Deep Confusion (1).


Tak pernah satu kali pun terbesit dalam benak seorang Alcantara Bright Sagibson, bahwa ia akan menarik pedal gas mobil milik Bella (yang ia pinjam) di pelataran sebuah bar eksklusif di bilangan ibukota. Kedua tangannya masih menggenggam erat kemudi, lelaki itu menatap nanar ke bagian depan mobil.

Kosong.

Pikirannya berkecamuk, berisik, penuh, namun hatinya bagaikan bejana kosong. Terlalu sungkan untuk merasa marah, terlalu abu-abu untuk merasa hampa. Entah sejak kapan, ia merasa hari berganti terlalu lama.

Akhir pekan nyatanya membuat Tara harus menempuh perjalanan selama satu jam untuk membelah padatnya jalan raya hingga tiba di tempat dimana ia yakini, Akssa ada di sana.

Tara mengambil oksigen banyak-banyak. Dadanya bergerak naik turun mengikuti ritme bagaimana ia menetralkan degup jantung yang ternyata cukup bertalu-talu di baliknya. Tanpa sadar buku-buku jarinya memutih, seiring dengan tangannya yang mencengkram kemudi lebih kuat lagi.

“ARGHHHHH!!!” Bughhhㅡ, satu pukulan mendarat begitu keras di atas kemudi. Meledak sudah emosi yang ia tahan selama perjalanan. Tara belum siap untuk turun, kepalanya sengaja ia sandarkan demi mengurangi amarah yang perlahan-lahan datang menggebu-gebu.

“I didn't wait for your text just to find out you got wasted at the place I never imagined i will pick you up there, Ssa.”

Tara tidak tabu dengan bar. Ia tidak asing dengan asap rokok apalagi sekedar alkohol. He's at the age, where everything sounds okay and can be consumed. Freely. Tapi kenapa rasanya terlalu aneh dan amarahnya serasa dibakar penuh ketika ia harus datang ke tempat ini untuk menjemputㅡ

Sekretarisnya?

Saat sedang susah-susahnya menurunkan amarah, ponsel yang ia letakkan di jok penumpang bagian samping bergetar dan menyala. Sebuah notifikasi masuk dan memperlihatkan nama Nevan, sang sulung, di sana. Satu alis tebal Tara terangkat naik, kebingungan.

It is 10.30 PM already…

Drive safely, Daddy… see you

Singkat, but very meaningful bagi seorang ayah yang tidak terlalu akrab dengan putera kandungnya. Entah Nevan menyadari suara mobil yang bergegas menjauh dari pelataran rumah sang Ibu, atau memang pemuda cilik itu memerhatikan ayahnya yang tidak kunjung turun dari mobil secara diam-diam lewat salah satu celah jendela. Tanpa sadar, ujung bibir Tara terangkat sedikit. Mengulas senyum pahit memikirkan bagaimana sang anak ternyata memperdulikannya.

Lantas dengan hati yang sudah sedikit tenang, Tara mengetikkan pesan balasan.

I thought you're already sleeping, boy. Thank you! See you tomorrow, young master :)

Kemudian layar hitam mendominasi ponsel canggih itu. Tara melirik main gate yang diawasi oleh dua orang Security berbadan besar. Bar ini, bukan bar biasa. Punya nama. Punya VVIP customers yang menjadi salah satu sumber dana dengan nominal tak terhingga. Lalu, bagaimana bisa tiba-tiba Akssa berada di sana?

Waktu terus berjalan, dan Tara masih diam di tempat. Pikirannya berkelana memikirkan apa yang harus ia lakukan sesaat setelah Akssa berhasil dieksekusi dari sana? Bagaimana… bagaimana kalau di tengah ketidaksadarannya, Akssa diganggu oleh pria-pria berhidung belang dan bermata lapar pun haus akan santapan?!!

Bagaimana… bagaimana kalau Akssa yang dipengaruhi alkohol dijebak dan diㅡ

Oke, stop. Membayangkan hal-hal buruk terjadi pada sekretarisnya itu membuat Tara tak sanggup lagi berdiam duduk tanpa melakukan apa-apa. Ia dengan cekatan, dan dengan jantung yang berdegup cepat, bergegas turun dari mobil yang untungnya sudah diparkir di spot yang paling aman. Merapikan sedikit busana yang ia kenakanㅡ kemeja putih lengan panjang yang dibalut sweater abu-abu muda, lalu beranjak memijakkan kaki di area parkir bar setelah ia pastikan mobil Mercedes Benz A-Class itu sudah terkunci.

. . .

Euphoria dan aroma kebebasan menyambut kedatangan Tara di hall utama bar tersebut. Saturday night, membuat ruangan yang bising akan suara musik semakin terasa penuh akibat banyaknya orang yang berkumpul di sana. Perlahan tapi pasti, lelaki itu berusaha membelah dan membuat jalan untuk dirinya sendiri bisa menemukan Akssa di tengah kerumunan.

Tara meraih ponselnya, berusaha menghubungi sang sekretaris.

Namun, tidak juga ada jawaban.

Mau tidak mau, ia kembali melangkah. Menentukan arah yang tak pasti, sambil sesekali menajamkan penglihatan untuk memastikan Akssa berada di jangkauan matanya.

Dan setelah nyaris sepuluh menit berlalu, Akssa berhasil ia temukan.

Sedang duduk bersandar di sebuah sofa di sudut ruangan, pasrah, tangan kanan mencengkram sebuah botol kaca yang Tara tak tahu betul apa merk-nya. Yang jelas, cairan dari botol itu sukses membuat Akssa cukup kehilangan kesadaran.

Tara duduk di sana. Di samping Akssa yang tengah tersenyum kosong sambil meracau tidak jelas.

And you will be the death of me, Ssa.

Tidak ada kabar seharian, merahasiakan urusan pribadinya, dan tiba-tiba drunk chat menanyakan soal perasaan yang Akssa sendiri sudah tahu jawabannya. Dua hari ini terasa begitu kompleks, Taraㅡ jujur, kesulitan sendiri untuk mengurutkan apa saja yang sudah terjadi dalam kurun waktu 2 x 24 jam ini.

Fancy dinner for the first time bersama Akssa, sang sekretaris yang sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih pasif dan seakan menutup diri, gagalnya rencana deep talk perihal Nevan yang baru saja berkonflik di sekolah, anak-anak dijemput Maminya and were having a very short escape together, rela naik taksi online menuju hotel tempat keluarga kecilnya menginap untuk menjemput ketiganya kembali ke rumah, Mix membeberkan fakta bahwa Bella sudah mengetahui perihal Akssa yang masuk ke dalam grup sekolah anak-anak, Mix yang punya concern kalau Bella bisa saja curiga dengan Akssa, dan Akssa yang tiba-tiba mabuk di sebuah bar di Jakarta sebagai penutup dari segala rentetan kebingungan yang memporak-porandakan hari-hari Tara belakangan ini.

Membiarkan otaknya terus berkelumit dengan segala benang kusut di dalamnya, Tara menatap sendu lelaki manis di hadapannya.

Tanpa suara, ia berusaha untuk mendengarkan celetukan-celetukan yang terucap dari mulut sang sekretaris.

“The stars are too bright tonight, he… he… he…”

“Yet Bunda didn't know that i forgave him already…”

“Alcantara anjiiiingggggggggGGGGG!!!””

Hahaha, celetukan yang baru saja keluar dari mulut Akssa berhasil membuat Tara sedikit tertawa meskipun rahangnya masih keras menahan gejolak amarah.

“Why didn't you kiss me that day? You know what, i have been starving for that… aaaarghhh!”

Entah sadar atau tidak, Akssa kembali mengangkat tangan kanannya dan menenggak cairan alkohol dari botol yang sedari tadi ia genggam kuat.

“Tara, you stupid ass, lo paham nggak sih kalo anak looooo… N-nessha!!! Dia nggak suka sama gue!!! Gue udah kehabisan cara buat ngambil hati d-dia… hiks… Ci Ineeeessss w-why are you so rude to me…???”

“But N-nevan, my poor Nevan… coba aja Mas, sedikit ajaaaaa lo bisa ngertiin perasaan Nevan… he has been through a lot, tapi gue nggak bisa bantu apa-apa since you asked me to step back, to know my place…” dan tiba-tiba Akssa menangis. Tak ada lagi senyum pahit di wajahnya, yang ada hanya isak tangis dengan air mata yang perlahan-lahan meleleh membentuk sungai di wajah manisnya.

Akssa menjambak rambutnya sendiri dengan tangan kiri, “hati gue sakit banget waktu itu, Mas… gue disuruh mundur, gue disuruh mikirin posisi gue di saat gue dengan gegabah berpikir kalau lo udah ngasih gue akses buat deket sama anak-anak lo… gue disuruh menjauh dari Nevan, di saat gue udah nyaman banget dan janji ke diri gue sendiri untuk menyayangi Nevan sepenuh hati…”

“I did, Ssa. Saya memang sengaja membuka akses supaya kamu terbiasa dengan keberadaan anak-anak saya… maaf, saya terlalu kalut saat itu. Saya impulsif menyuruh kamu mundur. Saya bingung sekali saat itu, Ssa. Saya ketakutan.” Dan dalam sendunya, Tara pun menyahuti curahan hati Akssa.

“Gue juga mulai mempertimbangkan omongan dan perasaan lo… sejak lo nyuruh gue mundur, gue jadi ragu… lo beneran sayang dan mau nyoba sama gue, atau lo cuma kesepian aja pasca divorce??? I know, Mas, i know being lonely after divorce itu nggak enak… Lo ngerasa butuh ditemenin tapi lo mau sendiri, lo butuh kehadiran orang lain tapi lo nggak percaya siapapun, gue paham… gue tau betul rasanya… hiks… t-tapi bisa 'kan nggak usah nyakitin hati gue y-yang bener-bener serius mau sayang sama anak-anak lo???”

“I really am sorry, Ssa…”

“Lo tuh cuma main-main kah sama gue??? Emang gue sebodoh itu ya??? Iya, gue emang kebawa arus jauuuuuh bangeeeeet gue ada rasa sama lo yang gue pikir sungguh-sungguh… K-kok bisa sih, gue naif banget????” Akssa mulai memukuli kepalanya sendiri. Tara yang kaget dengan hal itupun langsung meraih tangan lelaki manis itu dan menahannya, “no, don't be too hard to yourself…” dan bergumam pelan menyaksikan betapa sakitnya Akssa saat ini.

Orang bilang, segala sesuatu yang terungkap dalam keadaan mabuk adalah sebuah kejujuran. Jika statement itu benar adanya, maka… Akssa merasa sangat terluka?

Isak tangisnya kian terdengar. Lelaki manis itu mulai sesegukan menahan pilu. “I am too naive, aren't i?”

Refleks, Tara menarik Akssa masuk ke dalam dekapannya. Ia memeluk lelaki itu tak kalah menahan pilu. Ia tak pernah tahu, Akssa merasa sesakit ini… ia tak pernah tahu, Akssa menunggunya selama ini… Ia tak pernah tahu, Akssa punya rasa yang juga sama dengannya.

Tara, selama ini, terlalu takut dengan segala kemungkinan. Kegagalannya menjadi seorang suami dan ayah membuat ia ragu akan banyak hal, termasuk akan perasaannya sendiri. Tara, sejujurnya, terlalu takut…

Takut, kalau rasa-nya tak cukup layak untuk diperjuangkan. Takut, kalau rasa-nya tak cukup mampu membuat Akssa stay di sisinya. Takut,

Untuk kembali gagal dan menghancurkan segalanya,

lagi.

. . .

(jeyi // 230618)