Tragedi BILIK 3.

“You don't dare, Bright…” panik, Win jelas semakin dibuat panik ketika Bright sama sekali enggan memperdulikan peringatan yang ia ucap.

Terpojok di sudut sebuah ruangan kecilㅡ bilik ke-3, lebih tepatnya menyandar pasrah dalam kungkungan sang kekasih pada pintu toilet sekolah di lantai 2 nyatanya tak mampu membuat Win berkelit lebih jauh, karena Bright nyaris tidak memberinya kesempatan untuk sekedar bernafas dengan bebas.

Di sela-sela aktivitas dadakan yang keduanya lakukan di sana juga di waktu yang kepalang mepet dengan berbunyinya bel istirahat, Bright menyeka peluh yang mulai jatuh menetes di sepanjang pelipis Win,

“A little moan from you while I am doing my work won't hurt, sayang...”

tags: IMPLICIT; quickie in public, chest play, kissing, sucking, 5% of dirty words, sounds off, grinding, PWP 🔞 total words: 1.73k words LDR Jurusan's elvino & shalom slight of throwback.


“Bii,”

ACCKKKK,

Ups, Win tergelak dalam tawa ketika celana seragam olahraga miliknya yang ia bawa jatuh tepat mengenai kepala Bright yang sedang berdiri santai di depan wastafel.

Awalnya Win nyaris dibuat skakmat saat masuk ke dalam toilet, bukannya bersembunyi di dalam bilik yang sudah dijanjikan sebelumnya di ruang obrolan mereka, Bright justru malah ngeceng dan memandang penampilannya sendiri yang agak berantakan di depan cermin.

Tapi setelah melihat kalau toilet ternyata dalam keadaan kosong, Win akhirnya bisa bernafas lega.

Si pacar nakalㅡ Bright, berdecak pelan ketika Win masih sibuk cekikikan. Pemuda itu meraih celana seragam olahraga milik si Manis lalu menatap sang kekasih lewat pantulan cermin.

“Enak banget kayaknya ya ngetawain pacarnya, terus… terus… terus... sampe keselek kalau perlu.”

Aduh, ngambek. Alhasil, Win pun berusaha meredakan tawanya. Langkah kaki pemuda itu maju sedikit demi sedikit untuk menghampiri Bright yang tetap pada posisinya. Ia berdiri tepat di samping Bright, kemudian menatap pantulan dirinya dan juga sang kekasih lewat cermin.

Bright, of course dengan tatanan seragam yang mulai offside alias keluar melebihi batas seharusnya. Kemeja putih yang sebagian keluar dari celana, dasi abu-abu yang entah ada dimana, juga kancing kemeja teratas yang dibiarkan terbuka serampangan. Tipikal anak IPS banget, asli.

Dan Win, of course dengan tampilan khas anak IPA andalannya. Kemeja putih yang masih rapi dan tidak sedikitpun keluar dari lingkar celana, dasi abu-abu yang masih melingkari lehernya apik, juga kancing yang terpasang sempurna dari atas sampai ke bawah.

“Dasi kemana lagi?” kali ini, gaya bicara Win persis seperti saat sedang melakukan razia bulanan di kelas.

Terkadang Bright suka lupa, pacarnya itu adalah wakil ketua OSIS. Tentu saja, cara berpakaian selama di jam dan lingkungan sekolah akan menjadi fokus penilaian bagi Win. Dan sekarang, gantian Bright yang cengengesan. Sudut matanya terangkat membentuk bulan sabit, “hehehe,” lalu garuk-garuk kepala sebentar, “di laci, kan ini sekalian mau futsal, sayang… jadi nggak bakalan kepake juga.”

Nama? Bright.

Keahlian? Ngeles dengan template ala buaya alias lelaki bermulut manis biar pacarnya nggak marah-marah terus.

Win berdecak seraya geleng-geleng kepala, “nanti dicuci lho ya celana olahraga gue, jangan lupa!!! Bau keringet pasti...”

“Hu'uh, iya, iya,” Bright mengangkat tangannya yang menggenggam celana olahraga milik Win, “makasih ganteng udah mau minjemin.”

“Suruh Racha aja lah yang jadi wasit. Biar sekalian bisa jadi tempat penitipan hape di lapangan.”

Waduh, itu suara Nanon.

“Komentator dadakan paling dari IPA. Dah kagak usah musingin itu, yang penting SOS 2 nyumbang Racha buat jadi wasit.”

Nah loh, itu suara Guns.

Panik, nggak? Panik lah!

Merasa kalau suara dari dua temannya itu tidak terlalu jauh dari toilet, Bright pun tanpa pikir panjang dan dengan terburu-buru, langsung menarik tangan Win untuk masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang dekat dengan jangkauan mereka.

“IPA siapa aja dah yang turun?” oke, itu suara Guns lagi, terdengar penasaran siapa-siapa saja dari kelas 12 IPA yang akan turun untuk pertandingan futsal dadakan melawan kelas 12-SOS 2.

Suara langkah sepatu dengan jelas mulai memasuki area toilet. Tidak lama dari itu, suara kran air yang dibuka dan air yang mengucur dengan deras turut mengisi keheningan.

Nanon bergumam kecil, “au dah, kagak nanya lengkapnya siapa cuma yang pasti ada ketua kelasnya sih, si Luke. Terus ada Dew, Billkin, Pond, Mix, sisanya kagak tau lagi gue.” sahutnya.

Guns terdengar ber-oh ria di luar sana. Nggak lama setelah itu, pemuda yang paling aktif meluncurkan lelucon garing selama di kelas pun kembali bersuara, “Bright mana dah? Kok tiba-tiba ngilang bocahnye?”

Dari balik bilik, Bright bergumum pelan, nyaris tanpa suara, “gue di sini, sob...” dan hal tersebut membuat Win nyaris tertawa terbahak-bahak.

Jadi kayak main kucing-kucingan gini… but the struggle of being ldr jurusan survivors is hella crazy.

Win, benar-benar nggak tahan untuk tertawa… melihat wajah panik Bright yang memerah di depan matanya sendiri, membuat pemuda itu cekikikan pelan dan berujung skakmat ketika Bright dengan impulsif membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.

Di dalam bilik toilet yang sudah lama rusak dan nggak terpakai, Win tersudut di bawah dominasi Bright yang malah mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Ciuman mereka yang terkesan mendadak membuat tubuh Win tersentak pelan di sudut pintu bilik sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kerasㅡ dengan Bright yang mengukung dari depan.

Di luar bilik, Guns dan Nanon saling melempar pandangan. Masing-masing alis mereka bertaut bingung, suara kran air yang mengalir ikut menghilang karena Guns mematikannya.

Bright terus mendominasi sang kekasih dalam lumatannya sebagai upaya darurat agar Win tidak lagi bersuara, atau Guns dan Nanon akan memergoki keberadaan mereka di dalam sana.

Win, pasrah. Ciuman tiba-tiba yang dilakukan Bright jelas membuat pemuda itu malfungsi total. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya untuk menghentikan tingkah gila Bright yang amat sangat beresiko, tapi di sisi lain… tubuhnya justru berkata lain. Win malah larut dalam pergulatan bibir yang sungguh di luar rencana.

Ikut memagut, terkesan mesra.

Ikut mengulum, walau seperti diburu-buru.

Ikut berdesis pelan, ketika Bright tanpa aba-aba menggigit kecil bibir bawahnya.

Ikut membalas kecupan, dan terkesan menantang maut. Mengabaikan fakta bahwa aktivitas keduanya mengakibatkan bunyi yang cukup ribut.

Guns dan Nanon yang kepalang tahu kalau bilik ke-3 di toilet adalah bilik legend dengan segunung teori simpang siurnya pun memilih lari terbirit-birit meninggalkan toilet.

Meninggalkan dua insan yang semakin lupa waktu.

Semakin hanyut dalam lumat, juga desahan pelan yang lolos ketika dengan sengaja Bright mempertemukan pusat tubuh mereka berdua; menggeseknya perlahan-lahan.

Win, masih malfungsi.

Hasrat untuk mendorong Bright seolah lenyap menguap bersama angin sepoi-sepoi yang baru saja menggoyangkan pintu bilik-bilik yang terbuka. Surai hitam Bright yang sudah cukup panjang jatuh menjuntai menyentuh dahi Win yang mengkerut penuh konsentrasi, entah menikmati atau sedang mengatur strategi.

“Mmmhh,” Bright tak kuasa untuk terus menahan desahannya. Berciuman dengan sang kekasih adalah salah satu kegiatan yang paling bisa membuat pemuda itu kehilangan akal sehat, nyaris mabuk dalam pesona.

Maka saat Win dengan berani menghisap ujung lidahnya yang melesak masuk, Bright meloloskan euforia penuh kepuasan. Tanpa pikir panjang, Bright mengangkat satu kaki Win untuk melingkari di pinggangnya, mengikuti insting, katanya.

Win mengulum lidah Bright seperti kali terakhir sang kekasih melakukan hal yang sama, beberapa hari lalu di kamar pemuda itu. Erangan penuh kenikmatan dapat Win rasakan ketika Bright lumpuh dalam dominasinya.

Sudah kepalang terbawa nafsu, Win mengangkat satu kakinya lagi, membuat tubuhnya yang nggak bisa dibilang mungil itu bergantung pada gendongan Bright.

“Mmmhhh,” sial, sial, sial. Ternyata Bright tidak semudah itu didominasi. Dalam hitungan detik, pemuda itu memutar balik keadaan. Lidah Win, bertekuk lutut di bawah permainan panasnya.

Bright mengulum lidah Win yang entah sejak kapan sudah melesak masuk ke dalam mulut Bright. Dimainkannya sebentar benda tak bertulang itu; dihisap, dikulum lalu digigit kecil. Win nyaris saja memekik kesakitan sekaligus kaget, tapi Bright lebih dulu melumpuhkan seluruh syaraf tubuhnya dengan menggapai perpotongan leher si Manisㅡ menjamahnya dengan kecupan-kecupan lembut.

Win mendongak. Kepalanya menengadah, bibirnya terbuka meloloskan seuntai helaan nafas penuh gairah. Tangan kanan dan kirinya sudah menemukan jalan untuk merengkuh kepala Bright yang masih sibuk menjamah lehernya dengan bibir dan juga lidah.

Win, pasrah. Bright terlalu handal dalam urusan orang dewasa seperti ini, and little did Bright knows… Win is enjoying it a little too much.

Bagaimana deru nafas hangat Bright menyapu permukaan kulitnya yang meremang penuh antusias. Bagaimana lidah Bright bergerak menyeret saliva dari satu titik ke titik lain, meninggalkan jejak yang langsung dihisap oleh bibir pemuda itu sendiri.

Bagaimana bibir Bright menciuminya, mengecupnya perlahan-lahan penuh damba seolah-olah Win adalah sebuah permata yang begitu berharga.

Satu tangan Bright dengan berani meraih dada Win, meremas bagian di sebelah kanan sampai membuat sang empunya mengerang tertahan. Win, sebisa mungkin tidak bersuara. Walau kenyataannya beberapa kali desahannya lolos begitu saja.

Win memeluk kepala Bright lebih erat lagi, ia mendesah tepat di atas cuping telinga Bright yang memerah, “aaahhh, Bright… mmmhhㅡ ”

“Fuck… e-enak… aaahhh,”

Bright bagaikan kehilangan warasnya. Satu kali lagi, ia meraup bibir Win untuk diciumnya. Tidak sedetikpun Bright biarkan air liur Win jatuh kalau bukan di dalam rongga hangat miliknya. Bright menyesap setiap cairan yang membasahi sudut bibir sampai ke dagu mereka, lalu berucap,

“Wanna try it here?”

“You don't dare, Bright…” panik, Win jelas semakin dibuat panik ketika Bright sama sekali enggan memperdulikan peringatan yang ia ucap.

Bright kini menjamah seluruh sisi wajah Win dengan bibirnya. Mengecupnya hingga berbunyi, lalu digigitnya pipi berisi sang pacar yang begitu menggoda.

Terpojok di sudut sebuah ruangan kecilㅡ bilik ke-3, lebih tepatnya menyandar pasrah dalam kungkungan sang kekasih pada pintu toilet sekolah di lantai 2 nyatanya tak mampu membuat Win berkelit lebih jauh, karena Bright nyaris tidak memberinya kesempatan untuk sekedar bernafas dengan bebas.

Di sela-sela aktivitas dadakan yang keduanya lakukan di sana juga di waktu yang kepalang mepet dengan berbunyinya bel istirahat, Bright menyeka peluh yang mulai jatuh menetes di sepanjang pelipis Win,

“Jangan keras-keras ngedesahnya, sayang. Nanti kita ketahuan terus masuk ruang BK.”

Ucapannya sih terkesan mewanti-wanti, tapi apa yang dilakukan Bright justru membuat Win nyaris menangis karena keenakan... terlalu enak, terlalu gila. Bagian selatan tubuh mereka masih saling menggesek, mencari rasa nikmat.

“A little moan from you while I am doing my work won't hurt, sayang...”

DUGGGHHㅡ,

Waras Win sudah kembali. Dengan cepat dan penuh kesadaran ia mendorong tubuh Bright hingga terduduk di atas kloset yang sudah tidak terpakai.

Win menatap tajam pacarnya itu, “ANAK MONYEEEEEEET!!!” dah lah, Win bahkan sudah nggak perduli kalau di luar bilik ada orang yang mendengar ucapannya atau bahkan menyimak aktivitas panas keduanya barusan.

Yang jelas, Win dengan tergesa-gesa langsung merapikan seragamnya yang berantakan pasca acara saling gesek yang terjadi beberapa saat lalu, merapikan tatanan dasinya yang nyaris lepas, kemudian mengelap sudut bibirnya yang banjir dengan saliva.

Tanpa pamit, tanpa closure yang jelas, Win langsung membuka pintu bilik dan bergegas keluar.

Meninggalkan Bright yang sibuk cengengesan karena sudah membuat pacar manisnya kesal bukan main.

. . .

JEYI // 210525.