True Love; The Soul; Gabriel.
“Aku baru sadar, ternyata mau sampai kapanpun, perasaan semacam ini akan selalu tinggal di dalam sini. Iya, aku akan selalu merasa kalah dari Mas Joss, masa lalu kamu.”
Prompt requested: jealous!bie over mas joss. prompter: @briwinniee Pair: josswin (kilas balik) x brightwin
Enjoy!
“Dia nggak angkat telfon kamu juga, Joss?”
Pusing.
Satu kata; pusing.
Tiada hentinya Win mondar-mandir sambil menatap layar ponselnya dengan perasaan gelisah. Sesekali matanya melirik ke arah pintu, menunggu kehadiran sesosok orang yang sejatinya adalah penghuni utama unit apartemen yang kini ia pihak dengan kedua kakinya. Ketika sedang bingung, Win kerap kali menggigit dan mengulum bibir bawahnya. Satu kebiasaan Win yang satu itu tak akan pernah luput dari memori Joss, diam-diam ia terkekeh melihat Win terjebak dalam kebingungannya.
Joss memilih bersandar di ambang pintu kamar milik Win dan Bright, kedua tangannya terlipat di depan dada.
“Sayangnya direject terus. Kamu udah coba chat Iyel?” kata Joss, mengembalikan pertanyaan yang serupa tapi tak sama kepada sang lawan bicara.
Win menggeleng pelan, “udah, tapi nggak ada satupun yang direspon. Jangankan dibales, dibaca juga belum.” ujarnya.
“Emang awal ceritanya gimana sih, Win? Kok bisa Iyel sampe cabut begitu?” Joss mencoba untuk menenangkan suami dari adiknya itu dengan mendorong pelan tubuh semampai Win dan membawanya duduk di sofa ruang tengah. Ia pun ikut duduk di sana, “Jujur, aku juga sempet kaget pas kamu tiba-tiba nelfon dengan nada panik dan bilang kalau Iyel ngambek terus cabut begitu aja.”
“So, what just happened before I came here?”
Win mengusap sesaat wajahnya yang terlihat cukup frustasi, lalu menatap Joss dengan sepasang mata bulatnya.
“I just told him that i want you to talk to the little cherry inside and byaaaar then he just walked away…”
“Sorry Win but, you… what???”
Win melengos pelan, “iya, aku bilang ke Iyel kalau aku mau kamu kesini, terus ajak ngomong diaㅡ” disentuhnya perut yang mulai membesar di balik hoodie hijau army “Joss, i swear to God, aku juga nggak tau kenapa aku tiba-tiba pengen kamu ajak komunikasi adeknya Biel tapi demi Tuhan aku bener-bener butuh itu sekarang,”
“Stupid me, the request is just too crazy it might hurt him…”
Hati Joss mencelos begitu mendengar jawaban Win. Setelah tahun demi tahun berlalu, usaha demi usaha turut dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan keadaan, kali ini Win baru saja melayangkan permintaan yang sangat di luar dugaan siapapun. Terlihat sosok manis itu merasa begitu putus asa, bingung dengan keinginannya sendiri yang terasa amat mendesak, namun di sisi lain Joss paham mengapa adik nakalnya merajuk dan memilih pergi… mungkin untuk menenangkan diri.
Ia lantas melirik perut Win yang belum begitu besar namun cukup terlihat jelas dari jarak sedekat ini. Seulas senyum pahit terukir di sudut bibirnya.
“I am sorry for everything I have done, Win.”
Win memejamkan matanya kuat-kuat. Dengan mata yang sedikit berair, ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangan kirinya dengan lembut mengusap sisi perutnya yang besar namun bersembunyi di balik kain.
Ia benci arah pembicaraan ini.
Ia benci kembali pada fase ini.
“Jangan minta maaf, karena saat itu pun aku juga melakukan kesalahan. Joss, sumpah aku sudah ikhlas, aku bersumpah Biel itu segalanya buat aku, aku bersumpah sedikitpun aku nggak pernah mempermasalahkan lagi masa lalu aku sama kamu, tapi… aku bener-bener nggak tau dan nggak habis pikir kenapa aku bisa punya permintaan konyol semacam ini yang, arghhh… Damn Joss, Bright must be really mad at me.” Win menyeka setitik air mata yang turun mengalir di pipinya, “aku juga nggak mau kayak gini.”
“Win, boleh aku tanya sesuatu ke kamu?”
Win tidak langsung menjawab, namun kepalanya mengangguk secara perlahan.
“How many times do you wish I could talk to the little Biel back then, while he was still in the womb?”
Tidak ada jawaban. Yang ditanya kini terdiam.
Situasi mendadak jadi melankolis. Hubungan keduanya mungkin sudah berakhir sejak lama. Lamaaaaaa sekali, sampai rasanya tak tersisa sedikitpun sisa-sisa rasa dan harapan yang nyatanya sudah pupus di detik pertama ketika Joss pergi meninggalkannyaㅡ dulu. Namun, ada satu hukum alam di luar kesanggupan manusia yang mungkin saja bisa terjadi di waktu yang tak pernah diduga-duga.
“Win,”
“Hm?”
“How many times do you wish I could talk to our son back then, while he was still in the womb?” Joss mengulang pertanyaannya, kali ini ia mempertegas status Biel sebagai anak kandung mereka.
Win menghela panjang nafasnya, “Setiap hari. Setiap hari Joss, setiap hari aku harus buang rasa malu aku ke Tuhan dan minta supaya kamu bisa datang dan ajak anak kamu bicara. The way I wished he could hear your voice during his hard days… everyday was really hard and hurt for him back then, but still, you weren't there. You didn't make it at all, Joss.”
Tebakan Joss benar. Mungkin, ini adalah bentuk proyeksi pikiran dari apa yang pernah terjadi dulu. Tuhan memang Maha Kuasa. Hingga takdir yang dipermainkan seperti ini pun, sebagai manusia kita tak dapat untuk menghindarinya.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Win kembali menaikkan permintaan yang sama dan kali ini semesta mengizinkan Joss untuk hadir di sini. Win tidak perlu lagi menangis menahan pilu betapa ia kehilangan di masa lalu. Betapa ia mendambakan kesempatan yang terasa mustahil kala itu.
Tapi masalahnya, this little cherry is Biel's. Bukan lagi tanggung jawab Joss seperti sedia kala.
“Win, ini mungkin jawaban atas semua doa-doa kamu dulu. I am so sorry that i couldn't make it at that time, dan aku harus minta maaf lagi kali ini karena aku nggak bisa. Aku nggak bisa Win, the baby is Iyel's.”
“Please, Joss?”
Kali ini Joss tidak memberikan jawaban. Win yang sudah di ambang putus asa, kini membuka mata dan memohon lewat sorot haz cokelatnya.
“Kamu cuma perlu sapa dia aja, aku nggak minta lebih… Please, Biel nggak bisa dapetin ini waktu dia masih ada di dalam kandungan, just don't make his sister have to feel the same way. I beg you…”
Win menangis. Ia dilema dengan permintaannya sendiri. Hatinya terasa ditusuk benda tajam, ketika memorinya terbang menelisik kejadian beberapa tahun silam dimana ia harus menanggung kesakitannya sendiri karena little Biel tidak bisa mendapatkan haknya sebagai seorang anak secara utuh.
Rasanya… ia seperti dipaksa pulang menembus ruang dan waktu. Kembali ke masa lalu, dengan luka yang besarnya masih terasa sama.
“Okay, you don't have to do this,” kata Win sambil menyeka air matanya, “dari dulu, aku sudah menanggung semuanya sendirian. Nggak apa-apa, jangan dipikirin ya, Joss.”
“Win, bukan begitu maksud aku.”
“Nggak apa-apa,” dengan bersusah payah, Win berusaha untuk bangun dari sofa dan hendak melangkah menuju kamarnya. “Aku mau istirahat, kalau kamu nggak sibuk, tolong bantu aku untuk telfonin Bright lagi.”
“Win,”
“It's okay Joss, it's okay…”
Rasa bersalah kini memenuhi seluruh ruang dalam hati Joss. Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Win dan mengajaknya beranjak ke arah pintu utama apartemen.
“Kita jemput Iyel sama-sama, ya?”
“How? Where?”
Joss membuka pintu apartemen, dan mengambil access card dari sana. “Kamu ikut aja, kamu bisa bawa pulang adik aku nanti.”
Rumah Mami.
Tidak ada lagi tujuan lain selain rumah Mami.
Joss sebenarnya juga nggak yakin kalau Bright kabur ke sini. Tapi, nggak bisa dipungkiri kalau tempat ini adalah tujuan ternyaman untuk melarikan diri.
Kedatangan Win dan Joss disambut oleh sang pemilik rumah bersama cucu laki-laki kesayangannya, Gabriel. Biel kecil yang bersorak kegirangan melihat kedatangan kedua orang tuanya pun dengan spontan naik ke dalam gendongan sang ayah.
“You guys are in danger, I think…” Biel kecil berbisik sambil menatap Win yang tak mampu menyembunyikan mata sembabnya. “Papa, are you crying?”
“Is your Papi here, darling?” Joss memilih untuk mengambil alih keadaan. Mendengar sang Daddy bersuara, Biel langsung mengalihkan atensinya kepada Joss.
Pemuda kecil itu mengangguk, “Papi sedang duduk sendirian di taman belakang. He was crying the moment he arrived here, Daddy nakal ya sama Papi???”
Joss tertawa kecil lalu menjawil hidung mungil Biel, “Where's Oma?”
“In the kitchen!”
“Jagoan neon, do you want to play PS5 with Daddy?”
Dengan cepat Biel kecil mengangguk kegirangan. Lantas dipeluknya leher jenjang Joss penuh antusias. “Let's go Daddy!!!”
Joss mengelus gemas surai lembut sang buah hati, lalu melirik Win yang masih berdiri gelisah di sampingnya. Ia lantas menepuk bahu kanan Win sebanyak dua kali, “you go there, make it clear with him.” dan tanpa butuh waktu lama, Joss langsung beranjak meninggalkan Win bersama dengan Biel kecil dalam gendongannya.
Win masih berdiam diri di posisinya.
Harum semerbak masakan Mami tercium dari sudut kiri rumah.
Matanya dengan gusar melirik ke sisi kanan, ada connecting room di sana yang menggabungkan ruang tengah dengan akses menuju taman belakang dan area pool.
Win mengambil nafas dalam-dalam, sebelumnya pada akhirnya ia memantapkan diri untuk menghampiri sang suami yang ternyata benar kata Biel, sedang duduk di sana sambil melamun seorang diri.
Bright bahkan mungkin tidak menyadari kehadirannya yang terkesan tiba-tiba. Namun mau tidak mau, Win tetap mengambil posisi duduk di samping lelakinya itu.
“Hey,” Win mencoba untuk membuka obrolan.
Tapi nihil, tidak ada balasan dari sang terkasih.
Mood seseorang yang tengah mengandung memanglah menyebalkan. Win amat sangat membenci dirinya yang terlalu sensitif seperti ini. Hormonnya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Baru diabaikan Bright satu kali saja, rasanya ia ingin menangis meraung-raung. Ada bagian kecil di balik dadanya yang tergores.
“Bie,”
Tetap, Bright memilih untuk bungkam.
“Kamu pasti kecewa banget sama aku, dan aku paham, aku sama sekali nggak membenarkan permintaan aku yang nggak masuk akal itu. Bie, aku bener-bener minta maaf…”
Belum ada jawaban.
Win kembali berdiam di ujung jurang. Ia putus asa, berhadapan dengan kenyataan bahwa Bright amat sangat kecewa padanya ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.
Tenaganya habis.
Tidak ada lagi yang bisa Win lakukan selain menunduk dan menitikkan air mata.
Keduanya terdiam.
Bright terus membiarkan semilir angin jadi satu-satunya sumber yang hidup di tengah kehampaan yang membelenggu.
“Kamu tau nggak, Mas?”
Dan akhirnya si yang lebih muda pun buka suara.
Win dengan cepat melirik dan memilih untuk tetap mendengarkan dalam diam.
“Ternyata aku masih jauh sekali dari kata ikhlas untuk menerima fakta kalau Mas Joss adalah ayah kandung Biel,”
“Aku masih jauh sekali dari kata ikhlas, untuk menerima fakta kalau kamu adalah orang yang disakitin sama Mas Joss sebegitu parahnya sampai kamu menderita luar biasa.”
“Aku mungkin terlihat bisa menerima, aku mungkin terlihat biasa-biasa aja selama ini dalam menjalani hidup dan rumah tangga kita, tapi ternyata aku baru sadar… aku baru sadar hari ini kalau ternyata rasa sakit dan kecewa itu masih ada.”
“Masih ada sampai rasanya aku malu bertanya sama diri aku sendiri, apakah kamu benar-benar memilih aku atau enggak.”
Win bukan lagi seseorang yang gelisah dan ketakutan di sana. Seluruh kata yang terucap dari bibir Bright menjadi pertanda betapa pemuda itu juga terbelenggu dalam rasa kalutnya sendiri.
Win menatap Bright dengan sedih, “kamu masih meragukan aku, Bie?”
“Nggak, sama sekali enggak. Tapi aku juga nggak bisa membohongi diri, kalau sampai kapanpun, perasaan semacam ini akan selalu tinggal di dalam sini. Iya, aku akan selalu merasa kalah dari Mas Joss, masa lalu kamu.”
“Aku juga nggak ngerti Mas, kenapa rasanya sakit. Sakit banget. Maaf, aku memilih pergi tiba-tiba tadi. Maaf aku ninggalin kamu di apartemen begitu aja.”
“Bright, denger aku,”
“Nggak, Mas. Kamu nggak perlu meluruskan apapun, aku juga nggak harus meluruskan apapun karena perasaan kita berdua valid. Aku paham banget, mungkin kamu minta Mas Joss untuk ajak ngobrol anak kita karena dulu kamu pernah mengharapkan hal yang sama untuk Biel, tapi sayangnya itu nggak bisa terwujud. Jadi aku sama sekali nggak menyalahkan kamu, ketika permintaan yang sama ternyata masih ada bahkan ketika tahun demi tahun sudah berlalu. Nggak Mas, aku nggak nyalahin kamu sama sekali.”
“Aku cuma kecewa sama diri aku sendiri, kenapa aku berpikiran kayak begini. Kenapa aku ngerasa marah dan kecewa kayak sekarang. Seharusnya aku nggak begini, kan? It's just that Mas Joss will talk with our baby, terus salahnya dimana?”
“Iya, salahnya di aku yang masih selalu merasa minder. Aku selalu merasa kurang cukup, belum maksimal untuk merjuangin kamu. Maaf, ya, Sayang…”
Win pun tidak bisa menyalahkan Bright atas apa yang dirasakannya. Win juga tidak bisa menyalahkan keadaan yang terasa tidak tepat bagi mereka berdua.
Namun kali ini, izinkan ia untuk menyatakan cintanya satu kali lagi.
“Bright,”
“Permintaan aku memang konyol and i am so sorry for that. Tapi satu hal yang harus kamu tau, i chose you since the first time you met Biel in my room. Aku bahkan akan tetap memilih kamu sekalipun kamu nggak jatuh cinta sama aku saat itu. The way you win Biel's heart, itu berhasil bikin aku punya semangat lagi untuk tetap hidup. Jadi, makasih, ya? Makasih sudah jadi Papi yang baik buat Biel. Satu hal lagi yang harus kamu tau, Biel bangga sekali punya ayah seperti kamu. Ditambah pas dia tau kalau adiknya perempuan, dia sudah bikin rencana kalau dia akan jadi bodyguard untuk adiknya berdua sama kamu, nanti, kalau dia sudah lebih besar sedikit dan cocok pakai kaca mata hitam kayak punya kamu.”
“You are everything to him, Bie. You are everything to me.”
“I am sorry, aku bener-bener minta maaf, ya?”
Hancur sudah pertahanan seorang Bright Gabriel Maranatha. Suaminya itu memang tidak pandai berkata-kata romantis, tapi sekalinya menyatakan cinta secara tersirat, Bright dijamin akan langsung berlutut penuh damba.
“Ah, nggak bagus gombalan kamu. Kurang menyentuh, ayo coba lagi…”
“BIEEEEE!!!!”
“Hahaha, oke, Sayang! Apology accepted!” kata Bright sumringah, “Sebagai gantinya, boleh nggak kalau aku aja yang ajak ngobrol little cherry?”
Tanpa pikir panjang, Win mengangguk.
Bright kemudian mendekatkan wajahnya pada bagian perut Win yang belum terlalu besar. Ia mengusap sayang permukaan perut Win sambil berkata dengan lembut, “little cherry, dare to meet your Papi tonight?”
“BRIGHT!!! GABRIEL!!! MARANATHA!!!”
. . .
FIN! <3