The untold story.
ㅡsatu
Terdengar bunyi dentingan sendok yang bertabrakan dengan sisi gelas dalam tempo yang cukup berantakan. Akssa membuka pintu pantry lebih dalam lagi, alis tebalnya bertaut naik satu ke atas, berusaha memastikan darimana suara itu berasal. Lantas ketika sosok Alcantara berdiri di dekat coffee machine, membiarkan mesin kopi otomatis di sana tetap berfungsi (diselingi dengan bunyi yang khas) sedangkan tubuhnya yang tinggi tegap berada pada posisi membelakangi pintu masuk, Akssa menghela pelan nafasnya.
Pintu pantry tertutup nyaris tanpa suara. Situasi canggung tiba-tiba saja menyeruak penuh dominasi, membuat Akssa mau nggak mau menyudahi langkahnya yang masih jauh dari tempat Tara berdiri.
“Saya nggak tau takaran gula untuk teh manis ideal kamu butuh berapa sendok,” sang CEO perusahaan tiba-tiba buka suara, tangannya masih sibuk mengaduk gula di dalam sebuah cangkir putih berisi larutan teh manis hangat 'perdana' buatannya, “jadi saya samakan dengan takaran gula yang biasa Bella gunakan untuk saya.”
Kalau Akssa boleh jujur, rasanya malas sekali harus terjebak dalam situasi canggung di hari yang masih bisa dibilang terlampau pagi dengan sang atasan. Dan sepertinya, sebentar lagi pantry akan kehilangan gelar sebagai satu-satunya comfort zone bagi Akssa (selain toilet) selama di kantor karena si bos memilih tempat tersebut untuk bertemuㅡ dalam kondisi keduanya yang masih jauh dari kata baik.
Well, kalau boleh menambahkan, Akssa juga sedang dalam mood yang cukup jelek dan berantakan untuk menanggapi celotehan Tara. Tapi, daripada harus memercik api di pagi hari, Akssa pun dengan amat sangat terpaksa turut membuka bilah bibirnya, “dua sendok kecil cukup, Pak.” balasnya.
Sang CEO mengangguk pelan, “berarti sama seperti takaran gula untuk teh manis sehari-hari saya.” sahutnya, lalu berbalik menghadap ke posisi Akssa berdiri. Tara menggerakkan dagu lancipnya ke arah meja, “duduk, Ssa. Kata Mix, kamu biasanya nyari teh manis setiap habis nangis.”
“Mix?”
Bentar, bentar, Mix… as in, Mix sahabat gue??? Segala rasa malas dan nggak nyaman yang semula memenuhi hati Akssa mendadak hilang tak bersisa, berganti dengan ribuan tanda tanya besar karena sang atasan yang tiba-tiba menyebut nama Mix dengan begitu santai. Satu alis Akssa bertaut naik, sibuk menerka-nerka garis korelasi yang bisa menyatukan titik koordinat seorang Mixㅡ sahabatnya, dan Alcantaraㅡ atasannya, “Mix ngadu ke Bapak kalau saya habis nangis?”
Duh, bentar deh, bentar… kayaknya gue pagi ini belum ketemu sama Mix? Gue sama dia kan masih musuhan gara-gara topik pembicaraan sensitif kemarin??? Bukannya menjawab rasa penasaran Akssa, Tara justru menggantungkan pertanyaan itu dengan mengulas senyum tipis seraya membawa tubuhnya untuk duduk di salah satu bangku yang ada di sana.
“No, Mix nggak ngadu ke saya. Saya yang ngasih tau dia kalau kamu habis nangis. Terus, dia bilang, you usually look for some sweets especially hot tea after crying. So, hm, here we go, semoga rasanya nggak aneh-aneh banget ya, Ssa. This is my first try ever hahaha.”
“Bapak tau darimana saya habis nangis?” No, nggak bisa. Akssa nggak bisa tenang kalau pertanyaannya ini belum kunjung mendapat jawaban.
Sepasang obsidian hitam yang bertahun-tahun lamanya mengemban wibawa tegas, tidak terpatahkan, dewasa, kini menatapnya dengan lembut. Terlalu lembut rasanya hingga membuat seorang Akssa mengatupkan mulutnya begitu rapat. Terkunci. Ada beberapa garis halus di sepanjang dahi lebar lelaki itu, entah karena lelah atau justru memang sedang dihantui banyak tanda tanya.
Ada kesedihan di sepasang netra hitamnya, pun juga tersirat letih di setiap tarikan nafasnya.
Penampilan sang bos yang cukup memprihatinkan tak jua luput dari pandangan Akssa. Meski sudah berganti kemeja, tapi tataan dasi yang berantakan dan mengendur, serta kantung hitam di bawah mata sukses mendeskripsikan bagaimana kondisi lelaki itu dua hari ke belakang. Wajah tegasnya tak lagi mengemban wibawa, hanya ada asa berwujud abu-abu yang tertinggal di rautnya.
Akssa seketika lupa dengan rasa marahnya.
“Are you doing well these days?”
Tara yang semula menatap lurus Akssa kini gelagapan. Sorot matanya berusaha kabur, lari ke kanan juga ke kiri. Menghindari sorot mata sang sekretaris yang seolah-olah sedang menghakimi.
Langkah kaki yang sempat berhenti di seberang pintu lantas berpindah, pijakan demi pijakan dilalui. Akssa meneruskan perjalanannya menuju posisi dimana Tara sekarang duduk seorang diri.
Perkataan Mix pagi tadi mendadak berkeliaran dalam benaknya. Membentuk segumpal benang kusut tanpa ujung yang pasti. “Tapi satu yang harus lo tau, Ssa. Di sini bukan cuma lo yang mau mengusahakan yang terbaik buat Nevan. Pak Tara does, Bu Bella too.” Akssa terus menatap Tara yang tampak enggan membalas tatap matanya.
Pak Tara does,
Bu Bella too.
Jadi, kenapa Nevan terang-terangan lebih memilih dirinya dibanding sang Ayah atau sang Ibu, jika memang kedua orang itu juga sedang berusaha?
Kenapa Mix ikut-ikutan menyuruhnya jaga jarak dengan Nevan, di saat Mix sendiri tahu kalau Nevan obviously selalu mencarinya, membutuhkannya?
Kenapa Mix seolah-olah berusaha memberi sinyal kalau Akssa sudah masuk dan terjebak terlalu dalam di situasi rumit ini?
Ditambah lagi, Nevan terlihat jauh… jauh sekali dari sosok sang Ibu, dan Mix masih bisa bilang kalau lebih baik Akssa memberi ruang dan waktu bagi anak itu untuk bisa bersama kembali dengan Bellaㅡ Ibu kandungnya?
Just by observing what had happened back then, Akssa sudah bisa mengira-ngira that staying silent was definitely not a good option.
Membiarkan Nevan sendirian, atau merasa sedih dan takut dalam diam, itu kah yang harus Akssa lakukan?
Tapi…
Melihat Tara yang kusut dan tampak lelah, Akssa seketika sadar… Mereka mungkin sedang mengusahakan dua kutub yang berbeda.
Lelaki manis itu mengambil posisi duduk di seberang sang atasan. Merasa ucapannya barusan dianggap angin lewat, Akssa mengulang kembali pertanyaannya, “how was your day?”
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Jakunnya bergerak naik dan turun, matanya masih sibuk menatap ke kanan ke kiri, kemanapun, asal bukan ke arah Akssa. Jari-jari tangannya yang panjang memainkan sisi cangkir berisi teh manis hangat buatannya.
Sepersekian detik kemudian, sebuah seringai terbit di sudut bibirnya yang sintal dan berwarna merah muda.
He doesn't smoke, Akssa tahu itu.
“Where's the formality? That's so rare of you.”
Akssa lantas berdecih, “Bapak sendiri 'kan yang minta saya sewaktu-waktu drop the formality? Karna sekarang belum jam kerja, dan kita sedang santai-santai di pantry, boleh 'kan saya sok akrab sama Bapak?” Oh… Sudah nggak marah ya, Ssa?!
Ujung bibir Tara terangkat naik. Kali ini bukan lagi sebuah seringai, tapi seulas senyum tipis yang disusul kekehan renyah.
“Are we cool now?” dua pasang mata itu akhirnya bersirobok, “kamu sudah nggak marah lagi?”
“Bekas air mata saya aja belum kering, Pak!” Inginnya sih berteriak, tapi apa daya Akssa hanya mampu melampiaskannya di lubuk hati. Setelah dirasa es batu di antara keduanya mulai cair, Akssa kembali berujar, “saya nggak marah, saya cuma lagi emotionally unstable aja, Pak.”
“Jadi, gimana?” sambungnya, masih bertanya-tanya.
Wajah Tara yang biasa memuat ekspresi tegas terlihat jauh lebih santai. Sudut mata kanannya mengecil, alisnya naik bertaut, “gimana apanya?”
“How was your day?” Akssa mengulang lagi pertanyaannya, “how was your day… setelah pertengkaran kecil kita kemarin?”
Sebuah pertengkaran kecil yang cukup intim, untuk kali pertama terjadi di antara keduanya. Biasanya, Akssa akan menerima omelan Tara di telinga kanan, lalu dibiarkan keluar lewat telinga kiri. Sikap sang atasan yang terkadang kelewat ketus dan tegas pun jarang-jarang Akssa ambil hati. Tapi kemarin… Akssa bahkan tidak mengerti kenapa bisa ia jadi sangat sensitif bahkan sampai menangis?
Seperti biasa, Tara tidak langsung menjawab. Lelaki itu memandang semu ke arah meja, membiarkan detik demi detik berlalu sementara Akssa dengan penasaran masih menunggu.
“Harusnya saya yang tanya ke kamu,” tiba-tiba Tara membawa seluruh atensinya pada Akssa, “How was your day, Ssa? Did my words hurt you that much?”
Suasana di dalam pantry kian bertambah gloomy. Hati Akssa bergemuruh hebat ketika Tara membuang jauh-jauh wibawanya sebagai seorang direktur, lalu berujar dengan intonasi yang begitu lembut.
“Saya baik-baik aja, Pak,” sahutnya.
“Don't lie to me, Ssa.”
Buntu sudah jalan lelaki manis itu. Ingin mengelak, tapi rasanya sudah tidak ada kesempatan. Tara perlahan-lahan mengunci sorot mata Akssa pada satu titik mutlak. Berkelit pun rasanya tidak mungkin lagi bisa dilakukan.
“Kamu sudah janji untuk buka hati sedikit demi sedikit,” Tara terus menatapnya lurus-lurus, “bisa kamu buktikan kalau kamu benar-benar sudah membuka hati untuk saya?”
Hening.
Akssa sudah menduga kalau pertanyaan semacam itu akan terucap kapan saja, lalu berubah haluan jadi bom waktu yang bisa meledak secara tiba-tiba. Akssa bahkan sudah berusaha keras untuk melupakan apa yang terjadi hari itu, di suatu malam satu minggu yang lalu, dimana Tara terang-terangan meminta izin untuk mendekatinya.
Bukan lagi antara seorang atasan dengan bawahan, tetapi sebagai Tara yang sepertinya kembali dibuat jatuh cinta pada seorang anak manusia bernama Akssa.
Dan sejak itu juga, Tara memintanya untuk meninggalkan segala tetek-bengek formalitas ketika keduanya sedang sama-sama tidak dirusuhi oleh urusan pekerjaan. Akssa menjalankan permintaan Tara pagi ini (setelah seminggu berlalu), menanyakan kabar pada sang atasan layaknya seorang teman kecil yang sudah lama tidak jumpa. Lalu ketika Tara ikut-ikutan menagih janjinya, Akssa justru dibuat skakmat.
Sadar kalau Akssa tampaknya belum siap untuk memberikan jawaban, Tara kembali meneruskan kata-katanya, “saya sadar kalau selama ini kamu tidak benar-benar buka hati untuk saya. Bukannya semakin dekat, kita malah semakin jauh ya, Akssa?”
Direktur muda itu menggeser cangkir berisi teh manis hangat buatannya ke sisi sang sekretaris, “that's why i am questioning myself,”
“Am i really fell in love with you, or i just need a friend, a literally close friend to lean on and complain about how complicated my life is.”
Tangan kanan Tara mengepal di atas meja, “and I foolishly believed in your chuckles that night. The moment you gave me a single yes, the moment that I decided to fight for you. For us. For a broken heart I had endured all these years. For Nevan, for Nessha.”
“And when i realized that it didn't work at all, saya merasa marah sama kamu. I am sorry for being childish but, kepala saya penuh, Ssa. Kepala saya dipenuhi penolakan-penolakan yang kamu kasih ke saya, ditambah Nevan justru semakin dekat dengan kamu.”
Akssa menghela pelan nafasnya, wajah tertunduk di hadapannya benar-benar sanggup membuat lelaki manis itu geleng-geleng kepala. “That's it? Jadi itu alasan Bapak terlihat dingin belakangan ini? Jadi itu alasan dari banyak sekali sikap Bapak yang berubah setiap hari? You can be nice at once, and it doesn't last long until you are back to being annoying. That's it, Pak Tara? Jadi itu alasan Bapak meminimalisir interaksi dengan saya selain karna urusan pekerjaan?” Ketika berada di luar akal sehatnya, Akssa bisa marah-marah dalam satu kali tarikan nafas. Pawat sudah pernah jadi korban, Mas PP pun sama. Akssa is definitely your best yet annoying buddy. Ngomel-ngomel adalah soft skill yang selalu bisa ia andalkan.
Tapi kali ini, dibanding menganggap kalau Akssa sedang marah-marah, ia justru terlihat… kecewa?
Ucapan panjang lebar Tara pagi ini berhasil membuat Akssa dengan cepat menyusun serpihan memori akan dirinya bersama sang atasan seminggu ke belakang. Memang benar, satu minggu yang lalu, Tara bertekad untuk mendekati dirinya lebih dari seorang rekan kerja biasa. Keduanya bisa dibilang akrab dengan tanda kutip, that's why Pawat selalu jadi juara satu heboh dalam urusan menggoda Bapake dan juga Mamaseㅡ panggilan June untuk Akssa ketika ada momen sekecil apapun itu.
Ditambah, mereka juga sama-sama sepakat untuk tidak terlalu 'ketara' di depan publik. Rumor perceraian Tara dengan salah satu mantan sekretarisnya alias Bella bahkan belum mereda di kantor. Masih panas. Masih jadi perbincangan eksis yang setiap pagi terdengar di lift atau toilet.
“Fine, jadi gimana saya bisa buka hati kalau dalam rentang waktu seminggu aja, Bapak sudah menyerah?”
Bukannya berangsur-angsur membaik, kedua lelaki ini justru kian kalut. Terutama Akssa, setelah beberapa menit menjaga intonasi suaranya, lelaki manis itu akhirnya meninggikan suaranya.
“Saya ini pernah gagal dalam urusan percintaan. Saya terlalu takut untuk memulai, dan saya mengerti kenapa lebih baik kamu menjauh daripada harus repot-repot memikirkan perasaan saya,” Tara mengerjap beberapa kali, “It's just that I am confused...”
“How to tell Nevan that I've really failed?”
“How to stop you from being that close to my son?” Tara turut menghela pelan nafasnya, “kalian sudah terlanjur dekat, saya harus apa, Ssa?”
Oke, Akssa akui kalau selama satu minggu ini ia memang berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terjebak dalam situasi romantis yang bisa saja terjadi antara dirinya dan juga Tara. Nevan yang sedang banyak masalah dan butuh perhatian lebih, Nessha yang sedang judes-judesnya, pun juga urusan kantor yang kebetulan datang keroyokan, membuat Tara enggan dibuat pusing dengan urusan hati yang bahkan ia sendiri belum yakin untuk memulainya dengan siapapun. Termasuk dengan Tara, sosok yang sudah bertahun-tahun ini menjadi atasannya di perusahaan.
Kalau kepala Tara dipenuhi dengan 'penolakan-penolakan' yang sejatinya tidak pernah ada, maka kepala Akssa dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini hanya bersarang dalam benaknya.
And the question isㅡ
“Bapak sudah benar-benar bercerai secara sah dari Bu Bella?”
Itu dia.
Itu dia yang selama ini jadi beban pikiran bagi seorang Metawin Akssa Othniel. Itu dia yang selalu jadi penghalang ketika hasrat untuk berada lebih dekat dengan sang bos datang tanpa permisi. Menggebu-gebu ingin dipenuhi.
“Saya nggak mau kalau ternyata selama ini saya jadi perusak rumah tangga orang, atau jadi alasan kenapa Pak Tara dan Bu Bella bercerai. Saya nggak mau kalau sampai semua tuduhan yang Nessha tunjukkan ke saya itu benar. Saya nggak mauㅡ”
“Kami sudah resmi bercerai, Akssa.” Tara terpaksa memotong perkataan Akssa. Ucapannya begitu lantang terdengar, “dan kamu bukan penyebab dari hancurnya rumah tangga kami. Do not ever think about it. Satu kali pun, jangan pernah kamu berpikir seperti itu.”
Oke, Akssa sama sekali tidak menemukan adanya kejanggalan dalam ucapan sang atasan. Sorot mata Tara yang kelewat tegas membuat Akssa harus bersusah payah menelan saliva, rasanya seperti tersangkut di ujung tenggorokan. Hatinya belum tenang, masih jauh sekali dari kata tenang.
“Saya punya satu pertanyaan lagi,”
Tara menghela pelan nafasnya, lalu membalas, “ya?”
“Apa selama ini Bapak sengaja mendekatkan saya dengan anak-anak? Mulai dari Bapak yang sering mengajak saya menjemput anak-anak di sekolah lalu kita berempat pergi makan siang bersama… Atau saya yang sering diminta untuk menjemput anak-anak padahal Bapak sedang tidak begitu sibuk di kantor… Kontak pribadi saya yang dimasukkan ke grup orang tua dan wali murid anak-anak. Selama ini saya sudah coba untuk berpikir positif, saya selalu berpikir kalau Bapak memang membutuhkan bantuan saya untuk mengawasi anak-anak ketika Bapak sedang sibuk, tapiㅡ”
Tanpa sadar telapak tangan Akssa ikut mengepal di atas meja, “sepertinya saya sadar kalau Pak Tara ada maksud dan tujuan lain. Benar dugaan saya, Pak?”
Lagi pula, siapa yang nggak akan linglung mendadak kalau dalam sekejap mata dijadikan poros dunia? Akssa yang semula datang ke perusahaan untuk memperbaiki hidup yang sebenarnya sudah cukup berantakan, justru harus berjuang menjadi seorang sekretaris dari sosok yang amat disegani di sana, harus 'tinggal' satu ruangan selama 7 jam lebih dengan sang atasan (belum lagi harus siap sedia diseret menghadiri meeting di luar kantor), harus ikut campur dengan segelintir urusan rumah tangga si bos, pun juga harus repot-repot memikirkan permasalahan yang menimpa anak dari atasannya itu. Maka ketika bosnya itu terang-terangan mendekatinya, Akssa... ngeblank total.
“Awalnya, iya,” Peristiwa dimana Tara pertama kali merasakan sensasi aneh yang menggelitik di balik dada kembali berlalu-lalang dalam benaknya. Katakan ia gila, lelaki berusia di tengah kepala 3 itu nyatanya pernah menjelma sebagai seorang anak SMP yang sedang kasmaran pada teman sekelasnya secara diam-diam, beberapa tahun silam. Tara sudah pernah berusaha menampik perasaannya, ada tiga hati yang harus ia jaga ketentramannya kala itu. Tetapi ketika telinganya mencakup suara Akssa yang bagai sebuah simfoni di pertunjukan musik orkestra, Tara kehilangan kontrol diri.
“Saya memang berniat untuk mendekatkan kamu dengan anak-anak saya.” Hati yang berbunga-bunga sukses mengambil alih seluruh akal sehat Tara untuk mengedepankan perasaannya itu, memperjuangkan apa yang memang ingin ia dapatkan, sehingga langkah kecil pertama yang lelaki itu ambil adalah memperkenalkan sang sekretaris pribadi kepada kedua anak kembarnya.
“Saya akui saya naif, saya yang sudah yakin jatuh cinta sama kamu dengan gegabah langsung berusaha untuk mendekatkan kamu pada Nevan dan Nessha.”
Fuck. Satu kalipun tidak pernah terlintas di benak Akssa kalau bos-nya ini... segila itu. Sedangkal itu. Sebodoh itu. Kepalan tangan yang semula hanya alih-alih untuk menghilangkan grogi, kini berubah jadi sesuatu yang memancing degup jantungnya berlalu-talu ribut.
“Maaf, Pak, tapiㅡ”
“I know, i know, Ssa. You have the right to curse at me. At this point, i am the one who is in fault. I shouldn't do it since the first, maaf,” Alcantara, dengan baritonnya yang menghantam keheningan memberanikan diri untuk menatap Akssa tepat di mata, “sekalipun saya bilang saya punya alasan, tetap saja perbuatan saya ini sangat salah. I really am sorry… i never intended to get you dragged into this mess, it's just me who felt in love with you at that moment and i realized I had taken the wrong way, Ssa.”
Alih-alih mengasihani Tara yang semakin putus asa dengan hati juga kata-katanya, sepasang obsidian hazel milik Akssa justru diselimuti kabut amarah. “It's funny, right?”
Satu mata seorang Alcantara membulat ketika Akssa melayangkan sebuah pertanyaan untuknya, “Ssaㅡ”
“Seru ya Pak, membuat saya sekarang merasa kalau saya ini seorang penghancur keluarga orang?” Tidak ada perasaan lain yang mampu ditafsir oleh akal sehat lelaki manis itu selain rasa marah. Pengakuan Tara beberapa menit lalu sukses memantik api dalam hatinya. “Bapak sudah mendekatkan saya dengan Nevan dan Nessha sejak dua tahun yang lalu, sedangkan saat itu Bapak masih berstatus suami sah Bu Bella,”
“Bodoh banget ya saya, baru bisa nyusun kepingan puzzle permainan konyol Bapak sekarang?”
Let's be honest here. Siapa juga yang bisa tetap santai dan tebar senyuman di saat gulungan benang kusut dalam benak berhasil ditemukan bagian ujungnya? Siapa juga yang bisa menahan amarah ketika dihadapkan pada situasi menjebak dan menyebalkan seperti ini?
Akssa benar-benar merasa dibohongi. Dibodohi. Dipermainkan.
Ada kepanikan di sepasang obsidian hitam seorang Alcantara Bright Sagibson. Lelaki itu berusaha meluluhkan tatapan mata Akssa yang semakin detik berlalu, semakin terasa dingin.
“Ssa,” Tara mengangkat tangan kanannya, berniat meraih tangan kiri Akssa sebelum sekretarisnya itu menciptakan jarak yang kian jelas membatasi mereka berdua, “It's not like that.”
“Saya harus bilang apa sama Bu Bella, Pak?” Bukan hanya kecewa, tapi juga tersirat keputusasaan pada suara yang keluar dari ranum merah mudanya, “She has been nice to me since the first time I came here, Demi Tuhan.” Membayangkan wajah cantik Bella yang selama ini selalu tersenyum dan bersikap ramah kepada siapapun saja… Akssa rasanya malu. Bisa-bisanya ia sempat berpikir untuk membalas perasaan bos-nya itu? Satu kata, gila.
Satu kali lagi Tara berusaha menggapai tangan Akssa, namun kembali harus menelan kesia-siaan.
“Jangan pernah berpikir kalau kamu alasan saya bercerai dengan Bella, Ssa.” Bariton berat itu sedikit goyah dengan rasa cemas yang kian memuncak, “no, no, no, you are not... okay?”
“Setelah secara nggak langsung Bapak mengakui dugaan-dugaan saya, apa saya masih bisa percaya pada Bapak?”
Tara memalingkan pandangannya, “kali ini tolong percaya sama saya,” lalu kepalanya menunduk menatap permukaan meja, “saya akui, saya bersalah sudah mengambil jalan pintas sejak dua tahun lalu, tapi saya benar-benar tidak punya pilihan, Ssa,”
“Saya ini hanya seonggok daging manusia yang sedang jatuh cinta,” Tara, satu kali lagi berusaha mengembalikan Akssa sebagai fokus atensinya, “yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana caranya anak-anak saya bisa tau kalau papanya ini sedang berbunga-bunga.”
“Saya juga nggak bisa make sure kenapa saya bertingkah seperti itu, kenapa saya malah gegabah dengan mengedepankan perasaan saya yang besar ini untuk kamu tapi di waktu yang sama saya justru melukai banyak pihak.” Tara menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya, “termasuk kamu. I never meant to hurt you this way, Ssa.”
“Perasaan saya lagi, perasaan saya terus, tapi apa pernah sekali aja Bapak pikirin perasaan Bu Bella?” Demi Tuhan, Akssa merasa dirinya berdosa sekali kepada wanita itu, “saya selalu diperlakukan baik oleh beliau. Di hari-hari pertama saya kerja di sini, Bu Bella dengan senang hati membantu dan mengajari saya, termasuk untuk bisa terbiasa dengan sikap dan mood Bapak yang berubah-ubah, Bu Bella adalah orang pertama yang mengajak saya ke pantry ini,” Akssa melirik secangkir teh panas yang mungkin sudah dingin karena terabaikan oleh tensi yang kian memanas, “segelas kopi hitam panas, itu minuman yang menyambut kedatangan saya di perusahaan ini.”
“Dengan sebegitu baiknya Bu Bella ke saya, apa Bapak nggak malu sama perasaan Bapak sendiri? Mengorbankan perasaan orang yang sudah bertahun-tahun jadi pendamping di hidup Bapak hanya untuk seorang pendatang asing seperti saya?” Akssa menatap Tara dengan rasa marah yang kembali menggebu, “Saya malu, Pak. Malu sekali rasanya kalau ingat saya ini alasan terbesar Bu Bella patah hati,”
“Don't you feel ashamed of it?”
Mati kutu rasanya. Gugup, panik, semua bercampur jadi satu. Bayang-bayang bahwa mereka akan melewati obrolan yang hangat di pantry seolah-olah sedang meledeknya dalam semu. Akssa terus menyalahkan dirinya sendiri. Cemas agaknya sudah secara penuh menguasai diri eksekutif mapan itu.
“Saya dan Bella bercerai bukan karena kamu, Akssa.”
Sudah berkali-kali Akssa mendengar jawaban yang sama. Sudah berkali-kali juga Akssa ditampar oleh kenyataan yang 100% bertolak belakang dengan pengakuan sang atasan, membuatnya tanpa sadar melepas pelan-pelan rasa percaya yang tersisa dalam genggaman.
“Dengan fakta kalau Bapak sudah menaruh rasa untuk saya sejak dua tahun lalu, saya masih bisa percaya dengan kata-kata Bapak?”
Obrolan keduanya kian jauh dari ambang yang masuk di akal. Semakin melihat Tara yang masih diperdaya dengan keputusasaan, semakin Akssa dibuat marah oleh keadaan.
Akssa lantas menunduk. Matanya memejam, ketika dirasa amarah makin memuncak. Waras sudah terlalu jauh untuk digapai. Kepalanya penuh. Hatinya meronta ingin meledak.
Tanpa sadar, sepasang telapak tangan lelaki manis itu mencengkeram surai hitam yang mulai berantakan. Akssa seperti kembali ditarik ke masa lalu. Bayang-bayang hancurnya rumah tangga yang pernah begitu ia dambaㅡ datang lagi, mengacak-acak hatinya yang sudah hancur tidak tertata.
Akssa menarik rambutnya sendiri. Berusaha menghalau segala kepingan memori yang tidak ingin ia ingat barang sedikitpun. Tidak ada alasan lagi bagi sepasang kelopak matanya untuk tetap terbuka. Akssa kembali menarik rambutnya, kali ini jauh lebih kuat sampai membuat ringisan pelan yang diselingi isakan lolos dari belah bibirnya yang gemetaran.
“Let's end this conversation,”
Sebelum warasnya benar-benar hilang, lenyap, tak bersisa, Akssa kembali berucap dengan seuntai kalimat yang sukses membuat satu alis tebal Tara bertaut naik.
Akssa menyeka air matanya yang sempat tumpah. Cepat-cepat ia kembali menata penampilannya yang nyaris menjauh dari kata rapi.
Susah payah, ia mengembalikan seluruh atensinya pada sang atasan. Keduanya saling bertukar pandang, dengan perasaan yang tak mampu dijabarkan dengan kata.
“Saya mau menyampaikan hal penting terkait Nevan.”
Mendengar nama anak laki-lakinya disebut, Tara berdehem pelan, “is Nevan okay?”
“Unfortunately no,” kepala Akssa lantas menggeleng pelan, “sepertinya Nevan ada masalah di sekolah. More likely, he was verbally and physically abused by his classmates, saya nggak sengaja menemukan memar di tangan kanannya. Nevan masih kesakitan saat saya pegang lukanya itu, kemungkinan besar itu luka baru.”
“And he was verbally abused, dia dipanggil dengan sebutan 'idiot' sama teman-teman di kelasnya just because he got so many D during exams and being a 25th of 25 in class.”
Tara termangu mendengar penuturan Akssa. Nevan… anaknya… benar-benar menjadi korban bully di sekolah? Sejauh ini, Nevan tidak pernah terlihat malas-malasan, hanya saja nilainya memang selalu jadi yang paling terakhir, and that was… fine, to be honest? Tara tidak pernah marah dengan fakta yang satu itu. Nevan juga tidak pernah menceritakan tentang bagaimana ia menghabiskan setengah harinya di sekolah, tidak pernah mengabsen satu persatu temannya yang ada di kelas, tidak juga pernah mengeluhkan tentang hal-hal yang tidak mengenakkan yang terjadi di jam sekolah.
Nevan tidak pernah mengeluh sakit.
Tidak juga pernah dilaporkan berkelahi atau sekedar membuat onar.
Jika apa yang dikatakan Akssa benar adanya, lantas kenapa bisa ia begitu lengah? Terlalu lengah sampai rasanya untuk merasa bersalah pun sudah terlambat.
“Kamu nggak bohong, Ssa?” Tara berusaha memastikan, pertanyaannya langsung dibalas dengan sebuah gelengan mutlak.
“Bapak bisa pulang ke rumah nanti sore, lalu temui Nevan di kamarnya. You talk to him, he has been through a lot, Pak, dia rindu Papanya.”
Tara tiba-tiba diselimuti kegelisahan. Pikirannya berkecamuk memikirkan kondisi sang jagoan yang entah bagaimana keadaannya saat ini.
“Bella sudah tau?”
Akssa menggeleng, “saya belum sempat bilang ke Bu Bella. Tapi saya sudah sampaikan ke Miss Nathania supaya Nevan bisa diperhatikan lebih banyak di sekolah. Juga supaya luka memarnya diobati, sebelum bertambah parah.”
“Nevan cerita banyak sama kamu?”
Akssa menggeleng, lagi, “dia marah sama saya, Pak.”
“Marah?”
Kali ini kepala Akssa mengangguk, pelan, “dia nyariin saya pas bangun tidur pagi tadi, tapi saya nggak ada di sebelahnya. Setelah tantrum kemarin, Nevan memang nggak mau lepas dari saya. Saya juga nggak mungkin bermalam di rumah Bapak, nggak enak sama Bu Bella yang notabenenya adalah ibunya anak-anak.”
“Nevan nggak mau sama Mamanya?”
Ragu-ragu, Akssa mengangguk. Sudah tidak ada lagi energi yang tersisa untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dua hari ini.
“Itu yang saya takutkan, Ssa,”
Selain menyebalkan dan dingin, sikap Tara yang satu ini juga tak kalah membuat jantung seolah diajak olahraga mendadak; mengalihkan pembicaraan.
Atau lebih tepatnya, mengungkit kembali percakapan yang sejatinya sudah ditutup rapat-rapat.
Tidak ada hal lain yang bisa Akssa lakukan selain membiarkan matanya memicing, satu alisnya bertaut naik. “Maksud Bapak?”
“Saya yang egois dengan perasaan saya malah membuat anak-anak jauh dari Mamanya. Itu ketakutan terbesar saya. Anak-anak tidak lagi memandang Bella sebagai ibu kandung mereka.”
Alcantara dan sejuta tingkah ajaibnya. Sekeras apapun Akssa berusaha untuk mengerti dan memahami sifat sang atasan, Tara selalu punya batas yang tak bisa ditembus dan selalu punya emosi yang tidak bisa diduga-duga.
“Nessha membenci saya, you got no worries for it, Pak.” kata Akssa sambil diam-diam menelan pil pahit mengingat betapa anak bungsu Tara begitu membenci dirinya.
“But Nevan doesn't,” Tara menyahut dengan suara bulatnya, “dari cerita kamu barusan, Nevan bahkan lebih memilih kamu daripada Mamanya.”
Akssa menarik sudut bibirnya, menahan tangis. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh.
Maka dengan penuh percaya diri ia balas menatap sorot mata Tara yang sudah kembali menemukan jati dirinya; tegas, gelap.
“You never loved me as much as you told me,” Sebisa mungkin Akssa tidak mengedipkan matanya, “or you, Pak Tara, you never loved me since the first time, yet you still accused me for getting all Nevan's attention that supposed to be Bu Bella's, right?”
“Akssa,”
“Kalau Bapak nggak pernah benar-benar mencintai saya seperti apa yang Bapak bilang, lalu kenapa Bapak harus repot-repot menjebak saya ke dalam situasi yang sungguh bukan win-win solution ini, Pak?” Akssa nyaris kehilangan kesabarannya. Hari masih bisa dibilang pagi, tapi rasanya ia sudah terlanjur mental exhausted dengan serangkaian obrolan complicated yang hanya membuatnya beranjak gila. “Once again, it's funny, right? To make fun of me? Membuat saya jadi orang paling nggak tau apa-apa dan paling dibuat merasa linglung dan serba salah dalam urusan keluarga Bapak? It must be really fun for you.”
“Saya tidak pernah bohong dengan kata-kata dan perasaan saya, Ssa,”
“TERUS APA NAMANYA KALAU BAPAK NGGAK MEMPERMAINKAN PERASAAN SAYA?” Pecah, meledak sudah emosi yang sejak tadi dibiarkan bersembunyi di balik dada. “Bapak nggak mau 'kan, kalau anak laki-laki Bapak lebih memilih sama saya daripada sama ibu kandungnya sendiri? Bapak nggak mau 'kan, figur Bu Bella sebagai seorang ibu lama-lama tergantikan oleh saya?”
Akssa menunduk lagi. Kepalanya berat. Matanya sudah tak lagi bisa membendung kesedihan juga kekecewaan. Akssa bingung. Tidak tahu harus menafsirkan rasa dengan cara yang mana lagi.
“Maaf, saya nangis lagi, P-pak,”
“Saya bukannya nggak cinta sama kamu, Ssa. Bagian mana dari pengakuan saya yang menyebutkan kalau saya ini nggak cinta sama kamu?” Tara berusaha untuk meraih satu tangan Akssa yang kini tengah menutupi wajah manisnya. Lucky him, Akssa tidak memberontak. Apalagi menghindar.
“Saya ini cinta sekali sama kamu, Ssa, cinta sekali sampai rasanya mau gila.”
Tara menggenggam tangan Akssa begitu kuat. Ibu jarinya bergerak memberikan usapan lembut di sepanjang punggung tangan Akssa yang masih bergetar hebat.
“Tapi saya takut,” suaranya melemah, tidak lagi terdengar tegas dan berani seperti beberapa saat lalu. Kepalanya jatuh tepat di atas punggung tangan Akssa, Tara ikut menumpahkan perasaannya di sana, “saya takut terlalu jauh menyimpan rasa yang sia-sia, saya takut kalau ternyata selama ini saya salah mengambil langkah. Saya takut Nessha semakin membenci kamu dan menganggap kamu adalah penyebab hancurnya rumah tangga saya dengan Bella. Saya takut anak-anak semakin jauh dari Ibunya. Saya,ㅡ”
“Saya ini pria yang gagal, Ssa. Mana berani pria yang gagal ini meminta hati kamu untuk saya miliki?”
“Permasalahan internal di keluarga saya juga belum sepenuhnya selesai. Orang tua saya masih berusaha untuk memulihkan pernikahan kami, tanpa mereka tau ada hati lain yang sedang saya perjuangkan, yang ingin saya bawa dan kenalkan pada mereka,” Tara semakin menggenggam kuat telapak tangan Akssa, “saya masih harus mengurus anak-anak bersama Bella, saya nggak mau anak-anak saya kehilangan figur seorang Ibu, saya bahkan gagal jadi seorang ayah, Ssa. Saya gagal memahami Nevan, saya gagal memberi kasih sayang pada Nessha, sayaㅡ”
“Can you stop blaming yourself?!!”
Akssa memotong perkataan Tara dengan begitu lantang. Lelaki manis itu ikut menjatuhkan kepalanya di sisi kepala sang atasan, tangannya balas memeluk genggaman yang mempersatukan keduanya jauh lebih erat lagi.
Akssa turut mengusap punggung tangan Tara dengan ibu jarinya, “Bapak juga menderita selama ini. Bapak juga pasti tersiksa. Bapak pasti sedih, patah hati, bingung,”
“Maaf karna saya terlalu mengedepankan emosi saya, maaf karna saya terlambat menyadari kalau you too, you have been through a lot,” Akssa menghela pelan nafasnya, “i am sorry this all had to happen to you.”
“Saya cuma takut kalau Bapak meminta saya berhenti untuk menyayangi Nevan. Saya nggak bisa Pak, saya nggak mau… Saya janji saya akan mengembalikan seluruh kasih sayang dan perhatian Nevan untuk Bu Bella, tapi tolong jangan larang saya untuk bertemu Nevan, untuk sayang sama Nevan. Saya sayang sekali sama Nevan, dia bahkan belum maafin saya atas kesalahan saya kemarin dan hari ini, saya bikin dia marah, sayaㅡ”
“Ssa,”
Akssa mengatupkan mulutnya. Rangkaian kalimat belum habis terucap tapi panggilan Tara barusan sukses membuat lelaki manis itu mengakhiri kata-katanya.
Tara menarik pelan tangan Akssa, membuat sang sekretaris mengubah posisinya menjadi duduk.
“Kamu masih nggak percaya kalau saya ini cinta sekali sama kamu?”
Akssa diam, tidak menjawab. Sampai akhirnya Tara berdiri, meninggalkan bangku yang nyaris satu jam lamanya menjadi saksi bisu pertikaian yang kini berujung melankolis apalagi saat Tara perlahan-lahan membawa langkah kakinya menuju tempat dimana Akssa masih duduk dengan jantung yang bertalu-talu di balik dada.
Tara memposisikan dirinya untuk berdiri tepat di samping Akssa. Lelaki itu lalu menuntun tubuh sang sekretaris untuk ikut menghadap ke arahnya.
Untuk kali pertama, Tara mengulas sebuah senyum tipis pagi itu. Tangan kanannya menyentuh sisi wajah Akssa, menyeka bekas air mata yang meninggalkan jejak di sana lalu mengusap pipi berisi yang nyaris tirus itu dengan penuh kasih sayang.
“Maaf ya, pagi-pagi sudah saya ajak kamu nangis kayak begini,” Lalu tanpa aba-aba, CEO muda itu menurunkan tubuhnya agar bisa cukup sejajar dengan tubuh si sekretaris manis.
“But now, please listen to me...”
Akssa mengangguk, memberikan kesempatan pada Tara untuk bicara.
“It always hit me like a truck when someone said; sometimes it's hard to turn the page when you know someone won't be in the next chapter, but the story must go on.”
Dengan kedua tangan yang masih membingkai wajah sembab Akssa, Tara melanjutkan ucapannya, “begitu juga yang saya rasakan ketika sejak lama, lama sekali, saya menyadari satu hal. Bahwa tidak lagi ada halaman yang sama yang tersisa antara saya dengan Bella. Ketika saya tau, kalau saya akan membuka lembaran yang baru maka saya tidak akan lagi menemukan Bella di sana, rasanya hati saya dibuat mati rasa, Ssa. Saya takut, akan segala kemungkinan yang bisa datang menimpa keluarga kecil saya. The feeling of stop loving someone, it's what actually killed me. Bukan kamu yang buat saya berhenti, tapi rasa yang saya punya, yang Bella punya, semuanya berhenti di satu poros yang bertolak belakang.”
“Sampai akhirnya saya bertemu sekretaris nakal ini,” Tara menjawil hidung mancung Akssa, lalu terkekeh setelahnya, “saya dibuat jatuh cinta untuk pertama kali.”
“Saya bahkan sempat bingung, saya ini memang benar jatuh cinta atau ternyata terlanjur nyaman saja dengan eksistensi kamu yang berhasil membawa suasana baru di hidup saya yang bertahun-tahun bernuansa monochrome.”
Akssa meraih satu tangan Tara di pipinya untuk digenggam, “so what now? Yang benar yang mana, Pak? Benar-benar jatuh cinta atau cuma terlanjur nyaman?” tanyanya.
“Are we cool now?” balas Tara, dengan pertanyaan.
Akssa berdecak pelan, hendak menyingkirkan tangan Tara namun Tara menahannya lebih dulu.
“Ssa,”
Satu mata Akssa memicing, “hm?”
“Are we cool now?” tanya Tara, lagi.
“Masih nanyaaa?!!”
“I will take that as a yes then,” Lalu diusapnya kedua pipi Akssa penuh sayang, “mau coba buktikan?”
Akssa memundurkan sedikit wajahnya, memandang Tara dengan penuh tanda tanya.
“Apa???”
“Saya sudah cinta sekali sama kamu, kamu sendiri bagaimana? Sudah cinta kah sama saya?”
Umur memang nggak pernah membohongi kualitas, ya?
Akssa tidak langsung menjawab. Jantungnya sibuk berdisko, nafasnya sibuk berhembus sedikit lebih cepat dari tempo biasanya. Matanya dengan lancang bergerak turun, berhenti tepat di sepasang bilah merah muda sang atasan.
Tanpa sadar Akssa mengulum bibir bawahnya.
“Hm?” Tara mengusap permukaan bibir penuh Akssa dengan ibu jarinya, “boleh saya cium kamu, Ssa?”
Belum sempat menjawab pertanyaan si bos, sepasang mata Akssa kembali lari-lari dan tak sengaja melirik jam di dinding pantry yang nyaris memasuki pukul setengah 9 pagi.
Aduh, pasti abis ini orang kantor pada nyeduh kopi di sini, nih…
Deru nafas Tara yang berhembus di depan wajahnya kembali menyadarkan Akssa bahwa mereka sedang terjebak dalam posisi yang teramat intim. Akssa semakin gugup, bukan hanya karena aura dominan Tara yang begitu kuat, tapi juga berpacu pada waktu yang semakin beranjak siang.
Suara derap langkah kaki mulai terdengar ramai di seberang pintu utama pantry.
Lantas tanpa pikir panjang, Akssa merengkuh leher jenjang Tara dengan satu tangannya, membawa lelaki itu semakin dekat dalam jangkauannya.
Tara tersenyum tipis, mati gue…
Sedikit merutuki nafsunya yang kini tertuju pada sebongkah bibir sintal milik Tara, Akssa pun menarik lelaki itu untuk dijemputnya dalam seuntai ciuman panjang yang sejatinya sudah didamba sejak lama.
Tara memejamkan mata, begitu juga dengan Akssa.
Deru nafas keduanya beradu di jarak yang kini kian terkikis habis,
Tara turut memeluk pinggang ramping Akssa, merengkuhnya dalam sebuah dekapan hangat yang sudah lama dinanti-nanti.
CEKLEKㅡ
“ANJRIIITTT??????”
. . .
To be continued!
{ JEYI }