareng-bareng, ya?”

“Oh iya, Cinta, ini Bright.”

Wanita yang dipanggil Cinta itu kembali melirik Bright. Sepasang mata cantiknya membulat lucu, penuh rasa ingin tahu.

Win turut mengembalikan fokusnya pada Bright, “Bright,”

Ada jeda setelah panggilan itu. Bright terdiam, masih menunggu dengan perasaan berkecamuk.

“Ini Cinta, istri aku.”

Deg.

Deg.

Deg.

Nafas yang semula terasa tercekat di tenggorokan, kini rasanya seperti baru saja ditarik oleh malaikat pencabut nyawa.

Bright lagi dan lagi malfungsi.

Kepalanya terasa berat, sangat berat.

Win… Sudah menikah?

“Dan Cinta lagi hamil, udah delapan bulan. We are having a baby boy soon, bantu doa ya, Bright. Ini anak pertama gue sama Cinta.”

It's over, Bright. It's over for you.

Tapi sebisa mungkin, Bright mengerahkan segala kemampuan beraktingnya di depan Win dan juga sang istri.

Dengan lapang dada, Bright mengulurkan tangannya, “Bright.” mantan pacarnya Win…

Cinta membalas uluran tangan Bright dengan cepat. Senyum lebar terpatri di wajah cantik wanita itu, “hey, Bright. Aku Cinta.”

Cinta, cantik. Tutur katanya, lembut. Senyumnya, manis.

Kini Bright mengerti, Win sudah membangun hidupnya yang baru. Dan Bright jelas tidak ada di sana. Tidak termasuk ke dalam masa depan yang dirancang oleh Win.

Win, sudah bahagia. Pria manis itu tidak terjebak dengan masa lalu mereka yang nyatanya belum selesai.

Sedangkan Bright, harus menerima dengan ikhlas. Bukankah kebahagiaan Win adalah prioritas baginya? Sekalipun itu dengan orang lain, sekalipun itu tanpa dirinya, Bright harus menerima.

As long as he's happy.

A happy Win, also a happy Bright.

Lalu perhatian Bright beralih pada perut Cinta yang ternyata sudah membesar. Bagaimana bisa Bright tidak menyadarinya sejak tadi?

Bright dan Cinta sama-sama menyudahi perkenalan mereka. Demi mengurangi gelagat aneh dan rasa terkejutnya, Bright mengambil tiga bungkus cokelat dengan merk yang sama lalu memasukkannya ke dalam troli.

Bright ikhlas, demi Tuhan ia ikhlas.

Tapi tidak sekarang, Bright butuh ruang dan waktu untuk bernafas.

Bright menghirup oksigen banyak-banyak, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia kembali menghadapkan tubuhnya pada Win yang masih berdiri di sana, juga dengan Cinta yang tampak bingung dengan keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka bertiga.

Lagi, dengan seulas senyum yang dipaksakan, Bright berucap, “kalau gitu, can i leave first? Still have a lot of things to do, hehehe.”

Cinta mengangguk, tapi tidak dengan Win.

Pria manis itu malah menengadahkan tangannya pada Bright, seolah meminta sesuatu.

Bright menautkan satu alisnya.

“Aku ganti nomor.”

Oh. Lalu dengan cepat Bright merogoh saku celana jeansnya, dan mengambil ponsel dari sana.

Bright menyerahkan ponsel miliknya pada Win. Lalu dalam diam, Win memasukkan nomornya di sana. Dan tak butuh waktu lama, ponsel Bright sudah kembali kepada sang empunya.

“Aku sama Cinta juga masih mau lanjut belanja lagi. Talk to you later, Bright.”

Yeah, talk to you later too, Win…

. . .

Terhitung sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan perdana keduanya setelah tujuh tahun berlalu. Dan selama satu bulan itu, Bright beberapa kali menangis dalam diam. Menangisi kisahnya dengan Win yang ternyata sudah tak punya kesempatan sama sekali.

Hanya beberapa kali, karena setelah itu Bright berusaha keras untuk bangkit. Belajar menerima, belajar mengikhlaskan, belajar untuk tidak lagi berharap.

Dan terhitung sudah beberapa kali keduanya bertukar pesan. Bukan pesan-pesan penuh kalimat cinta yang dahulu selalu mereka kirimkan ke satu sama lain, hanya pesan berisi kata-kata seadanya.

Hanya bertukar kabar.

Hanya bertanya sedang sibuk apa,

Atau, apakah Cinta sedang menginginkan sesuatu? Karena Bright dengan tulus akan membantu.

Dan hari ini, tepat di tanggal 21 Februari, Win mengajak Bright untuk bertemu.

Di sebuah taman terbuka yang sudah banyak mengalami modifikasi. Tapi taman ini, adalah tempat dimana Bright pertama kali meminta Win untuk jadi kekasihnya.

Dan di sinilah mereka sekarang.

Duduk berdampingan di sebuah bangku kayu di tepi taman. Semilir angin sore malu-malu menyapa kedua insan yang dulu pernah saling menyimpan rasa.

Di situasi yang tak lagi sama, di halaman kisah yang kini saling membelakangi.

Bukan lagi untuk menjemput nostalgia,

Tapi untuk menutup lembaran yang tak lagi bisa dibalik sepuasnya.

“So yes, we decided to choose this month. Karna Cinta maunya anak pertama kita, ulang tahunnya deketan sama Papinya.”*

21 Februari kali ini, mereka duduk berdampingan, tanpa rasa.

Bright masih diam. Win sudah berkali-kali memulai percakapan, tapi Bright tetap diam.

Ada banyak kosa kata yang mengepung dalam otaknya. Bright susah payah menyusun, kalimat yang bagaimana yang pantas untuk ia ucapkan pada Win?

until this one sentence coming,

“Are you happy now, Win?”

Kali ini, Win yang terdiam. Pandangannya terpusat ke depan.

Tidak lama ia mengangguk, “yes, i am. After years i had to face my life all alone, i finally found someone who can love and understand me well, Bright. Dan aku sangat berterima kasih pada Tuhan untuk itu.”

He's happy now, Bright. So youㅡ

“You should be happy too, Bright.”

There, Win said it all.

Bright mengangguk pelan, pandangannya ikut mengarah ke depan.

“Tentu, i will try, thanks, Win.”

“Kalau kamu belum bisa bahagia karna aku, sekarang aku tekankan ke kamu, Bright, aku ikhlas. Aku udah maafin kamu, aku udah terima gagalnya hubungan kita tujuh tahun lalu dan aku bahagia dengan hidupku sekarang, and so do you, please be happy, too.”

Lagi, Bright mengangguk, “aku akan coba pelan-pelan. Seenggaknya sekarang aku bisa tenang, kamu hidup dengan baik.”

“Yes, i am. Aku juga mau minta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dulu pernah aku lakukan. Aku minta maaf karna aku tidak ada usaha untuk menyelamatkan hubungan kita saat itu, aku bener-bener minta maaf.” sahut Win.

Bright terdiam, ia seolah sudah habis tenaga untuk berkata-kata.

“Now can we close our page, Bright?” tanya Win, “kita hidup masing-masing, aku dengan hidupku yang sekarang, dan kamu dengan hidupmu yang sekarang.”

“I wish you a happy life and love, Mas.”

Bright mengangguk untuk yang terakhir kali. Kini ia bawa seluruh atensinya pada Win.

“Maafin aku atas kesalahan-kesalahan ku yang terdahulu, Win. I wish you happiness and all the good things, for your little family too,”

“So i am gonna be an uncle soon, yes?”

Win mengangguk dengan senyuman, “Uncle Bright,”

Keduanya tertawa, hambar.

Bright kembali terdiam, sampai akhirnya ia tiba di kalimat terakhirnya, “happy birthday, Win.”

Win baru saja akan menjawab, tapi dering ponsel di saku celana kerjanya membuat Win mau tak mau menggantungkan ucapan Bright dan mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari ibu mertuanya.

“Cinta dibawa ke rumah sakit, Win!”

So it's the time where their same page is gonna be closed,

It's the time, Cinta will give a birth,

It's the time, their last goodbye will be spoken…

“Aku harus ke rumah sakit sekarang, Cinta mau ngelahirin...”

Suaranya gugup, penuh rasa takut.

Lalu Bright mempersilakan, memberi jalan agar Win bisa segera pergi.

Meninggalkan dirinya,

Cintanya,

Segalanya.

It's really the end of them,

The last goodbye of Bright and Win.

. . .

written by: JEYI. this is work of fiction and commissioned by a kind-hearted commissioner.