Last Pleasure.
TAGS; EXPLICIT CONTENTSㅡ over-stimulation, chest play, praise!kink, slow-burn, handjob, doggy style, sex with beach night view, kitchen foreplay, younger!bright x older!win 🔞 total words: 4.7k words Weekend Escape Universe.
Gemuruh suara ombak menjadi salah satu sumber suara yang mengisi keheningan malam seorang pemuda yang masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan salah satu universitas swasta di Jakartaㅡ Bright namanya, yang kini hanya tinggal seorang diri di dalam kamar bertipe suite sebuah hotel ternama di kawasan Nusa Penida.
Pun pemandangan pantai juga kerlap-kerlip lampu jalanan turut memancing minat pemuda bersurai hitam itu untuk terus berdiri bersandar di pagar balkon, menikmati semilir angin malam yang terasa menggelitik seluruh permukaan kulitnya yang… uhm, cukup terekspos.
Maksudnyaㅡ cukup minim, dan membuat siapa saja yang berada di dekatnya bisa melihat betapa bersih dan sempurnanya tubuh itu dengan warnanya yang nyaris seputih porselen. Ada tattoo yang terukir apik di bahu kirinya, menambah kesan seksi dan maskulin si mahasiswa.
Bright menghela pelan nafasnya, sesekali mengetuk-ngetuk jari-jemarinya yang panjang di atas pagar balkon sambil menghitung mundurㅡ memperkirakan waktu yang tepat bagi Win untuk tiba di kamar mereka. Delapan menit lalu, Win sudah mengirim pesan kalau dirinya sudah sampai di basement dan sedang bersiap menuju kamar mereka di lantai 3. Dan jika hitungannya tidak keliru, maka dalam beberapa detik pintu kamar yang kini menjadi saksi bisu heningnya malam akan terbuka dan,
“Bright,”
ㅡ menampilkan sosok seorang direktur utama muda sebuah perusahaan besar, berdiri di ambang pintu dengan beberapa plastik di tangan kanan dan kirinya.
Ada segaris senyum tipis di wajah Bright kala ia dapati satu alis Win bertaut membentuk ekspresi. Lantas dengan cepat Bright melangkah meninggalkan posisinya dan bergegas menghampiri lelaki manis yang sudah sekitar 6 bulan ini hidup bersamanya, tinggal bersamanya, menghabiskan banyak sekali waktu dengannya itu.
Langkah kaki Bright berhenti tepat di hadapan Win, lalu pemuda itu menunduk untuk mencuri satu kecupan di pipi si lelaki yang lebih tuaㅡ pada tahi lalat nan mungil di pipi kanan Win lebih tepatnya, ia mengulang aksi yang sama… seperti hal pertama yang ia minta pada Win sebagai hadiah ulang tahunnya, sekitar seminggu lalu, yang secara tidak langsung menjadi kebiasaan baru seorang Bright.
Bright mungkin tidak sadar, tapi sejatinya Win tersenyum getir begitu pipinya disentuh lembut oleh ranum kemerahan miliknya.
“Kangeeeen, Mas...”
Bright, jika sudah punya keinginan dan merasa harus dipenuhi, maka akan bersikap manis seperti ini. Terhitung sudah tiga kali, ini yang ke-3, Bright bertingkah layaknya seorang anak yang merengek meminta mainan baru pada orang tuanya.
Kali pertama, adalah ketika pemuda itu meminta uang muka sebagai bukti resminya perjanjian mereka untuk menjadi pasangan di situasi dan kondisi tertentu, sebagai pasangan papa gula dan bayi gula tentu dengan iming-iming uang dan fasilitas yang menjanjikan. Saat itu, Bright harus dengan cepat membayar segala tetek bengek perkuliahan dengan jumlah yang tidak sedikit, dan Win jelas langsung menurutinya.
Kali kedua, adalah ketika Bright tidak sengaja menghancurkan ponselnya dan meminta ponsel baru pada Win dengan perjanjian ia akan menjadi 'anak' yang baik, yang tentu saja langsung dituruti oleh si lelaki manis. Sebenarnya, tanpa Bright merengek pun, Win sudah sering menanyakan kebutuhan dan keinginannya, bahkan dengan sepenuh hati bersedia untuk memenuhi itu semua, tapi Bright seringkali menolak dengan alasan ia belum butuh-butuh banget.
Dan kali ketiga adalah… ya, saat ini, saat dimana Bright tidak bersikap manis karena ada barang yang ingin dibeliㅡ alias bukan karena urgensi finansial, tapi karena dirinya ingin menghabiskan malam terakhir mereka di Bali dengan kegiatan yang pastinya akan menguntungkan satu sama lain.
Jujur, Win kaget. Permintaan Bright kali ini… cukup di luar dugaannya. Biasanya, Win lah yang terang-terangan 'meminta' jika kebutuhan biologisnya sudah meraung-raung ingin dipenuhi. Bright biasanya hanya akan sekedar memberi umpan, jika Win berhasil terpancing, well namanya simbiosis mutualisme.
Namun kali ini, Bright lebih rewel dibanding sebelum-sebelumnya. Bright juga lebih berani untuk mengajak Win ikut menikmati malam dengan cara yang menyenangkan lebih dulu. Aneh, tapi Win tidak mau susah payah memusingkan hal tersebut.
It's impossible if Bright knows about that one crucial thing, tidak… Bright tidak mungkin tahu, tidak boleh tahu, setidaknya untuk sekarang lebih baik pemuda itu sama sekali tidak tahu.
Win berharap, semua sikap manja Bright yang sering kali timbul beberapa hari ini bukanlah karena pemuda itu sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Pada dirinya, juga pada hubungan di atas kertas yang dijalani keduanya.
Tidak, Bright tidak boleh tahu.
Lantas Win meraih wajah Bright dengan satu tangannya yang bebas, memberikan satu usapan lembut di sana, meminta si yang lebih muda untuk menatap ke arahnya.
“Udahan dulu ah ngerengeknya, Mas bawa belanjaan lho ini.”
Mau tidak mau, Bright pun memundurkan langkah kakinya sebanyak satu kali. Menciptakan jarak antara dirinya dan juga si Mas. Bright melirik cepat pada tiga kantong plastik putih di tangan kiri Win, alisnya bertaut bingung,
“Beli apa aja… Kok banyak banget, Mas?!”
Bukannya langsung menjawab, Win memilih untuk melangkah melewati Bright dan terus berjalan menuju mini kulkas yang ada di kitchen. Win mengeluarkan beberapa botol minuman dari salah satu plastik; ada kopi kaleng kemasan, teh manis botolan, dan beberapa minuman dengan varian rasa buah-buahan kemudian memasukkan semuanya itu ke dalam kulkas kecil tersebut.
Lalu Win mengeluarkan dua bungkus makanan beku; seperti sosis, kentang dan daging asap kemudian turut memasukkannya ke dalam freezer di kulkas yang ukurannya lebih besar di sudut dapur.
“Kan besok kita udah pulang, Mas? Kok malah ngestock bahan makanan sama minuman? Banyak banget pula...”
Tunggu, tunggu. Seketika cahaya lampu bersinar terang di atas kepala Bright. Sekelebat dugaan muncul menyambangi benaknya, “kita extend the weekend escape?”
Win lagi dan lagi tidak menjawab rasa penasaran dan juga antusiasme yang Bright tunjukkan secara terang-terangan. Lelaki itu beranjak menyimpan plastik yang sudah kosong ke dalam sebuah paper bag, lalu menyandarkan tubuhnya yang hanya terbalut celana pendek selutut serta kaos kutangan berwarna abu-abu di kitchen counter.
Dua tangannya sengaja dibuat bersila di depan dada. Kepalanya terangkat sedikit, balas menatap Bright yang berdiri di ambang dapur dengan ekspresi bertanya-tanya. Detik demi detik pun dihabiskan dengan keduanya yang hanya saling bertukar pandang dalam keheningan.
Lambat laun Bright mendekat, menghentikan langkah sepasang kaki jenjangnya tepat di depan Win, lalu menaruh kedua tangannya di sisi meja dapurㅡ tepat di kanan dan kiri si yang lebih tua, mengukungnya penuh dominasi.
Wajah Bright maju perlahan-lahan, menyisakan jarak yang terlalu sedikit antara ujung hidungnya dengan milik Win, nafasnya berhembus samar-samarㅡ lembut, “Mas kok dari tadi diem aja?”
Untuk sepersekian detik setelahnya pun Win masih terdiam. Bright yang mendadak bingung tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Lantas ia bawa satu tangannya untuk merengkuh tubuh Win, menggendongnya pelan lalu mendudukkan lelaki itu di meja dapur, agak ke tengah.
Rengkuhan posesif Bright di pinggang Win semakin erat, “Mas sakit?” Bright menyentuh dahi Win, ingin merasakan suhu tubuhnya. Satu alisnya bertaut lucu, namun bingung di waktu yang sama, “nggak panas tapi,” lalu tangannya beranjak menyentuh beberapa bagian di tubuh Winㅡ tentu masih dengan wajah khawatirnya.
“Tangannya sakit? Atau perut Mas ya, yang sakit? Leher? Punggung?”
Diperlakukan seperti itu, jelas membuat hati Win terluka sepuluh kali lebih dahsyat. Lelaki itu sama sekali tidak menghentikan aktivitas Bright, justru matanya kini sibuk memandang wajah tampan si yang lebih muda, yang tengah dipenuhi raut kekhawatiran.
Degup jantungnya tak kunjung menemukan tempo yang baik, bibirnya mulai bergetar, tapi Win belum juga melakukan apa-apa selain melingkarkan kedua tangannya di leher Bright, lalu membawa wajah pemuda itu mendekat sampai bibir keduanya bertemu dalam sebuah pagutan penuh emosi.
Bright tertegun. Di depannya Win sedang menutup mataㅡ kelopaknya terlihat bergetar, bibirnya perlahan-lahan mulai bergerak.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Bright akhirnya ikut memejamkan mata dan larut dalam ciuman yang terkesan tiba-tiba.
“Mhhhh,” ciuman itu berhenti secara mendadak. Bright membiarkan bibirnya tetap menempel di permukaan bibir Win, seraya membiarkan lelaki manis itu untuk mengatur nafas pelan-pelan.
Satu kecupan Bright berikan di bibir Win, dan Win membalasnya tak kalah cepat. Ada senyum tipis yang tergambar di sudut bibir Bright ketika ia bawa wajahnya beranjak menuju telinga kiri Win, sambil meninggalkan kecupan-kecupan di setiap jengkal kulit yang dilewati.
Win memeluk leher Bright jauh lebih erat lagi, mengelusnya lembut di sana seraya menyambut kedatangan bibir si yang lebih muda pada daun telinganya.
Semakin terbawa suasana, Bright memasukkan sebagian daun telinga kiri Win ke dalam mulutnya, menghisapnya pelan lalu menjilatnya sesekali. Sebisa mungkin Win menahan desahannya, meski kalau boleh jujur, ia sudah berhasil terperangkap pada permainan yang ia ciptakan sendiri.
“Mas, wanna do it here?” bisik Bright, ada urgensi yang tersirat dalam setiap kata yang ia ucap.
Kemudian Win meraih wajah Bright, mendorongnya mundur untuk ditatap dari jarak yang begitu dekat.
Win memang terkesan pasrah pada setiap sentuhan Bright, tapi sorot matanya… tegas, seolah terlintas perintah yang mampu membuat Bright terdiam seribu bahasa.
Jika sudah ditatap seperti itu, Bright cuma bisa menurut, diam. Tidak berani mengambil langkah mandiri seperti apa yang dilakukannya beberapa menit lalu.
“You sure mau di sini? Terakhir kali kita having sex, a morning sex to be exact di dapur, kamu hampir jatuhin piring lho, Bright.”
Si yang lebih muda terkekeh pelan, serasa diajak bernostalgia.
Bibir bawahnya mengerucut kecil, “that was a quickie ya, Mas. Karna Mas harus cepet-cepet ke kantor, jadi kita ngebut di dapur sehabis sarapan.” jawab Bright. Sesekali pemuda itu menutup mata menikmati elusan jari-jemari sang tuan di sepanjang rahang wajahnya.
Sentuhan jari-jemari Win adalah yang terbaik, it will always be Bright's favorite.
Seulas senyum tipis turut hadir mewarnai wajah Win yang cukup keruh malam itu. Si lelaki manis menghela pelan nafasnya, lalu berujar, “but that was amazing though,”
“Bright,”
Bright menautkan satu alisnya, menanti Win untuk meneruskan kata-katanya.
“Kalau kita beneran perpanjang escape di sini, gimana? Kamu mau, nggak?” tanyanya, sambil menggerakkan jari-jari tangan di surai hitam si yang lebih muda.
Bright tampak berpikir sebentar. Lalu sepersekian detik kemudian, mulutnya melantunkan seuntai deheman ringan, “boleh.” jawabnya tanpa ragu.
Dua kecupan kilat singgah di bibir sintal Bright, “but kuliahmu... gimana, hm?”
“Ya nggak gimana-gimana, jadwal Bright kan cuma dua hari seminggu dan kebetulan Bright masih ada jatah bolos, gotta use it now, hehehe.”
Metawin hanya mengangguk. Sedikit banyak hatinya bersorak-sorai atas jawaban Bright, tapi di waktu yang sama, ia juga merasa kosong. It's gonna be their last weekend escape together.
Kembali ditariknya mendekat leher jenjang sang mahasiswa, Win memeluk Bright erat, menjatuhkan dagu tepat di bahu kirinya yang tegap. Tangan Win bergerak lembut di atas panggung si yang lebih muda, memberi rasa aman, juga mencari ketenangan untuk dirinya sendiri.
Win semakin mempererat pelukannya, seakan-akan tidak mau ada jarak sedikitpun yang memisahkan tubuh keduanya, “kamu kenapa nggak pakai atasan begini? Nggak dingin?” pertanyaan Win membuat Bright cekikikan. Akhirnya, setelah bermenit-menit terlewati, Win menyadari kalau dirinya sedang bertelanjang dada.
Kepala Bright menggeleng pelan, berusaha stay cool agar tetap terlihat keren, “to make it easy, to make it fast,” tapi tetap to the point.
“Hahaha,” Win tergelak dalam tawanya. Bright diam-diam ikut mengulum senyuman.
“Mas nggak jadi beli kondom, anyway.”
Bright mencelos. Helaan nafasnya menunjukkan rasa kesal. Ia hendak menarik tubuhnya dari jangkauan Win, tapi dirinya malah berakhir jatuh tengkurap di atas tubuh si lelaki manis dengan posisi saling memeluk satu sama lain.
Ya, Win baru saja menarik Bright dan kini lelaki itu berbaring terlentang di atas meja dapur.
“Mas Win,”
Elusan tangan Win naik menuju surai hitam Bright, “hm?” sahutnya.
“Is there something bothering you? Can you share it with me... so you don't have to bear it all alone? Bright di sini, and will never go anywhere unless you ask me to, Mas.” Deg. Win rasanya mau meledak. Ucapan Bright sukses membuatnya mendadak kesusahan untuk bernafas.
Detik demi detik berlalu dalam keheningan. Win mengambil waktu sebentar untuk terdiam. Membiarkan bibir Bright mulai bergerak malu-malu menjamah lehernya penuh godaanㅡ kebiasaan si mahasiswa untuk membuat tuannya rileks.
Tetapi bukan definisi rileks yang berhasil dijemput, Win justru diam-diam mengepalkan tangan di atas punggung telanjang Bright.
Lalu senyuman palsu datang, terukir pasrah di wajahnya, “such a good boy.” Win terlena, akan sentuhan Bright.
“Of course, I am.”
Pergerakan tangan Win kini menuju pada bagian tattoo yang terukir di punggung kiri atas Bright. Diusapnya pelan bagian tersebut, membuat Bright beringsut maju, mempererat pelukan mereka.
“So..,” satu tangan Win bermain-main di cuping telinga kanan Bright, mengusapnya lembut sambil sesekali menjepitnya dengan jari telunjuk dan juga tengah, “how about sex without protection for tonight?” Win berujar penuh seduktif tepat di samping telinga Bright.
Sepasang mata si mahasiswa sontak mengerjap, “maksud Mas?”
“Ya… nggak pakai pengaman, tapi nanti kamu jangan buang di dalem.”
Deg.
Deg.
Deg.
Perlahan namun pasti, Bright berusaha lepas dari rengkuhan Win. Pemuda itu menumpukan telapak tangan kanan dan kirinya di permukaan meja, di samping tubuh sang tuan yang masih berbaring pasrah.
Bright menatap dalam sepasang obsidian hazel milik Win, lalu menghembuskan nafasnya, ia bingung.
“Mas yakin? Kita belum pernah tanpa pengaman lho, i am afraid that it will hurt you,” tatapannya melembut, Bright melanjutkan ucapannya, “Bright nggak mau ya kalau sampai Mas Win kesakitan.”
Tidak ada suara. Tidak ada kata. Tidak ada sahutan berarti selain sebuah elusan yang singgah di pipi kiri Bright.
“Lagian, Mas tumben banget? Biasanya Mas Win 'kan selalu safety first?”
Diam-diam Win melirih, because it will be our last time, Bright. So, I want to give you something in pleasure… at least once in a lifetime.
Tapi apa daya, Win cuma bisa berucap dalam hatinya.
Lalu Win menghirup oksigen banyak-banyak, dihembuskannya deru nafas tepat di depan wajah Bright, membuat pemuda itu tersenyum kecil.
Win mengelus satu kali lagi wajah tampan di atasnya, “nggak apa-apa, Mas mau coba aja. And you don't worry… Mas will be okay, Mas janji.” jawabnya.
“Tapi nanti-nanti Bright nggak mau ya, kalau nggak pakai pengaman lagi. It would be better if we used one.”
Dan Win menganggukㅡ tanpa ragu.
“Okay then,” Bright membawa turun wajahnya, mendekati wajah si lelaki manis. Sepasang matanya bersirobok dengan milik Win. Saling menatap, saling mengunci, saling menyampaikan sekalipun dalam diam. Bright menyentuh pipi kanan Win dengan satu tangannya, “May I do it now, Sir?”
Win tidak langsung menjawab. Jari-jemarinya yang panjang kini menemukan jalan menuju surai hitam Bright, lantas dijambaknya pelan sampai sang empunya berdesis sambil menengadahkan kepala.
“Ask me nicely, you know how to do it well. That's your number one duty.”
Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir Win menatapnya dengan tajam. Sudah lama sekali rasanya sejak kali terakhir Win menunjukkan sisi dominannya. Bright masih terus mengunci atensi miliknya pada sepasang obsidian hazel yang sibuk mendamba di bawah sana. Nafasnya berhembus pelan, membuat bulu mata lentik sang tuan besar bergerak penuh antusias.
Tanpa sadar Bright menjilat bibir bawahnya, “Mas Win,” kepalanya kembali turun menjangkau tulang pipi si lelaki dewasa, a little kiss on his cheekies sounds good… dan Bright penuh percaya diri melakukannya.
Bright meninggalkan kalimatnya yang tertahan di ujung lidah. Bibirnya sibuk menjamah pipi tirus yang mengkilap di bawah terangnya lampu yang menyala. Jilatan kecil ikut serta menyentuh kulit halus sang empunya, dan setelah puas meninggalkan jejak yang tidak seberapa, Bright melanjutkan kata-katanya,
“Can we fuck roughly right now?”
Win mengukir seringai tipis di sudut bibirnya. Sengaja ia biarkan jarum jam terus bergerak maju menjemput sekon demi sekon di waktu yang kian beranjak malam. Bright menatapnya dengan kilat nafsu yang tergambar jelas di sorot mata. Untuk kali terakhir, malam ini, Win tidak mau berpikir panjang.
Yang ia mau hanyalah…
“Mark me as your most precious diamond.”
Dan dengan cepat, Bright memagut kembali ranum merah muda Win yang begitu menggoda. Dihujaninya bibir itu dengan kecupan-kecupan manis berbunyi, membuat si pihak yang berbaring menikmati di bawah terkekeh seraya tangannya sendiri bermain-main di surai hitam sang penguasa.
Bright menaikkan tempo ciuman keduanya. Ia melumat lembut bibir atas Win dan membiarkan si lawan main ikut menikmati bibir bawahnya. Bright mengulum bibir itu sambil sesekali menyesapnya, mengambil alih lelehan saliva yang berkumpul membentuk genangan kecil.
Win tidak mau kalah. Lelaki itu dengan sigap membalas setiap lumatan Bright yang nyaris melahap habis bibirnya. Win mengubah posisi pagutan yang sedang terjadi, kini bibirnya mendominasi, mengulum puas bibir atas Bright yang terkesiap menyambut gerakannya.
Lidah Win melesak masuk ketika Bright lengah dan membuka bibirnya. Win menyapu hangat rongga dalam Bright penuh gairah. Ujung lidahnya bergerak mengabsen satu persatu celah yang bisa ia gapai. Dinding mulut, langit-langit, deretan gigi rapi Bright dan tak lupa juga lidah yang sedari tadi mengemis perhatian.
Win mengajak lidah Bright untuk berdansa sebentar di sana. Kedua tangan Win turun melingkari bahu lebar Bright, sedangkan yang lebih muda semakin lama… semakin luluh… sampai tangannya tidak lagi punya tempat untuk menopang selain pinggang ramping dan punggung tegap Win yang perlahan-lahan ia uleni.
Bright kembali memutar balik keadaan. Dengan percaya diri, ia memiringkan kepalanya ke kanan dan meraih lidah Win untuk dikulum. Tubuh Win kian menegang dan meremang ketika Bright dengan handal memaju-mundurkan bibir memuaskan lidahnya.
Terlalu nikmat, terlalu intens, Win kehilangan kontrol diri, “Mmmhhh,”
Bright menghentikan ciuman keduanya perlahan-lahan. Tautan saliva membentang lurus menyatukan bibir keduanya, Win dengan penuh semangat menjilat permukaan ranum Bright, membersihkan sisa air liurㅡ entah milik siapa, yang tersisa.
Mereka terengah-engah, berusaha mengais oksigen sambil saling menatap satu sama lain. Kabut nafsu mulai memenuhi sorot mata Win. Bright tersenyum, lalu dikecupnya gemas ujung hidung si direktur muda.
Satu tangan Bright bergerak menyingkirkan beberapa anak rambut yang basah akan peluh di dahi sang tuan. Bright mengelus sayang surai hitam Win, lalu berucap, “mau pindah ke kamar aja?”
Seperti sebelum-sebelumnya, Win tidak langsung menjawab. Ia masih terus menatap Bright yang kelihatannya sudah semakin dikuasai nafsu.
Win mengusap dada telanjang Bright dengan seduktif, “nggak jadi di sini aja?” tanyanya.
“Hm,” Bright melirik meja dapur tempat dimana sekarang Win sedang berbaring. Tidak terlalu banyak barang dan terkesan cukup untuk mereka beberapa kali mengubah posisi dan gaya permainan, tapi sepertinya ada hal lain yang jauh lebih menggiurkan daripada bercinta di sana. Bright menguleni pinggang ramping Win satu kali lagi, “how about having sex with view?”
Kedua alis Win bertaut, menunggu Bright melanjutkan ucapannya.
“Pemandangan dari jendela kamar kita sayang kalau disia-siain begitu aja, Mas. Let's having sex there.”
Win kembali menggerakkan telapak tangannya, kali ini tengkuk Bright menjadi sasaran elusan lembutnya, “tapi Mas udah nggak kuat nahan...”
“Di sini aja, ya?” sambung Win.
Win yang memohon, Win yang meminta kata 'ya' terucap dari bibirnya, Win yang terlihat menuntut dan Win yang terkesan tidak suka menunggu adalah kelemahan terbesar seorang Bright. Lantas tanpa pikir panjang, pemuda itu membuka kaos tanpa lengan berwarna abu-abu yang dipakai Win dan melemparnya serampangan ke lantai.
Bright tidak sama sekali memutuskan kontak mata keduanya, maka ketika tubuhnya kembali menunduk untuk menjangkau sang tuan, Win sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Win membuka lebar tangannya, membiarkan Bright perlahan-lahan masuk dalam dekapan. Tangannya bergerak lembut menyambut wajah Bright yang kini menyelam di perpotongan lehernya. Bright mencumbunya di sana, dan Win begitu menikmatinya.
Cara Bright menciumnya dengan penuh damba, adalah salah satu hal yang membuat mahasiswa itu punya nilai lebih di mata seorang Metawin. Ia yang sebelumnya malas untuk memiliki emosi pada orang lain, seolah sukses dibuat bertekuk lutut exactly at how Bright does him gently.
Bright… mungkin awalnya pemuda itu memang hanya menjalankan tugasnya sebagaimana tertulis di kontrak resmi mereka yang sebentar lagi akan berakhir sebelum waktunya. Tapi seiring waktu berjalan, dan ketika Win tahu kalau Bright sudah terlanjur menanam rasa untuknya, well… semuanya berubah.
Perasaan adalah hal tabu dalam perjanjian keduanya. Dan urusan hati, tidak pernah boleh dilibatkan pada hubungan yang dijalani keduanya. Namun Win sadar, ia juga sudah tenggelam dan tidak ada niatan untuk berenang ke daratan.
Tapi Win sadar, perasaan miliknya hanyalah sebuah kesia-siaan.
Dan hari ini, izinkan satu kali ini saja, Win ingin mencintai Bright dengan caranyaㅡ yang sederhana.
Biarkan malam ini saja, Win mendamba sang mahasiswa dengan sepenuh hatinya.
“Ahhhh,” Win tahu, Bright begitu lemah akan desahan dan erangannya. Dan Win ingin mendesah sebanyak dan sekuat yang ia bisa, untuk membuat Bright merasa berharga.
Tangan Win terus bergerak mengelus punggung dan tengkuk Bright mengikuti irama bibir pemuda itu yang sedang mencumbu kulit lehernya. Win mengerang, setiap kali Bright menyesap titik sensitif di tubuhnya, Win akan langsung bersuara.
Bright membawa bibirnya beranjak dari satu titik ke titik berikutnya. Tidak satu inci pun dari leher, rahang dan bahu kiri Win yang lewat dari jangkauannya.
Bright mendesah tertahan, “Ssshhh,” ketika tangan Win dengan nakalnya turun menyentuh bagian selatan yang sudah menegang. Tidak hanya sekedar sentuhan jahil, Win justru meremas kejantanannya yang masih terbalut celana penuh percaya diri.
“Ahhhh, M-mas… mmmhh,” seluruh tubuh Win meremang begitu Bright mendesah tepat di dadanya.
Pinggul Bright ikut bergerak mencari kepuasan di tangan Win. Enggan untuk terlalu vokal, Bright kembali melanjutkan cumbuannya yang sempat terhenti.
Bright mengecup dada telanjang Win penuh cinta. Satu tangannya ia angkat untuk meremas dada kanan Win beserta noktah kecoklatannya. Cumbuan hangatnya turun menjamah puting kiri Win yang ternyata sudah mengeras. Bright memasukkan titik mungil itu ke dalam mulutnya, menjilatnya sebagai pembuka, dihisapnya puting sang tuan perlahan-lahan lalu dikulumnya bagaikan bayi yang haus butuh asupan.
Win meremas surai hitam Bright kuat-kuat. Stimulasi yang pemuda itu berikan mampu mencabut seluruh kewarasan yang tersisa dalam dirinya. Win hampir menemukan putih ketika empat anggota tubuh Bright menyerangnya secara bersamaan.
Bibir, yang tak henti-hentinya menghisap dan mengulum puting kirinya.
Tangan kiri, yang terus bersemangat meremas dada kanannya sambil sesekali jari-jari nakal itu memilin puncak yang mencuat butuh afeksi.
Tangan kanan, yang ikut bergerilya di garis kotak-kotak yang terbentuk apik di perutnya. Mengelus penuh sayang.
Dan yang terakhir kejantanan Bright yang senantiasa bergerak menggesek pun juga maju mundur berlawanan arah dengan telapak tangan Win.
“Aaahhh, B-bright… Mmmhhh... fuck,”
Seulas seringai terbit di sudut bibir Bright ketika Win semakin larut dalam permainan. Mulut Bright lambat laun beranjak turun menyusuri dada putih sang tuan menuju bagian perutnya yang terbentuk sempurna dengan enam kotak lezat yang terpampang nyata.
Jejak saliva terukir di sepanjang jalur yang ia lalui, lalu lidah Bright berhenti melaju tepat di atas karet celana pendek yang dipakai Win.
Bright menengadahkan kepala, menanti persetujuan. Win menatapnya dari atas. Penuh nafsu, sepasang matanya sendu dan sayu, sungguh definisi candu yang mutlak. Win cantik, cantik sekali.
Bukannya menjawab, Win justru mendorong pelan tubuh Bright untuk dirinya bisa duduk dengan benar. Bright bingung, namun pasrah dan tetap menunggu langkah apa yang selanjutnya akan Win ambil.
Win mengangkat kedua kakinya untuk bertumpu sesaat di atas meja. Tangannya melingkari leher jenjang Bright penuh kehati-hatian. Setelah berhasil direngkuh, Win turut melingkarkan kakinya di pinggang Bright.
Si mahasiswa terkekeh. Win dengan mandiri masuk dalam gendongannya.
Bright mengelus sayang punggung telanjang Win yang terekspos bebas, lalu mencuri kecupan kilat di pipi yang kini bersandar nyaman di bahu kanannya.
“Mau pindah ke kamar?”
Win mengangguk, tanpa kata.
Lalu tanpa berbasa-basi lebih lama, Bright melangkah meninggalkan dapur menuju kamar dengan Win dalam gendongannya.
. . .
“Ahhhh… B-bright mmmhhh, c-can you go slowly...”
Ucapan putus-putus Win sama sekali tidak Bright gubris. Pinggulnya terus bergerak menghujam lubang senggama si yang lebih tua, yang kini susah payah menahan bobot tubuhnya sendiri dengan posisi menungging di atas ranjangㅡ menghadap ke arah pantai.
Suara derit kaki ranjang yang ikut bergerak menyesuaikan tempo di atasnya mulai memenuhi ruangan besar itu. Tubuh Win terhentak tanpa henti, sedangkan Bright masih sibuk mengecupi setiap inci kulit punggungnya.
Bright bergerak terlalu cepat dan kuat, Win kesulitan untuk menyeimbangi.
Entah setan jenis apa yang sedang merasuki Bright, yang pasti, mahasiswa itu sama sekali tidak mau memperlambat gerakannya.
Win bingung, ini bukanlah kali pertama mereka melakukan rough sex seperti ini. Tapi bukan Bright yang menghujam kuat lubangnya yang Win inginkan sekarang, ia hanya mau malam ini terlewati dengan begitu manis… ia mau menikmati sex terakhir mereka dengan kesan yang baik.
And here he is… crying.
Setelah sekian lama menahan beban hidupnya seorang diri, Win akhirnya menangis. Lelehan air mata jatuh melewati pipinya yang merah merona menahan nikmat. Win menangis tanpa suara, ia menginginkan Bright yang dulu… yang lembut dan patuh ketika kali pertama mereka berbagi hangat di malam Sabtu.
“Aaahhh,” suara desahan Bright berhasil membuat Win menjemput kembali warasnya yang sempat hilang. Bright tidak lagi menghujamnya dengan kuat, pinggulnya bergerak maju dan mundur membelah dinding rektumnya dengan tempo lembut, “Mas Win is always tasted so good just like the first time we did it.”
Telapak tangan Bright berusaha menyalurkan kenyamanan di pinggang polos Win, perlahan-lahan membantu si direktur muda untuk ikut bergerak berlawanan arah.
Bright menjamah bahu telanjang Win dengan bibirnya. Dikecupnya setiap titik yang bisa ia jangkau. Terlalu mesra, terlalu lembut dan penuh rasa.
Susah payah Win berusaha menggapai paha Bright yang masih bergerak menghujamnya dari belakang. Win mengelus paha si yang lebih muda, membuat Bright tersenyum kecil.
Satu kecupan Bright berikan di pipi kiri Win, lalu ia berbisik di sana, “need anything, hm?”
Win menggeleng ringan, bibirnya mengulas senyum menyahuti pertanyaan Bright, “Kiss me, Bright.”
Tentu saja tanpa mengulur-ulur waktu, Bright memajukan tubuh bagian atasnya untuk mencium mesra sang terkasih. Seraya terus bergerak menghentak maju dan mundur beraturan, Bright memagut lembut bibir Win yang sudah haus akan afeksi.
Keduanya kembali saling memadu kasih dalam cumbuan panjang. Win tidak lagi menggerakkan tubuhnya, lelaki itu membiarkan Bright yang mendominasi seks terakhir mereka.
Bibir Win terus membalas setiap lumatan dan juga hisapan yang Bright berikan. Cup. Cup. Bright menghadiahi dua kali kecupan di bibir Win sebelum akhirnya ciuman keduanya terlepas.
Bright menambah tempo hujamannya.
Win kembali terhentak kuat, tidak ada lagi hal lain yang bisa Win lakukan selain mencengkram sprei ranjang yang mulai berantakan.
Suara deru air laut menjadi saksi bisu dan instrumen terindah nomor 2 malam itu. Cahaya gemerlap yang berasal dari lampu-lampu jalan di seberang pantai ikut menjadi saksi atas hancurnya pertahanan diri sang tuan.
Bright kembali menciumi punggung polos Win, sambil kejantanannya lagi dan lagi menumbuk prostat si lelaki manis dengan kuat.
Satu tangan Bright mencengkram pinggang Win, membantu si direktur muda untuk imut bergerak.
Satu tangannya lagi yang bebas beralih menggenggam kejantanan Win yang sudah menjulang tinggi.
Ujung jari telunjuk Bright bermain-main di lubang penis Win, membuat lelaki itu mendesah penuh rasa nikmat, “aahhh, more… m-more… I need more...”
Keempat jari tangan Bright yang lain mengelus jahil urat-urat yang terpampang di batang kejantanan Win. Lalu dalam hitungan detik, Bright mulai mengocok kejantanan Win seiring dengan pinggulnya yang semakin kuat menghujam di belakang.
“Fuck, ahhhh… Bright,”
Bright berdehem pelan sambil mengulum cuping telinga Win, “enak Mas… Mas Win selalu enak… penis Bright rasanya nggak akan pernah nemuin rumah ternyaman selain di lubang Mas...”
Mata Win terpejam mendengar ucapan Bright. Bagai tak ada dosa, Bright melanjutkan aksinya untuk mengulum cuping telinga Win sambil sesekali menggigitnya kecil. Tangan kanan Bright masih terus menguleni pinggang si yang tersayang, dan tangan kirinya terus memompa kejantanan Win dengan kocokan dan remasan kuat.
Win ingin melihat wajah Bright yang dibanjiri peluh dan kabut birahi. Oleh sebab itu, Win kembali meraih paha kiri Bright dan menepuknya pelan.
Bright berhenti sesaat, menatap balik Win yang juga sedang menatap ke arahnya.
“Kenapa, Mas?”
“Ganti posisi, Bright. Fast, fast, fast.”
Bright jelas bingung. Tapi dengan pelan, Win menuntun Bright untuk mundur sedikit, lalu si lelaki yang lebih tua membawa tubuhnya untuk berbaring terlentang. Tanpa melepas kejantanan Bright sama sekali dari lubang senggamanya.
Bright membantu Win untuk mencari posisi ternyaman. Pemuda itu menarik tubuh sang tuan agar bersandar dengan benar di bantal.
Dengan penuh kelembutan, Bright membawa dua kaki Win untuk melingkari pinggangnya.
Bright mengukung tubuh sang tuan dari atas, dikecupnya penuh sayang ranum merah muda milik Win sebanyak tiga kali, lalu keduanya kembali saling berpagutan erat, mesra.
Sambil terus berciuman, Bright kembali menggerakkan pinggulnya. Tidak lagi ada hujaman yang keras. Yang ada hanyalah tempo lambat namun mutlak yang berhasil membuat Win mengharu, membiarkan air matanya kembali menetes.
Bright sadar. 100% sadar ada yang aneh dengan diri sang tuan sejak hari pertama mereka tiba di Nusa Penida. Tapi Bright memilih diam, ia merasa tidak punya hak.
Maka ketika Win menangis pilu dalam diam, Bright sama sekali tidak berusaha untuk menghentikan.
Ciuman keduanya berakhir dengan lembut. Win tersenyum dengan matanya yang memerah, tangannya terangkat mengelus sayang kedua pipi Bright.
“I don't actually know what is wrong with Mas these days, but Bright hope it will getting better soon,” Bright menyeka lelehan air mata di pipi Win, “though you're pretty even when you're crying, tetep aja Bright nggak suka lihat Mas nangis.”
Bright terdiam sebentar. Menatap Win dengan begitu dalam.
“Apapun itu, Bright tau kalau Mas Win adalah orang yang hebat.”
Keduanya saling melempar senyum, tipis, sarat akan emosi yang membuncah. “No wonder why Bright loves you so much, Mas.”
Hening.
Pasca confession dadakan itu, kamar hotel seketika dikuasai kebisuan.
Win hanya diam, tangannya sibuk meremat surai hitam Bright.
“Now stop talking and fuck me more, Bright.”
Oke, perintah Win adalah mutlak hukumnya.
Dan Bright, tidak ada kuasa untuk menolak.
. . .
JEYI // 210527.