𝙅𝙀𝙔⋆

•|| Bright for my Win ♡


Tak pernah satu kali pun terbesit dalam benak seorang Alcantara Bright Sagibson, bahwa ia akan menarik pedal gas mobil milik Bella (yang ia pinjam) di pelataran sebuah bar eksklusif di bilangan ibukota. Kedua tangannya masih menggenggam erat kemudi, lelaki itu menatap nanar ke bagian depan mobil.

Kosong.

Pikirannya berkecamuk, berisik, penuh, namun hatinya bagaikan bejana kosong. Terlalu sungkan untuk merasa marah, terlalu abu-abu untuk merasa hampa. Entah sejak kapan, ia merasa hari berganti terlalu lama.

Akhir pekan nyatanya membuat Tara harus menempuh perjalanan selama satu jam untuk membelah padatnya jalan raya hingga tiba di tempat dimana ia yakini, Akssa ada di sana.

Tara mengambil oksigen banyak-banyak. Dadanya bergerak naik turun mengikuti ritme bagaimana ia menetralkan degup jantung yang ternyata cukup bertalu-talu di baliknya. Tanpa sadar buku-buku jarinya memutih, seiring dengan tangannya yang mencengkram kemudi lebih kuat lagi.

“ARGHHHHH!!!” Bughhhㅡ, satu pukulan mendarat begitu keras di atas kemudi. Meledak sudah emosi yang ia tahan selama perjalanan. Tara belum siap untuk turun, kepalanya sengaja ia sandarkan demi mengurangi amarah yang perlahan-lahan datang menggebu-gebu.

“I didn't wait for your text just to find out you got wasted at the place I never imagined i will pick you up there, Ssa.”

Tara tidak tabu dengan bar. Ia tidak asing dengan asap rokok apalagi sekedar alkohol. He's at the age, where everything sounds okay and can be consumed. Freely. Tapi kenapa rasanya terlalu aneh dan amarahnya serasa dibakar penuh ketika ia harus datang ke tempat ini untuk menjempută…ˇ

Sekretarisnya?

Saat sedang susah-susahnya menurunkan amarah, ponsel yang ia letakkan di jok penumpang bagian samping bergetar dan menyala. Sebuah notifikasi masuk dan memperlihatkan nama Nevan, sang sulung, di sana. Satu alis tebal Tara terangkat naik, kebingungan.

It is 10.30 PM already…

Drive safely, Daddy… see you

Singkat, but very meaningful bagi seorang ayah yang tidak terlalu akrab dengan putera kandungnya. Entah Nevan menyadari suara mobil yang bergegas menjauh dari pelataran rumah sang Ibu, atau memang pemuda cilik itu memerhatikan ayahnya yang tidak kunjung turun dari mobil secara diam-diam lewat salah satu celah jendela. Tanpa sadar, ujung bibir Tara terangkat sedikit. Mengulas senyum pahit memikirkan bagaimana sang anak ternyata memperdulikannya.

Lantas dengan hati yang sudah sedikit tenang, Tara mengetikkan pesan balasan.

I thought you're already sleeping, boy. Thank you! See you tomorrow, young master :)

Kemudian layar hitam mendominasi ponsel canggih itu. Tara melirik main gate yang diawasi oleh dua orang Security berbadan besar. Bar ini, bukan bar biasa. Punya nama. Punya VVIP customers yang menjadi salah satu sumber dana dengan nominal tak terhingga. Lalu, bagaimana bisa tiba-tiba Akssa berada di sana?

Waktu terus berjalan, dan Tara masih diam di tempat. Pikirannya berkelana memikirkan apa yang harus ia lakukan sesaat setelah Akssa berhasil dieksekusi dari sana? Bagaimana… bagaimana kalau di tengah ketidaksadarannya, Akssa diganggu oleh pria-pria berhidung belang dan bermata lapar pun haus akan santapan?!!

Bagaimana… bagaimana kalau Akssa yang dipengaruhi alkohol dijebak dan diㅡ

Oke, stop. Membayangkan hal-hal buruk terjadi pada sekretarisnya itu membuat Tara tak sanggup lagi berdiam duduk tanpa melakukan apa-apa. Ia dengan cekatan, dan dengan jantung yang berdegup cepat, bergegas turun dari mobil yang untungnya sudah diparkir di spot yang paling aman. Merapikan sedikit busana yang ia kenakană…ˇ kemeja putih lengan panjang yang dibalut sweater abu-abu muda, lalu beranjak memijakkan kaki di area parkir bar setelah ia pastikan mobil Mercedes Benz A-Class itu sudah terkunci.

. . .

Euphoria dan aroma kebebasan menyambut kedatangan Tara di hall utama bar tersebut. Saturday night, membuat ruangan yang bising akan suara musik semakin terasa penuh akibat banyaknya orang yang berkumpul di sana. Perlahan tapi pasti, lelaki itu berusaha membelah dan membuat jalan untuk dirinya sendiri bisa menemukan Akssa di tengah kerumunan.

Tara meraih ponselnya, berusaha menghubungi sang sekretaris.

Namun, tidak juga ada jawaban.

Mau tidak mau, ia kembali melangkah. Menentukan arah yang tak pasti, sambil sesekali menajamkan penglihatan untuk memastikan Akssa berada di jangkauan matanya.

Dan setelah nyaris sepuluh menit berlalu, Akssa berhasil ia temukan.

Sedang duduk bersandar di sebuah sofa di sudut ruangan, pasrah, tangan kanan mencengkram sebuah botol kaca yang Tara tak tahu betul apa merk-nya. Yang jelas, cairan dari botol itu sukses membuat Akssa cukup kehilangan kesadaran.

Tara duduk di sana. Di samping Akssa yang tengah tersenyum kosong sambil meracau tidak jelas.

And you will be the death of me, Ssa.

Tidak ada kabar seharian, merahasiakan urusan pribadinya, dan tiba-tiba drunk chat menanyakan soal perasaan yang Akssa sendiri sudah tahu jawabannya. Dua hari ini terasa begitu kompleks, Taraă…ˇ jujur, kesulitan sendiri untuk mengurutkan apa saja yang sudah terjadi dalam kurun waktu 2 x 24 jam ini.

Fancy dinner for the first time bersama Akssa, sang sekretaris yang sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih pasif dan seakan menutup diri, gagalnya rencana deep talk perihal Nevan yang baru saja berkonflik di sekolah, anak-anak dijemput Maminya and were having a very short escape together, rela naik taksi online menuju hotel tempat keluarga kecilnya menginap untuk menjemput ketiganya kembali ke rumah, Mix membeberkan fakta bahwa Bella sudah mengetahui perihal Akssa yang masuk ke dalam grup sekolah anak-anak, Mix yang punya concern kalau Bella bisa saja curiga dengan Akssa, dan Akssa yang tiba-tiba mabuk di sebuah bar di Jakarta sebagai penutup dari segala rentetan kebingungan yang memporak-porandakan hari-hari Tara belakangan ini.

Membiarkan otaknya terus berkelumit dengan segala benang kusut di dalamnya, Tara menatap sendu lelaki manis di hadapannya.

Tanpa suara, ia berusaha untuk mendengarkan celetukan-celetukan yang terucap dari mulut sang sekretaris.

“The stars are too bright tonight, he… he… he…”

“Yet Bunda didn't know that i forgave him already…”

“Alcantara anjiiiingggggggggGGGGG!!!””

Hahaha, celetukan yang baru saja keluar dari mulut Akssa berhasil membuat Tara sedikit tertawa meskipun rahangnya masih keras menahan gejolak amarah.

“Why didn't you kiss me that day? You know what, i have been starving for that… aaaarghhh!”

Entah sadar atau tidak, Akssa kembali mengangkat tangan kanannya dan menenggak cairan alkohol dari botol yang sedari tadi ia genggam kuat.

“Tara, you stupid ass, lo paham nggak sih kalo anak looooo… N-nessha!!! Dia nggak suka sama gue!!! Gue udah kehabisan cara buat ngambil hati d-dia… hiks… Ci Ineeeessss w-why are you so rude to me…???”

“But N-nevan, my poor Nevan… coba aja Mas, sedikit ajaaaaa lo bisa ngertiin perasaan Nevan… he has been through a lot, tapi gue nggak bisa bantu apa-apa since you asked me to step back, to know my place…” dan tiba-tiba Akssa menangis. Tak ada lagi senyum pahit di wajahnya, yang ada hanya isak tangis dengan air mata yang perlahan-lahan meleleh membentuk sungai di wajah manisnya.

Akssa menjambak rambutnya sendiri dengan tangan kiri, “hati gue sakit banget waktu itu, Mas… gue disuruh mundur, gue disuruh mikirin posisi gue di saat gue dengan gegabah berpikir kalau lo udah ngasih gue akses buat deket sama anak-anak lo… gue disuruh menjauh dari Nevan, di saat gue udah nyaman banget dan janji ke diri gue sendiri untuk menyayangi Nevan sepenuh hati…”

“I did, Ssa. Saya memang sengaja membuka akses supaya kamu terbiasa dengan keberadaan anak-anak saya… maaf, saya terlalu kalut saat itu. Saya impulsif menyuruh kamu mundur. Saya bingung sekali saat itu, Ssa. Saya ketakutan.” Dan dalam sendunya, Tara pun menyahuti curahan hati Akssa.

“Gue juga mulai mempertimbangkan omongan dan perasaan lo… sejak lo nyuruh gue mundur, gue jadi ragu… lo beneran sayang dan mau nyoba sama gue, atau lo cuma kesepian aja pasca divorce??? I know, Mas, i know being lonely after divorce itu nggak enak… Lo ngerasa butuh ditemenin tapi lo mau sendiri, lo butuh kehadiran orang lain tapi lo nggak percaya siapapun, gue paham… gue tau betul rasanya… hiks… t-tapi bisa 'kan nggak usah nyakitin hati gue y-yang bener-bener serius mau sayang sama anak-anak lo???”

“I really am sorry, Ssa…”

“Lo tuh cuma main-main kah sama gue??? Emang gue sebodoh itu ya??? Iya, gue emang kebawa arus jauuuuuh bangeeeeet gue ada rasa sama lo yang gue pikir sungguh-sungguh… K-kok bisa sih, gue naif banget????” Akssa mulai memukuli kepalanya sendiri. Tara yang kaget dengan hal itupun langsung meraih tangan lelaki manis itu dan menahannya, “no, don't be too hard to yourself…” dan bergumam pelan menyaksikan betapa sakitnya Akssa saat ini.

Orang bilang, segala sesuatu yang terungkap dalam keadaan mabuk adalah sebuah kejujuran. Jika statement itu benar adanya, maka… Akssa merasa sangat terluka?

Isak tangisnya kian terdengar. Lelaki manis itu mulai sesegukan menahan pilu. “I am too naive, aren't i?”

Refleks, Tara menarik Akssa masuk ke dalam dekapannya. Ia memeluk lelaki itu tak kalah menahan pilu. Ia tak pernah tahu, Akssa merasa sesakit ini… ia tak pernah tahu, Akssa menunggunya selama ini… Ia tak pernah tahu, Akssa punya rasa yang juga sama dengannya.

Tara, selama ini, terlalu takut dengan segala kemungkinan. Kegagalannya menjadi seorang suami dan ayah membuat ia ragu akan banyak hal, termasuk akan perasaannya sendiri. Tara, sejujurnya, terlalu takut…

Takut, kalau rasa-nya tak cukup layak untuk diperjuangkan. Takut, kalau rasa-nya tak cukup mampu membuat Akssa stay di sisinya. Takut,

Untuk kembali gagal dan menghancurkan segalanya,

lagi.

. . .

(jeyi // 230618)

“Aku baru sadar, ternyata mau sampai kapanpun, perasaan semacam ini akan selalu tinggal di dalam sini. Iya, aku akan selalu merasa kalah dari Mas Joss, masa lalu kamu.”


Prompt requested: jealous!bie over mas joss. prompter: @briwinniee Pair: josswin (kilas balik) x brightwin

Enjoy!


“Dia nggak angkat telfon kamu juga, Joss?”

Pusing.

Satu kata; pusing.

Tiada hentinya Win mondar-mandir sambil menatap layar ponselnya dengan perasaan gelisah. Sesekali matanya melirik ke arah pintu, menunggu kehadiran sesosok orang yang sejatinya adalah penghuni utama unit apartemen yang kini ia pihak dengan kedua kakinya. Ketika sedang bingung, Win kerap kali menggigit dan mengulum bibir bawahnya. Satu kebiasaan Win yang satu itu tak akan pernah luput dari memori Joss, diam-diam ia terkekeh melihat Win terjebak dalam kebingungannya.

Joss memilih bersandar di ambang pintu kamar milik Win dan Bright, kedua tangannya terlipat di depan dada.

“Sayangnya direject terus. Kamu udah coba chat Iyel?” kata Joss, mengembalikan pertanyaan yang serupa tapi tak sama kepada sang lawan bicara.

Win menggeleng pelan, “udah, tapi nggak ada satupun yang direspon. Jangankan dibales, dibaca juga belum.” ujarnya.

“Emang awal ceritanya gimana sih, Win? Kok bisa Iyel sampe cabut begitu?” Joss mencoba untuk menenangkan suami dari adiknya itu dengan mendorong pelan tubuh semampai Win dan membawanya duduk di sofa ruang tengah. Ia pun ikut duduk di sana, “Jujur, aku juga sempet kaget pas kamu tiba-tiba nelfon dengan nada panik dan bilang kalau Iyel ngambek terus cabut begitu aja.”

“So, what just happened before I came here?”

Win mengusap sesaat wajahnya yang terlihat cukup frustasi, lalu menatap Joss dengan sepasang mata bulatnya.

“I just told him that i want you to talk to the little cherry inside and byaaaar then he just walked away…”

“Sorry Win but, you… what???”

Win melengos pelan, “iya, aku bilang ke Iyel kalau aku mau kamu kesini, terus ajak ngomong diaㅡ” disentuhnya perut yang mulai membesar di balik hoodie hijau army “Joss, i swear to God, aku juga nggak tau kenapa aku tiba-tiba pengen kamu ajak komunikasi adeknya Biel tapi demi Tuhan aku bener-bener butuh itu sekarang,”

“Stupid me, the request is just too crazy it might hurt him…”

Hati Joss mencelos begitu mendengar jawaban Win. Setelah tahun demi tahun berlalu, usaha demi usaha turut dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan keadaan, kali ini Win baru saja melayangkan permintaan yang sangat di luar dugaan siapapun. Terlihat sosok manis itu merasa begitu putus asa, bingung dengan keinginannya sendiri yang terasa amat mendesak, namun di sisi lain Joss paham mengapa adik nakalnya merajuk dan memilih pergi… mungkin untuk menenangkan diri.

Ia lantas melirik perut Win yang belum begitu besar namun cukup terlihat jelas dari jarak sedekat ini. Seulas senyum pahit terukir di sudut bibirnya.

“I am sorry for everything I have done, Win.”

Win memejamkan matanya kuat-kuat. Dengan mata yang sedikit berair, ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangan kirinya dengan lembut mengusap sisi perutnya yang besar namun bersembunyi di balik kain.

Ia benci arah pembicaraan ini.

Ia benci kembali pada fase ini.

“Jangan minta maaf, karena saat itu pun aku juga melakukan kesalahan. Joss, sumpah aku sudah ikhlas, aku bersumpah Biel itu segalanya buat aku, aku bersumpah sedikitpun aku nggak pernah mempermasalahkan lagi masa lalu aku sama kamu, tapi… aku bener-bener nggak tau dan nggak habis pikir kenapa aku bisa punya permintaan konyol semacam ini yang, arghhh… Damn Joss, Bright must be really mad at me.” Win menyeka setitik air mata yang turun mengalir di pipinya, “aku juga nggak mau kayak gini.”

“Win, boleh aku tanya sesuatu ke kamu?”

Win tidak langsung menjawab, namun kepalanya mengangguk secara perlahan.

“How many times do you wish I could talk to the little Biel back then, while he was still in the womb?”

Tidak ada jawaban. Yang ditanya kini terdiam.

Situasi mendadak jadi melankolis. Hubungan keduanya mungkin sudah berakhir sejak lama. Lamaaaaaa sekali, sampai rasanya tak tersisa sedikitpun sisa-sisa rasa dan harapan yang nyatanya sudah pupus di detik pertama ketika Joss pergi meninggalkannyaă…ˇ dulu. Namun, ada satu hukum alam di luar kesanggupan manusia yang mungkin saja bisa terjadi di waktu yang tak pernah diduga-duga.

“Win,”

“Hm?”

“How many times do you wish I could talk to our son back then, while he was still in the womb?” Joss mengulang pertanyaannya, kali ini ia mempertegas status Biel sebagai anak kandung mereka.

Win menghela panjang nafasnya, “Setiap hari. Setiap hari Joss, setiap hari aku harus buang rasa malu aku ke Tuhan dan minta supaya kamu bisa datang dan ajak anak kamu bicara. The way I wished he could hear your voice during his hard days… everyday was really hard and hurt for him back then, but still, you weren't there. You didn't make it at all, Joss.”

Tebakan Joss benar. Mungkin, ini adalah bentuk proyeksi pikiran dari apa yang pernah terjadi dulu. Tuhan memang Maha Kuasa. Hingga takdir yang dipermainkan seperti ini pun, sebagai manusia kita tak dapat untuk menghindarinya.

Setelah bertahun-tahun lamanya, Win kembali menaikkan permintaan yang sama dan kali ini semesta mengizinkan Joss untuk hadir di sini. Win tidak perlu lagi menangis menahan pilu betapa ia kehilangan di masa lalu. Betapa ia mendambakan kesempatan yang terasa mustahil kala itu.

Tapi masalahnya, this little cherry is Biel's. Bukan lagi tanggung jawab Joss seperti sedia kala.

“Win, ini mungkin jawaban atas semua doa-doa kamu dulu. I am so sorry that i couldn't make it at that time, dan aku harus minta maaf lagi kali ini karena aku nggak bisa. Aku nggak bisa Win, the baby is Iyel's.”

“Please, Joss?”

Kali ini Joss tidak memberikan jawaban. Win yang sudah di ambang putus asa, kini membuka mata dan memohon lewat sorot haz cokelatnya.

“Kamu cuma perlu sapa dia aja, aku nggak minta lebih… Please, Biel nggak bisa dapetin ini waktu dia masih ada di dalam kandungan, just don't make his sister have to feel the same way. I beg you…”

Win menangis. Ia dilema dengan permintaannya sendiri. Hatinya terasa ditusuk benda tajam, ketika memorinya terbang menelisik kejadian beberapa tahun silam dimana ia harus menanggung kesakitannya sendiri karena little Biel tidak bisa mendapatkan haknya sebagai seorang anak secara utuh.

Rasanya… ia seperti dipaksa pulang menembus ruang dan waktu. Kembali ke masa lalu, dengan luka yang besarnya masih terasa sama.

“Okay, you don't have to do this,” kata Win sambil menyeka air matanya, “dari dulu, aku sudah menanggung semuanya sendirian. Nggak apa-apa, jangan dipikirin ya, Joss.”

“Win, bukan begitu maksud aku.”

“Nggak apa-apa,” dengan bersusah payah, Win berusaha untuk bangun dari sofa dan hendak melangkah menuju kamarnya. “Aku mau istirahat, kalau kamu nggak sibuk, tolong bantu aku untuk telfonin Bright lagi.”

“Win,”

“It's okay Joss, it's okay…”

Rasa bersalah kini memenuhi seluruh ruang dalam hati Joss. Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Win dan mengajaknya beranjak ke arah pintu utama apartemen.

“Kita jemput Iyel sama-sama, ya?”

“How? Where?”

Joss membuka pintu apartemen, dan mengambil access card dari sana. “Kamu ikut aja, kamu bisa bawa pulang adik aku nanti.”


Rumah Mami.

Tidak ada lagi tujuan lain selain rumah Mami.

Joss sebenarnya juga nggak yakin kalau Bright kabur ke sini. Tapi, nggak bisa dipungkiri kalau tempat ini adalah tujuan ternyaman untuk melarikan diri.

Kedatangan Win dan Joss disambut oleh sang pemilik rumah bersama cucu laki-laki kesayangannya, Gabriel. Biel kecil yang bersorak kegirangan melihat kedatangan kedua orang tuanya pun dengan spontan naik ke dalam gendongan sang ayah.

“You guys are in danger, I think…” Biel kecil berbisik sambil menatap Win yang tak mampu menyembunyikan mata sembabnya. “Papa, are you crying?”

“Is your Papi here, darling?” Joss memilih untuk mengambil alih keadaan. Mendengar sang Daddy bersuara, Biel langsung mengalihkan atensinya kepada Joss.

Pemuda kecil itu mengangguk, “Papi sedang duduk sendirian di taman belakang. He was crying the moment he arrived here, Daddy nakal ya sama Papi???”

Joss tertawa kecil lalu menjawil hidung mungil Biel, “Where's Oma?”

“In the kitchen!”

“Jagoan neon, do you want to play PS5 with Daddy?”

Dengan cepat Biel kecil mengangguk kegirangan. Lantas dipeluknya leher jenjang Joss penuh antusias. “Let's go Daddy!!!”

Joss mengelus gemas surai lembut sang buah hati, lalu melirik Win yang masih berdiri gelisah di sampingnya. Ia lantas menepuk bahu kanan Win sebanyak dua kali, “you go there, make it clear with him.” dan tanpa butuh waktu lama, Joss langsung beranjak meninggalkan Win bersama dengan Biel kecil dalam gendongannya.

Win masih berdiam diri di posisinya.

Harum semerbak masakan Mami tercium dari sudut kiri rumah.

Matanya dengan gusar melirik ke sisi kanan, ada connecting room di sana yang menggabungkan ruang tengah dengan akses menuju taman belakang dan area pool.

Win mengambil nafas dalam-dalam, sebelumnya pada akhirnya ia memantapkan diri untuk menghampiri sang suami yang ternyata benar kata Biel, sedang duduk di sana sambil melamun seorang diri.

Bright bahkan mungkin tidak menyadari kehadirannya yang terkesan tiba-tiba. Namun mau tidak mau, Win tetap mengambil posisi duduk di samping lelakinya itu.

“Hey,” Win mencoba untuk membuka obrolan.

Tapi nihil, tidak ada balasan dari sang terkasih.

Mood seseorang yang tengah mengandung memanglah menyebalkan. Win amat sangat membenci dirinya yang terlalu sensitif seperti ini. Hormonnya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Baru diabaikan Bright satu kali saja, rasanya ia ingin menangis meraung-raung. Ada bagian kecil di balik dadanya yang tergores.

“Bie,”

Tetap, Bright memilih untuk bungkam.

“Kamu pasti kecewa banget sama aku, dan aku paham, aku sama sekali nggak membenarkan permintaan aku yang nggak masuk akal itu. Bie, aku bener-bener minta maaf…”

Belum ada jawaban.

Win kembali berdiam di ujung jurang. Ia putus asa, berhadapan dengan kenyataan bahwa Bright amat sangat kecewa padanya ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.

Tenaganya habis.

Tidak ada lagi yang bisa Win lakukan selain menunduk dan menitikkan air mata.

Keduanya terdiam.

Bright terus membiarkan semilir angin jadi satu-satunya sumber yang hidup di tengah kehampaan yang membelenggu.

“Kamu tau nggak, Mas?”

Dan akhirnya si yang lebih muda pun buka suara.

Win dengan cepat melirik dan memilih untuk tetap mendengarkan dalam diam.

“Ternyata aku masih jauh sekali dari kata ikhlas untuk menerima fakta kalau Mas Joss adalah ayah kandung Biel,”

“Aku masih jauh sekali dari kata ikhlas, untuk menerima fakta kalau kamu adalah orang yang disakitin sama Mas Joss sebegitu parahnya sampai kamu menderita luar biasa.”

“Aku mungkin terlihat bisa menerima, aku mungkin terlihat biasa-biasa aja selama ini dalam menjalani hidup dan rumah tangga kita, tapi ternyata aku baru sadar… aku baru sadar hari ini kalau ternyata rasa sakit dan kecewa itu masih ada.”

“Masih ada sampai rasanya aku malu bertanya sama diri aku sendiri, apakah kamu benar-benar memilih aku atau enggak.”

Win bukan lagi seseorang yang gelisah dan ketakutan di sana. Seluruh kata yang terucap dari bibir Bright menjadi pertanda betapa pemuda itu juga terbelenggu dalam rasa kalutnya sendiri.

Win menatap Bright dengan sedih, “kamu masih meragukan aku, Bie?”

“Nggak, sama sekali enggak. Tapi aku juga nggak bisa membohongi diri, kalau sampai kapanpun, perasaan semacam ini akan selalu tinggal di dalam sini. Iya, aku akan selalu merasa kalah dari Mas Joss, masa lalu kamu.”

“Aku juga nggak ngerti Mas, kenapa rasanya sakit. Sakit banget. Maaf, aku memilih pergi tiba-tiba tadi. Maaf aku ninggalin kamu di apartemen begitu aja.”

“Bright, denger aku,”

“Nggak, Mas. Kamu nggak perlu meluruskan apapun, aku juga nggak harus meluruskan apapun karena perasaan kita berdua valid. Aku paham banget, mungkin kamu minta Mas Joss untuk ajak ngobrol anak kita karena dulu kamu pernah mengharapkan hal yang sama untuk Biel, tapi sayangnya itu nggak bisa terwujud. Jadi aku sama sekali nggak menyalahkan kamu, ketika permintaan yang sama ternyata masih ada bahkan ketika tahun demi tahun sudah berlalu. Nggak Mas, aku nggak nyalahin kamu sama sekali.”

“Aku cuma kecewa sama diri aku sendiri, kenapa aku berpikiran kayak begini. Kenapa aku ngerasa marah dan kecewa kayak sekarang. Seharusnya aku nggak begini, kan? It's just that Mas Joss will talk with our baby, terus salahnya dimana?”

“Iya, salahnya di aku yang masih selalu merasa minder. Aku selalu merasa kurang cukup, belum maksimal untuk merjuangin kamu. Maaf, ya, Sayang…”

Win pun tidak bisa menyalahkan Bright atas apa yang dirasakannya. Win juga tidak bisa menyalahkan keadaan yang terasa tidak tepat bagi mereka berdua.

Namun kali ini, izinkan ia untuk menyatakan cintanya satu kali lagi.

“Bright,”

“Permintaan aku memang konyol and i am so sorry for that. Tapi satu hal yang harus kamu tau, i chose you since the first time you met Biel in my room. Aku bahkan akan tetap memilih kamu sekalipun kamu nggak jatuh cinta sama aku saat itu. The way you win Biel's heart, itu berhasil bikin aku punya semangat lagi untuk tetap hidup. Jadi, makasih, ya? Makasih sudah jadi Papi yang baik buat Biel. Satu hal lagi yang harus kamu tau, Biel bangga sekali punya ayah seperti kamu. Ditambah pas dia tau kalau adiknya perempuan, dia sudah bikin rencana kalau dia akan jadi bodyguard untuk adiknya berdua sama kamu, nanti, kalau dia sudah lebih besar sedikit dan cocok pakai kaca mata hitam kayak punya kamu.”

“You are everything to him, Bie. You are everything to me.”

“I am sorry, aku bener-bener minta maaf, ya?”

Hancur sudah pertahanan seorang Bright Gabriel Maranatha. Suaminya itu memang tidak pandai berkata-kata romantis, tapi sekalinya menyatakan cinta secara tersirat, Bright dijamin akan langsung berlutut penuh damba.

“Ah, nggak bagus gombalan kamu. Kurang menyentuh, ayo coba lagi…”

“BIEEEEE!!!!”

“Hahaha, oke, Sayang! Apology accepted!” kata Bright sumringah, “Sebagai gantinya, boleh nggak kalau aku aja yang ajak ngobrol little cherry?”

Tanpa pikir panjang, Win mengangguk.

Bright kemudian mendekatkan wajahnya pada bagian perut Win yang belum terlalu besar. Ia mengusap sayang permukaan perut Win sambil berkata dengan lembut, “little cherry, dare to meet your Papi tonight?”

“BRIGHT!!! GABRIEL!!! MARANATHA!!!”

. . .

FIN! <3

another glimpse of sweet tooth!winnie series! Happy reading! :)


Satu… dua… tiga…

Satu… dua… tiga…

Satu… dua… tiga…

“Ugh, Masbie lama sekali…” Menghitung dari angka satu sampai tiga berulang-ulang kali nyatanya belum mampu menghilangkan rasa bosan yang dirasakan Winnie sejak detik pertama Bright meminta izin untuk pergi ke supermarket. Bibir kucing manis itu mengerucut lucu, tubuh tingginya tak berhenti mondar-mandir di depan pintu kaca hanya untuk melihat apakah ada tanda-tanda Masbie-nya akan datang dari sana.

Mata bulatnya yang semula antusias menunggu kembalinya sang pemilik kini berganti menjadi sorot kesal. Tanpa pikir panjang, Winnie beranjak menuju sofa di ruang tengah dan duduk di sana sambil menggerutu kecil.

“Memangnya, apa susahnya mengajak Winnie ikut pergi ke supermarket? Winnie 'kan sudah janji tidak akan minta membeli permen karet banyak-banyak. Masbie lama sekaliii… Winnie bosan!!!”

“Ngapain kamu dek di situ? Mau makan pizza nggak? June mau pesen pizza, nih…” June tiba-tiba muncul dari tangga.

Winnie menatap June dengan tatapan sayu, “Winnie tidak mau pizza, Winnie mau Masbie…” katanya, dengan jurus andalan yang akhir-akhir ini selalu ia pakai untuk mengambil hati lawan bicara; alias 5L. Lemah, letih, lesu, lunglai, lllleeeuuuubay.

June mengerlingkan mata seraya mendudukkan tubuhnya di samping Winnie.

“Emangnya Mas nggak bilang mau perginya berapa lama?” tanya June, yang langsung dibalas dengan gelengan pelan kepala Winnie. “kamu kenapa nggak ikut Mas, dek?”

“Kata Masbie tidak boleh… tidak… tidak… tidak… mengajak Winnie hanya akan membuat keranjang belanja jadi penuh, JUNEEEEE padahal Winnie sudah pinky promise Winnie tidak akan ambil permen karet banyak-banyak…”

Hahaha, June terlalu gemas dengan jawaban dan ekspresi yang melekat di wajah Winnie. Lantaran tak tega, akhirnya June pun menghubungi Bright dan mengarahkan ponselnya pada si kucing manis.

“Winnie?”

Winnie yang semula menatap acuh pintu kaca di sisi kiri ruangan dengan sekejap langsung mengarahkan wajahnya menuju layar ponsel June di depannya. Ada Bright di sana. Ada Masbie-nya yang tengah melirik kanan dan kiri secara bergantian. Winnie tak bisa lagi menyembunyikan senyumnya.

“Sedang cari apa, Masbie?”

Bright tersenyum di seberang sana, ia tampak berhenti sebentar sebelum akhirnya mengambil sekotak sereal dan menunjukkannya kepada Winnie.

“Your cereal. Winnie's favorite cereal.”

Winnie tersenyum lebih lebar lagi, “thank you so much Masbie…”

“Uhm, Masbie?” Tanpa meminta izin, Winnie secara spontan mengambil ponsel June dan mulai sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Mengabaikan June yang hanya bisa geleng-geleng kepala, tersenyum kecil, lalu menghidupkan televisi di hadapannya.

“Iya, sayang? Ada apa?”

“Uhm,,,” Winnie memberikan jeda pada ucapannya, “bubble gum, ya, ya, ya?”

Bright menatap Winnie dengan satu alisnya terangkat naik ke atas, “remember the reason why Mas didn't let you to come here?”

Pupus sudah harapannya. Bright benar-benar tidak mengizinkannya untuk memakan permen karet lebih banyak dan lebih sering lagi.

“Satu bungkus saja, ya? Winnie ingin yang rasa strawberry, boleh Masbie?” Mencoba sekali lagi tidak ada salahnya, kan?

Namun Bright tetap menggeleng di seberang sana.

Winnie mengerucutkan bibirnya lagi. Kali ini, ia tidak menatap Bright, dan memilih untuk meletakkan ponsel June di pahanya. Membiarkan sang owner berhadapan langsung dengan langit-langit ruang tengah.

June yang sadar bahwa Winnie tidak bersuara lagi pun menoleh. Gadis itu melirik ponselnya, dan mendapati sang kakak celingak-celinguk memanggil Winnie yang sedang merajuk.

“Mas,”

Bright menganggukkan kepalanya satu kali, menyahuti panggilan sang adik sambil terlihat terus mendorong troley belanjaan.

“Satu bungkus aja emang nggak boleh, Mas? Kasian, nggak tega gue, matanya berkaca-kaca gitu.”

Well, Bright tetap pada pendiriannya. Pria itu menggeleng dengan penuh percaya diri.

“Terakhir kali dia makan permen, dia ngeluh giginya sakit, Jun. Kalau udah sakit gigi, udah deh… rewelnya gue nggak sanggup buat handle. Pusing gue.”

“Ya tapi kan lo tau, anaknya emang sweet tooth juga. Sekarang lagi high kali tuh kepengen yang manis-manis.” June, masih terus mencoba. Namun apa daya, Bright tetap menggeleng mutlak.

“Dokternya juga ngelarang dia untuk makan yang manis-manis sebulan ini. Kalau sakit giginya kumat, dia butuh supresan. Adek lo itu paling susah disuruh nelen supresan. Daripada bablas sakit, kita mending mencegah daripada mengobati lah, Jun.” Bright terlihat sedang memasuki area minuman.

“Lo mau nitip apa tadi? Gue di area minuman, nih.”

“Coba liat, ada apa aja di situ?”

Bright mengubah mode kameranya menjadi kamera belakang, dan mengarahkan ponselnya ke arah deretan minuman yang didominasi oleh rasa manis.

“Yang kalengan tuh, Mas, yang sarsaparilla minumannya AW mau dong!”

Bright mengambil minuman kaleng yang dimaksud oleh June, “satu aja?”

“Lima deh buat stock, sama cola juga tiga botol ya, Mas…”

Bright mengembalikan mode kameranya menjadi kamera depan, lalu mengangguk mengiyakan permintaan sang adik.

“Coba tanyain, adeknya mau minuman apa?”

June melirik Winnie yang masih termenung diam. Dengan gemas, ia mengelus pelan surai kecokelatan Winnie, “Winnie mau jajan minum apa, sayang?”

Winnie tidak menjawab.

“Winnie,”

Tetap tidak ada jawaban.

“Ngambek anaknya tuh. Elu sih, Mas.”

Bright hanya menggeleng kecil tanpa jawaban.

“Ya udah, gue nitip itu aja, Mas. Lo jangan lama-lama pulangnya, oke?”

“Oke, gue tutup ya, Jun.”

“Yo, Mas…”

Dan sambungan telepon video itu pun berakhir. June meraih kembali ponselnya, melekatkannya di meja. Satu kali lagi, ia melirik Winnie yang masih menatap diam pintu kaca di samping kirinya.

“Dek, kesal sekali ya sama Mas?” June mencoba lagi untuk mengajak Winnie bicara, namun kucing manis itu sepertinya belum mood untuk mengimbangi.

Kalau sudah bad mood begini, susah deh ngebujuknya… June mengelus sayang surai coklat Winnie satu kali lagi, siapa tau kali ini Winnie mau memberikan respon.

“Dekkk…”

Sepertinya benar, Winnie sedang high. Terbukti dari bagaimana kucing manis itu tiba-tiba menangis dan langsung berdiri meninggalkan June sendirian di ruang tengah. Telinga Winnie yang biasanya terangkat naik sambil sesekali bergerak naik turun kini tampak layu terlipat ke bawah. Ekornya pun tidak bergoyang seperti hari-hari kemarin. Winnie menaiki anak tangga dengan perasaan kesal, kakinya menghentak-hentak sembari sesekali ia menarik telinganya sendiri.

“Winnie is a lion now, he's no longer kitty. Good luck, Mas!” diam-diam, June turut sedih karena setelah ini Mas Bright akan berurusan dengan Winnie, dan mood jeleknya.


“Is my baby mad right now?” Winnie yang sedang tertidur pulas, menggeliat gelisah ketika lehernya menerima stimulus terlalu banyak dalam waktu yang begitu singkat. Ia mengantuk. Menunggu Bright belanja bulanan sendirian ditambah dibuat kesal karena tidak boleh memakan permen karet, membuat Winnie kehabisan banyak energi. Matanya berattttt sekali. Susah payah ia membuka pejaman matanya, dan ternyata Masbie-nya sudah pulang. Dan sedang asik mencumbu gemas seluruh permukaan leher jenjangnya.

“Masbie sudah pulang?” Meski sedang merajuk, ternyata rasa rindunya pada sang owner jauh lebih besar.

Bright mengangkat kepalanya, menatap Winnie yang kini berbaring cantik di bawah kungkungannya.

“Sudah, sayang,” jari jemari Bright kini bergerak menyusuri setiap inci wajah manis Winnie, kemudian beralih mengelus lembut cuping telinga lancip yang kini terangkat naik sepenuhnya. “Winnie masih kesal dengan Mas?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Bibirnya mengerucut lagi. Matanya berkaca-kaca, teringat akan kekesalan yang sempat hilang ketika ia memilih tidur siang.

Winnie hendak memalingkan wajah, namun Bright lebih cepat untuk menahannya dengan sebuah kecupan lembut di bibir manis kucing ragdoll itu.

“I have got you something, Winnie,” bisiknya lembut. Sepasang mata bulat Winnie berbinar dalam waktu sepersekian detik.

“Is that bubble gum?”

Bright menggeleng, “No,” lalu tersenyum kecil sebelum pada akhirnya ia beranjak turun dari ranjang dan melangkah menuju meja kerja yang ada di sudut kamar. Bright mengambil sekantong plastik berwarna putih, dan membawanya kepada Winnie.

“Winnie boleh mencoba rasa manis yang lain, tapi tidak dengan permen karet untuk jangka waktu satu bulan ini, oke?”

“Setelah satu bulan, Winnie boleh makan permen karet lagi?”

Bright tampak berpikir sebentar, “kita harus kontrol ke dokter dulu, baru Mas bisa kasih jawaban apakah Winnie boleh makan permen karet lagi atau tidak. Bagaimana, hm?”

“Huh, Winnie tidak suka pergi ke dokter.”

“I know,” ucap Bright, sambil mengulurkan tangannya dan membantu Winnie untuk duduk di tepi ranjang. “Tapi Winnie harus terus memperhatikan kesehatan Winnie dan tetap pergi ke dokter, oke?”

MENYEBALKAAAAAN!!

“Oke.” Tapi Winnie tetap menurut.

Winnie mengalihkan pandangannya menuju plastik putih di tangan kanan Bright, “apa itu Masbie?”

Bright memberikan plastik itu kepada si kucing manis, “take it,” katanya.

Perlahan-lahan Winnie mengintip isi dari plastik putih tersebut. Ada beberapa minuman botol dan kaleng di dalam sana. Winnie mengambil salah satunya dan bertanya, “ini susu atau bukan ya, Masbie?”

Kepala Bright menggeleng pelan, “bukan, sayang, ini milk tea. Rasanya manis, Winnie will definitely like it.”

Sepasang mata bulat Winnie semakin berbinar. “Boleh Winnie coba?” tanya nya.

Bright mengangguk, “You want it, you get it.” lantas dengan cepat Winnie membuka tutup botol minuman teh susu di tangannya, dan meminumnya dengan penuh semangat.

Terlalu bersemangat, hingga menyisakan sedikit cairan di sudut bibirnya.

Winnie beralih mengambil satu minuman kaleng dari dalam plastik, “kalau yang ini?”

“It's a coffee,” Bright tak kuasa untuk tidak menyentuh sisi wajah Winnie dan mengusapnya lembut, “You want it, you get it, Winnie.”

“Okaaaaay!!!”

Dan Winnie pun menenggaknya sampai habis.

Botol kedua,

Kaleng kedua.

Botol ketiga,

Kaleng ketiga.

Gerakan tangan Winnie berhenti ada kaleng keempat. Warnanya… bukan coklat bukan juga merah marun. Winnie menatap dalam kaleng itu lalu melirik Bright setelahnya, “kalau yang ini apa yah, Masbie?”

“Minuman bersoda, it is delicious, tapi Mas rasa, kamu sudah cukup minum sebanyak ini, oke?” Bright mengambil kaleng tersebut dari genggaman Winnie, “Mas simpan di kulkas, Winnie baru boleh meminum ini tiga hari kemudian, oke?”

Winnie belum kenyang, tapi setidaknya kebutuhannya untuk mengonsumsi sesuatu yang manis sudah cukup terpenuhi. Akhirnya Winnie mengangguk pasrah dan membiarkan Masbie-nya merapikan semua sisa minuman yang masih ada dan membuang semua botol dan kaleng yang sudah kosong dan tergeletak di lantai kamar.

Winnie mengusap-usap perutnya sambil bersenandung ria. Cuping telinganya bergerak antusias, ribuan kupu-kupu seolah terbang di balik perutnya.

“I like sweets,” kata Winnie sambil tersenyum lebar.

Bright yang sedang membereskan segala kekacauan di kamar pun hanya bisa ikut tersenyum melihat Winnie yang tidak merajuk lagi.

“But I like Masbie more…”

Bright terdiam.

Winnie baru saja memujinya.

Tidak, Winnie selalu memujinya.

Tapi mengapa kali ini rasanya begitu teduh dan menyenangkan?

“I like Masbie the most!” kata Winnie, lagi.

Bright tetap dalam diamnya.

Membiarkan degup jantungnya bekerja begitu cepat.

“I love you, Masbie! Thank you… Winnie is full now…”

Tunggu,

“Ini gue nggak jatuh cinta beneran kan?! Fuck.”

. . .

THE END!


ă…ˇsatu


Terdengar bunyi dentingan sendok yang bertabrakan dengan sisi gelas dalam tempo yang cukup berantakan. Akssa membuka pintu pantry lebih dalam lagi, alis tebalnya bertaut naik satu ke atas, berusaha memastikan darimana suara itu berasal. Lantas ketika sosok Alcantara berdiri di dekat coffee machine, membiarkan mesin kopi otomatis di sana tetap berfungsi (diselingi dengan bunyi yang khas) sedangkan tubuhnya yang tinggi tegap berada pada posisi membelakangi pintu masuk, Akssa menghela pelan nafasnya.

Pintu pantry tertutup nyaris tanpa suara. Situasi canggung tiba-tiba saja menyeruak penuh dominasi, membuat Akssa mau nggak mau menyudahi langkahnya yang masih jauh dari tempat Tara berdiri.

“Saya nggak tau takaran gula untuk teh manis ideal kamu butuh berapa sendok,” sang CEO perusahaan tiba-tiba buka suara, tangannya masih sibuk mengaduk gula di dalam sebuah cangkir putih berisi larutan teh manis hangat 'perdana' buatannya, “jadi saya samakan dengan takaran gula yang biasa Bella gunakan untuk saya.”

Kalau Akssa boleh jujur, rasanya malas sekali harus terjebak dalam situasi canggung di hari yang masih bisa dibilang terlampau pagi dengan sang atasan. Dan sepertinya, sebentar lagi pantry akan kehilangan gelar sebagai satu-satunya comfort zone bagi Akssa (selain toilet) selama di kantor karena si bos memilih tempat tersebut untuk bertemuă…ˇ dalam kondisi keduanya yang masih jauh dari kata baik.

Well, kalau boleh menambahkan, Akssa juga sedang dalam mood yang cukup jelek dan berantakan untuk menanggapi celotehan Tara. Tapi, daripada harus memercik api di pagi hari, Akssa pun dengan amat sangat terpaksa turut membuka bilah bibirnya, “dua sendok kecil cukup, Pak.” balasnya.

Sang CEO mengangguk pelan, “berarti sama seperti takaran gula untuk teh manis sehari-hari saya.” sahutnya, lalu berbalik menghadap ke posisi Akssa berdiri. Tara menggerakkan dagu lancipnya ke arah meja, “duduk, Ssa. Kata Mix, kamu biasanya nyari teh manis setiap habis nangis.”

“Mix?”

Bentar, bentar, Mix… as in, Mix sahabat gue??? Segala rasa malas dan nggak nyaman yang semula memenuhi hati Akssa mendadak hilang tak bersisa, berganti dengan ribuan tanda tanya besar karena sang atasan yang tiba-tiba menyebut nama Mix dengan begitu santai. Satu alis Akssa bertaut naik, sibuk menerka-nerka garis korelasi yang bisa menyatukan titik koordinat seorang Mixㅡ sahabatnya, dan Alcantaraㅡ atasannya, “Mix ngadu ke Bapak kalau saya habis nangis?”

Duh, bentar deh, bentar… kayaknya gue pagi ini belum ketemu sama Mix? Gue sama dia kan masih musuhan gara-gara topik pembicaraan sensitif kemarin??? Bukannya menjawab rasa penasaran Akssa, Tara justru menggantungkan pertanyaan itu dengan mengulas senyum tipis seraya membawa tubuhnya untuk duduk di salah satu bangku yang ada di sana.

“No, Mix nggak ngadu ke saya. Saya yang ngasih tau dia kalau kamu habis nangis. Terus, dia bilang, you usually look for some sweets especially hot tea after crying. So, hm, here we go, semoga rasanya nggak aneh-aneh banget ya, Ssa. This is my first try ever hahaha.”

“Bapak tau darimana saya habis nangis?” No, nggak bisa. Akssa nggak bisa tenang kalau pertanyaannya ini belum kunjung mendapat jawaban.

Sepasang obsidian hitam yang bertahun-tahun lamanya mengemban wibawa tegas, tidak terpatahkan, dewasa, kini menatapnya dengan lembut. Terlalu lembut rasanya hingga membuat seorang Akssa mengatupkan mulutnya begitu rapat. Terkunci. Ada beberapa garis halus di sepanjang dahi lebar lelaki itu, entah karena lelah atau justru memang sedang dihantui banyak tanda tanya.

Ada kesedihan di sepasang netra hitamnya, pun juga tersirat letih di setiap tarikan nafasnya.

Penampilan sang bos yang cukup memprihatinkan tak jua luput dari pandangan Akssa. Meski sudah berganti kemeja, tapi tataan dasi yang berantakan dan mengendur, serta kantung hitam di bawah mata sukses mendeskripsikan bagaimana kondisi lelaki itu dua hari ke belakang. Wajah tegasnya tak lagi mengemban wibawa, hanya ada asa berwujud abu-abu yang tertinggal di rautnya.

Akssa seketika lupa dengan rasa marahnya.

“Are you doing well these days?”

Tara yang semula menatap lurus Akssa kini gelagapan. Sorot matanya berusaha kabur, lari ke kanan juga ke kiri. Menghindari sorot mata sang sekretaris yang seolah-olah sedang menghakimi.

Langkah kaki yang sempat berhenti di seberang pintu lantas berpindah, pijakan demi pijakan dilalui. Akssa meneruskan perjalanannya menuju posisi dimana Tara sekarang duduk seorang diri.

Perkataan Mix pagi tadi mendadak berkeliaran dalam benaknya. Membentuk segumpal benang kusut tanpa ujung yang pasti. “Tapi satu yang harus lo tau, Ssa. Di sini bukan cuma lo yang mau mengusahakan yang terbaik buat Nevan. Pak Tara does, Bu Bella too.” Akssa terus menatap Tara yang tampak enggan membalas tatap matanya.

Pak Tara does,

Bu Bella too.

Jadi, kenapa Nevan terang-terangan lebih memilih dirinya dibanding sang Ayah atau sang Ibu, jika memang kedua orang itu juga sedang berusaha?

Kenapa Mix ikut-ikutan menyuruhnya jaga jarak dengan Nevan, di saat Mix sendiri tahu kalau Nevan obviously selalu mencarinya, membutuhkannya?

Kenapa Mix seolah-olah berusaha memberi sinyal kalau Akssa sudah masuk dan terjebak terlalu dalam di situasi rumit ini?

Ditambah lagi, Nevan terlihat jauh… jauh sekali dari sosok sang Ibu, dan Mix masih bisa bilang kalau lebih baik Akssa memberi ruang dan waktu bagi anak itu untuk bisa bersama kembali dengan Bellaㅡ Ibu kandungnya?

Just by observing what had happened back then, Akssa sudah bisa mengira-ngira that staying silent was definitely not a good option.

Membiarkan Nevan sendirian, atau merasa sedih dan takut dalam diam, itu kah yang harus Akssa lakukan?

Tapi…

Melihat Tara yang kusut dan tampak lelah, Akssa seketika sadar… Mereka mungkin sedang mengusahakan dua kutub yang berbeda.

Lelaki manis itu mengambil posisi duduk di seberang sang atasan. Merasa ucapannya barusan dianggap angin lewat, Akssa mengulang kembali pertanyaannya, “how was your day?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Jakunnya bergerak naik dan turun, matanya masih sibuk menatap ke kanan ke kiri, kemanapun, asal bukan ke arah Akssa. Jari-jari tangannya yang panjang memainkan sisi cangkir berisi teh manis hangat buatannya.

Sepersekian detik kemudian, sebuah seringai terbit di sudut bibirnya yang sintal dan berwarna merah muda.

He doesn't smoke, Akssa tahu itu.

“Where's the formality? That's so rare of you.”

Akssa lantas berdecih, “Bapak sendiri 'kan yang minta saya sewaktu-waktu drop the formality? Karna sekarang belum jam kerja, dan kita sedang santai-santai di pantry, boleh 'kan saya sok akrab sama Bapak?” Oh… Sudah nggak marah ya, Ssa?!

Ujung bibir Tara terangkat naik. Kali ini bukan lagi sebuah seringai, tapi seulas senyum tipis yang disusul kekehan renyah.

“Are we cool now?” dua pasang mata itu akhirnya bersirobok, “kamu sudah nggak marah lagi?”

“Bekas air mata saya aja belum kering, Pak!” Inginnya sih berteriak, tapi apa daya Akssa hanya mampu melampiaskannya di lubuk hati. Setelah dirasa es batu di antara keduanya mulai cair, Akssa kembali berujar, “saya nggak marah, saya cuma lagi emotionally unstable aja, Pak.”

“Jadi, gimana?” sambungnya, masih bertanya-tanya.

Wajah Tara yang biasa memuat ekspresi tegas terlihat jauh lebih santai. Sudut mata kanannya mengecil, alisnya naik bertaut, “gimana apanya?”

“How was your day?” Akssa mengulang lagi pertanyaannya, “how was your day… setelah pertengkaran kecil kita kemarin?”

Sebuah pertengkaran kecil yang cukup intim, untuk kali pertama terjadi di antara keduanya. Biasanya, Akssa akan menerima omelan Tara di telinga kanan, lalu dibiarkan keluar lewat telinga kiri. Sikap sang atasan yang terkadang kelewat ketus dan tegas pun jarang-jarang Akssa ambil hati. Tapi kemarin… Akssa bahkan tidak mengerti kenapa bisa ia jadi sangat sensitif bahkan sampai menangis?

Seperti biasa, Tara tidak langsung menjawab. Lelaki itu memandang semu ke arah meja, membiarkan detik demi detik berlalu sementara Akssa dengan penasaran masih menunggu.

“Harusnya saya yang tanya ke kamu,” tiba-tiba Tara membawa seluruh atensinya pada Akssa, “How was your day, Ssa? Did my words hurt you that much?”

Suasana di dalam pantry kian bertambah gloomy. Hati Akssa bergemuruh hebat ketika Tara membuang jauh-jauh wibawanya sebagai seorang direktur, lalu berujar dengan intonasi yang begitu lembut.

“Saya baik-baik aja, Pak,” sahutnya.

“Don't lie to me, Ssa.”

Buntu sudah jalan lelaki manis itu. Ingin mengelak, tapi rasanya sudah tidak ada kesempatan. Tara perlahan-lahan mengunci sorot mata Akssa pada satu titik mutlak. Berkelit pun rasanya tidak mungkin lagi bisa dilakukan.

“Kamu sudah janji untuk buka hati sedikit demi sedikit,” Tara terus menatapnya lurus-lurus, “bisa kamu buktikan kalau kamu benar-benar sudah membuka hati untuk saya?”

Hening.

Akssa sudah menduga kalau pertanyaan semacam itu akan terucap kapan saja, lalu berubah haluan jadi bom waktu yang bisa meledak secara tiba-tiba. Akssa bahkan sudah berusaha keras untuk melupakan apa yang terjadi hari itu, di suatu malam satu minggu yang lalu, dimana Tara terang-terangan meminta izin untuk mendekatinya.

Bukan lagi antara seorang atasan dengan bawahan, tetapi sebagai Tara yang sepertinya kembali dibuat jatuh cinta pada seorang anak manusia bernama Akssa.

Dan sejak itu juga, Tara memintanya untuk meninggalkan segala tetek-bengek formalitas ketika keduanya sedang sama-sama tidak dirusuhi oleh urusan pekerjaan. Akssa menjalankan permintaan Tara pagi ini (setelah seminggu berlalu), menanyakan kabar pada sang atasan layaknya seorang teman kecil yang sudah lama tidak jumpa. Lalu ketika Tara ikut-ikutan menagih janjinya, Akssa justru dibuat skakmat.

Sadar kalau Akssa tampaknya belum siap untuk memberikan jawaban, Tara kembali meneruskan kata-katanya, “saya sadar kalau selama ini kamu tidak benar-benar buka hati untuk saya. Bukannya semakin dekat, kita malah semakin jauh ya, Akssa?”

Direktur muda itu menggeser cangkir berisi teh manis hangat buatannya ke sisi sang sekretaris, “that's why i am questioning myself,”

“Am i really fell in love with you, or i just need a friend, a literally close friend to lean on and complain about how complicated my life is.”

Tangan kanan Tara mengepal di atas meja, “and I foolishly believed in your chuckles that night. The moment you gave me a single yes, the moment that I decided to fight for you. For us. For a broken heart I had endured all these years. For Nevan, for Nessha.”

“And when i realized that it didn't work at all, saya merasa marah sama kamu. I am sorry for being childish but, kepala saya penuh, Ssa. Kepala saya dipenuhi penolakan-penolakan yang kamu kasih ke saya, ditambah Nevan justru semakin dekat dengan kamu.”

Akssa menghela pelan nafasnya, wajah tertunduk di hadapannya benar-benar sanggup membuat lelaki manis itu geleng-geleng kepala. “That's it? Jadi itu alasan Bapak terlihat dingin belakangan ini? Jadi itu alasan dari banyak sekali sikap Bapak yang berubah setiap hari? You can be nice at once, and it doesn't last long until you are back to being annoying. That's it, Pak Tara? Jadi itu alasan Bapak meminimalisir interaksi dengan saya selain karna urusan pekerjaan?” Ketika berada di luar akal sehatnya, Akssa bisa marah-marah dalam satu kali tarikan nafas. Pawat sudah pernah jadi korban, Mas PP pun sama. Akssa is definitely your best yet annoying buddy. Ngomel-ngomel adalah soft skill yang selalu bisa ia andalkan.

Tapi kali ini, dibanding menganggap kalau Akssa sedang marah-marah, ia justru terlihat… kecewa?

Ucapan panjang lebar Tara pagi ini berhasil membuat Akssa dengan cepat menyusun serpihan memori akan dirinya bersama sang atasan seminggu ke belakang. Memang benar, satu minggu yang lalu, Tara bertekad untuk mendekati dirinya lebih dari seorang rekan kerja biasa. Keduanya bisa dibilang akrab dengan tanda kutip, that's why Pawat selalu jadi juara satu heboh dalam urusan menggoda Bapake dan juga Mamaseă…ˇ panggilan June untuk Akssa ketika ada momen sekecil apapun itu.

Ditambah, mereka juga sama-sama sepakat untuk tidak terlalu 'ketara' di depan publik. Rumor perceraian Tara dengan salah satu mantan sekretarisnya alias Bella bahkan belum mereda di kantor. Masih panas. Masih jadi perbincangan eksis yang setiap pagi terdengar di lift atau toilet.

“Fine, jadi gimana saya bisa buka hati kalau dalam rentang waktu seminggu aja, Bapak sudah menyerah?”

Bukannya berangsur-angsur membaik, kedua lelaki ini justru kian kalut. Terutama Akssa, setelah beberapa menit menjaga intonasi suaranya, lelaki manis itu akhirnya meninggikan suaranya.

“Saya ini pernah gagal dalam urusan percintaan. Saya terlalu takut untuk memulai, dan saya mengerti kenapa lebih baik kamu menjauh daripada harus repot-repot memikirkan perasaan saya,” Tara mengerjap beberapa kali, “It's just that I am confused...”

“How to tell Nevan that I've really failed?”

“How to stop you from being that close to my son?” Tara turut menghela pelan nafasnya, “kalian sudah terlanjur dekat, saya harus apa, Ssa?”

Oke, Akssa akui kalau selama satu minggu ini ia memang berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terjebak dalam situasi romantis yang bisa saja terjadi antara dirinya dan juga Tara. Nevan yang sedang banyak masalah dan butuh perhatian lebih, Nessha yang sedang judes-judesnya, pun juga urusan kantor yang kebetulan datang keroyokan, membuat Tara enggan dibuat pusing dengan urusan hati yang bahkan ia sendiri belum yakin untuk memulainya dengan siapapun. Termasuk dengan Tara, sosok yang sudah bertahun-tahun ini menjadi atasannya di perusahaan.

Kalau kepala Tara dipenuhi dengan 'penolakan-penolakan' yang sejatinya tidak pernah ada, maka kepala Akssa dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini hanya bersarang dalam benaknya.

And the question isă…ˇ

“Bapak sudah benar-benar bercerai secara sah dari Bu Bella?”

Itu dia.

Itu dia yang selama ini jadi beban pikiran bagi seorang Metawin Akssa Othniel. Itu dia yang selalu jadi penghalang ketika hasrat untuk berada lebih dekat dengan sang bos datang tanpa permisi. Menggebu-gebu ingin dipenuhi.

“Saya nggak mau kalau ternyata selama ini saya jadi perusak rumah tangga orang, atau jadi alasan kenapa Pak Tara dan Bu Bella bercerai. Saya nggak mau kalau sampai semua tuduhan yang Nessha tunjukkan ke saya itu benar. Saya nggak mauㅡ”

“Kami sudah resmi bercerai, Akssa.” Tara terpaksa memotong perkataan Akssa. Ucapannya begitu lantang terdengar, “dan kamu bukan penyebab dari hancurnya rumah tangga kami. Do not ever think about it. Satu kali pun, jangan pernah kamu berpikir seperti itu.”

Oke, Akssa sama sekali tidak menemukan adanya kejanggalan dalam ucapan sang atasan. Sorot mata Tara yang kelewat tegas membuat Akssa harus bersusah payah menelan saliva, rasanya seperti tersangkut di ujung tenggorokan. Hatinya belum tenang, masih jauh sekali dari kata tenang.

“Saya punya satu pertanyaan lagi,”

Tara menghela pelan nafasnya, lalu membalas, “ya?”

“Apa selama ini Bapak sengaja mendekatkan saya dengan anak-anak? Mulai dari Bapak yang sering mengajak saya menjemput anak-anak di sekolah lalu kita berempat pergi makan siang bersama… Atau saya yang sering diminta untuk menjemput anak-anak padahal Bapak sedang tidak begitu sibuk di kantor… Kontak pribadi saya yang dimasukkan ke grup orang tua dan wali murid anak-anak. Selama ini saya sudah coba untuk berpikir positif, saya selalu berpikir kalau Bapak memang membutuhkan bantuan saya untuk mengawasi anak-anak ketika Bapak sedang sibuk, tapiㅡ”

Tanpa sadar telapak tangan Akssa ikut mengepal di atas meja, “sepertinya saya sadar kalau Pak Tara ada maksud dan tujuan lain. Benar dugaan saya, Pak?”

Lagi pula, siapa yang nggak akan linglung mendadak kalau dalam sekejap mata dijadikan poros dunia? Akssa yang semula datang ke perusahaan untuk memperbaiki hidup yang sebenarnya sudah cukup berantakan, justru harus berjuang menjadi seorang sekretaris dari sosok yang amat disegani di sana, harus 'tinggal' satu ruangan selama 7 jam lebih dengan sang atasan (belum lagi harus siap sedia diseret menghadiri meeting di luar kantor), harus ikut campur dengan segelintir urusan rumah tangga si bos, pun juga harus repot-repot memikirkan permasalahan yang menimpa anak dari atasannya itu. Maka ketika bosnya itu terang-terangan mendekatinya, Akssa... ngeblank total.

“Awalnya, iya,” Peristiwa dimana Tara pertama kali merasakan sensasi aneh yang menggelitik di balik dada kembali berlalu-lalang dalam benaknya. Katakan ia gila, lelaki berusia di tengah kepala 3 itu nyatanya pernah menjelma sebagai seorang anak SMP yang sedang kasmaran pada teman sekelasnya secara diam-diam, beberapa tahun silam. Tara sudah pernah berusaha menampik perasaannya, ada tiga hati yang harus ia jaga ketentramannya kala itu. Tetapi ketika telinganya mencakup suara Akssa yang bagai sebuah simfoni di pertunjukan musik orkestra, Tara kehilangan kontrol diri.

“Saya memang berniat untuk mendekatkan kamu dengan anak-anak saya.” Hati yang berbunga-bunga sukses mengambil alih seluruh akal sehat Tara untuk mengedepankan perasaannya itu, memperjuangkan apa yang memang ingin ia dapatkan, sehingga langkah kecil pertama yang lelaki itu ambil adalah memperkenalkan sang sekretaris pribadi kepada kedua anak kembarnya.

“Saya akui saya naif, saya yang sudah yakin jatuh cinta sama kamu dengan gegabah langsung berusaha untuk mendekatkan kamu pada Nevan dan Nessha.”

Fuck. Satu kalipun tidak pernah terlintas di benak Akssa kalau bos-nya ini... segila itu. Sedangkal itu. Sebodoh itu. Kepalan tangan yang semula hanya alih-alih untuk menghilangkan grogi, kini berubah jadi sesuatu yang memancing degup jantungnya berlalu-talu ribut.

“Maaf, Pak, tapiㅡ”

“I know, i know, Ssa. You have the right to curse at me. At this point, i am the one who is in fault. I shouldn't do it since the first, maaf,” Alcantara, dengan baritonnya yang menghantam keheningan memberanikan diri untuk menatap Akssa tepat di mata, “sekalipun saya bilang saya punya alasan, tetap saja perbuatan saya ini sangat salah. I really am sorry… i never intended to get you dragged into this mess, it's just me who felt in love with you at that moment and i realized I had taken the wrong way, Ssa.”

Alih-alih mengasihani Tara yang semakin putus asa dengan hati juga kata-katanya, sepasang obsidian hazel milik Akssa justru diselimuti kabut amarah. “It's funny, right?”

Satu mata seorang Alcantara membulat ketika Akssa melayangkan sebuah pertanyaan untuknya, “Ssaㅡ”

“Seru ya Pak, membuat saya sekarang merasa kalau saya ini seorang penghancur keluarga orang?” Tidak ada perasaan lain yang mampu ditafsir oleh akal sehat lelaki manis itu selain rasa marah. Pengakuan Tara beberapa menit lalu sukses memantik api dalam hatinya. “Bapak sudah mendekatkan saya dengan Nevan dan Nessha sejak dua tahun yang lalu, sedangkan saat itu Bapak masih berstatus suami sah Bu Bella,”

“Bodoh banget ya saya, baru bisa nyusun kepingan puzzle permainan konyol Bapak sekarang?”

Let's be honest here. Siapa juga yang bisa tetap santai dan tebar senyuman di saat gulungan benang kusut dalam benak berhasil ditemukan bagian ujungnya? Siapa juga yang bisa menahan amarah ketika dihadapkan pada situasi menjebak dan menyebalkan seperti ini?

Akssa benar-benar merasa dibohongi. Dibodohi. Dipermainkan.

Ada kepanikan di sepasang obsidian hitam seorang Alcantara Bright Sagibson. Lelaki itu berusaha meluluhkan tatapan mata Akssa yang semakin detik berlalu, semakin terasa dingin.

“Ssa,” Tara mengangkat tangan kanannya, berniat meraih tangan kiri Akssa sebelum sekretarisnya itu menciptakan jarak yang kian jelas membatasi mereka berdua, “It's not like that.”

“Saya harus bilang apa sama Bu Bella, Pak?” Bukan hanya kecewa, tapi juga tersirat keputusasaan pada suara yang keluar dari ranum merah mudanya, “She has been nice to me since the first time I came here, Demi Tuhan.” Membayangkan wajah cantik Bella yang selama ini selalu tersenyum dan bersikap ramah kepada siapapun saja… Akssa rasanya malu. Bisa-bisanya ia sempat berpikir untuk membalas perasaan bos-nya itu? Satu kata, gila.

Satu kali lagi Tara berusaha menggapai tangan Akssa, namun kembali harus menelan kesia-siaan.

“Jangan pernah berpikir kalau kamu alasan saya bercerai dengan Bella, Ssa.” Bariton berat itu sedikit goyah dengan rasa cemas yang kian memuncak, “no, no, no, you are not... okay?”

“Setelah secara nggak langsung Bapak mengakui dugaan-dugaan saya, apa saya masih bisa percaya pada Bapak?”

Tara memalingkan pandangannya, “kali ini tolong percaya sama saya,” lalu kepalanya menunduk menatap permukaan meja, “saya akui, saya bersalah sudah mengambil jalan pintas sejak dua tahun lalu, tapi saya benar-benar tidak punya pilihan, Ssa,”

“Saya ini hanya seonggok daging manusia yang sedang jatuh cinta,” Tara, satu kali lagi berusaha mengembalikan Akssa sebagai fokus atensinya, “yang ada di pikiran saya saat itu adalah bagaimana caranya anak-anak saya bisa tau kalau papanya ini sedang berbunga-bunga.”

“Saya juga nggak bisa make sure kenapa saya bertingkah seperti itu, kenapa saya malah gegabah dengan mengedepankan perasaan saya yang besar ini untuk kamu tapi di waktu yang sama saya justru melukai banyak pihak.” Tara menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya, “termasuk kamu. I never meant to hurt you this way, Ssa.”

“Perasaan saya lagi, perasaan saya terus, tapi apa pernah sekali aja Bapak pikirin perasaan Bu Bella?” Demi Tuhan, Akssa merasa dirinya berdosa sekali kepada wanita itu, “saya selalu diperlakukan baik oleh beliau. Di hari-hari pertama saya kerja di sini, Bu Bella dengan senang hati membantu dan mengajari saya, termasuk untuk bisa terbiasa dengan sikap dan mood Bapak yang berubah-ubah, Bu Bella adalah orang pertama yang mengajak saya ke pantry ini,” Akssa melirik secangkir teh panas yang mungkin sudah dingin karena terabaikan oleh tensi yang kian memanas, “segelas kopi hitam panas, itu minuman yang menyambut kedatangan saya di perusahaan ini.”

“Dengan sebegitu baiknya Bu Bella ke saya, apa Bapak nggak malu sama perasaan Bapak sendiri? Mengorbankan perasaan orang yang sudah bertahun-tahun jadi pendamping di hidup Bapak hanya untuk seorang pendatang asing seperti saya?” Akssa menatap Tara dengan rasa marah yang kembali menggebu, “Saya malu, Pak. Malu sekali rasanya kalau ingat saya ini alasan terbesar Bu Bella patah hati,”

“Don't you feel ashamed of it?”

Mati kutu rasanya. Gugup, panik, semua bercampur jadi satu. Bayang-bayang bahwa mereka akan melewati obrolan yang hangat di pantry seolah-olah sedang meledeknya dalam semu. Akssa terus menyalahkan dirinya sendiri. Cemas agaknya sudah secara penuh menguasai diri eksekutif mapan itu.

“Saya dan Bella bercerai bukan karena kamu, Akssa.”

Sudah berkali-kali Akssa mendengar jawaban yang sama. Sudah berkali-kali juga Akssa ditampar oleh kenyataan yang 100% bertolak belakang dengan pengakuan sang atasan, membuatnya tanpa sadar melepas pelan-pelan rasa percaya yang tersisa dalam genggaman.

“Dengan fakta kalau Bapak sudah menaruh rasa untuk saya sejak dua tahun lalu, saya masih bisa percaya dengan kata-kata Bapak?”

Obrolan keduanya kian jauh dari ambang yang masuk di akal. Semakin melihat Tara yang masih diperdaya dengan keputusasaan, semakin Akssa dibuat marah oleh keadaan.

Akssa lantas menunduk. Matanya memejam, ketika dirasa amarah makin memuncak. Waras sudah terlalu jauh untuk digapai. Kepalanya penuh. Hatinya meronta ingin meledak.

Tanpa sadar, sepasang telapak tangan lelaki manis itu mencengkeram surai hitam yang mulai berantakan. Akssa seperti kembali ditarik ke masa lalu. Bayang-bayang hancurnya rumah tangga yang pernah begitu ia dambaă…ˇ datang lagi, mengacak-acak hatinya yang sudah hancur tidak tertata.

Akssa menarik rambutnya sendiri. Berusaha menghalau segala kepingan memori yang tidak ingin ia ingat barang sedikitpun. Tidak ada alasan lagi bagi sepasang kelopak matanya untuk tetap terbuka. Akssa kembali menarik rambutnya, kali ini jauh lebih kuat sampai membuat ringisan pelan yang diselingi isakan lolos dari belah bibirnya yang gemetaran.

“Let's end this conversation,”

Sebelum warasnya benar-benar hilang, lenyap, tak bersisa, Akssa kembali berucap dengan seuntai kalimat yang sukses membuat satu alis tebal Tara bertaut naik.

Akssa menyeka air matanya yang sempat tumpah. Cepat-cepat ia kembali menata penampilannya yang nyaris menjauh dari kata rapi.

Susah payah, ia mengembalikan seluruh atensinya pada sang atasan. Keduanya saling bertukar pandang, dengan perasaan yang tak mampu dijabarkan dengan kata.

“Saya mau menyampaikan hal penting terkait Nevan.”

Mendengar nama anak laki-lakinya disebut, Tara berdehem pelan, “is Nevan okay?”

“Unfortunately no,” kepala Akssa lantas menggeleng pelan, “sepertinya Nevan ada masalah di sekolah. More likely, he was verbally and physically abused by his classmates, saya nggak sengaja menemukan memar di tangan kanannya. Nevan masih kesakitan saat saya pegang lukanya itu, kemungkinan besar itu luka baru.”

“And he was verbally abused, dia dipanggil dengan sebutan 'idiot' sama teman-teman di kelasnya just because he got so many D during exams and being a 25th of 25 in class.”

Tara termangu mendengar penuturan Akssa. Nevan… anaknya… benar-benar menjadi korban bully di sekolah? Sejauh ini, Nevan tidak pernah terlihat malas-malasan, hanya saja nilainya memang selalu jadi yang paling terakhir, and that was… fine, to be honest? Tara tidak pernah marah dengan fakta yang satu itu. Nevan juga tidak pernah menceritakan tentang bagaimana ia menghabiskan setengah harinya di sekolah, tidak pernah mengabsen satu persatu temannya yang ada di kelas, tidak juga pernah mengeluhkan tentang hal-hal yang tidak mengenakkan yang terjadi di jam sekolah.

Nevan tidak pernah mengeluh sakit.

Tidak juga pernah dilaporkan berkelahi atau sekedar membuat onar.

Jika apa yang dikatakan Akssa benar adanya, lantas kenapa bisa ia begitu lengah? Terlalu lengah sampai rasanya untuk merasa bersalah pun sudah terlambat.

“Kamu nggak bohong, Ssa?” Tara berusaha memastikan, pertanyaannya langsung dibalas dengan sebuah gelengan mutlak.

“Bapak bisa pulang ke rumah nanti sore, lalu temui Nevan di kamarnya. You talk to him, he has been through a lot, Pak, dia rindu Papanya.”

Tara tiba-tiba diselimuti kegelisahan. Pikirannya berkecamuk memikirkan kondisi sang jagoan yang entah bagaimana keadaannya saat ini.

“Bella sudah tau?”

Akssa menggeleng, “saya belum sempat bilang ke Bu Bella. Tapi saya sudah sampaikan ke Miss Nathania supaya Nevan bisa diperhatikan lebih banyak di sekolah. Juga supaya luka memarnya diobati, sebelum bertambah parah.”

“Nevan cerita banyak sama kamu?”

Akssa menggeleng, lagi, “dia marah sama saya, Pak.”

“Marah?”

Kali ini kepala Akssa mengangguk, pelan, “dia nyariin saya pas bangun tidur pagi tadi, tapi saya nggak ada di sebelahnya. Setelah tantrum kemarin, Nevan memang nggak mau lepas dari saya. Saya juga nggak mungkin bermalam di rumah Bapak, nggak enak sama Bu Bella yang notabenenya adalah ibunya anak-anak.”

“Nevan nggak mau sama Mamanya?”

Ragu-ragu, Akssa mengangguk. Sudah tidak ada lagi energi yang tersisa untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dua hari ini.

“Itu yang saya takutkan, Ssa,”

Selain menyebalkan dan dingin, sikap Tara yang satu ini juga tak kalah membuat jantung seolah diajak olahraga mendadak; mengalihkan pembicaraan.

Atau lebih tepatnya, mengungkit kembali percakapan yang sejatinya sudah ditutup rapat-rapat.

Tidak ada hal lain yang bisa Akssa lakukan selain membiarkan matanya memicing, satu alisnya bertaut naik. “Maksud Bapak?”

“Saya yang egois dengan perasaan saya malah membuat anak-anak jauh dari Mamanya. Itu ketakutan terbesar saya. Anak-anak tidak lagi memandang Bella sebagai ibu kandung mereka.”

Alcantara dan sejuta tingkah ajaibnya. Sekeras apapun Akssa berusaha untuk mengerti dan memahami sifat sang atasan, Tara selalu punya batas yang tak bisa ditembus dan selalu punya emosi yang tidak bisa diduga-duga.

“Nessha membenci saya, you got no worries for it, Pak.” kata Akssa sambil diam-diam menelan pil pahit mengingat betapa anak bungsu Tara begitu membenci dirinya.

“But Nevan doesn't,” Tara menyahut dengan suara bulatnya, “dari cerita kamu barusan, Nevan bahkan lebih memilih kamu daripada Mamanya.”

Akssa menarik sudut bibirnya, menahan tangis. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

Maka dengan penuh percaya diri ia balas menatap sorot mata Tara yang sudah kembali menemukan jati dirinya; tegas, gelap.

“You never loved me as much as you told me,” Sebisa mungkin Akssa tidak mengedipkan matanya, “or you, Pak Tara, you never loved me since the first time, yet you still accused me for getting all Nevan's attention that supposed to be Bu Bella's, right?”

“Akssa,”

“Kalau Bapak nggak pernah benar-benar mencintai saya seperti apa yang Bapak bilang, lalu kenapa Bapak harus repot-repot menjebak saya ke dalam situasi yang sungguh bukan win-win solution ini, Pak?” Akssa nyaris kehilangan kesabarannya. Hari masih bisa dibilang pagi, tapi rasanya ia sudah terlanjur mental exhausted dengan serangkaian obrolan complicated yang hanya membuatnya beranjak gila. “Once again, it's funny, right? To make fun of me? Membuat saya jadi orang paling nggak tau apa-apa dan paling dibuat merasa linglung dan serba salah dalam urusan keluarga Bapak? It must be really fun for you.”

“Saya tidak pernah bohong dengan kata-kata dan perasaan saya, Ssa,”

“TERUS APA NAMANYA KALAU BAPAK NGGAK MEMPERMAINKAN PERASAAN SAYA?” Pecah, meledak sudah emosi yang sejak tadi dibiarkan bersembunyi di balik dada. “Bapak nggak mau 'kan, kalau anak laki-laki Bapak lebih memilih sama saya daripada sama ibu kandungnya sendiri? Bapak nggak mau 'kan, figur Bu Bella sebagai seorang ibu lama-lama tergantikan oleh saya?”

Akssa menunduk lagi. Kepalanya berat. Matanya sudah tak lagi bisa membendung kesedihan juga kekecewaan. Akssa bingung. Tidak tahu harus menafsirkan rasa dengan cara yang mana lagi.

“Maaf, saya nangis lagi, P-pak,”

“Saya bukannya nggak cinta sama kamu, Ssa. Bagian mana dari pengakuan saya yang menyebutkan kalau saya ini nggak cinta sama kamu?” Tara berusaha untuk meraih satu tangan Akssa yang kini tengah menutupi wajah manisnya. Lucky him, Akssa tidak memberontak. Apalagi menghindar.

“Saya ini cinta sekali sama kamu, Ssa, cinta sekali sampai rasanya mau gila.”

Tara menggenggam tangan Akssa begitu kuat. Ibu jarinya bergerak memberikan usapan lembut di sepanjang punggung tangan Akssa yang masih bergetar hebat.

“Tapi saya takut,” suaranya melemah, tidak lagi terdengar tegas dan berani seperti beberapa saat lalu. Kepalanya jatuh tepat di atas punggung tangan Akssa, Tara ikut menumpahkan perasaannya di sana, “saya takut terlalu jauh menyimpan rasa yang sia-sia, saya takut kalau ternyata selama ini saya salah mengambil langkah. Saya takut Nessha semakin membenci kamu dan menganggap kamu adalah penyebab hancurnya rumah tangga saya dengan Bella. Saya takut anak-anak semakin jauh dari Ibunya. Saya,ㅡ”

“Saya ini pria yang gagal, Ssa. Mana berani pria yang gagal ini meminta hati kamu untuk saya miliki?”

“Permasalahan internal di keluarga saya juga belum sepenuhnya selesai. Orang tua saya masih berusaha untuk memulihkan pernikahan kami, tanpa mereka tau ada hati lain yang sedang saya perjuangkan, yang ingin saya bawa dan kenalkan pada mereka,” Tara semakin menggenggam kuat telapak tangan Akssa, “saya masih harus mengurus anak-anak bersama Bella, saya nggak mau anak-anak saya kehilangan figur seorang Ibu, saya bahkan gagal jadi seorang ayah, Ssa. Saya gagal memahami Nevan, saya gagal memberi kasih sayang pada Nessha, sayaㅡ”

“Can you stop blaming yourself?!!”

Akssa memotong perkataan Tara dengan begitu lantang. Lelaki manis itu ikut menjatuhkan kepalanya di sisi kepala sang atasan, tangannya balas memeluk genggaman yang mempersatukan keduanya jauh lebih erat lagi.

Akssa turut mengusap punggung tangan Tara dengan ibu jarinya, “Bapak juga menderita selama ini. Bapak juga pasti tersiksa. Bapak pasti sedih, patah hati, bingung,”

“Maaf karna saya terlalu mengedepankan emosi saya, maaf karna saya terlambat menyadari kalau you too, you have been through a lot,” Akssa menghela pelan nafasnya, “i am sorry this all had to happen to you.”

“Saya cuma takut kalau Bapak meminta saya berhenti untuk menyayangi Nevan. Saya nggak bisa Pak, saya nggak mau… Saya janji saya akan mengembalikan seluruh kasih sayang dan perhatian Nevan untuk Bu Bella, tapi tolong jangan larang saya untuk bertemu Nevan, untuk sayang sama Nevan. Saya sayang sekali sama Nevan, dia bahkan belum maafin saya atas kesalahan saya kemarin dan hari ini, saya bikin dia marah, sayaㅡ”

“Ssa,”

Akssa mengatupkan mulutnya. Rangkaian kalimat belum habis terucap tapi panggilan Tara barusan sukses membuat lelaki manis itu mengakhiri kata-katanya.

Tara menarik pelan tangan Akssa, membuat sang sekretaris mengubah posisinya menjadi duduk.

“Kamu masih nggak percaya kalau saya ini cinta sekali sama kamu?”

Akssa diam, tidak menjawab. Sampai akhirnya Tara berdiri, meninggalkan bangku yang nyaris satu jam lamanya menjadi saksi bisu pertikaian yang kini berujung melankolis apalagi saat Tara perlahan-lahan membawa langkah kakinya menuju tempat dimana Akssa masih duduk dengan jantung yang bertalu-talu di balik dada.

Tara memposisikan dirinya untuk berdiri tepat di samping Akssa. Lelaki itu lalu menuntun tubuh sang sekretaris untuk ikut menghadap ke arahnya.

Untuk kali pertama, Tara mengulas sebuah senyum tipis pagi itu. Tangan kanannya menyentuh sisi wajah Akssa, menyeka bekas air mata yang meninggalkan jejak di sana lalu mengusap pipi berisi yang nyaris tirus itu dengan penuh kasih sayang.

“Maaf ya, pagi-pagi sudah saya ajak kamu nangis kayak begini,” Lalu tanpa aba-aba, CEO muda itu menurunkan tubuhnya agar bisa cukup sejajar dengan tubuh si sekretaris manis.

“But now, please listen to me...”

Akssa mengangguk, memberikan kesempatan pada Tara untuk bicara.

“It always hit me like a truck when someone said; sometimes it's hard to turn the page when you know someone won't be in the next chapter, but the story must go on.”

Dengan kedua tangan yang masih membingkai wajah sembab Akssa, Tara melanjutkan ucapannya, “begitu juga yang saya rasakan ketika sejak lama, lama sekali, saya menyadari satu hal. Bahwa tidak lagi ada halaman yang sama yang tersisa antara saya dengan Bella. Ketika saya tau, kalau saya akan membuka lembaran yang baru maka saya tidak akan lagi menemukan Bella di sana, rasanya hati saya dibuat mati rasa, Ssa. Saya takut, akan segala kemungkinan yang bisa datang menimpa keluarga kecil saya. The feeling of stop loving someone, it's what actually killed me. Bukan kamu yang buat saya berhenti, tapi rasa yang saya punya, yang Bella punya, semuanya berhenti di satu poros yang bertolak belakang.”

“Sampai akhirnya saya bertemu sekretaris nakal ini,” Tara menjawil hidung mancung Akssa, lalu terkekeh setelahnya, “saya dibuat jatuh cinta untuk pertama kali.”

“Saya bahkan sempat bingung, saya ini memang benar jatuh cinta atau ternyata terlanjur nyaman saja dengan eksistensi kamu yang berhasil membawa suasana baru di hidup saya yang bertahun-tahun bernuansa monochrome.”

Akssa meraih satu tangan Tara di pipinya untuk digenggam, “so what now? Yang benar yang mana, Pak? Benar-benar jatuh cinta atau cuma terlanjur nyaman?” tanyanya.

“Are we cool now?” balas Tara, dengan pertanyaan.

Akssa berdecak pelan, hendak menyingkirkan tangan Tara namun Tara menahannya lebih dulu.

“Ssa,”

Satu mata Akssa memicing, “hm?”

“Are we cool now?” tanya Tara, lagi.

“Masih nanyaaa?!!”

“I will take that as a yes then,” Lalu diusapnya kedua pipi Akssa penuh sayang, “mau coba buktikan?”

Akssa memundurkan sedikit wajahnya, memandang Tara dengan penuh tanda tanya.

“Apa???”

“Saya sudah cinta sekali sama kamu, kamu sendiri bagaimana? Sudah cinta kah sama saya?”

Umur memang nggak pernah membohongi kualitas, ya?

Akssa tidak langsung menjawab. Jantungnya sibuk berdisko, nafasnya sibuk berhembus sedikit lebih cepat dari tempo biasanya. Matanya dengan lancang bergerak turun, berhenti tepat di sepasang bilah merah muda sang atasan.

Tanpa sadar Akssa mengulum bibir bawahnya.

“Hm?” Tara mengusap permukaan bibir penuh Akssa dengan ibu jarinya, “boleh saya cium kamu, Ssa?”

Belum sempat menjawab pertanyaan si bos, sepasang mata Akssa kembali lari-lari dan tak sengaja melirik jam di dinding pantry yang nyaris memasuki pukul setengah 9 pagi.

Aduh, pasti abis ini orang kantor pada nyeduh kopi di sini, nih…

Deru nafas Tara yang berhembus di depan wajahnya kembali menyadarkan Akssa bahwa mereka sedang terjebak dalam posisi yang teramat intim. Akssa semakin gugup, bukan hanya karena aura dominan Tara yang begitu kuat, tapi juga berpacu pada waktu yang semakin beranjak siang.

Suara derap langkah kaki mulai terdengar ramai di seberang pintu utama pantry.

Lantas tanpa pikir panjang, Akssa merengkuh leher jenjang Tara dengan satu tangannya, membawa lelaki itu semakin dekat dalam jangkauannya.

Tara tersenyum tipis, mati gue…

Sedikit merutuki nafsunya yang kini tertuju pada sebongkah bibir sintal milik Tara, Akssa pun menarik lelaki itu untuk dijemputnya dalam seuntai ciuman panjang yang sejatinya sudah didamba sejak lama.

Tara memejamkan mata, begitu juga dengan Akssa.

Deru nafas keduanya beradu di jarak yang kini kian terkikis habis,

Tara turut memeluk pinggang ramping Akssa, merengkuhnya dalam sebuah dekapan hangat yang sudah lama dinanti-nanti.

CEKLEKă…ˇ

“ANJRIIITTT??????”

. . .

To be continued!

{ JEYI }

“Jadi, gimana?”

“Nggak usah dibahas aja, ya… Bisa? Soalnya gue nggak tau harus jawab apa.”

Huh, “Tapi ya, kalau gue perhatiin belakangan ini tuhㅡ”

“Udah… stop… bisa nggak, sih?”

Sure. Okay. Ujung-ujungnya, Pawat hanya bisa diam, mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Pemuda berambut hitam itu memutuskan untuk kembali melahap menu makan siangnya, ya… meskipun bola matanya beberapa kali terangkat untuk melirik sang sahabat yang belakangan ini jadi lebih banyak diam.

Pawat biasanya bisa makan dengan lahap. Ya, itu sih kalau hatinya lagi tenang. Tapi sekarang, pemuda itu tampaknya sedang nggak bisa makan dengan lahap. Ya, ini sih karena ternyata hatinya lagi nggak tenang.

Pawat meneguk es teh manis miliknya, lalu matanya kembali beralih dari sosok sang sahabat, ke arah pemuda lain yang duduk di salah satu meja kosong, yang sekitar 2 meter sih jaraknya kalau dihitung dari meja tempat kedua pemuda ini duduk. Setelah Pawat melirik pemuda itu, matanya kembali melirik Win yang kelihatannya justru nggak terganggu sama sekali.

Ck. Ini anak emang kebangetan kalo udah makan...

Pawat mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya di atas meja, berusaha untuk mengambil lagi perhatian Win, tapi yang dipancing justru nggak kepancing-pancing sama sekali.

Sebenarnya tuh, Pawat suka bingung sendiri. Ya, cuma kadang-kadang, sih. Kenapa… kenapa Win nggak kapok makan banyak dengan porsi besar, padahal pemuda itu jelas-jelas sudah sebulan lebih mengikuti program diet, mau punya body goals sih, katanya.

But look at him now, being a big eater like he always did.

Pawat berdehem pelan, berusaha menyentil atensi sang sahabat yang ternyata masih belum juga bisa ia dapatkan. Yaudah, lah… mau diapain lagi.

“Tapi, lo pernah kepikiran ini nggak sih, Win? Porsi makan lo kan banyak banget tuh ya, bisa aja Bright nolak lo karena lo itu ya hmㅡ sedikitgendutgituyajadiBrightagakgimanagitu, ya... nggak, sih?”

Win menghentikan kunyahannya. Mata pemuda itu melirik dalam tepat ke manik mata sahabatnya, yang terkadang Win sendiri tuh suka bingung... kenapa mereka bisa sahabatan? Ya, secara Ohm Pawat Ohm Pawat ini sejatinya savage abis. Alias, kalau ngomong suka nggak tau diri.

Lantas Win menelan salivanya sebelum ia meneguk es teh miliknya yang masih penuh di dalam gelas, “ngomongnya pelan-pelan coba, biar kedengeran.”

Pawat mengambil nafas dalam-dalam, “nggak gitu, Win. Jadi maksud gue tuh gini, kanㅡ hmm, ya... gitu. Tapi, bisa aja emang begitu kejadian yang sebenernya? Sayang aja elu nggak tau.”

Pawat tetap nggak berani mengulang kalimatnya. Aura di sekitarnya udah berasa beda. Ah, salah ngomong 'kan!!!

Well, pada akhirnya Pawat memilih diam dan kembali melanjutkan makan siangnya. Lagi dan lagi ia terpaksa harus makan dengan perasaan nggak tenang. Ya gimana mau tenang… wong mata Win masih betah membidik ke arahnya.

Setelah Pawat menghabiskan suapan ke-3 nya, terdengar helaan nafas berat dari arah depan yang kemudian disusul dengan suara srrrttt… sebuah deritan dari bangku yang didorong mundur, menandakan bahwa Win ancang-ancang on the way meninggalkan meja.

Pawat spontan mendongak, dan benar aja... Win sudah terlihat menggendong tas ranselnya dan melangkah begitu saja tanpa menghabiskan sisa makanan dan minuman miliknya.

Pawat baru aja mau manggil Win, tapi nggak jadi. Karena orang yang sebelumnya ia curi-curi lirik secara diam-diam, yang duduk di meja yang berjarak sekitar 2 meter dari meja yang ia duduki bersama Win, ternyata udah lebih dulu beranjak mengejar sang sahabat.

Jadilah Pawat kembali memutuskan untuk meneruskan acara makan siangnya. Syukurlah, kali ini bisa dengan perasaan yang tenang.

. . .

Metawin cuma bisa mengepalkan tangannya. Geram.

Sementara kedua tungkainya terus melangkah, yang well, nggak tau sih sebenarnya ada tujuan atau enggak. Yang penting... Win mendadak males ngeliat Pawat. Ngeselin. Dan yang paling penting juga, Win tuh masih lapar! Semua gara-gara Ohm Pawat!!! Dasar nyebelin!!!

Langkah Win berhenti begitu saja dan tiba-tiba seolah ada yang juga ikut berhenti di belakangnya. Ngeselinnya lagi… kayaknya nih, yang berhenti di belakangnya mungkin memang lagi ngikutin dia. Soalnya yang ikutan berhenti ini… entah disengaja ataupun enggak, baru aja menabrak punggungnya.

Ck, jangan bilang ini si Pawat. Karena kalau memang benar ini Pawat, Win benar-benar nggak segan untuk membuat perhitungan.

Ya gimana ya, udah nanya-nanya soal si itu, terus pakai segala menghina fisiknya, terus bikin Win berujung kelaparan karena tadi makanan dan minumannya belum habis, dan sekarang... malah dengan santainya mengikuti jejak dan menabrak tubuhnya yang lagi kelaparan klimaks ini?!!

Pilih kuburan atau rumah sakit nih, Wat?

Lambat laun Win berbalik, dan tangannya sudah siap untuk melayangkan sebuah bogeman, tapi...

Nggak jadi.

Ternyata bukan Pawat.

Win spontan menutup rapat matanya, lalu berbalik. Kalau tadi Win bilang lagi nggak mau banget ngeliat Pawat, nah kalau ini kasusnya beda.

Win lebih nggak mau... sangat sangat nggak mau... beneran jinjja jeongmal real heol daebak wanjeon nggak mau... bahkan dari pertama Win memutuskan untuk menyudahi semuanya pun, ia benar-benar nggak mau lagi ngeliat orang yang beberapa detik lalu menabrak punggungnya dari belakang ini.

Perlahan namun pasti pejaman matanya terbuka, ketika sesuatu yang lembut baru saja menyentuh pergelangan tangannya.

Dan dengan refleks juga, Win menepis sentuhan itu.

“Win,”

Selain takut sama suara geledek, Win nyatanya juga takut sama suara yang baru aja memanggil namanya.

Lantas tanpa berniat untuk menjawab, Win bergegas melangkah, tapi lagi dan lagi pemuda itu... gagal.

Sentuhan lain kini melingkari lehernya. Membuat Win terpaksa harus benar-benar berhenti. Tetap terdiam, tanpa mengeluarkan suara apa-apa.

Win dapat merasakan kalau orang ini semakin merapatkan posisi mereka. Win bisa merasakan dada orang ini pun sudah benar-benar menempel dengan tubuh bagian belakangnya. Susah payah Win mengambil nafas dalam-dalam. Tangannya berusaha meraih tangan besar yang kini sedang memeluk erat lehernya, berniat untuk menarik lalu melepaskannya.

“Lepasin gue, Bright.”

Terjadi keheningan, namun nggak butuh waktu lama yang memeluk dari belakang menyahut pelan, “Nggak mau.”

Bright. Bright adalah satu-satunya orang yang paling ia hindari sejak apa yang terjadi dua bulan lalu.

Bright pernah jadi temannya. Bright pernah jadi sahabatnya. Tapi satu yang pasti, itu hanya sebatas masa lalu. Bagi Win, semua yang terjadi dulu, nggak akan mungkin bisa terjadi lagi sekarang.

Sudah kodratnya untuk dilupakan. Sudah sepantasnya untuk nggak diangkat lagi permukaan. Sudah seharusnya untuk dianggap tenggelam dan tak terselamatkan.

Namun langkah berikutnya yang diambil Bright adalah: memeluk Win lebih erat dan menempelkan dagu panjangnya di puncak kepala Win. Bright memejamkan matanya, “gue kangen.”

Win cuma bisa diam. Nggak ada usaha lagi untuk sekedar menepis tangan Bright dari tubuhnya. Dan lagi, ingat, Win masih lapar… tenaganya nyaris habis.

Kalau dia ngeladenin Bright cuma buat debat tentang masalah di masa lalu, terus nanti perutnya yang keroncong malah tiba-tiba bunyi… 'kan nggak lucu!!!

(Ngegas)

“Win,”

“Lepasin, nggak?!”

Bright menggeleng kuat di atas kepala Win, “nggak mau, dibilang gue nggak mau.”

“Lagian ada perlu apa lagi, sih?! Semuanya juga udah jelas 'kan?! Udah selesai! Udah beres! Udah clear! Udah nggak ada yang perlu dibahas lagi! Udahㅡ”

krrkkrkrkrk…

Iya, anggap aja itu suara perut Win yang all of sudden berkumandang nggak tau tempat.

Win spontan menutup mulutnya se-rapat mungkin. Sedangkan Bright langsung membawa tertawa cekikikan atas apa yang baru saja terjadi beberapa detik lalu. Tanpa Win sadari, senyum lebar Bright yang begitu ia sukai… muncul lagi.

“Nggak lucu, Bii!”

Bright menekan kedua bibirnya rapat-rapat, berusaha untuk menahan senyum yang sebenarnya udah nggak bisa ditahan lagi. Bii, Bright ingat banget, itu panggilan sayang Win buat dia. Dan sekarang, Bright bisa denger Win manggil dia sebagai 'Bii' lagi. Gimana nggak seneng, sih?!

Bright melepas pelukannya dan tanpa meminta persetujuan Win, Bright langsung menarik tangan pemuda manis itu untuk berjalan bergandengan di sampingnya. Lagi dan lagi, Win cuma bisa diam. Dan akhirnya, ia terpaksa harus menurut untuk digandeng sama Bright dan nggak tau deh... ini mau dibawa kemana.

Yang penting itu cuma satu kata; nurut. Yang penting ia mau ikut melangkah di samping Bright. Nggak bisa bohong, Win juga rindu pada sosok yang namanya bahkan tak mau lagi ia sebut sedikit pun. Tapi tetap saja, kakinya memilih untuk menapaki lantai seirama dengan tempo langkah Bright.

Ternyata Bright menggandeng dirinya menuju taman belakang sekolah. Bright memberi kode pada Win agar pemuda manis itu duduk lebih dulu di bangku kosong pilihan Bright yang ada di tengah taman.

Pertama, Bright ngelirik jam yang melingkari tangan kirinya. Sudah hampir jam setengah 2, yang artinya jam istirahat sudah berakhir sejak 10 menit yang lalu dan itu tandanya jam pelajaran berikutnya sudah dimulai.

Ya, nggak heran sih, kenapa kali ini taman terlihat tidak berpenghuni.

Bright sontak mengalihkan pandangannya pada Win yang sedang membuang muka ke arah lain. Win memang duduk di hadapannya, tapi wajah manisnya itu menatap ke arah samping.

Bright mengukir sebuah seringai di ujung bibirnya, lalu melangkah dan mengambil posisi duduk tepat di samping Win.

Bright satu kali lagi, melirik Win yang masih aja nggak mau menghadap ke arahnya. Bright menghela nafas lembut, lalu tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Win. Jackpot untuk Bright, Win sama sekali nggak menunjukkan penolakan apapun.

Bright membuka tas ranselnya dan mengambil sesuatu dari sana. Ia lantas meletakkan satu kotak makanan lengkap dengan lauknya di pangkuan Win. Lantas saja Win menoleh pada kotak makanan yang Bright berikan.

“Gue nggak lapar.”

Bright nggak jawab apa-apa. Selanjutnya yang dilakukan pemuda itu adalah membuka kotak makan itu dan menyendokkan satu suap nasi beserta lauknya lalu membawa sendok yang ia pegang ke depan mulut Win.

Win melirik Bright dengan tajam.

“Gue bilangㅡ”

1:0, 1 untuk Bright dan 0 untuk Win. Bright berhasil memasukkan satu suapan penuh nasi ke mulut Win ketika pemuda manis itu membuka mulut saat akan melayangkan protes.

Win cuma bisa menatap Bright dengan pandangan kesal, sementara mulutnya sedang berusaha untuk mengunyah makanan yang benar-benar padat dan memenuhi mulutnya.

“Lo lapar, Ta. Udah deh, makan aja.”

Win malas berdebat sama Bright. Nggak akan selesai, nggak akan ada habisnya. Akhirnya, Win pun menyendok suapan-suapan berikutnya sampai makanan itu habis. Bright melirik Win sekilas, lalu mengambil kotak makanan yang sudah kosong itu dan menutupnya kembali. Lalu Bright berdiri, beranjak mencari tong sampah terdekat untuk membuang kotak makanan yang sudah kosong itu.

Nggak butuh waktu lama, Bright kembali duduk di samping Win, “kenyang?” tanyanya.

Win nggak menjawab pakai suara. Ia cuma mengangguk, yang menandakan kalau dia sudah kenyang. Bright menepuk lembut puncak kepala Win, well… Itu memang kebiasaan Bright sejak dulu. Bright selalu menepuk puncak kepala Win, setiap saat Bright ngerasa bangga terhadap temannya itu. Lantas Bright kembali membuka tasnya, kali ini untuk mengambil sebotol minuman bersoda. Iya, betul, cuma ada satu botol.

“Gue nggak ada air mineral, adanya cola, mau?” tanya Bright.

Win melirik botol cola yang dipegang Bright, lalu matanya beralih menatap pemuda itu.

“Cuma ada satu?” tanya Win.

Kepala Bright mengangguk pelan, “tadi sih emang niatnya beli buat gue sendiri. Tapi... Buat lo aja deh. Nih,” ucap Bright sambil menyodorkan botol cola itu pada Win.

Win menggeleng, “nggak usah, buat lo aja. Nanti gue bisa cari minum sendiri.”

Bright mengangkat kedua bahunya, “ya udah, gue juga nggak usah minum aja kalo gitu.” Baru saja Bright hendak membuka resleting tasnya untuk menyimpan kembali botol cola tersebut, tapi tangan Win dengan cepat menahannya dan mengambil botol cola itu dari jangkauan Bright.

“Sayang, tau! Kalo udah nggak dingin, sodanya nggak akan kerasa lagi!”

Lagi, Bright mengukir senyum kecil di ujung bibirnya. Meskipun sudah hampir 2 bulan ini mereka saling menjauh, tapi toh nyatanya nggak begitu banyak yang nggak berubah dari Win.

Win masih menggemaskan. Dan Bright rasa, itu nggak akan pernah berubah.

Win menjilat bibir bagian luarnya saat beberapa tegukan cola mengaliri tenggorokannya. Bright hanya bisa diam, sambil terus menatap Win dalam-dalam.

Win menyodorkan botol cola yang belum habis itu ke dada Bright, “gue tau lo haus, minum nih.” ujarnya.

Bright tersenyum dan meraih botol cola itu dari Win, lalu meneguknya. Win memberikan tutup botol cola tersebut pada Bright, “udah nggak apa-apa, habisin aja. Gue udah kenyang.”

Dan, ya… Bright pun menurut saja dengan apa yang dikatakan Win. Saat Bright masih asik meneguk colanya, seseorang berdiri tepat di depan mereka.

Lantas Bright menutup botol minuman bersoda itu. Baik Win maupun Bright, keduanya sama-sama mendongak untuk memastikan siapa yang berdiri di depan mereka.

“Joss,”

Bright menoleh pada Win dengan cepat, “lo masih akrab sama dia?”

Win menatap Bright dengan pandangan penuh rasa tidak suka, lalu pemuda itu kembali memusatkan matanya pada Jossă…ˇ sahabatnya.

“Ayo pulang.” ucap Joss tanpa memperdulikan Bright yang udah mulai nggak bisa diam di bangku yang didudukinya.

Win berdehem pelan, “Joss, kok kamu tau aku ada di sini?”

Bright kembali menatap Win dengan tajam, ah bukan, kali ini dengan tatapan yang lebih ganas.

“Lo apaan, sih? Kok ngomong sama dia pake aku kamu?”

Win memutar jengah bola matanya, lalu membekap mulut Bright biar cowok itu nggak asal ngomong lagi. Dasar... sama aja kayak Pawat! Punya mulut nggak bisa disaring banget!

Tiba-tiba Joss meraih salah satu tangan Win, berusaha membuat pemuda itu bangkit berdiri.

“Tadi aku nggak sengaja ketemu sama Pawat, karena dia nggak barengan sama kamu, ya udah aku tanya aja ke dia, kamu dimana. Pawat bilang dia nggak tau. Tapi dia juga bilang kalo ada ORANG yang ikutin kamu waktu kamu pergi dari kantin. Ya udah, sejak hampir semua orang tau kalo taman ini adalah satu tempat yang disukai ORANG itu, aku langsung kepikiran, mungkin aja kamu ada di sini.”

Joss melirik Bright dengan tajam, “dan ternyata aku bener. Kamu ada di sini. Sama ORANG yang disebut-sebut sama Pawat tadi.”

Win mengusap tangan Joss yang menggenggam tangannya dengan erat. Ah, elah. Hari udah terik, matahari lagi cerah-cerahnya, ditambah aura perseteruan terasa begitu kuat, emang nggak baik ya buat kesehatan.

Win bisa merasakan genggaman Joss di tangannya mengeras. Win melirik Bright sekilas yang ternyata sedang menatap Joss dengan tatapan yang nggak kalah tajam. Win berdehem, mencoba untuk memecahkan kepanasan namun usahanya sia-sia. Joss berusaha maju selangkah lebih dekat pada Bright, tanpa melepas genggamannya pada tangan Win yang mulai dingin.

Win berusaha menarik tangan Joss perlahan-lahan. Well, berhasil. Joss mundur selangkah dan kembali memposisikan dirinya untuk berdiri di antara kedua kaki Win.

“Maaf, Win.”

Win mengangguk penuh pengertian, lalu ia pun berdiri.

“Ayo pulang.” ucap Win dengan lembut, pada Joss, yang membuat Bright tersenyum miring merasa jengkel dengan pemandangan yang ada di depan matanya.

Joss bergumam pelan, lalu menggandeng Win menjauh meninggalkan taman dan juga meninggalkan ORANG yang sudah sepantasnya nggak perlu repot-repot buat muncul lagi ke hadapan Win.

“Thanks, Joss.”

Joss mengangguk, sambil membukakan pintu mobil untuk Win. Joss menempati spotnya, dan menghidupkan mesin mobil.

“Aku cuma nggak mau dia ngulangin hal yang sama ke kamu. Kamu harus hati-hati sama dia mulai sekarang.” ucap Joss.

Win tersenyum kecil, lalu memasang sabuk pengamannya.

“Sekali lagi, makasih banyak, Joss.”

. . .

JEYI // 210610.

Kata orang sih, sebutan 'Casanova' itu identik dengan laki-laki yang terkesan romantis dan manis. Definisi Romeo di zaman modern kali, ya? Well, itu adalah salah satu alasan kenapa Win senang memanggil sahabat kakaknya yang super jutek itu dengan sebutană…ˇ Casanova.

Tapi siapa sangka, Casanova versi Metawin adalah seorang Bright; lelaki berusia 30 tahun yang gila kerja, kerja dan kerja.

Urusan cinta? Jangan harap.

But one thing is… Metawin wasn't born to be meta-lose. His name is Win for a reason, dan dalam kisah singkat ini, Win akan membuktikan kredibilitas namanya sebagai seorang…

Pemenang.

. . .

tags: SFW; twenty!win & thirty!bright (age gap case), love-hate relationship, one-sided love, denial being lovers, involved some of adult contents in general (emotions, conversation and action), chef!bright, college student!win. pair: WINBRIGHT total words: 6.91k+ words. commissioned by: winbright-nation.


“Ada kiriman bunga lagi...”

Seketika, aroma manis dan menenangkan yang berasal dari beberapa slice cakes yang fresh from the oven di tangan Bright menjadi tidak ada artinya.

Atensi si lelaki berusia 30 tahun yang sempat terfokus pada beberapa papan penampang di dalam etalase kaca, buyar. Perasaannya yang ringan ketika memulai hari, berantakan. Deru nafasnya yang semula baik-baik saja, kini seolah terasa, tercekik.

Bright selaku salah satu Chef utama dan pemilik dari Tortoise Ristoranteă…ˇ sebuah restoran dengan nuansa Italia yang terkenal di kota Bangkok, menegakkan posisi tubuhnya.

Nampan coklat tua yang semula ada di tangannya, kini tergeletak di atas meja etalase. Bright menepuk-nepuk apron putih yang ia kenakan, lalu beranjak menghampiri Bankă…ˇ sahabat, sekaligus partner-nya dalam mengurus Tortoise.

Satu alisnya bertaut, “kenapa, Bank?”

“Eh, Bright,” Bank menyahut dengan intonasi yang cukup tinggi, lelaki itu memegang sebuah buket bunga mawar putih berukuran besar di tangannya. “I think this is for you, again.”

Perhatian Bright beralih pada buket bunga yang dimaksud Bank. Hari yang dikira akan berjalan dengan biasa-biasa saja, sekarang berhasil merusak mood lelaki itu.

Hembusan nafas jengah lolos dari belah bibir sang Chef utama.

“Again?”

Bank berdehem menyahuti ucapan Bright, “kayaknya pamor lo makin naik nih, bro. I don't know whether I should envy or thank you for making Tortoise entering the top 2, hahaha.”

Bright tahu, Bank sedang bercanda. Tapi tak bisa mengelak, kata-kata yang diucap sang sahabat barusan justru mulai memenuhi benaknya. Satu kali lagi, Bright menghela nafas. Ia mengambil alih buket bunga yang kali ini ukurannya jauh lebih besar dibanding buket-buket sebelumnya dari genggaman Bank.

“Kamu tau siapa pengirimnya?” kali ini, Bright bertanya pada seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di tengah-tengah mereka.

Si pelayan perempuan itu menggeleng penuh hormat, “saya nggak tau, Chef. Tadi sih, kurir yang mengantar. Katanya buat Pak Bright, ya sudah langsung saya bawa aja ke dalam.” jawabnya.

“Okay,” Bright merengkuh buket bunga mawar itu dengan satu tangan, “kamu bisa kembali bekerja, thank you, Lily.”

Lilyă…ˇ sang pelayan, mengangguk dan menunduk hormat pada Bright dan juga Bank, lalu beranjak meninggalkan dua petinggi Tortoise itu di pelataran restoran.

Bright kembali menatap buket bunga mawar putih dalam dekapannya, dua alisnya bertaută…ˇ menyatu, antara bingung juga diselingi perasaan tidak suka.

Bank yang melihat sahabatnya itu agak sedikit lost dengan eksistensi hadiah yang entah asalnya dari mana pun cuma bisa tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk bahu tegap Bright, “I can smell something big is going to happen.” ujar Bank, sambil menggoda Bright dengan sengaja mengendus kelopak bunga mawar yang bisa ia jangkau.

Tsk, Bright berdecak menanggapi perkataan sang sahabat, “lo tuh nambah-nambahin kerjaan gue aja tau, nggak. Nanti-nanti kalau promosi Tortoise, cari model yang bener lah, Bank. Gue 'kan nggak ada basic modelling.”

“Nih ya, Bright, gue bilangin ke lo. Walaupun lo nggak ada basic modelling, tapi muka lo itu bisa dikomersilkan. See? Sejak kita rilis video promosi dua bulan lalu, Tortoise berhasil naik ke Top 2 and we're now on top of the holy De Luna and Liberté.”

Bright menyibak tangan Bank yang bergelayutan di bahunya, “damn, you're making me a guarantee.”

“Hahaha,” bagi sebagian orang, terkhusus karyawan restoran, suasana ketika Bright dalam mood yang tidak baik akan terasa begitu menyeramkan. Tapi menurut Bank, mengerjai sang Chef terkenal itu adalah salah satu hal yang menyenangkan. “Walaupun lo sahabat gue, tetep lah gue ini punya jiwa pemikir yang rasional. Selama ada sesuatu yang bisa dijadiin duit, then why not? Elo nih, salah satu sumber duit gue. Nggak mungkin gue melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan eksistensi lo.”

“Ackkkㅡ” Bright pun tidak segan untuk menginjak kaki Bank dan membuat sahabatnya itu meringis kesakitan.

Lantas tanpa berniat memperpanjang topik pembicaraan mereka, Bright kembali masuk ke area khusus pastry display, dan Bank masih mengikutinya dari belakang.

Bright, adalah sosok yang perfeksionis. Jadi, nggak heran kalau Tortoise bisa berkembang pesat di tahun ke-3 restoran itu berdiri. Sebagai salah satu tempat makan yang bersentral pada budaya Eropa, Tortoise dengan begitu sempurna dan elegan menyajikan puluhan menu makanan bernuansa Italia, and the best seller ones are Chef Bright's lasagna and cakes.

Lagi dan lagi, Bright menautkan dua alisnya. Keberadaan Bank yang nggak biasa-biasanya masuk ke area pastry pun jelas membuat Chef itu jengah.

“Lo ada urusan apa sih masuk ke pastry? Biasanya juga jam segini udah mengurung diri di ruangan.”

Bukannya langsung menjawab, Bank malah cengengesan sambil melirik deretan kue-kue cantik racikan Bright di dalam etalase kaca yang dilabeli dengan 'patisserie. Lelaki berusia 31 tahun itu menunduk, menelisik lebih dekat pastries buatan sang sahabat, “Anyway, your croissants are the best. Adek gue biased banget sama croissant buatan lo, sampai nggak mau nyicip di bakery lain.”

“Adek lo yang masih bocah itu?”

Bank melirik Bright dengan sepasang mata yang menyipit, “he is now twenty two, kalau lo lupa.” balas Bank, yang sudah kembali berdiri dengan posisi tegak.

Bright hanya mengangkat kedua bahunya. Lelaki dengan balutan celana bahan hitam, kemeja merah muda yang lengannya digulung sampai ke batas siku dan disempurnakan dengan kehadiran apron berwarna putih itu kini mulai menunjukkan sisi perfeksionis-nya. Kue-kue yang sudah diatur sedemikian rupa di atas papan penampang sesuai jenisnya, digeser-geser kembali demi mendapatkan angle yang bagus ketika dilihat dari jauh.

Sebuah stroberi yang nyaris jatuh dari posisinya pun tak luput dari pandangan sang Chef. Bright, cepat-cepat mengatur kembali stroberi tersebut di atas salah satu short pastry yang terpajang di sana.

“Masih bocah lah, Bank. Dia dua puluh dua, kita udah kepala tiga, bedanya sedekade.” sahut Bright.

“Ya, ya, ya, terserah lo aja deh, Bright. Oh iya, ngomong-ngomong soal adek gue, lo belum pernah ketemu dia, 'kan?”

Bright berdehem pelan, “iya, selama ini juga tau dari cerita lo doang. Kenapa emangnya?”

“Padahal dia sering banget kesini nyamperin gue.”

Sang Chef kembali menegakkan posisi tubuhnya. Setelah memastikan semua kue sudah tersusun rapi dan cantik di dalam etalase, Bright mengambil tissue untuk membersihkan tangannya.

Tangan kiri Bright bertumpu di atas etalase, berdiri menghadap ke arah Bank, “wujudnya aja gue nggak tau kayak gimana, mungkin gue sama adek lo pernah papasan tapi gue nggak nyadar,”

“Dan kalau lo lupa, gue ini mostly kerja di dapur. Wajar lah, gue jarang ketemu tamu.”

Kepala Bank mengangguk ringan, “iya juga, sih. By the way, dia mau kesini hari ini, sama temen-temennya. Dia cerita, salah satu temennya itu ada yang ngefans berat sama lo. Udah mah kepala Chef, ganteng, kaya pula, gitu katanya.”

“Ah, kerjaan lo nih, Bank. Dari awal kita ngebangun Tortoise, 'kan udah gue bilang gue bakalan fokus jadi koki aja. Terus kenapa coba segala ngide jadiin gue model video promosi dan masukin profil gue di majalah-majalah?” Jujur, keputusan Bank untuk menjadikannya model dadakan amat sangat mengganggu keberlangsungan hidup Chef itu.

Bagaimana tidak? Setelah tampil perdana di video promosi yang rilis beberapa bulan lalu, menghadiri konferensi pers setelah Tortoise dinobatkan sebagai restoran terbaik nomor 2 di Bangkok, dan profile-nya dengan apik dimuat dalam berbagai majalah-majalah fisik maupun elektronik, nama Bright Vachirawit Chivaaree melejit bagaikan roket.

Memang sih, hal tersebut sukses mendongkrak nama Tortoise, tapi Bright tidak bisa bohong… kalau hidupnya otomatis ikut berubah seiring kemajuan restoran itu.

“Yah, bro, sori deh sori… I didn't expect it will reach at this point, sumpah.” nggak ada hal lain yang bisa Bank lakukan, selain mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'ㅡ simbol perdamaian.

“Next time, gue bakalan bener cari model baru deh, biar lo bisa fokus di dapur seperti kemauan lo. But today, lo mau 'kan nemenin adek gue sama temen-temennya ngobrol?”

Ck, sepertinya hari Minggu Bright akan benar-benar dipenuhi oleh warna kelabu. Bank dan segala pemikiran abstraknya, juga permintaan-permintaan anehnya, memang selalu sukses membuat Bright geleng-geleng kepala sambil mendesah jengah.

“Hampir setiap hari gue dikirimin buket bunga sama orang yang nggak gue kenal belum cukup, Bank? I ever said to you, that i don't like being spotlight.”

Duh, kayaknya Bright benar-benar mulai jengah dengan kehidupannya yang sudah terlanjur jadi sorotan dan konsumsi publik. Bank… jadi nggak enak hati. Tapi kalau permintaan adiknya itu tidak dituruti, bisa-bisa perang dunia terjadi tanpa ada instruksi.

“Oke, oke, once again i am so sorry, tapi satu kali ini aja ya, Bright? Palingan sepuluh atau lima belas menit lah, lo temenin anak-anak itu ngobrol. Anaknya bakalan dateng setelah jam makan siang, agak sore mungkin? Ada kelas dulu, katanya.”

“Nggak,” tanpa basa-basi, Bright langsung menolak permintaan sahabatnya itu, “gue setengah hari aja lah hari ini, kepala gue mau meledak. Lo calling Ggigie aja kalau ada apa-apa, dia full day di kitchen hari ini.”

Terlanjur kesal dan malas meneruskan percakapan keduanya, Bright pun melenggang pergi menuju dapur. Meninggalkan Bank yang cuma bisa berdengus, dan yeah… harus bersiap-siap menerima omelan sang adik yang dalam beberapa jam akan datang ke Tortoise.

. . .

Semilir angin sore dan suara lengkingan tawa dari anak-anak kecil yang bermain di sekitar taman menyambut kehadiran Bright sore itu tampak sedikit berantakan.

Bright memilih untuk mengikuti langkah kakinya, kemanapun itu, Bright tidak perduli.

Sampai akhirnya perhatian sang Chef beralih pada dua ekor kucing yang sedang berbaring santai menikmati sore di atas sebuah kursi di tengah taman. As the animal lover he is, ia pun memutuskan untuk bergabung di sana.

“Hey,” suara yang keluar dari belah bibirnya melembut beberapa oktaf. Tiba-tiba hatinya menghangat, hanya dengan melihat kucing yang berbaring dan duduk dengan nyaman, semua beban lelaki itu seolah hilang tanpa sisa.

Bright cepat-cepat membuka resleting tas jinjing miliknya, mengambil sebuah bungkus whiskas kering yang selalu ia bawa kemana-mana. Lantas dengan penuh kehati-hatian, Bright menuangkan banyak butir whiskas di dekat dua kucing itu. Senyumnya kian melebar, terlebih ketika kucing-kucing itu makan dengan begitu lahap.

“Eat well,”

Persetan dengan semua kekusutan yang terjadi dalam hidupnya, pemandangan dimana dua kucing yang menemani sorenya di taman jauh lebih penting dari apapun. Di saat semua butir whiskas sudah habis tak bersisa, Bright mengelus lembut kepala dua kucing itu bergantian.

“Mas Bright, ya?!”

Yes, nyatanya hidup Bright sudah tak lagi bisa bertemu dengan kata tenang.

Dengan malas, Bright menoleh ke arah seberang dan matanya memicing bingung ketika ia dapati seorang pemuda dengan balutan pakaian kasual, sebuah tas ransel tersampir di bahu kirinya, duduk dengan begitu santai sambil menatap ke arahnya.

Seulas senyum pun terukir di wajah yang terlihat begitu ceria, apalagi saat Bright mau membalas melirik kepadanya.

“Maaf, saya nggak kenal kamu.”

Pemuda itu cekikikan kecil mendengar ucapan sinis Bright. Lalu tanpa malu-malu, ia bangkit berdiri dan beranjak menghampiri Bright. Tangan kanannya menjulur bersahabat, “aku Win, adiknya Mas Bank.”

Oh, jadi ini bocah 22 tahun yang beberapa saat lalu menjadi pusat topik pembicaraan antara dirinya dan juga Bank?

Bright melirik tangan Win yang terulur, lantas dengan malas dan sedikit terpaksa ia menyambut uluran tangan itu, “Bright.” sahutnya, cepat.

“Hehehe, aku udah tau. Sering liat di majalah, dan sering diomongin sama Mas Bank kalau lagi makan malam keluarga di rumah.”

Dihadapkan dengan seorang ekstrovert yang tiba-tiba bersikap sok akrab dengan dirinya yang certified introvert, Bright pun dibuat bingung setengah mati.

Apalagi status Win yang merupakan adik kandung Bank, Bright jelas nggak bisa bersikap semaunya pada pemuda itu.

Bright menyudahi acara jabat tangan keduanya, lalu berdehem ringan, “oke, glad to know that.” introvert sih introvert, tapi kalau terlanjur jadi convo killer gini, namanya bunuh diri nggak, sih?

Tapi untungnya, Bright dihadapkan dengan Win yang memang handal menghidupkan suasana. Pemuda berusia 22 tahun itu tiba-tiba berjongkok di samping bangku yang diduduki Bright. Masih dengan senyum lebar yang terlukis di wajahnya, Win turut menyapa dua kucing yang tengah menjilati tangan mereka sendiri.

“Hey, udah kenyang ya kalian? Padahal aku udah bawain dry food yang biasa kalian makan, lho… but it's okay, Mas Bright gave you two delicious foods, right?”

Obrolan antara Win dengan dua kucing yang duduk bersamanya di atas bangku pun sukses menarik perhatian Bright. Lantas masih dengan sepasang alis yang bertaut penuh kuriositas, Bright sedikit menunduk mendekati posisi adik dari sahabatnya itu, “kamu sering dateng kesini?”

Win menengadahkan kepala, membalas tatapan Bright. “Uhm,” kepalanya ikut mengangguk, “aku punya apartemen nggak jauh dari sini. Dan biasanya setiap sore sepulang kuliah, aku mampir buat ngasih makan kucing-kucing di sini.”

“Aku juga sering ngeliat Mas Bright, tapi biasanya nggak berani nyamperin. Jadi aku liatnya dari jauh.”

Such a talkative person, Bright pun mulai bisa santai dengan suasana yang tercipta di antara mereka berdua. “Terus, kenapa sekarang berani nyamperin saya? Bukannya kamu sama teman-teman kamu mau datang ke Tortoise?” tanya Bright.

“Hehehe,” persis seperti Bank, Win sepertinya punya hobby cengengesan lebih dulu baru melanjutkan ucapan, “aku males dengerin temenku marah-marah karna nggak bisa ketemu Mas Bright di Tortoise. Dan karna taman ini one of my safe place, jadi aku cabut kesini, deh.”

“Eh, malah ketemu Mas Bright di sini.” sambung Win, sambil bermain dengan salah satu kucing berwarna putih.

Situasi kembali hening saat Bright tidak juga memberikan respon atas perkataan Win. Merasa penasaran mengapa si lelaki yang lebih tua tidak menjawab, Win pun melirik Bright yang ternyata sedang menatap polos ke arah langit.

“Mas Bright kenapa ada di sini? Kata Mas Bank, Mas Bright izin kerja setengah hari karna lagi nggak enak badan. Are you okay?”

Aduh, dikasih perhatian berlebih seperti ini, Bright jadi semakin mati kutu.

Bright bingung, Win ini… memang tipikal anak yang suka memerhatikan orang lain baik dari tutur katanya yang lembut ataupun afeksi lewat perhatian-perhatian kecil atau, Bright memang sedang diperhatikan secara berlebihan?

Tidak enak hati menggantungkan pertanyaan Win dengan tanda tanya, Bright lantas menyahuti si pemuda, “saya izin setengah hari karna saya nggak mau ketemu kamu dan teman-teman kamu.” tukas si Chef, tanpa basa-basi.

Bukannya merasa tersinggung dengan ucapan jujur Bright barusan, Win malah terkekeh nyaris terbahak-bahak.

“Didn't you know that recently… you're the center of the century?”

Wait, kayaknya Bank nggak pernah cerita kalau adik semata wayangnya itu handal dalam menggoda? Lalu, kenapa sekarang Win seolah-olah sedang bermain-main dengannya?

Enggan terekspos kalau dirinya terkejut bukan main, Bright pun satu kali lagi berdehem, “No.” terlalu singkat untuk dijadikan sanggahan, tapi Bright terlanjur malas berdebat.

Tawa Win lambat laun mereda, “no?”

Bright melipat kedua tangannya di depan dada. Kepalanya mengangguk agak sedikit angkuh, “jangan memuji saya seperti itu. Saya nggak suka.”

“Alright, alright,” si yang lebih muda mengalihkan fokus atensinya dari Bright menuju kucing putih yang tampak asyik menjilati tubuhnya sendiri, “You are the century of my life then.”

Uhukă…ˇ,

Bright nggak mau terlihat grogi, tapi demi Tuhan… Win dan mulut manisnya itu sungguh amat berbahaya bagi kesehatan jantung si Chef ternama.

Kacau jika Win diberi kesempatan untuk meneruskan ucapannya, Bright pun terpaksa harus menyetir arus pembicaraan mereka. “Teman kamu yang sekarang lagi marah-marah di Tortoise itu, dia beneran ngefans sama saya?”

Win mengangguk, “iya, katanya sih udah tergila-gila sejak dia ngeliat profile Mas Bright di majalah Kazz,” sepasang obsidian hazelnya kembali bertukar pandang dengan si lelaki yang lebih tua, “bahkan dia sampai download video promosi Tortoise biar bisa liat Mas Bright setiap hari.”

Ckckck, sudah dibilang, bukan? Menjadi sorotan is really not his thing. Ditambah mendengar jawaban yang terucap dari bibir Win, Bright jadi semakin menyesal sudah pernah menyetujui saran Bank untuk membintangi video promosi restoran mereka.

“Dia beneran ngefans kayak rasa suka fans ke idolanya gitu? Kayak artis-artis Korea, to be exact.”

Satu kali lagi, Win mengangguk. Seuntai deheman pelan ikut menyusul sesaat setelah Win kembali mengalihkan atensinya, “nggak se-fanatik itu, tapi bisa dibilang lumayan jor-joran, sih. Dia beli majalah Kazz yang ada profile dan interview Mas Bright sampai lima puluh eksemplar, lho!”

Win begitu antusias menceritakan soal temannya yang mengidolakan Chef muda itu, sedangkan yang jadi bintang utama justru mulai sakit kepala hanya dengan membayangkannya.

Bright yang kembali bungkam pun membuat Win lagi dan lagi jadi pihak yang mencairkan keheningan, “aku juga suka sama Mas Bright.”

UHUKă…ˇ,

Rasa-rasanya, Bright nggak sanggup untuk berlama-lama tinggal di sana hanya berdua dengan sosok Win, yang kalau mau bicara suka nggak dipikir lebih dulu efek sampingnya.

Namun karena gengsi tinggi yang begitu dijunjung tinggi, Bright pun berusaha untuk tetap stay cool, walau hasrat untuk melarikan diri semakin meningkat pesat.

“Nggak perlu repot-repot suka sama saya, Win. Saya nggak akan bisa balas perasaan apapun yang orang lain kasih buat saya. That's why I shouldn't have done this all in the first place.”

“Kenapa? Bukannya enak ya, kalau disayang sama banyak orang?” arus pembicaraan keduanya semakin menarik menurut Win, dan pemuda itu tidak ingin durasi mereka habis ditelan waktu.

Bright menggelengkan kepalanya, “saya nggak suka jadi pusat perhatian. Saya lebih nyaman hidup sendiri, saya nggak mau diperhatikan secara berlebihan sama orang lain.”

“Tapi, aku suka sama Mas Bright udah lama. Sejak tiga setengah tahun lalu, pas Mas Bright masih sering main ke rumah buat ngobrolin soal bisnis yang sekarang udah jadi dalam bentuk Tortoise sama Mas Bank.”

Kepala Bright semakin terasa ingin meledak mendengar ucapan adik dari sahabatnya itu.

“Cinta monyet itu, Win. Nggak usah lah kamu seriusin.” balas si Chef, terkesan cuek.

Win lagi dan lagi terkekeh, “iya kali ya, cinta monyet… pas aku suka sama Mas Bright dulu, kayaknya bener itu cuma sebatas cinta monyet,” well, Bright yakin Win belum selesai dengan kata-katanya. “Tapi setelah hari ini aku dapet kesempatan buat ngobrol sama Mas Bright, kayaknya aku suka beneran deh, bukan cuma sekedar cinta monyet.”

Oke, sudah cukup. Lantas tanpa perlu repot-repot membalas pernyataan Win barusan, Bright lekas berdiri sambil menggenggam tas jinjingnya.

Win yang melihat Bright tiba-tiba berdiri pun jadi bingung. Mau nggak mau, pemuda itu ikut berdiri, menyamakan posisinya untuk berhadapan dengan si lelaki yang lebih tua.

“Win, dengerin saya,”

Masih santai dan tetap terlihat santai, Win menganggukkan kepalanya sambil bergumam, “Okay, I am all ears, Mas.”

“Kamu itu masih kecil, baru pecah kepala dua, dan usia kita sangat jauh. Saya juga nggak ada keinginan untuk naksir-naksiran macam agenda anak remaja, saya nggak punya waktu untuk itu dan saya harap ini pertemuan terakhir kita, apalagi untuk ngebahas soal rasa suka kamu yang sampai kapanpun nggak akan pernah saya balas.”

Bright menyampaikan isi hatinya dengan begitu santai namun tetap terkesan tegas. Melihat Win yang sama sekali nggak berkutik dan masih bergeming, Bright pun tanpa pamit membalikkan arah tubuhnya dan beranjak meninggalkan taman.

Juga meninggalkan Win yang terlanjur stuck di posisinya.

Nyelekit, sih, rasanya kayak ditolak mentah-mentah padahal belum berdiri di garis start. Tapi yang namanya Win, semakin diberi tantangan, semakin bersemangat.

Ayolah… His name is Win for a reason, right?

. . .

“Maaf, Chef, ada kiriman bunga lagi.”

Serasa dejavu, Bright terpaksa harus menghentikan kegiatannya yang sedang menyusun pastry di dalam etalase kaca. Helaan nafas berat berhembus dari belah bibirnya, namun Chef muda itu tetap membawa dirinya melangkah menghampiri pelayan yang samaă…ˇ yang satu minggu lalu mengantarkan buket bunga mawar putih untuknya.

Bright membersihkan telapak tangannya di sisi apron putih yang menutupi kemeja biru langit yang ia pakai, sebelum dengan malas mengambil alih buket mawar merah dari jangkauan si pelayan.

Bright melirik buket tersebut agak lama, “yang ngirim? Kurir lagi?”

Tidak seperti seminggu yang lalu, kali ini si pelayan menggelengkan kepalanya, “pengirimnya Mas Meta, Chef. Adiknya Pak Bank.”

“Meta?”

Si pelayan mengangguk ringan, “Mas Metawin, yang minggu lalu mampir ke sini bersama teman-temannya. Baru saja Mas Meta nya pamit karna buru-buru harus ke kampus.”

“Kayaknya, gue udah nyuruh dia buat nggak berbuat lebih jauh, deh?!” tapi yang terjadi justru Win semakin mengejar Bright secara terang-terangan.

Bright berdehem sambil mencari catatan kecil yang mungkin saja terselip di dalam buket mawar merah itu. Eh… ada?!! sebuah kartu kecil pun ia temukan nyaris di bagian bawah dekat tangkai yang dikumpulkan menjadi satu dan diikat dengan pita berwarna merah muda.

“Okay, thanks, Lily. Kamu bisa kembali bekerja sekarang.”

Lilyㅡ si pelayan restoran, menundukkan tubuhnya memberi hormat, “kalau begitu, saya permisi, Chef.” lalu beranjak dengan cepat untuk meneruskan pekerjaannya.

Bright, satu kali lagi, menatap jengah buket bunga mawar merah yang dikirim langsung oleh Win. Seketika Bright berpikir, dua buket bunga yang hari Selasa dan Kamis lalu dikirim untuknya, apakah itu juga sebenarnya dari Win?

Hari ini hari Sabtu, Tortoise otomatis dibuat sibuk total. Bright yang seharusnya standby dan berkutat di dapur menemani Chef ke-2ă…ˇ Ggigie, mau nggak mau harus ikut andil mengawasi bagian pastry dan terjun langsung ketika pengunjung menyampaikan keluhan-keluhan minor.

Pekerjaannya jauh lebih penting, jadi Bright dengan cueknya meletakkan buket bunga mawar merah pemberian Win di atas meja di dalam area pastry, lalu dirinya kembali menyibukkan diri dengan kegiatan yang sempat tertunda tadi.

. . .

“Sorry, Chef, ada kiriman bunga lagi.”

Serasa seperti dejavu untuk yang kesekian kali, namun sekarang Bright sukses dibuat jengah.

Obrolan yang sedang ia lakukan bersama Ggigie di depan pintu dapur pun terpaksa harus berhenti. Ggigie terkekeh melihat teman sejawatnya itu memerah, entah karena malu atau justru karena marah.

Lantas sebagai salah seorang ekstrovert yang banyak omong dan easy going, Ggigie pun menggoda Bright, “ambil dong itu, Chef, bunganya… cantik lho itu, eh bunga apa itu mbak Lily?”

Bright yang kepalang jengah namun tak bisa mengelak pun mau nggak mau menerima buket bunga dari tangan Lily.

“Mawar doang.” sahut Bright, sinis.

Lily yang merasa bersalah harus memberikan banyak sekali buket bunga pada sang Chef nyaris setiap hari hanya bisa tersenyum kecil, “eh iya, Chef Gie, itu ada kiriman mawar putih buat Chef Bright.”

Ggigie melirik lebih dekat rangkaian bunga mawar putih nan cantik dan bersih yang ada di dalam dekapan Bright, “Wow, so pretty...”

“Jadi iri nih saya, nggak pernah ada yang terang-terangan ngasih hadiah buket bunga romantis kayak fans-fansnya Chef Bright.”

Lily yang merasa tidak punya kepentingan di sana pun lekas pamit untuk kembali bekerja. Bright belum membalas ucapan penuh godaan dari sang teman sejawat, matanya hanya fokus untuk memandang buket mawar putih yang kali ini ukurannya tidak sebesar buket-buket sebelumnya.

Seperti biasa, Bright akan langsung mencari kartu kecil yang mungkin saja terselip di dalam rangkaian bunga itu. Wow, ada lagi?! Lantas dengan cuek, Bright ambil kartu tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana.

“Gue tuh jadi kayak anak remaja yang lagi ditaksir sama temen sebaya tau nggak sih, Gie.”

Ggigie terkekeh atas ucapan Bright, “masa sih, Chef? Bukannya pengirim bunganya anonim dan bisa aja ganti-ganti nggak, sih? Since you're the center of the century, lately.”

Since you're the center of the century, katanya?!!

Rasanya, Bright pernah mendengar ucapan yang sama persis, tapi Bright tidak ingat kalau Ggigie pernah mengatakannya sebelumnya.

Lelaki berusia 30 tahun berdehem pelan, “awalnya emang selalu anonim, Gie. Karna rata-rata yang ngirim itu emang orang-orang yang ngakunya sih sebagai fans gue. Tapi belakangan ini, gue yakin cuma ada satu orang yang rutin ngirimin bunga ke resto nyaris tiga kali dalam seminggu. And I know it must be him.”

Oh, percakapan ini mulai terdengar menarik di telinga Ggigie. Wanita yang lebih muda 2 tahun dari Bright itu menautkan satu alisnya, “it is a he then?”

Kepala Bright mengangguk singkat, “adeknya bos lo, tuh. Minta ampun deh gue, padahal udah gue suruh buat jauh-jauh karna gue udah di usia yang nggak mau repot-repot mikirin soal pacaran, tapi bukannya kuliah yang bener biar cepet jadi sarjana, itu bocah satu malah sibuk manjain gue dengan bunga-bunga yang ends up gue kasih ke adek sepupu gue yang kerjanya jadi florist.”

“Just so you know, dia nggak cuma ngirimin gue buket bunga, tapi kadang dia juga suka ngirimin gue makan siang dan kopi kesukaan gue.” sambung Bright, yang tanpa sadar sedang menceritakan panjang lebar tentang Win.

Ggigie tertawa melihat Bright yang 'bersemangat' sekali membagi kisah percintaannya, “ended up di adek sepupu Chef yang florist itu lagi nggak, tuh?”

“Nggak lah, kalau itu gue yang nikmatin.”

“HAHAHAHA,” gengsi-gengsi begitu, ternyata Bright tetap tidak mau ketinggalan menikmati haknya. Susah payah Ggigie meredakan tawa, “nggak mau rugi banget ya, Chef...”

“Bukan begitu, gue 'kan emang rada suka telat buat lunch, jadi ya daripada gue harus ribet-ribet keluar resto buat nyari makan, ya gue terima aja lah. Sayang kalau mubazir.”

Dalam hati Ggigie bergumam, “laki gengsinya gede banget apa, ya?” ampun, deh…

Berhubung Sabtu ini Bright harus lembur demi menuntaskan percobaan resep baru dan otomatis ia tidak akan sempat berkunjung ke rumah adik sepupunya untuk sekedar menitipkan bunga, sebuah ide pun melintas dalam benaknya;

“Gie,”

Ggigie dengan cepat menyahut, “yes, Chef?”

“Nih buat lo aja, deh. Gue lembur, nggak bakalan sempet mampir ke tempat adek sepupu gue buat ngasih bunga ini.”

Diberikan bunga secara tiba-tiba, Ggigie pun terkejut dan berusaha untuk menolak secara halus, “Eh, Chef, aduh, jangan deh, Chef. Ini 'kan buat Chef Bright, saya jadi nggak enak...”

Bright yang malas memperpanjang pembicaraan pun langsung menyerahkan buket mawar putih itu pada Ggigie, “ambil ya, Gie,”

“Kok dikasih ke orang lain, sih?!! Aku 'kan beliin itu buat Mas Bright…”

Deg.

Belum sempat buket bunga itu berpindah ke tangan Ggigie, tindakan Bright terpaksa diinterupsi oleh kehadiran suara lain yang tiba-tiba datang menyambangi.

Bright dengan malas membalik arah tubuhnya. Win, dengan balutan busana kasual juga kacamata hitam yang bertengger di wajahnya kini muncul di hadapan sang Chef. Tidak hanya itu, Win justru cukup bertingkah untuk menarik perhatian Bright dengan menaruh dagunya di atas etalase kumpulan pastry.

“The roses are for you, Mas...”

Upsie, Ggigie merasa kehadirannya di sana hanya akan mengganggu keduanya. Alhasil, tanpa mengucapkan pamit, wanita itu langsung beranjak masuk ke dalam dapur, meninggalkan dua insan beda usia yang kini saling berhadapan.

Bright berdecak, “harus berapa kali saya bilang, kalau saya nggak punya waktu buat kamu, Metawin?”

Aduh, rasanya kayak ditolak mentah-mentah lagi, tapi Win belum juga mau menyerah.

“Hm, kalau aku kasih opsi, Mas Bright mau nurutin permintaan aku, nggak?”

Bright berjalan mendekat ke arah Win yang masih memandang ke arahnya dengan posisi wajah yang menempel di atas etalase kaca. Lelaki itu meletakkan buket bunga mawar putih pemberian Win tak jauh dari wajah si pengirim, di bagian atas etalase.

Lalu Bright berdiri tepat di depan si bocah 22 tahun. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana, aura arogannya terpancar secara mutlak.

“Kamu mau bermain-main dengan kesabaran saya?”

Win menggeleng cepat, sambil mengubah posisinya menjadi berdiri tegak, “enggak, kok! Aku cuma mau ngajak Mas Bright malam mingguan. Nonton, yuk? Bills on me, deh!”

“Saya nggak mau. Saya sibuk. Saya nggak ada waktu buat anak kecil kayak kamu.”

Bibir bawah Win melengkung ke bawah, “please deh, aku ini udah dua puluh dua tahun dan aku janji, kalau malam ini Mas Bright mau nerima ajakan malam mingguan dari aku, mulai besok aku nggak akan gangguin Mas Bright lagi.”

Apakah Bright percaya begitu saja?

“Saya nggak percaya. Bocah kayak kamu itu jago membual.”

“Ih, aku serius!!! Kalau malam ini kita bisa jalan-jalan berdua, aku nggak akan gangguin Mas Bright lagi mulai besok. Anggap aja ini pertemuan terakhir kita, ya?”

Well, dari intonasi suaranya, Win terdengar bersungguh-sungguh.

Bright pun menimbang-nimbang, apakah ia harus merelakan agenda lemburnya demi mengikuti kemauan Win atau menolak saja dan tetap berlaku abai.

Tapi sorot sendu yang terpancar dari sepasang mata hazel adik dari sahabatnya itu, mau nggak mau membuat Bright pada akhirnya menganggukkan kepala, “oke.”

Demi terjaminnya keberlangsungan hidup di kemudian hari tanpa gangguan-gangguan yang berasal dari Win, Bright pun menerima ajakan malam mingguan bocah itu.

. . .

“Chef, ada kiriman bunga.”

Kali ini bukan Lily, tapi Bella yang menyerahkan sebuah buket mawar merah yang entah pemberian dari siapa. Bright yang sedang mengecek jumlah pastry di dalam etalase pun mau tidak mau harus meladeni salah satu pegawai Tortoise itu.

“Pengirimnya? Kurir, Bel?”

Bella mengangguk, “iya, Chef, yang ngantar kurir. Untuk Pak Bank, katanya.”

Damn, Bright sudah nyaris tinggi hati karena setelah pertemuan terakhir antara dirinya dengan Win di Sabtu malam tiga minggu lalu, untuk kali pertama secara perdana ia mendapatkan kiriman bunga (lagi). Tapi ternyata, bunga ini untuk Bank.

Lalu dalam hati Bright bergumam, “jadi dia beneran serius sama kata-katanya?” Ya, sejak pertemuan terakhir keduanya, Win sama sekali tidak lagi pernah menampakkan diri di Tortoise. Jangankan untuk singgah bertamu apalagi makan siang, mengirimkan buket bunga dan paket makan siang untuknya saja pun sudah tidak pernah.

“Oke, thanks, Bel, boleh balik kerja ya.”

Setelah kepergian Bella untuk kembali bekerja, Bright pun terdiam menatap buket bunga yang kali ini tidak ditujukan untuknya. Ada sebuah kartu kecil yang terpajang di tengah rangkaian bunga tersebut; Le Madamé Florist, forㅡ Mr. Bank. Terlalu formal, mungkin ini hadiah yang dikirimkan oleh kolega.

Tanpa sadar, Bright pun merasa ada yang kurang. Jika setiap pagi dan siang ia selalu dibuat darah tinggi mendadak dengan kedatangan beberapa pelayan restoran yang memberikannya kiriman barang, maka kali ini… Bright kesepian.

Tidak ada lagi kiriman bunga untuknya.

Tidak ada lagi kiriman makan siang dan kopi untuknya.

Tidak ada lagi nuisance yang mengganggu hidupnya.

Lalu kepala Bright menggeleng cepat, ia lupa, ia tidak punya waktu untuk sekedar memikirkan bocah 22 tahun itu.

. . .

“Chef, ada kiriman undangan.”

Obrolan pagi antara Bright dengan Bank terpaksa harus di-pause sesaat karena kedatangan Randyă…ˇ salah seorang pelayan Tortoise, dengan sebuah undangan di tangan kanannya.

Bank yang penasaran dengan undangan tersebut langsung menimpali ucapan Randy barusan, “buat saya atau buat Bright, Ndy?”

“Kalau dari tulisan yang tertera sih, buat Chef Bright, Pak.”

Lantas dengan mata yang memicing bingung, Bright pun mengulurkan tangan kanannya, “sini, Ndy.” Randy pun tanpa mengulur-ulur waktu langsung memberikan undangan tersebut pada sang Chef, “thanks, Ndy. Boleh balik kerja, ya.”

Sepeninggal Randy, Bright pun menatap bingung amplop undangan tersebut. Menimbang-nimbang siapa pengirimnyaă…ˇ karena tidak tercantum, juga berspekulasi sendiri ada maksud dan tujuan apa dari undangan itu.

EXCLUSIVE INVITATION

“Buka, Bright. Siapa tau penting.”

Bright melirik Bank sesaat, sahabatnya itu dengan santai menenggak kopi susu miliknya dari dalam cangkir.

Lalu tanpa kata, Bright pun mulai membuka amplop tersebut. Amplop berukuran segiempat itu terlihat begitu elegan dengan desain yang cukup mewah. Seuntai pita berwarna merah marun yang menyempurnakan penampilannya pun Bright lepas secara hati-hati.

Di dalamnya ada sebuah kertas, tebal… the invitation.

Tidak, bukan itu yang membuat kaget. Tapi setelah berminggu-minggu berlalu, setelah dibuat terbiasa dengan kekosongan yang ada, hari ini… nama itu datang lagi.

You are invited by Win Metawin to attend a very private celebration on Sunday; 7 PM at The Chaophraya Cruise.

Notes: See you very soon, Chef! :D

“Bank,”

Bank yang diam-diam penasaran dengan kartu undangan yang tiba-tiba mendatangi Bright pun menyahut, “gimana, Bright? Undangan nikah mantan lo, ya?” oh, jelas, ucapan Bank barusan langsung dibalas dengan tatapan jengah sang Chef andalan Tortoise.

“Ck, pacaran aja nggak pernah, gimana mau punya mantan.” jawab Bright.

“Hahaha,” Bank refleks menyikut jahil lengan Bright, “damn, i thought you were joking when you said you've been single since forever.”

Kepala Bright menggeleng sekenanya, “I was not lying. By the way, Bank,”

Yang dipanggil menyahut lagi, “kenapa?”

“Lo sama sekali nggak tau menau soal undangan ini?” Well, bagaimanapun juga Bank adalah kakak kandung Win. Jadi rasanya, Bright perlu bertanya pada sahabatnya itu sebelum curiga lebih lanjut pada undangan yang tidak bisa ia tebak maksud dan tujuannya itu.

“How could I know? Itu undangan jelas-jelas buat lo, gue nggak dikasih ngintip secuil pun. Gimana gue bisa tau?”

Kepalang dibuat bingung dengan situasi, Bright pun cuma bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Tapi ini dari adek lo, Bank.”

“HAH??? METAWIN???” Bright jadi semakin bingung, kayaknya Bank benar-benar nggak tahu menahu soal undangan tiba-tiba ini. “Coba liat, Bright.”

Bright menyerahkan undangan di tangannya pada Bank. Lalu sang Chef dengan seksama memerhatikan temannya yang tampak begitu serius mengamati kertas undangan tersebut.

“Bright,”

Bukannya menyahut dengan kata, Bright hanya menganggukkan kepala pertanda Bank bisa melanjutkan ucapannya.

“Lo ada main sama adek gue? Sejak kapan?”

Ditanya seperti itu, Bright nyaris tersedak air liurnya sendiri. “Ngaco! Gue sama adek lo tuh nggak ada apa-apa, Bank. Gue bahkan udah nyuruh adek lo buat jauh-jauh dari gue, tapi nggak tau deh kenapa hari ini malah ngirimin undangan nggak jelas kayak gitu.”

“Adek gue ada hati sama lo?”

“Iya, kali? Can't blame myself for being this handsome and powerful.” balas Bright, agak sedikit angkuh.

Bank menyipitkan matanya mendengar balasan si Chef, “Can't blame myself for being handsome and powerful, tapi baru melejit dikit namanya udah stress nggak mau jadi sorotan, cih.”

Aduh, aduh, Bank kalau ngomong suka tepat sasaran gitu, ya?!

Tidak punya celah untuk menyangkal ucapan Bank barusan, Bright pun kembali mengukir ekspresi serius di wajahnya, “gue udah bilang ke Win, gue nggak punya waktu buat ngebales perasaan dia karna gue udah di usia yang nggak bisa diajak main-main lagi.”

Oke, Bank mengangguk-anggukkan kepalanya, terlalu memahami kalau Bright memang bukan tipikal orang yang senang mencoba sana-sini untuk menemukan yang tepat.

“Berarti adek gue beneran ada hati sama lo? Dia nembak gitu, Bright?”

Dua bahu Bright terangkat naik, “gue ini nggak pernah pacaran, jadi gue nggak tau gimana tanda-tanda orang yang lagi jatuh cinta but he was once said that he likes me, tapi gue langsung bilang ke dia kalau gue nggak bisa.”

“Nggak bisa kenapa? Lo beneran nggak ada niat sama sekali untuk pacaran? Cari pendamping, gitu? You are a man in your thirty and you are a rich, handsome and mature adult pas banget kayak tipe-tipe calon mertua sedunia.”

Bank mendekatkan kursi yang ia duduki ke arah Bright, “nggak mau nyoba sama adek gue? I can guarantee he's a nice person.”

“Umur gue sama dia jomplang banget, Bank.”

Decakan pelan lolos dari belah bibir Bank, “adek gue ada protes nggak soal umur kalian?”

“Ya enggak sih,” Bright menjeda sebentar kata-katanya, “tapi gue ini nggak pernah pacaran, Bank. Gue nggak tau jobdesk seorang pacar tuh kayak gimana, dan gue juga belum kenal-kenal amat sama adek lo.”

“A method called PDKT sounds great, I guess?”

Aduh, Bright jadi bingung sendiri. “Jawaban lo sama sekali nggak menolong, Bank.”

Bank tertawa. Lagi-lagi lelaki itu tertawa karena ucapan si Chef, “adek gue nggak banyak gaya, kok. You can talk about it with him, anyway.”

“Then come to the place he prepared for you.”

“Make sure you're the most handsome man with tuxedo and hair up on the next Sunday.”

Bright mendesah. Sedikit banyak tidak menyangka kalau ternyata Bank akan memberinya jalan untuk menerima ide gila sang adik.

“Bank,”

“Apalagi???”

“Kalau tiba-tiba lo merasa kosong dan sedikit kangen sama sesuatu yang tiba-tiba hilang, can it counted as the falling in love symptoms?”

. . .

“Sir Bright Vachirawit Chivaaree?”

Langkah kaki Bright tiba-tiba saja berhenti ketika seorang pelayan kapal pesiar dengan balutan seragam hitam dan putih muncul di hadapannya. Bright yang masih sedikit linglung, kenapa kapal pesiar yang ia naiki sepi pengunjung pun hanya bisa mengangguk. Seuntai deheman lolos memecah keheningan, “yes, I am.”

Pelayan itu sontak mengulas senyum di wajahnya, lalu membuat gestur menundukă…ˇ penyambutan singkat.

“Kehadiran Tuan sudah ditunggu sejak tadi oleh Tuan Metawin. Mari ikuti saya, Tuan. Lewat sini,”

Bright yang cuma bisa pasrah pun hanya mengangguk sambil perlahan-lahan mengikuti langkah sang pelayan.

Well, ini adalah kali ke-2 bagi Bright masuk ke dalam kapal pesiar sungai Chao Phraya. Satu tahun lalu, ia pernah menghadiri exclusive dinner bersama jajaran Chef-Chef bintang 5 di Thailand di tempat yang sama. Entahlah, the vibes of the cruise suddenly changed when the thought of the reason he's here crossed his mind.

Ternyata sang pelayan tidak membawanya ke sebuah aula besar yang biasa digunakan untuk acara malam. Langkah kecil kakinya mengarah pada sebuah tangga yang menghubungkan ruangan dalam kapal pesiar dengan bagian luar. Bright, semakin dibuat bingung.

“Sir Metawin is already waiting for you. Come to the left side and find him there.”

Bright bahkan belum sempat membalas ucapan si pelayan, tetapi lelaki berpakaian serba hitam dan putih itu lebih dulu beranjak meninggalkannya di anak tangga terakhir sebelum ia bisa mencapai bagian atasă…ˇ luar kapal.

Semilir angin malam menyambut kehadiran Bright yang finally, mendaratkan ujung sepatu pantofel hitamnya di pelataran kapal. Merasa bingung harus bersikap seperti apa, Bright pun memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana, mencari ketenangan.

Metawin ada di sebelah kiri.

Tidak mau membuang-buang waktu, Bright lekas melangkah ke arah kiri dan hendak mencari keberadaan adik dari sahabatnya itu.

Satu langkah,

Dua langkah,

Tiga langkah,

Dan tepat di langkah ke-9, Bright menemukan Win.

He is there…

Pemuda itu berdiri di pagar besi yang menjadi tepian bagian samping kapal pesiar. Tampilannya tidak lagi seperti bocah berusia 22 tahun yang beberapa minggu lalu impulsif untuk menyatakan perasaannya secara terang-terangan.

Win, surai hitamnya bergoyang sedikit tertiup angin. Tampilan pemuda itu jauh lebih formal, sangat berbanding terbalik dengan busana kasual yang biasa ia pakai setiap berkunjung ke Tortoise.

Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu, his hair down, satu tangannya bertumpu di pagar besi dan yang satunya lagi masuk ke dalam saku celana.

Tidak mau mengelak, he could feel things.

Win yang melihat Bright terdiam sesaat di posisinya pun menganggukkan kepala, seolah sedang memanggil. Bright, kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Begitu Bright berdiri di hadapannya, lagi dan lagi as the 22nd year old man, Win berlaku impulsif dengan menyentuh surai hitam sang Chef bintang lima dengan tangannya. Win merapikan tatanan rambut Bright yang sedikit rusak karena tertiup angin.

Bright, malfungsi total.

“Hahaha,” Win mana bisa menahan tawa menyadari Bright yang tiba-tiba menegang. Lalu dengan mengikuti instingnya, Win menangkup pipi kiri Bright dan mengelusnya lembut, “thank you for coming, Mas Bright…”

Bright, masih malfungsi total. Semua sentuhan Win di atas kulitnya sukses membuat lelaki itu mati gaya. Matanya bahkan tak bisa berpaling sedikitpun dari sepasang obsidian hazel yang kini menatapnya dengan binar bahagia.

“Kenapa kamu agresif sekali?”

Win susah payah meredakan tawanya. Pemuda itu memalingkan atensi, menatap kerlap-kerlip lampu di sisi sungai yang mengiringi perjalanan mereka di atas air.

Sepersekian detik kemudian, Win kembali menatap Bright yang masih memandangnya penuh tanda tanya.

“Ya karna Mas Bright setuju jadi pacar aku, lah?”

Dua alis Bright bertaut bingung, “maksudnya?”

Melihat kebingungan yang tergambar jelas di raut si lelaki yang lebih tua, Win pun melipat kedua tangannya di depan dada. Sepasang mata bulatnya memicing, “Mas Bright nggak baca undangannya secara detail, ya? Terus ngapain dateng kesini kalau undangan dari aku cuma dianggap angin lalu?”

“Pulang aja lah sana!”

Aduh, kayaknya Bright baru sadar kalau dirinya salah mengambil langkah. Untuk meredakan emosi si pemuda, Bright cepat-cepat meraih satu tangan Win untuk digenggam.

“Nggak gitu, Metawin. Sorry, sorry, I didn't fully read your invitation, tapi saya udah di sini sekarang. So, what are we gonna do now?”

Win berdecak pelan, namun penuh penekanan, “percuma lah, aku udah nggak mood.”

Lantas dielusnya punggung tangan Win yang ia genggam dengan lembut, “jelek banget adatnya, sedikit-sedikit ngambek. Kalau orang nggak tau itu, ya kamu kasih tau. Bukan malah dimarahin.”

Dibalas seperti itu, Win ingin menarik tangannya menjauh, tapi Bright lebih dulu menahannya. Genggaman si Chef kian menguat, “saya bercanda, udah coba sini liat ke arah saya.”

Karena dirasa Bright belum paham mengapa sekarang mereka berdua ada di atas kapal pesiar, Win pun tiba-tiba dilingkupi ide cemerlang.

Pemuda itu menatap Bright dalam, tangannya tanpa sadar ikut balik menggenggam tangan Bright di bawah sana.

“Karna Mas Bright nggak baca undanganku dengan serius, sekarang aku mau nembak Mas Bright secara langsung aja.”

Bright jelas semakin dibuat bingung, “gimana, Win?”

Win melangkah satu kali lagi, membawa tubuhnya yang semampai berdiri lebih dekat pada Bright. Satu tangannya yang bebas ia angkat untuk memeluk leher jenjang sang Chef, “aku tau Mas Bright ngeliat aku sebagai anak kecil, tapi aku bisa berubah kalau memang Mas mau. Aku udah dua puluh dua tahun, aku udah bisa tau mana yang aku suka dan mana yang cuma sekedar kagum. I've said it to you Mas, i like you. Aku mau punya hari-hari yang lebih berwarna ketika aku menjalaninya sama kamu. Aku udah masuk tahap suka banget sama Mas, beberapa minggu ini terpaksa jaga jarak malah bikin aku semakin yakin, kalau aku memang mau mengusahakan semuanya sama Mas Bright,”

“Do you want to try? To let your heart open for me?”

Sudah Bright bilang bukan, kalau dirinya amat sangat noob di bidang percintaan seperti ini? Tapi ketika Win menyatakan perasaannya dengan sungguh-sungguh, juga dengan sorot mata sendu yang bagaikan candu, lalu Bright merasa tersiksa nyaris di seluruh tubuh… apakah ia sedang jatuh cinta?

“Win,”

Yang dipanggil menyahut dengan cepat, “hm?”

“Saya nggak ngerti masalah cinta-cintaan kayak begini. Saya nggak pernah punya waktu untuk direpotkan dengan perasaan kayak yang kamu berikan untuk saya. Saya juga udah tua, Win. Usia kita jauh, jauh sekali… Apa kamu nggak mau cari yang lain? Yang mungkin sefrekuensi dari segi hobi dan pemikiran sama kamu?”

Well, dengan lantang Win menggeleng, “nggak mau, aku maunya kamu yang jadi pacarku.”

“Astaga, kamu ini...”

“Hahaha,” Win mendekatkan wajahnya pada Bright, “mau, 'kan? Mau ya… jadi pacar aku...”

Oke, seperti Bright kalah. Akhirnya, lelaki itu berdehem singkat, “ajari saya pelan-pelan, ya?”

“OKEEE!!!” Terlalu bahagia, Win pun melepas genggaman tangan Bright dan menangkup wajah sang Chef dengan kedua telapak tangannya.

“Mau ciuman boleh? Aku ajarin deh!!!”

Damn, pacaran sama anak kecil begini kah rasanya? Bright jadi salah tingkah sendiri…

Namun melihat Win begitu bersemangat, mau tidak mau Bright menganggukkan kepalanya, “bimbing saya, oke?”

“OKEEE!!!”

Bright spontan menutup kedua matanya saat ranum merah muda Win berhasil menyentuh bibirnya. Seolah mengikuti insting, Bright membawa tangannya untuk merengkuh pinggang ramping Win yang malam itu terbalut tuxedo hitam.

Win menciumnya dengan begitu handal. Bibir pemuda itu bergerak lembut namun menekan, mendominasi bibir atas juga bawahnya. Win mengulum dan mengisap bibir bawahnya selama beberapa detik, dan Bright anggap, Win sedang mengajarinya cara berciuman yang benar.

Bright memeluk Win lebih erat lagi, lalu ia balas melumat bibir atas Win persis seperti yang pemuda itu lakukan pada bibirnya.

Diam-diam, Bright tersenyum.

Dan di bawah langit malam sungai Chaophraya, Bright membulatkan tekat; untuk belajar menjadi pacar yang baik bagi seorang Metawin, bocah 22 tahun yang selamanya akan menjadi nuisance dalam hidupnya.

. . .

WRITTEN BY : JEYI.

tags: EXPLICIT; handjob, fingers sucking, lots of kissing, 30% of using dirty local words, kitchen sex, praise!kink, flirty!winnie & dominant!masbie. total words: 2.652 words. the additional scenes for the last “LONELY WINNIE” oneshot

Please read the 1st narration before going straight to this version. You might get confused of the scenes below if you didn't read the version 1.0, thank you.


That's it.

Sorot sayu dan sendu yang terpancar dari sepasang obsidian kecoklatan Winnie, juga genangan air mata yang berkumpul di balik pelupuk, semakin menambah kesan seksi, nakal dan cantik dalam diri sang hybrid.

Kalimat terakhir Winnie, that asked for the big dick, sukses membuat Bright kesusahan menelan salivanya sendiri.

Bright mengambil nafas dalam, lalu menghembusnya secara perlahan. Tak ada satu detik pun ia alihkan pandangan dari sosok yang sudah mengangkang pasrah penuh permohonan.

Rasanya, ribuan kata pujian tak jua mampu menggambarkan sosok Winnie yang terlihat amat sempurna di matanya. Meskipun sudah hampir satu tahun berlalu Winnie hadir dan mewarnai hari-harinya, Bright terkadang masih sering merasa bingung akan eksistensi hybrid tersebut. Tapi tidak apa, Bright masih belajar.

Kehadiran Winnie jelas menjadi hadiah tersendiri yang pernah singgah dalam hidupnya. And he is so grateful for that.

Bright menyentuh dagu si kucing manis, diusapnya lembut bagian tersebut sebelum diangkat sedikit, dan akhirnya Bright memajukan wajahnya untuk kembali memagut ranum mengkilap Winnie dengan mesra. Lelaki itu mengagumi setiap lumatan yang ia berikan pada sang hybrid, pun juga menikmati setiap balasan yang Winnie lakukan di bibirnya.

Cup, Bright menyudahi tautan bibir keduanya dan memberikan sebuah kecupan kecil penuh rasa gemas di bilah bibir Winnie sebelum ia memundurkan wajahnya, menciptakan jarak.

Tangan kanan dan kiri Bright bergerak mengelus sisi tubuh Winnieă…ˇ di lengan kanan dan di paha kiri. Dari jarak yang tidak begitu jauh, Bright mengucapkan seuntai kalimat yang berhasil membuat si hybrid merona malu-malu.

“Winnie wants Mas's kontol? Hm? Where do Mas should give it to Winnie?”

Satu kali lagi, tanpa aba-aba, Bright menggoda lubang senggama Winnie dengan jari telunjuknya, “di sini, kah?”

Lalu tangan kiri Bright naik menyentuh permukaan bibir Winnie yang terbuka kecil, memasukkan sedikit ujung ibu jarinya ke dalam sana, pun juga menekannya lembut, “atau di sini?” Nafas Winnie tercekat, aura dominasi sang tuan mampu membuat seluruh tubuhnya meremang sempurna.

Winnie melirik ibu jari tangan Bright yang menggantung di belah bibirnya. Dengan penuh percaya diri, ia julukan lidahnya keluar untuk menggoda jari sang tuan. Diam-diam, Bright mau mati rasanya menghadapi Winnie yang semakin hari, semakin menunjukkan kelebihannya yang cukup bisa membuat Bright geleng-geleng kepala. This naughty baby is quite good at flirting.

Satu alis Bright bertaut menyambut pergerakan Winnie, “Winnie suka mengulum jari Mas?”

Ah, apa itu mengulum? Winnie bertanya-tanya dalam hati. Dengan polos, ia menyentuh ibu jari tangan Bright dan menariknya menjauh. Sorot penuh nafsu yang awalnya memadati kedua matanya kini berganti dengan binar yang sarat akan tanda tanya.

Sambil menggenggam ibu jari Bright dengan tangan kirinya, Winnie memiringkan kepala, “mengulum itu apa, Masbie?”

“Mengulum ituㅡ” Bright menggantung ucapannya sambil terus menatap lurus pada sang hybrid. Winnie terlihat begitu penasaran, cuping telinganya bergerak naik – turun beberapa kali. Lambat laun Bright menukar posisi ibu jarinya dengan jari telunjuk dan kembali membawanya sampai ke depan bibir si Manis. Diusapnya pelan bagian tersebut, membuat Winnie nyaris hilang fokus. “Winnie membiarkan sesuatu ada di dalam mulut Winnie,”

“Seperti ini,” Bright membelah bibir atas dan bawah si hybrid, lalu melesakkan jari telunjuknya untuk masuk.

“Lalu Winnie sedikit bermain-main dengan sesuatu yang ada di dalam mulut Winnie. Winnie bisa mengisap, menjilat, menggigit atau mengemut benda tersebut. And in this case, Mas's finger is the only thing that could get in to Winnie's mouth,”

“Now, do Mas's finger gently. Suck it.”

Perintah Bright adalah mutlak. Apapun yang diucap oleh sang tuan, adalah sebuah kewajiban.

Lantas Winnie dengan jiwa penurutnya langsung menyentuh jari telunjuk Bright dengan lidahnya, menjilat semua bagian yang bisa ia jangkau, lalu mengisap ujung jari telunjuk sang tuan seraya kepalanya bergerak maju dan mundur sesekali.

Sepertinya kabut birahi sudah kembali menguasai si hybrid. Sorot mata Winnie yang semula sempat dipenuhi dengan rasa penasaran kini sudah berganti dengan sorot yang sarat akan permohonan juga hasrat yang ingin segera dipenuhi. Tatapan sayu dan sendu yang selalu jadi candu bagi Bright, kini terlihat di sepasang mata cantik itu.

Winnie is the prettiest when he's full of lust.

Kepala Winnie masih bergerak maju – mundur – maju – mundur, menikmati jari telunjuk Bright yang sudah basah. Ketika dirasa cukup, Bright menangkup sisi wajah si Manis, dan menarik jarinya keluar. Satu kali lagi, ia hadiahi sebuah pagutan manis di bibir Winnie yang mulai membengkak.

Lalu saling melempar senyum sesaat setelah ciuman mereka berakhir.

“Winnie is really good at it,” dielusnya penuh sayang kedua paha si hybrid, “thank you, cantik.” ucap Bright.

Winnie masih terus memusatkan seluruh atensinya pada sang tuan. Tatapan penuh wibawa dan perintah namun tetap diselimuti kelembutan dan kasih sayang di sepasang mata Bright seolah mengunci segala pergerakan kucing manis itu.

Jari-jari panjang milik Winnie bergerak kecil di bahu Bright, menunggu langkah selanjutnya yang akan diambil oleh sang dominan.

Winnie mengerjap sesaat begitu Bright mengangkat satu kakinya ke atas bahu, di sebelah kanan. Tangan si Manis terpaksa harus menopang bobot tubuhnya sendiri di atas meja, sambil berusaha agar posisinya tidak juga mempersulit sang tuan.

Bright mengendus betis putih miliknya. Winnie mengerang, deru nafas Bright menyapu rata permukaan kulit kakinya. Winnie tak kuasa menggigit bibir bawahnya saat Bright mengikutsertakan lidah di setiap geraknyaă…ˇ ia sedang dijilati, betis kaki kirinya mulai basah dan Bright berhenti tepat di atas anklet emas dengan motif kupu-kupu di pergelangan kaki sang hybrid.

Cup, lembut, manis, juga mesra. Bright mengecup gelang kakinya, berulang kali.

Winnie diam-diam tersenyum melihat tingkah sang tuan. Bright, bisa menjadi sangat liar ketika bercinta tapi juga bisa menjadi sangat lembut dan penuh kasih sayang ketika sedang mempersiapkan dirinya.

Seperti sekarang, kecupan-kecupan sang tuan mulai menyambangi titik-titik sensitif lain di kaki Winnie. Tidak hanya itu, Bright juga mengelus bagian yang tidak terjangkau oleh bibirnya. Mengusahakan agar Winnie tetap dalam keadaan tenang dan nyaman.

“So pretty… so pretty…” Bright bergumam pelan seraya bibirnya terus membubuhi kecupan demi kecupan di kaki si hybrid.

Mmmhhh, susah payah Winnie menahan desahannya. Setiap kecupan yang diberikan Bright nyatanya mampu membuat kucing manis itu merinding bukan main. Bright dan bibirnya, adalah kelemahan terbesar Winnie.

Setelah puas memanjakan tungkai jenjang Winnie, Bright kembali menegakkan tubuhnya. Keduanya berjumpa dalam tatap, kecantikan Winnie tak urung membuat lelaki itu berhenti menggerakkan telapak tangannya mengelus paha dalam si hybrid.

“Where do Winnie want to get fucked by Mas, hm?”

Yang ditanya tampak berpikir sebentar.

Winnie, saat sedang bingung atau sedang berpikir, pasti tanpa sadar akan mengerucutkan bibirnya. Hal tersebut membuat Bright diam-diam mengulum senyum, lalu satu kali lagi ia mengendus dan mencium kaki Winnie dengan gemas.

Dengan jahil, hybrid itu menggoyangkan kakinya yang sedang berpangku di atas bahu Bright, “uhm, di sini?”

“Winnie yakin? Tidak akan sakit duduk di atas meja seperti ini?”

Winnie berdehem ringan, “it is fine, Masbie. Masbie bisa memasuki Winnie sambil berdiri, lalu Winnie akan duduk mengangkang seperti ini.” Dan dalam satu gerakan, Winnie menarik kakinya dari bahu Bright dan berusaha mengatur posisi duduknya untuk mengangkangi sang tuan dengan benar.

Winnie mengangkat kemeja putih milik Bright yang dipakainya, membiarkan perut dan dadanya ikut terekspos di hadapan si lelaki dominan. Bright mengangguk, kemudian berdehem menyahuti jawaban si Manis, “okay, tapi kalau Winnie merasa sakit atau lelah, Winnie bisa mengatakannya pada Masbie, ya?”

“Okay, Masbie!”

Lalu tanpa mengulur-ulur waktu, Bright meraih kejantanannya yang masih berdiri dengan begitu tangguh. Bright mengocok kejantanannya sepelan mungkin, berusaha memancing Winnie yang lagi dan lagi harus menahan malu juga rona merah di pipi.

“M-masbie,”

Bright bergumam, “yes, pretty?”

“Boleh kah Winnie saja yang mengocok penis Masbie?”

Bright tidak langsung menyahut, ia malah mempercepat tempo kocokannya, “that's not how Winnie is supposed to say when Winnie asks for Mas's dick.”

Upsie, Winnie lupa… Lantas dengan malu-malu, Winnie kembali membuka bibirnya dan berujar, “Masbie,”

“Iya, sayang?”

“Boleh kah Winnie saja yang mengocok kontol besar Masbie? Winnie mau menyentuh kontol Masbie, mau bermain-main dengan kontol Masbie, mau meremas kontol Masbie, mauㅡ”

Belum sempat Winnie menyelesaikan ucapannya, Bright yang sudah kepalang gila dengan kata-kata sang hybrid pun langsung meraih bibir merah mudah favorit-nya itu, membuat Winnie terpaksa harus menelan bulat-bulat seluruh perkataannya.

Bright memagut bibirnya agak tergesa-gesa, mengulum dan mengisap bibir atas Winnie dengan terburu-buru. Puas membuat Winnie lupa dengan ucapannya barusan, Bright menahan bibir bawah Winnie di dalam bibirnyaă…ˇ di antara deretan gigi atas dan juga bawah miliknya, to be exact.

Cup, cup, cup, Winnie terkekeh geli merespon kecupan bertubi-tubi yang Bright berikan. Masbie is always whipped for kissing…

“Boleh 'kan, Masbie?”

Bright berpura-pura tampak sedang berpikir. Well, mana mungkin lelaki itu bilang 'tidak' pada sang hybrid?

“Oke, boleh, butㅡ” Winnie yang baru saja akan menyentuh batang kemaluan Bright langsung menatap sang tuan dengan ekspresi kesal ketika ia dengar ada kata 'but' di ujung kalimat yang diucap Bright.

“But Mas needs to get the lubricant first.”

Ah, no… Winnie jadi harus menunggu… tapi mengingat kebiasaan Bright yang selalu menggunakan cairan lubrikasi sebelum menyetubuhinya pun, mau tidak mau Winnie menganggukkan kepala.

Bright mengusap sayang surai tebal dan pipi kanan Winnie, “you wait here.”

“Jangan terlalu lama, Masbie…”

Ah, lucunya, Bright jadi semakin gemas karena Winnie sudah tidak sabaran. “And do not touch yourself while Mas is away, okay?”

NOOOOO, Masbie…

Bright pun mulai menjauh dari pandangan si hybrid. Winnie menatap kejantanannya yang berdiri tegak tanpa bisa disentuh di sela-sela pahanya. Bibir bawahnya mengerucut, ketika ia lihat kepala kejantanannya berdenyut meminta perhatian.

Both his legs are still widely opened. Tangan kanan dan kirinya juga masih bertumpu di atas meja dapur, masih dengan kuat menahan bobot tubuhnya yang sejak tadi berada di bawah kuasa dominasi Bright.

Tidak butuh waktu lama, sang tuan pun kembali dengan sebotol lubricant di tangan kirinya. Celana bahan yang sebelumnya dipakai Bright pun sudah tidak ada. Lelaki itu melangkah kembali menuju dapur dengan tubuh yang sudah polos, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi.

Winnie merenggut saat kejantanannya bergerak kecil penuh antusias menyambut kehadiran Bright. Ingin sekali menenangkan si adik kecil, tapi sang dominan sama sekali tidak memberikannya izin.

Sekarang Bright sudah kembali masuk ke tengah-tengah kaki Winnie yang terbuka lebar. Bright menuangkan sebagian isi dari botol lubrikasi yang dibawanya ke telapak tangan kiri Winnie, “do Mas gently, okay.”

Winnie yang paham akan maksud dari ucapan sang tuan pun langsung menangkup batang kemaluan Bright dengan tangan kirinya yang sudah diberi cairan lubrikasi. Winnie dengan perlahan-lahan melumuri kejantanan Bright dengan cairan itu, mengusahakan agar seluruh bagian properti Masbie-nya terlapisi dengan sempurna.

Winnie bablas menaik-turunkan telapak tangannya di sana. Ia dengan penuh antusias mengocok, pun juga mengurut kejantanan Bright yang semakin detik berlalu, semakin mengeras.

Bright yang tahu kalau Winnie semakin menginginkannya pun mendesah, tepat di depan wajah si hybrid yang sedang berkonsentrasi, “such a naughty baby.”

Winnie tidak menyahut, ia justru semakin bersemangat mengocok kejantanan Bright yang kian berdiri tangguh. Jari-jarinya dengan apik menangkup dua bola kembar yang menggantung di pangkal kejantanan sang tuan, meremasnya kuat hingga membuat sang empunya mengerang berat.

“Ahhhh,” desahan Bright, adalah melodi yang indah bagi Winnie. Semakin Bright mendesah, semakin Winnie aktif bergerak memuaskan kejantanannya.

“Okay, stop,” ujar Bright, dan Winnie langsung menurut. Kedua sudut bibirnya diam-diam terangkat melihat kejantanan Bright yang kian membesar dan berkedut lucu.

Lalu dalam hitungan detik, Bright membawa kedua tungkai Winnie untuk melingkar di pinggangnya. Bright, satu kali lagi, mengocok kejantanannya sendiri. Setelah dirasa Winnie sudah siap, Bright pun memposisikan batang kejantanannya tepat di depan lingkar cincin lubang senggama si Manis.

“Kalau Winnie merasa sakit, bilang pada Mas, okay?”

Winnie mengangguk, “o-okay...”

Bright perlahan-lahan melesakkan batang kejantanannya masuk ke dalam lubang Winnie. Di detik-detik pertama, Bright beberapa kali menghentikan gerakannya karena Winnie terlihat tidak nyaman.

“It is okay, Mas will do it slowly,” Bright turut mengelus pinggang polos Winnie untuk menyalurkan rasa tenang.

Sedikit demi sedikit, batang kejantanan Bright mulai menembus dinding rektumnya. Winnie mati-matian menggigit bibir bawahnya agar tidak mendesah pun juga menjerit kesakitan.

Bright, berulang kali, menggumamkan “it is okay, it is okay, it is okay, Winnie,”

“Ahhh,” Bright berhasil menembus masuk dan langsung menemukan prostatnya. Winnie mendesah, Masbie-nya mulai bergerak maju dan mundur, ia sangat merindukan Masbie-nya…

Bright menghujam lubang senggama Winnie perlahan-lahan. Dua tangannya masih senantiasa mengelus pinggang dan paha sang hybrid. Winnie yang semakin dikuasai gairah pun tak mampu berbuat banyak selain mendesah, mendesah dan mendesah.

Nafasnya mulai terengah-engah, lagi. Kepalanya terhempas ke belakang, hujaman Bright terlalu nikmat.

Tubuhnya terhentak-hentak mengikuti irama genjotan Bright yang kian cepat.

“Mmmhh, M-masbie,”

Bright terus-menerus menghujamnya, melampiaskan rindu yang tertahan pada si Manis lewat setiap gerakannya.

Melihat Winnie yang tak berhenti mendesah, juga wajahnya yang mulai basah oleh peluh dan diselimuti ekspresi keenakan, membuat Bright tidak tahan untuk kembali menangkup wajah si hybrid dan memagut bibirnya.

Selain sorot mata sayu dan candu, Bright juga candu pada ranum merah muda kucing manis itu.

Bright berulang kali menumbuk titik pusat Winnie, membuat si Manis harus bablas mendesah di sela-sela ciuman keduanya.

Cup, satu kecupan Bright berikan di sudut bibir kiri Winnie, lalu dirinya kembali fokus untuk menggenjot, menghujam, dan membelah lubang senggama Winnie dengan mutlak.

“Winnie can touch yourself now,”

“Ahhh, thank you Masbie, mmmhhㅡ” sambil membiarkan tubuhnya terhentak-hentak di atas meja dapur, Winnie turut mencari kepuasan pada kejantanannya.

Hybrid manis itu mengocok adik kecilnya dengan pelan, terlalu mudah terdistraksi dengan hujaman Bright dan terlalu menikmati setiap tumbukan yang ia dapat di pusat tubuhnya.

“Winnie, do Winnie like how kontol Mas destroy Winnie's hole? Aaahhh,”

Winnie mengulum bibir bawahnya sebentar, “y-yes,” katanya.

“Yes what, hm?”

Masih sambil mengocok kejantanannya sendiri, Winnie dengan susah payah berusaha menjawab pertanyaan sang tuan, “W-winnie suka sekali, M-masbie… *Winnie likes how Masbie's kontol destroy Winnie's hole.”

“Ahhh, sayang,” Bright semakin menghujam dengan kuat, cepat.

Winnie yang semakin keteteran dengan segala stimulan yang didapat pun memilih untuk berhenti mengocok penisnya dan memeluk leher jenjang Bright.

“Winnie is so close, mmmmhㅡ” Winnie menjatuhkan kepalanya di bahu kanan Bright, “bolehkah Winnie mendapatkan orgasme, Masbie?”

Bright berdehem pelan, “boleh,” tubuh Winnie semakin terhentak kuat ketika Bright memperdalam hujamannya, “tapi bareng sama Mas, ya? *Mas is about to come too,”

“Aaaah, Masbieㅡ”

Butuh sekitar lima kali hujaman lagi, Winnie pun menjemput putihnya. Tubuhnya lemas, nafasnya terengah-engah seraya cairan putih mulai keluar dari lubang penisnya dan membanjiri batang kemaluan serta perutnya.

Bright masih bergerak kecil, lelaki itu belum keluar, masih memberi waktu bagi Winnie untuk menikmati pasca orgasmenya.

“Masbie can move again,”

“You sure?” tanya Bright.

Winnie mengangguk, “yes, Winnie is ready,”

Dan Bright kembali menghujam lubang senggama Winnie dengan cepat. Tidak sekuat sebelumnya, tapi hanya butuh sekitar lima hujaman, Bright akhirnya menjemput putihnya.

Bright keluar di dalam Winnie.

Cairannya memenuhi lubang sang hybrid.

Winnie merengkuh tubuh tegap Bright untuk dipeluk, lalu tangan halusnya bergerak mengelus punggung telanjang sang tuan.

“Thank you, Masbie. Winnie is so happy...”

Bright menyahuti ucapan Winnie dengan sebuah deheman, bibirnya mulai sibuk menjamah perpotongan leher Winnie dengan kecupan-kecupan ringan, “thank you for being a good boy while Mas is away, sayang.”

Bright mengelus surai Winnie lembut, “Winnie tidak bertengkar dengan June selama Mas pergi ke luar kota?”

“Tidak, Masbie. Winnie selalu menurut pada June, dan June membelikan Winnie es krim stroberi, hehehe.”

Satu kali lagi, Bright mengecup leher Winnie, “Mas is done with my own orgasm, now let's clean up all the mess we made here.”

Bright melepas pelukan keduanya perlahan-lahan. Lalu dengan penuh kehati-hatian, lelaki itu menarik keluar kejantanannya dari dalam lubang senggama Winnie.

Bright juga menurunkan kedua kaki Winnie, membuat hybrid manis itu duduk dengan posisi sempurna di atas meja.

Terverifikasi sebagai budak ciuman, Bright pun lagi dan lagi membawa Winnie ke dalam sebuah ciuman panjang. Ia memagut mesra bibir atas dan bawah Winnie bergantian, seraya tangannya mengelus paha Winnie dengan penuh sayang.

Cup, sebagai penutup, Bright memberikan sebuah kecupan di pipi kiri Winnie.

Lalu tanpa kata, lelaki itu beranjak menuju meja makan dan mengambil banyak tissue dari sana.

“Mas bersihin kamu sebentar, habis itu kita mandi. And, what do Winnie want to eat tonight? Pizza? Chicken?”

“CHICKEEEEEN!!! WINNIE WANTS CHICKEN!!!”

. . .

JEYI // 210531.

“It's been two days… and Winnie is going crazy...”

Satu tangan si kucing manis bertumpu di sisi wastafel, sedangkan satu tangannya yang lain mulai bergerak memompa dada sebelah kanan. Tubuh semampai berkulit putih bak porselen milik Winnie sesekali menunduk menahan sensasi yang tercipta, desahan berat turut tertahan di ujung lidah, tidak tuntas ketika akan diucap.

Winnie meremas dada kanannya lagi, kali ini lebih kuat, “Where is Masbie's touch that Winnie deserves...”

Dua hari tanpa Bright, nyatanya mampu membuat Winnie menggila dengan ilusi yang terasa begitu nyata.

tags: EXPLICIT; *solo masturbating, fingering, handjob, chest play, kissing, licking, flirting, 30% of using dirty words, kitchen sexㅡ praise!kink 🔞 total words: 3.333 words.


Cahaya matahari yang menembus lewat celah jendela memaksa sesosok human animal untuk mengerjapkan kelopak matanya. Samar-samar Winnie membuka sepasang matanya yang terpejam, berusaha keras untuk beradaptasi dengan sinar yang masuk ke dalam kamar.

Huhhh, seuntai helaan nafas panjang terhembus dari belah bibir si kucing manis. Winnie menoleh ke sisi kiri ranjang hanya untuk bertemu kekosongan di sana.

Tidak ada Masbie-nya. Tidak ada sosok seorang lelaki muda yang biasanya akan selalu bablas tidur sampai jam 11 ketika libur.

Tidak ada Bright, sang tuan. Semua kesepian yang menyambut paginya sudah terjadi kurang lebih selama dua hari. Bright, sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota and what's worse is… Winnie tidak bisa ikut menemani.

Seperti hari kemarin, Winnie lagi dan lagi harus membuat sarapan dan menikmati menu paginya seorang diri. Sekarang sudah pukul 8 pagi, June pasti sudah berangkat kuliah.

“Sendiri lagi… uhng,”

Mau tidak mau, Winnie pun menyibak selimut tebal yang menutupi tubuhnya sampai ke batas bahu. Rasa dingin langsung menyapu permukaan kulit sang hybrid yang ternyata… full naked, tanpa sehelai benang.

Sepasang mata Winnie membelalak kaget, rona merah mulai memenuhi pipi berisinya yang seperti buah persik dan seketika rentetan ingatan akan kejadian semalam melintas dalam benak si kucing manis.

Malu-malu, Winnie menggigit kecil bibir bawahnya, kelopak matanya ikut menutup tergesa-gesa, ia memejam.

“Malu, malu, malu,” Winnie menggerakkan kedua kakinya agak brutal dari balik selimut. Nafasnya mulai memburu di kala potongan-potongan aktivitas tidak senonoh yang semalam ia lakukan, kembali berputar dengan jelas.

Winnie deg-degan. Deg-degan sekali… Hybrid itu seolah baru memperoleh warasnya kembali. Seketika pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Winnie telanjang? Kenapa Winnie merasa lengket sekali? Kenapa Paha dalam Winnie basah? Kenapa adik kecil Winnie berdiri tegak?” mulai memenuhi kepalanya.

Winnie lupa apa namanya, Masbie pernah bilang tapi Winnie kesulitan untuk mengingat. Satu hal yang ia tahu, semalam dirinya melakukan pelepasan seorang diri. Hanya dengan membayangkan sosok Bright yang bergerak lembut menghentak di dalamnya, sambil melirihkan ucapan-ucapan penuh godaan, Winnie bisa menjemput putihnya.

“M-mas… mastrubasi? maturbasi? M-mas… masturbasi? Ah, susah sekali… Winnie tidak tahu.” Winnie jadi pusing sendiri.

Bright terbiasa tidur sambil memeluk tubuhnya. Sang tuan juga terkadang suka mengusap-usap perut dan pinggangnya, sesekali Bright akan membawa tangannya bergerak naik dan turun di permukaan kulit perut dan dada milik si hybrid, dan Winnie… dua hari ini… begitu merindukan sentuhan Masbie-nya.

Bibir bawah Winnie mengerucut lucu, “Winnie rindu sekali pada Masbie…” kucing manis itu merenggut sedih, absennya eksistensi sang tuan benar-benar membuat manusia kucing itu kesepian.

Winnie menepuk-nepuk sisi ranjang yang kosong, seakan-akan memperjelas ketiadaan figur yang dirindukan.

Lalu perlahan-lahan Winnie bangkit dari posisi tidurnya. Telapak kakinya menyentuh permukaan lantai, seolah sudah jadi kebiasaan, Winnie menggoyang-goyangkan kakinya agar anklet yang menghiasi pergelangan kakinya bisa menciptakan bunyi gemerincing yang lucu. Tring… tring… tring…

Hanya dengan mendengar suara itu, sudut bibir merah muda Winnie terangkat mengulas sebuah senyum tipis. Cuping telinganya yang lancip ikut bergerak penuh antusias.

Winnie memandang gelang kakinya satu kali lagi. Satu kata, cantik.

Puas dengan rutinitas pagi yang tak bisa ditinggal begitu saja, Winnie beranjak meninggalkan ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Tubuh polosnya memasuki ruangan lembab yang berukuran cukup besar, melebihi ukuran kamar mandi di unit apartemen milik Bright sebelumnya.

Winnie berhenti tepat di depan wastafel berbahan dasar batu marmer. Di hadapannya terpampang sebuah cermin besar yang memantulkan tubuh tingginya.

Winnie terdiam sesaat, matanya menyipit kala ia mendapati sebuah bekas keunguan yang mulai pudar tepat di dekat tulang selangkanya.

It's Masbie's kiss mark. Winnie semakin merindukan tuannya…

Kran air mulai menyala. Suara air yang mengalir sukses mengisi kekosongan si hybrid yang mulai membasuh wajahnya. Winnie mengambil sabun cuci muka, lalu mengoles cairan nan harum itu untuk memenuhi seluruh titik di wajahnya.

Seperti yang diajarkan Bright, Winnie membersihkan wajahnya mulai dari pipi kanan dan kiri, hidung, pelipis, dahi, jarak antara bibir dan hidung, dagu, bawah dagu, leher dan juga telinga. Ketika dirasa semua bagian sudah disapu oleh cairan sabun, Winnie segera mengguyur busa yang tercipta dengan air.

Sempurna. Kucing manis itu terlihat cantik dengan kedua pipi berisi yang merona.

Selesai dengan urusan wajah, Winnie meraih sikat gigi berwarna hijau miliknya. Sama seperti apa yang diajarkan sang tuan, Winnie pun membasuh sikat giginya terlebih dulu sebelum ia menuangkan pasta gigi di atasnya.

Tidak butuh waktu lama, Winnie pun membuang busa dan sisa pasta gigi dari mulutnya di wastafel, lalu berkumur-kumur dengan cepat.

Kali ini, si hybrid menundukkan kepalanya. Nafasnya berhembus dengan berat begitu ia lihat adik kecil yang menggantung di sela-sela kakinya sudah lemas dengan sisa cairan yang mulai mengering.

Lagi dan lagi seperti yang diajarkan Bright dan sebagainya sang tuan biasa melakukannya, Winnie meraih tissue gulung yang ada di sisi wastafel lalu mengambil beberapa helai dari sana.

Perlahan namun pasti, Winnie mulai membasuh kemaluannya dengan lembut. Mulai dari lubang yang agak menutup di bagian ujung, kepala, batang hingga ke dua buah bola kembar di sisi kanan dan kiri batang kemaluannya.

Winnie terus mengulangi aksinya itu beberapa kali, memastikan kejantanannya kering dan bersih, sambil sesekali mendesah atas pergerakan yang ia lakukan sendiri.

Biasanya, Bright yang akan membersihkan seluruh tubuhnya setelah mereka selesai bercinta. Sang tuan akan dengan lembut dan penuh kehati-hatian menyapukan tissue di beberapa titik yang terkena noda cairan putih. Bright juga akan dengan senang hati menciumi titik-titik tersebut setelah kering dan bersih, bahkan lelaki itu juga tak malu-malu untuk menggoda sang hybrid dengan gigitan-gigitan kecil yang sukses membuat si Manis terkekeh geli.

Just by thinking of how gentle his master did him after sex, Winnie got goosebumps all over his body.

Semakin ingin disentuh dan dicintai oleh Bright di waktu yang bersamaan.

“It's been two days… and Winnie is going crazy...” ah, gila… Winnie bisa gila…

Satu tangan si kucing manis bertumpu di sisi wastafel, sedangkan satu tangannya yang lain mulai bergerak memompa dada sebelah kanan. Tubuh semampai berkulit putih bak porselen milik Winnie sesekali menunduk menahan sensasi yang tercipta, desahan berat turut tertahan di ujung lidah, tidak tuntas ketika akan diucap.

Winnie meremas dada kanannya lagi, kali ini lebih kuat, “Where is Masbie's touch that Winnie deserves...”

Dua hari tanpa Bright, nyatanya mampu membuat Winnie menggila dengan ilusi yang terasa begitu nyata.

Lalu dalam hitungan detik, pergerakan si Manis berhenti.

Kepala Winnie menggeleng beberapa kali. Hybrid itu berusaha menghilangkan segala pemikiran kotornya kalau tidak mau si adik kembali berdiri dan berujung kerja sendiri, seperti semalam.

Kemudian Winnie turut membersihkan selangkangannya, paha dalam dan beberapa bagian tubuhnya sampai dirasa tak ada lagi bekas yang tertinggal.

Setelah membuang lembaran tissue terakhir ke tempat sampah, Winnie beranjak menuju bathtub dan mengisi bak tersebut dengan air hangat. Begitu terisi cukup penuh, Winnie menumpahkan sedikit cairan sabun ke dalam genangan air dan masuk ke dalam sana.

Biasanya, sang tuan akan memeluknya dari belakang ketika berendam air hangat. Bright akan dengan semangat dan perlahan-lahan menggosok setiap sisi tubuhnya sampai bersih, lalu seperti biasa… akan ada beberapa kecupan yang dibubuhi di bahu maupun tengkuk dan telinga si hybrid.

Winnie rasanya mau gila. Setiap kegiatan yang ia lakukan hanya akan membuat kucing manis itu teringat pada sosok sang majikan yang entah kapan akan pulang ke rumah. Masbie-nya tidak bilang apa-apa, jadi Winnie tidak bisa mempersiapkan diri.

Padahal, Winnie ingin sekali memasakkan makanan kesukaan Bright untuk menyambut kepulangan lelaki itu. Tapi ya sudahlah, Winnie hanya bisa menunggu… sampai harinya tiba.

. . .

Winnie rasa, ia benar-benar sudah gila. Terlalu banyak memikirkan sang tuan, Winnie sampai tidak sadar kalau sekarang ia hanya berbusana tipisă…ˇ mengenakan kemeja putih milik Bright, yang besarnya sampai menutupi setengah paha.

Pergerakan sendok teh yang berputar di dalam gelas terhenti begitu saja. Winnie menatap dirinya sendiri yang terlihat begitu mungil, tenggelam dalam kemeja kebesaran milik Bright. Winnie mengangkat tangan kirinya, bahkan jari-jemarinya saja ikut tenggelam di balik lengan kemeja itu.

Terlalu besar, Winnie jadi berpikir mengapa ia sama sekali tidak sadar kalau ia memilih kemeja milik Bright untuk dipakai.

Tidak mau menyangkal perasaannya, sang hybrid lantas berujar, “Winnie is missing Masbie a little too much...”

Tampaknya, Winnie sudah sangat terbiasa dengan eksistensi Bright di sisinya.

Winnie kembali mengaduk susu coklatnya di dalam sebuah mug berwarna hijau tosca. Biasanya akan ada 3 mug yang berdiri sejajar di atas meja, milik Masbie yang berwarna putih, milik June yang berwarna merah muda dan miliknya sendiri yang berwarna hijau tosca. Tapi kali ini, hanya ada mug miliknya yang berdiri di sana.

“June sudah sarapan belum ya...”

Ting, Winnie mengetuk ujung sendoknya di permukaan mug lalu menenggak isinya sedikit demi sedikit.

“Kasihan June, belakangan ini June harus berangkat lebih pagi untuk kuliah karna tidak ada Masbie yang mengantar dan mobil milik June masih di bengkel…”

Matanya melirik ke arah meja makan dan mendapati beberapa buah di sana. Ada pisang, apel, strawberry dan anggur yang tersusun rapi di atas sebuah keranjang besi. “Pasti June hanya sempat memakan beberapa buah untuk sarapan...” ucap Winnie, di dalam hati.

Hybrid itu tampak berpikir sejenak. Sepasang obsidian kecoklatannya masih menatap lurus pada jejeran buah-buahan itu. Then beberapa detik kemudian, ujung bibirnya terangkat membentuk seulas senyum tipis.

“Winnie akan membuatkan jus buah untuk June nanti siang, ah! June pasti suka...”

Setelah mendapatkan ide cemerlang untuk menyenangkan hati June nanti siang, Winnie pun kembali memutar arah tubuhnya menghadap ke meja dapur. Winnie mengangkat kembali mug hijau tosca di tangannya, lalu menenggak sisa susu cokelat di sana lamat-lamat.

Ketika merasa senang akan sesuatu, Winnie secara spontan akan menutup matanya. Karena susu cokelat adalah salah satu minuman kesukaan Winnie, sang hybrid pun memejamkan mata sambil terus menikmati cairan yang menembus rongga mulutnya.

Terlalu senang, terlalu menikmati, sampai-sampai kucing manis itu nyaris menyemprotkan isi di dalam mulutnya ketika ada sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

Dua mata Winnie membelalak, jantungnya berdegup dengan begitu kencang.

Ia tidak berani bergerak, terlalu takut dan juga terkejut. Pun juga tidak berani menebak-nebak, siapa yang saat ini sedang memeluknya dari belakang.

Winnie menggeser mug miliknya, dan pergerakan yang tak sengaja menghasilkan bunyi gesekan itu tentu mengundang perhatian sosok di belakangnya.

Deru nafas hangat mulai menyapu perpotongan leher si manusia kucing. Cup, bahkan ketika sebuah kecupan mampir di pipinya pun, Winnie belum berani untuk bergerak.

“Sayang, kok Mas pulang nggak disambut, hm?”

Jantung Winnie semakin berdegup cepat. Suara itu… suara berat dari seseorang yang amat sangat dirindukannya. Lantas tanpa pikir panjang, Winnie menoleh ke belakang.

“MASBIEEE!!!”

Itu Bright. Masbie-nya sudah kembali pulang ke rumah.

Bright terkekeh melihat raut bahagia dan binar antusias di sepasang mata sang hybrid. Satu kali lagi, Bright mencuri satu kecupan dari si Manis. Kali ini, ranum merah muda Winnie yang dihiasi sisa susu cokelat menjadi target utama Bright.

Bright mencium Winnie begitu dalam, menyalurkan rindu yang tertahan selama dua hari lamanya.

Tanpa mengurangi intensitas ciuman keduanya, Bright perlahan-lahan mengangkat tubuh Winnie untuk duduk di atas meja dapur. Srtttt, dan tanpa sengaja menyenggol mug milik sang hybrid yang semakin bergeser jauh.

Bright memagut bibir Winnie penuh perasaan. Memberi kepuasan lewat lumatan dan hisapan yang ia hadiahkan di bibir bawah kucing manis itu.

Tangan kiri Bright bertumpu di sisi kanan tubuh Winnie, dan tangan kanannya bertumpu di sebelah kiri. Bright mengunci tubuh Winnie dengan dominasi yang ia bangun di sela-sela ciuman keduanya. Bright memajukan tubuhnya ketika ia mengulum bibir sang hybrid lebih dalam lagi, si empunya tubuh sampai harus mundur beberapa kali, terdorong oleh tenaga sang tuan.

Bagaikan sebuah insting, Winnie mengangkat kedua tangannya untuk mengalung di leher jenjang Bright. Jari-jari panjangnya yang semalam sibuk membelah lubang senggamanya seorang diri, kini mengusap lembut tengkuk dan cuping telinga si majikan. Telapak tangan yang semalam aktif bergerak naik dan turun mengocok kemaluannya seorang diri, kini meremat kuat surai hitam sang tuan. Menariknya pelan guna melampiaskan nikmat yang didapat. Ahhhh, desahan pun tak lagi mampu disembunyikan, Winnie mendesah tepat di depan bibir Bright.

Kesempatan itu tentu langsung dimanfaatkan oleh si lelaki yang lebih tua untuk melesakkan lidahnya masuk ke dalam rongga mulut sang hybrid. Winnie meremang sebadan-badan, tubuhnya mulai bergerak gelisah ketika telapak tangan sang tuan mulai menyapa kulit halusnya dari balik kemeja.

Winnie pasrah, menyerah pada kuasa dominasi Bright di kala lidahnya kini dikulum dengan begitu cepat. Pelukannya di leher jenjang Bright semakin erat, ujung ibu jari sang majikan kini bermain liar di dadanya.

“Mmhhh,” semakin dalam, semakin menggila. Bright mulai membawa lidahnya untuk menyapu seluruh isi mulut si kucing manis. Dinding mulut, langit-langit juga deretan gigi rapi Winnie pun tak luput dari sapuan lidah sang dominan.

Bright membawa bibirnya untuk mengecup sudut bibir Winnie. Kemudian turun menuju tulang rahang, bawah dagu dan berhenti tepat di jakun sang hybrid yang bergerak naik turun.

Lidah Bright menari di sana untuk menyenangkan hati Winnie. Setelah menjilat salah satu titik sensitif si Manis, Bright mengecup bagian itu selama beberapa detik.

Winnie terengah-engah. Nafasnya hampir habis karena Bright sama sekali tidak memberinya waktu untuk mengais oksigen.

Sang tuan menatap ke arahnya dengan pandangan lapar. Lalu sepasang obsidian hitam si lelaki pekerja keras itu turun, dan jatuh tepat di tubuh bagian bawah miliknya.

Winnie tertegun, merasa terkejut dan berpikir keras sejak kapan kakinya sudah terbuka dan mengangkangi tubuh sang tuan begitu lebar.

Dan yang membuat Winnie semakin terkejut adalah… ia tidak sadar… kalau dirinya sama sekali tidak memakai pakaian dalam di balik kemeja kebesaran milik Bright yang sekarang ia gunakan.

Bright berdehem pelan, “you didn't wear anything inside?”

Sudah tidak ada celah untuk menyangkal dan menghindari pertanyaan sang tuan, Winnie pun bergumam pelan, “hu'um,” Winnie menatap Bright tepat di mata, “Winnie is sowwyyy for not wearing anything but Masbie's oversized white shirt.”

Sial, Winnie semakin pintar menggodanya dengan nada bicara dan sorot mata yang begitu seduktif. Susah payah Bright menelan salivanya, wajahnya kembali maju untuk meraih bibir Winnie dan keduanya lagi dan lagi hanyut dalam sebuah pagutan mesra yang cukup panjang.

Bright menutup ciuman itu dengan sebuah kecupan kupu-kupu di sudut bibir sang hybrid. Dengan sengaja, ia menyatukan dahinya dengan milik Winnie, lalu bernafas di sana.

Winnie terpejam menikmati wangi mint yang berasal dari mulut Bright, lalu dengan sengaja ia mencuri satu kecupan kilat di bibir Bright, dan tertawa kecil setelahnya.

“I miss you so much, Masbie…”

Bright mengelus pinggang ramping Winnie lembut, “Mas is sorry that Mas couldn't text you much these days. Work is sucks, sayang.”

Winnie mengangguk pelan menyahuti ucapan Bright, “It is okay, hihihi. How was it? Did Mas eat and sleep properly during the business trip?”

Kali ini giliran Bright yang mengangguk, “walaupun Mas nggak bisa selalu balas chat kamu, but Mas did eat and sleep properly because someone couldn't stop texting Mas and told Mas to eat at the right time and sent Mas cute sleepy kittens stickers at night, so Mas know that this naughty baby was asking Mas to sleep.” Winnie terkekeh saat Bright dengan jahil dan gemas menjawil hidungnya.

Winnie terdiam menatap sang tuan. Rasa rindu yang sempat tertahan kemarin rasanya sudah meledak saat ini juga.

“So, mind to tell Mas why is Winnie wearing nothing but Mas's shirt?”

Rona merah kembali memenuhi pipi Winnie yang terlihat seperti tomat. Cuping telinganya ikut bergerak agak sedikit lincah, senang dan malu di waktu yang sama.

Winnie menggigit kecil bibir bawahnya, lalu berujar malu-malu, “Winnie terlalu merindukan Masbie,” ada jeda di ujung kata-katanya. Bright kembali mengusap pinggang polos Winnie dengan tangannya, “Okay, lalu?”

“Winnie couldn't help but touch myself at night before sleep...”

Satu alis tebal Bright bertaut, “did Winnie reach the white?”

Sang hybrid mengangguk pelan, “Uhm,” lalu diusapnya penuh sayang pipi tirus sang tuan, “I did, Masbie.”

Bright mengecup dahi Winnie yang tertutupi beberapa helai anak rambut. Sang hybrid tersenyum, tangannya bergerak mengusap tengkuk sang tuan.

Kepala Bright menunduk menatap kejantanan Winnie yang entah sejak kapan sudah berdiri. Lalu tanpa kata yang terucap, Bright membuka kaki Winnie lebih lebar lagi. Lelaki itu mengelus paha dalam Winnie dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya perlahan-lahan mulai menanggalkan celana bahan berwarna hitam yang ia pakai.

Gesper kulit sudah terlepas, dan tergeletak pasrah di lantai.

Jari-jari lentik Bright menyentuh resleting di bagian tengah. Winnie mengikuti setiap pergerakan tangan sang tuan dengan matanya. Bright dapat melihat kabut nafsu di sepasang mata si hybrid. Lalu dengan sengaja, Bright memperlambat gerakannya, resleting itu tak kunjung tiba di ujungnya.

Winnie menggeram seraya menunggu dengan tidak sabar. Seolah tak bisa menunggu Bright lebih lama, Winnie menyentuh kejantanannya sendiri dan membawa telapak tangannya bergerak naik turun.

Bright tidak melarang. Tidak juga menyuruhnya untuk berhenti.

Winnie terus mengocok kejantanannya, sambil mengangkat pandangannya, menatap sang tuan tepat di mata.

Celana bahan Bright sudah jatuh menyentuh lantai. Pakaian dalamnya juga sudah ikut tergeletak di sana, membiarkan sang empunya tubuh kini polos tak berbusana di bagian bawah.

Sorot mata Bright ikut menajam. Bilah bibir si hybrid yang terbuka, menganga, menambah kesan seksi pada kucing manis itu. Bright, terangsang dengan begitu mudah.

Ingin mengapresiasi kerja keras dan kesabaran Winnie dua hari ini, Bright pun turut mengocok kejantanannya dengan pelan. Sama persis dengan apa yang Winnie lakukan.

“Winnie tidak kedinginan hanya memakai kemeja tipis ini?”

Masih sambil mengocok kuat, Winnie susah payah berusaha menjawab meski rasa nikmat mulai membuat buta dan melayang, “t-tidak, Masbie… Ahhhㅡ”

“Do Winnie wants Mas's fingers inside?” jari telunjuk tangan kiri Bright menggoda si Manis tepat di lingkaran cincin lubang senggamanya, Bright memasukkan sedikit ujung jarinya ke sana.

Winnie mengerang, tubuhnya lambat laun meremang dan bergetar, “Masbie, p-please...”

Jari telunjuk Bright semakin masuk, membelah dinding rektum yang selalu menyambutnya dengan antusias.

Kocokan tangan Winnie di kejantanannya melemah, tubuh Winnie maju ke depan, kepalanya terhempas ke belakang.

“Ahnnngg,”

Bright meraup puting kiri Winnie dengan begitu lapar. Tanpa aba-aba, jari tengahnya kini ikut melesak masuk. Bekerja sama dengan sang telunjuk untuk menjemput rasa di titik pusat.

Winnie meremas bahu kanan Bright kuat-kuat, “Ssshhh, ahhhㅡ”

Bibir Bright terus mengulum puncak kecoklatan milik Winnie yang menegangkan sempurna. Lidahnya sesekali terjulur, membasahi noktah yang kini sedang dikulumnya dengan lapar.

Jari manis, alias jari ke-3, sudah masuk.

Bright membawa tiga jarinya bergerak masuk lalu keluar secara repetisi. Bright berusaha memasukkan jari-jemarinya lebih dalam lagi… sangat dalam… lebih dalam… hingga membuat sang hybrid bergetar hebat,

“AHHHHHH,” Winnie menjemput putihnya, ketika ujung jari-jari sang tuan berhasil menumbuknya tepat di pusat.

Bright membawa bibirnya naik menuju cuping telinga si Manis. Dikulumnya bagian tersebut dengan lembut, “What should Winnie say before getting fucked by Mas?”

Winnie yang masih berada di awan pasca orgasme pertamanya pagi itu pun harus bersusah payah menjawab pertanyaan sang tuan, “mmmmh,”

“Winnie wants Masbie's kontol… give Winnie the big kontol i deserves,”

Demi Tuhan, Bright mau gila rasanya.

Kondisi Winnie yang sudah pasrah, bergetar, terengah-engah, membuat Bright ingin berteriak saat itu juga.

Bagaimana bisa… seseorang terlihat begitu cantik, manis dan sempurna ketika desperately asking for a dick?

Tapi sepertinya, Bright tidak mau begitu saja menuruti permintaan sang hybrid dengan mudah.

Bright membawa wajahnya pada perpotongan leher Winnie. Bibirnya menjamah setiap inci kulit halus di depannya, kecupan kerap ia berikan di sana. Membuat Winnie, lagi dan lagi mendesah penuh nikmat.

Bright turut menjilati kulit putih si hybrid. Tengkuk, leher, jakun (lagi), bahu, dada Winnie kini sudah basah dengan saliva.

Wajah Bright kembali naik, kali ini berhadapan dengan wajah si Manis.

Cup, Winnie mengerjap ketika Bright tiba-tiba mencium bibirnya.

“Coba satu kali lagi, sayang,” Bright menggesek ujung kejantanannya di selangkangan Winnie, “ask Mas more naughty.”

Winnie menggeram. Gesekan Bright di bawah sana semakin membuat hybrid itu kehilangan warasnya, “M-masbie,”

“Yes, pretty?”

“Masbie… M-masbie,”

“Hm?” Bright menggigit kecil daun telinga Winnie yang sayup-sayup bergerak naik turun, “Winnie mau apa?”

Sambil menatap sang tuan begitu frustrasi, Winnie memohon, “Winnie is craving for Mas's kontol… p-please, fuck Winnie now… Winnie mau kontol… kontol… kontol Masbie…”

Damn, kalau sudah begini, Bright mana bisa menolak?

Bercinta dengan posisi Winnie duduk mengangkang lebar di atas meja dapur tampaknya bukan hal yang buruk, 'kan?

. . .

JEYI // 210530.

TAGS; EXPLICIT CONTENTSㅡ over-stimulation, chest play, praise!kink, slow-burn, handjob, doggy style, sex with beach night view, kitchen foreplay, younger!bright x older!win 🔞 total words: 4.7k words Weekend Escape Universe.


Gemuruh suara ombak menjadi salah satu sumber suara yang mengisi keheningan malam seorang pemuda yang masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan salah satu universitas swasta di Jakartaă…ˇ Bright namanya, yang kini hanya tinggal seorang diri di dalam kamar bertipe suite sebuah hotel ternama di kawasan Nusa Penida.

Pun pemandangan pantai juga kerlap-kerlip lampu jalanan turut memancing minat pemuda bersurai hitam itu untuk terus berdiri bersandar di pagar balkon, menikmati semilir angin malam yang terasa menggelitik seluruh permukaan kulitnya yang… uhm, cukup terekspos.

Maksudnyaă…ˇ cukup minim, dan membuat siapa saja yang berada di dekatnya bisa melihat betapa bersih dan sempurnanya tubuh itu dengan warnanya yang nyaris seputih porselen. Ada tattoo yang terukir apik di bahu kirinya, menambah kesan seksi dan maskulin si mahasiswa.

Bright menghela pelan nafasnya, sesekali mengetuk-ngetuk jari-jemarinya yang panjang di atas pagar balkon sambil menghitung mundură…ˇ memperkirakan waktu yang tepat bagi Win untuk tiba di kamar mereka. Delapan menit lalu, Win sudah mengirim pesan kalau dirinya sudah sampai di basement dan sedang bersiap menuju kamar mereka di lantai 3. Dan jika hitungannya tidak keliru, maka dalam beberapa detik pintu kamar yang kini menjadi saksi bisu heningnya malam akan terbuka dan,

“Bright,”

ă…ˇ menampilkan sosok seorang direktur utama muda sebuah perusahaan besar, berdiri di ambang pintu dengan beberapa plastik di tangan kanan dan kirinya.

Ada segaris senyum tipis di wajah Bright kala ia dapati satu alis Win bertaut membentuk ekspresi. Lantas dengan cepat Bright melangkah meninggalkan posisinya dan bergegas menghampiri lelaki manis yang sudah sekitar 6 bulan ini hidup bersamanya, tinggal bersamanya, menghabiskan banyak sekali waktu dengannya itu.

Langkah kaki Bright berhenti tepat di hadapan Win, lalu pemuda itu menunduk untuk mencuri satu kecupan di pipi si lelaki yang lebih tuaㅡ pada tahi lalat nan mungil di pipi kanan Win lebih tepatnya, ia mengulang aksi yang sama… seperti hal pertama yang ia minta pada Win sebagai hadiah ulang tahunnya, sekitar seminggu lalu, yang secara tidak langsung menjadi kebiasaan baru seorang Bright.

Bright mungkin tidak sadar, tapi sejatinya Win tersenyum getir begitu pipinya disentuh lembut oleh ranum kemerahan miliknya.

“Kangeeeen, Mas...”

Bright, jika sudah punya keinginan dan merasa harus dipenuhi, maka akan bersikap manis seperti ini. Terhitung sudah tiga kali, ini yang ke-3, Bright bertingkah layaknya seorang anak yang merengek meminta mainan baru pada orang tuanya.

Kali pertama, adalah ketika pemuda itu meminta uang muka sebagai bukti resminya perjanjian mereka untuk menjadi pasangan di situasi dan kondisi tertentu, sebagai pasangan papa gula dan bayi gula tentu dengan iming-iming uang dan fasilitas yang menjanjikan. Saat itu, Bright harus dengan cepat membayar segala tetek bengek perkuliahan dengan jumlah yang tidak sedikit, dan Win jelas langsung menurutinya.

Kali kedua, adalah ketika Bright tidak sengaja menghancurkan ponselnya dan meminta ponsel baru pada Win dengan perjanjian ia akan menjadi 'anak' yang baik, yang tentu saja langsung dituruti oleh si lelaki manis. Sebenarnya, tanpa Bright merengek pun, Win sudah sering menanyakan kebutuhan dan keinginannya, bahkan dengan sepenuh hati bersedia untuk memenuhi itu semua, tapi Bright seringkali menolak dengan alasan ia belum butuh-butuh banget.

Dan kali ketiga adalah… ya, saat ini, saat dimana Bright tidak bersikap manis karena ada barang yang ingin dibeliㅡ alias bukan karena urgensi finansial, tapi karena dirinya ingin menghabiskan malam terakhir mereka di Bali dengan kegiatan yang pastinya akan menguntungkan satu sama lain.

Jujur, Win kaget. Permintaan Bright kali ini… cukup di luar dugaannya. Biasanya, Win lah yang terang-terangan 'meminta' jika kebutuhan biologisnya sudah meraung-raung ingin dipenuhi. Bright biasanya hanya akan sekedar memberi umpan, jika Win berhasil terpancing, well namanya simbiosis mutualisme.

Namun kali ini, Bright lebih rewel dibanding sebelum-sebelumnya. Bright juga lebih berani untuk mengajak Win ikut menikmati malam dengan cara yang menyenangkan lebih dulu. Aneh, tapi Win tidak mau susah payah memusingkan hal tersebut.

It's impossible if Bright knows about that one crucial thing, tidak… Bright tidak mungkin tahu, tidak boleh tahu, setidaknya untuk sekarang lebih baik pemuda itu sama sekali tidak tahu.

Win berharap, semua sikap manja Bright yang sering kali timbul beberapa hari ini bukanlah karena pemuda itu sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Pada dirinya, juga pada hubungan di atas kertas yang dijalani keduanya.

Tidak, Bright tidak boleh tahu.

Lantas Win meraih wajah Bright dengan satu tangannya yang bebas, memberikan satu usapan lembut di sana, meminta si yang lebih muda untuk menatap ke arahnya.

“Udahan dulu ah ngerengeknya, Mas bawa belanjaan lho ini.”

Mau tidak mau, Bright pun memundurkan langkah kakinya sebanyak satu kali. Menciptakan jarak antara dirinya dan juga si Mas. Bright melirik cepat pada tiga kantong plastik putih di tangan kiri Win, alisnya bertaut bingung,

“Beli apa aja… Kok banyak banget, Mas?!”

Bukannya langsung menjawab, Win memilih untuk melangkah melewati Bright dan terus berjalan menuju mini kulkas yang ada di kitchen. Win mengeluarkan beberapa botol minuman dari salah satu plastik; ada kopi kaleng kemasan, teh manis botolan, dan beberapa minuman dengan varian rasa buah-buahan kemudian memasukkan semuanya itu ke dalam kulkas kecil tersebut.

Lalu Win mengeluarkan dua bungkus makanan beku; seperti sosis, kentang dan daging asap kemudian turut memasukkannya ke dalam freezer di kulkas yang ukurannya lebih besar di sudut dapur.

“Kan besok kita udah pulang, Mas? Kok malah ngestock bahan makanan sama minuman? Banyak banget pula...”

Tunggu, tunggu. Seketika cahaya lampu bersinar terang di atas kepala Bright. Sekelebat dugaan muncul menyambangi benaknya, “kita extend the weekend escape?”

Win lagi dan lagi tidak menjawab rasa penasaran dan juga antusiasme yang Bright tunjukkan secara terang-terangan. Lelaki itu beranjak menyimpan plastik yang sudah kosong ke dalam sebuah paper bag, lalu menyandarkan tubuhnya yang hanya terbalut celana pendek selutut serta kaos kutangan berwarna abu-abu di kitchen counter.

Dua tangannya sengaja dibuat bersila di depan dada. Kepalanya terangkat sedikit, balas menatap Bright yang berdiri di ambang dapur dengan ekspresi bertanya-tanya. Detik demi detik pun dihabiskan dengan keduanya yang hanya saling bertukar pandang dalam keheningan.

Lambat laun Bright mendekat, menghentikan langkah sepasang kaki jenjangnya tepat di depan Win, lalu menaruh kedua tangannya di sisi meja dapură…ˇ tepat di kanan dan kiri si yang lebih tua, mengukungnya penuh dominasi.

Wajah Bright maju perlahan-lahan, menyisakan jarak yang terlalu sedikit antara ujung hidungnya dengan milik Win, nafasnya berhembus samar-samarㅡ lembut, “Mas kok dari tadi diem aja?”

Untuk sepersekian detik setelahnya pun Win masih terdiam. Bright yang mendadak bingung tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Lantas ia bawa satu tangannya untuk merengkuh tubuh Win, menggendongnya pelan lalu mendudukkan lelaki itu di meja dapur, agak ke tengah.

Rengkuhan posesif Bright di pinggang Win semakin erat, “Mas sakit?” Bright menyentuh dahi Win, ingin merasakan suhu tubuhnya. Satu alisnya bertaut lucu, namun bingung di waktu yang sama, “nggak panas tapi,” lalu tangannya beranjak menyentuh beberapa bagian di tubuh Winㅡ tentu masih dengan wajah khawatirnya.

“Tangannya sakit? Atau perut Mas ya, yang sakit? Leher? Punggung?”

Diperlakukan seperti itu, jelas membuat hati Win terluka sepuluh kali lebih dahsyat. Lelaki itu sama sekali tidak menghentikan aktivitas Bright, justru matanya kini sibuk memandang wajah tampan si yang lebih muda, yang tengah dipenuhi raut kekhawatiran.

Degup jantungnya tak kunjung menemukan tempo yang baik, bibirnya mulai bergetar, tapi Win belum juga melakukan apa-apa selain melingkarkan kedua tangannya di leher Bright, lalu membawa wajah pemuda itu mendekat sampai bibir keduanya bertemu dalam sebuah pagutan penuh emosi.

Bright tertegun. Di depannya Win sedang menutup mataă…ˇ kelopaknya terlihat bergetar, bibirnya perlahan-lahan mulai bergerak.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Bright akhirnya ikut memejamkan mata dan larut dalam ciuman yang terkesan tiba-tiba.

“Mhhhh,” ciuman itu berhenti secara mendadak. Bright membiarkan bibirnya tetap menempel di permukaan bibir Win, seraya membiarkan lelaki manis itu untuk mengatur nafas pelan-pelan.

Satu kecupan Bright berikan di bibir Win, dan Win membalasnya tak kalah cepat. Ada senyum tipis yang tergambar di sudut bibir Bright ketika ia bawa wajahnya beranjak menuju telinga kiri Win, sambil meninggalkan kecupan-kecupan di setiap jengkal kulit yang dilewati.

Win memeluk leher Bright jauh lebih erat lagi, mengelusnya lembut di sana seraya menyambut kedatangan bibir si yang lebih muda pada daun telinganya.

Semakin terbawa suasana, Bright memasukkan sebagian daun telinga kiri Win ke dalam mulutnya, menghisapnya pelan lalu menjilatnya sesekali. Sebisa mungkin Win menahan desahannya, meski kalau boleh jujur, ia sudah berhasil terperangkap pada permainan yang ia ciptakan sendiri.

“Mas, wanna do it here?” bisik Bright, ada urgensi yang tersirat dalam setiap kata yang ia ucap.

Kemudian Win meraih wajah Bright, mendorongnya mundur untuk ditatap dari jarak yang begitu dekat.

Win memang terkesan pasrah pada setiap sentuhan Bright, tapi sorot matanya… tegas, seolah terlintas perintah yang mampu membuat Bright terdiam seribu bahasa.

Jika sudah ditatap seperti itu, Bright cuma bisa menurut, diam. Tidak berani mengambil langkah mandiri seperti apa yang dilakukannya beberapa menit lalu.

“You sure mau di sini? Terakhir kali kita having sex, a morning sex to be exact di dapur, kamu hampir jatuhin piring lho, Bright.”

Si yang lebih muda terkekeh pelan, serasa diajak bernostalgia.

Bibir bawahnya mengerucut kecil, “that was a quickie ya, Mas. Karna Mas harus cepet-cepet ke kantor, jadi kita ngebut di dapur sehabis sarapan.” jawab Bright. Sesekali pemuda itu menutup mata menikmati elusan jari-jemari sang tuan di sepanjang rahang wajahnya.

Sentuhan jari-jemari Win adalah yang terbaik, it will always be Bright's favorite.

Seulas senyum tipis turut hadir mewarnai wajah Win yang cukup keruh malam itu. Si lelaki manis menghela pelan nafasnya, lalu berujar, “but that was amazing though,”

“Bright,”

Bright menautkan satu alisnya, menanti Win untuk meneruskan kata-katanya.

“Kalau kita beneran perpanjang escape di sini, gimana? Kamu mau, nggak?” tanyanya, sambil menggerakkan jari-jari tangan di surai hitam si yang lebih muda.

Bright tampak berpikir sebentar. Lalu sepersekian detik kemudian, mulutnya melantunkan seuntai deheman ringan, “boleh.” jawabnya tanpa ragu.

Dua kecupan kilat singgah di bibir sintal Bright, “but kuliahmu... gimana, hm?”

“Ya nggak gimana-gimana, jadwal Bright kan cuma dua hari seminggu dan kebetulan Bright masih ada jatah bolos, gotta use it now, hehehe.”

Metawin hanya mengangguk. Sedikit banyak hatinya bersorak-sorai atas jawaban Bright, tapi di waktu yang sama, ia juga merasa kosong. It's gonna be their last weekend escape together.

Kembali ditariknya mendekat leher jenjang sang mahasiswa, Win memeluk Bright erat, menjatuhkan dagu tepat di bahu kirinya yang tegap. Tangan Win bergerak lembut di atas panggung si yang lebih muda, memberi rasa aman, juga mencari ketenangan untuk dirinya sendiri.

Win semakin mempererat pelukannya, seakan-akan tidak mau ada jarak sedikitpun yang memisahkan tubuh keduanya, “kamu kenapa nggak pakai atasan begini? Nggak dingin?” pertanyaan Win membuat Bright cekikikan. Akhirnya, setelah bermenit-menit terlewati, Win menyadari kalau dirinya sedang bertelanjang dada.

Kepala Bright menggeleng pelan, berusaha stay cool agar tetap terlihat keren, “to make it easy, to make it fast,” tapi tetap to the point.

“Hahaha,” Win tergelak dalam tawanya. Bright diam-diam ikut mengulum senyuman.

“Mas nggak jadi beli kondom, anyway.”

Bright mencelos. Helaan nafasnya menunjukkan rasa kesal. Ia hendak menarik tubuhnya dari jangkauan Win, tapi dirinya malah berakhir jatuh tengkurap di atas tubuh si lelaki manis dengan posisi saling memeluk satu sama lain.

Ya, Win baru saja menarik Bright dan kini lelaki itu berbaring terlentang di atas meja dapur.

“Mas Win,”

Elusan tangan Win naik menuju surai hitam Bright, “hm?” sahutnya.

“Is there something bothering you? Can you share it with me... so you don't have to bear it all alone? Bright di sini, and will never go anywhere unless you ask me to, Mas.” Deg. Win rasanya mau meledak. Ucapan Bright sukses membuatnya mendadak kesusahan untuk bernafas.

Detik demi detik berlalu dalam keheningan. Win mengambil waktu sebentar untuk terdiam. Membiarkan bibir Bright mulai bergerak malu-malu menjamah lehernya penuh godaană…ˇ kebiasaan si mahasiswa untuk membuat tuannya rileks.

Tetapi bukan definisi rileks yang berhasil dijemput, Win justru diam-diam mengepalkan tangan di atas punggung telanjang Bright.

Lalu senyuman palsu datang, terukir pasrah di wajahnya, “such a good boy.” Win terlena, akan sentuhan Bright.

“Of course, I am.”

Pergerakan tangan Win kini menuju pada bagian tattoo yang terukir di punggung kiri atas Bright. Diusapnya pelan bagian tersebut, membuat Bright beringsut maju, mempererat pelukan mereka.

“So..,” satu tangan Win bermain-main di cuping telinga kanan Bright, mengusapnya lembut sambil sesekali menjepitnya dengan jari telunjuk dan juga tengah, “how about sex without protection for tonight?” Win berujar penuh seduktif tepat di samping telinga Bright.

Sepasang mata si mahasiswa sontak mengerjap, “maksud Mas?”

“Ya… nggak pakai pengaman, tapi nanti kamu jangan buang di dalem.”

Deg.

Deg.

Deg.

Perlahan namun pasti, Bright berusaha lepas dari rengkuhan Win. Pemuda itu menumpukan telapak tangan kanan dan kirinya di permukaan meja, di samping tubuh sang tuan yang masih berbaring pasrah.

Bright menatap dalam sepasang obsidian hazel milik Win, lalu menghembuskan nafasnya, ia bingung.

“Mas yakin? Kita belum pernah tanpa pengaman lho, i am afraid that it will hurt you,” tatapannya melembut, Bright melanjutkan ucapannya, “Bright nggak mau ya kalau sampai Mas Win kesakitan.”

Tidak ada suara. Tidak ada kata. Tidak ada sahutan berarti selain sebuah elusan yang singgah di pipi kiri Bright.

“Lagian, Mas tumben banget? Biasanya Mas Win 'kan selalu safety first?”

Diam-diam Win melirih, because it will be our last time, Bright. So, I want to give you something in pleasure… at least once in a lifetime.

Tapi apa daya, Win cuma bisa berucap dalam hatinya.

Lalu Win menghirup oksigen banyak-banyak, dihembuskannya deru nafas tepat di depan wajah Bright, membuat pemuda itu tersenyum kecil.

Win mengelus satu kali lagi wajah tampan di atasnya, “nggak apa-apa, Mas mau coba aja. And you don't worry… Mas will be okay, Mas janji.” jawabnya.

“Tapi nanti-nanti Bright nggak mau ya, kalau nggak pakai pengaman lagi. It would be better if we used one.”

Dan Win menganggukă…ˇ tanpa ragu.

“Okay then,” Bright membawa turun wajahnya, mendekati wajah si lelaki manis. Sepasang matanya bersirobok dengan milik Win. Saling menatap, saling mengunci, saling menyampaikan sekalipun dalam diam. Bright menyentuh pipi kanan Win dengan satu tangannya, “May I do it now, Sir?”

Win tidak langsung menjawab. Jari-jemarinya yang panjang kini menemukan jalan menuju surai hitam Bright, lantas dijambaknya pelan sampai sang empunya berdesis sambil menengadahkan kepala.

“Ask me nicely, you know how to do it well. That's your number one duty.”

Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir Win menatapnya dengan tajam. Sudah lama sekali rasanya sejak kali terakhir Win menunjukkan sisi dominannya. Bright masih terus mengunci atensi miliknya pada sepasang obsidian hazel yang sibuk mendamba di bawah sana. Nafasnya berhembus pelan, membuat bulu mata lentik sang tuan besar bergerak penuh antusias.

Tanpa sadar Bright menjilat bibir bawahnya, “Mas Win,” kepalanya kembali turun menjangkau tulang pipi si lelaki dewasa, a little kiss on his cheekies sounds good… dan Bright penuh percaya diri melakukannya.

Bright meninggalkan kalimatnya yang tertahan di ujung lidah. Bibirnya sibuk menjamah pipi tirus yang mengkilap di bawah terangnya lampu yang menyala. Jilatan kecil ikut serta menyentuh kulit halus sang empunya, dan setelah puas meninggalkan jejak yang tidak seberapa, Bright melanjutkan kata-katanya,

“Can we fuck roughly right now?”

Win mengukir seringai tipis di sudut bibirnya. Sengaja ia biarkan jarum jam terus bergerak maju menjemput sekon demi sekon di waktu yang kian beranjak malam. Bright menatapnya dengan kilat nafsu yang tergambar jelas di sorot mata. Untuk kali terakhir, malam ini, Win tidak mau berpikir panjang.

Yang ia mau hanyalah…

“Mark me as your most precious diamond.”

Dan dengan cepat, Bright memagut kembali ranum merah muda Win yang begitu menggoda. Dihujaninya bibir itu dengan kecupan-kecupan manis berbunyi, membuat si pihak yang berbaring menikmati di bawah terkekeh seraya tangannya sendiri bermain-main di surai hitam sang penguasa.

Bright menaikkan tempo ciuman keduanya. Ia melumat lembut bibir atas Win dan membiarkan si lawan main ikut menikmati bibir bawahnya. Bright mengulum bibir itu sambil sesekali menyesapnya, mengambil alih lelehan saliva yang berkumpul membentuk genangan kecil.

Win tidak mau kalah. Lelaki itu dengan sigap membalas setiap lumatan Bright yang nyaris melahap habis bibirnya. Win mengubah posisi pagutan yang sedang terjadi, kini bibirnya mendominasi, mengulum puas bibir atas Bright yang terkesiap menyambut gerakannya.

Lidah Win melesak masuk ketika Bright lengah dan membuka bibirnya. Win menyapu hangat rongga dalam Bright penuh gairah. Ujung lidahnya bergerak mengabsen satu persatu celah yang bisa ia gapai. Dinding mulut, langit-langit, deretan gigi rapi Bright dan tak lupa juga lidah yang sedari tadi mengemis perhatian.

Win mengajak lidah Bright untuk berdansa sebentar di sana. Kedua tangan Win turun melingkari bahu lebar Bright, sedangkan yang lebih muda semakin lama… semakin luluh… sampai tangannya tidak lagi punya tempat untuk menopang selain pinggang ramping dan punggung tegap Win yang perlahan-lahan ia uleni.

Bright kembali memutar balik keadaan. Dengan percaya diri, ia memiringkan kepalanya ke kanan dan meraih lidah Win untuk dikulum. Tubuh Win kian menegang dan meremang ketika Bright dengan handal memaju-mundurkan bibir memuaskan lidahnya.

Terlalu nikmat, terlalu intens, Win kehilangan kontrol diri, “Mmmhhh,”

Bright menghentikan ciuman keduanya perlahan-lahan. Tautan saliva membentang lurus menyatukan bibir keduanya, Win dengan penuh semangat menjilat permukaan ranum Bright, membersihkan sisa air liură…ˇ entah milik siapa, yang tersisa.

Mereka terengah-engah, berusaha mengais oksigen sambil saling menatap satu sama lain. Kabut nafsu mulai memenuhi sorot mata Win. Bright tersenyum, lalu dikecupnya gemas ujung hidung si direktur muda.

Satu tangan Bright bergerak menyingkirkan beberapa anak rambut yang basah akan peluh di dahi sang tuan. Bright mengelus sayang surai hitam Win, lalu berucap, “mau pindah ke kamar aja?”

Seperti sebelum-sebelumnya, Win tidak langsung menjawab. Ia masih terus menatap Bright yang kelihatannya sudah semakin dikuasai nafsu.

Win mengusap dada telanjang Bright dengan seduktif, “nggak jadi di sini aja?” tanyanya.

“Hm,” Bright melirik meja dapur tempat dimana sekarang Win sedang berbaring. Tidak terlalu banyak barang dan terkesan cukup untuk mereka beberapa kali mengubah posisi dan gaya permainan, tapi sepertinya ada hal lain yang jauh lebih menggiurkan daripada bercinta di sana. Bright menguleni pinggang ramping Win satu kali lagi, “how about having sex with view?”

Kedua alis Win bertaut, menunggu Bright melanjutkan ucapannya.

“Pemandangan dari jendela kamar kita sayang kalau disia-siain begitu aja, Mas. Let's having sex there.”

Win kembali menggerakkan telapak tangannya, kali ini tengkuk Bright menjadi sasaran elusan lembutnya, “tapi Mas udah nggak kuat nahan...”

“Di sini aja, ya?” sambung Win.

Win yang memohon, Win yang meminta kata 'ya' terucap dari bibirnya, Win yang terlihat menuntut dan Win yang terkesan tidak suka menunggu adalah kelemahan terbesar seorang Bright. Lantas tanpa pikir panjang, pemuda itu membuka kaos tanpa lengan berwarna abu-abu yang dipakai Win dan melemparnya serampangan ke lantai.

Bright tidak sama sekali memutuskan kontak mata keduanya, maka ketika tubuhnya kembali menunduk untuk menjangkau sang tuan, Win sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Win membuka lebar tangannya, membiarkan Bright perlahan-lahan masuk dalam dekapan. Tangannya bergerak lembut menyambut wajah Bright yang kini menyelam di perpotongan lehernya. Bright mencumbunya di sana, dan Win begitu menikmatinya.

Cara Bright menciumnya dengan penuh damba, adalah salah satu hal yang membuat mahasiswa itu punya nilai lebih di mata seorang Metawin. Ia yang sebelumnya malas untuk memiliki emosi pada orang lain, seolah sukses dibuat bertekuk lutut exactly at how Bright does him gently.

Bright… mungkin awalnya pemuda itu memang hanya menjalankan tugasnya sebagaimana tertulis di kontrak resmi mereka yang sebentar lagi akan berakhir sebelum waktunya. Tapi seiring waktu berjalan, dan ketika Win tahu kalau Bright sudah terlanjur menanam rasa untuknya, well… semuanya berubah.

Perasaan adalah hal tabu dalam perjanjian keduanya. Dan urusan hati, tidak pernah boleh dilibatkan pada hubungan yang dijalani keduanya. Namun Win sadar, ia juga sudah tenggelam dan tidak ada niatan untuk berenang ke daratan.

Tapi Win sadar, perasaan miliknya hanyalah sebuah kesia-siaan.

Dan hari ini, izinkan satu kali ini saja, Win ingin mencintai Bright dengan caranyaă…ˇ yang sederhana.

Biarkan malam ini saja, Win mendamba sang mahasiswa dengan sepenuh hatinya.

“Ahhhh,” Win tahu, Bright begitu lemah akan desahan dan erangannya. Dan Win ingin mendesah sebanyak dan sekuat yang ia bisa, untuk membuat Bright merasa berharga.

Tangan Win terus bergerak mengelus punggung dan tengkuk Bright mengikuti irama bibir pemuda itu yang sedang mencumbu kulit lehernya. Win mengerang, setiap kali Bright menyesap titik sensitif di tubuhnya, Win akan langsung bersuara.

Bright membawa bibirnya beranjak dari satu titik ke titik berikutnya. Tidak satu inci pun dari leher, rahang dan bahu kiri Win yang lewat dari jangkauannya.

Bright mendesah tertahan, “Ssshhh,” ketika tangan Win dengan nakalnya turun menyentuh bagian selatan yang sudah menegang. Tidak hanya sekedar sentuhan jahil, Win justru meremas kejantanannya yang masih terbalut celana penuh percaya diri.

“Ahhhh, M-mas… mmmhh,” seluruh tubuh Win meremang begitu Bright mendesah tepat di dadanya.

Pinggul Bright ikut bergerak mencari kepuasan di tangan Win. Enggan untuk terlalu vokal, Bright kembali melanjutkan cumbuannya yang sempat terhenti.

Bright mengecup dada telanjang Win penuh cinta. Satu tangannya ia angkat untuk meremas dada kanan Win beserta noktah kecoklatannya. Cumbuan hangatnya turun menjamah puting kiri Win yang ternyata sudah mengeras. Bright memasukkan titik mungil itu ke dalam mulutnya, menjilatnya sebagai pembuka, dihisapnya puting sang tuan perlahan-lahan lalu dikulumnya bagaikan bayi yang haus butuh asupan.

Win meremas surai hitam Bright kuat-kuat. Stimulasi yang pemuda itu berikan mampu mencabut seluruh kewarasan yang tersisa dalam dirinya. Win hampir menemukan putih ketika empat anggota tubuh Bright menyerangnya secara bersamaan.

Bibir, yang tak henti-hentinya menghisap dan mengulum puting kirinya.

Tangan kiri, yang terus bersemangat meremas dada kanannya sambil sesekali jari-jari nakal itu memilin puncak yang mencuat butuh afeksi.

Tangan kanan, yang ikut bergerilya di garis kotak-kotak yang terbentuk apik di perutnya. Mengelus penuh sayang.

Dan yang terakhir kejantanan Bright yang senantiasa bergerak menggesek pun juga maju mundur berlawanan arah dengan telapak tangan Win.

“Aaahhh, B-bright… Mmmhhh... fuck,”

Seulas seringai terbit di sudut bibir Bright ketika Win semakin larut dalam permainan. Mulut Bright lambat laun beranjak turun menyusuri dada putih sang tuan menuju bagian perutnya yang terbentuk sempurna dengan enam kotak lezat yang terpampang nyata.

Jejak saliva terukir di sepanjang jalur yang ia lalui, lalu lidah Bright berhenti melaju tepat di atas karet celana pendek yang dipakai Win.

Bright menengadahkan kepala, menanti persetujuan. Win menatapnya dari atas. Penuh nafsu, sepasang matanya sendu dan sayu, sungguh definisi candu yang mutlak. Win cantik, cantik sekali.

Bukannya menjawab, Win justru mendorong pelan tubuh Bright untuk dirinya bisa duduk dengan benar. Bright bingung, namun pasrah dan tetap menunggu langkah apa yang selanjutnya akan Win ambil.

Win mengangkat kedua kakinya untuk bertumpu sesaat di atas meja. Tangannya melingkari leher jenjang Bright penuh kehati-hatian. Setelah berhasil direngkuh, Win turut melingkarkan kakinya di pinggang Bright.

Si mahasiswa terkekeh. Win dengan mandiri masuk dalam gendongannya.

Bright mengelus sayang punggung telanjang Win yang terekspos bebas, lalu mencuri kecupan kilat di pipi yang kini bersandar nyaman di bahu kanannya.

“Mau pindah ke kamar?”

Win mengangguk, tanpa kata.

Lalu tanpa berbasa-basi lebih lama, Bright melangkah meninggalkan dapur menuju kamar dengan Win dalam gendongannya.

. . .

“Ahhhh… B-bright mmmhhh, c-can you go slowly...”

Ucapan putus-putus Win sama sekali tidak Bright gubris. Pinggulnya terus bergerak menghujam lubang senggama si yang lebih tua, yang kini susah payah menahan bobot tubuhnya sendiri dengan posisi menungging di atas ranjangă…ˇ menghadap ke arah pantai.

Suara derit kaki ranjang yang ikut bergerak menyesuaikan tempo di atasnya mulai memenuhi ruangan besar itu. Tubuh Win terhentak tanpa henti, sedangkan Bright masih sibuk mengecupi setiap inci kulit punggungnya.

Bright bergerak terlalu cepat dan kuat, Win kesulitan untuk menyeimbangi.

Entah setan jenis apa yang sedang merasuki Bright, yang pasti, mahasiswa itu sama sekali tidak mau memperlambat gerakannya.

Win bingung, ini bukanlah kali pertama mereka melakukan rough sex seperti ini. Tapi bukan Bright yang menghujam kuat lubangnya yang Win inginkan sekarang, ia hanya mau malam ini terlewati dengan begitu manis… ia mau menikmati sex terakhir mereka dengan kesan yang baik.

And here he is… crying.

Setelah sekian lama menahan beban hidupnya seorang diri, Win akhirnya menangis. Lelehan air mata jatuh melewati pipinya yang merah merona menahan nikmat. Win menangis tanpa suara, ia menginginkan Bright yang dulu… yang lembut dan patuh ketika kali pertama mereka berbagi hangat di malam Sabtu.

“Aaahhh,” suara desahan Bright berhasil membuat Win menjemput kembali warasnya yang sempat hilang. Bright tidak lagi menghujamnya dengan kuat, pinggulnya bergerak maju dan mundur membelah dinding rektumnya dengan tempo lembut, “Mas Win is always tasted so good just like the first time we did it.”

Telapak tangan Bright berusaha menyalurkan kenyamanan di pinggang polos Win, perlahan-lahan membantu si direktur muda untuk ikut bergerak berlawanan arah.

Bright menjamah bahu telanjang Win dengan bibirnya. Dikecupnya setiap titik yang bisa ia jangkau. Terlalu mesra, terlalu lembut dan penuh rasa.

Susah payah Win berusaha menggapai paha Bright yang masih bergerak menghujamnya dari belakang. Win mengelus paha si yang lebih muda, membuat Bright tersenyum kecil.

Satu kecupan Bright berikan di pipi kiri Win, lalu ia berbisik di sana, “need anything, hm?”

Win menggeleng ringan, bibirnya mengulas senyum menyahuti pertanyaan Bright, “Kiss me, Bright.”

Tentu saja tanpa mengulur-ulur waktu, Bright memajukan tubuh bagian atasnya untuk mencium mesra sang terkasih. Seraya terus bergerak menghentak maju dan mundur beraturan, Bright memagut lembut bibir Win yang sudah haus akan afeksi.

Keduanya kembali saling memadu kasih dalam cumbuan panjang. Win tidak lagi menggerakkan tubuhnya, lelaki itu membiarkan Bright yang mendominasi seks terakhir mereka.

Bibir Win terus membalas setiap lumatan dan juga hisapan yang Bright berikan. Cup. Cup. Bright menghadiahi dua kali kecupan di bibir Win sebelum akhirnya ciuman keduanya terlepas.

Bright menambah tempo hujamannya.

Win kembali terhentak kuat, tidak ada lagi hal lain yang bisa Win lakukan selain mencengkram sprei ranjang yang mulai berantakan.

Suara deru air laut menjadi saksi bisu dan instrumen terindah nomor 2 malam itu. Cahaya gemerlap yang berasal dari lampu-lampu jalan di seberang pantai ikut menjadi saksi atas hancurnya pertahanan diri sang tuan.

Bright kembali menciumi punggung polos Win, sambil kejantanannya lagi dan lagi menumbuk prostat si lelaki manis dengan kuat.

Satu tangan Bright mencengkram pinggang Win, membantu si direktur muda untuk imut bergerak.

Satu tangannya lagi yang bebas beralih menggenggam kejantanan Win yang sudah menjulang tinggi.

Ujung jari telunjuk Bright bermain-main di lubang penis Win, membuat lelaki itu mendesah penuh rasa nikmat, “aahhh, more… m-more… I need more...”

Keempat jari tangan Bright yang lain mengelus jahil urat-urat yang terpampang di batang kejantanan Win. Lalu dalam hitungan detik, Bright mulai mengocok kejantanan Win seiring dengan pinggulnya yang semakin kuat menghujam di belakang.

“Fuck, ahhhh… Bright,”

Bright berdehem pelan sambil mengulum cuping telinga Win, “enak Mas… Mas Win selalu enak… penis Bright rasanya nggak akan pernah nemuin rumah ternyaman selain di lubang Mas...”

Mata Win terpejam mendengar ucapan Bright. Bagai tak ada dosa, Bright melanjutkan aksinya untuk mengulum cuping telinga Win sambil sesekali menggigitnya kecil. Tangan kanan Bright masih terus menguleni pinggang si yang tersayang, dan tangan kirinya terus memompa kejantanan Win dengan kocokan dan remasan kuat.

Win ingin melihat wajah Bright yang dibanjiri peluh dan kabut birahi. Oleh sebab itu, Win kembali meraih paha kiri Bright dan menepuknya pelan.

Bright berhenti sesaat, menatap balik Win yang juga sedang menatap ke arahnya.

“Kenapa, Mas?”

“Ganti posisi, Bright. Fast, fast, fast.”

Bright jelas bingung. Tapi dengan pelan, Win menuntun Bright untuk mundur sedikit, lalu si lelaki yang lebih tua membawa tubuhnya untuk berbaring terlentang. Tanpa melepas kejantanan Bright sama sekali dari lubang senggamanya.

Bright membantu Win untuk mencari posisi ternyaman. Pemuda itu menarik tubuh sang tuan agar bersandar dengan benar di bantal.

Dengan penuh kelembutan, Bright membawa dua kaki Win untuk melingkari pinggangnya.

Bright mengukung tubuh sang tuan dari atas, dikecupnya penuh sayang ranum merah muda milik Win sebanyak tiga kali, lalu keduanya kembali saling berpagutan erat, mesra.

Sambil terus berciuman, Bright kembali menggerakkan pinggulnya. Tidak lagi ada hujaman yang keras. Yang ada hanyalah tempo lambat namun mutlak yang berhasil membuat Win mengharu, membiarkan air matanya kembali menetes.

Bright sadar. 100% sadar ada yang aneh dengan diri sang tuan sejak hari pertama mereka tiba di Nusa Penida. Tapi Bright memilih diam, ia merasa tidak punya hak.

Maka ketika Win menangis pilu dalam diam, Bright sama sekali tidak berusaha untuk menghentikan.

Ciuman keduanya berakhir dengan lembut. Win tersenyum dengan matanya yang memerah, tangannya terangkat mengelus sayang kedua pipi Bright.

“I don't actually know what is wrong with Mas these days, but Bright hope it will getting better soon,” Bright menyeka lelehan air mata di pipi Win, “though you're pretty even when you're crying, tetep aja Bright nggak suka lihat Mas nangis.”

Bright terdiam sebentar. Menatap Win dengan begitu dalam.

“Apapun itu, Bright tau kalau Mas Win adalah orang yang hebat.”

Keduanya saling melempar senyum, tipis, sarat akan emosi yang membuncah. “No wonder why Bright loves you so much, Mas.”

Hening.

Pasca confession dadakan itu, kamar hotel seketika dikuasai kebisuan.

Win hanya diam, tangannya sibuk meremat surai hitam Bright.

“Now stop talking and fuck me more, Bright.”

Oke, perintah Win adalah mutlak hukumnya.

Dan Bright, tidak ada kuasa untuk menolak.

. . .

JEYI // 210527.

“You don't dare, Bright…” panik, Win jelas semakin dibuat panik ketika Bright sama sekali enggan memperdulikan peringatan yang ia ucap.

Terpojok di sudut sebuah ruangan kecilă…ˇ bilik ke-3, lebih tepatnya menyandar pasrah dalam kungkungan sang kekasih pada pintu toilet sekolah di lantai 2 nyatanya tak mampu membuat Win berkelit lebih jauh, karena Bright nyaris tidak memberinya kesempatan untuk sekedar bernafas dengan bebas.

Di sela-sela aktivitas dadakan yang keduanya lakukan di sana juga di waktu yang kepalang mepet dengan berbunyinya bel istirahat, Bright menyeka peluh yang mulai jatuh menetes di sepanjang pelipis Win,

“A little moan from you while I am doing my work won't hurt, sayang...”

tags: IMPLICIT; quickie in public, chest play, kissing, sucking, 5% of dirty words, sounds off, grinding, PWP 🔞 total words: 1.73k words LDR Jurusan's elvino & shalom slight of throwback.


“Bii,”

ă…ˇ ACCKKKK,

Ups, Win tergelak dalam tawa ketika celana seragam olahraga miliknya yang ia bawa jatuh tepat mengenai kepala Bright yang sedang berdiri santai di depan wastafel.

Awalnya Win nyaris dibuat skakmat saat masuk ke dalam toilet, bukannya bersembunyi di dalam bilik yang sudah dijanjikan sebelumnya di ruang obrolan mereka, Bright justru malah ngeceng dan memandang penampilannya sendiri yang agak berantakan di depan cermin.

Tapi setelah melihat kalau toilet ternyata dalam keadaan kosong, Win akhirnya bisa bernafas lega.

Si pacar nakală…ˇ Bright, berdecak pelan ketika Win masih sibuk cekikikan. Pemuda itu meraih celana seragam olahraga milik si Manis lalu menatap sang kekasih lewat pantulan cermin.

“Enak banget kayaknya ya ngetawain pacarnya, terus… terus… terus... sampe keselek kalau perlu.”

Aduh, ngambek. Alhasil, Win pun berusaha meredakan tawanya. Langkah kaki pemuda itu maju sedikit demi sedikit untuk menghampiri Bright yang tetap pada posisinya. Ia berdiri tepat di samping Bright, kemudian menatap pantulan dirinya dan juga sang kekasih lewat cermin.

Bright, of course dengan tatanan seragam yang mulai offside alias keluar melebihi batas seharusnya. Kemeja putih yang sebagian keluar dari celana, dasi abu-abu yang entah ada dimana, juga kancing kemeja teratas yang dibiarkan terbuka serampangan. Tipikal anak IPS banget, asli.

Dan Win, of course dengan tampilan khas anak IPA andalannya. Kemeja putih yang masih rapi dan tidak sedikitpun keluar dari lingkar celana, dasi abu-abu yang masih melingkari lehernya apik, juga kancing yang terpasang sempurna dari atas sampai ke bawah.

“Dasi kemana lagi?” kali ini, gaya bicara Win persis seperti saat sedang melakukan razia bulanan di kelas.

Terkadang Bright suka lupa, pacarnya itu adalah wakil ketua OSIS. Tentu saja, cara berpakaian selama di jam dan lingkungan sekolah akan menjadi fokus penilaian bagi Win. Dan sekarang, gantian Bright yang cengengesan. Sudut matanya terangkat membentuk bulan sabit, “hehehe,” lalu garuk-garuk kepala sebentar, “di laci, kan ini sekalian mau futsal, sayang… jadi nggak bakalan kepake juga.”

Nama? Bright.

Keahlian? Ngeles dengan template ala buaya alias lelaki bermulut manis biar pacarnya nggak marah-marah terus.

Win berdecak seraya geleng-geleng kepala, “nanti dicuci lho ya celana olahraga gue, jangan lupa!!! Bau keringet pasti...”

“Hu'uh, iya, iya,” Bright mengangkat tangannya yang menggenggam celana olahraga milik Win, “makasih ganteng udah mau minjemin.”

“Suruh Racha aja lah yang jadi wasit. Biar sekalian bisa jadi tempat penitipan hape di lapangan.”

Waduh, itu suara Nanon.

“Komentator dadakan paling dari IPA. Dah kagak usah musingin itu, yang penting SOS 2 nyumbang Racha buat jadi wasit.”

Nah loh, itu suara Guns.

Panik, nggak? Panik lah!

Merasa kalau suara dari dua temannya itu tidak terlalu jauh dari toilet, Bright pun tanpa pikir panjang dan dengan terburu-buru, langsung menarik tangan Win untuk masuk ke dalam salah satu bilik toilet yang dekat dengan jangkauan mereka.

“IPA siapa aja dah yang turun?” oke, itu suara Guns lagi, terdengar penasaran siapa-siapa saja dari kelas 12 IPA yang akan turun untuk pertandingan futsal dadakan melawan kelas 12-SOS 2.

Suara langkah sepatu dengan jelas mulai memasuki area toilet. Tidak lama dari itu, suara kran air yang dibuka dan air yang mengucur dengan deras turut mengisi keheningan.

Nanon bergumam kecil, “au dah, kagak nanya lengkapnya siapa cuma yang pasti ada ketua kelasnya sih, si Luke. Terus ada Dew, Billkin, Pond, Mix, sisanya kagak tau lagi gue.” sahutnya.

Guns terdengar ber-oh ria di luar sana. Nggak lama setelah itu, pemuda yang paling aktif meluncurkan lelucon garing selama di kelas pun kembali bersuara, “Bright mana dah? Kok tiba-tiba ngilang bocahnye?”

Dari balik bilik, Bright bergumum pelan, nyaris tanpa suara, “gue di sini, sob...” dan hal tersebut membuat Win nyaris tertawa terbahak-bahak.

Jadi kayak main kucing-kucingan gini… but the struggle of being ldr jurusan survivors is hella crazy.

Win, benar-benar nggak tahan untuk tertawa… melihat wajah panik Bright yang memerah di depan matanya sendiri, membuat pemuda itu cekikikan pelan dan berujung skakmat ketika Bright dengan impulsif membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.

Di dalam bilik toilet yang sudah lama rusak dan nggak terpakai, Win tersudut di bawah dominasi Bright yang malah mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Ciuman mereka yang terkesan mendadak membuat tubuh Win tersentak pelan di sudut pintu bilik sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kerasă…ˇ dengan Bright yang mengukung dari depan.

Di luar bilik, Guns dan Nanon saling melempar pandangan. Masing-masing alis mereka bertaut bingung, suara kran air yang mengalir ikut menghilang karena Guns mematikannya.

Bright terus mendominasi sang kekasih dalam lumatannya sebagai upaya darurat agar Win tidak lagi bersuara, atau Guns dan Nanon akan memergoki keberadaan mereka di dalam sana.

Win, pasrah. Ciuman tiba-tiba yang dilakukan Bright jelas membuat pemuda itu malfungsi total. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya untuk menghentikan tingkah gila Bright yang amat sangat beresiko, tapi di sisi lain… tubuhnya justru berkata lain. Win malah larut dalam pergulatan bibir yang sungguh di luar rencana.

Ikut memagut, terkesan mesra.

Ikut mengulum, walau seperti diburu-buru.

Ikut berdesis pelan, ketika Bright tanpa aba-aba menggigit kecil bibir bawahnya.

Ikut membalas kecupan, dan terkesan menantang maut. Mengabaikan fakta bahwa aktivitas keduanya mengakibatkan bunyi yang cukup ribut.

Guns dan Nanon yang kepalang tahu kalau bilik ke-3 di toilet adalah bilik legend dengan segunung teori simpang siurnya pun memilih lari terbirit-birit meninggalkan toilet.

Meninggalkan dua insan yang semakin lupa waktu.

Semakin hanyut dalam lumat, juga desahan pelan yang lolos ketika dengan sengaja Bright mempertemukan pusat tubuh mereka berdua; menggeseknya perlahan-lahan.

Win, masih malfungsi.

Hasrat untuk mendorong Bright seolah lenyap menguap bersama angin sepoi-sepoi yang baru saja menggoyangkan pintu bilik-bilik yang terbuka. Surai hitam Bright yang sudah cukup panjang jatuh menjuntai menyentuh dahi Win yang mengkerut penuh konsentrasi, entah menikmati atau sedang mengatur strategi.

“Mmmhh,” Bright tak kuasa untuk terus menahan desahannya. Berciuman dengan sang kekasih adalah salah satu kegiatan yang paling bisa membuat pemuda itu kehilangan akal sehat, nyaris mabuk dalam pesona.

Maka saat Win dengan berani menghisap ujung lidahnya yang melesak masuk, Bright meloloskan euforia penuh kepuasan. Tanpa pikir panjang, Bright mengangkat satu kaki Win untuk melingkari di pinggangnya, mengikuti insting, katanya.

Win mengulum lidah Bright seperti kali terakhir sang kekasih melakukan hal yang sama, beberapa hari lalu di kamar pemuda itu. Erangan penuh kenikmatan dapat Win rasakan ketika Bright lumpuh dalam dominasinya.

Sudah kepalang terbawa nafsu, Win mengangkat satu kakinya lagi, membuat tubuhnya yang nggak bisa dibilang mungil itu bergantung pada gendongan Bright.

“Mmmhhh,” sial, sial, sial. Ternyata Bright tidak semudah itu didominasi. Dalam hitungan detik, pemuda itu memutar balik keadaan. Lidah Win, bertekuk lutut di bawah permainan panasnya.

Bright mengulum lidah Win yang entah sejak kapan sudah melesak masuk ke dalam mulut Bright. Dimainkannya sebentar benda tak bertulang itu; dihisap, dikulum lalu digigit kecil. Win nyaris saja memekik kesakitan sekaligus kaget, tapi Bright lebih dulu melumpuhkan seluruh syaraf tubuhnya dengan menggapai perpotongan leher si Manisă…ˇ menjamahnya dengan kecupan-kecupan lembut.

Win mendongak. Kepalanya menengadah, bibirnya terbuka meloloskan seuntai helaan nafas penuh gairah. Tangan kanan dan kirinya sudah menemukan jalan untuk merengkuh kepala Bright yang masih sibuk menjamah lehernya dengan bibir dan juga lidah.

Win, pasrah. Bright terlalu handal dalam urusan orang dewasa seperti ini, and little did Bright knows… Win is enjoying it a little too much.

Bagaimana deru nafas hangat Bright menyapu permukaan kulitnya yang meremang penuh antusias. Bagaimana lidah Bright bergerak menyeret saliva dari satu titik ke titik lain, meninggalkan jejak yang langsung dihisap oleh bibir pemuda itu sendiri.

Bagaimana bibir Bright menciuminya, mengecupnya perlahan-lahan penuh damba seolah-olah Win adalah sebuah permata yang begitu berharga.

Satu tangan Bright dengan berani meraih dada Win, meremas bagian di sebelah kanan sampai membuat sang empunya mengerang tertahan. Win, sebisa mungkin tidak bersuara. Walau kenyataannya beberapa kali desahannya lolos begitu saja.

Win memeluk kepala Bright lebih erat lagi, ia mendesah tepat di atas cuping telinga Bright yang memerah, “aaahhh, Bright… mmmhhㅡ ”

“Fuck… e-enak… aaahhh,”

Bright bagaikan kehilangan warasnya. Satu kali lagi, ia meraup bibir Win untuk diciumnya. Tidak sedetikpun Bright biarkan air liur Win jatuh kalau bukan di dalam rongga hangat miliknya. Bright menyesap setiap cairan yang membasahi sudut bibir sampai ke dagu mereka, lalu berucap,

“Wanna try it here?”

“You don't dare, Bright…” panik, Win jelas semakin dibuat panik ketika Bright sama sekali enggan memperdulikan peringatan yang ia ucap.

Bright kini menjamah seluruh sisi wajah Win dengan bibirnya. Mengecupnya hingga berbunyi, lalu digigitnya pipi berisi sang pacar yang begitu menggoda.

Terpojok di sudut sebuah ruangan kecilă…ˇ bilik ke-3, lebih tepatnya menyandar pasrah dalam kungkungan sang kekasih pada pintu toilet sekolah di lantai 2 nyatanya tak mampu membuat Win berkelit lebih jauh, karena Bright nyaris tidak memberinya kesempatan untuk sekedar bernafas dengan bebas.

Di sela-sela aktivitas dadakan yang keduanya lakukan di sana juga di waktu yang kepalang mepet dengan berbunyinya bel istirahat, Bright menyeka peluh yang mulai jatuh menetes di sepanjang pelipis Win,

“Jangan keras-keras ngedesahnya, sayang. Nanti kita ketahuan terus masuk ruang BK.”

Ucapannya sih terkesan mewanti-wanti, tapi apa yang dilakukan Bright justru membuat Win nyaris menangis karena keenakan... terlalu enak, terlalu gila. Bagian selatan tubuh mereka masih saling menggesek, mencari rasa nikmat.

“A little moan from you while I am doing my work won't hurt, sayang...”

DUGGGHHă…ˇ,

Waras Win sudah kembali. Dengan cepat dan penuh kesadaran ia mendorong tubuh Bright hingga terduduk di atas kloset yang sudah tidak terpakai.

Win menatap tajam pacarnya itu, “ANAK MONYEEEEEEET!!!” dah lah, Win bahkan sudah nggak perduli kalau di luar bilik ada orang yang mendengar ucapannya atau bahkan menyimak aktivitas panas keduanya barusan.

Yang jelas, Win dengan tergesa-gesa langsung merapikan seragamnya yang berantakan pasca acara saling gesek yang terjadi beberapa saat lalu, merapikan tatanan dasinya yang nyaris lepas, kemudian mengelap sudut bibirnya yang banjir dengan saliva.

Tanpa pamit, tanpa closure yang jelas, Win langsung membuka pintu bilik dan bergegas keluar.

Meninggalkan Bright yang sibuk cengengesan karena sudah membuat pacar manisnya kesal bukan main.

. . .

JEYI // 210525.