Dare Goes Wrong.

Kutukan hidup Metawin baru-baru ini adalah; terlalu banyak bercanda… jadi dibercandain sama hidup.

Karena Metawin tidak pernah menyangka, kalau ia akan terjebak permainannya sendiri lalu tersesat seolah tidak ada jalan keluar sama sekali,

Padahal…

Jalan keluar tepat ada di depan matanya.

total words: 5.850 words. tags: fluff, best friends to lovers with some dramas involved, trust issues, harsh words, college life, brightwin. commissioned by: @choclitmxlk


Suasana kelas yang awalnya riuh mendadak sepi begitu Janhaeă…ˇ si ketua kelas, mengangkat tangan kanan seolah-olah sedang meminta perhatian. Kepala gadis berambut sebahu itu menunduk, tangan kirinya sibuk menggulir layar ponsel dan membuat seisi kelas diam sambil menatap bingung ke arahnya.

Janhae yang kebetulan duduk di bangku paling depan di bagian pojok kiri, beranjak bangun dari posisi duduknya dan melangkah mendekati meja dosen. Gadis itu masih menatap serius gawai yang ada dalam genggamannya, lalu hap, ia melompat kecil untuk duduk di atas meja.

“Guys, guys, guys,”

Itu suara Janhae, yang semakin membuat 26 mahasiswa di dalam kelas tambah penasaran dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh si ketua kelas.

Out of nowhere, suasana hening mendadak riuh dan kelas menjadi penuh dengan umpatan begitu pintu kelas terbuka dan muncul Metawin dari sana. Bagaimana anak-anak sekelas tidak mengamuk, pasalnya Metawină…ˇ atau yang biasa disapa Win, masuk ke dalam kelas sambil menggebrak pintu dan cengengesan geli setelahnya.

“Kebiasaan banget si anjrit bikin orang kaget aja lu!” Kalau Win sudah bertingkah, jelas yang paling emosi adalah Pawat. Pemuda yang awalnya sedang khusyuk menantikan informasi penting dari Janhae itu kini kehilangan hasratnya dan bergegas merebut satu plastik berisi kentang goreng yang masih panas dari tangan Win.

Lantas Win duduk di bangku yang masih kosong di samping kanan Pawat, sambil menatap pemuda yang tengah mengunyah dua potong kentang goreng miliknya itu dengan tatapan tajam, “jangan dihabisin, baboyaaa! Gue cuma beli goceng!!!” Satu pukulan agak keras mendarat dengan begitu mulus di kepala Pawat, kemudian Win merebut kembali apa yang sudah seharusnya jadi haknya.

Pawat meringis, kepalanya menoleh ke arah kanan hanya untuk mendapati Win yang sedang nikmat-nikmatnya mengunyah kentang goreng. Masih sambil mengusap bagian yang dipukul oleh Win, Pawat bertanya, “apaan tuh baboya?!!”

Butuh sekitar tiga detik sampai Win menelan habis kentang gorengnya, “baboya itu artinya goblok alias lu goblok banget, Ohm Pawat.” kata Win, sambil memasukkan dua potong kentang goreng bumbu balado ke dalam mulutnya.

“Monyeeet!!!”

“Bahasa Korea itu, Paw. Keren, gue tau dari drakor yang semalem gue tonton.” sahut Win.

“Pantesan lu baru dateng jam segini, Malih… Pasti kesiangan kan lu karna bablas nonton drakor?”

Win cuma cengengesan, lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinyaㅡ membentuk huruf V. “Prinsip hidup gue kan 'YOLO' Jadi ya, gas aja lah selagi bisa.”

Lagi dan lagi, Metawin dengan sekumpulan kosa kata anehnya yang berhasil membuat Pawat geleng-geleng kepala. Melihat Win terlalu asik mengunyah kentang goreng sambil menutup mata, Pawat diam-diam berusaha untuk mengambil satu potong kentang goreng dari plastik yang tergeletak di atas meja Win. Naas, belum sempat ujung jarinya berhasil memasuki plastik, Win lebih dulu membuka mata dan menghadiahi sebuah jitakan pelan di puncak kepalanya.

“Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri!”

Pawat berdecak pelan, “koret banget lu.”

“Lu mah bukan Swiper, tapi Boots. HAHAHA!!!” Win meledak dalam tawanya, meledek Pawat adalah keahlian dan hobby pemuda itu, sehingga ia melupakan fakta kalau ada sepotong kentang goreng yang sedang dalam perjalanan menuju kerongkongan dan, “UHUKㅡ!!!” terjadilah acara tersedak yang membuat seisi kelas tertawa jengah.

Padahal, Win baru datang beberapa menit yang lalu, tapi sudah membuat kegaduhan.

Pawat sibuk tertawa, anak-anak lain juga sibuk tertawa sampai tidak ada yang menyadari kalau seseorang baru saja membantingă…ˇ agak keras, sebuah botol air mineral 600ml ke atas meja Win. Hanya Win yang sadar, hanya Win yang kini terjebak dalam dimensi aneh yang mengikatnya dengan sepasang obsidian hitam milik Bright, salah satu mahasiswa yang paling disegani karena kepribadiannya yang terkenal unreachable.

Bright berdecak risih lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak suka berinteraksi dengan Win, dan tampaknya Tuhan sedang bermain-main dengan takdirnya hari ini.

Win duduk di samping kiri Bright, padahal sejak percakapan terakhir mereka empat bulan lalu, keduanya seolah saling menjauhi satu sama lain dan pergi mengambil jalan masing-masing tanpa kata, tanpa pamită…ˇ Win kembali sibuk dengan dunianya dan Bright juga memilih untuk menyibukkan diri dengan dunianya sendiri.

They had bad memories together back then and it caused a 'break up' for their friendship, padahal keduanya sudah berteman baik sejak masih duduk di bangku SMA.

“Bisa nggak sih lo nggak pecicilan sekali aja?”

Uhuk, Win terbatuk satu kali lagi, namun kali ini jauh lebih pelan. Bright masih terus menatapnya, tajam, penuh rasa tidak suka.

“Eh, Bright, nggak usah…” Win menaruh kembali botol air mineral yang masih tersegel pemberian Bright ke atas meja pemuda itu, “udah nggak keselek lagi, kok, uhukㅡ”

Sosok yang dipanggil Bright kembali berdecak, lalu diletakkannya kembali botol air mineral itu di meja si yang baru saja menolak secara halus. Tanpa harus repot-repot menunggu dan menanggapi respon dari Win, cepat-cepat Bright menyampirkan tas ranselnya di bahu kanan.

“Bu Indira nggak masuk?” tanya Bright, yang langsung membuat seisi kelas kembali hening.

Janhae yang sempat terbuai dengan aksi konyol Win beberapa menit lalu, kini mengangguk ringan. Tangan kanan gadis itu terangkat, “oh iya, sampe lupa gue mau ngasih tau kalian. Iya, Bu Indira hari ini izin nggak masuk kelas dulu ya, guys. Pak Beni juga, ada akreditasi universitas jadinya mereka standby di kampus utama dan berhalangan hadir.” sahut Janhae sambil menggoyangkan pelan ponselnya.

Beberapa anak mulai ricuh kembali, tapi lagi dan lagi Bright berhasil menjemput hening dalam hitungan detik. Pemuda itu turut menyahut, “berarti hari ini kosong? Nggak ada kelas sama sekali?”

Janhae mengangguk, “betul banget. Hari ini kita kosong ya, guys. Buat yang nggak ada pengulangan kelas atau kerja kelompok, bisa cabut sekarang. Tapi buat yang ada pengulangan kelas, coba ditanya dulu dosen yang bersangkutan apakah tetep masuk atau ikut ke kampus utama, karna setau gue nggak semua dosen pengampu ikut akreditasi.”

Lalu tanpa basa-basi, Bright bangkit dari posisinya dan beranjak keluar kelas. Seisi kelas cuma bisa diam melihat sifat salah satu teman sejawat mereka yang satu itu, berbeda dengan Win, yang kini melempar asal plastik berisi kentang goreng miliknya yang hanya tersisa sedikit ke arah Pawat. Dengan sedikit terburu-buru, ia ambil botol air mineral pemberian Bright dan beranjak dari posisi duduknya.

“EH DORA, MAU KEMANA LO? INI KENTANG BUAT GUE?!!”

Tanpa menoleh ke belakang, Win mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya, “ABISIN AJA, BOOTS. GUE MAU MEMPERBAIKI MASA DEPAN, BYEEEE!!!”

BRAKKK, datang dengan gebrakan di pintu, lalu pergi dengan bantingan di pintu yang sama. Metawin oh Metawin…

. . .

“Lho, Cil? Ngapain di sini?”

Kedua bahu Win sontak mencelos saat yang melangkah keluar dari pintu ruang UKM Musik bukanlah sosok yang dinantikannya. Euforia di balik dada yang sempat singgah kini hilang menguap entah kemana, berganti dengan rasa jengah yang hampir dua bulan ini selalu menghantuinya.

Win berdiri dari bangku panjang di depan ruang UKM Musik yang sudah ia duduki lebih dari dua puluh menit. Susah payah ia tarik sudut bibir kiri dan kanan bibirnya, lalu suara kekehan pelan lolos dari ranum merah muda khas miliknya.

“Kak Gawin, hehehe, maaf, di dalem ada Bright nggak, ya?”

Sambil berusaha meraih sepatu converse kuning miliknya dengan kaki, Gawin bergumam pelan, “ada tuh, lagi nyetem gitar.”

Dijawab seperti itu, sebuncah harapan langsung muncul dalam benak Win. Pemuda itu refleks memajukan sedikit tubuhnya, berusaha mencuri pandang ke dalam ruang UKM Musik. Matanya yang bulat menyipit lucu, dan tingkah Win jelas tak luput dari pandangan Gawină…ˇ si kakak tingkat, yang juga bergelut di bidang yang sama seperti Bright; musik.

“Mau gua panggilin?” tanya Gawin.

“Eh, jangan, nggak usah, Kak,” Win pun tergagap dibuatnya, “nggak usah beneran, gue nunggu di sini aja.”

Gawin melirik Win dengan tatapan anehnya, lalu tanpa aba-aba pemuda yang terkenal sebagai salah satu gitaris dari band andalan UKM Musik Universitasă…ˇ SundayKnights, membuka pintu ruangan yang sudah diklaim menjadi markas utama bagi anak-anak UKM Musik lebar-lebar. Membuat beberapa orang yang ada di dalam pun spontan melirik ke arah pintu.

Win, cepat-cepat memundurkan langkahnya.

“Nggak mau masuk aja, Cil? Biasanya juga lo main nyelonong masuk tanpa izin.”

Yang ditanya cuma bisa menggeleng pasrah, lalu memberi kode pada Gawin untuk segera menutup pintu dari ruangan ber-AC itu.

“Things has changed, Kak.” Win mau nggak mau mengulik sedikit cerita yang sudah berbulan-bulan ini mengganjal di hatinya. Pemuda itu kembali duduk, diikuti Gawin yang juga mendaratkan tubuh semampainya di spot kosong yang ada di samping Win.

Satu alis Gawin bertaut, “pantesan lo nggak pernah maen ke sini lagi, Cil. Stock jajanan punya anak-anak jadinya aman, nggak ludes sebelum waktunya, hahaha.” Kebiasaan Win untuk bergabung dengan anak-anak UKM Musik sambil ikut menghabiskan jajanan yang tersedia di dalam ruangan tampaknya bukan lagi jadi rahasia umum. Gawin yang biasanya kurang memerhatikan lingkungan sekitar pun sampai dibuat hafal dengan tingkah Win yang satu itu.

Merasa Gawin layak untuk tahu, Win pun menganggukkan kepalanya. “Intinya, gue sama Bright udah nggak bisa kayak dulu lagi, Kak. Dan semua kesalahan ada di gue.”

“Oh ya? Kok bisa?”

“Iya, bisa, emang dasarnya gue aja yang goblok jadi ya gitu,” helaan nafas berat terhembus dari belah bibir Win, “gue ngecewain Bright, dan kita secara nggak langsung kayak mutusin pertemanan, dia juga kayaknya masih marah banget sama gue.

Gawin memandang Win dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sedangkan yang ditatap, kini memilih untuk melihat ke arah depan, menghindari tatapan si kakak tingkat. Gawin bergumam pelan, benaknya bekerja keras mengatur laju memori yang mendadak ingin masuk menembus portal waktu dalam otaknya. Kalau diingat-ingat, memang sudah lama sekali sejak terakhir Wină…ˇ sahabat sehidup semati Bright, itu melipir dan menghabiskan waktu di ruang UKM Musik.

Oh, Gawin juga teringat akan situasi dimana Bright mangkir dari jadwal latihan dan pernah satu kali absen dari acara pensi jurusan beberapa bulan lalu. Seketika Gawin berpikir, apakah semua perubahan sifat pada diri Bright ada sangkut pautnya dengan Win?

“Bright jadi makin jauh dari jangkauan anak-anak, Cil.” Cil, sebenarnya itu panggilan kesayangan dari Bright untuk Win, yang lama-kelamaan anak-anak UKM Musik pun terbiasa untuk ikut memanggil Win dengan sebutan tersebut.

Win kembali membawa fokusnya pada Gawin, pemuda yang lebih tua di atasnya satu tahun itu sedang bersandar di dinding sambil bersila dada.

“Serius lo, Kak?”

“Hmm,” Gawin melirik singkat Win kemudian ia terkekeh ringan, “awalnya gue pikir karna emang dia lagi banyak problem aja, sih. Tapi semakin ke sini gue malah sadar, itu anak emang makin dingin, susah dilembekin hatinya, makin nggak banyak ngomong.”

Hembusan nafas berat yang dibarengi dengan decakan keras lolos dari belah bibir penuh Win, “di ruang musik juga gitu, Kak? Nggak banyak ngomong? Dia biasanya paling berisik urusan aransemen lagu atau pemilihan lagu.”

“Jarang dateng anaknya. Ini lagi mau aja disuruh ke sini karna minggu depan SundayKnights ada jadwal manggung di acara anak ekonomi. Dan kita kebetulan lagi nggak punya cadangan kalau-kalau Bright mangkir lagi kayak dulu.”

Sepasang mata Win kian membulat, “sampai mangkir gitu??? Kak, gue minta maaf ya gara-gara gue semuanya malah jadi tambah runyam. I will try to talk to him sooner ya, Kak!” sahut Win, yang jujur… merasa tidak enak hati karena sedikit banyak ia ikut campur dalam transisi perubahan mood dan sifat seorang Bright beberapa bulan ke belakang.

“Sebenernya anak-anak juga nggak masalah sih, sama sifat Bright yang emang susah akrab sama orang lain begitu. Dia juga udah janji sama anak-anak UKM kalau dia nggak bakalan cabut-cabutan lagi tiap ada jadwal latihan atau manggung. Jadi lo nggak usah ngomong apa-apa ke dia kalau konteksnya cuma karna lo ngerasa nggak enak ke gue dan anak-anak musik. Kecualiㅡ” Gawin menjeda ucapannya, Win terlihat fokus seraya menanti kalimat apa yang akan keluar dari mulut Gawin selanjutnya.

“... lo emang mau memperbaiki keadaan lo sama dia. Nggak usah mikirin kita-kita lah, Cil. Pikirin aja dulu gimana lo sama Bright ke depannya.”

Hadeh, Kak… Kalau keinginan untuk memperbaiki keadaan di antara kita berdua mah udah ada sejak lama, tapi guenya aja yang nggak punya nyali…, begitu kata hati terdalam Win.

Keduanya sempat larut dalam pemikiran masing-masing sampai Gawin lagi dan lagi jadi pihak yang memecah keheningan lebih dulu. Pemuda itu berdeham pelan, berusaha menarik atensi si adik tingkat.

“Cil,” dan benar saja, Win kembali menoleh.

“Ngomong-ngomong, lo ada keperluan apa dateng ke sini kalau bukan buat ketemu Bright?”

Oh iya. Tuhkan, karena kebanyakan melamun dan bablas menceritakan soal kisah apes dalam hidupnya malah membuat Win lupa akan tujuan awalnya datang ke ruang UKM Musik. Cepat-cepat ia buka tas ranselnya, lalu mengambil sebuah botol air mineral dari dalam sana.

Win mengulurkan tangan kanannya pada Gawin, “mau minta tolong buat kasihin ini ke Bright,”

Sebuah botol air minum mineral berukuran 600ml. Win, jauh-jauh dari lantai 4 gedung 1 Universitas lalu harus naik-turun anak tangga manual menuju ruang UKM Musik yang letaknya ada di belakang gedung 4 Universitasă…ˇ dekat dengan sekretariat dosen dan parkiran motor, hanya untuk memberikan sebuah botol air minum mineral?

Gawin memandang botol tersebut dengan aneh, perlahan-lahan matanya kembali bertukar pandang dengan Win yang ternyata sedang menggigit kecil bibir bawahnya.

“Lo jauh-jauh dari kelas lo ke sini cuma buat ngasihin air minum?” tanya Gawin, yang masih tidak percaya.

Kepala Win bergerak, membentuk dua kali anggukan pasrah. “Ini sebenernya punya dia, lo tau sendiri 'kan, dia anaknya susah banget disuruh minum air putih, maunya minuman berasa terus, nah terus tadi dia ngasih ini ke gue pas di kelas, Kak. Gue nggak enak lah, dia pasti cuma bawa satu botol ini di tasnya.” mau tidak mau, akhirnya Win pun menjelaskan alasan yang sejujurnya.

Tidak ingin menyia-nyiakan effort yang sudah dilakukan oleh si adik tingkat, Gawin tertawa pelan sambil mengambil botol tersebut dari genggaman Win.

“Oke, nanti gue kasihin. Cuma ini aja, nih?”

Win mengangguk, “tapi jangan bilang kalau itu dari gue ya, Kak. Ngeles aja apaan kek gitu, bilang itu lo yang beli di warung belakang atau di lawson atau apapun itu asal jangan bilang dari gue.”

“Kenapa, Cil?”

Untuk kesekian kalinya, Win mendesah berat, “nanti yang ada dibuang ke tong sampah sama dia, Kak...”

Diam-diam dalam hatinya Gawin merasa kasihan melihat Win yang biasanya berisik, hiperaktif dan selalu membuat onar sekarang terlihat begitu clueless dan hopeless. Lantas Gawin menepuk pelan bahu bidang Win, “ngenes banget sih muka lo. Oke, oke, nanti gue kasih. Jangan kayak orang mau nangis gitu dong, Cil. Ntar disangka gue macem-macem lagi sama lo.”

“DIHHH MALES BANGET GUE JUGA DIMACEM-MACEMIN SAMA LO.”

Gawin tertawa lebar, “Canda macem-macem, hahaha. Ya udah sana, masih mau nungguin Bright di sini?”

“Enggak,” setelah memastikan tas ranselnya sudah tertutup rapi, Win segera berdiri dari posisi duduknya. “Kalau gitu gue pamit deh, kelas gue kebetulan kosong seharian ini, jadi bisa deh tuh lo monopoli si Bright buat latihan sampai malem.”

“Enak banget seharian kosong, tapi dia belum bilang apa-apa sih soal jadwal dia hari ini. Gampang lah, ntar gue tanya.”

Win cuma bisa mengangguki ucapan Gawin, lalu hendak melakukan tos akrab dengan si kakak tingkat tapi terhalang kenyataan kalau sekarang pintu ruang UKM Musik sudah terbuka lebar.

Ada Racha si gadis pemegang bass, Guns si pemain drum, Mike yang kadang-kadang dibutuhkan untuk memainkan keyboard lalu ada Bright yang menjadi orang terakhir yang keluar dari sana.

Semua pasang mata kini terpusat pada Gawin dan Win yang saling berhadapan. Tanpa kata, tanpa aba-aba, dua obsidian hazel milik Win terbawa oleh sebuah tarikan yang mengantarkannya pada sepasang obsidian gelap milik Bright. Tidak ada suara yang terucap, tapi Win bisa melihat dengan jelas kalau Bright kini sedang menatap botol minum di dalam genggaman Gawin dan dirinya sendiri secara bergantian.

Terlalu hening, Gawin kembali jadi pihak yang berinisiatif.

Pemuda itu berdiri dari posisi duduknya, “Udah pada laper banget emangnya?” tanya nya.

Semuanya lantas kompak mengangguk. Racha yang berdiri paling pinggir, di dekat Win pun menyahuti dengan kata-kata juga tawa, “Win!!! Udah lama banget gila lo nggak main-main ke sini!!! Apa kabar? Kok bisa di sini sama Gawin?”

“Tau nih, Gawin bukannya tadi mau ke toilet, ya?!” Mike pun ikut-ikutan menimpali.

Guns yang belum buka suara sama sekali akhirnya memilih untuk meramaikan suasana, “Gawin lo pacaran ya sama Win?!!” haduh, si goblok.

Satu kali lagi, Win dapat melihat dengan jelas kalau ada ekspresi yang tidak biasa di wajah Bright. Tapi pemuda itu tetap bungkam, tidak ada niat sedikitpun untuk menumpahkan ucapannya.

Gawin yang mendadak dihardik sedemikian rupa oleh anak-anak cuma bisa menggeleng sabar, sambil sesekali mengelus dada. Lalu tanpa menjawab kicauan Mike dan Guns, ia melangkah menghampiri Bright dan mengulurkan botol air mineral pemberian Win tadi sampai tepat mengenai perutnya.

“Buat lo, dari si bocil.”

Keheningan masih melanda diri Bright. Pemuda itu bergeming, mengabaikan Gawin dan si botol air mineral, lalu melirik Win dengan tatapan tak suka.

“Lo ngapain ke sini?” adalah kalimat pembuka yang Bright berikan untuk Win.

Win yang seolah baru saja mendapat tembakan dadakan cuma bisa mengerjapkan mata, bingung. Secara refleks, ia melirik Gawin memohon bantuan.

“Bright, ambil dulu anjir, tangan gue pegel.” kata Gawin, yang berhasil mengumpulkan kembali kewarasan Bright. Lagi, tanpa suara dan tanpa kata, Bright meraih botol air mineral tersebut dari tangan Gawin lalu menggenggamnya cuek.

“Win dateng ke sini tuh buat nganterin minum untuk temen lo lo pada yang satu ini,” Gawin merujuk ucapannya ke arah Bright, sedangkan yang ditunjuk hanya memilih diam seribu bahasa. “Ya udah, kalau udah pada laper mendingan sekarang kita cabut. Keburu jam istirahat makan siang, nanti rame dan kita nggak dapet meja.” sambung Gawin sambil mengambil langkah untuk berjalan di depan.

Ogah menjadi sumber tatapan dan tanda tanya dari Racha, Mike dan juga Guns, Bright akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih dulu dan mengikuti Gawin dari belakang. Masih sambil menggenggam botol air mineral, setidaknya Win bisa sedikit bersyukur karena Bright tidak membuangnya ke tempat sampah.

Mike dan Guns yang kepalang bingung dengan situasi yang terjadi pun juga memilih untuk bergegas melangkah menuruni anak tangga. Meninggalkan Racha yang tangannya mulai melingkar di lengan kiri Win, lalu menariknya pelan, “Win, ikut makan siang sama kita, yuk!”

Well, memangnya Win bisa menolak? Racha langsung menarik tangannya dan mengajaknya menuruni anak tangga, bahkan sebelum Win sempat membuat keputusan apa-apa.

. . .

Gawin itu bukan cenayang, tapi entah kenapa ucapan-ucapannya terlalu sering masuk ke dalam kategori akurat yang bahkan teman-temannya sendiri pun percaya nggak percaya.

Pasalnya, warung nasi ayam bakar Pak Slamet yang lokasinya ada di komplek belakang kampus, bersebelahan dengan kost-an campuran dan dekat dengan tempat laundry terkenal di kalangan anak-anak angkatan 2016 sampai sekarang itu kini sudah terpenuhi semua mejanya.

Win, Bright, Gawin, Racha, Mike dan Guns baru saja menempelkan bokong masing-masing di atas bangku plastik sekitar tujuh menit lalu, bahkan untuk memilih menu untuk disantap siang itu pun belum sempat. Suasana warung yang awalnya sepi, kosong melompong, tentram dan damai itu kini sudah agak sedikit ribut karena banyaknya mahasiswa yang datang ke sana.

Gawin sibuk memegang satu kertas menu, matanya bergulir ke atas ke bawah hanya untuk memilih makanan apa yang bisa ia nikmati kala itu. Racha sudah siap dengan buku kecil dan pulpen bertinta biru di tangannya, menunggu aba-aba untuk segera mencatat menu yang akan mereka makan. Mike juga sibuk, tubuhnya menunduk dan sesekali ia tertawa saat kucing oren yang ada di bawah kakinya mengeong kecil ketika diusap kepalanya. Sedangkan Guns sedang fokus mengibas-ngibaskan tangannya di atas meja guna mengusir lalat yang bisa datang kapan saja mengganggu mereka.

Win seketika merasa canggung, apalagi Gawin sengaja menyuruh Bright untuk duduk di sebelahnya. Sebenarnya, mereka sudah biasa makan bersama seperti ini, tapi dulu… ketika Win masih cukup bisa dibilang waras sebelum melakukan tindakan konyol yang merusak pertemanannya dengan Bright.

Dulu juga mereka selalu duduk bersebelahan, berbagi sambal yang disajikan dalam satu mangkuk kecil lalu Win akan dengan senang hati menghabiskan lalapan milik Bright, karena pemuda itu tidak menyukai sayur-sayuran.

Tapi sekarang semuanya terasa aneh, dan juga dingin. Tidak ada yang bisa Win lakukan selain mengulum bibirnya sendiri dalam keputusasaan. Kedua tangan yang tersembunyi di wajah meja justru sibuk meremat satu sama lain, mencari kesibukan, menjemput distraksi yang tak mempan.

Sampai akhirnya suara deheman Gawin berhasil mengusir rasa canggung di hati Win. Sosok tertua di antara mereka berenam itu tidak lagi memegang kertas menu, jari-jari tangan kirinya bergerak cepat di atas meja membentuk ketukan yang terkesan buru-buru.

“Selain gue, ada lagi yang mau pesen lele?” tanya nya.

Mendengar kata lele, Guns yang awalnya sibuk mengusir lalat kini tergiur untuk mengangkat tangan. Pemuda berambut sedikit gondrong itu tersenyum lebar, “gue mau, dong!!! Udah lama nggak makan lele, hahay.”

Di sisi lain, Racha mulai menuliskan pesanan Gawin dan Gunsă…ˇ pecel lele, di sebuah buku kecil.

“Yang lain berarti ayam goreng kayak biasa, nasinya nasi uduk, taburan bawang gorengnya banyak, lalapannya banyakin timun, kalau bisa ayamnya bagian dada. Fix, ye?” tanya Gawin satu kali lagi, berusaha memastikan.

Mike mengangguk-angguk, begitu juga Bright yang pasrah dengan apa saja yang akan dipesan oleh si kakak tingkat.

Lirikan mata Gawin beralih pada Win yang sedari tadi tidak buka suara sama sekali, “lo mau ayam goreng juga, Cil? Biasanya 'kan lo mesennya ayam bakar, bagian paha?”

Variasi olahan ayam kesukaan Win memanglah ayam bakar, tapi kali ini pemuda itu menggeleng dengan mantap, “samain aja, Kak. Ayam goreng, bagian dada.” sahut Win.

Oke, karena perut sudah terlanjur keroncongan dan cacing-cacing yang tinggal di sana sudah kepalang berdemo, akhirnya Gawin memantapkan final menu makan siang mereka dengan enam gelas es teh manis dan tiga gelas es jeruk (untuk siapa cepat, dia dapat).

Buku kecil yang sejak tadi dipegang Racha juga sudah diambil oleh istri dari Pak Slamet, dan masing-masing dari mereka berenam pun kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing sambil menunggu. Semua meja di warung Pak Slamet menciptakan keramaian tersendiri, hanya meja yang dikomandoi oleh Gawin lah yang hening tanpa ada guyonan dan semacamnya.

Racha sibuk dengan ponselnya, Mike kembali sibuk dengan kucing oren yang menempel di kaki kirinya lalu Guns juga sibuk mengusir lalat yang semakin lama semakin banyak datang mengerubungi. Ketika Gawin hendak mengalihkan atensi pada dua anak adam yang sedang dirundung gelisah, istri Pak Slamet lebih dulu membunuh keheningan dengan datang ke meja mereka sambil menaruh dua lilin menyala di atas sana.

Setelah mengucapkan terima kasih, istri Pak Slamet pun beranjak dari jarak pandang mereka. Kali ini, Gawin sungguh-sungguh dibuat tidak tenang dengan situasi dan tensi yang tercipta di antara dua adik tingkatnya itu.

Alhasil, mau tidak mau Gawin buka suara. Diawali dengan sebuah deheman pelan, bukan cuma Bright dan Win yang merasa terpanggil tapi juga Racha, Mike dan Guns yang sekarang kembali membawa fokus mereka pada si kakak tingkat.

Ya udah, gas aja lah, daripada gue makan dalam keadaan overthinking ye kan, begitu sekiranya Gawin bergumam di dalam hati.

Gawin menatap Bright dan Win bergantian. Bright, Win, Bright, Win, dan ketika Gawin hendak mengembalikan atensinya pada Bright, pemuda itu lebih dulu berdecak sambil menatap datar si kakak tingkat.

“Ngapain sih ngeliatin gue kayak gitu?” tukas Bright, yang dibalas dengan senyum singkat oleh Gawin.

“Balikan, dong.”

Otomatis, kedua bola mata Win membulat sempurna. Gawin ini, memang tipikal kakak tingkat cenayang dan mak comblang gagal di waktu yang bersamaan. Beda dengan Bright, pemuda itu seolah tidak kaget apalagi terganggu dengan kalimat Gawin barusan. Alih-alih memasang ekspresi speechless, ia justru menarik kedua ujung bibir tipisnyaă…ˇ menghadirkan sebuah seringai di sana.

“Apaan balikan, ditembaknya aja cuma buat menuhin dare dia sama temen-temennya.”** begitu jawaban Bright, yang diam-diam mengundang perhatian Racha, Mike dan Guns.

Win, selaku pihak yang sedang dijadikan bahan sindiran pun cuma bisa menghela nafas pelan. After a long time, sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk meluruskan semuanya.

Lantas dengan kepercayaan diri penuh, eh nggak deh, dengan tingkat kepercayaan diri yang bahkan tidak menyentuh 60%, Win pun menoleh ke sisi kiri dimana Bright duduk di sana, di sampingnya. Pemuda yang baru saja menyindirnya itu masih menatap ke arah Gawin, seolah tidak perduli dengan sepasang obsidian sayu yang terpusat kepadanya.

Masih dengan meremat jari-jemarinya di bawah meja, Win menyuarakan kata-kata yang sudah lama terpendam di ujung lidah.

“Bright, yang waktu itu emang pure dare, tapi cuma sebatas buat nembak lo di depan umum doang. Kalau soal perasaan, lo tau sendiri jawabannya, lo tau gimana selama ini perasaan yang gue punya buat lo.”

Bukannya menatap balik apalagi menjawab, Bright justru mengukir seringai lain di wajahnya. Lebih gelap, lebih dalam.

Decakan pelan menerobos keluar dari ranum merah muda pemuda itu, “Bang, would you ever believe in someone who once broke your trust into pieces?” tanya Bright, telak, yang tanpa sadar membuat jantung Win semakin berdegup tidak karuan.

Gawină…ˇ si yang disodori pertanyaan, cuma bisa tersenyum sambil mengangguk maklum. Dalam hati ia mengamini, kalau ternyata permasalahan dua adik tingkatnya ini ternyata dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang rusak.

Secara tidak langsung, Gawin serasa ditarik ke masa lalu dimana ia pernah mendapatkan pertanyaan serupa. Apakah kamu bisa mempercayai seseorang yang dulu pernah menghancurkan kepercayaanmu? Dan kalau Gawin tidak salah ingat, jawabannya di kala itu adalah, tidak.

“Jadi lo pernah nembak Bright di depan umum, Cil?” tanya Gawin.

“Sekalian aji mumpung buat bikin gue malu juga, kali.” lagi lagi Bright menyahut, tampaknya pemuda itu sudah tiba di batas sabarnya.

Win yang semakin merasa terpojok cuma bisa mengangguk pasrah. Rasa penyesalan yang dulu sempat ia rasakană…ˇ empat bulan lalu, ketika Bright berbalik memunggunginya dan pergi menjauh, di saat yang sama juga Win menyesali segala perbuatannya kini datang memenuhi rongga dadanya.

Terlalu keras meremat tangannya di bawah meja, Win tidak sadar kalau buku-buku jarinya mulai ikut bekerja. Hingga ketika Pak Slamet datang ke meja mereka sambil membawa 9 gelas minuman, suara rintihan pun mengudara.

Spontan, Bright melirik ke sisi kanannya dan memutar jengah kedua bola mata begitu ia dapati Win sedang mengipas-ngipas tangan kanannya yang terluka. Sela-sela jari tengah dan jari telunjuk Win mengeluarkan darah, kemudian dengan cepat Bright meraih tangan Win, menggenggamnya.

Bright mengambil satu lembar tissue yang tersedia di atas meja, lalu menutupi jari-jari yang terluka itu agar cairan darah tidak menetes terlalu banyak. Guns yang agak phobia dengan darah cuma bisa memejam, Mike yang duduk di samping kiri Bright tanpa sadar ikut meniup-niup udara seolah sedang meniupi jari Win yang terluka. Racha terlihat sibuk mengacak-acak totebag-nya untuk mencari hansaplast, sedangkan Gawin sibuk menggeser satu persatu gelas es teh manis di atas meja.

Setelah dirasa darah tidak lagi menetes banyak, Bright mengantongi tissue itu di saku celana jeansnya dan mulai membawa kedua jari Win ke mulutnya. Tanpa rasa jijik sedikitpun, pemuda itu menghisap jari-jari Win, berusaha membersihkan sisa darah yang mungkin saja belum keluar seutuhnya.

Rasa logam dan bau yang sedikit anyir mulai mendominasi mulut Bright. Tidak lama setelah itu, ia berdiri dan mencari selokan terdekat untuk membuang saliva yang sudah bercampur dengan darah Win.

Win, terdiam di tempatnya.

“Win, ini, cepet dipakai hansaplast nya.” kata Racha, sambil memberikan satu lembar hansaplast pada Win.

Dengan senyum canggung di wajahnya, Win pun mengambil hansaplast tersebut dari jangkauan Racha, “makasih banyak ya, Cha.”

“Santai, sama-sama, Win...”

Hilangnya eksistensi Bright selama beberapa menit membuat Mike kini bisa melihat Win dengan jelas. Jari-jari Win masih merah, tapi tidak lagi mengeluarkan darah seperti sebelumnya. Tanpa sadar, Mike meringis pelan, “sakit nggak, Win?”

Belum sempat menjawab, kepala Mike lebih dulu dihadiahi jitakan keras oleh Bright yang entah sejak kapan sudah berdiri di balik bangkunya. Sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, Mike pun memberi ruang agar Bright bisa kembali duduk di tengah-tengah dirinya dan juga Win.

Jika Bright bisa bersikap gentleman, di lima menit yang lalu, maka sekarang Bright sudah kembali menjadi Bright yang dingin, tidak tersentuh, tidak terbaca.

Win diabaikan, lagi. Bright lebih memilih untuk menenggak es teh manisnya, tanpa perduli kalau sosok yang duduk di samping kanannya tengah memohon perhatiannya.

Gawin baru selesai menenggak es jeruknya, pemuda itu kembali melirik Bright dan Win bergantian. Dan ketika atensinya menelisik Win lebih lama, Gawin berujar, “he cares about you.”

Oh tentu saja Bright tidak terima, “nggak usah ngetwist aksi gue barusan. Gue cuma nggak suka sama orang yang ceroboh, apalagi orang itu ada di deket gue sekarang.” sahut Bright, penuh dengan penekanan.

Win? Bagaimana dengan anak itu? Bagaimana dengan hatinya?

Hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan suasana hati Win saat ini, and there's no words other thană…ˇ malu.

Bright seolah sedang mempertanyakan hatinya. Pemuda itu bahkan menginjak-injak perasaannya.

Susah payah Win menelan salivanya, “bisa nggak sih intonasi bicara lo nggak kasar kayak gitu ke gue?”

Suara Win agak sedikit meninggi, Bright akhirnya menoleh.

Keduanya bertatapan, canggung dan dingin.

Satu alis tebal Bright bertaut, hendak membalas ucapan Win barusan tapi lagi dan lagi pemuda manis itu mencuri start.

“Gue mau meluruskan semuanya. Gue mau minta maaf ke lo, Bright. Tapi lo malah kayak gini.”

Bukan cuma meja yang ditempati mereka berenam yang mendadak hening, tapi juga meja-meja lain serta Pak Slamet yang sedang menata beberapa piring di atas baki pun ikut menjemput hening.

Belasan pasang mata terarah pada keduanyaă…ˇ yang masih sama-sama saling menatap dari dua kutub yang berbeda, bertolak belakang.

Bright masih diam, ia tidak menyediakan waktu untuk meladeni segala kata yang terucap dari mulut Win.

“Sejak hari itu gue mau jujur ke lo, kalau dare-nya Pawat cuma sebatas nembak lo di depan umum. Dan setelah lo ngasih jawaban, gue harus langsung tegasin that it was a fucking dare, dan gue sama sekali nggak nyangka kalau lo akan nerima pernyataan cinta palsu gue saat itu. If i ever hurted you, i am sorry… I am deeply sorry, i didn't mean to hurt you that way.”

Win berusaha mengatur nafasnya, berusaha mengatur degup jantungnya yang bertalu-talu di atas ambang normal. Dan diamnya Bright, menjadi tamparan tersendiri bagi Win.

Bright, tidak perduli atas permintaan maafnya.

“Bright,”

Kali ini Bright berdecak, didominasi oleh rasa tidak suka.

“There's no way for me to give all my trust to you, dumbass.” diucapkan dalam satu kali tarikan nafas, Bright bersiap dengan kalimat keduanya, “all you do is lie and all the words coming from your mouthㅡ” Bright mengusap pelan bibir bawah Win, lalu menjauhkan ujung jarinya dengan cepat, “they're all lies.”

“Lagian, mana ada sih orang yang suka main-main kayak lo bisa serius? Kalau gue percaya sama lo, namanya gue orang gila.”

Kata-kata yang terlontar dari mulut Bright rasanya sudah keterlaluan. Gawin yang merasa situasi semakin tidak terkendali pun angkat suara, “Bright, udah, you're too much.”

Tapi, apa Bright perduli? Tidak, pemuda itu melebarkan senyumnya, senyuman penuh intimidasi.

Dihisapnya ujung sedotan dari gelas berisi es teh manis miliknya, kemudian tanpa mau repot-repot melirik ke sisi kanan, Bright kembali mengucapkan satu kalimat.

Satu kalimat, yang Win berjanji akan jadi kalimat terakhir dari mulut Bright yang akan ia dengar.

“Lo nggak dibutuhkan di sini, lo bukan bagian dari kita dan lo bukan siapa-siapa buat gue jadi gue mohon dengan sangat, lo pergi dari hadapan gue.”

. . .

Satu bulan.

Satu bulan sudah berlalu sejak terakhir kali Win berada di radius yang dekat dengan Bright. Selama itu pula mereka duduk berjauhan ketika di kelas, tidak saling bicara, bahkan mungkin saling tidak menganggap keberadaan satu sama lain.

Jika ada jam kosong dadakan atau saat jam istirahat tiba, Bright akan mengasingkan diri ke ruang UKM Musik. Sedangkan Win, pemuda itu akan berpura-pura tidur di bangkunya guna menghindari ajakan Pawat dan PP untuk melakukan eksplorasi makanan dan jajanan ringan di belakang kampus.

Sudah satu bulan lamanya kelas tidak diwarnai oleh guyonan dan aksi konyol Win. Sudah satu bulan Pawat gagal memancing sahabatnya itu untuk membuat keributan di kelas. Semuanya berubah, Win terlalu segan untuk buka suara apalagi jika harus di depan Bright.

Win, tidak penting.

Keberadaannya, tidak dibutuhkan.

Win, tidak penting.

Pertemanan antara dirinya dan Bright, tidak lagi punya makna berarti.

Kata-kata yang diucapkan Bright satu bulan lalu masih melekat erat dalam memorinya. Bagaimana Bright menegaskan rasa tidak sukanya pada Win, semuanya masih terasa begitu jelas, seolah baru kemarin terjadi.

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Win sudah kehabisan cara, bagaimana ia bisa mendapat maaf dari Bright?

Sudah satu bulan berlalu, dan Win tidak pernah tidur nyenyak sama sekali. Bright marah sekali, Bright semarah itu padanya. Win sudah tiba di jalannya yang buntu, bahkan untuk putar balik pun ia tidak bisa, ia tidak berani, ia tidak punya muka.

Dua minggu lalu Bright mengalami kecelakaan motor. Tidak begitu parah (begitu kata Janhae, si ketua kelas) tapi cukup membuat pemuda itu harus berjalan dengan kruk.

Setiap hari harus naik dan turun tangga dengan susah payah, tanpa adanya bantuană…ˇ semua orang terlalu segan, tidak mau membuat pemuda itu marah.

Sampai akhirnya mereka tiba di hari ini.

Kamis kelabu, langit di luar tampak gelap dan bunyi gemuruh mulai saling sahut menyahut dari balik awan. Hari ini tanggal delapan belas, waktu sudah menginjak jam lima sore ketika ruang kelas semakin lama semakin kosong.

Menyisakan Bright seorang diri, yang harus bersusah payah memposisikan diri di tengah kedua kruk di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Ketika dirasa sudah siap untuk melangkah, perlahan-lahan Bright berjuang untuk menggeser kruk-nya sedikit demi sedikit, sampai tiba di ambang pintu.

Lalu harus berusaha lagi, dengan lengannya Bright sebisa mungkin mendorong pintu kelas agar terbuka. Tetapi di luar dugaan Bright, pintu di depannya kini terbuka dan menampilkan Win dengan wajah tanpa ekspresinya di sana.

Win membuka pintu lebar-lebar, “watch your steps,” katanya.

Tapi Bright bergeming. Tidak mau bergerak seinci pun.

Pikiran Bright kian berantakan. Apakah Win menunggunya? Apakah Win benar-benar perduli padanya kali ini?

“Bright,”

Yang dipanggil hanya menoleh, jantungnya berdegup cepat.

Menyadari kalau Bright mungkin saja ragu padanya, Win pun melangkah mendekat. Dengan sepasang mata yang berkaca-kaca, ia berhenti beberapa sentimeter di hadapan Bright.

Menatap pemuda itu sungguh-sungguh, “i am sorry for what i have done back then, lo berhak kecewa sama gue, lo berhak marah sama gue, lo berhak nggak percaya sama semua kata-kata gue, tapi gue mohon satu kali ini aja, trust me, i will walk behind you and watch your steps, i won't let you fall again, let me help you,”

Bright masih diam, masih tidak percaya.

Win menghela panjang nafasnya, satu tetes air mata jatuh membasahi pipi.

Dengan mata yang mulai memerah, Win kembali berucap, “harus dengan cara apa lagi gue minta maaf, Bright? Harus kayak gimana lagi gueㅡ”

CUP,

Kalimat Win lagi dan lagi tertahan di ujung lidah. Mulutnya dibungkam oleh mulut Bright, seolah-olah pemuda itu tidak mau dengar kelanjutan dari kata-kata Win.

Bright tahu kalau Win menyayanginya. Tapi sejak insiden dare yang dilakukan pemuda itu, Bright jadi meragukan perasaan Win. Apalagi ketika Win tertawa lebar setelah kata *'mau, gue mau jadi pacar lo' terlontar dari bibir Bright, lalu Win menepisnya dengan kalimat yang berhasil menjatuhkan Bright ke dasar jurang;

“It was a dare, Bright...”

Yang malah membuat Bright menganggap semuanya adalah sebatas dare, termasuk perasaan yang selama ini secara blak-blakan Win tunjukkan padanya. Sejak saat itu, Bright tidak percaya pada siapapun lagi, terutama Win. Semua yang dilakukan oleh Win, adalah bohong. Semua kata-kata yang terucap dari bibir Win, adalah bohong.

Setidaknya itu yang Bright percayai sampai hari kemarin. Tapi tidak dengan hari ini.

Di hari Kamis ini Bright menghancurkan dindingnya sendiri, ia mau untuk belajar percaya pada Wină…ˇ si pemuda yang senang bermain-main.

Bright menjauhkan bibirnya dari bibir Win, keduanya kini bertatapan dalam.

Win tersenyum, ditangkupnya kedua pipi Bright yang tampak pucat. Win mengelusnya penuh sayang, membuat Bright hanyut dalam pergerakan tangan halus itu.

“Maafin gue, Win...”

Win mengangguk, “maafin gue juga, ya?”

Bright memiringkan wajahnya satu kali lagi, mencuri satu ciuman panjang di bibir Win, “from now on, would you keep my trust?” tanya Bright.

“And my whole heart?”

Win mengecup sudut bibir Bright, lalu tersenyum sambil mengangguk, “thank you for giving me a second chance,”

“I love you, galak,”

Bright terkekeh, lalu merengkuh tubuh Win meski dengan kehadiran dua kruk di tengah-tengah mereka, “i love you too, anak bar-bar.”

. . .

written by : JEYI (210318).