A Days Without Bright.

(Win's side of life, after the second times break with Bright).

Menjadi dewasa itu pilihan, dan Win harus mulai terbiasa dengan pilihan barunya. It's been a week since the last day he saw Bright, since the last time he talked to him. Yang namanya break itu nggak enak, tapi mengulangi kesalahan yang sama itu jauh lebih nggak enak, 'kan? Jadi, Win mau mulai belajar untuk menjalani hidup tanpa Bright.

Seminggu pertama… rasanya benar-benar kayak di neraka. Ya, walaupun Win belum pernah merasakan bagaimana tinggal di neraka, tapi perasaan takut, gelisah, kecewa, marah, gelap, hilang arah yang mengganggunya selama satu minggu ini, bukankah itu definisi dari neraka?

total words: 3.4k+ words.


“Kakak,”

Damn. Sentilan pelan di jantung pagi-pagi kayaknya akan jadi menu sarapan Win kali ini.

Suara pintu yang didorong perlahan mau nggak mau membuat Win harus mengalihkan fokusnya ke arah sumber suara.

Mickㅡ sang adik, ada di sana, kepalanya menyembul dari balik pintu.

“Papah barusan bilang, kalau Papah nggak bisa nganter kakak ke sekolah hari ini. Papah lagi packing buat ke Surabaya lagi, nanti siang berangkatnya.”

Win menaruh sebuah bingkai foto yang sudah sepuluh menit ini ia pandangi. Pemuda itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, kepalanya mengangguk-angguk pelan merespon ucapan sang adik.

“Mamah ikut nggak?” sahut Win, seraya melangkah ke arah pintu.

Lalu dibukanya pintu kamar lebar-lebar, memerhatikan sang adik yang sudah rapi dengan seragam putih – biru dongker, yang dibalut dengan hoodie abu-abu di bagian luar. Kaos kaki putih sepanjang betis juga sudah menghiasi kedua kakinya.

“Kok lo udah rapi? Masih jam setengah enam?”

Mick terkekeh kecil, tangan kanannya terangkat menggaruk-garuk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. “Adek minta Papah anterin adek ke sekolah dulu, soalnya adek hari ini piket, jadinya adek udah harus siap jam segini biar Papah kesampean nganter adek abis itu baru berangkat ke bandara.”

“Gaya bener, kan biasanya lo sama supir?” Mata Win memicing sebelah, “Mamah ikut ke Surabaya nggak, dek?”

Kepala Mick lantas menggeleng pelan, “nggak, kok. Mamah di rumah. Ya udah, adek cuma mau ngasih tau itu aja, adek sama Papah udah sarapan duluan, kakak turun sana… dicariin Mamah tau.”

“Iya, gampang,” Win berbalik, beranjak meninggalkan Mick dan melangkah menuju meja belajarnya yang terletak di sudut kamar. Win mematikan lampu penerangan yang biasa ia pakai untuk belajar setiap malam, tapi sayang seribu sayang, lagi dan lagi matanya seolah ditarik oleh magnet yang dimiliki oleh sebuah bingkai foto dimana ada potret dirinya dan juga Bright terpampang jelas di sana.

Win terdiam. Sudah seminggu ini, ia hanya bisa melihat Bright melalui bingkai foto tersebut. Selama di sekolah pun keduanya tidak bertemu, entah Bright yang jarang masuk kelas atau memang sedang menghindari keramaian, Win tidak tahu.

Atau juga mungkin karena Win yang hampir setiap hari menghabiskan jam istirahatnya di dalam kelas. Meminimalisir kebiasaannya yang suka bolak-balik ke toilet, dan memilih untuk menghabiskan bekal yang dibuat oleh Mama di dalam kelas, seorang diri, walau kadang Puimek, Dew dan Mix suka datang menemani.

Win kembali melirik Mick yang masih berdiri di ambang pintu, “bentar lagi gue turun, udah sana lo siap-siap deh mendingan, mau berangkat sekarang, 'kan?!”

Mick menghela nafas pendek, lalu kepalanya mengangguk menyahuti ucapan sang kakak.

“Jangan keseringan di kamar, kak. Sekali-kali temenin Mamah masak atau nonton tv di bawah.”

“Iya, bawel deh. Udah sana, gue mau siap-siap dulu.” jawab Win, sambil memakai sweater merah marunnya yang ia ambil dari sandaran kursi yang sepaket dengan meja belajar.

Mick sudah beranjak dari ambang pintu kamarnya. Tidak ada lagi keramaian yang tercipta, hanya hening… juga suara burung peliharaan Papa yang mulai berkicau sahut-sahutan dengan burung milik tetangga pertanda hari sudah pagi.

Win, untuk kesekian kali menghela panjang nafasnya. Hatinya berdegup dengan perasaan tidak nyaman yang sudah datang menghantui beberapa hari ini. Tanpa sadar, pemuda itu mengulum gusar bibir bawahnya. Kedua telapak tangannya turut menempel pada permukaan meja, bertopang di sana, kembali berhadapan dengan sebuah pigura kecil penuh kenangan.

Foto itu diambil pada tanggal 21 Februari tahun lalu. Tepat pada saat perayaan ulang tahun Win yang ke-18, dan tentunya Bright ada di sana. Keduanya mengenakan kostum matching, kemeja berkerah yang tidak terlalu formal berwarna biru dengan motif batik modern. Win tersenyum lebar di foto itu, ia bahagia, tahun lalu ia sangat bahagia.

Tapi kata bahagia sama sekali tak ia dapatkan di tanggal 21 Februari tahun ini.

Tidak ada Bright yang menemani, itu artinya tidak ada bahagia yang bisa dijumpai.

Ya, dua hari lalu Win baru saja memijak usia yang baru. 19 tahun, dan semuanya terasa hampa.

Tidak ada ucapan di jam 12 malam lebih satu detik yang biasanya sang kekasih berikan setiap tahunnya.

Tidak ada doa syafaat yang diucapkan Bright ketika mereka melakukan doa malam beberapa menit setelah Bright mengucapkan selamat ulang tahun.

Tidak ada suara petikan gitar yang bisa mengiringi tidurnya, seperti tahun-tahun kemarin.

Tidak ada Bright, dan semuanya terasa salah.

Rasa sesal seketika memenuhi dada Win, kenapa… kenapa ia harus mengambil keputusan ketika otak dan hatinya sedang berantakan? Kenapa… kenapa ia harus meminta waktu untuk beristirahat dari hubungannya dengan Bright yang sudah jauh dari kata sehat?

Kenapa… kenapa tidak menunggu saja sampai semua rasa sakit dan kecewanya hilang dengan sendirinya?

Kenapa… kenapa lagi dan lagi hubungannya mengalami kegagalan?

Mata Win terpejam sempurna begitu bayang-bayang pertengkaran mereka di toilet sekolah seminggu lalu kembali melintas dalam benaknya. Bayang-bayang Bright yang menangis ketakutan dan penuh penyesalan. Kenapa Win malah meminta jarak, padahal masih ada cara lain untuk memperbaiki keadaan?

Bersikap cuek dan menerima, mungkin?

Tapi Win di seminggu yang lalu, adalah Win yang berhasil mengutarakan perasaannya. Adalah Win yang sudah cukup lelah dan hampir menyerah. Adalah Win yang hanya berusaha untuk menjemput bahagia bagi dirinya sendiri.

Lantas dimana kebahagiaan itu? Apakah sudah ada?

Win menggeleng, belum. Dirinya justru makin tersiksa dengan hadirnya rasa rindu yang bercampur khawatir.

Win yang seminggu lalu berkata bahwa racun sudah mulai menguasai hubungan sehatnya dengan Bright, kini tersadar, bahwa kegagalan ke-2 mereka bukanlah karena racun. Tapi karena keegoisan diri mereka masing-masing untuk menunjukkan rasa sayang dan perduli.

Hanya caranya yang salah.

Juga hanya karena waktu yang belum berpihak, atau semesta yang belum mengizinkan.

Atau memang… racun itu memang ada?

Ah, nggak tau… pusing… Akhirnya Win menjatuhkan pigura tersebut. Membuat bagian depanㅡ dimana ada potret dirinya bersama Bright, kini menelungkup menatap permukaan meja.

Gelap, sama persis seperti hubungan keduanya… gelap, tidak lagi punya arah.

Win menggeleng-gelengkan kepalanya satu kali lagi, lalu ia mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya lewat mulut. Win menepuk dada kirinya agak keras, berharap rasa sakit itu akan hilang dalam hitungan detik.

“Nggak apa-apa, nggak apa-apa, Win.”

Nggak apa-apa… Keputusan lo udah bener, sekarang tinggal tunggu aja sampai waktunya tiba; lo bisa tetap lanjut sama Bright atau, kita akan sama-sama berhenti untuk berjuang.

Time will heal, time will answer your worries, so for now… make yourself on the top and be the happiest you're everyday, Win.

It's okay, Bright will heal too… on his own way.

. . .

“Mam,”

Tidak ada ucapan selamat pagi yang terucap, begitu melihat sang Mama sedang mencuci piring, Win langsung berhambur memeluk wanita itu dari belakang.

Pelukan yang erat, Win bahkan lupa kapan terakhir kali ia memperlakukan Mamanya seperti ini. Kesibukan di sekolah sebagai wakil ketua kelas sekaligus wakil ketua OSIS, lalu kegiatan di gereja dan organisasi kecil-kecilan di komplek perumahan tampaknya berhasil menyita waktu Win yang sedang beranjak menuju dewasa.

Terlalu bersosialisasi di luar rumah, termasuk menghabiskan waktu bersama Brightㅡ dulu, membuat Win sadar nggak sadar mulai kehilangan waktunya dengan sang Mama.

Kedua mata Win terpejam, bahkan ketika Mama mulai berdecak minta dilepas, pemuda itu sama sekali tak menggubris. Win, semakin memperkuat pelukannya.

“Kamu jangan kayak adek yang masih seneng melukin Mamah kayak gini deh, Kak...”

Win mengerucutkan bibirnya, mencuri satu kecupan kilat di pipi kiri Baifernㅡ sang Mama. “Kangen Mamah...”

Terlalu mengerti perasaan sang sulung, Baifern pun membiarkan Win memeluknya, “Mamah sambil nyuci piring lho, nanti kena sweater kamu bukan salah Mamah yo, Kak...”

Kepala Win mengangguk ringan bagai anak kecil. Sepasang mata Win tidak lagi terpejam, pemuda itu kini turut memerhatikan piring-piring yang dipenuhi busa sabunㅡ mungkin bekas Papa dan Mick sarapan tadi.

“Kak,”

“Yaaa, Mam?”

“Papah sama adek udah jalan, kamu berangkat sekolah mau dianter supir atau mau bareng sama Bright?”

Bright.

Bright.

Bright…

Baifern terhenyak ketika ia rasakan pelukan Win di tubuhnya semakin erat. Si sulung kini menempelkan dahinya di bahu kiri, lalu dengan tangannya yang agak basah dihiasi busa ia coba untuk menyentuh lembut kepala bagian samping Win.

Win tidak memberikan respon apa-apa, Baifern pun akhirnya mematikan kran air lalu mengeringkan kedua tangannya pada sebuah handuk yang menggantung di dinding.

Ditepuknya pelan puncak kepala si sulung, “Kakak Win,”

Masih tidak ada jawaban. Win semakin larut dalam heningnya sendiri.

“Kakak kenapa sama Bright, hm?” Baifern menepuk sayang surai hitam Win, “lagi ada masalah, kah? Udah semingguan ini Bright nggak ke rumah, ulang tahun kakak kemarin juga, Bright nggak dateng, nggak ada kabar. Kenapa, nak? Kakak mau cerita ke Mamah, sambil sarapan… yuk?”

Kali ini Win menggeleng. Pemuda itu tidak lagi menyembunyikan wajahnya di bahu sang Mama, kepalanya menatap ke arah depan. Hati Baifern mencelos, begitu wanita itu dapati sepasang mata cantik Win memerah.

Baifern mengusap lembut pipi kiri Win, “hey, anak Mamah...”

Win menoleh ke arah kanan, membalas tatapan sang Mama tepat di sepasang matanya, “Win sama Bright lagi sama-sama berantakan, Mah...”

Sebisa mungkin Win tidak mau menangis. Ia sudah bertahan satu minggu ini tanpa air mata, ia sudah berusaha keras untuk memendam segala rasa kecewanya, tapi tampaknya Mama adalah pengecualian.

Win tidak bisa, jika harus berpura-pura kuat di depan Mama.

“Kalau Win sama Bright nggak bisa lanjut lagi, Mamah kecewa nggak? Win tau… Mamah sayang banget sama Bright.”

Baifern menghela pelan nafasnya. Wanita yang pagi itu masih mengenakan daster kini membalik posisi tubuhnya, berdiri berhadapan dengan sang anak. Diusapnya pelan dan penuh sayang kedua lengan Win, “Mamah juga tau kalau Kakak sayang banget sama Bright.”

Tidak mampu berbohong, Win pun mengangguk. Tetes lain air matanya kembali jatuh.

“Win sayang… Sayang b-banget sama Bright… T-tapi Win udah capek, Mah...”

Baifern mengelus lembut kedua pipi Win, menyeka air mata yang masih mengalir di sana. “Bright nyakitin Kakak, hm?”

Lagi, Win mengangguk, “dan Win udah capek, Mah,” isak tangis mulai terdengar, usahanya dalam seminggu berakhir sia-sia. “Win boleh berhenti, Mah?”

“Win kayak berjuang sendirian...”

Kalau boleh jujur, Baifern cukup dibuat kaget dengan pengakuan sang anak. Antara ragu dan percaya, apa Bright benar-benar menyakiti Win? Sebesar apa kesalahannya sampai Win menangis dan ingin menyerah seperti ini?

Bright adalah anak yang baik. Baifern tahu itu. Baifern sudah kenal Bright sejak pemuda itu masih kecil. Bright sudah ia anggap seperti anak sendiri.

Tapi Baifern sadar, dalam sebuah hubungan pasti banyak batu kerikilnya. Tidak hanya satu kali atau dua kali, bahtera yang mereka nahkodai pasti akan sering dilanda badai dan hujan deras. Apalagi, Win dan Bright masih sama-sama dalam proses menuju dewasaㅡ menyatukan dua kepala di usia 'egois' memang lah sulit.

Ada ego yang tidak bisa dilawan.

Ada dinding pertahanan yang tak bisa dibuat runtuh.

Ada emosi yang kadang masih menggebu-gebu lalu berubah melankolis di waktu yang tidak tepat.

Ada proses sulit yang harus dijalaniㅡ proses menuju dewasa.

Ada kemauan yang tak selalu bisa diucap.

Dan ada kepastian yang jauh dari gapaian.

Baifern tidak akan menyalahkan siapapun. Ia akan membiarkan anak-anaknya menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Diusapnya lagi kedua pipi Win penuh sayang, “Kakak, Mamah nggak mau ikut campur sama urusan pribadi Kakak sama Bright, karna Mamah tau Kakak sama Bright bisa sama-sama cari jalan keluar. Kalau Kakak bener-bener udah capek, Kakak bisa istirahat dulu, tapi kalau Kakak ngerasa bener-bener udah nggak bisa lanjut, nggak apa-apa… mungkin belum jodoh.”

“Win banyak kurangnya ya, Mah?”

Baifern menggeleng, “enggak, sayang,” tentu tidak, Win anak yang baik, “mungkin sekarang Kakak sama Bright lagi diuji sama Tuhan. Tuhan mau liat, Kakak sama Bright bisa atau enggak lewatin ujian ini...”

“Akan selalu ada pelangi sehabis hujan. Itu janji Tuhan. Kakak percaya, 'kan?”

Kepala Win mengangguk pelan, pemuda itu meraih satu tangan Baifern untuk digenggam, “tapi kalau di akhir nanti Win sama Bright kalah gimana, Mah?”

Bright lagi, lagi dan lagi… Dari sini Baifern tahu, Win masih sangat menyayangi dan membutuhkan Bright, hanya saja ini mungkin belum waktu-nya.

“Nggak apa-apa, sayang… Yang penting Kakak sama Bright udah melakukan yang terbaik. Oke? Kakak doain Bright nggak selama jauh-jauhan begini?”

Win mengusap wajahnya agak kasar, lalu menggeleng, “Win nggak berani nyebut nama Bright, Mah… Win takut sedih lagi...”

“Oke, nggak apa-apa, itu juga 'kan demi kenyamanan Kakak, ya? Tapi hari Minggu nanti Kakak jangan lupa berdoa ya, minta sama Tuhan biar Kakak sama Bright dikasih jalan terang. Oke, anak Mamah?”

Merasa lebih baik setelah menceritakan seperempat dari kesedihannya pada sang Ibu, Win akhirnya mengangguk, mengiyakan saran wanita cantik itu.

Win memejamkan matanya saat Baifern kembali mengusap pipinya, menyalurkan ketenangan.

“Sekarang Kakak pikirin diri Kakak sendiri dulu, ya, sayang? Kakak pulih sendiri dulu, Kakak maafin diri sendiri dulu, Kakak sayangi diri sendiri dulu, baru nanti Kakak pikiran Bright dan berusaha untuk maafin Bright, oke? Pelan-pelan aja ya, anak manis?”

Win mengangguk, “i-iya, Mah… Makasih… Win mau fokus sekolah aja dulu, minggu depan ada pelantikan OSIS baru, dua minggu lagi juga ujian akhir sekolah. Win mau lulus dengan nilai yang baik, doain Win ya, Mah?”

“Pasti, dong… Usaha nggak akan mengkhianati hasil, sayang… Tapi jangan lupa, semua usaha Kakak harus diawali dengan doa biar Tuhan berkati ya, sayang, ya?”

Seulas senyum manis dan penuh kelegaan terukir di wajah Win. Sudut bibir kiri dan kanan pemuda tertarik ke atas, cantik, sempurna.

“Papah berapa lama di Surabaya, Mah?”

Baifern melepas apron yang melekat di tubuhnya, menggantungkannya pada pengait yang menempel di dinding, lalu mendorong kuat punggung tegap Win untuk beranjak menuju ruang makan.

Sekarang Win sudah duduk di bangku yang memang secara tidak langsung sudah dianggap sebagai 'bangku'-nya. Pemuda itu pasrah ketika sang Ibu mengambil piring kaca, dan menuangkan banyak nasi ke atas sana.

“Cuma tiga hari dua malem, besok ketemu klien dari pagi sampai sore, terus malemnya ada makan malam sama klien penting dari Balikpapan, lusa pagi pulang ke Jakarta.”

Baifern meletakkan piring yang sudah berisi nasi goreng lengkap dengan irisan telur dadar dan acar di depan Win. Lalu wanita itu menuangkan teh hangat ke dalam cangkir kecil dan memberikannya pada si sulung untuk diminum terlebih dulu.

“Jangan lupa berdoa sebelum makan, Mamah mau ke kamar dulu, mau ganti baju.”

Win tersenyum sambil mengangguk, “oke, makasih banyak, Mamahkuuu!”

“Sama-sama, sayang. Ya udah, nanti Kakak berangkat sekolah Mamah yang anterin aja lah, ya? Biar Mamah sekalian mampir ke ruko di depan transmart Depok Lama buat ngambil pesenan daging babi. Kakak mau sup kacang merah apa babi rica-rica?”

Walaupun mulutnya penuh dengan nasi, Win pun menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan Mama, “kalau bisa dua-duanya, kenapa harus milih satu, Mah?” kedua matanya membulat, mengerjap lucu seperti sedang memohon.

Baifern cuma bisa tertawa, lalu mengacak gemas surai hitam si sulung, “iya deh iya, buat anak Mamah apapun pasti Mamah bikinin.”

“Hehehe, makasih Mamah cantik!”

Hehehe… Dua makanan itu; sup kacang merah dan babi rica-rica adalah makanan kesukaan Bright…

Bright mau nggak ya, kalau dibekelin itu besok?

. . .

Oke, terhitung sudah satu minggu lebih empat hari, dua anak remaja yang sedang gundah gulana itu tidak saling bertemu sapa. Tidak juga saling bertukar pesan, apalagi bercakap-cakap lewat sambungan telepon.

Win, tidak tahu bagaimana Bright melewati hari-harinya. Sejak memutuskan untuk beristirahat sejenak dari hubungan mereka, Win seolah membatasi diri, tidak hanya dari sang kekasih tapi juga dari barudaksㅡ alias teman baik Bright di kelas 12 SOS 2.

Jika dulu Racha biasanya akan memberikan updates atau sekedar basa-basi, kali ini gadis itu juga seolah menghilang entah kemana. Cuaca di kota Depok yang selalu berubah-ubah, apalagi belakangan ini selalu diguyur hujan ketika pagi, membuat mereka sama sekali tidak bisa bertemu.

Tidak ada apel pagi, doa dan nyanyian pagi dilakukan di kelas masing-masing yang dipimpin oleh salah seorang siswa.

Win tidak lagi pernah berdiam lama-lama di meja kantin, jarang ke toilet, membuat dirinya kini benar-benar ada di kubu yang berlawanan dengan kelas Bright.

The bad tension between those two classes are happening, again.

Padahal belum putus, tapi rasanya sudah jauh sekali.

Hari demi hari Win lalui dengan belajar. Kadang-kadang ia akan mengurung diri di ruang OSIS sambil mengisi buku detik-detik, atau hanya akan diam di kelas sambil membaca kamus saku pelajaran biologi.

Win memang senang belajar, tapi ketika ia melakukan hal-hal yang disukainya hanya untuk menghindari sesuatu, maka Win tidak jadi merasa senang.

Semuanya terasa kosong, begitu juga hatinya, apalagi matanya yang kini menatap papan tulis di depan kelas dengan kosong.

Lukeㅡ si ketua kelas, baru saja kembali dari ruang guru setelah menaruh tumpukan buku tugas milik anak-anak di meja Pak Iman, guru agama kristen.

Pemuda itu hendak berbelok ke mejanya sendiri, tapi pemandangan Win yang sedang melamun berhasil mengundang perhatiannya.

Lalu tanpa pikir panjang, Luke mengambil posisi duduk di depan Win, yang kebetulan adalah bangku milik View, tapi si empunya sepertinya sedang berada di luar kelas.

Well, bahkan kehadiran Luke tidak mampu merebut atensi Win.

Luke mengetuk-ngetuk pelan meja Win, dan di ketukan ke-3, si pemuda manis menoleh ke arahnya.

“Eh, Luke,”

Si ketua kelas kesayangan guru-guru tersenyum kecil, “kok ngelamun aja? Lagi mikirin sesuatu, ya?” tanya Luke, penasaran.

Win terdiam. Ketika Luke berada di jarak yang sedekat ini dengannya, justru wajah Bright lah yang datang menghantui pikirannya.

Wajah marah Bright.

Wajah kesal Bright.

Wajah merajuk Bright.

Semuanya datang secara mendadak ke dalam benak Win. Lantas Win mencelos, ditatapnya Luke dalam-dalam.

“Luke, gue mau ngomong, boleh?”

Yang ditanya langsung mengangguk. Seulas senyum manis terbesit di bibirnya, selalu seperti iniㅡ penuh antusias ketika dirinya berinteraksi dengan sang pujaan hati.

“Silakan, Win. I am all ears.”

Win bisa merasakan jantungnya yang berdegup sedikit lebih cepat. Tanpa sadar ia mengulum bibir bawahnya, berpikir keras apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Luke?

Win tidak mau mengumbar-umbar hubungannya pada orang lain, tapi jika ia tetap berada di ambang vague seperti ini, maka hubungannya dengan Bright tidak akan bisa berjalan dengan baik untuk di kemudian hari.

Akan selalu diselimuti rasa bersalah, akan selalu dihantui rasa tidak nyaman dan ketakutan.

Takut untuk ketahuan, takut untuk menciptakan masalah baru dan takut untuk kembali gagal.

Maka sepersekian detik setelahnya, Win menghela pendek nafasnya, lalu berucap,

“Luke, sebelumnya gue mau bilang makasih banyak karna lo selama ini udah mau jadi temen yang baik buat gue, entah itu karna lo emang mau temenan sama gue atau cuma strategi lo buat deketin gue, gue tetep berterima kasih sama lo. Makasih juga udah jujur di hari perayaan valentine kemarin, dan sekarang gue mau jawab pertanyaan lo. Boleh?”

Raut tenang dan senang di wajah Luke kini menghilang, “Win, nggak perlu dijawab sekarang, oke? Gue bisaㅡ”

“Gue yang nggak bisa, Luke. Gue nggak bisa kalau setiap hari harus dibayang-bayangin perasaan nggak nyaman. Jadi gue rasa, lebih baik gue jawab sekarang sebelum semua jadi terlalu jauh. Biar perasaan gue lega, perasaan lo juga lega.”

Baiklah, mau tidak mau Luke pun mengangguk.

“Gue nggak bisa, maaf, ya?”

Satu alis Luke bertaut, “gue kecepetan ya, Win?”

“Enggak, bukan karna itu,” kepala Win menggeleng ringan, “tapi karna sejak awal kita ketemu di kelas sepuluh pun, gue emang nggak bisa ngebales perasaan lo lebih dari sekedar temen.”

“Kenapa, Win? Gue pikir, selama ini kita nyaman, kita nyambung satu sama lain?”

Win mengangguk cepat, pembelaan Luke tidak ada yang salah. Hanya saja, “gue udah punya pacar, Luke. Gue sama pacar gue ini udah jalan mau empat tahun, dan gue sayang sama pacar gue.”

“Maaf, ya? Lo berhak marah dan kecewa kok sama gue, tapi gue bener-bener minta maaf karna nggak bisa bales perasaan lo kayak apa yang lo harapkan.”

Lalu Win menepuk pelan lengan Luke, menyadarkan pemuda itu dari keheningan yang mendera selama beberapa detik.

“Kita masih bisa jadi temen baik. Gue juga nggak bisa nyuruh lo buat berhenti suka sama gue atau gimana karna ya… it's your own feelings, and i have nothing to do with it, gue nggak bisa mencampuri urusan lo tapi seenggaknya dengan ini gue bisa ngejaga perasaan gue sendiri dan juga perasaan pacar gue. Gue nggak akan larang lo, tapi gue cuma mau lo tau, gue cuma mau jujur, kalau gue bahagia dengan pacar gue, maaf...”

Luke masih diam, berusaha mencerna semuanya. Setelah dirasa jantungnya bisa berdetak dengan normal kembali, Luke pun membuka mulut,

“Gue kenal orangnya, Win? Kalau kenal, gue mau nitipin lo ke dia,”

Win mengangguk, “iya, tapi gue nggak bisa kasih tau, nggak apa-apa, ya?” balas Win.

“Is it Bright? Bright anak dua belas SOS dua?”

Damn, gimana, nih?!!!!!!!

. . .

(SPOILER FOR BRIGHT's SIDE OF LIFE AFTER THE SECOND TIMES BREAK WITH WIN!)

“Heh, goblok! Mau sampai kapan lo nyebat setiap hari gini?!”

“Sampai hati gue bisa lega, atau seenggaknya sampai gue bisa bernafas dengan bener.”

Puntung sigaret yang baru saja akan masuk ke dalam mulut itu kini jatuh ke aspal rooftop sekolah.

Si pemilik sigaret menoleh, tapi tak berkutik apa-apa.

“Lo nggak bisa nafas dengan bener tapi lo milih buat ngerokok? Lo mau mati, ya?!”

Si empunya sigaretㅡ Bright, menunduk, ada kekehan pedih yang lolos dari belah bibirnya.

Kepalanya mengangguk asal, seolah setuju dengan kalimat yang barusan diucap.

“Kalau dengan mati bisa nyelesain semuanya dan nebus kesalahan gue, gue ikhlas, gue mau mati.”

. . .

JEYI // 210311.