Sweet tooth! Winnie.

another glimpse of sweet tooth!winnie series! Happy reading! :)


Satu… dua… tiga…

Satu… dua… tiga…

Satu… dua… tiga…

“Ugh, Masbie lama sekali…” Menghitung dari angka satu sampai tiga berulang-ulang kali nyatanya belum mampu menghilangkan rasa bosan yang dirasakan Winnie sejak detik pertama Bright meminta izin untuk pergi ke supermarket. Bibir kucing manis itu mengerucut lucu, tubuh tingginya tak berhenti mondar-mandir di depan pintu kaca hanya untuk melihat apakah ada tanda-tanda Masbie-nya akan datang dari sana.

Mata bulatnya yang semula antusias menunggu kembalinya sang pemilik kini berganti menjadi sorot kesal. Tanpa pikir panjang, Winnie beranjak menuju sofa di ruang tengah dan duduk di sana sambil menggerutu kecil.

“Memangnya, apa susahnya mengajak Winnie ikut pergi ke supermarket? Winnie 'kan sudah janji tidak akan minta membeli permen karet banyak-banyak. Masbie lama sekaliii… Winnie bosan!!!”

“Ngapain kamu dek di situ? Mau makan pizza nggak? June mau pesen pizza, nih…” June tiba-tiba muncul dari tangga.

Winnie menatap June dengan tatapan sayu, “Winnie tidak mau pizza, Winnie mau Masbie…” katanya, dengan jurus andalan yang akhir-akhir ini selalu ia pakai untuk mengambil hati lawan bicara; alias 5L. Lemah, letih, lesu, lunglai, lllleeeuuuubay.

June mengerlingkan mata seraya mendudukkan tubuhnya di samping Winnie.

“Emangnya Mas nggak bilang mau perginya berapa lama?” tanya June, yang langsung dibalas dengan gelengan pelan kepala Winnie. “kamu kenapa nggak ikut Mas, dek?”

“Kata Masbie tidak boleh… tidak… tidak… tidak… mengajak Winnie hanya akan membuat keranjang belanja jadi penuh, JUNEEEEE padahal Winnie sudah pinky promise Winnie tidak akan ambil permen karet banyak-banyak…”

Hahaha, June terlalu gemas dengan jawaban dan ekspresi yang melekat di wajah Winnie. Lantaran tak tega, akhirnya June pun menghubungi Bright dan mengarahkan ponselnya pada si kucing manis.

“Winnie?”

Winnie yang semula menatap acuh pintu kaca di sisi kiri ruangan dengan sekejap langsung mengarahkan wajahnya menuju layar ponsel June di depannya. Ada Bright di sana. Ada Masbie-nya yang tengah melirik kanan dan kiri secara bergantian. Winnie tak bisa lagi menyembunyikan senyumnya.

“Sedang cari apa, Masbie?”

Bright tersenyum di seberang sana, ia tampak berhenti sebentar sebelum akhirnya mengambil sekotak sereal dan menunjukkannya kepada Winnie.

“Your cereal. Winnie's favorite cereal.”

Winnie tersenyum lebih lebar lagi, “thank you so much Masbie…”

“Uhm, Masbie?” Tanpa meminta izin, Winnie secara spontan mengambil ponsel June dan mulai sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Mengabaikan June yang hanya bisa geleng-geleng kepala, tersenyum kecil, lalu menghidupkan televisi di hadapannya.

“Iya, sayang? Ada apa?”

“Uhm,,,” Winnie memberikan jeda pada ucapannya, “bubble gum, ya, ya, ya?”

Bright menatap Winnie dengan satu alisnya terangkat naik ke atas, “remember the reason why Mas didn't let you to come here?”

Pupus sudah harapannya. Bright benar-benar tidak mengizinkannya untuk memakan permen karet lebih banyak dan lebih sering lagi.

“Satu bungkus saja, ya? Winnie ingin yang rasa strawberry, boleh Masbie?” Mencoba sekali lagi tidak ada salahnya, kan?

Namun Bright tetap menggeleng di seberang sana.

Winnie mengerucutkan bibirnya lagi. Kali ini, ia tidak menatap Bright, dan memilih untuk meletakkan ponsel June di pahanya. Membiarkan sang owner berhadapan langsung dengan langit-langit ruang tengah.

June yang sadar bahwa Winnie tidak bersuara lagi pun menoleh. Gadis itu melirik ponselnya, dan mendapati sang kakak celingak-celinguk memanggil Winnie yang sedang merajuk.

“Mas,”

Bright menganggukkan kepalanya satu kali, menyahuti panggilan sang adik sambil terlihat terus mendorong troley belanjaan.

“Satu bungkus aja emang nggak boleh, Mas? Kasian, nggak tega gue, matanya berkaca-kaca gitu.”

Well, Bright tetap pada pendiriannya. Pria itu menggeleng dengan penuh percaya diri.

“Terakhir kali dia makan permen, dia ngeluh giginya sakit, Jun. Kalau udah sakit gigi, udah deh… rewelnya gue nggak sanggup buat handle. Pusing gue.”

“Ya tapi kan lo tau, anaknya emang sweet tooth juga. Sekarang lagi high kali tuh kepengen yang manis-manis.” June, masih terus mencoba. Namun apa daya, Bright tetap menggeleng mutlak.

“Dokternya juga ngelarang dia untuk makan yang manis-manis sebulan ini. Kalau sakit giginya kumat, dia butuh supresan. Adek lo itu paling susah disuruh nelen supresan. Daripada bablas sakit, kita mending mencegah daripada mengobati lah, Jun.” Bright terlihat sedang memasuki area minuman.

“Lo mau nitip apa tadi? Gue di area minuman, nih.”

“Coba liat, ada apa aja di situ?”

Bright mengubah mode kameranya menjadi kamera belakang, dan mengarahkan ponselnya ke arah deretan minuman yang didominasi oleh rasa manis.

“Yang kalengan tuh, Mas, yang sarsaparilla minumannya AW mau dong!”

Bright mengambil minuman kaleng yang dimaksud oleh June, “satu aja?”

“Lima deh buat stock, sama cola juga tiga botol ya, Mas…”

Bright mengembalikan mode kameranya menjadi kamera depan, lalu mengangguk mengiyakan permintaan sang adik.

“Coba tanyain, adeknya mau minuman apa?”

June melirik Winnie yang masih termenung diam. Dengan gemas, ia mengelus pelan surai kecokelatan Winnie, “Winnie mau jajan minum apa, sayang?”

Winnie tidak menjawab.

“Winnie,”

Tetap tidak ada jawaban.

“Ngambek anaknya tuh. Elu sih, Mas.”

Bright hanya menggeleng kecil tanpa jawaban.

“Ya udah, gue nitip itu aja, Mas. Lo jangan lama-lama pulangnya, oke?”

“Oke, gue tutup ya, Jun.”

“Yo, Mas…”

Dan sambungan telepon video itu pun berakhir. June meraih kembali ponselnya, melekatkannya di meja. Satu kali lagi, ia melirik Winnie yang masih menatap diam pintu kaca di samping kirinya.

“Dek, kesal sekali ya sama Mas?” June mencoba lagi untuk mengajak Winnie bicara, namun kucing manis itu sepertinya belum mood untuk mengimbangi.

Kalau sudah bad mood begini, susah deh ngebujuknya… June mengelus sayang surai coklat Winnie satu kali lagi, siapa tau kali ini Winnie mau memberikan respon.

“Dekkk…”

Sepertinya benar, Winnie sedang high. Terbukti dari bagaimana kucing manis itu tiba-tiba menangis dan langsung berdiri meninggalkan June sendirian di ruang tengah. Telinga Winnie yang biasanya terangkat naik sambil sesekali bergerak naik turun kini tampak layu terlipat ke bawah. Ekornya pun tidak bergoyang seperti hari-hari kemarin. Winnie menaiki anak tangga dengan perasaan kesal, kakinya menghentak-hentak sembari sesekali ia menarik telinganya sendiri.

“Winnie is a lion now, he's no longer kitty. Good luck, Mas!” diam-diam, June turut sedih karena setelah ini Mas Bright akan berurusan dengan Winnie, dan mood jeleknya.


“Is my baby mad right now?” Winnie yang sedang tertidur pulas, menggeliat gelisah ketika lehernya menerima stimulus terlalu banyak dalam waktu yang begitu singkat. Ia mengantuk. Menunggu Bright belanja bulanan sendirian ditambah dibuat kesal karena tidak boleh memakan permen karet, membuat Winnie kehabisan banyak energi. Matanya berattttt sekali. Susah payah ia membuka pejaman matanya, dan ternyata Masbie-nya sudah pulang. Dan sedang asik mencumbu gemas seluruh permukaan leher jenjangnya.

“Masbie sudah pulang?” Meski sedang merajuk, ternyata rasa rindunya pada sang owner jauh lebih besar.

Bright mengangkat kepalanya, menatap Winnie yang kini berbaring cantik di bawah kungkungannya.

“Sudah, sayang,” jari jemari Bright kini bergerak menyusuri setiap inci wajah manis Winnie, kemudian beralih mengelus lembut cuping telinga lancip yang kini terangkat naik sepenuhnya. “Winnie masih kesal dengan Mas?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Bibirnya mengerucut lagi. Matanya berkaca-kaca, teringat akan kekesalan yang sempat hilang ketika ia memilih tidur siang.

Winnie hendak memalingkan wajah, namun Bright lebih cepat untuk menahannya dengan sebuah kecupan lembut di bibir manis kucing ragdoll itu.

“I have got you something, Winnie,” bisiknya lembut. Sepasang mata bulat Winnie berbinar dalam waktu sepersekian detik.

“Is that bubble gum?”

Bright menggeleng, “No,” lalu tersenyum kecil sebelum pada akhirnya ia beranjak turun dari ranjang dan melangkah menuju meja kerja yang ada di sudut kamar. Bright mengambil sekantong plastik berwarna putih, dan membawanya kepada Winnie.

“Winnie boleh mencoba rasa manis yang lain, tapi tidak dengan permen karet untuk jangka waktu satu bulan ini, oke?”

“Setelah satu bulan, Winnie boleh makan permen karet lagi?”

Bright tampak berpikir sebentar, “kita harus kontrol ke dokter dulu, baru Mas bisa kasih jawaban apakah Winnie boleh makan permen karet lagi atau tidak. Bagaimana, hm?”

“Huh, Winnie tidak suka pergi ke dokter.”

“I know,” ucap Bright, sambil mengulurkan tangannya dan membantu Winnie untuk duduk di tepi ranjang. “Tapi Winnie harus terus memperhatikan kesehatan Winnie dan tetap pergi ke dokter, oke?”

MENYEBALKAAAAAN!!

“Oke.” Tapi Winnie tetap menurut.

Winnie mengalihkan pandangannya menuju plastik putih di tangan kanan Bright, “apa itu Masbie?”

Bright memberikan plastik itu kepada si kucing manis, “take it,” katanya.

Perlahan-lahan Winnie mengintip isi dari plastik putih tersebut. Ada beberapa minuman botol dan kaleng di dalam sana. Winnie mengambil salah satunya dan bertanya, “ini susu atau bukan ya, Masbie?”

Kepala Bright menggeleng pelan, “bukan, sayang, ini milk tea. Rasanya manis, Winnie will definitely like it.”

Sepasang mata bulat Winnie semakin berbinar. “Boleh Winnie coba?” tanya nya.

Bright mengangguk, “You want it, you get it.” lantas dengan cepat Winnie membuka tutup botol minuman teh susu di tangannya, dan meminumnya dengan penuh semangat.

Terlalu bersemangat, hingga menyisakan sedikit cairan di sudut bibirnya.

Winnie beralih mengambil satu minuman kaleng dari dalam plastik, “kalau yang ini?”

“It's a coffee,” Bright tak kuasa untuk tidak menyentuh sisi wajah Winnie dan mengusapnya lembut, “You want it, you get it, Winnie.”

“Okaaaaay!!!”

Dan Winnie pun menenggaknya sampai habis.

Botol kedua,

Kaleng kedua.

Botol ketiga,

Kaleng ketiga.

Gerakan tangan Winnie berhenti ada kaleng keempat. Warnanya… bukan coklat bukan juga merah marun. Winnie menatap dalam kaleng itu lalu melirik Bright setelahnya, “kalau yang ini apa yah, Masbie?”

“Minuman bersoda, it is delicious, tapi Mas rasa, kamu sudah cukup minum sebanyak ini, oke?” Bright mengambil kaleng tersebut dari genggaman Winnie, “Mas simpan di kulkas, Winnie baru boleh meminum ini tiga hari kemudian, oke?”

Winnie belum kenyang, tapi setidaknya kebutuhannya untuk mengonsumsi sesuatu yang manis sudah cukup terpenuhi. Akhirnya Winnie mengangguk pasrah dan membiarkan Masbie-nya merapikan semua sisa minuman yang masih ada dan membuang semua botol dan kaleng yang sudah kosong dan tergeletak di lantai kamar.

Winnie mengusap-usap perutnya sambil bersenandung ria. Cuping telinganya bergerak antusias, ribuan kupu-kupu seolah terbang di balik perutnya.

“I like sweets,” kata Winnie sambil tersenyum lebar.

Bright yang sedang membereskan segala kekacauan di kamar pun hanya bisa ikut tersenyum melihat Winnie yang tidak merajuk lagi.

“But I like Masbie more…”

Bright terdiam.

Winnie baru saja memujinya.

Tidak, Winnie selalu memujinya.

Tapi mengapa kali ini rasanya begitu teduh dan menyenangkan?

“I like Masbie the most!” kata Winnie, lagi.

Bright tetap dalam diamnya.

Membiarkan degup jantungnya bekerja begitu cepat.

“I love you, Masbie! Thank you… Winnie is full now…”

Tunggu,

“Ini gue nggak jatuh cinta beneran kan?! Fuck.”

. . .

THE END!