CASANOVA.
Kata orang sih, sebutan 'Casanova' itu identik dengan laki-laki yang terkesan romantis dan manis. Definisi Romeo di zaman modern kali, ya? Well, itu adalah salah satu alasan kenapa Win senang memanggil sahabat kakaknya yang super jutek itu dengan sebutanㅡ Casanova.
Tapi siapa sangka, Casanova versi Metawin adalah seorang Bright; lelaki berusia 30 tahun yang gila kerja, kerja dan kerja.
Urusan cinta? Jangan harap.
But one thing is… Metawin wasn't born to be meta-lose. His name is Win for a reason, dan dalam kisah singkat ini, Win akan membuktikan kredibilitas namanya sebagai seorang…
Pemenang.
. . .
tags: SFW; twenty!win & thirty!bright (age gap case), love-hate relationship, one-sided love, denial being lovers, involved some of adult contents in general (emotions, conversation and action), chef!bright, college student!win. pair: WINBRIGHT total words: 6.91k+ words. commissioned by: winbright-nation.
“Ada kiriman bunga lagi...”
Seketika, aroma manis dan menenangkan yang berasal dari beberapa slice cakes yang fresh from the oven di tangan Bright menjadi tidak ada artinya.
Atensi si lelaki berusia 30 tahun yang sempat terfokus pada beberapa papan penampang di dalam etalase kaca, buyar. Perasaannya yang ringan ketika memulai hari, berantakan. Deru nafasnya yang semula baik-baik saja, kini seolah terasa, tercekik.
Bright selaku salah satu Chef utama dan pemilik dari Tortoise Ristoranteㅡ sebuah restoran dengan nuansa Italia yang terkenal di kota Bangkok, menegakkan posisi tubuhnya.
Nampan coklat tua yang semula ada di tangannya, kini tergeletak di atas meja etalase. Bright menepuk-nepuk apron putih yang ia kenakan, lalu beranjak menghampiri Bankㅡ sahabat, sekaligus partner-nya dalam mengurus Tortoise.
Satu alisnya bertaut, “kenapa, Bank?”
“Eh, Bright,” Bank menyahut dengan intonasi yang cukup tinggi, lelaki itu memegang sebuah buket bunga mawar putih berukuran besar di tangannya. “I think this is for you, again.”
Perhatian Bright beralih pada buket bunga yang dimaksud Bank. Hari yang dikira akan berjalan dengan biasa-biasa saja, sekarang berhasil merusak mood lelaki itu.
Hembusan nafas jengah lolos dari belah bibir sang Chef utama.
“Again?”
Bank berdehem menyahuti ucapan Bright, “kayaknya pamor lo makin naik nih, bro. I don't know whether I should envy or thank you for making Tortoise entering the top 2, hahaha.”
Bright tahu, Bank sedang bercanda. Tapi tak bisa mengelak, kata-kata yang diucap sang sahabat barusan justru mulai memenuhi benaknya. Satu kali lagi, Bright menghela nafas. Ia mengambil alih buket bunga yang kali ini ukurannya jauh lebih besar dibanding buket-buket sebelumnya dari genggaman Bank.
“Kamu tau siapa pengirimnya?” kali ini, Bright bertanya pada seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di tengah-tengah mereka.
Si pelayan perempuan itu menggeleng penuh hormat, “saya nggak tau, Chef. Tadi sih, kurir yang mengantar. Katanya buat Pak Bright, ya sudah langsung saya bawa aja ke dalam.” jawabnya.
“Okay,” Bright merengkuh buket bunga mawar itu dengan satu tangan, “kamu bisa kembali bekerja, thank you, Lily.”
Lilyㅡ sang pelayan, mengangguk dan menunduk hormat pada Bright dan juga Bank, lalu beranjak meninggalkan dua petinggi Tortoise itu di pelataran restoran.
Bright kembali menatap buket bunga mawar putih dalam dekapannya, dua alisnya bertautㅡ menyatu, antara bingung juga diselingi perasaan tidak suka.
Bank yang melihat sahabatnya itu agak sedikit lost dengan eksistensi hadiah yang entah asalnya dari mana pun cuma bisa tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk bahu tegap Bright, “I can smell something big is going to happen.” ujar Bank, sambil menggoda Bright dengan sengaja mengendus kelopak bunga mawar yang bisa ia jangkau.
Tsk, Bright berdecak menanggapi perkataan sang sahabat, “lo tuh nambah-nambahin kerjaan gue aja tau, nggak. Nanti-nanti kalau promosi Tortoise, cari model yang bener lah, Bank. Gue 'kan nggak ada basic modelling.”
“Nih ya, Bright, gue bilangin ke lo. Walaupun lo nggak ada basic modelling, tapi muka lo itu bisa dikomersilkan. See? Sejak kita rilis video promosi dua bulan lalu, Tortoise berhasil naik ke Top 2 and we're now on top of the holy De Luna and Liberté.”
Bright menyibak tangan Bank yang bergelayutan di bahunya, “damn, you're making me a guarantee.”
“Hahaha,” bagi sebagian orang, terkhusus karyawan restoran, suasana ketika Bright dalam mood yang tidak baik akan terasa begitu menyeramkan. Tapi menurut Bank, mengerjai sang Chef terkenal itu adalah salah satu hal yang menyenangkan. “Walaupun lo sahabat gue, tetep lah gue ini punya jiwa pemikir yang rasional. Selama ada sesuatu yang bisa dijadiin duit, then why not? Elo nih, salah satu sumber duit gue. Nggak mungkin gue melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan eksistensi lo.”
“Ackkkㅡ” Bright pun tidak segan untuk menginjak kaki Bank dan membuat sahabatnya itu meringis kesakitan.
Lantas tanpa berniat memperpanjang topik pembicaraan mereka, Bright kembali masuk ke area khusus pastry display, dan Bank masih mengikutinya dari belakang.
Bright, adalah sosok yang perfeksionis. Jadi, nggak heran kalau Tortoise bisa berkembang pesat di tahun ke-3 restoran itu berdiri. Sebagai salah satu tempat makan yang bersentral pada budaya Eropa, Tortoise dengan begitu sempurna dan elegan menyajikan puluhan menu makanan bernuansa Italia, and the best seller ones are Chef Bright's lasagna and cakes.
Lagi dan lagi, Bright menautkan dua alisnya. Keberadaan Bank yang nggak biasa-biasanya masuk ke area pastry pun jelas membuat Chef itu jengah.
“Lo ada urusan apa sih masuk ke pastry? Biasanya juga jam segini udah mengurung diri di ruangan.”
Bukannya langsung menjawab, Bank malah cengengesan sambil melirik deretan kue-kue cantik racikan Bright di dalam etalase kaca yang dilabeli dengan 'patisserie. Lelaki berusia 31 tahun itu menunduk, menelisik lebih dekat pastries buatan sang sahabat, “Anyway, your croissants are the best. Adek gue biased banget sama croissant buatan lo, sampai nggak mau nyicip di bakery lain.”
“Adek lo yang masih bocah itu?”
Bank melirik Bright dengan sepasang mata yang menyipit, “he is now twenty two, kalau lo lupa.” balas Bank, yang sudah kembali berdiri dengan posisi tegak.
Bright hanya mengangkat kedua bahunya. Lelaki dengan balutan celana bahan hitam, kemeja merah muda yang lengannya digulung sampai ke batas siku dan disempurnakan dengan kehadiran apron berwarna putih itu kini mulai menunjukkan sisi perfeksionis-nya. Kue-kue yang sudah diatur sedemikian rupa di atas papan penampang sesuai jenisnya, digeser-geser kembali demi mendapatkan angle yang bagus ketika dilihat dari jauh.
Sebuah stroberi yang nyaris jatuh dari posisinya pun tak luput dari pandangan sang Chef. Bright, cepat-cepat mengatur kembali stroberi tersebut di atas salah satu short pastry yang terpajang di sana.
“Masih bocah lah, Bank. Dia dua puluh dua, kita udah kepala tiga, bedanya sedekade.” sahut Bright.
“Ya, ya, ya, terserah lo aja deh, Bright. Oh iya, ngomong-ngomong soal adek gue, lo belum pernah ketemu dia, 'kan?”
Bright berdehem pelan, “iya, selama ini juga tau dari cerita lo doang. Kenapa emangnya?”
“Padahal dia sering banget kesini nyamperin gue.”
Sang Chef kembali menegakkan posisi tubuhnya. Setelah memastikan semua kue sudah tersusun rapi dan cantik di dalam etalase, Bright mengambil tissue untuk membersihkan tangannya.
Tangan kiri Bright bertumpu di atas etalase, berdiri menghadap ke arah Bank, “wujudnya aja gue nggak tau kayak gimana, mungkin gue sama adek lo pernah papasan tapi gue nggak nyadar,”
“Dan kalau lo lupa, gue ini mostly kerja di dapur. Wajar lah, gue jarang ketemu tamu.”
Kepala Bank mengangguk ringan, “iya juga, sih. By the way, dia mau kesini hari ini, sama temen-temennya. Dia cerita, salah satu temennya itu ada yang ngefans berat sama lo. Udah mah kepala Chef, ganteng, kaya pula, gitu katanya.”
“Ah, kerjaan lo nih, Bank. Dari awal kita ngebangun Tortoise, 'kan udah gue bilang gue bakalan fokus jadi koki aja. Terus kenapa coba segala ngide jadiin gue model video promosi dan masukin profil gue di majalah-majalah?” Jujur, keputusan Bank untuk menjadikannya model dadakan amat sangat mengganggu keberlangsungan hidup Chef itu.
Bagaimana tidak? Setelah tampil perdana di video promosi yang rilis beberapa bulan lalu, menghadiri konferensi pers setelah Tortoise dinobatkan sebagai restoran terbaik nomor 2 di Bangkok, dan profile-nya dengan apik dimuat dalam berbagai majalah-majalah fisik maupun elektronik, nama Bright Vachirawit Chivaaree melejit bagaikan roket.
Memang sih, hal tersebut sukses mendongkrak nama Tortoise, tapi Bright tidak bisa bohong… kalau hidupnya otomatis ikut berubah seiring kemajuan restoran itu.
“Yah, bro, sori deh sori… I didn't expect it will reach at this point, sumpah.” nggak ada hal lain yang bisa Bank lakukan, selain mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'ㅡ simbol perdamaian.
“Next time, gue bakalan bener cari model baru deh, biar lo bisa fokus di dapur seperti kemauan lo. But today, lo mau 'kan nemenin adek gue sama temen-temennya ngobrol?”
Ck, sepertinya hari Minggu Bright akan benar-benar dipenuhi oleh warna kelabu. Bank dan segala pemikiran abstraknya, juga permintaan-permintaan anehnya, memang selalu sukses membuat Bright geleng-geleng kepala sambil mendesah jengah.
“Hampir setiap hari gue dikirimin buket bunga sama orang yang nggak gue kenal belum cukup, Bank? I ever said to you, that i don't like being spotlight.”
Duh, kayaknya Bright benar-benar mulai jengah dengan kehidupannya yang sudah terlanjur jadi sorotan dan konsumsi publik. Bank… jadi nggak enak hati. Tapi kalau permintaan adiknya itu tidak dituruti, bisa-bisa perang dunia terjadi tanpa ada instruksi.
“Oke, oke, once again i am so sorry, tapi satu kali ini aja ya, Bright? Palingan sepuluh atau lima belas menit lah, lo temenin anak-anak itu ngobrol. Anaknya bakalan dateng setelah jam makan siang, agak sore mungkin? Ada kelas dulu, katanya.”
“Nggak,” tanpa basa-basi, Bright langsung menolak permintaan sahabatnya itu, “gue setengah hari aja lah hari ini, kepala gue mau meledak. Lo calling Ggigie aja kalau ada apa-apa, dia full day di kitchen hari ini.”
Terlanjur kesal dan malas meneruskan percakapan keduanya, Bright pun melenggang pergi menuju dapur. Meninggalkan Bank yang cuma bisa berdengus, dan yeah… harus bersiap-siap menerima omelan sang adik yang dalam beberapa jam akan datang ke Tortoise.
. . .
Semilir angin sore dan suara lengkingan tawa dari anak-anak kecil yang bermain di sekitar taman menyambut kehadiran Bright sore itu tampak sedikit berantakan.
Bright memilih untuk mengikuti langkah kakinya, kemanapun itu, Bright tidak perduli.
Sampai akhirnya perhatian sang Chef beralih pada dua ekor kucing yang sedang berbaring santai menikmati sore di atas sebuah kursi di tengah taman. As the animal lover he is, ia pun memutuskan untuk bergabung di sana.
“Hey,” suara yang keluar dari belah bibirnya melembut beberapa oktaf. Tiba-tiba hatinya menghangat, hanya dengan melihat kucing yang berbaring dan duduk dengan nyaman, semua beban lelaki itu seolah hilang tanpa sisa.
Bright cepat-cepat membuka resleting tas jinjing miliknya, mengambil sebuah bungkus whiskas kering yang selalu ia bawa kemana-mana. Lantas dengan penuh kehati-hatian, Bright menuangkan banyak butir whiskas di dekat dua kucing itu. Senyumnya kian melebar, terlebih ketika kucing-kucing itu makan dengan begitu lahap.
“Eat well,”
Persetan dengan semua kekusutan yang terjadi dalam hidupnya, pemandangan dimana dua kucing yang menemani sorenya di taman jauh lebih penting dari apapun. Di saat semua butir whiskas sudah habis tak bersisa, Bright mengelus lembut kepala dua kucing itu bergantian.
“Mas Bright, ya?!”
Yes, nyatanya hidup Bright sudah tak lagi bisa bertemu dengan kata tenang.
Dengan malas, Bright menoleh ke arah seberang dan matanya memicing bingung ketika ia dapati seorang pemuda dengan balutan pakaian kasual, sebuah tas ransel tersampir di bahu kirinya, duduk dengan begitu santai sambil menatap ke arahnya.
Seulas senyum pun terukir di wajah yang terlihat begitu ceria, apalagi saat Bright mau membalas melirik kepadanya.
“Maaf, saya nggak kenal kamu.”
Pemuda itu cekikikan kecil mendengar ucapan sinis Bright. Lalu tanpa malu-malu, ia bangkit berdiri dan beranjak menghampiri Bright. Tangan kanannya menjulur bersahabat, “aku Win, adiknya Mas Bank.”
Oh, jadi ini bocah 22 tahun yang beberapa saat lalu menjadi pusat topik pembicaraan antara dirinya dan juga Bank?
Bright melirik tangan Win yang terulur, lantas dengan malas dan sedikit terpaksa ia menyambut uluran tangan itu, “Bright.” sahutnya, cepat.
“Hehehe, aku udah tau. Sering liat di majalah, dan sering diomongin sama Mas Bank kalau lagi makan malam keluarga di rumah.”
Dihadapkan dengan seorang ekstrovert yang tiba-tiba bersikap sok akrab dengan dirinya yang certified introvert, Bright pun dibuat bingung setengah mati.
Apalagi status Win yang merupakan adik kandung Bank, Bright jelas nggak bisa bersikap semaunya pada pemuda itu.
Bright menyudahi acara jabat tangan keduanya, lalu berdehem ringan, “oke, glad to know that.” introvert sih introvert, tapi kalau terlanjur jadi convo killer gini, namanya bunuh diri nggak, sih?
Tapi untungnya, Bright dihadapkan dengan Win yang memang handal menghidupkan suasana. Pemuda berusia 22 tahun itu tiba-tiba berjongkok di samping bangku yang diduduki Bright. Masih dengan senyum lebar yang terlukis di wajahnya, Win turut menyapa dua kucing yang tengah menjilati tangan mereka sendiri.
“Hey, udah kenyang ya kalian? Padahal aku udah bawain dry food yang biasa kalian makan, lho… but it's okay, Mas Bright gave you two delicious foods, right?”
Obrolan antara Win dengan dua kucing yang duduk bersamanya di atas bangku pun sukses menarik perhatian Bright. Lantas masih dengan sepasang alis yang bertaut penuh kuriositas, Bright sedikit menunduk mendekati posisi adik dari sahabatnya itu, “kamu sering dateng kesini?”
Win menengadahkan kepala, membalas tatapan Bright. “Uhm,” kepalanya ikut mengangguk, “aku punya apartemen nggak jauh dari sini. Dan biasanya setiap sore sepulang kuliah, aku mampir buat ngasih makan kucing-kucing di sini.”
“Aku juga sering ngeliat Mas Bright, tapi biasanya nggak berani nyamperin. Jadi aku liatnya dari jauh.”
Such a talkative person, Bright pun mulai bisa santai dengan suasana yang tercipta di antara mereka berdua. “Terus, kenapa sekarang berani nyamperin saya? Bukannya kamu sama teman-teman kamu mau datang ke Tortoise?” tanya Bright.
“Hehehe,” persis seperti Bank, Win sepertinya punya hobby cengengesan lebih dulu baru melanjutkan ucapan, “aku males dengerin temenku marah-marah karna nggak bisa ketemu Mas Bright di Tortoise. Dan karna taman ini one of my safe place, jadi aku cabut kesini, deh.”
“Eh, malah ketemu Mas Bright di sini.” sambung Win, sambil bermain dengan salah satu kucing berwarna putih.
Situasi kembali hening saat Bright tidak juga memberikan respon atas perkataan Win. Merasa penasaran mengapa si lelaki yang lebih tua tidak menjawab, Win pun melirik Bright yang ternyata sedang menatap polos ke arah langit.
“Mas Bright kenapa ada di sini? Kata Mas Bank, Mas Bright izin kerja setengah hari karna lagi nggak enak badan. Are you okay?”
Aduh, dikasih perhatian berlebih seperti ini, Bright jadi semakin mati kutu.
Bright bingung, Win ini… memang tipikal anak yang suka memerhatikan orang lain baik dari tutur katanya yang lembut ataupun afeksi lewat perhatian-perhatian kecil atau, Bright memang sedang diperhatikan secara berlebihan?
Tidak enak hati menggantungkan pertanyaan Win dengan tanda tanya, Bright lantas menyahuti si pemuda, “saya izin setengah hari karna saya nggak mau ketemu kamu dan teman-teman kamu.” tukas si Chef, tanpa basa-basi.
Bukannya merasa tersinggung dengan ucapan jujur Bright barusan, Win malah terkekeh nyaris terbahak-bahak.
“Didn't you know that recently… you're the center of the century?”
Wait, kayaknya Bank nggak pernah cerita kalau adik semata wayangnya itu handal dalam menggoda? Lalu, kenapa sekarang Win seolah-olah sedang bermain-main dengannya?
Enggan terekspos kalau dirinya terkejut bukan main, Bright pun satu kali lagi berdehem, “No.” terlalu singkat untuk dijadikan sanggahan, tapi Bright terlanjur malas berdebat.
Tawa Win lambat laun mereda, “no?”
Bright melipat kedua tangannya di depan dada. Kepalanya mengangguk agak sedikit angkuh, “jangan memuji saya seperti itu. Saya nggak suka.”
“Alright, alright,” si yang lebih muda mengalihkan fokus atensinya dari Bright menuju kucing putih yang tampak asyik menjilati tubuhnya sendiri, “You are the century of my life then.”
Uhukㅡ,
Bright nggak mau terlihat grogi, tapi demi Tuhan… Win dan mulut manisnya itu sungguh amat berbahaya bagi kesehatan jantung si Chef ternama.
Kacau jika Win diberi kesempatan untuk meneruskan ucapannya, Bright pun terpaksa harus menyetir arus pembicaraan mereka. “Teman kamu yang sekarang lagi marah-marah di Tortoise itu, dia beneran ngefans sama saya?”
Win mengangguk, “iya, katanya sih udah tergila-gila sejak dia ngeliat profile Mas Bright di majalah Kazz,” sepasang obsidian hazelnya kembali bertukar pandang dengan si lelaki yang lebih tua, “bahkan dia sampai download video promosi Tortoise biar bisa liat Mas Bright setiap hari.”
Ckckck, sudah dibilang, bukan? Menjadi sorotan is really not his thing. Ditambah mendengar jawaban yang terucap dari bibir Win, Bright jadi semakin menyesal sudah pernah menyetujui saran Bank untuk membintangi video promosi restoran mereka.
“Dia beneran ngefans kayak rasa suka fans ke idolanya gitu? Kayak artis-artis Korea, to be exact.”
Satu kali lagi, Win mengangguk. Seuntai deheman pelan ikut menyusul sesaat setelah Win kembali mengalihkan atensinya, “nggak se-fanatik itu, tapi bisa dibilang lumayan jor-joran, sih. Dia beli majalah Kazz yang ada profile dan interview Mas Bright sampai lima puluh eksemplar, lho!”
Win begitu antusias menceritakan soal temannya yang mengidolakan Chef muda itu, sedangkan yang jadi bintang utama justru mulai sakit kepala hanya dengan membayangkannya.
Bright yang kembali bungkam pun membuat Win lagi dan lagi jadi pihak yang mencairkan keheningan, “aku juga suka sama Mas Bright.”
UHUKㅡ,
Rasa-rasanya, Bright nggak sanggup untuk berlama-lama tinggal di sana hanya berdua dengan sosok Win, yang kalau mau bicara suka nggak dipikir lebih dulu efek sampingnya.
Namun karena gengsi tinggi yang begitu dijunjung tinggi, Bright pun berusaha untuk tetap stay cool, walau hasrat untuk melarikan diri semakin meningkat pesat.
“Nggak perlu repot-repot suka sama saya, Win. Saya nggak akan bisa balas perasaan apapun yang orang lain kasih buat saya. That's why I shouldn't have done this all in the first place.”
“Kenapa? Bukannya enak ya, kalau disayang sama banyak orang?” arus pembicaraan keduanya semakin menarik menurut Win, dan pemuda itu tidak ingin durasi mereka habis ditelan waktu.
Bright menggelengkan kepalanya, “saya nggak suka jadi pusat perhatian. Saya lebih nyaman hidup sendiri, saya nggak mau diperhatikan secara berlebihan sama orang lain.”
“Tapi, aku suka sama Mas Bright udah lama. Sejak tiga setengah tahun lalu, pas Mas Bright masih sering main ke rumah buat ngobrolin soal bisnis yang sekarang udah jadi dalam bentuk Tortoise sama Mas Bank.”
Kepala Bright semakin terasa ingin meledak mendengar ucapan adik dari sahabatnya itu.
“Cinta monyet itu, Win. Nggak usah lah kamu seriusin.” balas si Chef, terkesan cuek.
Win lagi dan lagi terkekeh, “iya kali ya, cinta monyet… pas aku suka sama Mas Bright dulu, kayaknya bener itu cuma sebatas cinta monyet,” well, Bright yakin Win belum selesai dengan kata-katanya. “Tapi setelah hari ini aku dapet kesempatan buat ngobrol sama Mas Bright, kayaknya aku suka beneran deh, bukan cuma sekedar cinta monyet.”
Oke, sudah cukup. Lantas tanpa perlu repot-repot membalas pernyataan Win barusan, Bright lekas berdiri sambil menggenggam tas jinjingnya.
Win yang melihat Bright tiba-tiba berdiri pun jadi bingung. Mau nggak mau, pemuda itu ikut berdiri, menyamakan posisinya untuk berhadapan dengan si lelaki yang lebih tua.
“Win, dengerin saya,”
Masih santai dan tetap terlihat santai, Win menganggukkan kepalanya sambil bergumam, “Okay, I am all ears, Mas.”
“Kamu itu masih kecil, baru pecah kepala dua, dan usia kita sangat jauh. Saya juga nggak ada keinginan untuk naksir-naksiran macam agenda anak remaja, saya nggak punya waktu untuk itu dan saya harap ini pertemuan terakhir kita, apalagi untuk ngebahas soal rasa suka kamu yang sampai kapanpun nggak akan pernah saya balas.”
Bright menyampaikan isi hatinya dengan begitu santai namun tetap terkesan tegas. Melihat Win yang sama sekali nggak berkutik dan masih bergeming, Bright pun tanpa pamit membalikkan arah tubuhnya dan beranjak meninggalkan taman.
Juga meninggalkan Win yang terlanjur stuck di posisinya.
Nyelekit, sih, rasanya kayak ditolak mentah-mentah padahal belum berdiri di garis start. Tapi yang namanya Win, semakin diberi tantangan, semakin bersemangat.
Ayolah… His name is Win for a reason, right?
. . .
“Maaf, Chef, ada kiriman bunga lagi.”
Serasa dejavu, Bright terpaksa harus menghentikan kegiatannya yang sedang menyusun pastry di dalam etalase kaca. Helaan nafas berat berhembus dari belah bibirnya, namun Chef muda itu tetap membawa dirinya melangkah menghampiri pelayan yang samaㅡ yang satu minggu lalu mengantarkan buket bunga mawar putih untuknya.
Bright membersihkan telapak tangannya di sisi apron putih yang menutupi kemeja biru langit yang ia pakai, sebelum dengan malas mengambil alih buket mawar merah dari jangkauan si pelayan.
Bright melirik buket tersebut agak lama, “yang ngirim? Kurir lagi?”
Tidak seperti seminggu yang lalu, kali ini si pelayan menggelengkan kepalanya, “pengirimnya Mas Meta, Chef. Adiknya Pak Bank.”
“Meta?”
Si pelayan mengangguk ringan, “Mas Metawin, yang minggu lalu mampir ke sini bersama teman-temannya. Baru saja Mas Meta nya pamit karna buru-buru harus ke kampus.”
“Kayaknya, gue udah nyuruh dia buat nggak berbuat lebih jauh, deh?!” tapi yang terjadi justru Win semakin mengejar Bright secara terang-terangan.
Bright berdehem sambil mencari catatan kecil yang mungkin saja terselip di dalam buket mawar merah itu. Eh… ada?!! sebuah kartu kecil pun ia temukan nyaris di bagian bawah dekat tangkai yang dikumpulkan menjadi satu dan diikat dengan pita berwarna merah muda.
“Okay, thanks, Lily. Kamu bisa kembali bekerja sekarang.”
Lilyㅡ si pelayan restoran, menundukkan tubuhnya memberi hormat, “kalau begitu, saya permisi, Chef.” lalu beranjak dengan cepat untuk meneruskan pekerjaannya.
Bright, satu kali lagi, menatap jengah buket bunga mawar merah yang dikirim langsung oleh Win. Seketika Bright berpikir, dua buket bunga yang hari Selasa dan Kamis lalu dikirim untuknya, apakah itu juga sebenarnya dari Win?
Hari ini hari Sabtu, Tortoise otomatis dibuat sibuk total. Bright yang seharusnya standby dan berkutat di dapur menemani Chef ke-2ㅡ Ggigie, mau nggak mau harus ikut andil mengawasi bagian pastry dan terjun langsung ketika pengunjung menyampaikan keluhan-keluhan minor.
Pekerjaannya jauh lebih penting, jadi Bright dengan cueknya meletakkan buket bunga mawar merah pemberian Win di atas meja di dalam area pastry, lalu dirinya kembali menyibukkan diri dengan kegiatan yang sempat tertunda tadi.
. . .
“Sorry, Chef, ada kiriman bunga lagi.”
Serasa seperti dejavu untuk yang kesekian kali, namun sekarang Bright sukses dibuat jengah.
Obrolan yang sedang ia lakukan bersama Ggigie di depan pintu dapur pun terpaksa harus berhenti. Ggigie terkekeh melihat teman sejawatnya itu memerah, entah karena malu atau justru karena marah.
Lantas sebagai salah seorang ekstrovert yang banyak omong dan easy going, Ggigie pun menggoda Bright, “ambil dong itu, Chef, bunganya… cantik lho itu, eh bunga apa itu mbak Lily?”
Bright yang kepalang jengah namun tak bisa mengelak pun mau nggak mau menerima buket bunga dari tangan Lily.
“Mawar doang.” sahut Bright, sinis.
Lily yang merasa bersalah harus memberikan banyak sekali buket bunga pada sang Chef nyaris setiap hari hanya bisa tersenyum kecil, “eh iya, Chef Gie, itu ada kiriman mawar putih buat Chef Bright.”
Ggigie melirik lebih dekat rangkaian bunga mawar putih nan cantik dan bersih yang ada di dalam dekapan Bright, “Wow, so pretty...”
“Jadi iri nih saya, nggak pernah ada yang terang-terangan ngasih hadiah buket bunga romantis kayak fans-fansnya Chef Bright.”
Lily yang merasa tidak punya kepentingan di sana pun lekas pamit untuk kembali bekerja. Bright belum membalas ucapan penuh godaan dari sang teman sejawat, matanya hanya fokus untuk memandang buket mawar putih yang kali ini ukurannya tidak sebesar buket-buket sebelumnya.
Seperti biasa, Bright akan langsung mencari kartu kecil yang mungkin saja terselip di dalam rangkaian bunga itu. Wow, ada lagi?! Lantas dengan cuek, Bright ambil kartu tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana.
“Gue tuh jadi kayak anak remaja yang lagi ditaksir sama temen sebaya tau nggak sih, Gie.”
Ggigie terkekeh atas ucapan Bright, “masa sih, Chef? Bukannya pengirim bunganya anonim dan bisa aja ganti-ganti nggak, sih? Since you're the center of the century, lately.”
Since you're the center of the century, katanya?!!
Rasanya, Bright pernah mendengar ucapan yang sama persis, tapi Bright tidak ingat kalau Ggigie pernah mengatakannya sebelumnya.
Lelaki berusia 30 tahun berdehem pelan, “awalnya emang selalu anonim, Gie. Karna rata-rata yang ngirim itu emang orang-orang yang ngakunya sih sebagai fans gue. Tapi belakangan ini, gue yakin cuma ada satu orang yang rutin ngirimin bunga ke resto nyaris tiga kali dalam seminggu. And I know it must be him.”
Oh, percakapan ini mulai terdengar menarik di telinga Ggigie. Wanita yang lebih muda 2 tahun dari Bright itu menautkan satu alisnya, “it is a he then?”
Kepala Bright mengangguk singkat, “adeknya bos lo, tuh. Minta ampun deh gue, padahal udah gue suruh buat jauh-jauh karna gue udah di usia yang nggak mau repot-repot mikirin soal pacaran, tapi bukannya kuliah yang bener biar cepet jadi sarjana, itu bocah satu malah sibuk manjain gue dengan bunga-bunga yang ends up gue kasih ke adek sepupu gue yang kerjanya jadi florist.”
“Just so you know, dia nggak cuma ngirimin gue buket bunga, tapi kadang dia juga suka ngirimin gue makan siang dan kopi kesukaan gue.” sambung Bright, yang tanpa sadar sedang menceritakan panjang lebar tentang Win.
Ggigie tertawa melihat Bright yang 'bersemangat' sekali membagi kisah percintaannya, “ended up di adek sepupu Chef yang florist itu lagi nggak, tuh?”
“Nggak lah, kalau itu gue yang nikmatin.”
“HAHAHAHA,” gengsi-gengsi begitu, ternyata Bright tetap tidak mau ketinggalan menikmati haknya. Susah payah Ggigie meredakan tawa, “nggak mau rugi banget ya, Chef...”
“Bukan begitu, gue 'kan emang rada suka telat buat lunch, jadi ya daripada gue harus ribet-ribet keluar resto buat nyari makan, ya gue terima aja lah. Sayang kalau mubazir.”
Dalam hati Ggigie bergumam, “laki gengsinya gede banget apa, ya?” ampun, deh…
Berhubung Sabtu ini Bright harus lembur demi menuntaskan percobaan resep baru dan otomatis ia tidak akan sempat berkunjung ke rumah adik sepupunya untuk sekedar menitipkan bunga, sebuah ide pun melintas dalam benaknya;
“Gie,”
Ggigie dengan cepat menyahut, “yes, Chef?”
“Nih buat lo aja, deh. Gue lembur, nggak bakalan sempet mampir ke tempat adek sepupu gue buat ngasih bunga ini.”
Diberikan bunga secara tiba-tiba, Ggigie pun terkejut dan berusaha untuk menolak secara halus, “Eh, Chef, aduh, jangan deh, Chef. Ini 'kan buat Chef Bright, saya jadi nggak enak...”
Bright yang malas memperpanjang pembicaraan pun langsung menyerahkan buket mawar putih itu pada Ggigie, “ambil ya, Gie,”
“Kok dikasih ke orang lain, sih?!! Aku 'kan beliin itu buat Mas Bright…”
Deg.
Belum sempat buket bunga itu berpindah ke tangan Ggigie, tindakan Bright terpaksa diinterupsi oleh kehadiran suara lain yang tiba-tiba datang menyambangi.
Bright dengan malas membalik arah tubuhnya. Win, dengan balutan busana kasual juga kacamata hitam yang bertengger di wajahnya kini muncul di hadapan sang Chef. Tidak hanya itu, Win justru cukup bertingkah untuk menarik perhatian Bright dengan menaruh dagunya di atas etalase kumpulan pastry.
“The roses are for you, Mas...”
Upsie, Ggigie merasa kehadirannya di sana hanya akan mengganggu keduanya. Alhasil, tanpa mengucapkan pamit, wanita itu langsung beranjak masuk ke dalam dapur, meninggalkan dua insan beda usia yang kini saling berhadapan.
Bright berdecak, “harus berapa kali saya bilang, kalau saya nggak punya waktu buat kamu, Metawin?”
Aduh, rasanya kayak ditolak mentah-mentah lagi, tapi Win belum juga mau menyerah.
“Hm, kalau aku kasih opsi, Mas Bright mau nurutin permintaan aku, nggak?”
Bright berjalan mendekat ke arah Win yang masih memandang ke arahnya dengan posisi wajah yang menempel di atas etalase kaca. Lelaki itu meletakkan buket bunga mawar putih pemberian Win tak jauh dari wajah si pengirim, di bagian atas etalase.
Lalu Bright berdiri tepat di depan si bocah 22 tahun. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana, aura arogannya terpancar secara mutlak.
“Kamu mau bermain-main dengan kesabaran saya?”
Win menggeleng cepat, sambil mengubah posisinya menjadi berdiri tegak, “enggak, kok! Aku cuma mau ngajak Mas Bright malam mingguan. Nonton, yuk? Bills on me, deh!”
“Saya nggak mau. Saya sibuk. Saya nggak ada waktu buat anak kecil kayak kamu.”
Bibir bawah Win melengkung ke bawah, “please deh, aku ini udah dua puluh dua tahun dan aku janji, kalau malam ini Mas Bright mau nerima ajakan malam mingguan dari aku, mulai besok aku nggak akan gangguin Mas Bright lagi.”
Apakah Bright percaya begitu saja?
“Saya nggak percaya. Bocah kayak kamu itu jago membual.”
“Ih, aku serius!!! Kalau malam ini kita bisa jalan-jalan berdua, aku nggak akan gangguin Mas Bright lagi mulai besok. Anggap aja ini pertemuan terakhir kita, ya?”
Well, dari intonasi suaranya, Win terdengar bersungguh-sungguh.
Bright pun menimbang-nimbang, apakah ia harus merelakan agenda lemburnya demi mengikuti kemauan Win atau menolak saja dan tetap berlaku abai.
Tapi sorot sendu yang terpancar dari sepasang mata hazel adik dari sahabatnya itu, mau nggak mau membuat Bright pada akhirnya menganggukkan kepala, “oke.”
Demi terjaminnya keberlangsungan hidup di kemudian hari tanpa gangguan-gangguan yang berasal dari Win, Bright pun menerima ajakan malam mingguan bocah itu.
. . .
“Chef, ada kiriman bunga.”
Kali ini bukan Lily, tapi Bella yang menyerahkan sebuah buket mawar merah yang entah pemberian dari siapa. Bright yang sedang mengecek jumlah pastry di dalam etalase pun mau tidak mau harus meladeni salah satu pegawai Tortoise itu.
“Pengirimnya? Kurir, Bel?”
Bella mengangguk, “iya, Chef, yang ngantar kurir. Untuk Pak Bank, katanya.”
Damn, Bright sudah nyaris tinggi hati karena setelah pertemuan terakhir antara dirinya dengan Win di Sabtu malam tiga minggu lalu, untuk kali pertama secara perdana ia mendapatkan kiriman bunga (lagi). Tapi ternyata, bunga ini untuk Bank.
Lalu dalam hati Bright bergumam, “jadi dia beneran serius sama kata-katanya?” Ya, sejak pertemuan terakhir keduanya, Win sama sekali tidak lagi pernah menampakkan diri di Tortoise. Jangankan untuk singgah bertamu apalagi makan siang, mengirimkan buket bunga dan paket makan siang untuknya saja pun sudah tidak pernah.
“Oke, thanks, Bel, boleh balik kerja ya.”
Setelah kepergian Bella untuk kembali bekerja, Bright pun terdiam menatap buket bunga yang kali ini tidak ditujukan untuknya. Ada sebuah kartu kecil yang terpajang di tengah rangkaian bunga tersebut; Le Madamé Florist, forㅡ Mr. Bank. Terlalu formal, mungkin ini hadiah yang dikirimkan oleh kolega.
Tanpa sadar, Bright pun merasa ada yang kurang. Jika setiap pagi dan siang ia selalu dibuat darah tinggi mendadak dengan kedatangan beberapa pelayan restoran yang memberikannya kiriman barang, maka kali ini… Bright kesepian.
Tidak ada lagi kiriman bunga untuknya.
Tidak ada lagi kiriman makan siang dan kopi untuknya.
Tidak ada lagi nuisance yang mengganggu hidupnya.
Lalu kepala Bright menggeleng cepat, ia lupa, ia tidak punya waktu untuk sekedar memikirkan bocah 22 tahun itu.
. . .
“Chef, ada kiriman undangan.”
Obrolan pagi antara Bright dengan Bank terpaksa harus di-pause sesaat karena kedatangan Randyㅡ salah seorang pelayan Tortoise, dengan sebuah undangan di tangan kanannya.
Bank yang penasaran dengan undangan tersebut langsung menimpali ucapan Randy barusan, “buat saya atau buat Bright, Ndy?”
“Kalau dari tulisan yang tertera sih, buat Chef Bright, Pak.”
Lantas dengan mata yang memicing bingung, Bright pun mengulurkan tangan kanannya, “sini, Ndy.” Randy pun tanpa mengulur-ulur waktu langsung memberikan undangan tersebut pada sang Chef, “thanks, Ndy. Boleh balik kerja, ya.”
Sepeninggal Randy, Bright pun menatap bingung amplop undangan tersebut. Menimbang-nimbang siapa pengirimnyaㅡ karena tidak tercantum, juga berspekulasi sendiri ada maksud dan tujuan apa dari undangan itu.
EXCLUSIVE INVITATION
“Buka, Bright. Siapa tau penting.”
Bright melirik Bank sesaat, sahabatnya itu dengan santai menenggak kopi susu miliknya dari dalam cangkir.
Lalu tanpa kata, Bright pun mulai membuka amplop tersebut. Amplop berukuran segiempat itu terlihat begitu elegan dengan desain yang cukup mewah. Seuntai pita berwarna merah marun yang menyempurnakan penampilannya pun Bright lepas secara hati-hati.
Di dalamnya ada sebuah kertas, tebal… the invitation.
Tidak, bukan itu yang membuat kaget. Tapi setelah berminggu-minggu berlalu, setelah dibuat terbiasa dengan kekosongan yang ada, hari ini… nama itu datang lagi.
You are invited by Win Metawin to attend a very private celebration on Sunday; 7 PM at The Chaophraya Cruise.
Notes: See you very soon, Chef! :D
“Bank,”
Bank yang diam-diam penasaran dengan kartu undangan yang tiba-tiba mendatangi Bright pun menyahut, “gimana, Bright? Undangan nikah mantan lo, ya?” oh, jelas, ucapan Bank barusan langsung dibalas dengan tatapan jengah sang Chef andalan Tortoise.
“Ck, pacaran aja nggak pernah, gimana mau punya mantan.” jawab Bright.
“Hahaha,” Bank refleks menyikut jahil lengan Bright, “damn, i thought you were joking when you said you've been single since forever.”
Kepala Bright menggeleng sekenanya, “I was not lying. By the way, Bank,”
Yang dipanggil menyahut lagi, “kenapa?”
“Lo sama sekali nggak tau menau soal undangan ini?” Well, bagaimanapun juga Bank adalah kakak kandung Win. Jadi rasanya, Bright perlu bertanya pada sahabatnya itu sebelum curiga lebih lanjut pada undangan yang tidak bisa ia tebak maksud dan tujuannya itu.
“How could I know? Itu undangan jelas-jelas buat lo, gue nggak dikasih ngintip secuil pun. Gimana gue bisa tau?”
Kepalang dibuat bingung dengan situasi, Bright pun cuma bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Tapi ini dari adek lo, Bank.”
“HAH??? METAWIN???” Bright jadi semakin bingung, kayaknya Bank benar-benar nggak tahu menahu soal undangan tiba-tiba ini. “Coba liat, Bright.”
Bright menyerahkan undangan di tangannya pada Bank. Lalu sang Chef dengan seksama memerhatikan temannya yang tampak begitu serius mengamati kertas undangan tersebut.
“Bright,”
Bukannya menyahut dengan kata, Bright hanya menganggukkan kepala pertanda Bank bisa melanjutkan ucapannya.
“Lo ada main sama adek gue? Sejak kapan?”
Ditanya seperti itu, Bright nyaris tersedak air liurnya sendiri. “Ngaco! Gue sama adek lo tuh nggak ada apa-apa, Bank. Gue bahkan udah nyuruh adek lo buat jauh-jauh dari gue, tapi nggak tau deh kenapa hari ini malah ngirimin undangan nggak jelas kayak gitu.”
“Adek gue ada hati sama lo?”
“Iya, kali? Can't blame myself for being this handsome and powerful.” balas Bright, agak sedikit angkuh.
Bank menyipitkan matanya mendengar balasan si Chef, “Can't blame myself for being handsome and powerful, tapi baru melejit dikit namanya udah stress nggak mau jadi sorotan, cih.”
Aduh, aduh, Bank kalau ngomong suka tepat sasaran gitu, ya?!
Tidak punya celah untuk menyangkal ucapan Bank barusan, Bright pun kembali mengukir ekspresi serius di wajahnya, “gue udah bilang ke Win, gue nggak punya waktu buat ngebales perasaan dia karna gue udah di usia yang nggak bisa diajak main-main lagi.”
Oke, Bank mengangguk-anggukkan kepalanya, terlalu memahami kalau Bright memang bukan tipikal orang yang senang mencoba sana-sini untuk menemukan yang tepat.
“Berarti adek gue beneran ada hati sama lo? Dia nembak gitu, Bright?”
Dua bahu Bright terangkat naik, “gue ini nggak pernah pacaran, jadi gue nggak tau gimana tanda-tanda orang yang lagi jatuh cinta but he was once said that he likes me, tapi gue langsung bilang ke dia kalau gue nggak bisa.”
“Nggak bisa kenapa? Lo beneran nggak ada niat sama sekali untuk pacaran? Cari pendamping, gitu? You are a man in your thirty and you are a rich, handsome and mature adult pas banget kayak tipe-tipe calon mertua sedunia.”
Bank mendekatkan kursi yang ia duduki ke arah Bright, “nggak mau nyoba sama adek gue? I can guarantee he's a nice person.”
“Umur gue sama dia jomplang banget, Bank.”
Decakan pelan lolos dari belah bibir Bank, “adek gue ada protes nggak soal umur kalian?”
“Ya enggak sih,” Bright menjeda sebentar kata-katanya, “tapi gue ini nggak pernah pacaran, Bank. Gue nggak tau jobdesk seorang pacar tuh kayak gimana, dan gue juga belum kenal-kenal amat sama adek lo.”
“A method called PDKT sounds great, I guess?”
Aduh, Bright jadi bingung sendiri. “Jawaban lo sama sekali nggak menolong, Bank.”
Bank tertawa. Lagi-lagi lelaki itu tertawa karena ucapan si Chef, “adek gue nggak banyak gaya, kok. You can talk about it with him, anyway.”
“Then come to the place he prepared for you.”
“Make sure you're the most handsome man with tuxedo and hair up on the next Sunday.”
Bright mendesah. Sedikit banyak tidak menyangka kalau ternyata Bank akan memberinya jalan untuk menerima ide gila sang adik.
“Bank,”
“Apalagi???”
“Kalau tiba-tiba lo merasa kosong dan sedikit kangen sama sesuatu yang tiba-tiba hilang, can it counted as the falling in love symptoms?”
. . .
“Sir Bright Vachirawit Chivaaree?”
Langkah kaki Bright tiba-tiba saja berhenti ketika seorang pelayan kapal pesiar dengan balutan seragam hitam dan putih muncul di hadapannya. Bright yang masih sedikit linglung, kenapa kapal pesiar yang ia naiki sepi pengunjung pun hanya bisa mengangguk. Seuntai deheman lolos memecah keheningan, “yes, I am.”
Pelayan itu sontak mengulas senyum di wajahnya, lalu membuat gestur menundukㅡ penyambutan singkat.
“Kehadiran Tuan sudah ditunggu sejak tadi oleh Tuan Metawin. Mari ikuti saya, Tuan. Lewat sini,”
Bright yang cuma bisa pasrah pun hanya mengangguk sambil perlahan-lahan mengikuti langkah sang pelayan.
Well, ini adalah kali ke-2 bagi Bright masuk ke dalam kapal pesiar sungai Chao Phraya. Satu tahun lalu, ia pernah menghadiri exclusive dinner bersama jajaran Chef-Chef bintang 5 di Thailand di tempat yang sama. Entahlah, the vibes of the cruise suddenly changed when the thought of the reason he's here crossed his mind.
Ternyata sang pelayan tidak membawanya ke sebuah aula besar yang biasa digunakan untuk acara malam. Langkah kecil kakinya mengarah pada sebuah tangga yang menghubungkan ruangan dalam kapal pesiar dengan bagian luar. Bright, semakin dibuat bingung.
“Sir Metawin is already waiting for you. Come to the left side and find him there.”
Bright bahkan belum sempat membalas ucapan si pelayan, tetapi lelaki berpakaian serba hitam dan putih itu lebih dulu beranjak meninggalkannya di anak tangga terakhir sebelum ia bisa mencapai bagian atasㅡ luar kapal.
Semilir angin malam menyambut kehadiran Bright yang finally, mendaratkan ujung sepatu pantofel hitamnya di pelataran kapal. Merasa bingung harus bersikap seperti apa, Bright pun memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana, mencari ketenangan.
Metawin ada di sebelah kiri.
Tidak mau membuang-buang waktu, Bright lekas melangkah ke arah kiri dan hendak mencari keberadaan adik dari sahabatnya itu.
Satu langkah,
Dua langkah,
Tiga langkah,
Dan tepat di langkah ke-9, Bright menemukan Win.
He is there…
Pemuda itu berdiri di pagar besi yang menjadi tepian bagian samping kapal pesiar. Tampilannya tidak lagi seperti bocah berusia 22 tahun yang beberapa minggu lalu impulsif untuk menyatakan perasaannya secara terang-terangan.
Win, surai hitamnya bergoyang sedikit tertiup angin. Tampilan pemuda itu jauh lebih formal, sangat berbanding terbalik dengan busana kasual yang biasa ia pakai setiap berkunjung ke Tortoise.
Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu, his hair down, satu tangannya bertumpu di pagar besi dan yang satunya lagi masuk ke dalam saku celana.
Tidak mau mengelak, he could feel things.
Win yang melihat Bright terdiam sesaat di posisinya pun menganggukkan kepala, seolah sedang memanggil. Bright, kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Begitu Bright berdiri di hadapannya, lagi dan lagi as the 22nd year old man, Win berlaku impulsif dengan menyentuh surai hitam sang Chef bintang lima dengan tangannya. Win merapikan tatanan rambut Bright yang sedikit rusak karena tertiup angin.
Bright, malfungsi total.
“Hahaha,” Win mana bisa menahan tawa menyadari Bright yang tiba-tiba menegang. Lalu dengan mengikuti instingnya, Win menangkup pipi kiri Bright dan mengelusnya lembut, “thank you for coming, Mas Bright…”
Bright, masih malfungsi total. Semua sentuhan Win di atas kulitnya sukses membuat lelaki itu mati gaya. Matanya bahkan tak bisa berpaling sedikitpun dari sepasang obsidian hazel yang kini menatapnya dengan binar bahagia.
“Kenapa kamu agresif sekali?”
Win susah payah meredakan tawanya. Pemuda itu memalingkan atensi, menatap kerlap-kerlip lampu di sisi sungai yang mengiringi perjalanan mereka di atas air.
Sepersekian detik kemudian, Win kembali menatap Bright yang masih memandangnya penuh tanda tanya.
“Ya karna Mas Bright setuju jadi pacar aku, lah?”
Dua alis Bright bertaut bingung, “maksudnya?”
Melihat kebingungan yang tergambar jelas di raut si lelaki yang lebih tua, Win pun melipat kedua tangannya di depan dada. Sepasang mata bulatnya memicing, “Mas Bright nggak baca undangannya secara detail, ya? Terus ngapain dateng kesini kalau undangan dari aku cuma dianggap angin lalu?”
“Pulang aja lah sana!”
Aduh, kayaknya Bright baru sadar kalau dirinya salah mengambil langkah. Untuk meredakan emosi si pemuda, Bright cepat-cepat meraih satu tangan Win untuk digenggam.
“Nggak gitu, Metawin. Sorry, sorry, I didn't fully read your invitation, tapi saya udah di sini sekarang. So, what are we gonna do now?”
Win berdecak pelan, namun penuh penekanan, “percuma lah, aku udah nggak mood.”
Lantas dielusnya punggung tangan Win yang ia genggam dengan lembut, “jelek banget adatnya, sedikit-sedikit ngambek. Kalau orang nggak tau itu, ya kamu kasih tau. Bukan malah dimarahin.”
Dibalas seperti itu, Win ingin menarik tangannya menjauh, tapi Bright lebih dulu menahannya. Genggaman si Chef kian menguat, “saya bercanda, udah coba sini liat ke arah saya.”
Karena dirasa Bright belum paham mengapa sekarang mereka berdua ada di atas kapal pesiar, Win pun tiba-tiba dilingkupi ide cemerlang.
Pemuda itu menatap Bright dalam, tangannya tanpa sadar ikut balik menggenggam tangan Bright di bawah sana.
“Karna Mas Bright nggak baca undanganku dengan serius, sekarang aku mau nembak Mas Bright secara langsung aja.”
Bright jelas semakin dibuat bingung, “gimana, Win?”
Win melangkah satu kali lagi, membawa tubuhnya yang semampai berdiri lebih dekat pada Bright. Satu tangannya yang bebas ia angkat untuk memeluk leher jenjang sang Chef, “aku tau Mas Bright ngeliat aku sebagai anak kecil, tapi aku bisa berubah kalau memang Mas mau. Aku udah dua puluh dua tahun, aku udah bisa tau mana yang aku suka dan mana yang cuma sekedar kagum. I've said it to you Mas, i like you. Aku mau punya hari-hari yang lebih berwarna ketika aku menjalaninya sama kamu. Aku udah masuk tahap suka banget sama Mas, beberapa minggu ini terpaksa jaga jarak malah bikin aku semakin yakin, kalau aku memang mau mengusahakan semuanya sama Mas Bright,”
“Do you want to try? To let your heart open for me?”
Sudah Bright bilang bukan, kalau dirinya amat sangat noob di bidang percintaan seperti ini? Tapi ketika Win menyatakan perasaannya dengan sungguh-sungguh, juga dengan sorot mata sendu yang bagaikan candu, lalu Bright merasa tersiksa nyaris di seluruh tubuh… apakah ia sedang jatuh cinta?
“Win,”
Yang dipanggil menyahut dengan cepat, “hm?”
“Saya nggak ngerti masalah cinta-cintaan kayak begini. Saya nggak pernah punya waktu untuk direpotkan dengan perasaan kayak yang kamu berikan untuk saya. Saya juga udah tua, Win. Usia kita jauh, jauh sekali… Apa kamu nggak mau cari yang lain? Yang mungkin sefrekuensi dari segi hobi dan pemikiran sama kamu?”
Well, dengan lantang Win menggeleng, “nggak mau, aku maunya kamu yang jadi pacarku.”
“Astaga, kamu ini...”
“Hahaha,” Win mendekatkan wajahnya pada Bright, “mau, 'kan? Mau ya… jadi pacar aku...”
Oke, seperti Bright kalah. Akhirnya, lelaki itu berdehem singkat, “ajari saya pelan-pelan, ya?”
“OKEEE!!!” Terlalu bahagia, Win pun melepas genggaman tangan Bright dan menangkup wajah sang Chef dengan kedua telapak tangannya.
“Mau ciuman boleh? Aku ajarin deh!!!”
Damn, pacaran sama anak kecil begini kah rasanya? Bright jadi salah tingkah sendiri…
Namun melihat Win begitu bersemangat, mau tidak mau Bright menganggukkan kepalanya, “bimbing saya, oke?”
“OKEEE!!!”
Bright spontan menutup kedua matanya saat ranum merah muda Win berhasil menyentuh bibirnya. Seolah mengikuti insting, Bright membawa tangannya untuk merengkuh pinggang ramping Win yang malam itu terbalut tuxedo hitam.
Win menciumnya dengan begitu handal. Bibir pemuda itu bergerak lembut namun menekan, mendominasi bibir atas juga bawahnya. Win mengulum dan mengisap bibir bawahnya selama beberapa detik, dan Bright anggap, Win sedang mengajarinya cara berciuman yang benar.
Bright memeluk Win lebih erat lagi, lalu ia balas melumat bibir atas Win persis seperti yang pemuda itu lakukan pada bibirnya.
Diam-diam, Bright tersenyum.
Dan di bawah langit malam sungai Chaophraya, Bright membulatkan tekat; untuk belajar menjadi pacar yang baik bagi seorang Metawin, bocah 22 tahun yang selamanya akan menjadi nuisance dalam hidupnya.
. . .
WRITTEN BY : JEYI.