Our Special day.

half 🔞, first time making out, nipple play, kinda dirty talk. 5.1k words. Enjoy!!!


Bright dan kadar bucinnya memang sulit sekali diberi toleransi. Jadi nggak heran, kalau pemuda itu akan langsung tancap gas (naik motor kesayangannya, yang biasa ditumpangi Win di jok belakang) menuju rumah Pak RT, alias rumah pacar manisnya yang kemungkinan besar lagi merajuk.

Tanpa babibu, Bright langsung memarkirkan motornya di samping mobil pajero sport hitam milik Pak RT dan bergegas melangkah cepatㅡ lebar-lebar menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai garasi dengan bagian teras rumah besar Win. Namun langkah Bright harus terhenti, ketika nggak sengaja ia bertabrakan dengan Mick yang kelihatannya lagi buru-buru. Remaja SMP itu bahkan masih bersusah payah memasang sandal di kaki sambil mengaitkan kancing jaketnya secara bersamaan.

Bright spontan menghalangi jalan adik dari pacar kesayangannya itu, “mau kemana, boss?” tanya nya, dengan kedua tangan yang saling membentang seolah sedang bermain galasin.

Mick mendengus, bukannya berhasil memakai jaketnya dengan benar, jari telunjuk anak remaja itu malah terjepit ketika ia hendak menarik resleting dari dasar jaket, “ISHHH ABANG SIH, KEJEPIT KAN JADINYAAA!!!” lalu mengomel, persis seperti Win saat sedang berada pada mode galaknya.

Lantas Bright membenarkan posisi jaket yang dipakai Mick, sambil berusaha menahan tawanya ia lalu memasang pengait jaket di bagian bawah dan menariknya ke atas secara perlahan. Bright menepuk lembut kedua bahu Mick yang sudah mulai bidang akibat pubertas, “udah cakep, mau kemana, anak ganteng?”

“Mau ke indomaret, disuruh Mamah beli coca cola sama cemilan buat Abang karna Abang lagi ulang tahun.”

“Jiahhh bentar lagi Abang jadi anak kesayangan Mamah nih, udah fix ini mah bye Mick, bye Metawin.” balas Bright, sedikit mendramatisir ucapannya.

Mick memutar jengah sepasang matanya, “mimpi huuuu mendingan Abang sayang-sayangin dulu itu si Kakak, daritadi marah-marah terus bah pusing kali aku dengarnya.”

Marah-marah terus? Jadi… Win… Beneran ngambek? Bright refleks melirik ke arah dalam, berusaha mencari keberadaan Win siapa tahu pacar manisnya itu turun dan datang untuk menjemput seperti biasa.

Merasa diabaikan oleh pacar kakaknya, Mick turut mengikuti arah pandang Bright yang menatap ke arah ruang tamu. Mick menghela pelan nafasnya saat ia tahu maksud dari gesture yang dilakukan oleh si yang lebih tua, “Kakak nggak keluar kamar daritadi, Abang… Eh, keluar ding tadi tapi cuma pas nitipin kado ultah Abang ke Mick.”

Bright kembali melirik Mick, “dia beneran nitip ke lo, dek? Mati lah gue kalo dia beneran ngambek.” jawab Bright, panik-panik ajaib.

Nggak tahu-menahu tentang prahara rumah tangga sang kakak, canda rumah tangga, Mick lantas mengangkat kedua bahunya, “ah nggak tau, ya udah Mick harus ke depan ini, Abang… Nanti diomelin Mamah…!!!” lalu bergegas lari menuruni anak tangga, meninggalkan Bright.

Namun baru belum sampai ujung kakinya melewati gerbang, Mick terpaksa berhenti dan kembali berbalik menatap Bright yang masih termenung di tempatnya berdiri.

“Bang Bri,”

Bright menoleh, menautkan satu alisnya, menyahuti panggilan Mick lewat ekspresi yang tergambar di wajahnya.

“Kado dari Kakak ada di kasur Mick, ambil aja di kamar. Dadahhh, oh iya Mamah ada di dapur lagi nyiapin nasi kuning buat Abang!!!” dan setelah itu, Mick benar-benar mempercepat laju kakinya meninggalkan pekarangan rumah.

Kalau Win benar-benar marah, Bright jadi bingung bagaimana harus membujuknya. Masalahnya, bibit dari serangkaian kekacauan yang kini terjadi adalah uhm… how to explain it, it is something related to… konten dewasa. Sure, both are now adults since they're 18 this year and are okay to do some sexual activities as long as they want it, (with consent of course!) ditambah kebiasaan berciuman mereka berdua yang sering kali nyaris melewati batas, *terutama saat mereka kepepet berciuman di bilik 3 toilet sekolah, alias ciuman terpanas keduanya sepanjang sejarah karena diselingi aksi gendong-menggendong dan sedikit physical touches yang melengkapi gairah sepasang anak remaja saat itu, tapi satu kalipun… baik Bright ataupun Win sama sekali nggak pernah membahas soal aktivitas seksual selain hanya menjadikannya sebagai bahan bercanda.

Dan Bright bingung, soal percakapan mereka di iMess tadi, apakah Win serius dengan ucapannya atau lagi dan lagi sebenarnya anak itu hanya sedang bercanda dan pura-pura ngambek untuk mengerjai Bright yang sedang berulang tahun hari ini.

Oke, daripada harus overthinking sendirian, Bright akhirnya memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah Pak RT yang sebenarnya sudah seperti rumah ke-2 baginya.

“Heleh si ganteng udah dateng, kok Win nggak ngasih tau Mamah kalau kamu mau ke sini jam segini sih, Bri?”

Bright hanya bisa tersenyum kikuk sambil berjalan ke arah Mamaㅡ Ibu Win, yang spontan meletakkan kain serbet di atas meja, dan beringsut memberikan pelukan, seolah sudah jadi kebiasaan bagi keduanya. Mama mengusap sayang punggung tegap Bright, bahkan menepuknya pelan sesekali.

“Udah delapan belas tahun ya anak ganteng… Ya ampun Bri udah gede, selamat ulang tahun anak Mamah…. Apapun doa Bri, Mamah aminin ya ganteng...”

Dan Mama sudah seperti ibu ke-2 bagi Bright. Mama selalu memperlakukannya seperti anak kandung, bahkan keluarga Win punya kebiasaan untuk ikut membuat pesta kecil-kecilan setiap Bright ulang tahun, seperti hari ini. Mama sudah menyiapkan banyak makanan di atas meja; ada nasi kuning lengkap dengan pasukan perangnya seperti perkedel, ayam goreng, mie goreng, tempe orek, kentang balado dan juga sambal beserta lalapan. Lalu ada hidangan kesukaan pacar manisnya, pasta; Mama has prepared fettuccine carbonara and spaghetti as well. Dan ada beberapa kue basah yang tersaji serta beberapa jenis kue kering sisa perayaan natal di dalam toples.

Bright tersenyum, seraya melepas pelukan Mama pelan-pelan, “makasih banyak Mah, Bright sayang Mamah...”

Mama hanya mengangguk sambil membalas senyum tulus Bright, lalu wanita cantik itu kembali mengambil kain serbet dari atas meja, dan menepuk pelan lengan Bright seraya bergumam, “Panggil Win suruh turun gih, belum turun anaknya dari tadi. Abis ini kita berdoa bareng terus makan ya, Mama panggil Papa dulu… Biasa… Lagi ngisi TTS di teras belakang.”

“Mick juga masih ke depan, Mah, ke indomaret.”

Mama menepuk pelan dahinya lalu tertawa, “oh iya, Mamah lupa. Ya udah, kamu samper Win dulu sana, nanti kalau Mick udah pulang baru Mamah panggil ya...” balas Mama.

Satu acungan jempol Bright beri sebagai jawaban. Lalu bagaikan bocah kecil berusia 6 tahun, Bright berlari santai menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai 2 rumah untuk segera menjemput pacar manisnya.

Ya Tuhan, semoga Win nggak beneran ngambek… Ini permintaan pertama Bright di usia 18 tahun ya Tuhan, tolong banget ini mah… Amin.

. . .

Dan yes, benar dugaan Bright kalau Win nggak benar-benar merajuk padanya dan hanya berniat untuk sedikit jahil, demi memberi warna pada hari spesial pacar gantengnya itu.

Kini keduanyaㅡ si Pacar dan si Ayang, sama-sama sedang berbaring tengkurap di atas kasur milik Mick sambil sibuk membawa seluruh atensi pada sebuah flat TV di depan mereka. Dua pasang ibu jari milik keduanya kerap bermain di atas sebuah joystick di tangan masing-masing dengan penuh nafsu, berusaha menjadi pemenang adalah tujuan utama mereka malam itu.

Yap, setelah merayakan ulang tahun Bright dengan sebuah pesta kecil-kecilan bersama keluarga Win, sepasang anak adam itu langsung pamit ke lantai atas untuk menghabiskan hari bersama. Dan bukannya menghabiskan waktu di kamar Win, si pemilik rumah malah mengajak Bright untuk masuk ke kamar sang adik dan bermain playstation di sana.

“Yang, ini Mick nggak ngamuk kamarnya kita monopoli kayak gini? Udah 2 jam kita di sini, lho.” tanya Bright tiba-tiba, nyaris memecah konsentrasi Win yang sedang berusaha merebut bola dari karakter yang diperankan oleh sang pacar.

Win bergumam seadanya, “nggak mungkin dia berani ngamuk, aRGHHH KOK LO CURANG SIH?” nada pelan yang keluar dari mulutnya kini sudah naik level, ke volume yang lebih tinggi ketika Bright dengan tega merebut bola dari jangkauan Win.

“Fokus dong, masa diajak ngobrol dikit langsung buyar, gembel.”

“Oh gitu ya lo mainnya, OKEEE.”

Bright tertawa pelan, lalu mencibir ucapan si pacar dengan mengimitasi kalimat oh gitu ya lo mainnya, oke, dengan nada penuh ejekan, “dih ngambek, ngapain lo lari keluar lapangan, gantenggg…!!!” Bright sedikit banyak terkecoh saat akan menggocek bola dari tim Win karena matanya nggak sengaja melihat karakter yang dimainkan sang pacar kini berlari keluar lapangan, melewati garis putih.

Dipencetnya salah satu tombol sampai tulisan pause terpampang di layar televisi. Kepala Bright menoleh ke arah kiri, Win terlihat sedang meletakkan joystick PS ke lantai, lalu pemuda manis itu mengubah posisinya menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamar sang adik, dengan kedua tangan yang sengaja ia selipkan di belakang kepalaㅡ menjadikannya sebagai bantal dadakan.

“Udahan mainnya? Cupu, masa kegocek dikit langsung nyerah.”

Win melirik Bright yang posisinya kini sedang menatapnya dari atas, sebelah kiri. Sepasang bola mata Win mengerling jengah, “males, lo memanfaatkan kesempitan dalam kesempatan.” balas Win.

Ganteng doang, ngomong belepotan. Tapi Bright sebagai bucin abadi jelas nggak bisa menahan tawa, bahkan pemuda itu refleks menghadiahi sebuah jitakan di dahi Win yang tertutup helaian poni, sedikit berantakan.

“Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ganteng… Makanya kalau ngomong jangan buru-buru, belepotan kan tuh.”

Win mendengus menahan kesal, dijauhkan tangan Bright dari wajahnya, “sakit, jelekkk!!!”

Cepat-cepat Bright menunduk, memberi sebuah kecupan panjang di tempat yang barusan ia jitak; di dahi Win. Sebuah cubitan mampir dengan cantiknya di pinggang Bright, membuat pemuda itu meringis kesakitan sambil memberi jarak antara wajahnya dan juga wajah si Ayang.

“Beraninya cium-cium doang, nggak asik.” ujar Win, yang Bright tahu betul nih, kemana arah pembicaraan si Manis.

“Jangan mulai, Yang. Ntar kita ribut lagi, mau?”

Win lagi dan lagi mendengus, “kan ributnya cuma pura-pura. Tapi gue ngasih tawarannya beneran, nggak pura-pura.”

Astaga… Win tau nggak sih, efek samping dari ajakan mesum dia tuh beneran bisa bikin Bright merinding disko?

Takut… (takut khilaf).

Bright akhirnya memilih untuk kembali fokus pada layar televisi di depannya. Pemuda itu sengaja mendiamkan Win, leaving the sweet guy of his without answer, dan mulai mengotak-atik joystick playstation di tangannya. Baik Bright maupun Win sama-sama nggak ada yang mau buka suara, yang satu gengsi nah yang satunya lagi takut salah ngomong, takut malah berujung mengiyakan ajakan mesum Win untuk memberikan cucu dan keponakan yang lusyu dan gemash bagi Bunda dan Mick.

Nggak, Bright, nggak… tahan… iman lo kuat… ayo nyebut… Dalam nama Tuhanㅡ

Ceklek,

Bright belum sempat merampungkan doa darurat yang diucapkan dalam hati, pintu kamar keburu terbuka dan perhatian Bright terpaksa buyar seketika.

Mick masuk ke dalam kamar tanpa basa-basi. Anak remaja itu melenggang masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka (terdengar suara air mengalir dari sana, juga suara grasak-grusuk yang menguatkan fakta bahwa Mick sedang melakukan aktivitasnya dengan buru-buru). Bright melirik Win dengan satu alis yang bertaut, bingung.

Dan Win yang juga clueless pun hanya bisa mengangkat kedua bahunya.

“Udah lanjutin aja main pees nya,”

Jelas, sebagai bucin kronis, Bright pun kembali sibuk untuk mengatur ulang games yang semula ia mainkan berduaㅡ berlawanan dengan Win, menjadi pemain tunggal. Sound effects yang dihasilkan oleh games tersebut kini mendominasi kamar besar milik Mick, dan Win memilih untuk mengganggu pacar gantengnya dengan memainkan jari-jari panjangnya di surai hitam Bright.

“Jangan iseng ngejambak ya lo, jambakan lo sakit, yang.”

Win hanya bergeming, tangannya kini mulai menemukan seru ketika helai demi helai rambut Bright menggelitik telapak tangan dan sela-sela jarinya.

“Ngapain jambakin lo, kan kita nggak lagi enak-enak.”

Bright meremas joystick PS di tangannya, “ayang, astagfirullah...”

“Kita kristen, Bright.”

Oh iya, lupa.

“Yang, stop bercanda, hati gue berasa merosot terus setiap lo bahas ituan tau nggak, sih...” sebisa mungkin, Bright berusaha kembali fokus untuk bermain FIFA. Enggan memberi kesempatan pada Win untuk melanjutkan ucapannya.

Sedangkan Win, pemuda manis itu tampaknya belum mau berhenti menjahili si pacar. Matanya melirik cepat ke arah kamar mandi, ingin memastikan kalau Mick masih sibuk di dalam sana, lalu ia membawa tubuhnya mendekat pada Bright. Dengan sengaja Win membaringkan kepalanya tepat di bawah dagu sang pacarㅡ di atas kedua lengan Bright yang sedang memegang joystick playstation, menatap fitur sempurna si pujaan hati dari jarak yang begitu dekat.

Bright melirik Win di bawahnya, “ngapain sih, yang? Susah ini looo kalau gue mau gerakin tangan.”

Win lagi dan lagi bergeming. Satu tangannya ia angkat untuk memberi elusan lembut di rahang tegas Bright. Niat sesungguhnya adalah untuk menggoda si pacar, tapi rasanya Win malah terjebak permainannya sendiri. Wajah Bright yang terlalu dekat, serta hembusan nafas yang kini menggelitik seluruh permukaan wajahnya, membuat Win sibuk mengagumi fitur sempurna yang lahir tepat di tanggal ini, 18 tahun silam.

Bright sadar nggak sadar juga sudah melupakan games FIFA yang awalnya sedang ia mainkan, matanya fokus menikmati keindahan netra kecoklatan Win lalu turun perlahan ke bibir penuh pemuda manis itu.

Cup,

Win dengan cepat mencuri satu kecupan, kilat, di bibir Bright, membuat pacarnya itu mengerjap beberapa kali, kaget. Dan seolah nggak terima dibuat skakmat begitu saja, Bright menundukkan wajahnya untuk meraih bibir Win, apalagi pacar manisnya itu kini sengaja memasang ekspresi menggoda di bawahnya.

“Nakal ya curi start duluan,” bisik Bright pelan, sambil membawa bibirnya mendekat pada bibir Win. Bright memiringkan kepalanya ke kanan, dan Win memejamkan matanya di waktu yang bersamaan,

Ceklek,

Tapi sayang… belum sempat keduanya menikmati ciuman mereka, Mick kini sudah berdiri di depan pintu kamar mandi dengan tubuh yang menghadap langsung ke atas kasur. Anak remaja itu membelalakkan matanya begitu ia dapati sang kakak dan calon Abang iparnya (aminin aja dulu) nyaris berciuman dengan posisi yang, ehm, tampak seperti saling menindih.

Mick, cuma kaget. Nggak berniat untuk meledek dua anak adam yang masih skakmat di posisi masing-masing dan langsung melenggang ke arah lemari untuk mengambil sebuah hoodie abu-abu dari dalam sana.

Win berdehem pelan, lalu berguling ke sisi kiri kasur, menjauh dari Bright yang juga kini mulai mengubah posisinya menjadi duduk.

“Lo ngapain cuci muka?” tanya Win, penasaran.

Mick melirik sang kakak yang ternyata sedang menatap ke arahnya dengan pandangan kepo. “Mau nemenin Mamah ke rumah tante Jasmine. Barusan ditelfon, soalnya tante Jasmine baru nyampe Jakarta, disuruh ambil oleh-oleh.” jawab Mick.

“Sama Papah juga?”

Mick mengangguk, “ya iya lah, Kakak… Yang nyetir mobil siapa emangnya kalau bukan Papah… Hadeh...”

Diam-diam Bright tertawa. Win melirik judes ke arahnya, melempar death glare sebelum kembali memusatkan seluruh atensi pada Mick yang kini sibuk memasukkan beberapa barangnya ke dalam sebuah tas selempang.

“Gue nggak diajak, dek?” tanya Win.

Mick hanya mengangkat kedua bahu seadanya, mata anak remaja itu sedang menelisik dua pasang earpod; merah dan biru, sambil menimbang-nimbang warna apa yang harus ia bawa dan masukkan ke dalam tas.

“Mamah nggak nyuruh Kakak siap-siap, sih. Mungkin Kakak emang nggak dibutuhkan lagi.”

Lalu sebuah bantal kecil mendarat sempurna di punggung tegap Mick, “sini ngomongnya deketan, biar gue gampang naboknya.”

“BERCANDAAA KAKAK!!! Tapi Mamah emang nggak nyuruh Kakak siap-siap, tuh.” sahut Mick, kini membalik arah tubuhnya untuk berhadapan dengan sang kakak.

Hmm, ada yang aneh… begitu pikir Win dalam hati. Alhasil, pemuda itu bangkit dari posisi berbaringnya dan beranjak bangun dari kasur Mick.

“Bentar gue tanya Mamah dulu.” kata Win, yang entah ditujukan untuk siapa. Setelah itu, Win langsung bergegas melangkah keluar kamar untuk mencari sang Ibu yang mungkin masih bersiap-siap di lantai dasar.

Meninggalkan Mick dan Bright yang mungkin sekarang sedang asik mengobrol soal games FIFA yang terpampang di layar televisi.

. . .

“Lo beneran nggak dibutuhin lagi sama Mamah, yang?”

Adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Bright saat Win kembali masuk ke dalam kamar Mick, lengkap dengan sebuah toples bening besar berisi lays rasa rumput laut yang masih sangat banyak jumlahnya.

Win cuma bisa berdecak, belum bisa membalas ucapan sang pacar karena mulutnya penuh dengan lays belum selesai dikunyah.

Bright yang sedari tadi sibuk meneruskan FIFA-nya, pada akhirnya menoleh melirik Win karena pemuda itu tak jua membalas pertanyaannya.

“Udah pada jalan?” Bright bertanya lagi, dan Win hanya mengangguk, lalu duduk di samping kepala Bright yang memang sudah kembali berbaring dengan posisi tengkurap di atas kasur.

Win mengambil dua pieces lays dan mengarahkan tangannya mendekat pada mulut Bright, “Mick tadi beli ini juga ternyata, kesukaan lo kan?” dan tanpa babibu Bright langsung melahap suapan lays dari tangan Win dengan penuh semangat.

Terlalu bersemangat sampai dirinya sendiri nggak sadar kalau lidahnya mulai bergerak menjilati dua jari Win yang ada di dalam mulutnya; berusaha membersihkan bumbu dari lays itu sendiri pada ibu jari dan jari telunjuk Win.

Kepalanya bahkan sesekali bergerak maju dan mundur, seolah-olah sedang mengulum kedua jari Win.

“Bii,”

Bright mengalihkan fokusnya dari layar televisi menuju Win, dan heningnya suasana serta ekspresi gugup yang tergambar jelas di wajah sang pacar berhasil membuat Bright sadar kalau dua jari Win kini masih ada di dalam mulutnya; di atas lidahnya.

Bright baru saja akan bergerak menjauh, tapi Win kekeuh untuk membiarkan dua jarinya tetap berada di dalam sana.

“Jilat lagi, Bii...”

Ya Tuhan, Metawin bener-bener… bener-bener menguji iman dan keyakinan gue… menguji kesabaran gue… menguji ketahanan gue…

Bright lagi dan lagi hendak melepaskan dua jari Win tapi Win lebih dulu menahan sebagian sisi wajah Bright dengan tangannya yang lain.

“Now you choose, lo lanjutin jilat jari-jari gue atau gantian gue yang jilatin lo...”

Astagfirullahaladzim…

“Yang,”

Bukannya langsung menjawab, Win malah terkekeh kecil, “geli hehehe.”

Bapa kami yang ada di sorga… ya Allah mau lanjutin doa juga gue udah nggak sanggup…

Lantas Bright cepat-cepat menyentuh punggung tangan Win yang ada di dekat mulutnya, menariknya pelan sampai kedua jari Win benar-benar lepas dari jangkauan organ oralnya. Bright, tidak melepas tangan Win sama sekali. Membuat Win bingung akan sikap pacarnya itu, apalagi ketika Bright kembali mengotak-atik joystick di tangan kirinya, membawa fokusnya kembali pada layar televisi di depannya.

Win menatap sosok Bright dengan pandangan kesal. Bagaimana bisa sang pacar mengabaikannya yang sudah nyaris turn on??? Bahkan Bright kini memenjara geraknya dengan satu tangan. Lalu perhatian Win beralih pada jari-jari panjang Bright yang meremat pelan pergelangan tangan kanannya. Pertanyaan yang ia lontarkan sendiri kini terngiang-ngiang dalam benaknya. Lo lanjutin jilat jari-jari gue atau gantian gue yang jilatin lo… dan kondisi dimana Bright lengah, akan segera Win manfaatkan dengan melakukan suatu aktivitas yang berguna bagi nusa dan bangsa,

“Yangghhh, anjrit...”

seperti balas menjilat jari-jari tangan Bright, contohnya.

Bright kembali mengatur FIFA-nya pada mode pause, lalu ia mengubah posisinya menjadi duduk menghadap ke arah sang pacar.

“Kayaknya kucing nggak lagi musim kawin, terus kenapa kucing persia gue yang satu ini birahi banget pengen kawin? Hm?” tanya Bright lembut, berusaha untuk menekan hasratnya yang juga mulai naik ke level gawat.

Win berdehem pelan, bingung juga harus menjawab seperti apa. Masa iya, harus terang-terangan bilang kalau kali ini dia beneran mau nyoba sama Bright? Malu, weh. Bisa diketawain abis-abisan sama pacar nakalnya itu.

“Yang…”

Ditatap terlalu dalam oleh Bright yang sialnya nggak peka-peka sama kode yang diberikan, Win pun memilih untuk menjauhkan tangan si pacar dari jangkauannya dan beringsut turun dari kasur besar Mick. Tanpa ada kata yang terucap, Win mulai menutup kembali toples berisi lays rumput laut yang sudah terlanjur jadi media perbuatan half mesum mereka. Win, malu. Luar biasa malu apalagi kalau sampai Bright sadar akan emergency alert yang diam-diam coba ia berikan pada sang pacar.

Karena biasanya, Bright yang selalu memulai aktivitas intim mereka. Entah itu ciuman, pegang-pegang dikit atau kalau ada kesempatan bahkan bisa sampai ke tahap saling meninggalkan jejak di tengkuk masing-masing. Ya, nggak banyak sih… tapi seenggaknya mereka memang pernah melakukan tiga hal itu, dan semuanya pasti inisiatif dari Bright. Apalagi, Win sering kelewat merajuk kalau Bright berhasil curi-curi kesempatan sampai bablas seperti apa yang terjadi tempo hari ketika classmeeting di bilik ke-3 toilet sekolah.

Win, nggak pernah memulai lebih dulu. Win biasanya akan selalu jadi pihak yang mengikuti arus, dan ketika ia gagal menahan hawa nafsunya sendiri (seperti tadi) Win sama sekali nggak punya alasan logis yang bisa ia berikan pada Bright sebagai pembelaan. Ya, apaan yang mau dibela? Kan kali ini emang beneran kepengen…

Mau nangis… kayak nggak punya muka lagi di depan Bright…

Win sudah siap untuk lari meninggalkan Bright sendirian di kamar Mick, tapi Bright lebih cepat menahan tangannya dan menarik Win untuk kembali mendekat pada pacarnya itu. Bright sengaja memposisikan tubuh Win berdiri di tengah apitan kedua kakinya, lalu satu tangannya bergerak merengkuh pinggang ramping Win dengan lembut.

“Mau kemana, hm?”

Lantas Win membalas tatapan Bright takut-takut, jangan sampai Bright liat ada merah-merah di pipi gue, please… “m-mau balik ke kamar.” jawabnya, yang sial seribu sial harus terucap dengan gugup.

Bright mengusap pelan pinggang Win dengan telapak tangan kirinya, “terus gue ditinggal sendirian di sini?”

“Y-ya udah, kelarin aja dulu main pees nya, abis itu nyusul ke kamar.”

Sebuah seringai kecil tanpa diminta hadir di sudut bibir Bright, “emang mau ngapain sampai gue harus nyusul ke kamar?” oke, Bright, oke fine.

Merasa sedang dijebak oleh sang pacar, akhirnya Win menarik nafas dalam-dalam dengan fokus atensi yang sama sekali nggak beralih dari sepasang mata Bright. Win menghembuskan nafasnya perlahan, sambil menunduk, menunduk dan menunduk hingga ujung hidungnya kini bersentuhan dengan ujung hidung milik Bright.

Win mengusap seduktif rahang Bright, lalu naik ke pipinya. Capitan ibu jari dan jari telunjuk Win hinggap di dagu lancip pemuda itu, membawa wajah si pacar sedikit mendongak, lalu sebuah kecupan mendarat dengan begitu sempurna di bibir tipis Bright.

Cup,

Cup,

Cup,

Sudah terlanjur terangsang (lagi), membuat Win tanpa ragu mencium bibir Bright sebanyak empat kali. Tensi di dalam kamar Mick sudah berubah, dan keduanya seolah enggan untuk berhenti.

Win menjauhkan sedikit wajahnya, hendak menjatuhkan kecupan di bagian yang lain namun Bright lebih cepat mengunci pergerakannya. Kedua tangan Bright kini sudah menangkup wajah Win, dan membawa kembali bibir keduanya untuk bertemu di satu titik yang sama.

Bukan lagi sebuah kecupan kupu-kupu, tapi Bright mengubah alur mereka memasuki tempo yang lebih dahsyat dibanding sebelumnya. Bright, mencium bibir Win dengan penuh gairah. Melumat bibir atas dan bawah si Manis dengan lembut, membiarkan benang saliva keduanya mulai bercampur jadi satu.

Satu tangan Win turun menyentuh bahu Bright, meremasnya pelan. Sedangkan satu tangan yang lain kini ia selipkan ke belakang tengkuk Bright, menggoda sang pacar dengan memberikan usapan sensual di kepala bagian belakang pemuda itu.

“Mmhhh, Bii...”

Kadang Win heran, Bright punya bakat menjadi pencium handal dan Win nggak bisa menduga darimana bakat itu berasal. Not complaining tho, Win justru merasa senang karena bisa belajar untuk jadi handal dengan mengikuti tempo permainan pacarnya itu.

Ribuan kupu-kupu imajiner terasa menggelitik perutnya saat Bright mengarahkan bibirnya untuk mencium sudut bibir, dagu, rahang dan berakhir di perpotongan leher Win. Bright sucks on his neck, giving him all the pleasure through the wetness trails down to his nape. Nafas Win mulai memburu, keseimbangannya goyah akibat afeksi yang diberikan Bright sehingga Win mendorong pelan tubuh sang pacar untuk berbaring di kasur, dan Win ended up being a Win on top.

“Mmhhh… Bii… Ahhh...”

Win mulai mendesah. Kepalanya sengaja ia sembunyikan di perpotongan leher Bright, selagi Bright sendiri sibuk mencium dan menghisap satu titik di lehernya. Remasan tangan Win pada bahu Bright menguat seiring dengan satu tangan Bright yang kini bergerilya di punggungnya.

“Gue harus berhenti nggak, yang? Atau masih boleh lanjut, hmm...” Bright bertanya, tapi mulutnya terus menjelajah di sepanjang leher jenjang Win.

Win menggeleng pelan, enak aja… udah high masa disuruh berhenti…

“Boleh lanjut, nih?” sekali lagi Bright bertanya, mencoba untuk mendapat kepastian jawaban dari pacar manisnya.

Bright baru saja akan mengulum daun telinga Win, tapi tiga kali tepukan di bahunya menjadi pertanda bahwa Win meminta waktu sesaat. Nggak lama setelah itu, Win menopang tubuhnya sendiri dengan tangan yang ia tumpu di sisi kiri dan kanan Bright. Wajahnya kini berhadapan dengan wajah Bright; Win di atas, seolah mengukung pemuda itu dalam kuasa dominasinya.

“Jangan di sini, nanti Mick tau.”

Bright terkekeh kecil, satu usapan ia berikan di punggung Win, “pindah ke kamar lo, nih?”

Win tampak berpikir sebentar, lalu topangan tangannya menurun dan sebuah ciuman Win berikan di sudut bibir kiri Bright, “sebelum lanjut, kado dari gue udah dibuka?” tanya Win.

Astaga, iya! Lupa! Padahal Mick sudah memberi tahu kalau Win menitipkan kado untuknya di kamar yang sekarang sedang mereka tempati, tapi Bright justru sama sekali belum bertemu dengan wujud kado tersebut.

Mau nggak mau Bright menggeleng, “lupa, sama Mick ditaro mana ya...” lalu Bright melirik ke arah meja, siapa tau Mick menyimpannya di sana.

Win terkekeh kecil, lalu beranjak pergi dari atas tubuh Bright. Tangannya kembali meraih toples lays rumput laut, lalu memberi kode pada Bright untuk segera bangkit dari posisi berbaringnya.

“Get your birthday present first, baru boleh nyusul gue ke kamar.”

Lalu Win benar-benar beranjak keluar kamar Mick. Meninggalkan Bright dalam segala pikiran kusutnya.

. . .

“Yang, jangan bercanda...”

Ucapan Bright belum rampung sepenuhnya, tapi lidahnya justru terasa kelu begitu ia dapati Win baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan sleeprobe merah marun berbahan satin. Win bahkan hanya melirik Bright sekilas, lalu melanjutkan langkah menuju kasur sambil mengikat tali panjang dari sleeprobe itu sendiri.

Win menghentikan langkahnya tepat di depan laci di samping kasur, lalu meraih ponselnya dari atas sana, di samping lampu tidur.

“Mamah, Papah sama Mick nginep di rumah tante Jasmine. Besok habis makan siang baru pulang.”

Bright menutup pintu kamar Win pelan, berusaha menetralkan degup jantungnya yang mendadak bekerja di atas ambang normal lalu beranjak menghampiri sang pujaan hati.

Bright duduk di tepi kasur besar Win, pandangannya pada Win malam itu berubah ketika dapati apa yang ada di dalam kotak kado yang merupakan hadiah ulang tahun dari pacar nakalnya itu.

Win masih sibuk mengetik pesan balasan untuk Mick, dan nggak lama setelah itu Win meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Pemuda manis itu berbalik menghadap Bright, “do you like the gift?” tanya nya.

“Bahkan untuk sekedar doa bapa kami aja gue udah nggak sanggup, yang...”

Kekehan kecil lolos dari belah bibir Win. Keduanya masih membiarkan sepasang mata mereka saling terkunci satu sama lain, seraya Win kembali memposisikan tubuhnya untuk berdiri di antara kaki kanan dan kaki kiri Bright. Win mengusap sayang pipi dan surai hitam Bright. Ia tahu, tahu sekali kalau kadonya amat sangat konyol… tapi rasanya Win memang ingin memberikan kesempatan itu pada Bright sekarang, hari ini, tepat di tanggal 27 Desember.

Bright mengambil satu dari dalam kotak kado pemberian Win, menggenggamnya ragu-ragu, bingung harus memulai dari mana.

Win ikut melirik benda yang sedang dipegang Bright, “gue nggak tau lo maunya rasa apa, but since i really do like sweets, gue pilih beberapa rasa stroberi, for my own pleasure.” Tatapan Win kembali terpusat pada Bright, ia tertawa kecil, meskipun canggung mulai mendominasi situasi di kamarnya.

“Gue nggak tau rasanya kayak gimana, sih… tapi lidah gue cocok-cocok aja sama rasa stroberi, so i hope it doesn't taste that bad.” sambung Win.

Bright mencelos. Benda yang semula ia pegang, kini ia letakkan di atas kasur. Digenggamnya kedua tangan Win, “sayang… i didn't love you for this,”

Win menggigit kecil bibir bawahnya, takut… takut jika Bright benar-benar akan menolaknya (lagi).

He squeezed those hands softly, “gue bisa nunggu… nanti, sampai waktunya udah tepat. Gue nggak jadiin lo pacar cuma untuk menuhin kebutuhan biologis gue, yang. Mungkin ini akan terdengar menggelikan, tapi dengan lo selalu ada di deket gue aja… itu udah amat sangat cukup buat gue.”

Win balas meremas tangan Bright yang sedang menggenggamnya, “emangnya satu kalipun lo nggak pernah kepikiran mau nyoba sama gue, Bii?”

“Gue berdusta banget kalau gue bilang gue nggak pernah mimpi porno soal lo, tapi ya nggak sesering itu, yang. Gue sayang lo pake hati, bukan pake nafsu. Dan kalau urusan pernah kepikiran mau nyoba atau nggak, ya jelas gue mau… tapi gue tau, sekarang belum waktunya kita sampai ke tahap itu. It's enough for me with us sharing kisses and hugs only.” balas Bright, jujur.

Win menghela panjang nafasnya, “tapi gue mau, Bii… that's why i bought you condoms.”

“Demi Tuhan, nggak pernah sekalipun terbesit di otak gue kalau lo bakalan ngadoin gue kondom...”

Win terkekeh kecil, Bright memang selalu bisa mencairkan suasana di antara mereka, “sebenernya itu bukan kado utama, sih. Let's just say i will give you the main present, pas gue bisa nyimpulin… seberapa hebat lo di ranjang.”

“Win… are you sure? Gue nggak mau kalau lo ternyata cuma berusaha buat nyenengin hati gue, ya. Di hubungan ini, harus kita berdua yang bahagia. Nggak cuma gue, nggak cuma lo, tapi kita berdua.”

Jika Bright sudah memanggilnya dengan nama, maka sama saja artinya dengan mereka akan memasuki mode pembicaraan yang serius.

Win mengangguk, “gue awalnya emang cuma bercanda. Di chat pun gue cuma iseng, mau ngerjain lo. Tapi terus gue mikir, kita udah sama-sama dewasa, dan kita berhak untuk nyoba selama gue mau dan lo juga mau. Dan akhirnya gue yakin untuk ngasih kesempatan buat lo di hari ulang tahun lo, jadi ya… hari ini nggak cuma spesial buat lo aja, tapi buat gue juga… because it would be my first time as well.”

“I want you to be my first, Bii. I want to do it with you.” sambung Win.

Satu kali lagi Bright menghela nafasnya. Bright menang tahu kalau Win adalah definisi dari pacar sempurna yang sebenarnya, tapi Bright baru tahu kalau Win bisa jadi sesempurna ini.

“Oke, tapi nggak masuk-masuk dulu ya, kita belajar pelan-pelan, ya sayang, ya?”

Win tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk, “how about blowjob or handjob?”

Kini Bright yang tampak berpikir, “oke fine, boleh. Kita sama-sama tentuin dulu gimana enaknya ya, yang. Blowjob oke, handjob oke, lo maunya gimana lagi? Is dirty talk okay with you?” tanya Bright.

“Kalau kata google sih, dirty talk bisa nambah gairah pas having sex. Tapi karna kita nggak sampai masuk, mungkin bisa dicoba… Siapa tau bisa bikin semangat pas gue lagi ngocokin lo, Bii.”

ANJINGGGGGGGGㅡ belum mulai aja udah begini…

Bright menggeram pelan, “which position you don't like, yang?”

“Nggak tau… kan belum pernah nyoba… jadi kita cobain semua posisi dulu gimana?”

Oke, Bright mengangguk, “gue beneran bakal digebuk Papah kalau Papah tau anaknya bisa blak-blakan begini mikirin posisi ngewe...”

“HMPPPTHHHHㅡ lucu juga kalau kita ngobrol jorok begini, ya? HAHAHA...” sahut Win.

Perlahan namun pasti, Bright mulai menarik Win mendekat lalu menuntun pacarnya itu untuk duduk di atas kedua pahanya.

Win tersenyum kecil, mencuri satu ciuman di bibir Bright.

“Can we start now?”

Lantas dengan mantap Bright mengangguk, kembali meraup lapar bibir Win sambil membawa pacarnya itu untuk beranjak ke tengah kasur. Bright berbaring pasrah, membiarkan Win duduk di atas perutnya sambil terus berbagi ciuman dalam.

Ciuman Bright berpindah ke leher Win, memberikan pacar manisnya sensasi nikmat yang lebih dari biasanya. Tangan Bright turut melepas tali sleeprobe yang dipakai Win, menarik turun fabrik tersebut sampai bagian atas tubuh Win yang polos kini terekspos bebas.

Bright menggulingkan tubuh keduanya, membuat tubuh setengah telanjang Win kini ada di bawah kuasa dominasinya.

Ciuman Bright turun menyapa dada putih Win, meninggalkan jejak saliva dari bahu sampai puting kirinya. Bright melirik Win yang sudah menutup mata, bibir penuhnya terbuka sedikit, terlihat begitu menikmati.

Bright mencium gemas puting Win yang mulai mengeras. Menjilatinya sesekali, lalu meraupnya dan mengulumnya pelan. Win menggeram, matanya perlahan terbuka, ia ingin melihat Bright yang mulai sibuk menikmati buah dadanya.

“Ahhh… E-enak, Bii… Mmhhh...”

Win menyentuh kepala bagian belakang Bright, meremas surai tebal pacarnya itu, berusaha menyampaikan lewat gerak tangannya bahwa ia sangat menyukai permainan bibir Bright di putingnya.

“Enak, yang? Dihisap gini putingnya, enak?”

Win mengangguk, menekan kepala Bright agar lebih dalam mengulum putingnya, “B-bii, gue mau juga...”

“Mau apa, sayang?”

“Are you really okay with dirty talk, Bii?” tanya Win, memastikan.

Bright sambil menggigit kecil putingnya, mengangguk, “nggak apa-apa, omongin aja. Kalau nantinya gue nggak nyaman, next time kita nggak pakai dirty talk lagi.”

“Oke, so...”

Win menarik pelan surai hitam Bright sampai pemuda itu terpaksa harus menyudahi acara menyusu-nya. Kabut nafsu sudah memenuhi sepasang mata pemuda 18 tahun itu, dan pergerakan jari-jari panjang tangan Win di tengkuknya semakin membuat Bright terbakar oleh gairah.

“Gue mau blowjob lo, Bii… I wanna taste your kontol...”

. . .

CUTTTTTT!!! udah ah jangan diganggu first time mereka, xixixi :)

JEYI // 201230.